Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


SEKULARISASI DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PERJUANGAN KE ARAH NEGARA
ISLAM DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Moh. Anas Kholis, S.HI, M.HI

Oleh : Wahdan Al Musyarrof


NIM : 16660002

TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
08 DESEMBER 2016

1
Mendirikan Negara Islam tidaklah wajib bagi kaum Muslimin. Tapi mendirikan
masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib
Al-Maghfurlah KH.Abdurrahman Wahid

2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah atas segala rahmat, nikmat dan
hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan makalah Pancasila dan
Kewarganegaraan yang berjudul Sekularisasi dan Pengaruhnya Terhadap
Perjuangan ke Arah Negara Islam di Indonesia dengan baik.

Pengerjaan Makalah ini merupakan suatu kesempatan yang sangat


berharga bagi penulis, karena dengan pengerjaan Makalah ini, penulis bisa
memperdalam, meningkatkan, serta mengimplementasikan apa yang telah
didapatkan penulis selama mempelajari mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini.

Tak lupa ucapan terima kasih dihaturkan kepada Bapak Moh. Anas Kholis,
S.HI, M.HI selaku dosen pengampu mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
karena tanpa beliau, penulis tidak akan mendapat bimbingan dalam mempelajari
mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan sehingga penulis dapat mengerjakan
makalah ini dengan lancar.
Perlu diketahui metode pembahasan masalah dalam makalah ini yaitu
dengan meresensi dan menganalisis buku-buku yang membahas sejarah
sekularisasi dan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Kesempurnaan hanyalah milikNya, manusia tentu tidak pernah sempurna.
Begitu pula dengan makalah ini tentu masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca.

Malang, 13 Desember 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ....................................................................................... 3
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 4
BUKU TAFSIR NEGARA ISLAM
DALAM DIALOG KEBANGSAAN DI INDONESIA .......................... 5

ANATOMI BUKU .......................................................................... 6


ISI BUKU
BAB I : PENDAHULUAN ................................................. 7
BAB II : ISI ........................................................................... 11
BAB III : PENUTUP.............................................................. 20
BUKU SEKULARISASI SETENGAH HATI ........................................ 21
ANATOMI BUKU .......................................................................... 22
ISI BUKU
BAB I : PENDAHULUAN ................................................. 23
BAB II : ISI ........................................................................... 25
BAB III : PENUTUP.............................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 34

4
Cover luar buku Tafsir Negara Islam Dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia

Cover dalam buku Tafsir Negara Islam Dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia

5
ANATOMI BUKU

Judul Buku : Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia.

Penulis : Dr. Ahmad Yani Anshori

Penerbit : Siyasat Press

Cetakan ke :1

Tebal : 206 Halaman

Dimensi : 14,5 x 21 cm

Sinopsis buku :

Buku ini menjelaskan tentang perjuangan kalangan Islam ke arah negara


Islam di Indonesia dengan jalan dialog di parlemen dan tarik ulur antar ideologi
yang mewarnai sejarah Indonesia.

Kelebihan :

Buku ini diambil dari bahan disertasi Dr. Ahmad Yani Anshori sehingga
memiliki kualitas penulisan yang tinggi tetapi mudah dipahami

Kekurangan :

Tidak terdapat penjelasan lengkap mengenai objek yang sedang diteliti.

Kesimpulan :

Buku ini cocok untuk kalangan intelektual baik dari tingkat awam sampai
tingkat tinggi untuk mendalami sejarah ketatanegaraan di Indonesia.

6
BAB I : PENDAHULUAN

Adalah suatu hal yang menarik membaca hubungan lslam dan negara
dalam konfigurasi politik dan praktik politik Islam di Indonesia. Hubungan
keduanya meskipun dalam beberapa kasus terlihat sejalan, namun pada
kenyataannya sering terjebak dalam ruang politik yang konfrontatif, juga
diskursus yang dikedepankan keduanya menjadi akar polemik yang tak kunjung
usai. Apa yang salah dengan fenomena hubungan keduanya dalam pentas politik
Indonesia? Jawaban yang diberikan kepada pertanyaan ini sering berbeda dari
satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu lainnya dan dari satu peneliti ke peneliti
lainnya. Tetapi semuanya berawal dari upaya untuk mengkaji uniknya
penghadapan Islam versus negara dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Pada dasarnya, mendefinisikan Islam terpisah dari ruang politik adalah


sama timpangnya dengan men lslam mengajarkan politik secara lengkap. Meski
demikian, ummat islam pada umumnya mempercayai dimensi Islam sebagai
sebuah agama yang universal. Dalam dimensi ini, Islam seringkali dipandang
sebagai lebih dari sekedar kepercayaan atau keyakinan, tetapi sebagai sebuah
sistem seperti masyarakat madani, peradaban yang lengkap, atau bahkan agama
dan negara. Rumusan-rumusan tersebut dilandasi pandangan bahwa Islam
mencakup lebih dari sekedar sistem teologi atau moral. Islam tidak mengakui
tembok pemisah antara yang spritual dan yang profan dan antara yang kekal an
yang temporal. Islam telah mengatur semua aspek kehidupan.

Rumusan-rumusan seperti di atas pada tingkat praksis politik merupakan


sesuatu yang cukup problema Beberapa kalangan Islam memaknai hubungan
organik antara Islam dengan semua aspek kehidupan, termasuk didalamnya
adalah aspek politik. Dalam hubungan ini, lslamdibangun dalam pola yang legal
formal. Sehingga pandangan kalangan ini lebih cenderung mengutamakan
struktur politik dari pada mekanisme politik. Kecenderungan demikian
mementingkan perlunya formalisasi dan institusionalisasi Islam secara
menyeluruh atau"Islam kaffah" lengkap dengan labelnya ke dalam struktur dan
infrastruktur politik, seperti diekspresikan dengan upaya-upaya mendirikan
Negara Islam, pembentukan Partai Islam atau sekedar pencarian konsep Negara

7
Islam oleh para pendukungnya. Sementara kalangan Islam yang lain cenderung
memaknai sifat universalitas Islam ke arah yang lebih substansialistik.
Kecenderungan demikian lebih mengutamakan isi dari pada sekedar wadah politik
yang dalam raktik politiknya bukan bertujuan untuk memapankan strukturpolitik
yang ditandai dengan terbentuknya label Negara Islam secara formal, tetapi lebih
tertarik kepada penggarapan aspek etika dan moralitas politik yang diilhami oleh
substansi ajaran-ajaran Islam.

Di dalam memecahkan persoalan kebangsaan sebagai mana fenomena di


atas, upaya untuk mendamaikan keduanya tidak mudah dan merupakan problem
kebangsaan tersendiri bagi sebagian negeri Muslim, termasuk Indonesia. Sebagai
contoh misalnya Turki, Mesir, Sudan, Jordania dan negeri negeri Muslim
lainnya dalam beberapa dekade negeri-negeri Muslim tersebut setelah berkenalan
dengan ide negara-bangsa nation state dan gagasan politik modern lainnya seperti
demokrasi, pluralisme dan HAM, mengalami pergeseran respon kebangsaan baik
bagi mereka yang mendukung penyatuan Islam sebagai agama yang tidak terpisah
dari negara maupun bagi mereka yang mendukung pemisahan Islam dari negara
secara total atau sebagian.

