Anda di halaman 1dari 19

ISLAM LIBERAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Genologi

Pemikiran Islam di Program Studi Pendidikan Agama Islam

Program Pascasarjana IAIN Bone.

Oleh :

DHIA NURMIYA PULUNGAN


861082023034

AHMAD RIADI
861082023016

MUASA FATUR RASUL


861082023023

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam atas

segala karunia nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan

sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan

nabi Muhammad SAW. Makalah dengan judul “Islam Liberal” disusun untuk

memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Genologi Pemikiran Islam”. Meski telah

kami susun secara maksimal, akan tetapi kami sebagai manusia biasa sangat

menyadari bahwa makalah ini sangat banyak kekurangannya dan masih jauh dari

kata sempurna. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala

saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat mengambil pelajaran sehingga hasil

penulisan kami selanjutnya dapat lebih baik lagi. Demikianlah yang dapat kami

haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah kami buat ini mampu

memberikan manfaat kepada setiap pembacanya. Dan bernilai ibadah disisi Allah

SWT.

Watampone, 14 Desember 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................4

C. Tujuan Penulisan...................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam Liberal...................................................................... 6

B. Pokok Pikiran Islam Liberal..................................................................7

C. Tokoh-tokoh Islam Liberal....................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................10

B. Saran.................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................11

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam liberal lahir sebagai gerakan politik hadir untuk merespon

perubahan geopolitik dan sosial politik yang terjadi di dunia pasca

kekalahan Uni Soviet dalam Perang Dingin. Kejatuhan Soviet

menyebabkan Islam secara khusus menjadi perhatian dari Barat, dan

kecurigaan terhadap umat Islam pun terjadi. Kecurigaan menyebabkan

kalangan muslim menempuh respon berbeda, mulai dari berusaha

membangkitkan nilai-nilai Islam yang tidak menerima sama sekali

terhadap ide Barat, menerima sebagian gagasan Barat dengan pendekatan

modernitas, hingga menerima keseluruhan ide Barat dengan

mengomparasikan referensi awal dari kitab klasik ulama Islam dengan

filsafat Liberal yang berkaitan dengan ide demokrasi, pluralisme, dan

nasionalisme. Spektrum terakhir pemikiran Islam, yaitu Islam liberal

secara genealogis menerima gagasan liberalisme yang berakar dari dua

pemikiran John Locke. Pertama, John Locke berpendapat bahwa setiap

manusia memiliki hak-hak alamiah, yaitu hak- hak setiap individu yang

melekat dengan setiap individu sejak masa kelahiran di dunia dan

merupakan pemberian dari Tuhan. Hak-hak alamiah tersebut terdiri dari

hak untuk hidup, hak untuk bebas, dan hak untuk properti atau kesehatan.

Hak-hak alamiah tersebut pada masa kontemporer menjadi fondasi hak

asasi manusia. Kedua, kekuasaan negara harus dibatasi oleh perjanjian

antarsesama manusia dengan satu tujuan, yaitu untuk mencegah

pengabaian hak-hak alamiah oleh negara.

4
5

Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde

Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa

cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang

dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian

memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok

ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru

lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam

liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak

otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak

menafsirkan ajaran Islam.

Menurut Fachri Aly dan Bactiar terdapat sedikitnya empat versi

Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan

neo modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang

menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam

sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap

mewakili pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma‘arif,

Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme

sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik

berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul

bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu

bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka

tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya

saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional

atau melokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat

Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara samar-samar

terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M.


6

Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul

Rahim.

Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa

kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai

tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator

secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para

pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan,

terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih

belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan

belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang

formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-

karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial

ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan

demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat

dimasukkan dalam pola pemikiran ini.

Sedangkan Neo modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa

Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau

mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang

memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti

menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan

postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-

jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi

baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme

cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup

nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal,

namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti


7

berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang

menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid

dan Abdurrahman Wahid. Tampaknya pemikiran Nurcholish lebih

dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago,

Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid

telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah

wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide

keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya

tentang hubungan Islam dan politik.

