Anda di halaman 1dari 23

LANDASAN SOSIOLOGI PEDAGOGIK PROFETIK

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pedagogik Propetik

Dosen Pengampu:
Dr. KH. Aam Abdussalam, M, Pd.

oleh
Burhan Kurniansyah
NIM 2013072

SEKOLAH PASCASARJANA
PRODI PEDAGOGIK
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Subhannahu wata’ala. Shalawat dan salam
semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita Rosululloh shallahu’alaihi wa
sallam. Berkat ridho dan rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “Landasan Sosiologi Pedagogik Propetik”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
tidak luput dari berbagai kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika
penulisannya. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan makalah ini, kearah yang lebih baik. Sehingga
makalah ini bisa memberikan manfaat bagi proses pembelajaran pedagogik
propetik ke depan.

Bandung, Maret 2021


Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 1
1.3 Tujuan...................................................................................................... 1
1.4 Manfaat.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
2.1 Landasan Sosilogi................................................................................... 2
2.2 Pedagogik Profetik..................................................................................4
2.3 Landasan Sosilogi Pedagogik Profetik....................................................5
2.4 Implikasi Landasan Sosilogi Pedagogik Profetik....................................8
BAB III PENUTUP.........................................................................................17
3.1 Simpulan..................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemahaman pendidikan profetik ini muncul berawal dari potret pendidikan Islam
yang lepas dari dasar-dasar kemanusian, inilah akhirnya memunculkan tatacara hidup yang
tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan saat ini mengabaikan
idealisme yang mencerminkan proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusiaan.
Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan harus memandang manusia menjadi subjek
pendidikan. Proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia,
yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah
di muka bumi ini.
Kegagalan pendidikan selain daripada meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dalam
pendidikan Islam muncul adanya pengdikotomian ilmu. Dari sinilah kemudian istilah
pendidikan profetik hadir sebagai upaya alternatif untuk menyelamatkan krisis yang terdapat
dalam pendidikan Islam. Moh. Shofan dalam buku karangannya tentang Pendidikan
Berparadigma Profetik menyatakan bahwasanya krisis dalam pendidikan Islam muncul
karena adanya dikotomi epistemologi antara ilmu agama dan ilmu umum, antara ilmu modern
Barat dan ilmu tradisional Islam.
Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan
manusia, yang dalam terminologi Islam sering disebut sebagai insan kamil. Selanjutnya
Khoiron Rosyadi sebagai salah satu tokoh juga yang menggagas pendidikan profetik
berpendapat bahwa melihat pendidikan Islam itu adalah suatu ikhtiyar dalam menanamkan
nilai-nilai Islami yang tidak terlepas dari landasan organik (Alquran dan Sunnah) yang
sebagai tujuan akhirnya adalah manusia taqwa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Landasan Sosiologi Pedagogik Profetik ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Landasan Sosiologi Pedagogik Profetik
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini secara umum diharapkan bisa memberikan pengetahuan kepada kita dalam agar
megetahui dan memahami landasan Sosiologi Pedagogik Propetik.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Sosilogi
Secara etimologis Sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’
dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’,
sedangkan ‘logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian
istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Maksum, 2013). Sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur
sosialnya. Secara terminologis, beberapa ahli mendefinisikan sosiologi secara agak berbeda.
Marx Weber memandang sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan
sosial. Sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative
understanding) tindakan sosial serta hubungan sosial.
Pitirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
(a) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka ragam gejala-gejala sosial (misal:
antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; dan
gerakan masyarakat dengan politik); (b) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-
gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial (misal: gejala geografis dan biologis).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang
masyarakat atau cabang ilmu sosial yang mempelajari secara sistematik kehidupan bersama
manusia yang ditinjau dan diamati dengan menggunakan metode empiris yang di dalamnya
terkandung studi tentang kelompok-kelompok manusia, tatanan sosial, perubahan sosial,
sebab-sebab sosial, dan segala fenomena sosial yang mempengaruhi perilaku manusia. Jadi
sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia itu
berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit
masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain.
Asnawan, (2016) mengemukakan bahwa sosiologi sebagai disiplin ilmu memang lahir
di Eropa (barat), namun dalam pendekatannya, sosiologi barat yang lebih dikenal dengan
sosiologi kontemporer, belum dapat menampilkan gejala-gejala masyarakat secara universal,
sosiologi kontemporer yang lahir dan dikembangkan ternyata memiliki kelemahan-
kelemahan dalam teori-teorinya sehingga seringkali kaidah-kaidah yang dikemukakan di
barat ternyata tidak relevan dan tidak dapat diaplikasikan pada wilayah timur. Misalnya teori-
teori tentang kejahatan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-
penelitian di pusat kota New York dan chicago namun tidak menjelaskan masalah kejahatan

