Anda di halaman 1dari 12

BEBERAPA MODEL PENDEKATAN DAN METODE DALAM STUDI

ISLAM II

Dosen Pengampu:
Muhamad Umar Fauzi, M.Pd.I

Makalah Ini Disusun Guna untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah:
“PENGANTAR STUDI ISLAM”

Disusun Oleh Kelompok 7:


1. Ellisa Vitrianingsih
2. Moh. Dimas Yusuf Arifin

PROGAM STUDY PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI & PROGRAM STUDY
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah berkenan melimpahkan Rahmat dan Taufiq-Nya kepada
kami sehingga dapat menyelesaikan makala dengan berjudul “beberapa model pendekatan dan
metode dalam studi islam II” dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Studi
Islam.
Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kami sampaikan kepada:
Muhamad Umar Fauzi, M.Pd.I selaku Dosen Pengampu yang telah memberikan dorongan dan
bimbingan kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Kami sudah berusaha semaksimal mungkin demi terselesainya makalah ini, bila ada kekurangan
dan kesalahannya mohon kritik dan saran dari pihak untuk menuju perbaikan makalah ini.
Akhirnya kami berharap mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi
pembaca semuanya.

Nglawak,10 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL......................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang................................................................................................1
B. Rumusan masalah...........................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................1
BAB II. PEMBAHASAN
A. Peran ilmu social dalam memahami islam.....................................................2
B. Inward experience dan outward behavior dalam kajian islam........................5
C. Pendekatan Fenomenologi..............................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................12
B. Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi Islam,pendekatan studi Islam pun mengalami
perkembangan,sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.Pada bab ini dijelaskan sejumlah
pendekatanyang dapat digunakan dalam studi Islam.Untuk mempermudah pembahasan,setelah
pendahuluan diteruskan dengan uraian beberapa istilah dalam pendekatan.Islam sebagai agama yang
rahmatun lil ‘alamin tidak hanya berorientasi pada hubungan vertical melainkan juga
horizontal.Sebabkesalihan manusia tidak hanya ditunjukkan oleh hubungan vertikal dengan Allah
tetapi juga hubungan horizontal individu lain.Bahkan dalam Al-Qur’an sendiri lebih banyak
dijelaskan hubungan antara sesame manusia daripada dengan Tuhannya(Tauhid).Maka disinilah
pentingnya mempelajari ilmu social dalam memahami Islam khususnya studi islam.Dalam diskursus
keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa “agama” ternyata mempunyaibanyak wajah (multifaces)
dan bukan lagi seperti dahulumemahaminya,yakni hanya semata-mata terkait dengan masalah
ketuhanan, keimanan, kepercayaan, kredo, pedoman hidup dan seterusnya. Agama yang
sesungguhnya sarat dengan berbagikepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh
keagamaan itu sendiri. Ternyata agama yang terkait dengan historis kultural adalah kebudayaan.
Fenomenapemahaman keislaman umat Islam di Indonesia masih ditandai oleh keadaan umat variatif
dan masih terkesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi dimasyarakat masih
bercorak parsial, belum utuh dan komprehensif, dan sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman
Islam yang sudah utuh dan komprehensif, namun semuaitu belum tersosialisasikah secara menyeluruh
ke seluruh masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran ilmu social dalam memahami islam?


2. Apa inward experience dan outward behavior dalam kajian islam?
3. Apa pendekatan fenomenologi ?
C. Tujuan
1. Mengerti peran ilmu social dalam memahami islam
2. Mengerti inward experience dan outward behavior dalam kajian islam
3. Mengerti pendekatan fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran ilmu social dalam memahami islam


Rkoun mengungkapkan perlunya perbaikan terhadap hasil dari beberapa kajian
keislaman yang dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, oleh kalangan muslim, yang tidak
setuju dengan pendekatan sosiologis, baik dari sisi metodologis, terminologis serta
problematikanya, untuk digunakan dalam sebuah kajian keislaman. Kedua, oleh para
orientalis, yang dalam kajiannya, analisis yang digunakannya tidak terlalu mendalam.
Di mana mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi sejarah yang
berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan
produk dari Barat. Mereka terkadang hanya berangkat dari pendekatan linguistik (filologis),
sehingga miskin akan discourse of analysis. Dengan melihat kasus di Perancis, Arkoun
membicarakan mengenai perbedaan tradisi yang terjadi yang terjadi di tengah-tengah
keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara umum. Yakni, perbedaan antara peneliti dari
kelompok ilmu-ilmu humanities di Barat, yang tidak menekuni kajian keislaman dan warisan
intelektualnya dengan kelompok yang memang menekuni kajian-kajian keislaman (para
orientalis). Arkoun menyayangkan, sebab para orientalis itu tidak membuka wacana diskusi di
bidang epistemologi dengan para pengkaji ilmu-ilmu humanities.