Menurut Greg Barton, beberapa karakteristik pemikiran Islam

liberal di Indonesia antara lain: 1) senantiasa mengusung semangat ijtihad;

2) mengusung rasionalisme; 3) menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi; 4)

menjunjung tinggi peran ilmu pengetahuan; 5) memandang bahwa

keinginan mendirikan "negara Islam" adalah pengalihan perhatian yang

merugikan; 6) menerima dan mendukung pluralisme masyarakat; 7)

memegangi prinsip-prinsip humanitarianisme, bahkan memandangnya

sebagai essensi dan jantung Islam; 8). memperjuangkan kesetaraan gender.

Kurzman melihat ada tiga jaringan institusi yang

berpengaruh dalam penyebaran Islam liberal. Pertama, jaringan

pendidikan Islam di Al Azhar, sekolah modern di Turki, dan sebagainya

mulai didominasi oleh jaringan modernis dan liberal. Penguasaan institusi

pendidikan memperkuat proses penyebaran Islam liberal di berbagai

kawasan dunia mengingat sebagian besar lulusan lembaga tersebut

kembali ke negara asal. Kedua, jaringan media turut menyebarkan

gagasan reformasi dan liberalisasi Islam, seperti Al Manar, Qanun, dan

sebagainya. Ketiga, jaringan Muhammad Abduh turut memperluas


8

penyebaran Islam Liberal. Muhammad Abduh termasuk tokoh progresif

yang berusaha mempertemukan tradisi Islam dan liberal. Pemikiran Abduh

menyebar ke seluruh dunia melalui jaringan murid dia, mulai dari Ahmad

Khatib, Jalaludin Dahlan, hingga al Thalibi.

Munculnya gelombang liberalisme Islam di Indonesia disebabkan

oleh paling tidak tiga faktor dominan yaitu: pertama, faktor internal umat

Islam yang semakin terdidik dengan ilmu-ilmu baru (ilmu sosial dan

humaniora); kedua, faktor perubahan sosial yang demikian cepat sehingga

membutuhkan cara-cara baru dalam memahaminya, baik dalam memahami

kitab suci maupun dalam memahami fenomena perubahan sosial tersebut;

dan ketiga, faktor eksternal umat Islam, yakni faktor dari umat Kristen

yang telah lebih dahulu berpikiran maju dan kontekstual dalam memahami

kitab suci seperti yang diperlihatkan dalam teologi pembebasan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang di atas Penulis mendapatkan beberapa

Rumusan Masalah Diantaranya :

1. Bagaimana Pengertian Islam Liberal?

2. Bagaimana Pokok-Pokok Pemikiran Islam Liberal?

3. Siapa Tokoh-tokoh Islam Liberal?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan Rumusan masalah diatas penulis memberikan tujuan

penulisan diantaranya:

1. Untuk Mengetahui Pengertian Islam Liberal.

2. Untuk Mengetahui Pokok-pokok Pemikiran Islam Liberal.

3. Untuk Mengetahui Tokoh-tokoh Islam Liberal.


9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam Liberal

Islam Liberal adalah sebuah aliran pemikiran dalam Islam yang

muncul pada abad ke-19 Masehi. Aliran ini berupaya melakukan

reinterpretasi ajaran-ajaran Islam dengan pendekatan rasional, progresif,

dan inklusif guna menyesuaikan ajaran Islam dengan perkembangan

zaman modern.1 Tokoh-tokoh Islam Liberal antara lain Muhammad

Abduh, Rashid Rida, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, dan Abdullah

