Anda di halaman 1dari 59

LOGIKA INDUKTIF

MAKALAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Logika

Dosen Pengampu Dr. H. Y. Suyitno, M.Pd

Disusun oleh :

Iman Hidayat 2012898


Burhan Kurniansyah 2013072

PROGRAM STUDI MAGISTER PEDAGOGIK


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wata’ala. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkat
ridho dan rahmat-Nya saya sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga dapat
memberi manfaat khususnya bagi mahasiswa dan umumnya bagi pembaca.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan tidak luput dari
berbagai kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika penulisannya. Maka dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan kearah yang lebih baik,
sehingga makalah ini dapat memberikan manfaat. Akhir kata saya mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang mendukung dan membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga segala bantuan, dorongan, dan bimbingan yang telah diberikan menjadi nilai ibadah
dimata Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin.

Bandung, Maret 2021


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................1
1.4 Manfaat......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2

2.1 ...................................................................................................................Induksi
...................................................................................................................2
2.2 ...................................................................................................................Logika
dalam Metode Ilmu Pengetahuan..............................................................3
2.3 ...................................................................................................................Generalis
asi Induktif.................................................................................................6
2.4 ...................................................................................................................Analogi
Induktif......................................................................................................11
2.5 ...................................................................................................................Sebab-
Akibat........................................................................................................15
2.6 ...................................................................................................................Hipotesa
...................................................................................................................33
2.7 ...................................................................................................................Probabilit
as................................................................................................................42

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................54

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Logika merupakan suatu ilmu yang mempelajari cara bernalar dengan benar untuk
mencari kebenaran yang utuh. Kehidupan sehari-hari secara tidak sadar kadang kita
menggunakan penalaran untuk mengambil kesimpulan atau jawaban terhadap permasalahan
yang sedang dihadapi. Penggunaan logika dengan akal sesuai dengan penalaran ilmiah yang
tertuju untuk mendapatkan jawaban yang benar.
Dalam ilmu pengetahuan logika sering digunakan untuk mencari kebenaran terhadap
permasalahan penelitian yang sedang dilakukan. penggunaan logika induktif seabgai
penalaran untuk mencari kebenaran dari hal-hal yang khusus berdasarkan fakta yang ada
untuk mendapatkan kesimpulan serta jawaban yang benar berdasarkan fakta yang ada.
Penggunaan penalaran dengan logika induktif berdasarkan pada keadaan pada hal
yang khusus menuju ke umum untuk mendapatkan kesimpulan. Penggunaan logika dapat
dipengaruhi oleh pengetahuan awal dari seseorang itu sendiri. hal ini akan mempengaruhi
hail dari penalaran yang dillakukan untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran Dalam
penelaran dalam mendapatkan jawaban tidak serta bersifat mutlak saja, namun juga bersifat
probabilitas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud logika induktif ?
2. Bagaimana logika induktif digunakan dalam kehidupan ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui apa itu logika induktif.
2. Mengatahui kegunaan logika induktif dalam kehidupan.

1.4 Manfaat Penulisan


Makalah ini bermanfaat untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai
logika induktif.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 INDUKSI
Dalam karangan singkat yang terkenal, karena jelasnya dan sederhananya, berjudul
“The Method of Science", Thomas Henry Huxley (1825-1895) menerangkan induksi dengan
contoh sebagai berikut:
"Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel. Kita
ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu dan
terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil sebuah yang lain. Itu pun keras, hijau,
dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi sebelum mencicipinya, kita
memperhatikannya dan terbukti yang itu pun adalah keras dan hijau, dan seketika itu kita
beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti
lain-lainnya yang sudah kita cicipi."
Jalan fikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli
apel, ialah sebuah induksi. Huxley menjelaskan proses induksi itu sebagai berikut:
"Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi. Kita telah
menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada apel itu selalu
bersama-sama dengan sifat masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama, dan itu
diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi
sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi: kedua fakta itu kita generalisasikan dan kita
percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hijau.
Dan ini suatu induksi yang tepat."
Menurut Huxley untuk sampai kepada kesimpulan penolakan apel ketiga, penalaran
induktif itu diikuti oleh penalaran deduktif:
"Nah, sesudah dengan demikian kita menemukan hukum alam, ketika kita ditawari apel
lain yang terbukti keras dan hijau, kita berkata: 'Semua apel yang keras dan hijau itu masam;
apel ini keras dan hijau, jadi apel ini masam". Jalan fikiran inilah yang oleh ahli logika
disebut silogisme..."

Kalau dirumuskan secara formal, penalaran diatas menurut Huxley adalah demikian:
Induksi:
Apel 1 keras dan hija adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam. Semua apel keras dan hijau adalah masam.
2
3

Deduksi:
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
Apel 3 adalah masam.
Induksi seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari
hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal (a passage from individuals to
universals). Di situ premisnya berupa proposisi-proposisi singular sedang konklusinya sebuah
proposisi universal, yang berlaku secara umom. Maka induksi dalam bentuk ini disebut
generalisasi.
Akan tetapi penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam bentuk lain
sebagai berikut:
Induksi:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
Apel 3 adalah masam.
Bentuk penalaran di atas juga suatu induksi, namanya analogi induktif. Untuk analogi
induktif ini mungkin batasan Aristoteles kurang mengena. Meskipun benar bahwa tidak
mungkin apel 3 itu masam kalau tidak semua apel keras dan hijau itu masam, akan tetapi
konklusi penalaran di atas bukan suatu proposisi universal, melainkan suatu proposisi
singular. John Stuart Mill (1806-1873) salah seorang tokoh terpenting yang mengembangkan
logika induktif, mendefinisikan induksi sebagai:
"Kegiatan budi, di mana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar
untuk kasus atau kasus-kasus khusus, juga akan benar untuk semua kasus yang serupa
dengan yang tersebut tadi dalam hal-hal tertentu" ("..that operation of the mind, by which we
infer that what we know to be true in partikular case or cases, will be true in all cases which
resemble the former in certain assignable respects")
Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri dari induksi, Pertama,
premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung kembali kepada suatu
observasi indera atau proposisi dasar (basic statement). Seperti sudah diterangkan di depan
(paragraf 1.2), proposisi dasar menunjuk kepada fakta, yaitu observasi yang dapat diuji
kecocokannya dengan tangkapan indera. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-tidaknya
fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa apel 1 itu keras, hijau, dan masam,
hanya inderalah yang dapat menangkapnya. Sekali indera mengatakan demikian, pikiran
4

tinggal menerimanya. Sejalan dengan Sumaryono (2016) menyatakan baha bila kita
memahami hakikat segala sesuatu, maka pada saat itu pula kita membentuk gagasan tentang
sesuatu tersebut
Kedua, konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang dinyatakan
didalam premis-premisnya. Premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang keras,
hijau dan masam itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah yang
dirumuskan di dalam premis-premis itu. Kalau dikatakan, bahwa juga apel 3 itu masam, hal
itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran. Menurut kaidah-kaidah logika, penalaran
itu tidak sahih; pikiran tidak terikat untuk menerima kebenarankonklusinya.
Ketiga: meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang mal
akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi atalaran
induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau derigan kata lain: konklusi
induksi itu memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas Pasional disebut probabilitas.
Probabilitas itu didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi itu menurut pengalaman
biasanya cocok dengan observasi inders, tidak mesti harus cocok.
Kecuali kedua jenis di atas masih ada induksi-induksi jenis lain, yang akan dibahias
dalam bab ini. Mengingat pentingnya induksi dalam metode keilmuan dewasa ini, terlebih
dahulu kita sisipkan sedikit penjelasan tentang kedudukan logika dalam metode keilmuan.

2.2. LOGIKA DALAM METODE ILMU PENGETAHUAN


Dalam "The method of Science", Th. H. Huxley menulis tentang hal ini:
"Metode penelitian ilmu pengetahuan tidak lain daripada rumusan cara kerja yang
rantlak dari lrudi manusia. Metode itu hanya cara yang biasa untuk menelaah semua
fenomena, yang telah ditingkatkan, sehingga menjadi tepat dan tegas. Perbedaannya tidak
lebih dari itu, akan tetapi justru di situ ada perbedaan semacam yang terdapat di antara apa
yang dikerjakan oleh seorang ilmuwan dan orang biasa, seperti diantara pekerjaan dan
cara-cara tukang roti atau seorang jagal, yang menimbang bahan-bahannya dengan
menggunakan timbangan bize dan pekerjaan seorang alili kimia, yang mengadakan analisa
yang sukar dan kompleks dengan menggunakan balance dan bobot-bobot yang terperinci
dengan sangat teliti. Soalnya bukan karena cara kerjanya timbangan dan balans itu berbeda
prinsip konstruksi dan prinsip kemanya, akan tetapi yang satu bahunya dipasang di atas as
yang jauh lebih halus daripada yang lain, dan dengan sendirinya bergerak hala ditambah
bobot yang jauh lebih kecil".
5

Mengingat bahwa penalaran ilmiah itu sebenarnya juga penalaran biasa yang
disempurnakan, maka penalaran si calon pembeli apel di warung buah-buahan itupun dasar-
dasarnya sama dengan penalaran ilmiah. Menurut rekonstruksi formal Huxley, penalaran itu
terdiri atas dua tahap: tahap induksi berdasarkan observasi dua apel keras, hijau, dan masam
dengan kesimpulan bahwa semua apel keras dan hijau itu masam. Hal yang sama terjadi
dalam proses ilmu pengetahuan, tetapi observasinya dengan teliti sekali. Dalam ilmu
pengetahuan alam, misalnya, dengan menggunakan alat seperti mikroskop, timbangan dan
takaran yang teliti, dalam ilmu sosial dengan menggunakan daftar pertanyaan, menentukan
kondisi setiap orang yang ditanyai (responden): umurnya, pekerjaannya, agamanya, dan
sebagainya. Melalui induksi, kesimpulannya dapat berupa hukum, kalau diperkirakan tidak
akan pernah terbantah oleh observasi lain atau teori kalau kiranya berlakunya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Kalau dasar observasi dianggap masih kurang kuat,
konklusinya dapat disebut hipotesa.
Tahap kedua dalam rekonstruksi penalaran calon pembeli apel menurut Huxley ialah,
penerapan hukum alam (bahwa semua apel keras dan hijau itu masam) pada suatu keadaan
tertentu, yaitu apel 3 yang keras dan hijau. Penalaran ini suatu deduksi.
Hal yang sama terjadi dalam proses ilmu pengetahuan. Ilmu pengetah meramalkan
atau membuat prediksi, bahwa hukum, teori, atau hipotesa itu akan berlaku untuk semua
kondisi yang sama seperti yang diobservasi terlebih dahulu dan menghasilkan hukum, teori
atau hipotesa itu. Ini penalaran deduktif.
Konklusi dari deduksi itu dalam ilmu pengetahuan diteliti lagi. Melalui observasi
yang cermat dikumpulkan fakta-fakta seperti yang dimaksudkan. Berdasarkan fakta-fakta itu
ditarik kesimpulannya melalui induksi lagi, seperti pada tahap pertama. Konklusinya tidak
bolch bertentangan dengan konklusi tahap pertama. Dalam ilma pengetahuan ini disebut
verifikasi atau lebih tepat koroborasi.
Karena ilmu pengetahuan (empirik) bermaksud mengumpulkan pengetahuan tentang
fakta atau observasi yang dapat dibenarkan dengan pengamatan indera (empirically verifiable
observation), maka jelaslah bahwa, sekali observasinya ten benar-tidaknya hasil pengetahuan
ilmiah itu tergantung dari tepat-tidaknya penalaran yang disusun berdasarkan fakta itu.
Meskipun baik induksi maupun deduksi itu mutlak diperlukan dalam proses ilmu
pengetahuan, peranan induksi kelihatan lebih menonjol, karena dalam ilmu pengetahuan
akhirnya faktalah yang menentukan benar tidaknya pengetahuan. Usaha mengumpulkan
pengetahuan inilah yang disebut penelitian (ilmiah).
6