Khususnya di Indonesia, problem demikian tidak hanya menyangkut


sikap dan prilaku politiknya semata, tetapi lebih dari itu adalah menyangkut
corak dan pemaknaan teologis yang difahami dan dikembangkannya. Bahkan,
dalam upaya fenomena tersebut, Islam sering diposisikan berbenturan atau vis-a-
vis negara.

Islam secara demografis merupakan agama mayoritas yang dipeluk


penduduk Indonesia, tetapi hal tersebut dalam batas besaran nominal dan belum
dalam besaran kualitas. Meskipun demikian, setidaknya Islam telah mempunyai
peng cukup signifikan didalam pencarian bentuk bentuk nation daracter buildings
bangsa Indonesia. Di dalam batasan ini, Indonesia mempunyai keistimewaan
latar kesejarahan tersendiri, terutama dalam wacana yang mengakar kepada
konsep kekuasaan politik di mana sejak awal persiapan kemerdekaannya telah
terjadi polemik berkepanjangan antara para foundingfathers,yakni mengenai

8
platform politik nas yang memisahkan unsur agama dari negara dan platform
kekuasaan politik yang menyatukan unsur agama dengan negara.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah pendekatan normatif dan


juga pendekatan hermeneutik yang dalam hal ini ketiganya dikaji tidak lepas dari
bingkai sosial politik yang melatarinya. Pendekatan sejarah dipakai untuk mencari
kembali dan meneliti hubungan antara ide disatu fihak dan di fihak lain terdapat
kecenderungan drivey, kepentingan (interest) dan faktor-faktor non-intelektual
lainnya pada umumnya semisal faktor sosial-politik yang melatarinya. pendekatan
ini sangat relevan untuk mengungkap kembali tentang ide-ide, kecenderungan-
kecenderungan dan kepentingan-kepentingan dari kelompok Islam di dalam
Parlemen dan di luar Parlemen dalam perjuangannya ke arah Negara Islam di
Indonesia di masa lalu, tetapi bagi generasi berikutnya justru menjadi referensi,
justifikasi dan legitimasi ntuk mengangkat kembali wacana perjuangan yang sama
seperti yang dilakukan generasi pendahulunya meski menemui kegagalan.

Pendekatan normatif dimaksudkan sebagai pendekatan dengan


menggunakan sumber-sumber Islam, al Qur'an dan Sunnah, sebagai sumber
hukum utama maupun dalam kitab kitab fiqh atau lainnya sebagai sebuah produk
ijtihad ulama. Pendekatan normatif ini digunakan untuk melihat dimensi teologis
yang menjadi argumentasi kelompok Islam dalam perjuangannya ke arah Negara
Islam di Indonesia pascakemerdekaan, baik melalui musyawarah di Parlemen
maupun melalui konfrontasi kemiliteran di luar Parlemen. Pendekatan normatif
ini menjadi menghindari kepincangan ilmiah sangat penting untuk akademis,
mengingat bahwa selama ini kajian tentang Islam dan negara di Indonesia secara
umum didominasi oleh dimensi politiknya saja dan mengesampingkan dimensi
teologisnya. Akibatnya, orang tidak menyadari bahwa sebenarnya bagi setiap
Muslim, memperjuangkan Islam dalam bentuk apapun adalah merupakan
tuntutan teologis.

Sedangkan pendekatan hermeneutik atau interpretasi yang dimaksud


dalam penelitian ini adalah pendekatan hermeneutik ontologis yang mencoba
menafsirkan teks dengan produktif, karena tafsir sendiri merupakan bagian yang
tdak terpisahkan dalam diri manusia. Hermeneutik ontologis ini tidak

9
mempedulikan sisi objektivitas sejarah masa lampau sebaliknya ia menganggap
bahwa sejarah merupakan tradisi yang menjadi alas untuk menuju masa depan.
Dengan demikian, kekayaan khazanah teologis penafsir sangat mempengaruhi
dalam pengungkapan sejauh mana suatu teks dapat diungkap makna dan
maksudnya 30 Metode demikian dipilih untuk menafsirkan ada apa di balik upaya
perjuangan ke arah Negara Islam di Indonesia pascakemerdekaan, baik di dalam
Parlemen atau di luar Parlemen yang terjadi tempo dulu tetapi masih mengemuka
hingga kini, terutama dari dimensi teologis dan setting sosial politik yang
melatarinya.

10
BAB II : ISI

1. WACANA ISLAM DAN NEGARA-BANGSA DI AWAL


KEMERDEKAAN

A. Islam Versus Negara

Sejarah Indonesia modern dimulai dengan perbincangan di seputar nation-


state yang kemudian dapat melahirkan bentuk nasionalisme modern Indonesia
sejak tahun 1900-an, terutama dilakukan oleh para intelektual. Hampir semua
negeri Muslim di Dunia Ketiga termasuk Indonesia, mengalami problem mation-
state dalam mencari identitas dan karakter kebangsaannya (nation character
building).

Khususnya di Dunia Islam, problem nationstate semacam ini terkadang


belum terselesaikan tuntas yang pada gilirannya akan selalu melahirkan
pertentangan Islam versus negara dan sebutan yang dikotomis, negara agama dan
negara sekuler. Pertentangan dan dikotomi seperti ini menjadi ganjalan dalam
penyelenggaraan negara dalam konteks nation-state.

Sejak awal, pemikiran politik Indonesia modern dalam merespon wacana


mationstate juga ditandai dengan munculnya bermacam corak pemikiran para
intelektual yang diaktualisasikan dengan pembentukan organisasi atau partai.
Setidaknya ada empat corak pemikiran yang direpresentasikan-pe oleh masing-
masing pendukungnya, yaitu; pertama, tradisionalisme. Kedua, nasionalisme
sekuler . Ketiga, sosialisme komunisme. Keempat, Islam. Kemudian pada masa
pascakemerdekaan, seperti tercermin dalam Konstituante(1956-1959), empat
corak pemikiran tersebut tersaring menjadi tiga ideologi besar, yaitu pertama,
ideologi Pancasila yang diperjuangkan oleh partai-partai seperti PNI(Partai
Nasional Indonesia) dan PKI(Partai Komunis Indonesia. Kedua, ideologi Islam
yang diperjuangkan oleh partai partai Islam seperti partai Masyumi Majlis Syura
Muslimin Indonesia dan partai NU(Nahdlatul Ulama) dan ketiga, ideologi Sosial
ekonomi sebagaimana diperjuangkan oleh partai Murba dan partai Buruh.
Nampaknya, tiga ideologi besar ini juga masih mewarnai pertarungan politik
aliran pada era Reformasi. Tetapi, karena ideologi yang ketiga ini tidak begitu

11
populer di telinga para simpatisan politik, maka dalam pertarungan wacana
seakan-akan telah mempolarisasi menjadi pertarungan antara ideologi Islam dan
ideologi Pancasila secara gilirannya menghadirkan sebuah berkepanjangan, yang
pada penghadapan antara Islam versus negara.

Penghadapan Islam versus negara ini praktis sejak masa menjelang


kemerdekaan yang kemudian berlanjut pada masa Orde Lama, Orde Baru dan
masih terasa hingga kin. Namun, penghadapannya sungguh unik karena hal ini
kepada hubungan Islam dan negara dalam konteks mationstate secara luas baik
pada wilayah konsep, wacana maupun dalam wilayah praksis penyelenggaraan
negara. Keunikan ini terjadi karena adanya antara kepatuan kepada agama dan
kepatuhan kepada negara dalam satu nationstate yang mengharuskan adanya
ideologi dan konstitusi yang bersifat memaksa pada tingkat praksis negara.