Ahmad an-Na’im.2

Menurut para pemikir Islam Liberal, interpretasi harfiah atas nash-

nash agama telah menyebabkan kejumudan dan keterbelakangan umat

Islam dalam merespons modernitas.3 Mereka berupaya melakukan

interpretasi kontekstual (tajdid) dengan menggunakan rasio, ilmu

pengetahuan modern, dan prinsip-prinsip HAM universal agar Islam

relevan dengan zaman modern.4

Islam Liberal percaya bahwa ajaran Islam sejatinya sangat fleksibel

dan terbuka terhadap berbagai ide baru. Nilai-nilai inti ajaran Islam seperti

keadilan, kesetaraan, dan kebebasan dipandang sejalan dengan nilai-nilai

modern seperti demokrasi, HAM, kesetaraan gender, dan pluralisme.5


1
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-
Isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 34.
2
Robert W Hefner, Islam and Modernity: Key Issues and Debates, (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2009), h.2
3
Tariq Ramadan, Islam dan Barat: Wawasan Seorang Reformis Muslim, (Bandung:
Mizan,2016) h. 121.
4
Carool Kersten, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values, (New
York: Oxford University Press,2017), h. 102.
5
John L Esposito, The Future of Islam, (New York: Oxford University Press, 2010), h.
65-68.
10

Islam Liberal juga kritis terhadap praktik-praktik tradisional seperti

polygami, jilbab wajib, dan hukum cambuk yang dianggap tidak sesuai

dengan nilai-nilai modern.

Namun, Islam Liberal menuai banyak kritik dari kalangan Islam

tradisional yang menuduh mereka terlalu liberal dan mengikuti Barat.

Kaum Islam konservatif khawatir Islam Liberal dapat mengaburkan

identitas dan ajaran Islam yang otentik. Perdebatan seputar Islam Liberal

kerap memanas dan menimbulkan polarisasi di dunia Islam kontemporer.6

B. Pokok-Pokok Pemikiran Islam Liberal

Islam Liberal pada dasarnya ingin melakukan reinterpretasi

terhadap nas-nas agama dengan pendekatan rasional, ilmiah, dan filosofis

untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Islam dengan semangat zaman modern

dan tantangan peradaban kontemporer.7 Beberapa pokok pemikiran islam

liberal sebagai berikut :

Pokok pertama, Islam Liberal mengajak untuk membebaskan diri

dari belenggu taklid buta kepada ulama klasik dan melakukan ijtihad

mandiri dengan menggunakan rasio.8

Kedua, Islam Liberal menyerukan re-aktualisasi nilai-nilai

substantif al-Quran seperti keadilan, persamaan, dan kemanusiaan

universal.9

6
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos,Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Masyarakat Setara, 2016), h.78-92.
7
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), h.15-19
8
Abdolkarim Soroush,Reason, Freedom and Democracy in Islam, (Oxford: Oxford
University Press,2000), h.23-56
9
Abdullah Ahmed An-Na'im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2016), h. 102-107
11

Ketiga, Islam Liberal memahami syariat bukan sebagai tujuan,

melainkan sarana. Hukum Islam harus selalu dikontekstualisasikan agar

sesuai dengan kebutuhan zaman.10

Keempat, Islam Liberal menegaskan dimensi etis, spiritual dan

moral agama, bukan aspek legal-formalistiknya. Mereka mengajak umat

untuk focus pada inti ajaran ketimbang terjebak pada hal-hal furu’iyah

yang rawan sektarianisme.11

Kelima, dalam bidang politik, Islam Liberal menganjurkan sistem

pemerintahan demokratis, pemilihan umum, keterbukaan informasi,

kebebasan berekspresi dan hak-hak minoritas.12

Keenam, dalam bidang ekonomi Islam Liberal menawarkan sistem

perbankan syariah modern tanpa riba serta menganjurkan kebebasan pasar

yang berkeadilan.

Ketujuh, dalam bidang sosial Islam Liberal menuntut emansipasi

kaum perempuan dan minoritas dengan memberikan kebebasan

berpakaian, hak politik, akses pendidikan, serta kesempatan ekonomi yang

setara.13

Delapan, Islam Liberal bersikap inklusif, toleran dan menghargai

keberagaman keyakinan. Mereka menolak klaim kebenaran tunggal (truth

claim) dan teologi eksklusif yang rawan konflik.