2.3 GENERALISASI INDUKTIF


2.3.1 Syarat-syarat generalisasi
Sudah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat
umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu disebut generalisasi. Prinsip
yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu dapat dirumuskan demikian:
Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi
apabila kondisi yang sama terpenuhi.
Dua kali kita jumpai apel yang masam dalam kondisi keras dan hijau. Maka ketika
melihat apel ketiga memenuhi kondisi keras dan hijau, kita menyimpulkan, bahwa dapat
diharapkan apel itu pun akan masam rasanya. Kesimpulan itu hanya suatu harapan, suatu
kepercayaan, karena seperti dikatakan di atas, konklusi penalaran induktif tidak mengandung
nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu probabilitas, suatu peluang.
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi. Generalisasi
dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: "Semua apel yang keras dan hijau,
rasanya masam'; "Semua logam yang dipanasi memuai'.
Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya, generalisasi tidak boleh
terikat kepada jumlah tertentu. Kalau dikatakan bahwa "Semua A adalah B", maka
proposisi itu harus benar, berapa pun jumlah A. Proposisi itu berlaku untuk setiap dan
semua subyek yang memenuhi kondisi A.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya, tidak boleh terbatas
dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku di mana saja dan kapan saja.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian. Yang dimaksud dengan 'dasar
pengandaian' di sini ialah: dasar dari yang disebut 'contrary-to-facts conditionals' atau
'unfulfilled conditionals'. Contohnya yang jelas sebagai berikut:
Faktanya: x, y, dan z itu masing-masing bukan B.
Ada generalisasi: Semua A adalah B.
Pengandaiannya: Andaikata x, y, dan z itu masing-masing sama dengan A atau dengan
kata-kata lain: Andaikata x, y, dan z itu masing-masing memenuhi kondisi A, maka pastilah
x, y, dan z itu masing-masing sama dengan B. Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk
pengandaian seperti itulah kondisi yang memenuhi syarat.
7

2.3.2 Bentuk generalisasi induktif


Logika menganalisa dan merekonstruksikan penalaran. Dalam logika deduktif hasil
usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi yang sahih, yaitu bentuk deduksi,
yang kalau premis-premisnya benar, konklusinya tentu juga benar.
Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang
pasti. Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Maka hasil usaha
analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya berupa ketentuan ketentuan mengenai
bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas setinggi-tingginya.
Tinggi-rendahnya probabilitas konklusi itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang
disebut faktor-faktor probabilitas.
Untuk jelasnya, kita lihat faktor-faktor probabilitas yang berhubungan dengan
generalisasi induktif. Kita bandingkan bentuk-bentuk generalisasi induktif di bawah ini:
1. Apel ini keras, hijau dan rasanya masam.
 Semua apel yang keras dan hijau rasanya masam.
2. Apel 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Apel 2 idem
Apel 3 idem
 Semua apel keras dan hijau, rasanya masam.
3. Apel 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Apel 2
s/d 15 ) idem
 Semual apel yang keras dan hijau, rasanya masam.
4. Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Apel 2 idem
Apel 3 idem
 Semua apel keras dan hijau, rasanya masam.
5. Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Apel 2 keras, hijau, dari Batu, baru saja dipetik, dan masam.
Apel 3 keras, hijau, besar, dari Korea, sudah disimpan sebulan, dan masam.
 Semua apel keras dan hijau, rasanya masam.
6. Apel 1 keras, hijau, benjol, rasanya masam
Apel 2 keras, hijau, besar, rasanya masam
Apel 3 keras, hijau, kecil, rasanya masam.
 Semua apel keras dan hijau rasanya masam.
8

Semua enam penalaran generalisasi induktif di atas konklusinya sama, yaitu semua
apel keras dan hijau itu rasanya masam. Akan tetapi jelaslah bahwa pikiran kita lebih mudah
mengakui kebenaran konklusi penalaran yang satu daripada kebenaran konklusi penalaran
yang lain. Dengan lain perkataan: konklusi-konklusi itu berbeda-beda kredibilitas rasionalnya
atau probabilitasnya. Apa yang menyebabkan perbedaan probabilitas itu ialah faktor-faktor
probabilitasnya
Kalau konklusi konklusi induksi dari induksi (3) dibandingkan dengan konklusi (2),
maka jelas (3) lebih tinggi probabilitasnya. Kita lebih dapat menerima kebenarannya daripada
kebenaran konklusi induksi (2) Kalau kita cari sebabnya mengapa pikiran kita lebih dapat
menerima konklusi induksi (3) sebab yang dapat ditunjuk ialah: karena induksi (3) premis-
premisnya menunjuk 15 fakta, sedang induksi (2) hanya 3 fakta. Induksi (1) premisnya hanya
mengenai satu fakta saja dan kita cenderung untuk meragukan kebenaran konklusinya,
artinya: probabilitasnya amat rendah
Dari perbandingan-perbandingan di atas kita menemukan: faktor probabilitas yang
pertama, yaitu: jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif dan kaidahnya yang
dapat dirumuskan demikian: makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran
induktif, makin tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya
Kaidah inilah yang menjadi dasar maka dalam usaha untuk menambah pengetahuan
ilmiah, yaitu dalam penelitian, harus digunakan sebanyak mungkin fakta sebagai dasar
penalarannya. Yang ideal ialah kalau semua fakta dapat dirumuskan sebagai premis. Jumlah
dari semua subyek yang ditunjuk oleh konklusi yang berupa generalisasi dan berbentuk
proposisi universal itu dalam rangka penelitian disebut populasi. Penelitian yang
menggunakan penalaran yang jumlah fakta yang dijadikan dasar premis premisnya sama
besarnya dengan populasi subyek yang diteliti ialah penclitian metode sensus, berlainan
dengan metode sampling, yang menggunakan penalaran yang premis-premisnya menunjuk
kepada sebagian saja dari populasi yang bersangkutan. Konklusi metode sampling ialah suatu
probabilitas atau peluang, karena penalarannya ialah penalaran induktif. Akan tetapi konklusi
metode sensus adalah suatu kepastian. Kalau jumlah fakta disebut oleh premis-premis sama
besarnya dengan jumlah subyek yang dimaksud oleh generalisasi konklusinya, itu berarti
bahwa generalisasi konklusi itu tidak memenuhi syarat 'secara numerik tidak terbatas', di sini
generalisasi itu berarti jumlah tertentu. Penalaran yang demikian itu juga disebut induksi
sumatif atau induksi lengkap (sumative atau complete induction). Yang dimaksud dengan
'induksi' dalam logika bukan induksi lengkap, akan tetapi induksi tak lengkap atau induksi
ampliatif (ampliative atau incomplete induction), yang konklusinya suatu probabilitas.
9

Meskipun dikatakan bahwa induksi lengkap yang digunakan dalam metode sensus itu
menghasilkan suatu konklusi yang pasti, akan tetapi kalau metode sensus itu diterapkan untuk
populasi yang besar, mudah sekali terjadi ketidaktelitian: ada anggota populasi yang tercecer,
atau ada anggota yang dihitung dua kali dan karena sensus memerlukan banyak petugas,
mudah terjadi bahwa data yang dihasilkan oleh petugas yang satu tidak sama nilainya dengan
yang dikumpulkan oleh petugas yang lain. Karena ketidaktelitian ini, maka hasil sensus pun
biasanya juga suatu probabilitas
Kita teruskan dengan membandingkan penalaran (2) dan (4) yang konklusinya juga
sama. Kalau premis-premis kedua penalaran itu dibandingkan, maka diantara premis
penalaran (2) ada faktor yang sama diantara apel 1, 2, dan 3, yaitu: keras dan hijau. Pada
penalaran (4) faktor persamaan itu ada empat: keras, hijau, kecil, dan benjol. Faktor
persamaan seperti itu disebut faktor analogi.
Kalau probabilitas konklusi kedua penalaran itu dibandingkan, terbukti konklusi
penalaran 4 lebih lemah atau lebih rendah probabilitasnya. Premis penalaran mengatakan
bahwa yang masam itu adalah apel yang keras, hijau, kecil dan benjol, bukan asal apel keras
dan hijau. Jadi jelas konklusi itu menunjuk kepada suatu populasi yang lebih besar daripada
yang ditunjuk oleh premis-premisnya. Dengan adanya tambahan dua faktor analogi itu
probabilitas menurun. Jadi jumlah faktor analogi itu adalah faktor probabilitas (yang
kedua). Kaidahnya dapat dirumuskan demikian:
Makin besar jumlah faktor analogi didalam premis, makin rendah probabilitas
konklusinya dan sebaliknya. Jadi setiap generalisasi induktif hanya berlaku untuk populasi
yang dimaksud oleh premis-premisnya.
Faktor probabilitas ketiga ialah jumlah faktor disanalogi. Kaidahnya: Makin besar
jumlah faktor disanaloginya didalam premis, makin tinggi probabilitas konklusinya dan
sebaliknya. Ini terbukti kalau kita membandingkan penalaran (4) dan (6) Premis-premis
penalaran (6) masing-masing mengandung sebuah faktor yang berbeda di antara premis yang
satu dengan yang lain, yaitu: benjol, besar, dan kecil. Faktor yang menyebabkan perbedaan
ini disebut faktor disanalogi. Karena adanya faktor disanalogi ini konklusi penalaran (6) lebih
tinggi probabilitasnya daripada konklusi penalaran (4). Sebaliknya konklusi penalaran (5)
lebih tinggi probabilitasnya daripada penalaran (6), karena jumlah faktor disanaloginya lebih
besar. Konklusi (4) belum tentu akan benar kalau diterapkan kepada apel keras, hijau, dan
berasal dari Korea, serta sudah disimpan sebulan, sedang konklusi penalaran (5) akan tetap
saja probabilitasnya. Meskipun konklusi penalaran (6) dapat diterapkan untuk semua apel
10

keras, hijau, benjol, besar, dan kecil, akan tetapi premis-premisnya tidak mengatakan apa-apa
andaikata apel itu dari Korea dan sudah disimpan satu bulan.
Hubungan antara faktor analogi dan disanalogi itu secara umum dapat dikatakan
demikian: populasi yang ditunjuk oleh generalisasi tidak boleh memiliki anggota yang tidak
sesuai dengan adanya faktor analogi dan disanalogi di dalam premis. Dari sini dapat
disimpulkan faktor probabilitas keempat, yaitu: luasnya konklusi. Kaidahnya: Semakin luas
konklusinya semakin rendah probabilitasnya dan sebaliknya.
Sebuah generalisasi atau proposisi pada umumnya itu semakin luas semakin besar
populasi yang ditunjuknya. Dan semakin sedikit faktor analogi yang terdapat dalam
generalisasi atau proposisi pada umumnya semakin besar populasi yang ditunjuknya.
Semakin sedikit faktor analogi didalam generalisasi atau proposisi, semakin besar
kemungkinannya generalisasi atau proposisi itu tidak sesuai lagi kalau anggotanya ada yang
memiliki faktor analogi lebih daripada yang disebut di dalam generalisasi atau proposisi itu.
Memahami fungsi faktor-faktor analogi dalam penalaran itu penting sekali dalam
usaha untuk menambah pengetahuan atau dalam penelitian. Tiap-tiap penelitian tentu
mempunyai tujuan tertentu yang rumusannya diharap akan berlaku untuk setiap dan
semua anggota populasi yang ditunjuk oleh rumusan itu, Untuk membuktikan bahwa
mengandung faktor-faktor analogi yang sesuai dengan faktor-faktor yang terdapat rumusan
itu memiliki probabilitas yang diharapkan, harus dicari fakta-fak di dalam rumusan tujuan.
Dalam usaha mencari dan mengumpulkan fakta itu dikerjakan dengan menggunakan angket,
maka dalam angket itu harus disebutkan faktor-faktor analogi yang dicari itu. Tanpa
memahami fungsi faktor analogi ini, pengumpulan data mengenai ketentuan dari fakta yang
dicari merupakan suara yang tidak mengarah. Yang
Faktor analogi itu jumlahnya tidak terbatas. Yang harus dicari tentu saja yang
terpenting atau yang penting penting yang relevan. Kumpulan fakta tidak selalu dapat
digunakan untuk menyimpulkan suatu generalisasi. Kalau diantaranya ada alu fakta saja yang
tidak sesuai, misalnya dalam contoh di atas: ada apel keras dan ku. tetapi manis, maka
generalisasi yang disimpulkan pasti salah. Jadi berapa pun banyaknya fakta yang cocok yang
terkumpul, karena penalarannya itu suatu maka kesimpulannya hanya mengandung
probabilitas, sebaliknya kalau satu fakta saja yang tidak cocok, kesimpulannya pasti salah.
Inilah yang disebut asimetri dalam induksi.
Kalau diantara fakta yang terkumpul itu ada yang tidak cocok, misalnya diantara 10
apel ada dua yang keras dan hijau tetapi manis, kesimpulannya harus berbunyi: Sebagian apel
keras dan hijau rasanya masam. Dalam penelitian, jumlah fakta yang terkumpul itu disingkat
11

menjadi n (numerus = angka, jumlah). n = 10 berarti jumlah fakta yang terkumpul ada 10.
"Sebagian dalam konklusi, misalnya 8, dapat dinyatakan dalam persentase. Kalau n = 10,
maka kesimpulannya menjadi 80% apel keras dan hijau rasanya masam. Konklusi itu dapat
divisualisasikan menjadi grafik.

