MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pedagogik Propetik
Dosen Pengampu:
Dr. KH. Aam Abdussalam, M, Pd.
oleh
Burhan Kurniansyah
NIM 2013072
SEKOLAH PASCASARJANA
PRODI PEDAGOGIK
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Subhannahu wata’ala. Shalawat dan salam
semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita Rosululloh shallahu’alaihi wa
sallam. Berkat ridho dan rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “Landasan Sosiologi Pedagogik Propetik”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
tidak luput dari berbagai kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika
penulisannya. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan makalah ini, kearah yang lebih baik. Sehingga
makalah ini bisa memberikan manfaat bagi proses pembelajaran pedagogik
propetik ke depan.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 1
1.3 Tujuan...................................................................................................... 1
1.4 Manfaat.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
2.1 Landasan Sosilogi................................................................................... 2
2.2 Pedagogik Profetik..................................................................................4
2.3 Landasan Sosilogi Pedagogik Profetik....................................................5
2.4 Implikasi Landasan Sosilogi Pedagogik Profetik....................................8
BAB III PENUTUP.........................................................................................17
3.1 Simpulan..................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemahaman pendidikan profetik ini muncul berawal dari potret pendidikan Islam
yang lepas dari dasar-dasar kemanusian, inilah akhirnya memunculkan tatacara hidup yang
tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan saat ini mengabaikan
idealisme yang mencerminkan proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusiaan.
Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan harus memandang manusia menjadi subjek
pendidikan. Proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia,
yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah
di muka bumi ini.
Kegagalan pendidikan selain daripada meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dalam
pendidikan Islam muncul adanya pengdikotomian ilmu. Dari sinilah kemudian istilah
pendidikan profetik hadir sebagai upaya alternatif untuk menyelamatkan krisis yang terdapat
dalam pendidikan Islam. Moh. Shofan dalam buku karangannya tentang Pendidikan
Berparadigma Profetik menyatakan bahwasanya krisis dalam pendidikan Islam muncul
karena adanya dikotomi epistemologi antara ilmu agama dan ilmu umum, antara ilmu modern
Barat dan ilmu tradisional Islam.
Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan
manusia, yang dalam terminologi Islam sering disebut sebagai insan kamil. Selanjutnya
Khoiron Rosyadi sebagai salah satu tokoh juga yang menggagas pendidikan profetik
berpendapat bahwa melihat pendidikan Islam itu adalah suatu ikhtiyar dalam menanamkan
nilai-nilai Islami yang tidak terlepas dari landasan organik (Alquran dan Sunnah) yang
sebagai tujuan akhirnya adalah manusia taqwa.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Sosilogi
Secara etimologis Sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’
dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’,
sedangkan ‘logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian
istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Maksum, 2013). Sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur
sosialnya. Secara terminologis, beberapa ahli mendefinisikan sosiologi secara agak berbeda.
Marx Weber memandang sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan
sosial. Sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative
understanding) tindakan sosial serta hubungan sosial.
Pitirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
(a) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka ragam gejala-gejala sosial (misal:
antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; dan
gerakan masyarakat dengan politik); (b) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-
gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial (misal: gejala geografis dan biologis).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang
masyarakat atau cabang ilmu sosial yang mempelajari secara sistematik kehidupan bersama
manusia yang ditinjau dan diamati dengan menggunakan metode empiris yang di dalamnya
terkandung studi tentang kelompok-kelompok manusia, tatanan sosial, perubahan sosial,
sebab-sebab sosial, dan segala fenomena sosial yang mempengaruhi perilaku manusia. Jadi
sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia itu
berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit
masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain.