10
Tariq Ramadan, Islam dan Barat: Wawasan Seorang Reformis Muslim,
(Bandung:Mizan, 2016), h.134
11
Reza Aslan, Membendung Arus: Respon Al-Qur’an terhadap Sekularisme dan
Fundamentalisme, (Bandung: Mizan,2011), h.78-92
12
Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of
Modern Rationalism, (Princeton: Princeton University Press, 1999), h. 102
13
Amina Wadud, Quran and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s
Perspective, (New York: Oxford University Press,1999), h. 78-103
12

Kesembilan, Islam Liberal secara kultural bersikap terbuka dan

apresiatif terhadap warisan peradaban dunia. Mereka berupaya melakukan

sintesis kreatif antara tradisi Islam dan modernitas global.14

Yang kesepuluh, Islam Liberal menawarkan cara pandang baru

terkait konsep jihad, hubungan Islam-Barat, konsep minoritas (dhimmi),

dan beberapa doktrin klasik lain yang kerap ditafsirkan secara tekstual-

ideologis. Interpretasi baru konsep-konsep ini diharapkan mampu

meminimalisir potensi radikalisme dalam Islam.15

C. Tokoh-tokoh Islam Liberal

1. Muhammad Abduh

Pendapat Abduh yang menyatakan bahwa manusia itu harus berikhtiar (usaha)
didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an, dan nash-nash lainnya, yang
menyatakan balasan diakhirat sangat berkaitan erat dengan amal perbuatan
yang dilakukan seseorang di dunia. Kepercayaan kepada kekuatan akal
membawa Muhammad Abduh kepada paham bahwasanya manusia
mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will and free act
atau qadariyah). Ia menyatakan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya
dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di
atasnya masih ada kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (Nasution,
1987:43). Dan untuk mencapai pengetahuan tertinggi ini bisa melalui 2 cara,
yaitu: akal dan wahyu. Akal bagi Muhammad Abduh adalah tonggak
kehidupan manusia dan dasar dari kelangsungan hidupnya karena ialah yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena itu, beliau selalu
berbicara tentang pentingnya akal dan pentingnya manusia mengembangkan

14
Tariq Ramadan, To Be a European Muslim: A Study of Islamic Sources in the
European Context, (Leicester: The Islamic Foundation, 1999), h.23
15
Shiraz Maher,Salafi-Jihadism:The History of an Idea, (London: C. Hurst & Co
Publishers Ltd, 2016), h. 89-102
13

akalnya untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Begitu pun dalam
masalah teologi. Ia tidak pernah meninggalkan akal sebagai dasar dari teologi.

Dalam sistem teologinya Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal


mempunyai kekuatan yang tinggi. Menurutnya, Islam adalah agama yang
rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas
akal. Pemikiran rasional, menurutnya adalah jalan untuk memperoleh iman
sejati. Iman. Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan penting, di antaranya: pertama, Muhammad Abduh adalah seorang
tokoh yang menempatkan akal pada kedudukan yang amat tinggi, sehingga
corak pemikiran teologinya adalah bersifat rasional. Kedua, Muhammad
Abduh memberi penghargaan yang tinggi pada kekuatan akal. Meski begitu, ia
tetap memandang penting fungsi wahyu bagi akal. Ketiga, konsep teologi
yang demikian itu berakibat pada keyakinannya bahwa manusia itu
mempunyai kebebasan berfikir dan berbuat.

2. Jamaluddin Al-Afghani

Jamaluddin al-Afghani sebagai salah seorang pimpinan pembaharuan


dalam Islam, lahir di Afganistan pada tahun 1897 M., dalam pemikiran
pembaharuannya meyakini bahwa Islam adalah sesuai dengan semua bangsa,
semua zaman, dan semua keadaan. Jika kelihatan ada pertentangan antara
ajaran-ajaran; Islam dengan kondisi yang di bawa oleh perubahan zaman dan
perubahan tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang tercantum dalam Al-Quran
dan Hadis. Untuk interprerasi itu diperlukan ijtihad dan pintu itjihad baginya
terbuka lebar untuk dilakukan.