Dilema kepatuhan tersebut akan semakin tajam apabila negara


diselenggarakan berdasarkan sebuah ideolog yang harus dianut oleh semua
anggota masyarakat. Dalam hal ini, ideologi merupakan sesuatu yang di samping
membutuhkan kepatuhan juga menuntut adanya kepercayaan, pada hal hakikat
kepercayaan adalah wewenang khas agama. Dari sini kemudian muncul tarik
menarik kepatuhan antara kepada agama dan kepada negara. Tarik menarik
kepatuhan ini pada tingkat ideologis membawa problem dan logika yang komplek
dan terkadang sulit didamaikan.

Karena penyelenggaraan negara dalam wilayah nation-state menuntut


adanya penegasan karakter dan identitas kebangsaan (nation character) maka tarik
menarik dalam hubungan agama dan negara dalam satu wilayah nation-state akan
semakin mengkaburkan definisi dan identitas nation character buiding yang
pernah atau akan dibangunnya.

Dalam permasalahan ini, negara Indonesia dibangun dan berdiri tanpa


disertai nation character buildings yang jelas. Sehingga wajar jika sejak awal
kemerdekaannya telah terjadi tarik menarik kepentingan yang menuntut sebuah
kepatuhan antara Islam versus negara dengan berbagai variannya seperti
fenomena terjadinya kekacauan, pemberontakan, gejala disintegrasi dan bombing
masih menjadi ancaman hingga kini.

12
B . Pemikiran Islam Versus Pemikiran Sekuler

Bhinneka Tunggal Ika (walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu),


merupakan filosofi nasional yang semestinya menggambarkan pluralisme sebagai
aset tegarnya negara-bangsa (nation-state)di Indonesia. Filosofi ini merupakan
filosofi kebangsaan yang digunakan oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers)
negara Indonesia modern sebagai preseden untuk membangun cita-cita politik
nasional; yaitu terwujudnya persatuan nasional dan kesatuan bangsa dengan tetap
menjaga keragaman budaya dan pluralisme etnik, golongan, agama dan
kepentingan.

Pada masa pergerakan nasional menjelang kemerdekaan Indonesia,


semangat perjuangan untuk membangun dan membuat pondasi bagi bangsa telah
terpikirkan dan ramai dibicarakan. Pembahasan national character buildings
sebagai pondasi utama yang akan mewarnai dan memberikan identitas kepada
bangsa yang akan dibangun ini mempolarisasi ke dalam berbagai kepentingan .
Polarisasi tersebut mengarah kepada terbentuknya kubu nasionalis Islam yang
ingin memperjuangkan Islam secara formal menjadi dasar dan ideologi negara,
dan kubu nasionalis sekuler yang menghendaki agar Indonesia tetap menjadi
negara pluralis dengan dasar dan ideologi pluralis Pancasila. Kedua kubu tersebut
dengan masing-masing ideologi yang diperjuangkan berusaha membuat wacana
publik dan membangun image buildings tentang keunggulan ideologinya masing-
masing.

Nasionalisme netral agama (sekuler) yang digulirkan Soekarno tidak


cocok diterapkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, dan karena
sifatnya yang netral agama, dikhawatirkan akan mengesampingkan pemberlakuan
hukum-hukum Allah di dalam ruang etika dan praktek politik pemerintahan,
disamping kenyataan bahwa pergerakan Islamlah yang sebenarnya terlebih dulu
menggelorakan semangat nasionalisme di Indonesia dengan ikatan keislamannya.

Menurut Natsir , faham nasionalisme harus mempunyai landasan teologis


yang harus diorientasikan sebagai bagian,dari bentuk beribadah kepada Allah
untuk mencari keridlaan-Nya.

13
Bagi Natsir, cinta tanah air seperti yang digagas Soekarno pada dasarnya
sudah inheren dalam watak setiap manusia, dan oleh karena itu, nasionalisme
Indonesia harus bercorak Islam.

Kebangsaan Islam telah diawali oleh pergerakan nasional Islam yang


digalang oleh organisasi Syarekat Islam (SI). Tanpa Syarekat Islam, maka
nasionalisme Indonesia tidak akan ada. Tercapainya kemerdekaan bukan tujuan
akhir dari gerakan nasionalisme Islam, tetapi semata-mata untuk tujuan mencapai
ridla Allah. Oleh Karena itu, kemerdekaan harus disertai dengan pemberlakuan
hukum Islam di tengah-tengah masyarakat bangsa. Kalau belum tercapai idealitas
demikian, ummat Islam tidak akan henti-hentinya berjuang sebelum negara
didasarkan kepada hukum Islam dan di atur menurut susunan ketatanegaraan
Islam.

Secara umum, bagi kubu nasionalis sekuler, Islam adalah agama yang
masuk dalam wilayah privat sehingga tidak bisa dijadikan faham kebangsaaan,
lebih-lebih melihat karakter masyarakat bangga yang bersifat pluralistik. Agama
adalah subordinasi dari kebangsaan sehingga yang menjadi parameter kebangsaan
adalah nasionalisme. Mereka menganggap agama mempunyai sifat kolot yang
dapat menghambat kemajuan bangsa.

Soekarno meyakini bahwa Islam yang bersumber dari al-Quran dan


Sunnah adalah agama ideal yang dapat dipahami secara fleksibel, rasional dan
progresif. Akan tetapi, Islam historis yang bersumber dari doktrin-doktrin zaman
kemunduran Islam adalah Islam yang loyo, anti rasionalisme dan diktator. Dalam
konteks yang terakhir ini, Soekarno menginginkan pemisahan agama dari negara,
agar supaya Islam sebagai agama yang sakral terbebas dari penyalahgunaannya
secara kelembagaan oleh negara.

Berbeda dengan Soekarno, Natsir membela paham penyatuan agama dan


negara, karena baginya Islam adalah agama dan negara. Watak dasar dari Islam
adalah sifat holistiknya bahwa Islam adalah agama yang universal . Menurut
Natsir, Islam tidak hanya sebagai sistem agama saja yang hanya terdiri dari
praktek-praktek ibadah dan ritual saja, tetapi juga merupakan suatu kebudayaan
yang lengkap yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat. Natsir

14
menyadari bahwa al-Quran dan Sunnah tidak punya tangan dan kaki untuk
membuat manusia berjalan sesuai dengan aturan-aturan Islam. Oleh karena itu,
Islam memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya
dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan Islam. Dalam
konteks ini, bagi Natsir, negara adalah alat yang cocok untuk menjamin agar
ajaran dan hukum Islam dijalankan. Islam dan negara adalah dua entitas religio-
politik yang bersenyawa. Dalam konteks perjuangan Islam, pada dasarnya negara
bukan menjadi tujuan, akan tetapi sebagai alat untuk menjamin terlaksananya
hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.

Indonesia bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekuler secara
utuh sebagaimana telah dituliskan oleh B J. Boland bahwa Indonesia bukanlah
suatu negara Islam sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok nasionalis Islam,
dan juga bukan negara sekuler yang memasukkan agama dalam wilayah pribadi
terpisah dari negara. Dalam pengamatan Boland, Indonesia adalah negara yang
ingin mengakui suatu asas keagamaan dan bersikap positif terhadap agama pada
umumnya dan dalam berbagai perwujudannya. Indonesia adalah suatu negara
yang ingin memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap
pembangunan national character building.