Asnawan, (2016) mengemukakan bahwa sosiologi sebagai disiplin ilmu memang lahir
di Eropa (barat), namun dalam pendekatannya, sosiologi barat yang lebih dikenal dengan
sosiologi kontemporer, belum dapat menampilkan gejala-gejala masyarakat secara universal,
sosiologi kontemporer yang lahir dan dikembangkan ternyata memiliki kelemahan-
kelemahan dalam teori-teorinya sehingga seringkali kaidah-kaidah yang dikemukakan di
barat ternyata tidak relevan dan tidak dapat diaplikasikan pada wilayah timur. Misalnya teori-
teori tentang kejahatan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-
penelitian di pusat kota New York dan chicago namun tidak menjelaskan masalah kejahatan
2
dan penyimpangan-penyimpangan yang ada di Uni Soviet, Pakistan, Mesir, Indonesia dan
masyarakat-masyarakat
3
3
serupa lainnya. Begitu juga teori tentang ekonomi, politik tentu sangat tidak sesuai
yang ada di barat dengan di negara-negara Islam, dikarenakan perbedaan ideologi dan
kebudayaan, begitu juga dengan stratifikasi sosial, perkawinan dan keluarga. Dalam hal ini
Sayyid Quthub berpendapat, bahwa sistem sosial yang dikembangkan di barat sangat berbeda
dan tidak sesuai dengan sistem sosial yang dibangun oleh Islam. Islam memiliki sisitem
sosial sendiri yang bersumber dari alquran dan akan selalu bersifat dinamis bagi seluruh
manusia karena langsung berasal dari Allah, bukan dari sistem sosial yang dibangun oleh
evolusi perjalanan sejarah manusia. Sistem sosial yang dibangun dalam Islam, pada
kenyataannya dapat berjalan dengan baik dan tetap eksis terhadap perkembangan zaman.
Dalam landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari
norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar
pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan
masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya
menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi
oleh masing-masing anggota masyarakat.
Menurut Wuradji. (2008) Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam
norma yang dianut oleh pengikutnya:
1. Paham individualisme
2. Paham kolektivisme
3. Paham integralistik
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup
merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masing-masing,
asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara
pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat.
Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara
anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan
dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis.
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham kolektivisme yang memberikan kedudukan
yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan
hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. dalam masyarakat yang menganut paham
integralistik; masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain
secara organis merupakan masyarakat.
4
sosok pandangan model uswatun hasanah serta seorang manusia yang diberi kemampuan
oleh Tuhannya, c). Dasar ilmu sebagai medan sentuh pemikiran akal manuisa yang
disandarkan kepada Allah.
ikuti. Karena itu, maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar
dari ajaran Al-Quran tanpa mengurangi universalisme Islam.
Melihat universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada
penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak kepada kebenaran,
kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian; menghindari pertentangan dan
perselisihan, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak
bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar manusia secara universal
dengan tidak mengenal suku, bangsa dan agama.
Adapun dalam hal pendidikan dipahami dalam arti luas, yakni sebagai proses belajar,
mengenal, dan mengetahui, maka pendidikan telah ada sejak zaman Nabi Adam juga. Ketika
Allah swt mengajari Adam utuk mengenal nama-nama seluruh benda yang ada di sekitarnya,
dapat dikatakan bahwa peristiwa tersebut sebagai aktivitas pendidikan (QS. Al-Baqarah: 31):
“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya kemudian Dia perlihatkan
kepada para Malaikat seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika
kamu yang benar!’”.
Pendidikan memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Mengingat pentingnya
pendidikan bagi kehidupan manusia, maka Islam sebagai Agama yang rahmatan lil alamin,
memberikan perhatian serius terhadap perkembangan pendidikan bagi kelangsungan hidup
manusia (Baharun, 2016). Dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk
mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk yang
berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-
praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (Muhaimin, 2005).
Pada hakikatnya, pendidikan adalah suatu proses yang berlangsung secara kontinu
dan kesinambungan. Pendidikan haruslah merefleksikan kebutuhan dasar manusia agar ia
layak dan cukup intelegen hidup dalam lingkungannya (Baharun, 2012). Pendidikan sangat
penting untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia (Bali, 2013). Islam
mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan anaknya, Firman Allah SWT (QS. 66.6), “Hai orang-orang
yang beriman, periharalah diri dan keluargamu dari api neraka”. Mengingat keterbatasan
orang tua dalam memberikan pendidikan di rumah karena harus mencari nafkah untuk
memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, maka orang tua kemudian menyerahkan anaknya
kepada pendidik di sekolah untuk mendidik. Para pendidik merupakan orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak (Arif, 2008).
7
Ilmu sosial profetik adalah ilmu sosial yang dalam pengembangan ilmu, didasarkan
dengan konsep keilahian (Kuntowijoyo, 2011), dengan Ilmu sosial profetik yang dibangun
dari ajaran Islam, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains barat dan arus
globalisasi yang terjadi saat ini (Nata, 2003).