2.4. ANALOGI INDUKTIF


2.4.1 Analogi sebagai dasar induksi
"Analogi dalam bahasa Indonesia ialah "kias (Arab: qasa = mengukur,
membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan,
yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan
yang lain. Dalam mengadakan perbandingan, orang mencari persamaan dan perbedaan di
antara hal-hal yang diperbandingkan. Kalau lembu dibandingkan dengan kerbau, maka
kedua-duanya adalah binatang, akan tetapi yang satu berbeda dengan yang lain mengenai
besarnya, warnanya dan sebagainya. Samo dan Sarni kedua-duanya adalah anak pak Sastro,
akan tetapi Sarno laki-laki, Sarni perempuan, Sarno berumur 15 tahun, Sarni 10 tahun dan
seterusnya. Kalau dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja,
tanpa melihat perbedaannya, timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda.
Sehat adalah kondisi badan yang baik. Jamu adalah sarana untuk memelihara kondisi
badan yang baik atau kesehatan. Maka kamu pun disebut schat, karena adanya persamaan
dengan kondisi badan yang baik, meskipun schatnya badan lain daripada sehatnya jamu. Di
sini 'sehat' pada jamu mempunyai arti kiasan. Dikatakan: 'schat pada jamu analog dengan
'schar' badan, atau diantara sehatnya' jamu dan 'sehatnya' badan ada analogi.
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai
penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan.
Tumbuh-tumbuhan berbunga dan bunga itu merupakan perhiasan baginya. Bangsa itu
bukan tumbuh-tumbuhan dan juga tidak berbunga, akan tetapi pejuang yang gugur
dalam membela bangsanya, menjadi perhiasan bagi bangsanya, sehingga secara analogi
dikatakan bahwa pejuang itu gugur sebagai kusuma bangsa
Dalam Meghaduta, karangan pujangga India Kalidasa, scorang Yaksa dalam
pengasingan di tengah hutan teringat kepada kekasihnya dan melihat analogi diantara
berbagai sifat kekasihnya dengan keadaan alam di sekitarnya:
"Sulur-sulur hijau membangkitkan kenanganku kepada tubuhmu, pada mata kijang
terkejut kulihat main matamu, melihat bulan kuingat kepada sinar pipimu, rambutmu
kulihat pada ekor merak pada riak sungai yang tenang kulihat permainan keningmu".
12

Sebaliknya apa yang ditulis oleh Chairil Anwar dalam sajaknya:


"Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang..."
bukan sekedar perumpamaan, akan tetapi suatu penalaran yang didasarkan atas analogi. Di
sini Chairil tidak hanya membuat perbandingan di antara dirinya sendiri dengan binatang
jalang, akan tetapi juga menarik kesimpulan atas dasar analogi itu, yaitu: (aku ini) dari
kumpulannya terbuang. Prinsip yang menjadi dasar penalaran analogi induktif itu dapat
dirumuskan demikian:
Karena d itu analog dengan, a, b, dan c, maka apa yang berlaku untuk a, b, dan c
dapar diharapkan juga akan berlaku untuk d.
Dengan sebuah contoh, prinsip di atas akan mendapat bentuk sebagai berikut:
a. Sarno anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
b. Sarni anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
c. Sardi anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
d. Sarto adalah anak Pak Sastro. –
 Sarto anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
Jadi analogi induktif tidak hanya menunjukkan persamaan di antara dua hal yang
berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan itu. Chairil tidak hanya
membandingkan dirinya dengan binatang jalang. Akan tetapi karena binatang jalang itu selalu
diasingkan oleh kumpulannya, maka disimpulkannya: aku pun terbuang dari kumpulanku
Berbeda dengan generalisasi induktif, yang konklusinya berupa proposisi universal,
konklusi analogi induktif tidak selalu berupa proposisi universal, akan tetapi tergantung dari
subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi. Dan subyek itu dapat individual,
partikular ataupun universal. Akan tetapi sebagai penalaran induksi di sini pun konklusinya
lebih luas daripada premis-premisnya. Bahwa tiga anak Pak Sastro itu rajin dan jujur tidak
menjamin secara pasti dan mutlak, bahwa anaknya yang keempat juga rajin dan jujur.

2.4.2 Bentuk analogi induktif


Seperti dalam hal generalisasi induktif, bentuk penalaran analogi induktif itu
ditentukan oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya dan dinyatakan sebagai
premis. Seperti dalam hal generalisasi pula, jumlah fakta tersebut merupakan faktor
probalitas yang pertama. Semakin besar jumlah fakta tersebut semakin tinggi probabilitasnya
dan sebaliknya.
13

Selain oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar penyimpanan, bentuk analogi juga
tergantung kepada jumlah faktor-faktor analogi. Jadi lagi-lagi seperti pada generalisasi tektif.
Jumlah faktor analogi itu juga merupakan faktor probabilitas. Makin besar jumlah faktor
analoginya, makin rendah probabilitasnya. Bentuk penalaran analogi induktif selanjutnya
ditentukan oleh jumlah faktor disanalogi. Dan seperti pada generalisasi induktif pula, faktor
analogi itu juga merupakan faktor probabilitasnya. Semakin besar jumlahnya, semakin tinggi
probabilitasnya dan sebaliknya.
Akhirnya bentuk analogi induktif juga tergantung kepada bentuk proposisi yang
menjadi konklusinya. Makin luas konklusinya, makin rendah probabilitasnya dan sebaliknya.
Jadi luasnya konklusi juga di sini merupakan faktor probabilitas.
Jadi untuk generalisasi induktif dan analogi induktif itu baik faktor-faktor
probabilitasnya maupun kaidah-kaidahnya adalah sama. Hal ini sebetulnya tidak luar biasa,
kalau kita ingat apa yang telah dikatakan pada permulaan bab ini (paragraf 6.1). Di situ jalan
fikiran si calon pembeli apel dirumuskan menjadi dua bentuk penalaran. Yang pertama dari
dua fakta disimpulkan sebuah generalisasi induktif (kemudian dideduksikan suatu konklusi
khusus). Yang kedua, dari dua fakta langsung disimpulkan sebuah konklusi khusus. Bentuk
kedua ini adalah suatu analogi induktif, sedang bentuk yang pertama adalah suatu
generalisasi induktif.
Dalam metode keilmuan, analogi induktif itu dapat digunakan untuk
mendeterminasikan apakah sesuatu obyek atau fakta itu, dan sifat-sifat apakah yang dapat
diharapkan padanya; sedang generalisasi induktif terutama digunakan untuk menemukan
hukum, menyusun teori, atau hipotesa.

2.4.3 Kesesatan generalisasi/analogi


Di samping faktor-faktor tersebut di atas, yang boleh disebut faktor-faktor obyektif,
juga ada faktor-faktor subyektif, yang mempengaruhi tinggi rendahnya probabilitas konklusi
induksi. Faktor subyektif itu terletak pada diri manusia yang berfikir dan berupa kondisi-
kondisi tertentu, yang bersifat pribadi dan tidak disadari. Kalau disadarkan bahwa kondisi
dirinya mewarnai konklusi penalarannya, biasanya ia akan segera menerima bahwa
penyimpulannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penalaran. la akan mengakui kekeliruan
atau kesesatannya. Maka ellacraia). tidak sesuai dengan kaidah penalaran itu juga disebut
kesesatan Kesesatan yang berhubungan dengan penalaran induktif, yang terpenting adalah:
Kesesatan karena tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat menarik konklusi, sedang fakta-
fakta yang dijadikan dasarnya tidak cukup mendukung konklusi itu, Jadi jumlah fakta sebagai
14

dasar konklusinya terlalu sedikit. Misalnya: Seorang jejaka berjumpa dengan seorang gadis
Solo pertama kali di suatu pesta, kemudian berjumpa dengan seorang gadis Solo lain di
sebuah toko dan untuk ketiga kalinya ia melihat seorang gadis Solo lagi diatas pentas. Ketiga
gadis itu semua sama-sama luwes. Maka tidak dapat ditawar lagi, si jejaka ingin
mempersunting seorang gadis Solo. Didalam anggapannya: semua gadis Solo itu tentu luwes.
Ini suatu kesimpulan yang tergesa-gesa. Tiga fakta rasanya tidak cukup untuk dijadikan dasar
konklusinya.
Kesesatan lain terjadi karena kecerobohan. Misalnya: Jejaka lain, teman dari jeiak. di
atas, sependapat. Katanya: "Saya pernah di keraton Surakarta, ketika Sri Susuhu berulang
tahun. Saya melihat kira-kira limabelas gadis di sana, semua cantik-cantik, Memang semua
putri Solo itu luwes".
Ini suatu kesimpulan yang ceroboh, karena mengabaikan adanya faktor-fak
berkebaya,
analogi yang penting. Lima belas gadis itu semua adalah gadis bangsawan, berdandan secara
khas untuk keperluan perayaan berada di lingkungan yang mengesankan, mereka bergerak di
lingkungan khusus dengan disaksikan oleh para tamu dan oleh Sri Susuhunan sendiri.
Seharusnya kesimpulan itu tidak mengenai semua puteri Solo, akan tetapi hanya mengenai
lima belas puteri yang pada waktu itu sedang di keraton.
Contoh-contoh di atas mengenai kesesatan generalisasi. Kesesatan generalisasi
semacam itulah, yang menyebabkan istilah 'generalisasi sering mendapat arti peioratif.
Kita teruskan contoh tentang puteri Solo. Jejaka di atas jadi memperisteri seorang
gadis Solo. la yakin bahwa isterinya pun luwes. Kesimpulan bahwa gadis Solo isterinya itu
luwes, adalah konklusi suatu analogi induktif.
Kesesatan lain sering timbul karena prasangka. Jejaka yang mempersunting puteri
Solo itu berasal dari luar Jawa dan sebelumnya sudah memuji-muji isterinya sebagai gadis
yang halus dan luwes, karena ia puteri Solo. Ketika isterinya dibawa pulang ke kampung,
ibunya berkata: "Isterimu kalau berbicara kok suaranya seperti pedagang ayam di pasar?" ---
Jawabnya: 'Ah, itu karena ibu kalau berbicara mesti keras-keras, sehingga ia mengira bahwa
ibu kurang pendengarannya'. Lain kali ibunya berkata: "Isterimu jalannya kok seperti dikejar
maling."-'Ah, itu karena ibu selalu membuat ia terkejut dan ketakutan'. Pada kesempatan lain
lagi: "Isterimu kalau duduk kok seperti penjual lombok di pasar?" 'Ah, ia tidak biasa duduk di
tempat yang keras'. Prasangka membuat orang tidak mengindahkan fakta-fakta yang tidak
cocok dengan konklusi.
15

Kesesatan di atas adalah yang dapat dianggap yang terpenting, yang sering terjadi.
Tidak mungkin diduga karena apa saja orang menarik konklusi yang tidak sesuai dengan
premis-premis yang ada.

2.5 SEBAB-AKIBAT
2.5.1 Sebab-akibat sebagai dasar induksi
Pada umumnya kalau orang berbicara tentang sebab dan akibat, yang dimaksud ialah
bahwa keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan atau menjadikan keadaan atau kejadian
yang lain. Yang satu itu disebut sebab, sedang yang lain akibat.
Dalam pengertian sebab-akibat itu pertama-tama terkandung makna bahwa yang satu
(sebab) itu mendahului yang lain (akibat), setidak-tidaknya secara logika atau dalam jalan
pikiran kita. Akan tetapi tidak semua yang mendahului sesuatu yang lain itu tentu sebab dari
yang lain itu. Kalau seorang pasien meninggal sesudah disuntik, belum tentu kematiannya
disebabkan oleh suntikan itu. Hubungan antara sebab dan akibat itu bukan hubungan urutan
biasa atau hubungan yang kebetulan. Hubungan sebab-akibat itu suatu hubungan yang
intrinsik, suatu hubungan azasi, hubungan yang begitu rupa, sehingga kalau yang satu (sebab)
ada/tidak ada, maka yang lain (akibat) juga pasti ada/tidak ada. Kecuali itu hubungan sebab-
akibat itu adalah sesuatu yang mengandung keseragaman, memiliki sifat kaidah, artinya:
apabila sebabnya sama, maka akibatnya juga sama. Jadi dalam keadaan yang serupa ada
hubungan sebab-akibat yang serupa.
Diatas dikatakan bahwa hubungan sebab-akibat itu mempunyai sifat intrinsik, akan
tetapi juga dikatakan di atas bahwa tidak selalu sesuatu yang timbul sesudah yang lain itu
merupakan akibat dari yang lain itu. Agar hubungan antara sebab dan akibat menjadi jelas,
dalam logika 'sebab itu dipandang sebagai suatu syarat atau suatu kondisi yang merupakan
dasar adanya atau terjadinya sesuatu yang lain, yaitu 'akibat Dibedakan antara dua macam
kondisi, yaitu: kondisi mutlak (necessary condition) dan kondisi memadai (sufficient
condition)
Yang disebut kondisi mutlak adalah sebab yang kalau tidak ada, akibatnya juga tidak
d Ini berarti bahwa akibat A hanya ada kalau ada sebab S: A hanya kalau S. Jadi dari adanya
akibat A dapat disimpulkan adanya sebab S. Hal ini akan jelas apabila disalin dalam bentuk
lambang, Kalau sebab S tidak ada, maka akibat A tidak ada:
16

