Anda di halaman 1dari 11

MEWUJUDKAN NEGARA KEKELUARGAAN

DALAM HALUAN NEGARA INDONESIA


PG. Arya Sumertha Yasa 1

1.Pendahuluan

Nasionalisme adalah menjadi motor penggerak dari dalam untuk mewujudkan

persatuan nasional dalam bidang politik Negara nasional. Berahirnya kekuasaan zaman orde

baru memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk memperjuangkan keinginan dalam usaha

mewujudkan tujuan Negara Republik Indoenesia. Era reformasi memberikan harapan yang

besar bagi terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokrasi,

transparan, dan akuntabilitas serta terwujudnya good governance.

Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan semangat kenegarawanan dan melalui

tahapan pembahasan yang mendalam dan sungguh-sungguh serta melibatkan berbagai

kalangan di masyarakat telah melakukan perubahan terhadap pasal-pasal Undang-Undang

Dasar 1945. Adapun penyempurnaan secara mendasar yakni tentang; kedaulatan rakyat,

Negara hokum, hak asasi manusia, pemilu, wilayah Negara, pertahanan keamanan serta

struktur dan sistem kelembagaan Negara termasuk pembentukan lembaga baru yaitu,

Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakian Daerah, Komisi Yudisial, serta Badan Pemeriksaan

Keuangan.

1
Makalah ini disampaikan pada Focus Group Discussion Majelis Permusyawaratan Rakyat, kerjasama dengan
Universitas Mahasaraswat dengan tema: “Haluan Negara Sebagai Pengamalan Pancasila”. Sabtu, 18 Maret 2017
di Sanur Paradise Plaza Hotel, Jl Hang Tuah No.46 Sanur,Denpasar Bali.
Sejak diberlakukan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 ( hasil perubahan),

ternyata hingga sekarang perjalanan untuk mewujudkan tujuan reformasi masih terseok-seok,

ada kesan terjadi tarik menarik kewenangan antar lembaga Negara sehingga timbul arogansi

dalam lembaga tersebut. Penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia yang bersumber pada

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 tetap berlandaskan pada Pancasila, hal ini

dikuatkan dengan tidak melakukan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 yang secara

prinsip bahwa sila-sila dari Pancasila tetap menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintahan.

Walaupun Lembaga-lembaga Negara mengalami perubahan, tetapi dalam menjalankan

fungsinya terdapat ganjalan yang menghambat untuk menuju tujuan keadilan bagi seluruh

rakyat Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan sangat ditentukan oleh perencanaan yang

matang dan baik, jika tidak maka pencapaian tujuan akan bermasalah. Negara Indonesia masa

orde baru menggunakan perencanaan pembangunan yang dikenal dengan GBHN ( Gari-garis

Besar Haluan Negara), GBHN memuat tentang konsep pembangunan jangka panjang yang

sebenarnya bersifat terbuka karena seorang presiden dalam memimpin Negara terkontrol

secara terinci akan tugas, akan tetapi karena sejarah reformasi sehingga GBHN ditiadakan oleh

Amandemen UUD 1945.

II. Mewujudkan Negara Kekeluargaan berdasar Pancasila

Konsep GBHN dan HN (Haluan Negara) secara prinsip adalah sama yakni sama-sama

merupakan pedoman pembangunan bagi penyelenggaraan pemerintah. Kedua istilah ini sama-

sama menekankan pada suatu perencanaan dalam menata pembangunan Negara.


Berdasar teori pembentukan Negara dapat dibedakan menjadi dua yakni:, teori

perjanjian masyarakat yang diajarkan antara lain Rousseau, menyatakan Negara terbentuk

karena adanya perjanjian antara anggota-anggota masyarakat secara individual. Teori

perjanjian ini dibedakan lagi menjadi dua yakni, pertama Negara masih mengakui hak-hak

rakyat karena yang diserahkan dalam perjanjian bukan seluruh haknya sehingga menghasilkan

Negara demokrasi, dan yang kedua bahwa Negara memiliki hak mutlak karena hak-hak rakyat

telah diserahkan semuanya, sehingga Negara dikenal dengan totaliter.