2. TAFSIR NEGARA ISLAM DALAM KONSTITUANTE


A. Platform dan Ideologi yang Diperjuangkan dalam Konstituante

Pada awal agendaya, Majlis Konsituante membentuk PPK (Panitia


Persiapan Konstitusi) pada tanggal 14 Februari 1957 yang di antara tugasnya
adalah m engakom odasi gagasan-gagasan yang berkembang dalam perdebatan
antar fraksi-fraksi tentang dasar negara dan agenda-agenda lain Konstituante.
Anggota Panitia ini berjumlah 184 orang yang merupakan wakil-wakil dari
berbagai fraksi dengan berbagai pemikiran dm kepentingan masing-masing.
Berdasarkan usulan-usulan yang diajukan dalam PPK , semua fraksi politik dalam
Majlis Konstituante menyetujui kriteria-kriteria yang akan digunakan dalam
memformulasikan dasar dan ideologi negara, yaitu sebagai berikut;

15
1. Sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia
2. Menjiwai semangat Revolusi tanggal 17 Agustustahun 1945
3. Musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan
penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan

4. Terjamin adanya kebebasan beragama dan beribadah

5. Berisikan jaminan-jaminan sendi-sendi perikemanusiaan kebangsaan yang luas


dan keadilan sosial

Meskipun kelima kriteria ini disetujui, tetapi Majlis belum dapat


memutuskan tentang ideologi dan dasar negara apa yang akan dipakai bagi
keberlangsungan Ketatanegaraan Indonesia. Didalam perdebatan-perdebatan antar
fraksi terdapat tiga kelompok ideologis yang bersaing di Majlis Konstituante.
Pertama, kelompok yang mengadopsi ideologi Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara. Kedua, kelompok yang mengadopsi Islam sebagai dasar dan
ideologi negara. Ketiga, kelompok yang mengadopsi Sosial-ekonomi sebagai
dasar dan ideologi negara.

B. Perjuangan ke Arah Negara Islam dalam Konstituante

Kelompok Islam (partai-partai Islam dengan ideologi Islam) dalam


Konstituante menghendaki agar Islam menjadi dasar negara bagi tegaknya
kehidupap bernegara, berbangsa dan beragama di Indonesia. Mereka meyakini
suatu negara apabila berdasar Islam maka negara tersebut telah sempurna disebut
Negara Islam dengan sebuah kenyataan bahwa mayoritas penduduknya adalah
Muslim .

Perjuangan ke arah Negara Islam yang mewacana di dalam Konstituante


masih berada dalam dataran tawar menawar politik dengan fraksi-fraksi dan
kelompok lain yang memperjuangkan gagasannya masing-masing.

Dengan keyakinan dan realitas demikian, kelompop Islam dalam


Konstituante secara umum mencita-citakan sebuah Negara Islam di Indonesia
yang khas Indonesia, yaitu sebuah penyelenggaraan negara yang tetap
mengakomodir adat, kebudayaan dan tuntutan-tuntutan sosial politik masyarakati

16
Indonesia sebagai satu kesatuan dengan modal utama kuantitas pemeluk Islam
yang mayoritas telah sejalan dengan unsur-unsur yang akan diakomodir tersebut.

Dalam konstituante, sebenarnya perjuangan kelompok Islam ini berada


pada tingkatan strategis yaitu tingkatan penetapan dasar negara yang bagi
kelompok Islam merupakan pondasi bagi berdiri dan tegaknya sebuah negara
sehingga mereka membela dan memperjuangkan habis-habisan agenda politik
mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bagi tegaknya Republik
Indonesia.

C. Negara Islam Seperti Apa?

Konsep Negara Islam yang mewacana dalam diskusi-diskusi dan


pandangan-pandangan kelom pok Islam dalam Konstituante masih berada dalam
dataran konsep global dan belum sampai kepada penjelasan detailnya. Hal ini
dapat disadari bahwa memang perjuangan m ereka belum sampai kepada
penjelasan detail tentang sisi-sisi konstitusionalisme dalam penyelenggaraan
negara secara modern (batasan-batasan) hukum terhadap kekuasaan dan
pertanggungjawaban politik dari penguasa terhadap rakyat, tetapi baru dalam
tingkatan pembicaraan, penyampaian, pemaparan dan argumentasi seputar
kelayakan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Namun demikian, pada tingkatan
tersebut telah mengemuka konsep global tentang substansi Negara Islam yang
dicita- citakan, yaitu;

1. Negara egaliter dengan pluralisme sebagai pondasi tegaknya negara

2. Negara yang menjamin tegaknya syanah Islamiyyah

3. Negara yang menganut demokrasi berketuhanan

4. Negara yang menganut sistem ekonomi ber-ketuhanan

D. Apa Keunggulan Dasar Islam Dibanding Pancasila?

Masykur, wakil dari NU di Konstituante, berpendapat bahwa pada


dasarnya secara lahiriyah dasar negara Islam, Pancasila dan sosial-ekonomi adalah
banyak sekali titik temunya. Perbedaannya hanya terletak di dalam bidang filsafat
yang menjadi dasarnya. Ketiga ideologi yang diperjuangkan oleh masing-masing

17
pendukungnya dalam Majlis Konstituante terutama antara Pancasila dan Islam ,
titik temunya adalah sebagai berikut:

1. Islam dan Pancasila sama-sama menghendaki suatu negara yang


makmur dan bahagia. Dalam hal hal Islam mempunyai ajaran-ajarannya.

2. Islam dan Pancasila sama-sama menghendaki pemerintah yang


demokratis. Dalam hal ini Islam mempunyai ajaran-ajarannya.

3. Islam dan Pancasila sama-sama menghendaki anti-kapitalisme dan anti-


imperialisme. Dalam hal ini Islam mempunyai ajaran-ajarannya.

4. Islam dan Pancasila sama-sama menghendaki supaya kehidupan


ekonomi dunia disusun secara kekeluargaan. Dalam hal ini Islam mempunyai
ajaran-ajarannya.

5. Islam dan Pancasila sama-sama menghendaki supaya kehidupan rumah


tangga bangsa Indonesia bahagia dan mempunyai makna dan akhlaq yang mulia.
Dalam hal ini Islam mempunyai ajaran-ajarannya.

Tetapi meskipun ada titik temunya, Pancasila dan Islam secara ideologis
berbeda. Islam dengan prosedur pelaksanaan hukum-hukumnya telah dapat
mencakup ide dan kandungan Pancasila, tetapi bagaimana dengan sumber-sumber
dan ajaran-ajaran Pancasila? Bagaimana hukum perdatanya, hukum pidana,
hukum perkawinan, hukum perang dan damai dan hukum-hukum lain menurut
Pancasila? Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut Masykur, tidak akan mampu
dijawab oleh ajaran Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Memang secara
lahir ada titik pertemuan antara Islam dan Pancasila, tetapi filosofi yang
mendasarinya, tentu saja berbeda.

Sebagai suatu kesim pulan dari uraiannya, Masykur menegaskan bahwa


Islam layak menjadi dasar negara Republik Indonesia dibanding dengan Pancasila
dengan pertimbangaan:

1. Bahwa ajaran-ajaran Islam telah menjiwai sebagian besar masyarakat


bangsa Indonesia, sehingga telah membentuk karakter dan kepribadian bagi
masyarakat bangsa .

18
2. Bahwa Pancasila tetap merupakan rumusan kosong yang tidak
berketentuan arah dan tujuannya.

3. Bahwa ajaran Islam mem enuhi syarat untuk mengatur kehidupan


manusia di dunia dan akhirat.