2
dan penyimpangan-penyimpangan yang ada di Uni Soviet, Pakistan, Mesir, Indonesia dan
masyarakat-masyarakat

3
3

serupa lainnya. Begitu juga teori tentang ekonomi, politik tentu sangat tidak sesuai
yang ada di barat dengan di negara-negara Islam, dikarenakan perbedaan ideologi dan
kebudayaan, begitu juga dengan stratifikasi sosial, perkawinan dan keluarga. Dalam hal ini
Sayyid Quthub berpendapat, bahwa sistem sosial yang dikembangkan di barat sangat berbeda
dan tidak sesuai dengan sistem sosial yang dibangun oleh Islam. Islam memiliki sisitem
sosial sendiri yang bersumber dari alquran dan akan selalu bersifat dinamis bagi seluruh
manusia karena langsung berasal dari Allah, bukan dari sistem sosial yang dibangun oleh
evolusi perjalanan sejarah manusia. Sistem sosial yang dibangun dalam Islam, pada
kenyataannya dapat berjalan dengan baik dan tetap eksis terhadap perkembangan zaman.
Dalam landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari
norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar
pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan
masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya
menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi
oleh masing-masing anggota masyarakat.
Menurut Wuradji. (2008) Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam
norma yang dianut oleh pengikutnya:
1. Paham individualisme
2. Paham kolektivisme
3. Paham integralistik
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup
merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masing-masing,
asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara
pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat.
Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara
anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan
dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis.
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham kolektivisme yang memberikan kedudukan
yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan
hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. dalam masyarakat yang menganut paham
integralistik; masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain
secara organis merupakan masyarakat.
4

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang


bersumber dari norma kehidupan masyarakat:
1. Kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat.
2. Kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat.
3. Negara melindungi warga negaranya
4. Selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban.
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia
orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

2.2 Pedagogik Profetik


Istilah pendidikan pada mulanya berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogie” yang
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. M. Ngalim
Purwanto memberikan memberikan pengertian dari istilah pendidikan yaitu segala usaha
orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan atau lebih jelas lagi pendidikan ialah pimpinan
yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalampertumbuhannya
(jasmani dan rohani) agar berguna bagi masyarakat.
Secara historis pengetahuan serta pemikiran profetik diperbincangkan sangat intensif
oleh Ibnu Arabi (1165-1241) yang secara garis besar mengkritik pengetahuan serta pemikiran
Yunani serta menawarkan profetik yang intinya adalah dialektika manusia, alam dan Tuhan
dikembangkan untuk mendapatkan produk pemikiran baru sebagai alternatif pemikiran barat
yang dinyatakan gagal. Kemudian di Indonesia lebih lanjut oleh Roqib dalam pemikiran
profetiknya, memunculkan gagasan yang mengarah kepada pendidikan dan menjadi sebuah
teori baru pendidikan profetik, yang terilhami dari pemikiran kuntowijoyo yang menjadi
dasar profetik (humanisasi, liberasi, dan transendensi) yang dijadikan dalam pengembangan
pendidikan profetiknya. Tiga pilar dasar profetik itu menjadi keharusan berdialektika dengan
budaya local agar tetap kokoh karena tidak berhadapan dengan budaya setempat selama
budaya tersebut tetap dalam bingkai akhlakulkarimah atau etika yang baik. Budaya sebagai
landasan gerak langkah perilaku individu ataupun kelompok sosial harus dibangun dengan
mempertahankan yang positif dan mengambil secara kreatif hal baru yang lebih baik dan
bermanfaat dalam kehidupan. Disamping itu pula perlu didasari oleh cara pandang nilai-nilai
kenabian yakni: a). Dasar tauhid menjadikan ilmu sosial, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi tidak terpisahkan dengan filsafat dan tasawuf, b). Dasar nabi (prophet) sebagai
5

sosok pandangan model uswatun hasanah serta seorang manusia yang diberi kemampuan
oleh Tuhannya, c). Dasar ilmu sebagai medan sentuh pemikiran akal manuisa yang
disandarkan kepada Allah.