Teori pembentukan Negara yang kedua yakni, teopri Kekuatan yang didasarkan pada

ajaran marxisme-leninisme yang menyatakan bahwa dalam masyarakat akan selalu terdapat

dua kekuatan yakni kaum borjuis, merupakan sekelompok kaum bangsawan dengan

kekayaaanya dan proletar, kaum buruh yang miskin. Kedua kelompok ini akan selalu berada

dalam suasana antagonis dan akan berjuang saling menguasai sehingga kelompok yang

dominan akan terlahir sebagai penguasa dengan menggunakan Negara sebagai alat kekuasaan.

Negara merupakan resultan positip dari sengketa dan penaklukan, dalam hal ini kekuatan

membuat hokum adalah pembenaran hokum (might makes right).

Bagaimana halnya dengan sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia apakah

berdasarkan atas kedua teori di atas, menarik untuk ditelusuri cikal bakal pembentukanya.

Berdasarkan sejarah persidangan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan

Indoensia) yang membahas tentang rancangan materi muatan Undang-Undang Dasar yang

akan dibentuk terdapat dua pemikiran berbeda antara Hatta-Yamin, dengan Soekarno-

Soepomo. Pandangan pertama menginginkan bahwa materi hak-hak Asasi perlu diatur untuk
menghindari kesewenang-wenangan penguasa dalam Negara terhadap rakyatnya, sedangkan

pandangan kedua beranggapan bahwa dengan secara sepakat menerima asas kekeluargaan

berarti akan menolak paham individualisme. Perdebatan masalah faham asas kekekeluargaan

dan individualis akhirnya dibicarakan dalam siding pertama BPUPKI bersamaan dengan

pembahasan Pancasila sebagai dasar Negara.

Soediman Kartohadiprodjo mengatakan, dalam pidato Soekarno tersebut dinyatakan

bahwa, …. Filsafat Pancasila ini berjiwa kekeluargaan, karena Pancasila untuk pertamakali

disajikan kepada khalayak ramai sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia yang kelak

akan didirikan. Karena Negara itu adalah manusia-tiada Negara tanpa manusia – maka filsafat

Pancasila ini diterapkan pada kehidupan manusia yang didasari filsafat Pancasila, jadi Bangsa

Indonesia memandang melihatnya sebagai suatu kehidupan berkeluarga.

Selanjutnya melalui Proklamasi Kemerdekaan dinayatakan bahwa yang menyatakan

kemerdekaan Indonesia adalah Bangsa Indonesia, sedangkan Soekarno-Hatta menandatangani

Proklamasi bertindak atas nama Bangsa Indonesia. Dari hal di atas maka Negara Indonesia

bukan hasil bentukan teori perjanjian maupun teori kekuatan, sehingga Negara Republik

Indonesia tidak mengagungkan paham indivualis maupun bukan lahir dari kekuatan

kelompok/golongan tetapi Negara Republik Indoensia berlandaskan filsafat Pancasila dan

mengakui dirinya sebagai suatu keluarga.

Makna asas kekluargaan, yakni asas sendiri memberikan pedoman atau tumpuan

berpikir tentang kebenaran, sedangkan kekeluargaan sendiri menggambarkan kehidupan


manusia yang lebih dari satu orang, dan terdapat ikatan bathin yang mengikat contohnya,

kakek nenek dengan ayah ibu serta anak-anaknya termasuk cucunya.

Asas Kekeluargaan dalam bernegara menempatkan bahwa bangsa Indonsia harus

dianggap satu keluarga besar, dan Negara kekeluargaan Idonesia rakyatnya merasa dirinya

sebagai satu keluarga besar Indonesia. Dalam bernegara dengan asas kekeluargaan tentunya

semua rakyatnya baik yang merasa dominan maupun minoritas memiliki rasa tanggungjawab

yang sama dalam mempertahankan Negara dari segala ancaman sehingga walaupun terdapat

perbedaan ke dalam keluarga tetapi jika berhubungan dengan Negara luar maka akan sebagai

satu kesatuan.