Zainul Abidin Syuaib dari Masyumi menambahkan bahwa Pancasila dan


Islam apabila keduanya dibandingkan untuk memilih salah satunya, maka Islam
yang layak untuk dipilih. Islam dan Pancasila sekilas ada titik pertemuannya tetapi
filosofi dan realitasnya jelas-jelas berbeda. Sedangkan perbedaannya adalah:

1. Islam adalah agama yang universal yang datang dari Allah, sementara
Pancasila adalah hasil rekayasa manusia yang bersifat lokal dan temporer.

2. Islam adalah agama mendunia yang dianut banyak orang, termasuk


dianut mayoritas bangsa Indonesia, sedangkan Pancasila hanya dianut oleh
sebagian saja dari bangsa Indonesia.

3. Islam telah mempunyai sejarah berpuluh abad lamanya dan pernah


mengalami zaman kejayaan, sedangkan Pancasila merupakan barang baru yang
tidak jelas pedomannya .

4. Islam mempunyai pedoman suci al-Quran yang mengandung beribu-


ribu ayat sebagai sumber utama dan juga Sunnah sebagai sumber kedua.

19
BAB III : PENUTUP

Ummat Islam Indonesia pada dasarnya mencita-citakan sebuah Negara


Islam dalam konteks negara-bangsa (nation-state) di Indonesia modern. Cita-cita
ini telah diwacanakan menjelang kemerdekaan Indonesia. Kelompok Islam
menghendaki agar Negara Indonesia yang akan dibangun didasarkan kepada corak
Islam, sebab nasionalisme Indonesia yang digelorakan dalam Revolusi Indonesia
sebenarnya adalah Nasionalisme dengan religiusitas Islam. Secara prinsip, corak
Islam yang diyakini mereka adalah suatu tatanan Negara Islam yang dapat
menciptakan keadilan, membentuk moral politik yang luhur, menekankan
demokrasi permusyawaratan dan mengutamakan toleransi .

Namun, kehendak kelompok Islam ini ditolak oleh elemen bangsa lainnya
yang tidak setuju dengan Islam sebagai dasar dan ideologi negara, tanpa diberikan
kesempatan terlebih dulu untuk mempraktikkan Islam sebagai dasar
penyelenggaraan negara dan pemerintahan di Indonesia. Dari sinilah muncul
konflik ideologis antara dua kelompok; Kelompok Islam yang menghendaki Islam
sebagai dasar dan ideologi negara, dan kelompok sekuler yang menolak Islam
sebagai dasar dan ideologi negara, tetapi sebaliknya mereka menghendaki
ditetapkannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Pada kenyataannya, di tingkat praksis politik sering terjadi politisasi


terhadap Islam. Islam menjadi alat politik untuk melawan negara, atau sebaliknya.
Islam menjadi kendaraan politik untuk menuju birokrasi negara.

Banyak permasalahan yang terkait dengan relasi Islam dan negara di


Indonesia, namun telah banyak pula diskusi, penelitian dan karya ilmiah yang
mencoba mengkajinya. Tetap itu semua belum cukup untuk menjawab persoalan
sebenarnya seputar relasi Islam dan negara di Indonesia. Tulisan ini juga tidak
bermaksud untuk menyudahi perbincangan seputar Negara Islam dan penegakan
syariah di Indonesia, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran tentang
perjuangan ummat Islam ke arah Negara Islam di Indonesia yang pada dasarnya
perjuangan tersebut menjadi tuntutan teologis yang selalu melekat dalam diri
setiap Muslim.

20
Cover Luar buku Sekularisasi Setengah Hati

Cover dalam buku Sekularisasi Setengah Hati

21
ANATOMI BUKU

Judul Buku : Sekularisasi Setengah Hati

Penulis : Irsyad Zamjani

Penerbit : PT. Dian Rakyat

Cetakan ke :1

Tebal : 265 Halaman

Dimensi : 14,5 x 21 cm

Sinopsis buku :

Buku ini berisi sejarah mengenai sekularisme dan pengaruhnya terhadap


sistem politik islam di Indonesia dalam periode formatif.

Kelebihan :

Buku ini memiliki tata bahasa yang mudah dimengerti bagi kalangan
umum sehingga dapat mempelajari literatur sejarah politik islam di Indonesia

Kekurangan :

Belum ditemukan kelemahan yang menonjol dalam buku ini.

Kesimpulan :

Buku ini cocok untuk kalangan umum untuk mendalami pengaruh


sekularisme dalam sejarah perpolitikan islam di Indonesia.

22
BAB I : PENDAHULUAN

Sepanjang sejarah Indonesia modern, persinggungan antara Islam dan


politik tidak pernah sepi diperbincangkan. Sebabnya sangat terang. Indonesia
memiliki populasi penduduk Muslim terbesar di seantero jagad. Meski dem ikian,
sejarah juga mem buktikan bahwa politik Islam tidak pernah menjadi arus utama
dalam kepolitikan Indonesia modern. Partai-partai Islam selalu kalah bersaing
dengan partai-partai yang secara populer disebut sebagai nasionalis-sekuler.
Wacana politik Islam memang kerap menjadi diskursus yang populer, namun ia
tumbuh sebagai entitas yang marjinal. Banyak analisis berkembang untuk
menjawab persoalan ini.

Hampir seluruh elite politik Indonesia secara umum dibesarkan dalam


lingkungan pendidikan Eropa yang mengandalkan rasionalisme, idealisme, dan
juga pragmatisme.Periode etis adalah periode yang sangat singkat sehingga elite
pribumi tidak memiliki waktu yang cukup dalam merefleksikan nilai, idealisme,
dan pemikiran Eropa yang dengan deras menyerbu kesadaran mereka. Periode etis
hanya berlangsung tak sampai setengah abad. Jauh lebih singkat jika
dibandingkan berabad-abad proses penyerapan Islam oleh penduduk Nusantara.

Akibatnya adalah proses sekularisasi, namun setengah hati. Liberalisasi


politik tidak sempat dikompromikan dengan segregasi ideologis yang telah
terbangun cukup lama. Hasilnya adalah instabilitas pemerintahan dan konflik elite
yang berkepanjangan. Elitisme juga tidak mampu berpadu dengan populisme.
Hasilnya, transaksi-transaksi politik di tingkat elite tidak mampu mendamaikan
komunalisme di level akar-rumput. Selain itu, idealisme juga tidak mampu
berjalan beriringan dengan pragmatisme. Hasilnya, kendatipun beberapa politisi
partai Islam mampu tampil menjadi kepala pemerintahan, cetak biru politik Islam
tidak juga bisa dirumuskan.

Buku ini tidak berpretensi mengungkit kembali perdebatan lama tersebut.


Istilah sekularisasi dalam buku im senyatanya diperlakukan sebagai istilah
konseptual, bukan teknis semata. Hal ini akan dijabarkan secara panjang lebar
pada bagian lain dari buku ini. Indonesia sendiri memang tidak pernah

23
menahbiskan diri sebagai negara sekuler seperti Turki, Wacana tentang
sekularisme juga tidak menjadi diskusi yang populer dikalangan para pendiri
Republik. Hal ini sangat jelas bahwa selain karena beragamnya tradisi
keberagamaan warga Nusantara, Indonesia tidak memiliki pengalaman pahit
dengan politik agama seperti yang terjadi di Eropa atau Turki. Oleh karenanya,
tidak ada alasan menempuh jalan sekularisme.