2.3 Landasan Sosiologi Pedagogik Profetik


Begitu besar perhatian Islam terhadap orang lain atau masyarakat. Muchith, (2016)
Indikator keberhasilan dalam beragama tidak cukup dilakukan dengan kualitas individual
melainkan harus didukung dengan kualitas sosial. Islam adalah agama yang kompleks, utuh,
komprehensif dan memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Tampilan atau wajah Islam bisa
dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti sudut pandang tauhid, sudut pandang hukum
(fiqh), sudut pandang filsafat, psikologi dan sosiologi.
Sosiologi dan ilmu pendidikan memiliki wilayah kajian yang berbeda. Namun karena
perkembangan sosial yang berlangsung menyebabkan kedua disiplin ilmu ini bersinergi.
Dengan kata lain, sosiologi pendidikan merupakan subdisiplin yang menempati wilayah
kajian yang menjembatani disiplin sosiologi dengan ilmu pendidikan. Ruang jembatan
tersebut secara garis besar diisi dengan titik-titik persentuhan dalam konsep, teori,
metodologi, ruang lingkup, maupun pendekatan yang dipergunakan.
Secara historis, sosiologi dan pendidikan dianggap sebagai pengetahuan kuno, yang
keberadaannya berbarengan dengan awal mula adanya manusia. Apabila sosiologi dipahami
dalam arti luas, yakni sebagai social interraction (interaksi sosial) atau human relationship
(hubungan antar manusia), maka sosiologi telah ada sejak zaman Nabi Adam. Namun
sosiologi dalam pengertian scientific (ilmu pengetahuan), yakni sebagai ilmu yang
tersistematisasi dan bermetode, maka baru diakui sejak abad ke 19 melalui Auguste Comte
(1798-1857), yang kemudian ia dikenal sebagai bapak pendiri sosiologi.
Berkenaan dengan Islam tentang sosiologi dalam Al-Qur’an Allah Berfirman :
‘’Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.(QS.49:13)
Segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada
semua manusia agar mereka menganut agama Islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan
kepada umat Islam secara khusus untuk menunjukkan peraturan-peraturan yang harus mereka
6

ikuti. Karena itu, maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar
dari ajaran Al-Quran tanpa mengurangi universalisme Islam.
Melihat universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada
penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak kepada kebenaran,
kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian; menghindari pertentangan dan
perselisihan, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak
bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar manusia secara universal
dengan tidak mengenal suku, bangsa dan agama.
Adapun dalam hal pendidikan dipahami dalam arti luas, yakni sebagai proses belajar,
mengenal, dan mengetahui, maka pendidikan telah ada sejak zaman Nabi Adam juga. Ketika
Allah swt mengajari Adam utuk mengenal nama-nama seluruh benda yang ada di sekitarnya,
dapat dikatakan bahwa peristiwa tersebut sebagai aktivitas pendidikan (QS. Al-Baqarah: 31):
“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya kemudian Dia perlihatkan
kepada para Malaikat seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika
kamu yang benar!’”.
Pendidikan memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Mengingat pentingnya
pendidikan bagi kehidupan manusia, maka Islam sebagai Agama yang rahmatan lil alamin,
memberikan perhatian serius terhadap perkembangan pendidikan bagi kelangsungan hidup
manusia (Baharun, 2016). Dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk
mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk yang
berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-
praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (Muhaimin, 2005).
Pada hakikatnya, pendidikan adalah suatu proses yang berlangsung secara kontinu
dan kesinambungan. Pendidikan haruslah merefleksikan kebutuhan dasar manusia agar ia
layak dan cukup intelegen hidup dalam lingkungannya (Baharun, 2012). Pendidikan sangat
penting untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia (Bali, 2013). Islam
mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan anaknya, Firman Allah SWT (QS. 66.6), “Hai orang-orang
yang beriman, periharalah diri dan keluargamu dari api neraka”. Mengingat keterbatasan
orang tua dalam memberikan pendidikan di rumah karena harus mencari nafkah untuk
memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, maka orang tua kemudian menyerahkan anaknya
kepada pendidik di sekolah untuk mendidik. Para pendidik merupakan orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak (Arif, 2008).
7

Ilmu sosial profetik adalah ilmu sosial yang dalam pengembangan ilmu, didasarkan
dengan konsep keilahian (Kuntowijoyo, 2011), dengan Ilmu sosial profetik yang dibangun
dari ajaran Islam, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains barat dan arus
globalisasi yang terjadi saat ini (Nata, 2003).
Pilar-pilar pendidikan Islam tersebut dibangun atas dasar tauhid, hubungan yang
harmonis antara Allah SWT, manusia, dan alam, berorientasi pada moralitas Islam dan
akhlak mulia, kesucian manusia dan menjadikan masjid sebagai pusat peradaban (Assegaf,
2011). Karena dalam pandangan Islam ilmu, amal, dan akhlak hendaknya berintikan dan
menimbulkan iman dalam diri seseorang.
Rasulullah saw bersabda bahwa: “Baragsiapa yang tambah ilmunya tapi tidak
tambah imannya, maka baginya tidak tambah apapun disisi Allah swt. Kecuali semakin jauh
darinya”.
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya,
Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education adalah cabang ilmu Sosiologi, yang
pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan
pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover (dalam Natawidjaja, 2007:
81). mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut:
1.    Hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lain
2.    Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar,
3.    Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan
4.    Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik
Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana
harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana
sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada
level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat defenisi sebagai cabang sosiologi yang
memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata
kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi social antara
orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta
didik. Natawidjaja (2007).
8