Al-Afghani menyerukan supaya demokrasi kerakyatan diterapkan di Mesir


supaya pemerintahan dapat berjalan berdasarkan dengan konstitusi. Demokrasi
kerakyatan merupakan perwakilan rakyat yang menyuarakan aspirasi rakyat
yang anggotanya terdiri dari pilihan rakyat. Bagi Al-Afghani sangat tidak
percaya dengan pemerintahan dibawah kekuasaan Asing. Sebab semua
kepentingannya akan selalu berpihak kepada penguasa bukan berpihak pada
14

rakyat bahkan kekuasaan dapat menjadi alat politik mereka untuk mendapatkan
keinginannya. Maka gagasan pemerintahan rakyat merupakan solusi yang
ditawarkan oleh Al-Afghani memperbaiki situasi supaya semakin kondusif
supaya kekuasaan absolutisme dapat dilawan. Pemerintahan yang berorientasi
pada kerakyatan akan memberikan keadilan kepada warga yang dapat
mengatur tata kehidupan mereka secara damai.

Al-Afghani selalu mengkampanyekan konsep Republik dalam sistem


ketatanegaraan karena sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis yang
dikandung didalamnya. Oleh sebab itu, beliau tidak pernah merespon
sistem kekuasaan yang bersifat mutlak atau absolut karena tidak
mencerminkan nilai-nilai kerakyatan bahkan lebih cendrung pada kepentingan
kekuasaan. Dalam sistem Republik yang digagas oleh Al-Afghani, Undang-
Undang atau hukum menjadi rujukan utama dalam bernegara. Pemerintah
harus menjalankan Undang-Undang dan harus tunduk dan patuh
kepadanya. Sistem seperti ini tidak membuat jurang pemisah antara Rakyat
dan pemerintah. Rakyat dan pemerintah sama statusnya dihadapan hukum dan
tidak ada yang diskriminatif supaya hak asasi manusia dapat ditegakkan
berdasarkan konstitusi.

3. Azyumardi Azra

Prof. Azyumardi Azra merupakan salah satu cendekiawan Islam Indonesia


yang gencar dalam menyebarkan wacana Islam Washatiyah. Menurut Azra,
Islam wasathiyah adalah bahasa al-Qur’an yang mengarah kepada moderasi
dan merupakan jati diri Islam Indonesia (Kholis et al., 2020). Moderasi Islam
Indonesia tampak dalam sikap umat Islamnya yang tawasuth (sikap
pertengahan), tawazun (seimbang), ta’adul (sesuai) serta tasamuh (toleran).
Lawan dari wasathiyah adalah tatharruf (ekstrimisme) yang dipandang sebagai
perilaku melebihi batas ketentuan syari’at, menyimpang dari nilai-nilai
moderasi, menyelisihi pandangan mayoritas umat (ra’y al-jama’ah), dan
tindakan yang sudah berlebihan serta aneh jika dipandang dalam praktek lazim
15

umat Islam. Sikap wasathiyah akan menggiring kepada pola kaum muslimin
yang inklusif, akomodatif serta toleran terhadap umat agama lain. Hal ini
sangat penting mengingat Indonesia adalah negara yang majemuk, plural serta
kaya akan perbedaan. Tanpa sikap wasathiyah, Indonesia tentu akan ramai
dengan perpecahan serta pertikaian yang pada akhirnya bisa saja
menghancurkan tatanan kehidupan.