Jadi kehidupan Negara kekeluargan hanya terdapat dalam Negara Republik Indonesia

yang berdasarkan pada Pancasila, hal ini tampak dari pengaturan tentang makna Pancasila yang

ditetapkan dalam Batang tubuh UUD Negara Kesatuan RI 1945. Adapun pengakuan tersebut

yakni:

1. Untuk sila pertama diatur dalam Pasal 29 UUD NKRI 1945 (Pengakuan Tuhan)

2. Sila kedua diatur dalam pasal 34 UUD NKRI 1945( Fakir miskin tanggungjawab

Negara)

3. Sila ketiga diatur dalam Pasal 1; 35, 36A,36B,36C ( satu dalam hokum, bendera,

bahasa, lambang, lagu )

4. Sila keempat dalam Pasal 2 UUD NKRI 1945 ( MPR dan keanggotaanya)

5. Sila kelima dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945 ( asas kebersamaan,keadilan

perekonomian)
Jika diamati materi yang diatur tersebut di atas, tampak adanya bahwa dalam Negara

kekeluargaan Pancasila terdapat pula hubungan antara penyelenggara Negara dengan

warganegara yang mengutamakan kemerdekaan dan persamaan dalam kemajuan bidang social

dan ekonomi.

Keanekaragaman suku, agama, dan wilayah, sudah tentu menjadi masalah dalam

mewujudkan negaran kekeluargaan perbedaan budaya dalam masyarakat adat akan

memberikan pemahaman berbeda dalam memandang urusan ketatanegaraan. Masyarakat

adat yang merupakan bagian dari keluarga besar Negara sangat perlu untuk diperhatikan oleh

Pemerintah mengingat terdapat dua kepentingan mendasar soal pemanfaatan tanah Negara

anatara pengusaha dan masyarakat adat setempat. Hal ini hingga sekarang menjadi

permasalahan serius tentang siapakah melindungi masyarakat adat jika diusik oleh kepentingan

individual atau dimanakah Negara jika hak pengelolaan Tanah Negara oleh Lembaga Negara

diserobot oleh kepentingan individual?

Semua urusan penyelenggaraan pemerintahan dalam arti sempit (eksekutif) tentu

tertinggi berada dalam tanggungjawab Presiden, pembagian kekuasaan penyelenggaraan

Negara menempatkan kewenangan Presiden sangat luas. Urusan Negara dalam mewujudkan

Negara kesejahteraan memerlukan banyak sarana dan prasarana sehingga penyelenggaranya

dibagi menjadi urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Politik hokum pengakuan masyarakat hokum adat dalam sistem pemerintahan

mengalami perubahan yang besar setelah reformasi 1998. Berdasar Pasal 18B ayat (2) UUD

NKRI 1945, dinyatakan;


“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat
beserta hak-hak tradisionanya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-
undang”.

Pengaturan pengakuan kedudukan masyarakat adat juga diatur pada Pasal 28 I ayat (3)

UUD NKRI 1945 yang dinyatakan:

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban”

Pada tingkat Undang—undang setelah mengalami politik penyeragaman desa dengan

Undang-Undang Nomor 5 tahun 197 , sekaligus terkait dengan Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Pemerintah Daerah ini mengakui

bahwa penyeragaman desa dengan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945

sehingga penggunaan istilah desa secara seragam tidak diberlakukan lagi dengan demikian

daerah diperbolehkan menggunakan nama lain yang serupa dengan seperti nagari, bori,

kampong, hutan dan marga (penjelasan Pasal 93 ayat 1).

Penguatan pengakuan hak masyarakat desa diatur kembali dalam Undang-undang

Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam Pasal 1 angka 12 dirumuskan Desa

sebagai berikut:

“Desa atau yang disebut dengan nama yang lain selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
Undang-undang Pemerintah daerah tersebut di atas tetap mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya dan tetap menggunakan

konsep desa sebagai kesatuan masyarakat hokum adat yang otonum.