2.4 Implikasi Landasan Sosilogi Pedagogik Profetik


Pendidikan memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Mengingat pentingnya
pendidikan bagi kehidupan manusia, maka Islam sebagai Agama yang rahmatan lil alamin,
memberikan perhatian serius terhadap perkembangan pendidikan bagi kelangsungan hidup
manusia (Baharun, 2016). Dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk
mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk yang
berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-
praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (Muhaimin, 2005).
Pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai
pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus
beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Allah juga menjelaskan, bahwa
sesungguhnya Rasul adalah sebaik-baik contoh teladan bagi kamu sekalian “Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(Q.S. al-Ahzab: 21).
Pendidikan yang tidak menghasilkan lulusan yang pragmatik dan kehilangan
moralnya terutama nilai iman (tauḥid), artinya dalam hal ini pendidikan yang memiliki
keutuhan sinergitas dari iman, Islam dan mewujud dalam perilaku yang berekadaban (iḥsan).
Sebelum paradigma profetik mulai menggema seperti sekarang ini, terlebih dahulu paradigma
profetik dari Kuntowijoyo dengan “ilmu sosial profetik”. Bahwa nilai profetik yang dapat
diukur perubahan sosial ini tercakup pada ketiga kandungan nilai ayat 110 surat Ali Imron:
“Engkau adalah umat yang terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan
kebaikan (amar ma‟ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar), dan beriman kepada Allah
Swt. Kuntowijoyo menginterpretasikan bahwa ayat tersebut memuat tiga hal dasar, yaitu
humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Humanisasi sebagai deriviasi dari amar ma‟ruf mengandung pengertian kemanusiaan
manusia. Liberasi yang diambil dari nahi munkar mengandung pengertian pembebasan.
Sedangkan transendensi merupakan dimensi keimanan manusia. Ketiga muatan itu
mempunyai implikasi yang sangat mendasar dalam rangka membingkai kelangsungan hidup
manusia yang lebih humanistik. Tiga pilar profetik Kuntowijoyo inilah kemudian juga
menjadi pilar dalam pendidikan profetik. Pendidikan yang pada dasarnya adalah
permasalahan kemanusiaan, maka sasaran bidik yang pertama adalah manusia (antropologi).
Oleh karena itu starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-
9

filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan dirinya sebagai
khalifah di bumi. Pendidikan yang lepas dari dasar-dasar inilah yang pada akhirnya
melahirkan tatacara hidup yang tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai- nilai kemanusiaan.
Jadi, pendidikan profetik merupakan upaya dalam rangka memaksimalkan peranan dan
menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan dalam setting teologis filosofis. Bukan
sebagai objek pendidikan, yang oleh Paulo Freire, dikatakan sebagai konsep bank.
Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan
manusia, yang dalam terminologi Islam sering disebut sebagai insan kamil, dan manusia
taqwa. Pendidikan profetik sejatinya merupakan proses untuk memanusiakan manusia,
dalam konteks ini ada dua agenda penting yakni proses pemanusiaan dan proses
kemanusiaan. Proses pemanusiaan adalah sebuah agenda pendidikan untuk menjadikan
manusia lebih bernilai secara kemanusiaan, membentuk manusia menjadi insan sejati,
memiliki dan menjunjung tinggi tata nilai etik dan moral, memiliki semangat spiritualitas.
Proses kemanusiaan adalah sebuah agenda pendidikan untuk mengangkat martabat manusia
melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keterampilan profesional yang
dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Misi pendidikan profetik tidak terlepas dari misi utama nabi yang diutus oleh Allah
untuk memperbaiki karakter dan perilaku ummat. Perbaikan karakter dan perilaku merupakan
bagian sangat penting untuk membangun kualitas hidup dan peradaban manusia. Membentuk
manusia agar memiliki keseimbangan sinergis antara jasmaniah dan rohaniah. Keseimbangan
kemampuan antara pembaca tanda-tanda Tuhan di dalam kitab suci (ayat-ayat qauliyyah) dan
tanda-tanda Tuhan ada di alam raya (ayat-ayat kauniyyah). Sedangkan misi sentral
pendidikan nabi Muhammad SAW, adalah menanamkan akidah tauhid yang benar,
mendidikan manusia untuk memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan secara
holistik membentuk manusia yang memiliki kualitas yang seimbang antara iman, ilmu, dan
amal. Cakap lahiriah maupun batiniah, kualitas yang seimbang antara emosional, rasional,
dan spiritual, menegakkan masyarakat yang adil, sehat, harmonis, sejahtera secara material
dan spiritual, dan mengembangkan kualitas kehidupan manusia, menyucikan moral
membekali manusia modal yang diperlukan untuk hidup bahagia di dunia dan bahagia di
akhirat.
Selanjutnya Rasulullah SAW meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut
kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian, status orang tua sebagai
pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang
10

tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan
pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.
Apabila kita merujuk pada kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh,
tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan secara istilah, Harun
Nasution mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan pandangan di atas,
pendidikan Islam berarti sistem yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai Islam yang telah menjiwai dan
mewarnai corak kepribadiannya. Dengan kata lain, manusia yang mendapatkan pendidikan
Islam harus mampu hidup di dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan
oleh cita-cita Islam.
al-Jamali menjelaskan bahwa pengertian pendidikan Islam yaitu dengan “Upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggidan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi
yang sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan”.
Sedangakan menurut Ahmad Tafsir, secara sederhana pengertian pendidikan Islam adalah
pendidikan yang berwarna Islam. Maka pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang
berdasar Islam. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam itu sangat mewarnai dan mendasari
seluruh proses pendidikan. Menurut Abdurahman al-Nahlawi, pendidikan Islam adalah
pengembangan pikiran manusia dan penataan tingkah laku serta emosinya berdasarkan
Agama Islam, dengan maksud merealisasikan tujuan Islam di dalam kehidupan individu dan
masyarakat, yakni dalam seluruh lapangan kehidupan. Artinya bahwa pendidikan Islam
merupakan suatu proses yang sebelum sesuatunya berkaitan dengan kegiatan mempersiapkan
akal dan pikiran manusia, serta pandangannya tentang alam, kehidupan, peran dirinya dan
hubungannya dengan dunia.
Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan
manusia, yang dalam terminologi Islam sering disebut sebagai insan kamil. Selanjutnya
Khoiron Rosyadi sebagai salah satu tokoh juga yang menggagas pendidikan profetik
berpendapat bahwa melihat pendidikan Islam itu adalah suatu ikhtiyar dalam menanamkan
nilai-nilai Islami yang tidak terlepas dari landasan organik (Alquran dan Sunnah) yang
sebagai tujuan akhirnya adalah manusia taqwa.

2.4.1 Hubungan Dalam Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat


11

1. Hubungan Dalam Keluarga


Dalam rangka mewujudkan itu semua maka tanggung jawab pendidikan tidak
terlepas dari tanggung jawab keluarga dalam bentuk pendidikan informal, tanggung jawab
sekolah dalam bentuk pendidikan formal serta tanggung jawab masyarakat dalam bentuk
pendidikan non formal. Keluarga, sekolah dan masyarakat yang bersinerji amat mendukung
terselenggaranya suatu pendidikan Keluarga, sekolah dan masyarakat dalam leteratur Ilmu
pendidikan sering disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan
merupakan salah satu sistem yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan secara
berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bahkan saling mempengaruhi
antara satu dengan yang lainya dalam rangka mensukseskan tujuan pendidikan baik di rumah,
sekolah maupun masyarakat.
Keluarga Islam merupakan pondasi dasar terbentuknya bangunan masyarakat Islam,
bagian paling utama dalam keluarga Islam adalah ibu, seorang bapak yang baik tidak dapat
membangun sebuah keluarga Islam tanpa bantuan seorang ibu yang juga baik, karena ibu
yang baik dapat melahirkan anak-anak yang saleh. Dalam lembaga ini sebagai pendidik
adalah orang tua, kerabat, famili dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga
sebagai penanggung jawab. Keluarga Islam bagi umat muslim bagaikan tembok pertahanan
yang harus selalu kokoh bangunannya serta kuat pondasinya, tembok pertahanan dapat selalu
berdiri tegak jika dijaga dan diawasi supaya tidak dapat diruntuhkan oleh musuh, begitu
pula keutuhan rumah tangga dapat terjaga dengan anggota keluarga yang Islami, masyarakat
Islam tidak dapat dibangun hanya mengandalkan peranan laki-laki, tetapi peranan perempuan
sangat diperlukan untuk menumbuhkan benih yang menjadi generasi masa depan.
Islam sangat memperhatikan terhadap keluarga yang baik, sebab, keluarga yang baik
berperan dapat mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan dan kesalehan; ibu memberikan
asi dengan penuh ketulusan, menyuapkan makanan dan menyampaiakan nilai-nilai luhur
kehidupan, selalu mengingatkan kepada Allah dan Rasulnya agar selalu bertakwa dan
mencintai dengan Islam, anak akan tumbuh dengan karakter yang dimilikinya, Rasulullah
SAW. menegaskan akan pentingnya peranan keluarga sebagaimana yang dinyatakan oleh
pakar psikologi dan ahli genetika, hadits beliau: “Pilihlah Ibu untuk anak-anak kalian, nikahi
yang sepadan”, Nabi juga berpesan: “Pilihlah untuk anakanak kalian tempat yang baik.”.
Surawardi (2015) Dalam memilih calon pasangan hidup berkeluarga, nabi Muhammad SAW
telah menentukan beberapa kriteria seseorang untuk dapat dinikahi, diantaranya tidak ada
pertalian darah, balig dan beraqal, dan berkemampuan baik material maupun immaterial.
Nabi Muhammad juga menyebutkan dalam haditsnya yang artinya: “Seorang wanita dinikahi
12