Pilar-pilar pendidikan Islam tersebut dibangun atas dasar tauhid, hubungan yang
harmonis antara Allah SWT, manusia, dan alam, berorientasi pada moralitas Islam dan
akhlak mulia, kesucian manusia dan menjadikan masjid sebagai pusat peradaban (Assegaf,
2011). Karena dalam pandangan Islam ilmu, amal, dan akhlak hendaknya berintikan dan
menimbulkan iman dalam diri seseorang.
Rasulullah saw bersabda bahwa: “Baragsiapa yang tambah ilmunya tapi tidak
tambah imannya, maka baginya tidak tambah apapun disisi Allah swt. Kecuali semakin jauh
darinya”.
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya,
Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education adalah cabang ilmu Sosiologi, yang
pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan
pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover (dalam Natawidjaja, 2007:
81). mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut:
1. Hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lain
2. Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar,
3. Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan
4. Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik
Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana
harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana
sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada
level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat defenisi sebagai cabang sosiologi yang
memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata
kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi social antara
orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta
didik. Natawidjaja (2007).
8
filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan dirinya sebagai
khalifah di bumi. Pendidikan yang lepas dari dasar-dasar inilah yang pada akhirnya
melahirkan tatacara hidup yang tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai- nilai kemanusiaan.
Jadi, pendidikan profetik merupakan upaya dalam rangka memaksimalkan peranan dan
menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan dalam setting teologis filosofis. Bukan
sebagai objek pendidikan, yang oleh Paulo Freire, dikatakan sebagai konsep bank.
Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan
manusia, yang dalam terminologi Islam sering disebut sebagai insan kamil, dan manusia
taqwa. Pendidikan profetik sejatinya merupakan proses untuk memanusiakan manusia,
dalam konteks ini ada dua agenda penting yakni proses pemanusiaan dan proses
kemanusiaan. Proses pemanusiaan adalah sebuah agenda pendidikan untuk menjadikan
manusia lebih bernilai secara kemanusiaan, membentuk manusia menjadi insan sejati,
memiliki dan menjunjung tinggi tata nilai etik dan moral, memiliki semangat spiritualitas.
Proses kemanusiaan adalah sebuah agenda pendidikan untuk mengangkat martabat manusia
melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keterampilan profesional yang
dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Misi pendidikan profetik tidak terlepas dari misi utama nabi yang diutus oleh Allah
untuk memperbaiki karakter dan perilaku ummat. Perbaikan karakter dan perilaku merupakan
bagian sangat penting untuk membangun kualitas hidup dan peradaban manusia. Membentuk
manusia agar memiliki keseimbangan sinergis antara jasmaniah dan rohaniah. Keseimbangan
kemampuan antara pembaca tanda-tanda Tuhan di dalam kitab suci (ayat-ayat qauliyyah) dan
tanda-tanda Tuhan ada di alam raya (ayat-ayat kauniyyah). Sedangkan misi sentral
pendidikan nabi Muhammad SAW, adalah menanamkan akidah tauhid yang benar,
mendidikan manusia untuk memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan secara
holistik membentuk manusia yang memiliki kualitas yang seimbang antara iman, ilmu, dan
amal. Cakap lahiriah maupun batiniah, kualitas yang seimbang antara emosional, rasional,
dan spiritual, menegakkan masyarakat yang adil, sehat, harmonis, sejahtera secara material
dan spiritual, dan mengembangkan kualitas kehidupan manusia, menyucikan moral
membekali manusia modal yang diperlukan untuk hidup bahagia di dunia dan bahagia di
akhirat.
Selanjutnya Rasulullah SAW meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut
kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian, status orang tua sebagai
pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang
10
tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan
pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.
Apabila kita merujuk pada kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh,
tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan secara istilah, Harun
Nasution mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan pandangan di atas,
pendidikan Islam berarti sistem yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai Islam yang telah menjiwai dan
mewarnai corak kepribadiannya. Dengan kata lain, manusia yang mendapatkan pendidikan
Islam harus mampu hidup di dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan
oleh cita-cita Islam.
al-Jamali menjelaskan bahwa pengertian pendidikan Islam yaitu dengan “Upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggidan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi
yang sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan”.