Arkoun mengkritik para orientalis dengan mengungkapkan bahwa mereka telah


ketinggalan metodologis dan berwawasan sempit di bidang epistemologi. Maka Arkoun
mengajak untuk mengadakan revolusi di bidang kajian-kajian keislaman dan Arab. Arkoun
mengungkapkan bahwa para pengkaji Islam harus keluar dari sikap spesialisasi keilmuan
yang sempit, sebab sikap seperti itu dapat menyebabkan terpisahnya seorang ilmuan dari
ilmuan lainnya. Sehingga tidak mampu menghadirkan sebuah pemahaman yang benar dan
menyeluruh dari peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Faktor yang mendorong Arkoun
untuk tidak menyukai sikap spesialisasi yang sempit, sebab hal itu dapat menyebabkan
penyudutan objek kajian dan memberikannya suatu gambaran yang sepotong, tidak
menyeluruh. Menurut Arkoun, apabila semua ilmu sosial saling mendukung satu sama
lainnya, maka akan dapat menghadirkan sebuah pandangan yang universal mengenai suatu
masyarakat.

Menurut Arkoun, selama ini seorang sosiolog hanya disibukkan oleh dunianya
sendiri, ilmuan bahasa juga demikian, seorang antropolog juga demikian dan seterusnya.
Tidak ada satu pun yang saling berkomunikasi untuk menyampaikan hasil pemikirannya yang
kemudian digabungkan dalam satu kesimpulan. Padahal, berbagai macam metodologi dan
variasi ilmu akan membantu dalam memahami sebuah gerakan yang muncul di masyarakat
dan faktor yang memunculkannya.

Dalam pandangan Arkoun, akan sulit memahami apa yang terjadi di masyarakat Arab
dan Islam apabila tidak memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu
terjadi, baik faktor historis, teologis, sosial, psikologis, demografis, geografis dan seterusnya.
Untuk bisa memahami semua itu, dibutuhkan yang namanya ilmu-ilmu sosial. Namun,
masyarakat Islam masih belum melakukannya dan belum mencoba untuk mempelajarinya,
sehingga terdapat beberapa kendala ideologis, teologis dan politis yang membatasi antara
peneliti dan kajian yang ditelitinya.
Secara sederhana, dari paparan Arkoun bisa disimpulkan bahwa kekurangan dari
beberapa kajian yang dilakukan oleh Barat, terutama mengenai fundamentalisme Islam,
adalah miskinnya analisis atau epistemologi. Kajian yang mereka lakukan cukup
membosankan dan berputar-putar sekitar Islam sebagai oknum yang bertanggungjawab atas
semua peristiwa yang terjadi di masyarakat berbasis muslim. Maksudnya, Barat sering
berkeyakinan bahwa Islam bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi di
masyarakat Islam atau Arab. Mereka membebani Islam sebagai lembaga yang bertanggung
jawab dari semua peristiwa, padahal di sana terdapat beberapa faktor lain seperti sosiologis,
politis, dan ekonomi.

Dulu para penganut paham Marxis memahami sesuatu dari sudut pandang ekonomi,
dan kini para orientalis memahami sesuatu dari sudut pandang Islam. Padahal dalam
realitasnya, yang membangkitkan gejolak di masyarakat adalah banyak faktor, bukan hanya
satu faktor. Mereka berbicara mengenai Islam dengan “I” huruf besar, bukan dengan “i” huruf
kecil, dan menjadikannya sebagai faktor tunggal yang menyebabkan semua peristiwa itu
terjadi. Yang tidak dapat diintervensi oleh sesuatu yang lain. Mereka berbicara mengenai
Islam, seakan-akan Islam sebagai sumber utama dan terakhir dari semua pemikiran dan sikap
yang muncul di semua lapisan masyarakat Islam. Sementara itu, kaum fundamentalis Islam
juga menolak kajian-kajian ilmu sosial untuk digunakan dalam mengkaji Islam dan memiliki
sikap yang mudah tersinggung daripada melakukan penelitian mengenai Islam secara ilmiah.