karena empata hal: karena kecantikannya; karena keturunannya; karena harta kekayaanya;
dan karena agamanya. Jika kamu ingin selamat maka pilihlah yang kuat agamanya”.
Pendidikan Islam itu dimulai sejak seseorang menentukan calon pasangan hidupnya.
Masih dalam konteks Alqur’an terhadap peran keluarga, bisa difahami dari isi
kandungan ayat 6 surat Altahrim. Ayat tersebut pada dasarnya mengingatkan semua kepala
keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu bahkan para wali, supaya membangun, membina,
memelihara dan atau melindungi semua dan setiap anggota keluarga yang menjadi
tanggungannya dari kemungkinan mara bahaya yang disimbolkan dengan siksaan api neraka.
Sebab, dalam pandangan Islam, berkeluarga itu tidak hanya untuk sebatas dalam kehidupan
duniawi; akan tetapi juga sampai ke kehidupan akhirat.
2. Hubungan Dalam Sekolah
Menurut Hasbulloh (2009, hlm. 46) pendidikan sekolah adalah pendidikan yang
diperoleh seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti
syarat-syarat yang jelas dan ketat (mulai dari taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi).
Sedangkan menurut Sadulloh (2010, hlm. 197) pendidikan di sekolah merupakan proses
pembelajaran yang merupakan serangkaian kegiatan yang memungkinkan terjadinya
perubahan struktur atau pola tingkah laku seseorang dalam kemampuan kognitif, afektif, dan
keterampilan yang selaras, seimbang dan bersama-sama turut serta meningkatkan
kesejahteraan sosial.
Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang dari dan oleh
serta untuk masyarakat, merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan pelayanan
kepada masyarakat dalam mendidik warga negara. Sekolah dikelola secara formal, hierarkis,
dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan tujuan nasional pendidikan.

Lembaga pendidikan sekolah mempunyai peran yang penting untuk mempengaruhi


perkembangan atau membentuk perkembangan pola tingkah laku atau perangai peserta
didiknya.
Lahmi, (2016) mengemukankan tentang pendidik dan peserta didik sebagi berikut :
a. Kedudukan dan peran pendidik di Sekolah
Pendidik kedudukanya adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didik, yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku
yang buruk Salaby dalam bukunya “sejarah pendidikan Islam” mengatakan budi pekerti
peserta didik kepada pendidiknya ialah hendaklah bersikap rendah-diri terhadap gurunya, ia
harus menghormati dan memuliakanya, serta mematuhi nasehat-nasehatnya, Asy- Syawki
13

bersyair : “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir
saja seorang rasul”.
Bahwa peranan pendidik di sekolah juga ditentukan oleh kedudukanya sebagai orang
dewasa, sebagai pengajar dan pendidik dan sebagai pegawai. Berdasarkan kedudukanya
sebagai pengajar dan pendidik ia harus menunjukan kelakuan yang baik. Pendidik sebagai
pengayom dan pembina generasi muda harus menjadi teladan, di dalam maupun di luar
sekolah.
Seorang pendidik harus siap dipandang sebagai guru yang akan digugu dan tiru oleh
masyarakat, khusunya peserta didiknya. Oleh karena itu, menurut Al-Gazali, peranan
pendidikan yang utama pendidik ialah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta
membimbing hati manusia (peserta didik) untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
Swt. hal tersebut karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
b. Peranan pendidik sehubungan dengan peserta didik
Pendidik adalah sebagai pribadi kunci, secara keseluruhan guru atau pendidik adalah
pendidik yang menarik perhatian semua orang, apakah itu dalam keluarga, dalam masyarakat
atau di sekolah. Di sekolah, figur pendidik merupakan pribadi kunci. Pendidiklah panutan
utama bagi peserta didik. Sikap dan perilaku peserta didik berada dalam lingkaran tata tertib
dan peraturan sekolah. Pendidik mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk mendidik
anak didik. Semua sikap dan perilaku guru dalam bentuk perintah dan larangan harus dituruti
oleh peserta didik. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat: 21
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”.
Ayat ini merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah saw. baik dalam
ucapan, perbuatan maupun perlakuannya. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia
agar meneladani Nabi Muhammad, yaitu meneladani kesabaran, upaya dan penantiannya atas
jalan keluar yang diberikan oleh Allah Azza wa jalla. Yakni, ujian dan cobaan Allah akan
membuahkan pertolongan dan kemenangan sebagaimana yang Allah janjikan kepadanya.
Yakni, ujian dan cobaan Allah akan membuahkan pertolongan dan kemenangan sebagaimana
yang Allah janjikan kepadanya.
Jiwa beliau tetap tabah dan tenang dalam menghadapi segala situasi dan
keadaan.Tidak mengeluh dalam kesulitan, tidak merasa rendah terhadap hal-hal yang besar.
Meski dalam keadaan lemah beliau tetap teguh dan sabar sebagaimana orang yang beriman
14