Tidak kalah penting pula, moderasi beragama dengan jalan Islam


wasathiyah akan mendorong umat Islam untuk mencintai kedamaian,
mencegah takfirisme (paham yang mudah mengkafirkan orang lain) yang
akhirnya akan memperindah tatanan kehidupan bangsa dan negara. Azra juga
menyinggung masalah moderasi beragama menyangkut politik. Menurutnya,
dengan bersikap wasathiyah, umat Islam Indonesia akan dapat menerima empat
hal yang fundamental dalam tatanan kenegaraan. Keempat hal itu adalah NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia), Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka
Tunggal Ika. Akan tetapi sebaliknya, dengan bersikap ekstrimis seorang
muslim akan menolak hal itu dan menginginkan daulah Islamiyah atau
khilafah. Islam wasathiyah adalah cermin dari nilai rahmatan lil ‘alamin yang
terdapat dalam Islam. Dengannya, aktualisasi perdamaian akan tercapai tidak
hanya bagi umat Islam Indonesia, akan tetapi juga dunia Muslim secara
keseluruhan. Akhirnya, Azra menyebutkan bahwa hanya dengan kedamaian
umat Islam akan dapat kembali berkontribusi dalam peradaban dan kemajuan
dunia (Kholis et al., 2020). Dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam
wasathiyah Azyumardi Azra sebagai jalan moderasi beragama adalah
mengaktualisasikan nilai-nilai moderasi yang telah ada dalam al-Qur’an,
mencapai kedamaian dan memberi sumbangsih terhadap peradaban
berkeadaban serta berkemajuan.

4. Nurcholis Madjid
16

Menurut Nurcholish Majid, pengertian yang mudah tentang modernisasi


ialah yang identik, atau setidaknya hampir identik, dengan pengertian
rasionalisasi. Hal ini berarti proses perombakan pola berfikir dan tata kerja
lama yang tidak akliah (irasional), dan menggantinya dengan pola berfikir dan
tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna
dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan
penemuan mutakhir manusia dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu
pengetahuan, tidak lain adalah pemahaman manusia terhadap hukum- hukum
objekti yang menguasai alam, ideal, dan material, sehingga alam ini berjalan
menurut kepastian tertentu dan harmonis. Orang yang bertindak menurut ilmu
pengetahuan (ilmiah) berarti bertindak menurut hukum alam yang berlaku.
Oleh karena tidak melawan hukum alam, atau sebaliknya justru menggunakan
hukum alam itu sendiri, ia memperoleh daya guna yang tinggi. Sehingga,
sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan
berkesesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.

Pemikiran Nucholish Madjid tentang politik dan negara yakni Nurcholish


Madjid menolak konsep Negara Islam, hal itu dipertegasnya dalam ceramah
kebudayaan di Taman Ismail Marzuki yang kedua tahun 1972, yang mana
sebagian isi ceramah itu sebenarnya merupakan pemikirannya terhadap
epistimologi Islam, khususnya menyangkut dua pendekatan, yaitu pendekatan
imani yang menyangkut masalah masalah keagamaan yang ukhrawi dan
pendekatan ilmiah ynag meliputi masalah masalah keduniaan, baik tentang alam
materi maupun sosial. pendekatan imani menghasilkan ibadah kepada Allah yang
akan berdampak pada penyempurnaan budi luhur manusia. sementara
pendekatan ilmiah harus bersifat rasional empiris yang mengahasilkan konsep
amal shaleh. Negara adalah suatu gejala yang berdimensi nasional objektif,
sedangkan agama berdimensi spiritual yang bersifat pribadi, keduanya memang
saling berkaitan, namun tetap dibedakan. jika Negara ikut mengatur masalah
agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam sendiri
17

yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la rahbaniyyah fi al Islam)tak ada


otoritas kependetaan atau otoritas ulama dalam islam.