Maka, Arkoun mengungkapkan bahwa untuk memahami masyarakat Arab atau Islam
pada masa kini, dibutuhkan metodologi nalar baru yang pluralis sesuai dengan segala
masyarakat, progresif, komparatif, revolusioner, memiliki sifat terbuka, sistematis, memiliki
analisa yang luas, universal. Nalar ini oleh Arkoun disebut dengan nalar falsafi. Nalar ini
adalah lawan dari nalar teologis. Nalar ini bersifat defensif, ofensif, dan dogmatif. Sebuah
nalar yang menutup gerak pemikiran Islam semenjak abad ke XI dan XII masehi. Nalar
teologis ini berakibat pada sakralisasi pemikiran keagamaan dan pemikiran semacam inilah
yang memunculkan gerakan fundamentalisme dalam setiap agama-agama. Islam semacam
inilah yang dikaji oleh para sarjana Barat, sebab mereka mengkaji Islam dari masyarakat
muslim yang sedang mencari kerja di Eropa.

Padahal, para pekerja muslim yang mencari sesuap roti di Eropa itu membawa potret
Islam yang cukup sederhana, sehingga tidak mungkin memahami pemikiran Islam atau
filsafat Islam hanya dengan membaca potret tersebut, namun inilah yang dilakukan oleh
masyarakat Barat dalam melihat Islam. Struktur fundamental dari al-‘aql al-falsafi adalah
logis, human properties, kritis, dan essense.
Sementara struktur fundamental dari al-‘aql al-dini adalah teks/wahyu
dan untinkable. Maka wajib bagi ilmuan sosial untuk membongkar paradigma itu, sebab
banyak sekali para peneliti yang tidak peduli dengan hal ini dalam melakukan kajian
mengenai Islam. Mereka hanya memperhatikan peristiwa-peristiwa yang sering muncul ke
permukaan dengan mengkaji para tokohnya atau pemimpinnya.

Namun, mereka tidak mau mengkaji lebih jauh dari itu. Maka langkah untuk
membebaskan diri dari belenggu ungkapan-ungkapan dan teks-teks keimanan adalah dengan
melakukan pembebasan sejarah, bukan hanya dari metode sejarah filologi abad ke-19, namun
juga dari para sejarawan yang menggabungkan antara filologi, sosiologi, ontologi dan
antropologi. Setiap ilmu itu harus digunakan untuk memahami dua sumber baku yang
diyakini oleh umat Islam dan membongkarnya dari dalam.

Dengan menguasai beberapa ilmu tersebut akan dapat dicapai suatu pemahaman yang
utuh terhadap istilah-istilah, pemikiran-pemikiran, gambaran-gambaran klasik yang
bermacam-macam, yang penuh dengan keyakinan dan ketakwaan. Sesungguhnya, bekunya
pemikiran Islam selama beberapa abad telah menyebabkan lemahnya nalar kritik. Peran
pemikiran Islam telah dikalahkan oleh sebuah pembenaran atas sebuah keimanan dan
posisinya telah diselewengkan.

Dari posisi yang sebenarnya oleh pihak penguasa dan tokoh-tokoh agama, bahkan
terkadang menjadi alat mekanis yang tidak mungkin dapat dikendalikan lagi, sebab tekanan
dari lingkungan. Pemikiran dogmatis tersebut telah menyebabkan tertinggalnya nalar kritis
atau menyebabkan berhentinya tugas nalar itu dari kerjanya hingga sekarang. Pemaksaan
teologis dan politis itu pun masih terus berlanjut hingga sekarang.

Ironisnya, semua itu dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang memiliki kedekatan
dengan penguasa. Mereka kemudian diberi jabatan sosial dan politik untuk membungkam dan
mempertahankan pendapat penguasa. Sebagai contoh, ketika terjadi pemaksaan atas paham
al-Qur’an sebagai makhluk, muncul seorang penguasa yang memaksakan pemahaman bahwa
al-Qur’an bukan merupakan makhluk untuk melawan paham Muktazilah.