Sedangakan menurut Ahmad Tafsir, secara sederhana pengertian pendidikan Islam adalah
pendidikan yang berwarna Islam. Maka pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang
berdasar Islam. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam itu sangat mewarnai dan mendasari
seluruh proses pendidikan. Menurut Abdurahman al-Nahlawi, pendidikan Islam adalah
pengembangan pikiran manusia dan penataan tingkah laku serta emosinya berdasarkan
Agama Islam, dengan maksud merealisasikan tujuan Islam di dalam kehidupan individu dan
masyarakat, yakni dalam seluruh lapangan kehidupan. Artinya bahwa pendidikan Islam
merupakan suatu proses yang sebelum sesuatunya berkaitan dengan kegiatan mempersiapkan
akal dan pikiran manusia, serta pandangannya tentang alam, kehidupan, peran dirinya dan
hubungannya dengan dunia.
Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan
manusia, yang dalam terminologi Islam sering disebut sebagai insan kamil. Selanjutnya
Khoiron Rosyadi sebagai salah satu tokoh juga yang menggagas pendidikan profetik
berpendapat bahwa melihat pendidikan Islam itu adalah suatu ikhtiyar dalam menanamkan
nilai-nilai Islami yang tidak terlepas dari landasan organik (Alquran dan Sunnah) yang
sebagai tujuan akhirnya adalah manusia taqwa.
karena empata hal: karena kecantikannya; karena keturunannya; karena harta kekayaanya;
dan karena agamanya. Jika kamu ingin selamat maka pilihlah yang kuat agamanya”.
Pendidikan Islam itu dimulai sejak seseorang menentukan calon pasangan hidupnya.
Masih dalam konteks Alqur’an terhadap peran keluarga, bisa difahami dari isi
kandungan ayat 6 surat Altahrim. Ayat tersebut pada dasarnya mengingatkan semua kepala
keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu bahkan para wali, supaya membangun, membina,
memelihara dan atau melindungi semua dan setiap anggota keluarga yang menjadi
tanggungannya dari kemungkinan mara bahaya yang disimbolkan dengan siksaan api neraka.
Sebab, dalam pandangan Islam, berkeluarga itu tidak hanya untuk sebatas dalam kehidupan
duniawi; akan tetapi juga sampai ke kehidupan akhirat.
2. Hubungan Dalam Sekolah
Menurut Hasbulloh (2009, hlm. 46) pendidikan sekolah adalah pendidikan yang
diperoleh seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti
syarat-syarat yang jelas dan ketat (mulai dari taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi).
Sedangkan menurut Sadulloh (2010, hlm. 197) pendidikan di sekolah merupakan proses
pembelajaran yang merupakan serangkaian kegiatan yang memungkinkan terjadinya
perubahan struktur atau pola tingkah laku seseorang dalam kemampuan kognitif, afektif, dan
keterampilan yang selaras, seimbang dan bersama-sama turut serta meningkatkan
kesejahteraan sosial.
Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang dari dan oleh
serta untuk masyarakat, merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan pelayanan
kepada masyarakat dalam mendidik warga negara. Sekolah dikelola secara formal, hierarkis,
dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan tujuan nasional pendidikan.
bersyair : “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir
saja seorang rasul”.
Bahwa peranan pendidik di sekolah juga ditentukan oleh kedudukanya sebagai orang
dewasa, sebagai pengajar dan pendidik dan sebagai pegawai. Berdasarkan kedudukanya
sebagai pengajar dan pendidik ia harus menunjukan kelakuan yang baik. Pendidik sebagai
pengayom dan pembina generasi muda harus menjadi teladan, di dalam maupun di luar
sekolah.
Seorang pendidik harus siap dipandang sebagai guru yang akan digugu dan tiru oleh
masyarakat, khusunya peserta didiknya. Oleh karena itu, menurut Al-Gazali, peranan
pendidikan yang utama pendidik ialah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta
membimbing hati manusia (peserta didik) untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
Swt. hal tersebut karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
b. Peranan pendidik sehubungan dengan peserta didik
Pendidik adalah sebagai pribadi kunci, secara keseluruhan guru atau pendidik adalah
pendidik yang menarik perhatian semua orang, apakah itu dalam keluarga, dalam masyarakat
atau di sekolah. Di sekolah, figur pendidik merupakan pribadi kunci. Pendidiklah panutan
utama bagi peserta didik. Sikap dan perilaku peserta didik berada dalam lingkaran tata tertib
dan peraturan sekolah. Pendidik mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk mendidik
anak didik. Semua sikap dan perilaku guru dalam bentuk perintah dan larangan harus dituruti
oleh peserta didik. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat: 21
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”.