Namun demikian, bukan berarti proses sekularisasi tidak terjadi. Tanpa


dirancang, proses itu telah dimulai semenjak republik ini berdiri. Masa sepuluh
tahun pertama, yang oleh penulis disebut sebagai periode formatif dan masa
transisi menuju pemerintahan konstitusional, menjadi landasan tumpu dari mana
proses itu dimulai dan terus berjalan hingga hari ini Kita dapat menyaksikannya
sekarang, ketika Reformasi memberi ruang kembali bagi menjamurnya partai-
partai Islam. Partai partai tersebut pada kenyataannya hanya mengisi ruang yang
telah disediakan oleh demokrasi sekuler. Partai Islam yang ideologis hanya laku di
lapisan masyarakat tertentu. Semakin membesar, semakin ia harus berkompromi
dengan proses sekularisasi yang kian matang.

Buku ini pada dasarnya ditulis sebagai sebuah naskah sejarah. Namun,
berbeda dengan kebanyakan buku sejarah, buku ini mengembangkan suatu
penelitian sejarah yang berbasis pada pendekatan teori sosial.

24
BAB II : ISI

1. SEKULARISASI DAN POLITIK ISLAM INDONESIA: SEBUAH


PENJAJAKAN TEORITIK

Membincangkan politik Islam terutama di negara Muslim besar seperti


Indonesia ibarat menyusuri jalan tanpa ujung. Dengan keragaman kategori
keberislaman penduduk Musslim di Indonesia, baik secara sosiologis, kultural,
teriebih-lebih teologis, kita bukan hanya dihadapkan pada persoalan tentang
representasi keislaman namun juga, pada persoalan substansial berupa relevansi
pandangan ortodoks yang resmi tentang masalah-masalah politik dengan
perubahan sosio-kultural berakselerasi tinggi. Apalagi hampir semua negara
Muslim modern, termasuk Indonesia, adalah negara- negara (bekas) koloni
dengan umur pendudukan yang lama. Dalam periode kolonial macam itu, amatlah
terbatas ruang dan keleluasaan psikologis untuk mengartikulasikan dan
menentukan sendiri kenyataan politik yang semestinya berjalan. Akibatnya selalu
terjadi kesenjangan antara rumusan ideal Islam dengan praktik yang seharusnya
dilaksanakan.

Kondisi semacam ini bagi masyarakat manapun tentu sangat menyiksa.


Mereka hanya bisa menyaksikan perubahan begitu cepat yang dipaksakan oleh
sistem penjajahan yang berkuasa, tanpa mampu melakukan kontrol atasnya.
Masyarakat itu akhirnya mengalami kegagapan kultural yang akut karena dipaksa
untuk terus menyesuaikan diri dengan peradab an asing yang berkuasa. Ketika
adaptasi itu gagal, mereka akan terjerumus ke dalam sebuah gradasi kebudayaan
yang semakin rendah dimata dunia.

Dalam konteks indah penulis hendak mengkaji tentang watak politik Islam
pada masa 1945-1955 sebuah periode yang sering disebut sebagai periode liberal
dalam tradisi demokrasi Indonesia, di satu sisi. Namun, di sisi lain liberalitas itu
sama sekali tidak ditunjang oleh kepastian legitimasi dari rakyat Indonesia.

Bagi politik Islam, fase itu adalah fase yang paling penting dalam
sejarahnya di Indonesia. Di hadapan berbagai intrik politik dan polarisasi yang
begitu tajam, mereka harus menangguhkan dahulu idealisme negara Islam yang

25
dicita-citakan sejak era pergerakan. Mereka harus menerima sistem politik
Barat yang diterapkan di sini. Dan, seiring waktu, mereka tidak kuasa
membendung proses sekularisasi yang tidak hanya menjangkiti varian non-Islam
di sini, namun kalangan Islam sendiri.

Sekularisasi dapat dimaknai dalam kerangka sebuah modernisasi politik di


mana sistem dan arah kebijakan politik tidak lagi ditentukan oleh seseorang atau
sekelompok tertentu, namun dihasilkan dan dikendalikan oleh konstitusi modern
dengan alat-alat kelengkapan yang spesifik dan fungsional.

Sekularisasi juga dipahami sebagai transformasi pemikiran dari


konservatisme kepada progresifisme. Pemikiran sekuler adalah sebuah dasar yang
membolehkan seseorang untuk mengetahui atau memiliki beberapa tingkat
pembenaran seperti prinsip moral, kepemilikan pengetahuan secara bebas atau
pembenaran atas kepercayaan yang berkembang.

Selama masa-masa pasca proklamasi berbagai tindakan politik diambil


dengan pertimbangan strategis dan taktis. Dalam masa pergerakan kebangsaan
meraih kemerdekaan pertarungan antara kelompok-kelompok Islam termasuk
antar kelompok ideologi umumnya terlihat lebih fundamental danideologis.
Namun demikian upaya-upaya kompromi dan integral terus dibina, dan beberapa
kali menghasilkan titik temu.

Buku ini tertolak dari sebuah teori klasik tentang sekularisasi. Secara
etimologis, istilah sekularisasi berpangkal dari kata Latin Saeculum, yang berarti
masa, waktu, atau abad. Sekular berarti masa kini atau zaman ini. Jadi istilah
sekular terkait dengan masalah waktu. Jadi, dapat dikatakan, makna sekular
menyangkut periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses
sejarah.

Di Indonesia, perdebatan tentang sekularisasi pernah dimunculkan oleh


Nurcholish Madjid pada dekade 1970-an. Dalam sebuah tulisannya Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam ia menyatakan bahwa sekularisasi harus
dikembalikan kepada makna awalnya sebagai konsep waktu. Ia,dengan demikian,
adalah suatu proses perjalanan. Adalah sebuah keharusan bagi masyarakat yang

26
sedang menjalani proses modernisasi untuk melakukan sekularisasi. Sekularisasi
menurutnya, tidak sama dengan sekularisme. Kedua istilah itu berdiri sendiri
secara otonom, Sekularisasi adalah proses desakralisasi segala aspek yang bersifat
duniawi dan sementara sekularisasia dalah sebuah ideologi yang baku; doktrin
bahwa moralita sharus semata-mata ditumpukan pada kebaikan manusia dunia,
hingga menafikan pertimbangan-pertimbangan yang diambil berdasarkan
keyakinan akan Tuhan. Dengan arti lain sekularisasi bersifat terbuka sementara
sekularisme bersifat tertutup.

Menurut Arnold Toynbee, semua peradaban besar secara mendasar


berorientasi keagamaan dan oleh karenanya menyediakan pemecahan keagamaan
terhadap masalah-masalah sosial dan politiknya. Terjadinya sekularisasi sistem
politik menandakan perubahan fundamental baik secara struktural maupun
ideologis dalam proses-proses pembangunan politik.

Di negara-negara Islam di Asia dan Afrika, ideological broker dari proses


sekularisasi tersebut adalah modernisme Islam dan sosialisme. Kedua hal tersebut
mengkonversi Islam tradisional kepada suatu humanisme-pragmatisme sekuler
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

2. SEKULARISASI DAN UNSUR-UNSUR PENOPANGNYA DALAM


SEJARAH INDONESIA MODERN.