Yang mengakui al-Qur’an sebagai makhluk. Ia pun memaksakan masyarakat Islam


untuk membaca teks akidah Qadiriyyah di setiap masjid di Baghdad. Maka, kemudian
muncullah pernyataan yang menetapkan bahwa siapa saja yang mengatakan bahwa al-Qur’an
adalah makhluk, maka ia boleh dibunuh. Semenjak itu, tidak ada yang berani memunculkan
pemikiran Muktazilah ataupun membicarakannya.

Demikianlah bagaimana dogma Islam Sunni yang sering disebut sebagai paham
ortodoksi menjadi merasuk ke dalam jiwa umat Islam. Kondisi semacam ini pun terus
berlanjut hingga masa pemerintahan Uthmani pada periode awal (penganut Hanafi), yang
mewajibkan paham Sunni sebagai paham tunggal dan dianggap paham yang paling benar
dalam memahami Islam. Sementara itu, di wilayah lain, tepatnya di Iran, kaum Safawid juga
mewajibkan paham Syi’ah Imamiyyah sebagai paham tunggal yang paling benar dalam
memahami Islam.

Demikian pula yang terjadi di beberapa wilayah Islam lainnya. Maka pada abad ke-
19, warisan yang diperoleh oleh aliran skolastik merupakan warisan yang miskin, di mana
kekuasaan Utsmani menyatakan sebagai kekuasaan Tuhan. Begitu juga dalam tarekat-tarekat
sufi, yang berada di bawah kekuatan politik-agama, mereka menciptakan tradisi
pengangkatan-pengangkatan santrinya ke derajat wali yang cukup suci.

Mereka menganggap para kaum santri yang telah mencapai derajat wali itu sebagai
orang yang mampu mendekati Tuhan dan mampu memberikan manfaat bagi rakyat miskin
dan bodoh yang melindungi mereka dari segala macam bentuk musibah. Islam yang semacam
inilah yang dilihat pertama kali oleh masyarakat Eropa ketika mereka datang untuk menjajah
negara-negara Muslim.