~S ⊃ ~ A
A

Ada akibat A :
Jadi ada sebab S: ∴ S
Ada akibat A: Jadi ada sebab S: S
Jelas ini bentuk modus tollens biasa.
Adapun yang disebut kondisi memadai ialah sebab yang kalau ada, akibatnya tentu
ada: Kalau S maka A. Jadi dari adanya sebab di sini dapat disimpulkan adanya akibat. Disalin
dalam bentuk lambang, ini menjadi bentuk modus ponens biasa:

S⊃A
S

∴A
Contoh: Sebuah pabrik petasan terbakar, karena bahan petasan terkena percikan api
rokok, sehingga meledak dan menimbulkan kebakaran
Dalam peristiwa itu bahan petasan itu merupakan kondisi mutlak dari ledakan yang
menimbulkan kebakaran itu. Tanpa adanya bahan peledak, tidak mungkin ada ledakan.
Sebaliknya kalau sesuatu meledak, mesti ada bahan peledak. Dari adanya
ledakan dapat disimpulkan adanya bahan peledak.
Demikian juga percikan api di sini merupakan kondisi mutlak. Tanpa percikan api.
yaitu suatu zat yang bersuhu tinggi, tidak mungkin terjadi ledakan.
Baik bahan peledak maupun percikan api, secara sendiri-sendiri tidak cukup untuk
menimbulkan ledakan. Baru kalau percikan api itu menyentuh bahan peledak, terjadilah suatu
ledakan. Jadi peristiwa tersentuhnya bahan peledak oleh api, itulah kondisi yang memadai
dari peristiwa ledakan.
Dari adanya ledakan, kita dapat menyimpulkan adanya bahan peledak dan adanyam
zat yang bersuhu tinggi (api), sebaliknya dari peristiwa tersentuhnya bahan peledak oleh api,
kita dapat menyimpulkan adanya ledakan.
Di samping sebab yang merupakan kondisi mutlak dan kondisi memadai, ada sebab
yang sekaligus merupakan kondisi mutlak dan memadai, Misalnya: Lulus ujian penyaringan
adalah syarat untuk diterima di universitas. Ini mengandung dua arti:
17

1. Lulus ujian adalah kondisi mutlak. Kalau diterima di universitas (akibat A), orang
tentu lulus ujian penyaringan (sebab S). Jadi: A ɔ S
2. Lulus ujian adalah kondisi memadai. Kalau orang lulus ujian (S), maka ia tentu

diterima di universitas. Jadi: S ⊃ A


Jadi hubungan sebab-akibat dalam proposisi di atas adalah: (A ⊃ S )v (S ⊃ A) atau S. Jadi di
sini sebab dan akibat adalah ekuivalen.
Dengan melihat sebab sebagai suatu kondisi adanya atau terjadinya sesuatu, maka
hubungan intrinsik antara sebab dan akibat itu terjabar menjadi tiga macam:
1. Dari adanya akibat dapat disimpulkan adanya sebab: A ⊃ S.
2. Dari adanya sebab dapat disimpulkan adanya akibat: S ⊃ A.
3. Dari adanya sebab dapat disimpulkan akibatnya dan sebaliknya: S ≡ E A.
Bentuk-bentuk penalaran untuk menyimpulkan sebab dari akibat atau sebaliknya,
yang sekarang pada umumnya digunakan ialah bentuk-bentuk menurut metode yang
diciptakan oleh John Stuart Mill (1806 – 1873).
Metode Stuart Mill adalah metode yang diciptakan khusus untuk menarik kesimpulan
dalam hubungan sebab-akibat. Jumlahnya ada lima. Berturut-turut dibahas di bagian berikut.

2.5.2 Metode Persamaan (The Method of Agreement)


Prinsip metode persamaan itu oleh Stuart Mill sendiri dirumuskan demikian:
"Apabila dua peristiwa atau lebih dari suatu gejala yang diteliti hanya
mempunyai satu faktor yang sama, maka satu-satunya faktor yang sama untuk
semua peristiwa itu ialah sebab (atau akibat) dari gejala tersebut". (If rwo or more
instances of the phenomenon under investigation have only one circumstande
in common, the circumstance in which alone all the instances agree, is the cause
(or effect) of the given phenomenon. )*

Sebagai contoh dapat kita ambil gejala: 'sakit perut'. Peristiwanya: 'makan di warung
Jumlah peristiwa tiga. Karena di sini jelas bahwa makan di warung itu mendahului sakit
perut, maka gejala 'sakit perut adalah akibat. Jadi yang dicari adalah sebabnya. Untuk
keperluan itu harus ditemukan faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa itu, yang
berhubungan dengan makan di warung. Tiga peristiwa makan di warung itu, misalnya,
faktor-faktornya untuk masing-masing peristiwa adalah sebagai berikut:
18

A makan nasi gudeg, makan telur, minum teh, dan sakit perut.
B makan pisang, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
C makan kacang, makan emping, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
Satu-satunya faktor yang sama dalam ketiga peristiwa di atas ialah 'minum teh'. Maka
'minum teh' itulah sebab dari sakit perut.
Kesimpulan itu berdasarkan pengertian sebab sebagai kondisi mutlak: apabila
akibatnya ada, maka sebabnya harus ada. Terbukti yang memenuhi syarat ini di antara semua
faktor-faktor itu hanya 'minum teh. Jadi 'minum teh' itulah yang menyebabkan sakit perut.
Seperti konklusi penalaran induksi lainnya, konklusi metode persamaan ini juga tidak
mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya mengandung probabilitas. Untuk
memperoleh kepastian, seharusnya semua faktor yang mungkin Pvan dengan akibatnya
disebutkan dan ini suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan. Bahwa konklusi penalaran
dengan metode persamaan ini bukan kepastian, dapat menjadi jelas, kalau kita bertanya:
"Apakah tidak mungkin yang menjadi sebab dari akit perut itu 'minum teh bersama-sama
dengan faktor lain, yang ada, tetapi tidak diketahui dan tidak disebut?" "Apakah tidak
mungkin yang menyebabkan sakit perut itu sebuah faktor yang tidak disebutkan dan bahwa
kebersamaan 'minum teh dan sakit perut itu hanya suatu kebetulan saja, yang kalau jumlah
peristiwa yang dikumpulkan didalam premis itu ditambah, mungkin akan terbukti bahwa
'minum teh teh itu tidak selalu diikuti oleh 'sakit perut?
Jelaslah bahwa dalam metode persamaan ini orang menarik konklusi berdasarkan
asumsi bahwa sebab yang dicari itu tentu terdapat di antara faktor-faktor yang disebut di
dalam premis.
Contoh penerapan metode persamaan ini misalnya sebagai berikut: Pada bulan-bulan
pertama tahun 1982, secara relatif banyak terjadi pembajakan bis untuk merampas harta-
benda penumpang atau penggedoran toko. Dari laporan dan keterangan penjahat yang
tertangkap, terbukti mereka itu relatif masih muda, umur antara 20 dan 35 tahun dan selalu
menggunakan kendaraan bermotor, yang berarti bahwa penjahat itu dari golongan kelas
menengah, setidak-tidaknya bukan dari lingkungan orang miskin. Kecuali itu, mengingat
pengetahuan mereka tentang ilmu bumi dan perhitungan-perhitungannya, mereka itu tentu
termasuk orang terpelajar. Mengapa orang dari golongan yang secara relatif dapat hidup
dengan kecukupan itu toh melakukan kejahatan? Dapat diduga tentu ada sesuatu yang
merangsang. Salah satu faktor yang sama untuk semua orang dari kelas itu berasal dari acara
TV. Maka dari penjahat-penjahat yang telah tertangkap dikumpulkan fakta mengenai
19

kegemaran mereka untuk menonton film seri TV. Hasilnya disusun dalam sebuah tabel
seperti berikut:

Film seri

Mission

Robin
Pembaja

e gibbsvill

The saint

the bear
The big

Bj and
valley
chips
k/

hood
1 −¿ −¿ −¿    −¿

impossibl
penggedo

2 −¿ −¿  −¿  −¿ 
r no

3  

e
−¿ −¿ −¿ −¿ −¿
4  −¿ −¿ −¿   
5 −¿ −¿    −¿ −¿
6 −¿  −¿ −¿  −¿ 
7 −¿ −¿ −¿ −¿  −¿ −¿
8 −¿ −¿  −¿   −¿
9 −¿  −¿ −¿  −¿ 
10 −¿ −¿  −¿  −¿ 

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penjahat muda yang cukup terpelajar dan cukup
berada itu disebabkan mendapat rangsangan untuk berbuat jahat dari tokoh petualang yang
menentang orde yang mapan dan mempunyai glamour atau mendapat pujian masyarakat,
yaitu: Robin Hood.

2.5.3 Metode Perbedaan (The Method of Difference)


Prinsip metode perbedaan itu oleh Stuart Mill dirumuskan demikian:
"Kalau sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa lain
yang tidak mengandungnya, semua faktor-faktornya sama kecuali satu, sedang yang satu itu
terdapat pada peristiwa pertama, maka faktor satu-satunya yang menyebabkan kedua
peristiwa itu berbeda adalah akibat atau sebab atau bagian yang tak terpisahkan dari sebab
gejala tersebut". (If an instance in which the phenomenon under investigation occurs, and an
instance
in which it does not occur, have every circumstance in common save one, that one occuuring
only in the former; the circumstance in which alone the two instances differ, is the effect, or
the cause, or an indispensable part of the cause of the phenomenon.)
20

Kalau kita sebagai contoh menggunakan lagi 'makan di warung sebagai peristiwanya
dan sakit perut sebagai gejala yang dicari sebabnya, maka contohmetode perbedaan itu
menjadi seperti berikut:
A makan nasi gudeg, makan telur, minum teh, dan sakit perut.
B makan nasi gudeg, makan telur, dan tidak sakit perut.
Metode ini penerapannya dalam penelitian berupa eksperimen atau penelitian
eksperimental atau eksperimen terkendali (controlled experiment). Dalam eksperimen
terkendali ada dua peristiwa yang diperbandingkan, yang semua faktor-faktornya yang
relevan sama kecuali satu, yaitu faktor yang dianggap merupakan sebab dari gejala yang
dipandang sebagai akibatnya. Faktor yang terakhir ini disebut faktor eksperimental dan
subyek dari peristiwa yang mengandung faktor eksperimental disebut kelompok
eksperimental. Subyek dari peristiwa yang tidak mengandung faktor eksperimental disebut
kelompok pengendali (experimental dan control group). Metode penelitian mengenal
beberapa cara untuk mencapai persamaan yang dapat dipertanggungjawabkan antara
kelompok eksperimental dan kelompok pengendali. Kalau dalam logika kita berbicara
tentang faktor atau faktor analogi dan disanalogi yang menunjuk dasar penyimpulan, dalam
penelitian orang berbicara tentang variable, yaitu faktor atau ciri yang memiliki nilai yang
dapat bervariasi. Faktor penyebab disebut variabel tak terikat (independent variable), sedang
gejala atau akibatnya disebut variabel terikat (dependent variable). Faktor eksperimental
disebut variabel eksperimental. Dalam metode penelitian juga dikembangkan cara-cara untuk
menggunakan kelompok pengendali: eksperimen dengan kelompok pengendali satu
atau lebih, atau kelompok pengendali itu juga sekaligus kelompok eksperimental.
Dalam harian Kompas tanggal 18 Maret 1982, permulaan sebuah berita berbunyi
sebagai berikut: Yogya. Kompas
(Demikian) pendapat Dr. Masri Singarimbun, Direktur Pusat Penelitian dan Studi
Kependudukan Universitas Gajah Mada, Rabu kemarin. Masri menyambut baik usul
Lembaga Kepeloporan Transmigrasi Indonesia (LKT), yang menganjurkan agar dalam
melaksanakan program nasional transmigrasi, pemerintah tidak melandaskan diri pada
pengertian sempit, yang bahkan sulit dibedakan dengan kolonisasi. (Kompas, 17 Maret 198i)
Menurut Masri, penduduk yang bermukim di Jawa lebih dari 90 juta jiwa, dengan
pertambahan penduduk sekitar dua persen per tahun. Dengan demikian pertambahan
penduduk di Jawa sekitar 1,8 juta jiwa per tahun. Padahal perpindahan keluar Jawa paling
banyak 100 ribu kepala keluarga (KK).
21

Maka program transmigrasi untuk meratakan penduduk itu serasa mitos, sebab daya
serap transmigrasi terbukti sangat kecil. Bagaimanapun banyak penduduk akan tetap tinggal
di Jawa. Artinya, Jawa terap padar.
Menurut Dr. Masri Singarimbun, transmigrasi itu semacam eksperimen terkendali,
yang variabel eksperimentalnya adalah transmigrasi itu. Metode perbedaan yang menjadi
dasarnya dapat dirumuskan demikian:
Penduduk Jawa tanpa transmigrasi adalah padat.
Penduduk Jawa dengan transmigrasi adalah padat.
Terbukti transmigrasi tidak terdapat bersama-sama dengan ketidakpadatan penduduk.