Semua orang telah menginsyafi bahwa kesadaran nasional muncul dalam


bentuk lahirnya organisasi-organisasi pergerakan baik yang kemudian bertopang
pada basis ideologi nasionalis maupun Islam. Dalam rangka kajian ini,
kemunculan kesadaran tersebut dapat dijelaskan sebagai proses awal dimulainya
sekularisasi politik dalam kedua aspek; teoritis dan historis. . Secara teoritis,
munculnya kesadaran ini bersepaham dengan sinyalmen Peter L. Berger sebagai
proses umum yang menjadi bagian dari proses-proses pergeseran ideologis. Baik
kelompok nasionalis maupun kelompok agama telah mengalami kesadaran baru
yang dimungkinkan karena sebuah iklim politik yang diciptakan oleh sebuah
kekuatan ideologis tertentu (pemerintah) dalam negara Hindia Belanda. Secara
historis, ia adalah proses linear yang m enyentuh salah satu bagian dari kelompok

27
yang disebut netral agama. Pemisah kepentingan agama dan kepentingan non-
agama tentu saja adalah modus sekularisasi yang paling gamblang.

Akan tetapi, apapun aspek yang diambil, harus dijelaskan bahwa awal
abad duapuluh memberikan tenaga-tenaga eksogen baru yang mampu
mengenalkan banyak pengetahuan, persepsi dan visi baru kepada kalangan
pribumi.

Munculnya berbagai organisasi pergerakan pada awal abad XX di tanah


air tidak selalu disertai oleh alasan-alasan yang bertujuan unifikasi komunitas
seperti kebangsaan (dalam kasus Indische Partij, Sarekat Islam , Perhimpunan
Indonesia), etnisitas (dalam kasus Budi Utomo, Jong Java, Jong Celebes,dsb.),
atau ideologi (ISDV , SI, PKI). Kemunculan organisasi itu juga bisa dimaknai
sebuah upaya subyektif para pendirinya untuk membentuk atau mengukuhkan
komunitas baru.Tujuannya adalah untuk menghancurkan berbagai komunitas atau
setidaknya imaji tentang komunitas yang telah ada sebelumnya dengan
membentuk komunitas atau setidaknya imaji tentang komunitas yang lebih baru.

Hal ini menjadi ciri khas dari pergerakan-pergerakan yang muncul atas
nama Islam. Mereka tidak sedang melakukan islamisasi kepada mayoritas
penduduk pribumi yang sebagian besarnya adalah kaum Muslim sendiri. Mereka
sedang mentransformasikan umat Islam ke dalam identitas-identitas politiko-
kultural dan ideologis baru.

Jauh sebelum mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus


1945 Soekarno telah menyadari bahwa negeri ini memiliki keragaman dalam
banyak hal. Keragamaa ini tentu saja meniscayakan terjadinya potensi persaingan,
pergolakan dan bahkan perpecahan. Oleh karena itulah beberapa bulan sebelum
proklamasi itu dilangsungkan, Soekarno berkeras memperjuangkan suatu konsep
yang dicanangkan sebagai ideologi bersama dari bangsa multiragam Indonesia.
Pada pidato pertamanya dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945 ia utarakan
gagasannya tentang Pancasila. Lima silayang dicetuskan Soekarno pertamakali itu
adalah Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau peri-Kemanusiaan; Mufakat
atau demokrasi; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan yang Maha Esa.

28
Sila pertama ia maksudkan untuk melebur keragaman suku,Kebangsaan
dan ras dalam satu bangsa. Sila kedua dimaksudkan untuk membendung semangat
chauvinisme. Menurut Soekarno, Internasionalisme tidak dapat hidup subur
kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup
subur kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.

Sila ketiga berintikan agar segala sistem politik masa lalu yang beragam
dan cenderungi feodalistik dikubur dan digantikan dengan sistem demokrasi dan
tradisi musyawarah. Sila keempat menegaskan bahwa hanya ada satu tujuan yang
hendak dicapai oleh sebuah negara merdeka, yakni kesejahteraan warganya. Sila
kelima menyatukan spirit hakiki dari beragam agama dan keyakinan yang ada di
Indonesia, yakni pengabdian kepada Tuhan.

Pada awalnya Pancasila diterima secara aklamasi sebagai satu penemuan


yang brilian dan otentik tentang kosmologi politik dan budaya Indonesia. Gagasan
Soekarno ini selanjutnya dibawa ke dalam suatu kepanitian yang bertugas
merumuskan sebuah dasar negara Indonesia merdeka. Tim kecil yang
beranggotakan sembilan orang ini (selanjutnya disebut Tim 9) menghasilkan suatu
kesepakatan berupa poin-poin yang akan disahkan menjadi dasar negara Indonesia
yang disebut sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter).

Para perumus Piagam Jakarta mungkin kurang menyadari bahwa


pembubuhan nomenklatur tertentu yang terkait dengan salah satu unit kelompok
tertentu akan menimbulkan ganjalan bagi yang lain. Apalagi Jika mengingat
bahwa 99 persen dari anggota tim adalah pemeluk Islam meskipun hanya
sebagian yang mewakili ideologi dari faksi Islam.

Pada tanggal 13 Juli 1945 ketika membicarakan rancangan pertgnja UUD


diusulkan bahwa pada pasal 4 ayat 2 ditetapkan bahwa yang dapat menjadi
Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam.
Wahid Hasyim beralasan bahwa bagi masyarakat Islam hubungan antara
pemerintah dan masyarakat penting sekali. Jika presiden orang Islam dan
perintah-perintahnya berbau Islam, maka hal itu akan memiliki pengaruh yang
besar.

29
Usul-usul itu memantik reaksi yang keras dari parapeserta sidang yang
lain, termasuk tokoh Islam terkemuka Agoes Salim. Ia menyanggah jika
presiden harus orang Islam bagaimana halnya terhadap wakil presiden, duta-duta,
dsb. Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?. Namun kharisma
Soekarno mampu meredam penentangan tersebut. Ia menyatakan bahwa
diperlukan suatu pengorbanan dari elemen bangsa yang lain untuk agar
perjuangan kemerdekaan tetap berjalan pada arah yang telah dibangun. Soekarno
merasa bahwa Islam sejak masa SI telah memberi kontribusi penting bagi lahir
dan menguatnya solidaritas berbangsa.

Memang terlalu dini untuk membuat dikotomi menang-kalah demi


mengukur kekuatan politik di tanah air, karena apa yang disebut politik waktu itu
masih sebatas pertarungan elit dan belum menyentuh politik dalam artian
pengintegrasian suara elite dengan aspirasi massa akar rumput . Akan tetapi pada
prosesnya kemudian, peristiwa ini akan dicatat dalam imajinasi kolektif para
pemuka Islam Indonesia sebagai sebuah titik menggetirkan dalam sejarah.

3. MERAYAKAN DEMOKRASI: KONTESTASI DALAM


PEMIKIRAN DAN AKSI POLITIK

Sejak menjelang akhir periode revolusi hingga dua tahun pertama setelah
kembalinya Indonesia sebagai negara kesatuan, politik Indonesia telah diwarnai
pertarungan ideologis yang cukup kuat. Pergumulan ini sejatinya berakhir anti-
klimaks. Proses itu membawa kemunculan dua partai baru, PSII dan NU, serta
Satu partai lama yang kemudian lebih gigih menampilkan perannya, Perti.

Namun demikian, menjadi organisasi politik tidak setali tiga uang dengan
menjadi organisasi sosial keagamaan. Menjadi organisasi politik mengandaikan
kesiapan-kesiapan infrastruktur maupun suprastruktur yang berbeda. Yang
pertama menyangkut instrum en-instrumen keras seperti penyiapan
institusi,strategi kaderisasi dan propaganda, ketrampilan berdiplomasi, dan
sebagainya. Sementara yang kedua menyangkut masalahkesiapan visi, platform,
ideologi dan, terutama, mental.