Islam semacam ini pulalah yang dikaji oleh ilmuan antropologi dan sosiologi untuk
beberapa abad silam. Mereka melihat Islam sebagai bentuk khurafat, mistis, agama yang
terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok tertentu. Oleh karenanya, Arkoun menawarkan
teori baru dalam mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan multi-interdisipliner;
filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, dan kritik literal. Teori ini yang kemudian disebut
dengan istilah al-‘aql al-jadid al-istithla’i.
B. Pendekatan Inward Experience dan Outward Behaviour dalam
Kajian Agama
Sebagai penjelasan awal untuk istilah inward experience dan outward behaviour ini,
penulis mulai dari pernyataan ‘Âmir al-Najjâr, salah seorang pengkaji dan pengamal ajaran
tasawuf, yang mengatakan bahwa pengalaman yang dirasakan dalam mengamalkan ajaran
tasawuf tidak dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Pengalaman itu sangat internal,
berada di bagian terdalam diri manusia. Pengalaman itu tidak dapat dijelaskan melalui bahasa
tulis maupun lisan. Pengalaman itu hanya dapat dijelaskan melalui praktik secara langsung
dengan melakukannya sendiri, sehingga dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Pengalaman terdalam dari sesuatu aktivitas tadi sifatnya sangat privat, dan hanya mampu
dipahami oleh pelakunya.
Pengalaman terdalam inilah yang menjadi dasar awal untuk memahami istilah inward
experience dalam kajian ini.Jika merujuk pada tulisan Adams, ditemukan penjelasan untuk
istilah inward experience tersebut. Ia menjelaskan bahwa inward experienceadalah dimensi
batin dalam agama, suatu wilayah kesadaran, perasaan dan tanggung jawab yang besifat
personal atau tidak dapat dikomunikasikan melalui tulis maupun lisan. Area ini hanya dapat
diakses secara parsial oleh seseorang dan sering tidak dapat diakses secara keseluruhan.
Hanya pelakunya (insider) yang mampu memahaminya. Sementara outward behaviour
menurut Adams adalah manifestasi eksternal agama yang dapat diamati dan dikomunikasikan,
dapat dijangkau oleh orang lain (outsider) karena area ini bersifat eksternal yang tampak oleh
kasat mata.
Banyak sekali tawaran-tawaran istilah yang telah dimunculkan oleh para sarjana,
terkait dengan dua model pendekatan di atas. Dalam bahasa Arab, dua istilah di atas (inward
experience dan outward behaviour)dapat disebut dengan istilah al-z}âhir (untuk outward
behaviour) dan albât}in (untuk inward experience). Streng dalam Understanding Religious
Lifemenggunakan istilah pengalaman objektif (objective experience) untuk outward
behaviour dan pengalaman subjektif (subjective experience) untuk inward experience.
Menurutnya, hakikat agama itu terletak pada pengalaman keagamaan seseorang (inward
experience), sehingga agama dipahami secara berbeda oleh masing-masing pemeluknya
sesuai dengan perasaannya yang terdalam (deepest personal feelings).26Dengan istilah yang
mirip, Amin dalam acara AICIS XIV di Samarinda menyebut istilah subjectivity of
religiousity dalam rangka menjelaskan pengalaman keagamaan internal, dan objectivity of
religiousityuntuk perilaku eksternal.
Sementara pada makalah yang pernah penulis presentasikan pada AICIS XII
di Surabaya, penulis memunculkan istilah eksoteris dan esoteris, meskipun penggunaan dua
istilah itu penulis gunakan untuk konteks yang lain. Tetapi istilah eksoteris dan esoteris juga
dapat digunakan sebagai alat bantu dalam memahami konsep inward experience dan outward
behaviour yang dimaksud pada tulisan ini. Bahwa inward experience dapat kita kategorikan
ke dalam aspek esoteris (aspek dalaman), sementara outward behaviour dapat kita
kategorikan aspek eksoteris (aspek luaran).28Istilah yang lain juga ditemukan dalam kajian
yang dilakukan oleh Bassam Tibi, ketika menggunakan istilah models of reality dan models
for reality.
Aspek eksternal (outward behaviour) komunitas beragama lebih dekat dengan konsep
models of reality, sementara aspek internal (inward experience) pada diri komunitas
beragama lebih dekat dengan konsep models for reality. Wilfred Cantwell Smith juga
mengusulkan dua pendekatan di atas untuk kajian agama meskipun dengan menggunakan
istilah yang berbeda, yaitu tradition dan faith.30 Tradition adalah aspek eksternal keagamaan,
aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Sementara faith
adalah aspek internal yang tidak dapat tersampaikan melalui penjelasan kata, memiliki
orientasi transenden, dan berdimensi pribadi dalam kehidupan beragama.
Uraian di atas menjadi penguat bagi kita untuk sepakat dengan pernyataan Smith
yang menyebutkan bahwa visi Islam ketika ia berkembang ke berbagai negara dengan budaya
yang berbeda, tidak akan sama dari satu tempat ke tempat lainnya, atau dari satu waktu ke
waktu yang lainnya.perbedaan itu terjadi karena ketika ajaran Islam bersentuhan dengan
masyarakat, ia membentuk suatu tradisi kultural. Tradisi kultural itu pun kemudian dengan
sendirinya tumbuh dan berubah.
Sesungguhnya inti dari dua model pendekatan pengalaman batin (inward experience)
dan perilaku eksternal (outward behaviour) dalam tulisan ini adalah memahami aspek
perasaan dan pengalaman dari pemeluk agama yang bersangkutan (believer) yang oleh Amin
diistilahkan dengan cara memahami model keberagamaan seseorang melalui pendekatan