2.3.4 Metode Gabungan (antara metode persamaan dan metode perbedaan: the joint
method of agreement and difference).
Stuart Mill merumuskan prinsip metode gabungan itu sebagai berikut: "Kalau pada
dua peristiwa atau lebih dengan sebuah gejala, hanya terdapat sebuah faktor yang sama;
sedang pada dua peristiwa atau lebih yang tidak memiliki gejala itu, tidak ada persamaannya
yang satu dengan yang lain, kecuali tidak adanya faktor tersebut, maka faktor yang
merupakan satu-satunya perbedaan di antara kedua kelompok peristiwa itu, adalah akibat,
atau sebab, atau bagian tak terpisahkan dari sebab dari gejala itu. (If two or more instances in
which the phenomenon occurs have only one circumstance in common, while two or more
instances in which it does not occur have nothing in common save the absence of that
circumstance, the circumstance in which alone the two sets of instances differ, is the effect,
or the cause, or an indispensable part of the cause of the phenomenon.)
Rumus yang agak gelap maknanya itu paling mudah kalau diartikan sebagai rumus
mengenai metode yang sekaligus dalam satu penalaran menggunakan metode persamaan dan
metode perbedaan bersama-sama seperti dalam contoh berikut.
Kita ambil sebagai peristiwa: 'makan di warung lagi, gejalanya: 'sakit perut'. Ada tiga
peristiwa dengan faktor-faktor sebagai berikut:
A makan nasi gudeg, makan telur, minum teh, dan sakit perut.
B makan pisang, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
C makan nasi gudeg, makan telur, ... dan tidak sakit perut.
Ketiga peristiwa ini tidak dapat digunakan dalam metode persamaan, karena tidak ada
faktor yang sama untuk semua peristiwa itu. Juga metode perbedaan tidak dan diterapkan di
sini, karena tidak 'semua faktor-faktornya sama kecuali satu'. AL tetapi dengan menggunakan
22

kedua metode itu bersama-sama dalam satu penalaran, kita dapat memperoleh konklusi.
Bentuk penalarannya menjadi demikian:

A makan nasi gudeg, makan perut.


telur, minum teh ..... sakit perut
B makan pisang, makan
jeruk, minum teh . sakit perut.

A makan nasi gudeg, makan


telur, minum teh ... sakit perut.
C makan nasi gudeg, makan
telur, ..... tidak sakit perut.

∴Minum teh .... sakit perut,

Susunan peristiwa di sebelah kiri adalah menurut metode persamaan, yang di sebelah
kanan menurut metode perbedaan.
Karena dengan menggunakan kedua metode itu secara terpisah sudah dapat dicapai
konklusinya, maka konklusi itu dapat dianggap lebih kuat apabila kedua-duanya digunakan
bersama-sama.

Pola penalaran di atas adalah sebagai berikut: ABCD d ABCD

A B C D →d A B C D→d
E F G→d A B C → −¿
∴ D→ d

Jalan Kimia di Jakarta dahulu bernama Eijkmanstraat. Di laboratorium di situlah dahulu


Eijkman mengadakan eksperimen sebagai berikut: la mengambil dua kelompok ayam. Yang
sekelompok diberinya makan melulu beras putih bersih, yang lainnya beras yang tidak dislep:
masih banyak katulnya. Kelompok yang pertama segera menunjukkan penyakit radang urat
saraf (polyneuritis; beri-beri), bengkak-bengkak, dan kemudian mati, sedang kelompok kedua
tak seekorpun yang kena penyakit itu. Kemudian kepada sekelompok ayam yang sudah kena
penyakit polyneuritis diberinya makanan katul melulu. Dalam waktu singkat ayam itu
23

sembuh semuanya. Eijkman telah membuktikan adanya penyakit yang ditimbulkan oleh
kesalahan gizi.
Eksperimen Eijkman itu terdiri atas dua bagian. Di bagian yang pertama digunakan metode
perbedaan. Kelompok ayam yang diberinya makan beras putih adala kelompok pengendali,
yang diberinya makanan katul adalah kelompok eksperimen, katul faktor eksperimentalnya.
Bagian kedua menggunakan metode persamaan.
Bentuk penalarannya sebagai berikut:
Eksperimen I Eksperimen II
Ayam + beras → beri-beri Ayam + katul → non beri-beri
Ayam + beras → beri-beri Ayam + katul → non beri-beri
Ayam + beras + katul → non beri-beri Ayam + katul → non beri-beri
Ayam + katul → non beri-beri
∴ katul → non beri−beri
Atau: non-katul → non non-beri-beri = non katul → beri-beri.

2.3.5 Metode Residu (The Method of Residues)


Stuart Mill merumuskan metode residu itu dengan kata-kata berikut: *Hapuslah dari
suatu gejala bagian apa saja yang berdasarkan induksi-induksi dahulu sudah diketahui
merupakan akibat dari anteseden-anteseden tertentu, dan residu (sisa) gejala itu ialah akibat
dari sisa antesedennya". Subduct from any phenomenon such part as is known by previous
inductions to be,the effect of certain antecedents, and the residue of the phenomenon is the
effect of the ,remaining antecedents.)
Bentuknya dapat disusun demikian:

A B C mengakibatkan a b c
A mengakibatkan a
B mengakibatkan b
∴C mengakibatkan c

Ada contoh baik dan peristiwanya amat terkenal, sehingga banyak digunakan dalam
buku-buku populer, yaitu mengenai ditemukannya planet Neptunus. Pada tahun 1821,
Bouvard di Paris menerbitkan sebuah daftar mengenai orbit dari sejumlah planet, termasuk di
antaranya planet Uranus. Sudah diketahui bahwa orbit planet-planet itu ditentukan oleh
pengaruh gravitasi matahari dan planet-planet di sekitarnya. Akan tetapi data baru yang
digunakan oleh Bouvard menunjukkan, orbit Uranus yang berbeda dengan orbit yang dibuat
24

berdasarkan data yang diperoleh tidak lama sesudah planet itu ditemukan. Bouvard
melaporkan perbedaan itu, akan tetapi ia berpegang kepada data yang diperolehnya sendiri.
Akan tetapi perhitungan Bouvard itu beberapa tahun kemudian sudah terbukti tidak
cocok dengan observasi orbit Uranus pada waktu itu. Pada tahun 1844 selisihnya dengan
orbit yang nyata sudah begitu besar, sehingga menjadi masalah yang didiskusikan di antara
para ahli. Pada tahun 1845 Leverrier menggeluti masalahnya dan sesudah mendapat
keyakinan bahwa semua perhitungan Bouvard itu tepat, ia menarik konklusi bahwa
penyelewengan dalam orbit Uranus itu disebabkan oleh gravitasi sebuah planet yang belum
dikenal.
Penalaran Leverrier itu menggunakan metode residu. Orbit Uranus itu selengkapnya
dipengaruhi oleh gravitasi planet-planet di sekitarnya. Planet-planet di sekitarnya itu
gravitasinya hanya dapat menerangkan sebagian dari orbit Uranus. Maka bagian dari orbit
Uranus yang tidak dapat diterangkan oleh gravitasi itu, yaitu penyelewengannya dari orbit
yang diharapkan, harus disebabkan oleh sesuatu planet yang belum diketahui.
Leverrier menghitung besarnya pengaruh gravitasi planet yang belum dikenal itu dan
arah datangnya. Pada tahun 1846 ia selesai dengan perhitungannya dan pada bulan September
tahun itu juga ia menulis kepada Galle di Berlin untuk mengamati tempat
tertentu di angkasa, karena di situ harus ada planet yang sampai pada saat itu belum dikenal.
Pada tanggal 25 September 1846. kurang dari satu jam sesudah ia mula mengamati tempat
yang ditunjuk oleh Leverrier, ditemukannya planet baru itu, Pi itu diberi nama Neptunus.

2.4.6 Metode Variasi (The method of Concomitant Variation)


Yang dimaksud dengan variasi di sini ialah perbedaan tanpa pergantian identitas Jadi
bukan perbedaan seperti antara anjing dan pohon, akan tetapi seperti antara anjing kecil dan
anjing besar, antara Adam yang demamnya 37° dan Adam yang demamnya 40°. Jadi variasi
dalam arti perbedaan gradual. Metode variasi didasarkan atas adanya sesuatu faktor yang
bervariasi dalam suatu peristiwa, dan adanya dalam peristiwa yang sama itu gejala yang juga
bervariasi. Kalau variasi dari faktor itu sejalan dengan variasi gejala, maka faktor itu adalah
sebab dari gejala yang bersangkutan. Dalam kata kata Stuart Mill sendiri:
"Gejala apa saja yang dengan sesuatu cara berubah apabila gejala lain berubah dengan
cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala yang lain itu, atau
berhubungan secara sebab-akibat" (Whatever phenomenon varies in any manner whenever
another phenomenon varies in some particular manner, is either a cause or an effect of that
phenomenon, or is connected with it through some fact of causation.)
25

Bentuk penalaran menurut metode ini sebagai berikut:


A B C →d e f
A + B C →d e f+
A – B C →d e f -
∴ A→ f

Atau
A B C →d e f
A + B C →d e f-
A – B C →d e f +
∴ A→ f

Kalau kita mengambil lagi contoh: makan di warung dan sakit perut, dan menyusunnya
menurut metode ini, maka penalarannya dapat dijadikan demikian:

A makan nasi gudeg, makan telur,


minum teh setengah gelas, dan sakit perut dengan panas 38°,
B makan pisang, makan jeruk,
minum teh satu gelas, dan sakit perut dengan panas 39°.
C makan kacang, makan emping, makan jeruk,
minum teh dua gelas, dan sakit perut dengan panas 40°.
∴Min teh adalah sebab dari sakit perut dengan panas.
Metode penalaran ini dalam hidup sehari-hari sering diterapkan tanpa disadari. Kaum
tani mengetahui hubungan sebab akibat antara pupuk dan panennya, karena menurut
observasi mereka, kalau pupuk ditambah, hasil panennya lebih besar dan sebaliknya. Orang
rela mengeluarkan biaya yang besar untuk membuat iklan, karena tahu, bahwa makin baik
iklannya, makin laku dagangannya. Ini diketahui dari pengalaman
Hukum ekonomi mengenai hubungan antara permintaan dan penawaran adalah
kesimpulan atas dasar metode variasi ini.
Metode variasi ini berdasarkan asumsi, bahwa adanya variasi, yang seperti dikatakan
di atas adalah perbedaan gradual, itu dapat disaksikan. Ini berarti bahwa harus ada
kemungkinan untuk mengukur perbedaan itu. Jadi metode variasi itu metode kuantitatif.
26

2.5.7 Hubungan sebab-akibat = implikasi empirik


Metode-metode Stuart Mill itu berdasarkan hubungan sebab-akibat atau hubungan
kausal. Hubungan itu dapat dirumuskan: kalau sebabnya/akibatnya ada, maka
akibatnya/sebabnya ada. Jadi hubungan itu hubungan Kalau ..., maka...., yaitu hubungan
implikasi. Karena itu hubungan sebab akibat juga disebut implikasi kausal. Dan seperti
dijelaskan di paragraf 4.3.4; implikasi kausal itu juga disebut implikasi empirik, karena
seperti jelas dari contoh-contoh di atas, metode-metode Stuart Mill itu mengenai hubungan
sebab-akibat yang hanya dapat diketahui berdasarkan pengamatan indera, atau pengamatan
empirik. Bahwa makan nasi gudeg, makan telur, minum teh itu dapat menyebabkan sakit
perut hanya dapat diketahui berdasarkan pengamatan empirik. Konsep minum teh tidak
mengandung unsur yang dapat diartikan sebagai sebab dari sakit perut. Semua jenis
implikasi juga dapat disebut hubungan sebab-akibat dan juga dapat dijadikan dasar penalaran.
Akan tetapi penalarannya bukan menurut metode Stuart Mill.
Kalau dasar penalaran itu implikasi logis, maka penalarannya berbentuk deduksi
seperti diuraikan pada Bab 3, 4, dan 5. Kalau dasarnya implikasi definisional, penalarannya
berupa penalaran langsung seperti dibahas dalam Bab 2. Lain lagi halnya kalau yang menjadi
dasar penalaran itu implikasi intensional atau desisional. Adanya implikasi intensional itu
juga diketahui secara empirik, yaitu dengan menanyakannya kepada yang bersangkutan atau
berdasarkan pernyataan yang bersangkutan. Sekali pernyataan kita dengar, maka ini
merupakan data yang harus diterima kebenarannya. Jadi adanya implikasi intensional dapat
secara langsung diketahui, tanpa harus diadakan penalaran untuk menyimpulkannya. Dalam
hal implikasi empirik, adanya implikasi atau hubungan antara minum teh dan sakit perut
harus dicari dengan menggunakan penalaran. Kecuali itu, hubungan sebab akibat dalam
implikasi empirik itu dapat disebut hubungan alamiah, dan sifatnya mutlak sepanjang kondisi
alam tidak berubah (hypothetico-necessary). Sebaliknya hubungan sebab akibat dalam
implikasi intensional tidak mutlak sifatnya. Hubungan itu tergantung kepada keputusan orang
yang bersangkutan, Maka dalam hal orang berpindah rumah, misalnya, tentu ada yang
menghubungkannya dengan kesehatan rumah, ada yang tidak ada yang menghubungkannya
dengan jaraknya dari sekolah anak, ada yang tidak ada pedagang yang menaikkan harga
dagangannya karena besarnya permintaan, ada yang tidak.
Berhubung dengan perbedaan-perbedaan ini, maka konklusi yang dapat ditarik dari
sejumlah peristiwa berdasarkan implikasi kausal berbeda dengan yang dapat ditarik kalau
dasarnya adalah implikasi intensional. Misalnya kita ingin menyelidiki orang-orang yang
habis makan di warung tertentu sakit dan mengapa orang pindah ke Jakarta. Untuk kedua
27

penelitian itu kita sama-sama menggunakan enam variabel dan mer jumpulkan dua puluh
lima peristiwa: n = 25. Hasilnya kita susun menjadi du tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Makanen Warung X yangDimakan Orang yang ke mudian sakit.