30
Satu-satunya partai Islam yang siap baik secara infrastruktur maupun
suprastruktur adalah Masyumi. Selain dikuasai oleh para politisi muda yang
terampil dan visioner, Masyumi juga memiliki organisasi yang kokoh. Akan
tetapi, Masyumi bukan berarti tidak memiliki persoalan eksistensial. Masyumi
pada waktu itu menjadi satu-satunya partai politik yang mengalami Shock setelah
didera begitu banyak perpecahan.

Kabinet Mohammad Natsir, kabinet pertama yang dipimpin oleh


Masyumi, menjadi kabinet milik PSI dan Masyumi. Harian Merdeka bahkan
memberi cap kabinet ini sebagai kabinet PSI sepenuhnya. Di balik berbagai
kontroversi, semua kalangan menyetujui bahwa kabinet Natsir adalah sosok zaken
cabinet dalam arti sesungguhnya.

Masyumi banyak bersepaham dengan moderatisme PSI meski kerap


berbeda dalam menafsirkan sosialisme. Bagi orang-orang PSI, sosialisme mereka
berlainan dengan ajaran kaum komunis yang mendasarkan diri pada
pemberontakan, kekerasan dan diktatur proletariat. Mereka sebaliknya,
mendasarkan sosialisme untuk Indonesia yang sudah mempunyai negara dan
pemerintahan sendiri, pada kesanggupan rakyat dan bangsa kita mewujudkan
sosialisme sebagai pedoman untuk menyusun kehidupan dan masyarakat baru
yang lebih adil dan makmur. PSI menyebut sosialisme mereka sebagai
sosialisme kerakyatan.

Perdebatan dalam politik tidak hanya didukung oleh polarisasi dan


integrasi yang terjadi dalam lembaga-lembaga politik mengenai soal-soal politik.
Perselisihan politik dalam politik Islam dapat pula diakibatkan oleh perdebatan
yang terjadi mengenai soal-soal keagamaan. Materi perselisihan bisa bempa
representasi politik dan dapat pula disulut oleh persoalan dalam substansi masalah
itu sendiri.

Perdebatan yang menandai polarisasi yang cukup riuh tentang visi politik
keagamaan terjadi antara ormas-ormas Islam menyangkut bagaim ana posisi Islam
terhadap konsep ketatanegaraan. Masyarakat Islam di mana prinsip-prinsip dan
praktek-praktek Islam berfungsi sudah cukup untuk merepresentasikan suatu
eksplikasi negara Islam . Dengan pembangunan masyarakat maka pandangan

31
tentang negarapun akan berubah dan akhirnya sistem hukum Islam akan berjalan
sepenuhnya. Memaksakan pendirian negara terlebih dahulu atas masyarakat akan
berujung pada hasil yang terjadi pada negara-negara komunis.

Kalangan Perti berpendapat bahwa nilai-nilai agama harus mewarnai


kehidupan sistem politik dan kenegaraan Indonesia. Mereka meyakini bahwa
tanpa agama, bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan kemaslahatan
sesungguhnya di dunia maupun akhirat. Mereka menegaskan bahwa penetrasi
agama ke dalam sistem politik harus dimulai sejak indonesia merdeka. Akan
tetapi, hal itu tidak mutlak bahwa sebuah negara haruslah sebuah negara dengan
rumusan tunggal sebagai negara Islam.

Negara berdasar Pancasila waktu itu diteriim sebagai sebuah realitas


politik yang baik, karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Perjuangan
untuk mewujudkah sebual negara di mana al-Quran dan Hadits menjadi sumber
dari segala sumber hukumnya adalah cita-cita sesungguhnya.

Pandangan yang senada dikemukaan Nahdlatul Ulama. Partai ini


menegaskan bahwa deklarasi Negara Islam, memang Harus dilakukan sebelum
pendirian masyarakat Islam .Hanya deklarasi itu tiada artinya tanpa
menyandingkannya dengan penerapan hukum-hukum Islam yang sesuai dengan
kaidah-kaidah fikih yang sebenarnya. Yang lebih penting bagi NU adalah
penerapan syariat, terutama dalam bidang hukum keluarga serta agar negara
mendukung pendidikan agama dan ibadah ritual. Dalam hal ini, NU sangat
berkepentingan dengan penguasaan kementerian agama, karena dilihatnya hanya
lembaga itulah yang bisa dijadikan miniatur negara Islam, yang akan
mengendalikan penerapan hukum-hukum Islam seluas-luasnya dalam masyarakat.

32
BAB III : PENUTUP

Satu persoalan penting yang kerapkali ditinggalkan oleh para penulis


sejarah politik Islam adalah menentukan batas-batas konseptual tentang
bagaimana praktik politik Islam dibuat. Orang tidak memahami bahwa setiap
kelompok organisasi Islam senyatanya memiliki struktur dan dinamikanya sendiri.
Buku ini sejatinya berupaya membaca dinamika tersebut. Apa yang ditemukan
dari buku ini adalah bahwa semua kelompok Islam menerima dan memahami
pengaruh-pengaruh luar yang mengharuskan mereka untuk berubah. Jadi,
persoalannya bukan lagi pada bagaimana mereka menyikapi hal-hal asing yang
muncul dari luar diri mereka, tapi bagaimana mereka melakukan internalisasi hal-
hal tersebut ke dalam diri mereka. Inilah yang disebut sebagai proses sekularisasi.

Kelompok-kelompok umat Islam, baik yang disebut modernis maupun


tradisionalis, sama-sama dimotori oleh orang-orang baru yang mengenal
pengaruh-pengaruh asing dan berkehendak mengenalkan hal-hal baru kepada
masyarakat. Latar belakang ini semakin mununjukkan pengaruhnya saat Indonesia
melakukan konsolidasi politik dan kebangsaan tahun-tahun awal setelah
proklamasi, Sebagian besar umat Islam dan politisi Islam yang terorganisir dalam
partai-partai Islam melihat pentingnya menegakkan negara baru yang
multikultural daripada berkeras diri memaksakan berdirinya negara Islam. Buku
ini menguatkan asumsi-asumsi teoritik sebelumnya bahwa politik Islam di
Indonesia telah melakukan proses sekularisasi dalam arti yang sebenarnya.

Dari riuhnya perayaan sekularisasi, politik Islam nampaknya belum


mampu melepaskan diri dari tuntutan normatif tentang islamisme. Secara retorik,
para politisi Islam masih ingin menunjukkan diri bahwa mereka adalah bagian
dari perjuangan politik Islam. Seperti yang tampak dalam kampanye atau rapat-
rapat besar lainnya, misalnya, semua politisi Islam saling berklaim diri ingin
mewujudkan sebuah negara Islam. Namun, mereka tidak pernah memiliki
konsepsi yang jelas tentangnya. Dalam kesadaran, beban ideologi politik Islam m
emang tak pernah bisa dihapuskan. Namun, secara tidak sadar, politik Islam lebih
merasa nyaman menyusuri jalan yang telah diberikan oleh demokrasi sekuler.
Sebuah proses sekularisasi, namun setengah hati.

33
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Ahmad Yani. Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di


Indonesia. Yogyakarta: Siyasat Press. 2008

Zamjani, Irsyad. Sekularisasi Setengah Hati. Jakarta: PT. Dian Rakyat.


2009

34

Anda mungkin juga menyukai