Pemikiran sosial Nurcholish Madjid merujuk pada Q.S, Al-Baqoroh/2:148


“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada
pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Menurut Nurcholish Madjid, ayat di
atas bisa dikatakan inti dan sekaligus pemahaman masalah pluralisme/pluralitas,
menurut pandangan Islam. Itu dimulai dengan fakta bahwa umat manusia terbagi
dalam berbagai kelompok, masing- masing memiliki tujuan hidup berbeda. Setiap
komunitas diharapkan bisa menerima keanekaragaman sosial budaya, toleransi
satu sama lain yang memberi kebebasan dan kesempatan bagi setiap orang
menjalani kehidupannya menurut keyakinannya masing- masing. Yang
dibutuhkan pada masyarakat majemuk adalah, agar masing-masing kelompok
berlomba-lomba dalam jalan yang sehat dan benar. Karena, hanya Tuhan lah yang
Maha Tahu, dalam arti asal, tentang baik atau buruk, benar atau salah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam Liberal adalah sebuah aliran pemikiran dalam Islam yang

muncul pada abad ke-19 Masehi. Aliran ini berupaya melakukan

reinterpretasi ajaran-ajaran Islam dengan pendekatan rasional, progresif, dan

inklusif guna menyesuaikan ajaran Islam dengan perkembangan zaman

modern. Tokoh-tokoh Islam Liberal antara lain Muhammad Abduh, Rashid

Rida, Jamaluddin Al-Afghani, Azyumardi Azra dan Nurcholis Madjid

Islam Liberal bertujuan melakukan reinterpretasi ajaran-ajaran Islam

agar sesuai dengan semangat zaman modern. Beberapa pokok pemikirannya

antara lain menyerukan penggunaan rasio dalam ijtihad, mengaktualisasi

nilai-nilai substantif Islam seperti keadilan dan kemanusiaan, memahami

syariat bukan sebagai tujuan melainkan sarana, mengedepankan dimensi

etika dan spiritual Islam, menganjurkan sistem politik demokratis dan

ekonomi pasar yang berkeadilan, menuntut emansipasi kaum perempuan

dan minoritas, bersikap inklusif terhadap keberagaman, serta menawarkan

pandangan baru tentang beberapa konsep klasik dalam Islam guna

meminimalisir potensi radikalisme.

B. Saran

Makalah ini masih berada di bawah kata sempurna maka dari itu penulis

berharap pembaca memberikan saran maupun kritik yang membangun demi

kesempurnaan makalah ini dan demi bergunanya makalah ini di masa yang akan

dating.

18
DAFTAR PUSTAKA

An-Na’im, A. A. (2016). Dekonstruksi syari’ah: Wacana kebebasan sipil, hak


asasi manusia, dan hubungan internasional dalam Islam. LKiS.
Aslan, R. (2011). Membendung arus: Respon al-Qur’an terhadap sekularisme
dan fundamentalisme. Mizan.
Esposito, J. L. (2010). The future of Islam. Oxford University Press.
Euben, R.L. (1999). Enemy in the mirror: Islamic fundamentalism and the limits
of modern rationalism. Princeton University Press.
Hasani, I., & Naipospos, B. T. (2016). Wajah liberal Islam di Indonesia. Pustaka
Masyarakat Setara.
Hefner, R. W. (Ed.). (2009). Islam and modernity: Key issues and debates.
Edinburgh University Press.
Kersten, C. (2017). Islam in Indonesia: The contest for society, ideas and values.
Oxford University Press.
Kurzman, C. (2002). Wacana Islam liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang
isu-isu global. Paramadina.
Maher, S. (2016). Salafi-jihadism: The history of an idea. C. Hurst & Co.
Publishers Ltd.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual
tradition. University of Chicago Press.
Ramadan, T. (1999). To be a European Muslim: A study of Islamic sources in the
European context. The Islamic Foundation.
Ramadan, T. (2016). Islam dan Barat: Wawasan seorang reformis Muslim.
Mizan.
Ramadan, T. (2016). Islam dan Barat: Wawasan seorang reformis Muslim.
Mizan.
Soroush, A. (2000). Reason, freedom and democracy in Islam. Oxford University
Press.
Wadud, A. (1999). Quran and woman: Rereading the sacred text from a woman’s
perspective. Oxford University Press.

19

Anda mungkin juga menyukai