Makanan Jumlah yang
makan
Nasi goreng 20
Nasi gulai 5
Minum teh 25
Makan telur 4
Pisang 3
jambu -

Tabel 2. Alasan Orang Pindah ke Jakarta.


Alasan Jumlah yang menggunakan
Sekolah anak 20
Keluarga 5
Pekerjaan 25
Lingkungan 4
Hubungan dengan luar negeri 3
Gengsi -

Kesimpulan dari data tabel 1 ialah: minum tehlah yang meryebabkan orang yang habis
Dari tabel 2 harus disimpulkan: ada bermacam-macam alasan bagi orang untuk makan
di warung itu sakit. pindah ke Jakarta, yang terpenting ialah: alasan pekerjaan. Alasan lain
ialah: kepentingan keluarga, sekolah anak, lingkungan dan hubungan dengan luar negeri.
Pentingnya alasan yang satu juga dapat dibandingkan dengan pentingnya alasan yang lain
Latihan
I. Metode Stuart Mill yang mana yang digunakan dalam penelitian di bawah ini?
Bagaimana bentuknya secara formal?
1. Diduga ada hubungan antara perilaku yang sembrono dalum mengemudikan
kendaraan di jalanan dan acara kekerasan di TV. Seorang peneliti pengaruh media
28

massa di Universitas Hawaii pernah mewawaricarai 293 orang pengemudi yang


pernah dihukum karena pelanggaran lalu-lintas. Kegemaran mereka dalam menonton
televisi dibandingkan dengan kegemaran 54 orang pengemudi yang tidak pernah
melanggar peraturan lalu-lintas. Kebanyakan dari pengendara yang sembrono gemar
melihat film detektif dan kejahatan. Pengemudi yang berhati-hati biasanya tidak
gemar film kekerasan. (cf. Barker, Stephen F., "The Elements of Logic", McGraw-
Hill, N.Y., 1974, p. 245)
2. Di sebuah kecamatan ingin dimulai gerakan KB. Sekaligus ingin diteliti sampai
berapa jauh pengaruh film gerakan KB atas calon akseptor. Dikumpulkanlah sejumlah
orang dan diteliti berdasarkan sejumlah faktor yang diharapkan akan berpengaruh
terhadap sikap orang tentang KB, yaitu: agama/kepercayaannya, umurnya, lamanya
kawin, pendidikan, mata pencaharian, dan sebagainya. Setiap orang yang kondisi
faktor-faktornya sama, misalnya: sama-sama umur antara 15 dan 20 tahun, baru
kawin 2 tahun, lulusan S.D, dan seterusnya dimasukkan kelompok yang berbeda
(precision control), sehingga terbentuk dua kelompok yang kondisinya sama. Kepada
kelompok yang satu dipertunjukkan film propaganda KB seminggu dua kali selama
dua bulan, kepada kelompok yang lain tidak. Hasilnya tidak menunjukkan perbedaan
yang menyolok, jumlah akseptor dari kedua kelompok itu masing-masing sekitar
75%.
3. Parke Davis & Co., produsen obat chloromycetin yang sangat ampuh untuk
menyembuhkan batuk rejan, mengumumkan hasil studinya sebagai berikut: Di
Cochahamba, Bolivia, 62 anak sakit keras karena batuk rejan, penyakit yang untuk
anak-anak di bawah dua tahun sangat berbahaya, sesudah diberi pengobatan dengan
chloromycetin selama satu Kilang. Sesudah diberi pencahar tiga hari, kelihatan ada
kemajuan yang menyolok. Panasnya pengobatan tiga setengah sampai enam hari,
semua gejala penyakit itu hilang, dan seminggu sesudah pengobatan itu, semua jejak
infeksi penyakit itu hilang. Sebuah studi lain mengenai lima anak berumur 8 sampai
26 minggu yang sakit keras karena batuk rejan. Sesudah diobati dengan
chloromycetin, mereka itu langsung ada kemajuan, keadaan umumnya menjadi baik
disusul dengan kesembuhan yang cepat. Empat dari lima anak yang sakit itu
mengalami kemajuan dalam waktu 12 jam, yang kelima dalam waktu 24 jam.
4. Diketahui bahwa pertumbuhan tubuh manusia itu tergantung kepada gizi
makanannya. Dua orang bayi lahir bersama-sama di sebuah rumah sakit, kemudian
dibesarkan bersama-sama dalam kondisi yang sama di sebuah rumah yatim piatu.
29

Terbukti pertumbuhan kedua bayi itu tidak seimbang. Pada umur enam bulan, satu
masih berbobot lima kilogram, sedang yang lain sudah lebih dari tujuh kilogram.
Disimpulkan bahwa ini akibat dari perbedaan gizi makanan pada waktu prenatal.
5. Di Washington D.C. pernah diadakan uji kemampuan membaca bahasa Inggris
diantara anak-anak kelas enam. Uji yang sama diberikan kepada:
2 kelas yang pernah mendapat pelajaran bahasa Spanyol selaraa tiga tahun;
8 kelas yang pernah mendapat pelajaran bahasa Prancis selama tiga tahun;
10 kelas yang pernah mendapat pelajaran bahasa Latin selama satu tahun dan
25 kelas yang tidak pernah diberi pelajaran bahasa Hasilnya menunjukkan bahwa
dalain kemampuan membaca bahasa Inggris, murid yang belajar asing bahasa Latin
itu rata-rata lima bulan lebih cepat daripada murid yang tidak belajar bahasa asing,
sedang yang belajar bahasa Spanyol atau Prancis rata-rata hampir empat bulan lebih
cepat. Kesimpulannya ialah bahwa belajar bahasa asing itu mempunyai pengaruh
positif terhadap kemampuan membaca bahasa Inggris. (cf. Barker ibid.)
6. "Suami-isteri Kellog, mengadakan percobaan (lebih) menarik dan instruktif (lagi).
Untuk mengungkapkan perbedaan-perbedaan (dan persamaan) hakiki (exensial)
antara tata kelakuan belajar manusia dan binatang. Mereka menangkap simpanse yang
masih sangat muda, yang usianya sama dengan usia anak mereka dan keduanya
diasuh bersama. Sebanyak mungkin keduanya diperlakukan secara sama: mereka
bermain bersama, makan bersama, mereka diberi makanan sama, pakaian, dan
pendidikan yang sama. Gua, si simpanse, belajar dengan amat lancar seperti anak
mereka. Dalam beberapa hal, karena fisiknya lebih cepat dewasa, ia belajar lebih
cepat, seperti misalnya dalam hal permainan yang memerlukan kekuatan, ketrampilan,
dan koordinasi otot. Suara yang dikeluarkan oleh keduanya juga sama; kedua-duanya
menggunakan suara yang pada dasarnya sama untuk menyatakan lapar, haus, badan
kurang enak, dan untuk minta mainan, ala: dan lain-lain barang. Akan tetapi ketika si
anak mulai mengerti bahasa, si simpanse segera ketinggalan. Dengan penguasaan
bahasa, si anak mulai berpartisipasi dalam lingkungan manusia dengan suatu cara
yang selama-lamanya tertutup untuk simpanse (Beals, Ralph L., and Harry Hoijer,
1959: "An Introduction to Anthropology", The MacMillan Co. N.Y., p. 240/1)
7. Sejarah tidak mencatat berapa kali Lavoisier pada tahun 1785 mengadakan
percobaan, akan tetapi berkali-kali ia mengulang prosedur yang sama. Merkuri, yang
kuantitasnya diketahui dipanasi dalam tabung yang mengandung udara yang
kuntittasnya juga diketahui. Prosedur itu itu diulang berulang kali. Tiap klai dengan
30

kuantitas yang bberbedan dan gas. Kuantitas gas itu sama dengan kuantitas
kekurangan udara dari pemanasan per Sisa udara dari pemanasan yang pertama tidak
memberi kemungkinan untuk mengadakan Derb Jaran atau untuk hidup di dalamnya,
sebaliknya dalam gas hasil pemanasan yang ke kemungkinan itu naik secara luar
biasa. Lavoisier menyimpulkan: Jadi udara di atmo-fu terdiri atas dua zat yang elastis,
yang sifatnya berbeda dan dapat dikatakan berlawana
8. ".. Kemungkinan timbulnya pertentangan sosial terbawa oleh cara orang
mengidentifikapri diri kelompok-kelompok, dengan demikian menciptakan batas-
batas konsensus dan menino jurang pemisah dalam masyarakat". Kemungkinan
terbesar akan terjadinya pertentangan di antara pengikut-pengikut agama yang
berlainan itu timbul apabili perbedaan-perbedaan agama itu diperkuat oleh perbedaan-
perbedaan lain: latar belakan pendidikan, daerah tempat tinggal, golongan sosial.
Sebaliknya kecil seka kemungkinannya perbedaan agama akan menimbulkan
pertentangan, apabila orang yang termasuk agama yang berbeda-beda itu dipersatukan
oleh ikatan-ikatan lain. Professo Coleman berbicara tentang: 'manusia yang
mengalami tekanan-silang (cross-pressure).. yang ikatannya menariknya sekaligus ke
dua jurusan.... Coleman beranggapan berkesimpulan) bahwa perubahan-perubahan
dalam masyarakat Amerika pada waktu-waktu belakangan ini menambah luasnya
tekanan-silang yang mengurangi dan menghilangkan pertentangan keagamaan. '.
Orang-orang Katolik merembes ke atas dalam struktur perekonomian dan meluar
secara geografis masuk ke dalam pinggiran kota (suburbs); demikian juga peranan
orang Yahudi tidak lagi begitu terpusat pada bidang khusus dalam perekonomian
seperu sebelumnya dan di tempat tinggalnya dengan lingkungan terpisah orang-orang
Protestan yang dibesarkan dalam sebuah mazhab di sebuah lingkungan telah
berpencar dan berkelompok kembali dalam lingkungan-lingkungan di mana madzab-
madzab harus bergabung untuk dapat mempertahankan kelangsungannya. Pendek
kata, mobilitas ekonomi dan geografis telah menciptakan kondisi-kondisi baru untuk
pengelompokan dan identifikasi kelompok bagi orang-orang dari kelompok agama
yang berbeda-beda." James S. Coleman, "Social Cleavage and Religious Conflict",
Journal of Social Issues, Vol. 12, No. 3, 1956, pp. 44-56. Singkatan dikutip dari Toby,
Jackson, "Contemporary Society", John Wiley & Sons, New York, 1964)
9. "Meskipun kasus-kasus di pengadilan mengenai kejahatan kanak-kanak dan kejahatan
(pada umumnya) dengan jelas menunjukkan bahwa di kota-kota besar ada konsentrasi
kejahatan di daerah perkampungan yang tingkat sosiockonominya rendah, tetapi ada
31