untuk selalu unggul.Barang siapa bisa bersabardalam berdoa kepada Allah ketika
menghadapi situasi yang berat seperti ini maka dia merupakan orang yang punya derajat
tinggi. (Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, dalam taklimudin, 2018)
Dalam konteks peranan pendidik dalam hubungannya dengan peserta didik
bermacam-macam menurut situasi interaksi sosial yang dihadapinya, yaitu situasi formal
dalam proses belajar mengajar dalam kelas dan dalam situasi informal. Dalam situasi formal,
yakni dalam usaha pendidik mendidik dan mengajar peserta didik dalam kelas guru harus
sanggup menunjukkan kewibawaan atau otoritasnya, artinya ia harus sanggup
mengendalikan, mengontrol, mengatur kelakuan peserta didik. kalau perlu ia dapat
menggunakan kekuasaan untuk memaksa peserta didik belajar, melakukan tugasnya atau
mematuhi peraturan, dengan kewibawaan ia menegak disiplin demi kelancaran dan
ketertetiban proses belajar-mengajar
Dalam pendidikan kewibawaan merupakan syarat mutlak. Mendidik ialah
membimbing peserta didik dalam perkembangannya ke arah tujuan pendidikan. Bimbingan
atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak peserta didik dan kepatuhan
merupakan diperoleh bIla pendidik mempunyai kewibawaan. Kewibawaan dan kepatuhan
merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya disiplin.

c. Peranan pendidik dengan akhlak peserta didik.


Proses pendidikan banyak terjadi dalam interaksi sosial antara pendidik dan peserta
didik di sekolah. Sedang sifat interaksi itu banyak tergantung pada tindakan pendidikan yang
ditentukan antara lain oleh tipe peranan pendidik. Bagaimana reaksi peserta didik terhadap
peranan pendidik dapat diketahui dari ucapan peserta didik tentang pendidik itu.
Tentang hal ini sebuah penelitian menerangkan. Frank Hart (dalam Nasution, 2010)
menyebutkan pada tahun 1943 menanyakan kepada sejumlah 10.000 siswa sekolah
menengah atas pendidik yang bagaimana yang paling mereka sukai dan apa sebab mereka
menyukainya. Alasan yang paling banyak dikemukan ialah bahwa pendidik disukai bila ia
“berperikemanusiaan, bersikap ramah, bersahabat, suka membantu dalam pelajaran, riang,
gembira, mempunyai rasa humor, dan menghargai lelucon”.
Gambaran sifat sifat yang dihargai peserta didik itu sesuai dengan sebagian besar ciri
pendidik yang demokratis. Dalam pendidikan Islam juga sangat tidak bertentangan dengan
apa yang diucapkan oleh Frank Hart tersebut. Kalau kita cermati beberapa prinsip pendidikan
hubungan pendidik dengan peserta didik pada keterangan terdahulu peranan pendidik
sehubungan dengan peserta didik, jelaslah bahwa penempatan diri yang bijak yang sangat
15

dihargai atau fleksibelity .Pada umumnya pendidik yang disenangi oleh peserta didik ialah
guru yang sering dimintai nasehatnya. Yang mau diajak bercakap-cakap dalam suasana yang
menggembirakan, tidak menunjukan sikap superioritasnya dalam pergaulan sehari-hari
dengan peserta didik, selalu ramah, selalu memahami peserta didiknya.

3. Hubungan Dalam Masyarakat


Tanggung jawab masyarakat muslim terhadap keberlangsungan pendidikan Islam
adalah bagian dari penegakkan Amr Ma’ruf Nahyi Munkar hal ini dapat ditelisik pada surah
Ali Imran ayat 110. Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Jarir At-Thabari menghimpun paling tidak dua
pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan umat. Pendapat pertama menerangkan
bahwa yang dimaksud dengan umat adalah orang-orang yang hijrah bersama Nabi saw dari
Mekah ke Madinah (muhajirin). Keterangan ini didapat dari jalur riwayat Ibnu Abbas dari
Sa’id bin Jubair, al-Suddi, dan Ikrimah. Pendapat kedua berasal dari riwayat Abu Hurairah
dan Mujahid mengatakan bahwa umat yang dimaksud ayat adalah siapa pun yang memenuhi
tiga kriteria utama: a) amar makruf, b) nahi munkar, dan c) beriman kepada Allah SWT
sebagaimana disebutkan di dalam ayat.
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-nya menambahkan bahwa umat adalah ikatan
persamaan dalam pengertian apa pun: bangsa, suku, agama, ideologi dan sebagainya. Ikatan
itu telah melahirkan satu umat, dengan demikian seluruh anggotanya adalah saudara. Dengan
banyak dan lenturnya makna umat ini, kata Shihab, dalam persamaan dan kebersamaannya
dapat menampung aneka perbedaan.
Bila menggunakan makna umat sebagaimana dituliskan Quraish Shihab di atas, maka
masyarakat Indonesia merupakan suatu umat tersendiri karena memiliki ikatan persamaa.
Ikatan ini dideklarasikan pada tahun 1928 dalam momentum Sumpah Pemuda. Pada
puncaknya sebagai sebuah bangsa, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan menjadi
sebuah negara bangsa yang bersatu dan bebas.
Masyarakat sebagai penaggung jawab pendidikan non formal, juga menjadi bagian
penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang ketat
16