Ayat ini merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah saw. baik dalam
ucapan, perbuatan maupun perlakuannya. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia
agar meneladani Nabi Muhammad, yaitu meneladani kesabaran, upaya dan penantiannya atas
jalan keluar yang diberikan oleh Allah Azza wa jalla. Yakni, ujian dan cobaan Allah akan
membuahkan pertolongan dan kemenangan sebagaimana yang Allah janjikan kepadanya.
Yakni, ujian dan cobaan Allah akan membuahkan pertolongan dan kemenangan sebagaimana
yang Allah janjikan kepadanya.
Jiwa beliau tetap tabah dan tenang dalam menghadapi segala situasi dan
keadaan.Tidak mengeluh dalam kesulitan, tidak merasa rendah terhadap hal-hal yang besar.
Meski dalam keadaan lemah beliau tetap teguh dan sabar sebagaimana orang yang beriman
14
untuk selalu unggul.Barang siapa bisa bersabardalam berdoa kepada Allah ketika
menghadapi situasi yang berat seperti ini maka dia merupakan orang yang punya derajat
tinggi. (Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, dalam taklimudin, 2018)
Dalam konteks peranan pendidik dalam hubungannya dengan peserta didik
bermacam-macam menurut situasi interaksi sosial yang dihadapinya, yaitu situasi formal
dalam proses belajar mengajar dalam kelas dan dalam situasi informal. Dalam situasi formal,
yakni dalam usaha pendidik mendidik dan mengajar peserta didik dalam kelas guru harus
sanggup menunjukkan kewibawaan atau otoritasnya, artinya ia harus sanggup
mengendalikan, mengontrol, mengatur kelakuan peserta didik. kalau perlu ia dapat
menggunakan kekuasaan untuk memaksa peserta didik belajar, melakukan tugasnya atau
mematuhi peraturan, dengan kewibawaan ia menegak disiplin demi kelancaran dan
ketertetiban proses belajar-mengajar
Dalam pendidikan kewibawaan merupakan syarat mutlak. Mendidik ialah
membimbing peserta didik dalam perkembangannya ke arah tujuan pendidikan. Bimbingan
atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak peserta didik dan kepatuhan
merupakan diperoleh bIla pendidik mempunyai kewibawaan. Kewibawaan dan kepatuhan
merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya disiplin.
dihargai atau fleksibelity .Pada umumnya pendidik yang disenangi oleh peserta didik ialah
guru yang sering dimintai nasehatnya. Yang mau diajak bercakap-cakap dalam suasana yang
menggembirakan, tidak menunjukan sikap superioritasnya dalam pergaulan sehari-hari
dengan peserta didik, selalu ramah, selalu memahami peserta didiknya.
meskipun telah diundangkan. Masyarakat terdiri dari sekelompok atau bebarapa individu
yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang timnggal di sekitarnya.
Oleh karena itu dalam pendidikan Islam masyarakat memiliki tanggung jawab dalam
mendidik generasi muda tersebut. An-Nahlawi menyatakan bahwa tanggung jawab
masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya: pertma menyadari bahwa Allah
menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/ amar ma’ruf
nahi munkar yang pernah dicontohkan Nabi. Pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan
melaui kerjasama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Bertolak dari beberapai pendapat di atas, dapat diambil pengertian bahwa pada
hakekatnya lingkungan pendidikan yang lebih luar turut berperan dalam terselenggaranya
proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus
bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena
itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntu untuk memilih lingkungan yang
mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak
atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan
kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitanya dengan lingkungan keluarga,
orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal
orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan
formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan
memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut secara sehat, kuntinyu serta, sesuai
harapan masyarakat dalam membentuk generasi penerus yang mampu mengayomi
masyarakat tersebut baik secara sosial kultural maupun secara edukatif dan relegius.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari
norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar
pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan
bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam
perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan
harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem
pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan
semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk
menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal
menumbuhkembangkan ke-Bhineka tunggal ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah
maupun jalur pendidikan luar sekolah.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
Taklimudin, T., & Saputra, F. (2018). Metode Keteladanan Pendidikan Islam dalam
Persfektif Quran. Belajea; Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 1-22.
Wuradji. 2008. Sosiologi Pendidikan Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologi. Jakarta:
Depdikbud.
19