Di tahun 2014 maka diterbitkanlah Undang-undang Nomor 6 tahun 2014, tentang Desa

yang mana sebagai pertimbangannya adalah, bahwa desa memiliki hak asal-usul dan hak

tradisional dalam menagtur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan

mewujudkan cita-cita nasiona. Negara mengantisipasi perkembangan desa dalam berbagai

bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan

demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan

pemerintahan dan pembangunan menuju masarakat adil, makmur dan sejahtera. Sehingga

konsep desa mengalami perubahan yang dinyatakan dalam Pasal 1 point 1:

“Desa adalah, desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak
tradisioanal yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republic Indonesia”

Konsep di atas sama dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Secara hokum normative bahwa pengakuan hak masyarakat

desa telah diakui dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, ini berarti keanekaragaman hak-hak

yang ada di Desa yang secara nyata hidup dalam i masyarakat adat oleh UUD NKRI 1945 dijamin

keberadaannya. Adapun langkah berikutnya adalah bagamana mengimplementasikan dalam

kehidupan keseharian bernegara.


Mengembalikan pemberlakukan GBHN bukanlah hal yang mudah karena akan

melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar NKRI 1945 dan barang tentu perlu

perdebatan dari kelompok yang tidak setuju. Proses amandemen mungkin mengalami jalan

panjang karena UUD adalah produk hukum yang sarat politik, tentu berhadapan dengan banyak

kepentingan, tetapi harus diingat jika tujuan reformasi semakin jauh dari kenyataan berarti

pelaksanaan penyelenggaraan Negara terlalu lambat mungkin karena arah tindakan yang dituju

tanpa perencanaan kuat. Semua rencana pembangunan nasional hendaknya ditetapkan

terlebih dahulu sebelum memulai dengan kegiiatan-kegiatannya sehingga akhir tahun bisa

diukur oleh Lembaga yang paling yang paling mewakili kedaulatan rakyat dalam sistem lembaga

Negara.

Era reformasi telah mengganti GBHN menjadi Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional dengan UU NO.25 Tahun 2004, yang menjabarkan dari tujuan dibentuknya Republik

Indoensia seperti yang tertuang pada Pembukaan UUD NKRI 1945. Sistem perencanaan

dijabarkan lagi dalam RPJP ( Rencanan Pembangunan Jangka Panjang ) dalam skala 20 Tahun.

Selanjutnya RPJP dituangan lagi dalam bentuk RPJM (Rencana Pembangunan Jangka

Menengah) yakni dalam skala 5 tahun yang memuat perencananan presiden terpilih. Di daerah

juga terdapat RPJP daerah serta RPJM daerah yang merujuk pada RPJP Nasional.

Sitem Perencanaan Nasional hingga di daerah lebih merujuk pada pertanggungjawaban

Anggaran Pendapatan Belanja Negara, yang terkait dengan belanja Negara. Barangkali sangat

diperlukan evaluasi apakah urusan-urusan diluar belanja Negara (keuangan) termasuk urusan

pemimpin dalam 5 tahuan masa jabatan. Jadi dengan melakukan penyerapan oleh lembaga
perwakilan tetang nilai kearipan local di masyarakat adat di seluruh wilayah Negara, kemudian

melakukan inventarisasi hak-hak yang terdapat dalam masyarakat adat selanjutnya melakukan

pencatatan atau pengaturan pengakuan hak-hak tersebut dalam kerangka pembangunan

nasional.

III. Penutup

Pengawasan dalam praktek bernegara sangat diperlukan untuk menghindari

penyalahgunaan wewenang, control akan berhasi dengan baik jika ditentukan terlebih dulu

indicator penilaian pelaksanaan tugas yang telah ditentukan bersama dalam tahap

perencanaan pembangunan yang dikenal dengan haluan Negara.


Daftar Bacaan

Astim Ryanto, Negara Kesatuan Konsep, Asas dan Aktualisasi, Bandung Yapendo, 2006

Ateng Syarifuddin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1993.

Bagir Manan, Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam Pembangunan Jangka Panjang II,
Bandung 1994.

----------- Beberapa Maslah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,1993

f. isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung, 1992.

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum tata Negara Indoensia, Alumni, Bandung 1992.

Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1993

Anda mungkin juga menyukai