ahli-ahli kriminologi yang mencurigai bahwa polisi bersikap lebih lunak terhadap
orang-orang yang dicurigai yang berasal dari lingkungan kelas menengah, dan dengan
demikian memperbesar perbedaan sosioekonomik dalam angka-angka kejahatan dan
pelanggaran. Dalam membuat analisa tentang kontak polisi dengan anak-anak yang
dicurigai telah melakukan pelanggaran di Madison, Wisconsin, antara tahun 1950 dan
1955, Profesor Shannon telah membawa kejelasan dalam masalah ini. Jumlah kontak
polisi dengan anak-anak yang melakukan pelanggaran di tengah kota (tingkat
sosioekonominya rendah) kira-kira tiga kali lipat jumlah di daerah timur kota (tingkat
sosiockonominya tertinggi). Meskipun polisi Madison dapat diharapkan tidak akan
begitu mudah membuat laporan resmi tentang kontak dengan anak yang melakukan
pelanggaran di daerah timur kota, ini hampir seluruhnya karena pelanggaran di daerah
itu tidak begitu serius. .. Anak-anak yang melakukan tindak pelanggaran dari jenis
yang sebanding boleh dikatakan mendapat perlakuan yang sama dari polisi Madison".
........ Studi ini suatu bukti mengenai perbedaan kelas dalam hal perbuatran
pelanggaran yang nyata, tidak hanya dalamhal pelanggaran yang dilaporkan, kecuali
kalau kita beranggapan bahu polisi dalam kontaknya mengadakan diskriminasi akan
tetapi tidak melaporkannya. Dan in kemungkinannya kecil." (Lyle W. Shannon,
"Types of Delinquency Referral in a Middle-Sized City" British Journal of
Criminology, Vol. 4, July 1963, pp. 24 36. Singkatan dari Toby o.c. p. 310).
10. "Orang-orang yang diteliti dalam eksperimen ini hanya menyadari bahwa mereka itu
tenaga sementara untuk mengisi daftar kode sebuah organisasi penelitian yang tidak
mencari keuntungan. Sekelompok tenaga diawasi oleh seorang yang keahliannya
nampak melebihi pengetahuan mereka, sekelompok lagi diawasi oleh orang yang
pengetahuannya kelihatannya ama dengan pengetahuan mereka, sekelompok lain oleh
orang yang kelihatan tidak becus. Meskipun semua tenaga itu mengakui bahwa
perintah sah, akan tetapi dasar untuk mengatakan babi yang diberikan oleh para
pengawas itu kekuasaan itu sah, cenderung berbeda. Orang-orang yang diawasi oleh
pengawas yang pengetahuannya sama atau lebih rendah daripada pengetahuan
mereka, kantor. Orang-orang yang dianggap kekuasaan mereka itu sah dalam oleh
pengawas dengan pengetahuan yang tinggi membenarkan adanya kekuasaan itu dalam
hubungan dengan kemampuan teknik. Demikianlah n hubungan dengan Profesor
Evan dan Zelditch secara eksperimental memisahkan akibat dari kekuasaan rasional
dan kekuasaan legal. Idealnya kekuasaan legal dalam sebuah organisasi juga harus
memiliki pengetahuan yang dibutuhkan." (William M. Evan and Morris Zelditch, Jr.
32

"A Laboratory Experiment on Bureaucratic Authority", American Sociological


Review, Vol. 26, December 1961, pp. 883-893. Singkatan dari Toby o.c. p. 508).
II. Dengan metode atau metode-metode Stuart Mill yang manakah pendapat/hipotesa di
bawah ini dapat diuji? Bagaimana bentuk formal penalarannya?
1. Kemantapan keluarga menjalankan KB dipengaruhi oleh: 1. jumlah anak yang sudah
dimiliki, 2. tingkat pendidikan, 3. tingkat ekonominya, 4. tersedianya fasilitas
kesehatan (puskesmas). (cf. Masri Singarimbun, "Pedoman Praktis membuat Usarl
Proyek Penelitian", Lembaga Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1979, p. 65)
2. Kemampuan menyerap tenaga kerja pada usahatani dengan sistem Bimas adalah
lebih besar daripada usahatani Inmas. (Ibid. p. 25).
3. Sudahkah revolusi hijau memberi keuntungan menyeluruh kepada semua petani
ataukah hanya menguntungkan orang-orang kaya dan segelintir orang-orang tertentu
yang berpengaruh dan yang karena keadaannya berani mengambil risiko? (Ibid. p. 11)
4. Pola orang-orang yang mendapat keuntungan dari korupsi menurut kelompok sosial
dan tipe sistem politik.
Tipe sistem politik Penerimaan keuangan
Orang dan kelompok

Kaum birokrasi/militer

Pemimpin dan kader

Pemilih dan calon


Elite ekonomi
dengan ikatan pada

pemilih
partai

1. Sistem birokrasi / X XX XX - -
penguasa

militer (mis.
Muanghthai
sampai 1971 dan
indonesia sesudah
1965
2. Sistem partai X X X XX -
tunggal (mis.
Guinea sampai
1966dan ghana
1960-1965)
3. Sistem multipartai X XX X XX XX
33

( mis. Filipina
sampai 1971 dan
india sampai
1971)

X =mondapat keuntungan sedikit


XX = mendapat keuntungan banyak
(Dr. J.W. Schoorl: "Modernes, Gramedia, 1981, p. 178/9) Catatan Keuntungan = 1 mendapat
rumah, 2. mendapat kendaraan dil., 3. mendapat fasilitas usaha, 4. mendapat jabatan
5. Masyarakat Batak Toba di desa dan di kota bersanta-sania merupakan sebuah sistem
sosial du keupacaraan. Di dalam jaringan hubungan yang luas itu terjadi tukar-
menukar barang, jasa, dan gagasan. Dari kota datang barang-barang dan gagasan-
gagasan modern, sedang dari desa berasil dukungan moral dan semangat dari yaitu
tata kehidupan tradisional. (Schoorl, o.c. p. 281)

2.6 HIPOTESA
2.6.1 Hipotesa ilmiah dan non-ilmiah
Hipotesa' adalah sebuah istilah ilmiah yang digunakan dalam rangka kegiatan ilmiah.
Akan tetapi kegiatan ilmiah itu tidak lain daripada kegiatan yang mengikuti kaidah-kaidah
berfikir biasa, bedanya hanya bahwa kegiatan ilmiah itu dilakukan secara sadar, teliti, dan
terarah. Maka kalau dalam kegiatan ilmiah orang membuat hipotesa, dalam berfikir sehari-
hari pun orang juga biasa membuat hipotesa, hanya biasanya tidak disebut hipotesa, akan
tetapi: anggapan, perkiraan, dugaan, dan sebagainya.
Dalam The Method of Science, karangan Thomas Henry Huxley tersebut di atas
(paragraf 6.2), pembentukan hipotesa itu dijelaskan dengan menggunakan kejadian schari-
hari, bukan suatu peristiwa ilmiah.
"Saya ambil saja, salah seorang dari kami ini, pada waktu pagi-pagi turun dari ruang atas
ke ruang keluarga, melihat bahwa poci teh dan beberapa sendok yang pada malam
sebelumnya ditinggalkan di situ telah hilang. Jendela terbuka dan kami melihat bekas
telapak tangan kotor di bingkai jendela dan barangkali ditambah lagi: di kerikilan di luar
ada bekas sepatu yang solnya diberi paku. Semua itu seketika menarik perhatian kami dan
tidak sampai dua detik, kami berkata: 'Ah, ada orang mencungkil jendela, masuk kamar dan
pergi dengan membawa sendok dan poci teh'. Kata-kata itu keluar dari mulut seketika. Dan
34

barangkali kami akan menambahkan: 'Memang ada orang masuk, saya yakin sekali mesti
begitu!" "
Dalam contoh kejadian di atas si pemilik rumah mengemukakan bahwa hilangnya
poci teh dan sendok itu karena dicuri orang. Meskipun ia merasa tahu dan yakin betul-betul
bahwa telah terjadi pencurian, akan tetapi sebenarnya tidak dapat dipastikan apakah
pencurian itu benar-benar telah terjadi. Mengapa poci dan sendok itu mesti diambil orang?
Mengapa tidak diambil binatang atau lenyap dengan sendirinya? Kalau dikatakan bahwa itu
dihubungkan dengan orang yang masuk kamar, maka harus dipertanyakan lagi, mengapa
jendela yang terbuka itu mesti dibuka oleh orang, mengapa bekas telapak tangan itu mesti
berarti bahwa ada orang yang telah memegang bingkai jendela. Mengapa jendela tidak
terbuka karena angin atau membuka dengan sendirinya? Kalau dikatakan itu semua
berdasarkan hukum alam, tidakkah mungkin bahwa pada waktu kami tidur hukum alam
untuk beberapa waktu tidak berlaku? Mengapa telapak tangan itu tidak mungkin lukisan
tiruan? Mengapa sepatu itu mesti dipakai orang? Mengapa simpanse tidak dapat
memakainya?
Itu semua adalah kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat diketahui
kepastiannya, Dan masih banyak kemungkinan lain yang dapat dicari. Oleh karena itu,
meskipun si pemilik rumah merasa tahu dan yakin akan kebenarannya, akan tetapi yang
dikemukakannya itu bukan sesuatu yang benar-benar pasti. Itu adalah sesuatu yang kurang
dari kepastian, sesuatu di bawah kepastian: itu adalah suatu hipotesa (Yunani: hypo =
dibawah; thesis = pendirian, pendapat yang ditegakkan, kepastian). Jadi si pemilik rumah
telah membuat sebuah hipotesa.
Proses pembentukan hipotesa pencurian di atas adalah proses penalaran, yang sebenarnya
melalui tahap-tahap tertentu. Itu semua oleh si pemilik rumah dilalui tanpa pengertian yang
jelas, seolah-olah terjadi dengan sendirinya. Proses penalaran dan tahap-tahap yang sama
juga terjadi dalam pembuatan hipotesa ilmiah, tetapi semuanya dengan sadar, teliti, dan
terarah. Tahap-tahap dalam pembentukan dan penggunaan hipotesa itu pada umumnya garis
besarnya sebagai berikut:
1. Penentuan masalah.
Ketika si pemilik rumah turun ke ruang keluarga, ia melihat suatu masalah, yaitu sesuatu
yang tidak cocok dengan kekayaan pengetahuannya: sesuatu yang sebelumnya ada, sekarang
tidak ada. Poci teh dan sendok itu seharusnya tetap ada di tempatnya. Mengapa demikian? Ini
menuntut keterangan. Juga penalaran ilmiah bertolak dari adanya masalah. Hanya dasarnya
ialah kekayaan pengetahuan ilmiah. Masalah ilmiah biasanya timbul karena sesuatu keadaan
35

atau peristiwa kelihatan tidak cocok atau tidak dapat diterangkan berdasarkan hukum atau
teori atau dalil-dalil ilmu yang sudah diketahui. Ini semua harus dikerjakan dengan sadar dan
teliti. Untuk memperoleh ketelitian itu masalah harus dirumuskan dengan tepat. Jadi dalam
proses penalaran ilmiah, penentuan inasalah itu mendapat bentuk perumusan masalah
2. Hipotesa pendahuluan atau hipotesa preliminer (preliminary hypothesis),
Hipotesa pendahuluan atau hipotesa preliminer (preliminary hypothesis) yaitu, dugaan
atau anggapan sem entara yang manjadi pangkal bertolak dari semua kegiatan. Sesudah
melihat bahwa poci teh dan sendok tidak ada di tempatnya, si pemilik rumah dengan tidak
sadar apa yang dikerjakannya, melihat jendela terbuka, ada telapak tangan di bingkai jendela,
ada bekas sepatu di kerikilan di luar. Tanpa menyadarinya, si pemilik rumah mengadakan
observasi dan mengumpulkan fakta. Akan tetapi keadaan yang dapat diobservasi bermacam-
macam dan jumlahnya tidak terbatas: pagi itu hawanya dingin, lukisan di dinding miring,
anginnya kencang, ada sedikit cat yang rontok dari langit-langit dan seterusnya. Akan tetapi
itu semua tidak menarik perhatiannya. Yang dilihatnya hanya jendela terbuka, bekas telapak
tangan dan bekas atu. Ini berarti bahwa dalam mengadakan observasi itu, perhatian si pemilik
rumah sudah diarahkan oleh sesuatu gambaran atau dugaan tentang apa yang menyebabkan
poci teh dan sendok itu tidak di tempatnya lagi Dugaan sementara itu tidak mempunyai
bentuk yang jelas dan tegas, tidak eksplisit.
Juga dalam penalaran ilmiah ada dugaan sementara yang sering disebut hipotesa
preliminer. Tanpa adanya nipotesa preliminer itu obrervasi tidak akan teraralı Fakta yang
terkumpul mungkin tidak akan dapat digunakan untuk menyimpuikan suatu konklusi, karena
tidak relevan dengan masalah yang dihadapi. Karena tidak dirumuskan secara eksplisit,
dalam penelitian, hipotesa priliminer ito biasanya dianggap bukan hipotesa.
3. Pengumpulan fakta.
Seperti kita lihat di atas, berdasarkan hipotesa prelimineri si pemilik rumah telah
mengumpulkan fakta Fakta yang dikumpulkan itu fakta yang relevan dengan hipotesis
preliminer itu. Proses itu juga terjadi dalam penalaran ilmiah. Di antara jumlah fakta yang bet
tak terbatas itu hanya dipilih fakta-fakta yang relevan dengan hipotesa prelimin Ketelitian dan
ketetapan memilih fakta itu akan menentukan hipotesis yang akan dirumuskan.
4. Formulasi hipotesa.
Sesudah melihat bahwa poci teh serta sendok tidsk tempatnya lagi dan jendela terbuka
dan seterusnya, berkatalah si pemilik rumah ada orang mencungkil jendela, masuk kamar,
dan pergi dengan membawa poci teh d sendok". Itulah formulasi hipotesa yang dibuat oloh
pemilik rumah: hipo pencurian. Hipotesa itu sebuah pernyataan atau proposisi yang
36