outsider. Di sinilah poin penting dalam menjelaskan model pendekatan pengalaman batin
(inward experience)dan perilaku eksternal (outward behaviour) dalam kajian agama pada
tulisan ini.
C.Pendekatan fenomenologi
Pendekatan ini lahir dalam seperempat akhir abad ke-19, pendekatan ini
menggunakan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal. Di
amerika utara pendekatan ini dikenal dengan sejarah agama atau perbandingan agama.
Pertama, fenomenologi diartikan sebagai metode memahami agama orang lain dengan cara
menempatkan diri pada posisi netral. Fenomenologi digunakan untuk menerapkan metode
dalam meletakkan pandangan subjektif peneliti. Kedua, sebagai konstruksi skema dalam
menglasifikasikan fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama, budaya dan
zaman. Intinya adalah mencari esensi, makna dan struktur pengalaman keagamaan manusia
secara keseluruhan. Dalam pengalaman keberagamaan manusia ada esensi yang irreducible
dan itulah struktur fundamental manusia beragama.
Prestasi besar pendekatan fenomenologis adalah adanya keniscayaan pandangan
bahwa norma dari semua studi tentang agama adalah pengalaman kaum beriman itu sendiri.
Oleh karena itu, kepentingan dasar yang menjadi soal fenomenologi ini adalah terkait dengan
pertanyaan apa yang telah dialami, dirasakan, dikatakan, dan dilaksanakan oleh orang
beragama itu sendiri, terutama pengalaman yang bermakna bagi pemeluknya. Dengan
demikian, tujuan dari studi fenomenologi adalah untuk menjelaskan makna-makna sehingga
memperjelas apakah ritus, seremoni, doktrin atau reaksi sosial itu mengandung arti bagi
pelakunya dalam peristiwa keagamaan. Selain itu, fenomenologi menghendaki agar untuk
memberikan makna terhadap fenomena keagamaan secara memadai, maka seorang peneliti
dituntut berpikir secara komprehensif.
Kajian fenomenologi berupaya untuk memahami makna keagamaan yang ada dalam
pemeluknya dengan menganalisa. Ia merupakan pendekatan yang memiliki sikap terbuka dan
empati (open and empathetic approaches). Pendekatan fenomenologis berupaya untuk
memanifestasikan agama melalui metode deskripsi murni, di mana penilaian peneliti tentang
nilai dan kebenaran ditangguhkan (epoche), objek ditangkap esensinya (eidetic vision), agama
tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki
dari kehidupan manusia (essential aspect of human life), keragaman ekspresi perilaku
keagamaan manusia dipilih dan disaring.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan
mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan produk dari
Barat. Dengan melihat kasus di Perancis, Arkoun membicarakan mengenai perbedaan tradisi
yang terjadi yang terjadi di tengah-tengah keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara
umum.
Yakni, perbedaan antara peneliti dari kelompok ilmu-ilmu humanities di Barat, yang
tidak menekuni kajian keislaman dan warisan intelektualnya dengan kelompok yang memang
menekuni kajian-kajian keislaman (para orientalis). Faktor yang mendorong Arkoun untuk
tidak menyukai sikap spesialisasi yang sempit, sebab hal itu dapat menyebabkan penyudutan
objek kajian dan memberikannya suatu gambaran yang sepotong, tidak menyeluruh.
Padahal, berbagai macam metodologi dan variasi ilmu akan membantu dalam
memahami sebuah gerakan yang muncul di masyarakat dan faktor yang memunculkannya.
Dalam pandangan Arkoun, akan sulit memahami apa yang terjadi di masyarakat Arab dan
Islam apabila tidak memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu terjadi,
baik faktor historis, teologis, sosial, psikologis, demografis, geografis dan seterusnya.
Sebagai penjelasan awal untuk istilah inward experience dan outward behaviour ini,
penulis mulai dari pernyataan ‘Âmir al-Najjâr, salah seorang pengkaji dan pengamal ajaran
tasawuf, yang mengatakan bahwa pengalaman yang dirasakan dalam mengamalkan ajaran
tasawuf tidak dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Menurutnya, hakikat agama itu
terletak pada pengalaman keagamaan seseorang (inward experience), sehingga agama
dipahami secara berbeda oleh masing-masing pemeluknya sesuai dengan perasaannya yang
terdalam (deepest personal feelings).26Dengan istilah yang mirip, Amin dalam acara AICIS
XIV di Samarinda menyebut istilah subjectivity of religiousity dalam rangka menjelaskan
pengalaman keagamaan internal, dan objectivity of religiousityuntuk perilaku eksternal.
Pendekatan fenomenologis berupaya untuk memanifestasikan agama melalui metode
deskripsi murni, di mana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran ditangguhkan
(epoche), objek ditangkap esensinya (eidetic vision), agama tidak dipandang sebagai satu
tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia
(essential aspect of human life), keragaman ekspresi perilaku keagamaan manusia dipilih dan
disaring.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat bertujuan untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan
dalam Aliran Pemikiran Modern Dalam Islam. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi semua
pihak, dan penulis berharap para pembaca mulai dari sekarang membuat konsep penulisan sumber
data sesuai dengan aturan yang tepat dan benar. Mohon maaf jika dalam makalah ini banyak
kekurangan dan kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.fikriamiruddin.com/2021/01/peran-ilmu-sosial-dalam-memahami-
islam.html

Anda mungkin juga menyukai