meskipun telah diundangkan. Masyarakat terdiri dari sekelompok atau bebarapa individu
yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang timnggal di sekitarnya.
Oleh karena itu dalam pendidikan Islam masyarakat memiliki tanggung jawab dalam
mendidik generasi muda tersebut. An-Nahlawi menyatakan bahwa tanggung jawab
masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya: pertma menyadari bahwa Allah
menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/ amar ma’ruf
nahi munkar yang pernah dicontohkan Nabi. Pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan
melaui kerjasama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Bertolak dari beberapai pendapat di atas, dapat diambil pengertian bahwa pada
hakekatnya lingkungan pendidikan yang lebih luar turut berperan dalam terselenggaranya
proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus
bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena
itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntu untuk memilih lingkungan yang
mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak
atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan
kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitanya dengan lingkungan keluarga,
orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal
orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan
formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan
memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut secara sehat, kuntinyu serta, sesuai
harapan masyarakat dalam membentuk generasi penerus yang mampu mengayomi
masyarakat tersebut baik secara sosial kultural maupun secara edukatif dan relegius.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari
norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar
pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan
bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam
perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan
harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem
pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan
semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk
menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal
menumbuhkembangkan ke-Bhineka tunggal ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah
maupun jalur pendidikan luar sekolah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Asnawan, A. (2016). Sosiologi Dalam Kajian Agama:(Kontribusi Kajian Keagamaan Dalam


Sosiologi Islam). FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, 7(2), 225-238.
Assegaf, Abd. Rachman. (2011). Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT.Rajagrfindo
Baharun, H. (2012). Desentralisasi Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem
Pendidikan Islam. Jurnal At-Tajdid, 1(2).
Baharun, H. (2016). Pemikiran Pendidikan Perspektif Filsuf Muslim (Kajian Kritis Terhadap
Pemikiran Muhammad Abduh Dan Muhammad Iqbal). At-Turas, 3(1).
Bali, M. M. E. I. (2013). Analisis Buku Teks BSE Karangan I.S. Sadiman Dan Shendy
Amalia Mata Pelajaran IPS Kelas 4 SD Di Gugus VI Kecamatan Kedungkandang
Kota Malang. Jurnal KSDP FIP UM, (4).
Hanafi, N. Konseptualisasi Profetik. Jurnal Al Hikmah, 5(1), 1-8.
Hasbulloh, (2009). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
https://islami.co/tafsir-surat-ali-imran-ayat-110-menjadi-umat-terbaik-harus-terus-diupayakan
Izzah, I. (2018). Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Membentuk Masyarakat Madani.
PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan, 5(1), 50-68.
Kuntowijoyo. (1997). Menuju Ilmu Sosial Profetik. Bandung: Republika
Lahmi, A. (2016). Peranan Sekolah Dalam Pendidikan Islam. ISTAWA: Jurnal Pendidikan
Islam, 1(2), 120-137.
Maksum, A. (2013). Sosiologi Pendidikan: Buku Perkuliahan Program S-1 Fakultas Tarbiyah
Dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya.
Muchith, M. S. (2016). Islam Dan Filosofi August Comte. Website STAIN Kudus.
Nasution, S., Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Nata, Abudin. (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa.
Natawidjaya. R. Sukmadinata,.N.S. Ibrahim. Djohar. A. 2007. Ilmu Rujukan Filsafat,
Teori, Dan Praksis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sadulloh, Uyoh. Dkk. (2010). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.
Satriadin, S. (2019). Landasan Sosiologis Dalam Pendidikan. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan
Pendidikan), 1(2).
Surawardi, S. (2015). Dasar-Dasar Sosiologis Pendidikan Islam. Guidance And Counseling,
1(2), 55-68.

18
Taklimudin, T., & Saputra, F. (2018). Metode Keteladanan Pendidikan Islam dalam
Persfektif Quran. Belajea; Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 1-22.
Wuradji. 2008. Sosiologi Pendidikan Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologi. Jakarta:
Depdikbud.

19

Anda mungkin juga menyukai