mengatakan bahwa diantara sejumlah fakta itu ada hubungan tertentu. Formulasi hipoteka itu
suatu proses penciptaan, seperti apabila scorang seniman menciptakan karya seninya. Pada
suatu saat dalam pengumpulan fakta, si ilmuwan melihat adanya hubungan tertentu diantara
sejumlah fakta. Si ilmuwan telah menemukan sebuah hipotesa. Mengenai penemuan itu
sendiri, mengapa pikiran tiba-tiba melihat hubungan diantara fakta-fakta itu, ini terletak di
luar bidang logika Terbentuknya hipotesa adalah suatu proses yang boleh dikatakan
didasarkan atas ilham atau intuisi. Logika tidak dapat berkata apa-apa tentang hal ini.
Psikologi lebih mampu untuk membahasnya. Mengingat hal ini, tidak mustahil bahwa
ilmuwan yang satu dengan segala susah payah dan keuletan tidak dapat menemukan suatu
hipotesa tertentu, sedang ilmuwan lain scolah-olah tanpa disengaja sekonyong-konyong
menemukannya. Diceritakan bahwa sebuah apel jatuh dari pohon ketika Newton tidur di
bawahnya. Seketika itu teringat olehnya bahwa semua benda mesti jatuh dan seketika itu pula
dilihatnya hipotesanya, yang sekarang dikenal dengan nama 'hukum gravitasi. Ini hanya
sebuah cerita anekdot, akan tetapi dengan jelas menggambarkan
sifat penemuan dari hipotesa.
5. Pengujian hipotesa,
Pengujian hipotesa artinya mencocokkan hipotesa dengan keadaan yang dapat
diobservasi. Contoh cerita pencurian di atas oleh Huxley tidak diteruskan sampai meliputi
pengujian hipotesa. Pengujian itu misalnya dapat dikerjakan demikian. Kalau memang
sungguh terjadi pencurian, maka pencuri itu tentu tidak hanya tangannya yang sebelah
memegang bingkai jendela, akan tetapi juga tangan yang sebelahnya. Di tempat di mana poci
teh dan sendok itu terletak, tentu juga ada sidik jari si pencuri. Demikian juga di lantai tentu
ada bekas-bekas goresan dengan logam, karena sepatu pencuri solnya diberi paku. Juga dapat
diharapkan tanah di luar jendela ada yang terbawa masuk ke kamar. Kalau fakta yang
diharapkan itu semua terbukti dapat diobservasi, hipotesa menjadi lebih kuat, lebih mantap.
Pengujian hipotesa itu dalam istilah ilmiah disebut verifikasi (pembenaran). Kalau
hipotesa itu terbukti cocok dengan fakta, itu disebut konfirmasi (penguata pemantapan).
Menurut teori yang lebih baru pengujian hipotesa itu berarti usaha menemukm fakta yang
tidak sesuai dengan hipotesa. Ini disebut falsifikasi (penyalahan) dan kalau usaha itu tidak
berhasil, maka hipotesa itu tidak terbantah oleh Yakta, Ini disebut koroborasi (corroboration).
Dengan pengujian hipotesa itu lengkaplah lingkaran proses ilmiah. Masalah diangkat dari
fakta, -dengan menggunakan hipotesa preliminer dikumpulkan fakta untuk menyusun
hipotes, yang kemudian diuji dengan mencocokkannya dengan fakta lagi. Sering sebuah
hipotesa kalau diuji terbukti tidak cocok dengan fakta. Meskipun demikian hipotesa tersebut
37

bukan tidak berguna. Setidak-tidaknya terbukti bahwa dirinya ssendiri (hipotesa itu) tidak
benar. Akan tetapi biasanya ketidakbenaran hipotesa itu sekaligus menunjukkan, bagaimana
hipotesa itu harus diperbaiki. Dengan demikian hipotesa yang tidak tepat merupakan sarana
untuk menemukan hipotesa yang tepat, sehingga dapat dipandang sebagai hipotesa
preliminer. Hipotesa yang sudah begitu sering mendapat konfirmasi atau koroborasi schingga
mantap sekali dapat disebut teori, dan kalau lebih mantap lagi menjadi hukum. Akan tetapi
penggunaan istilah hipotesa, teori, dan hukum dalam ilmu pengetahuan tidak mantap. Sering
ilmuwan yang satu masih menggunakan istilah hipotesa, sedang ilmuwan yang lain
menyebutnya teori atau sebaliknya Hukum gravitasi Newton disebut hukum, sedang teori
relativitas disebut teori, meskipun teori relativitas itu menggantikan hukum gravitasi.
6. Aplikasi penerapan.
Auguste Comte (1798-1857), tokoh filsafat positif Prancis berkata bahwa ilmu
pengetahuan itu bertujuan untuk dapat mengetahui sesuatu sebelum terjadi atau untuk
meramalkan kejadian agar dapat mengatasi keadaan (savoir pour prevoir pour pouvoir).
Meramalkan itu dalam istilah ilmiah disebut prediksi (Latin: predictzo). Hipotesa itu tidak
hanya sekedar merupakan konklusi penalaran, akan tetapi juga menerangkan masalah yang
menyebabkan mengapa hipotesa itu disusun. Hipotesa pencurian menerangkan mengapa
sendok dan poci teh tidak di tempatnya lagi. Dengan hipotesa itu kita mengetahui atau
mendapat pengetahuan mengapa sendok dan poci itu hilang. Pengetahuan itu dapat
diterapkan, artinya: atas dasar anggapan bahwa hipotesa itu benar dapat diadakan ramalan,
dan ramalan itu harus terbukti cocok dengan fakta. Berkenaan dengan hipotesa pencurian di
atas, si pemilik rumah, misalnya, kemudian lapor kepada polisi. Dengan menggunakan
laporan pencurian itu sebagai hipotesa preliminer, polisi akan mengumpulkan fakta secara
lebih cermat dan berhasil mengetahui báhwa: sepatu yang bersangkutan merk-nya
'FANTASY' dan nomernya 40, sidik jarinya dipastikan bentuknya, jendela terbuka antara jam
11 dan 4 malam. Maka hipotesa pencurian dan polisillebih cermat daripada hipotesa
pencurian menurut laporan. Berdasarkan hipotesa itu polisi dapat meramalkan bahwa pencuri
itu orang yang antara jam 11 dan 4 malam tidak dirumahnya sendiri, ukuran sepatunya 40, ia
memiliki sepatu merk "FANTASY, dan sidik jarinya seperti bentuk yang ditemukannya. Dan
ini harus dapat diverifikasikan/koroborasikan dengan fakta.
Demikianlah tahap-tahap penyusunan hipotesa yang dilalui oleh si pemilik rumah
tanpa disadarinya. Dalam proses ilmiah tahap-tahap itu harus dikerjakan secara sadar dan
cermat, akan tetapi tahap-tahapnya sama saja.
38

2.6.2 Hipotesa sebagai koriklusi


Dari wraian di atas jelaslah bahwa hipotesa itu disusun berdasarkan atas atau
disimpulkan dari sejumlah fakta. Hipotesa itu konklusi dari sebuah penalaran. Penalaran yang
menghasilkan hipotesa itu sangat kompleks, melibatkan deduksi maupun induksi, dan bahkan
ada unsur intuisi dan ilham. Kalau penalaran yang menghasilkan hipotesa pencurian itu
dijabarkan, didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
Catatan: *=generalisasi induktif.
** = proposisi mutlak/jelas dengan sendirinya (self evident)
# = observasi baru.
(1) * Di mana ada bekas sepatu, di situ (pernah) ada sepatu.
# Di depan jendela ada bekas sepatu.
∴Di depan jendela (pernah) ada sepatu.
(2) * Sepatu di depan jendela itu sepatu yang tidak di tempat penyimpanannya
* Sepatu yang tidak di tempat penyimpanannya adalah sepatu yang dipakai orang.
∴Sepatu di depan jendela adalah sepatu yang dipakai orang Atau dengan perkataan lain:
Ada orang bersepatu di depan jendela.
Penalaran (1) dan (2) di atas juga dapat diberi bentuk polisilogisme atau sorites, bahkan
bentuk-bentuk itu agaknya lebih sesuai dengan penalaran yang sungguh-sungguh terjadi
dalam benak si pemilik rumah. Di sini penalaran itu dijabarkan demi kejelasannya.
(3) * Tempat di mana terdapat bekas telapak tangan adalah tempat yang pernah dipegang
tangan orang.
#Di bingkai jendela ada bekas telapak tangan.
∴Bingkai jendela itu pernah dipegang tangan orang
(4) *Jendela yang tertutup dan kemudian terbuka, tentu dibuka orang.
#Jendela kamar itu tadinya tertutup, kemudian terbuka.
∴Jendela kamar itu tentu dibuka orang.
Dari tiga konklusi yang terakhir di atas, yaitu bahwa:
- ada orang bersepatu di depan jendela;
- bingkai jendela itu pernah dipegang tangan orang; dan
- jendela kamar itu tentu dibuka orang,
disimpulkan kejadian berikut: ada orang bersepatu berdiri di depan jendela, memegang
bingkainya, dan kemudian membukanya.
Kesimpulan ini bukan kesimpulan penalaran. Logika tidak dapat memastikan bahwa
orang bersepatu di depan jendela itu tentu sama dengan orang yang memegang bingkai
39

jendela, dan juga tidak dapat memastikan bahwa orang itu pulalah yang membuka jendela. Di
antara ketiga peristiwa itu tidak ada implikasi logis. Kesimpulan itu adalah hasil intuisi.
(5)*Barang yang tidak di tempatnya lagi tentu diambil orang.
# Poci teh dan sendok itu tidak di tempatnya lagi.
∴Poci teh dan sendok itu tentu diambil orang

(6) *Semua perbuatan tentu mempunyai maksud. Ada orang membuka jendela.
(Kesimpulan dari konklusi (2), (3), dan (4) di atas)
∴Orang yang membuka jendela itu mempunyai maksud tertentu.

Konklusi terakhir dihubungkan dengan konklusi (5) bahwa poci teh dan sendok itu
diambil orang, melahirkan kesimpulan bahwa poci teh dan sendok itu diambil oleh orang
yang membuka jendela itu.
Kesimpulan inilah yang oleh si pemilik rumah dikemukakan sebagai hipotesa.
Kesimpulan itu adalah hasil intuisi atau ilham. Di lihat dari sudut logika, antara hilangnya
poci teh serta sendok dan orang yang membuka jendela tidak ada implikasi logis. Pikiran
tidak dapat memastikan adanya hubungan tertentu antara orang membuka jendela dan barang
yang hilang.
Dari penjabaran penyusunan hipotesa seperti di atas, jelaslah bahwa hipotesa itu suatu
konklusi dari sejumlah penalaran deduktif [penalaran (1) s/d (6)]- Penalaran-penalaran itu
sebagian [no. (1) s/d (5)] didasarkan atas proposisi empirik sebagai maiornya dan oleh
karenanya konklusinya mempunyai nilai probabilitas. Penalaran no. (6) maiornya berupa
proposisi mutlak, non-empirik, sehingga konklusinya mempunyai nilai kepastian. Karena
maior yang empirik itulah maka hipotesa itu tidak mempunyai nilai kebenaran yang pasti.
Hubungan antara konklusi-konklusi itu sendiri hanya dapat diketahui melalui intuisi.
Hipotesa adalah suatu konklusi yang memiliki nilai probabilitas. Dalam hal ini
hipotesa sama dengan konklusi penalaran induktif biasa. Bahkan persamaannya lebih dari itu.
Kedua-duanya didasarkan atas pengumpulan fakta, nilai probabilitasnya dapat ditingkatkan
dengan mengujinya, yaitu dengan mencocokkannya dengan fakta. Dengan menerapkan
hipotesa maupun konklusi induktif orang dapat mengadakan prediksi. Karena persamaan-
persamaan itu maka konklusi induktif pun dapat dipandang dan diperlakukan sebagai
hipotesa.

2.6.3 Hipotesa sebagai eksplanasi


40

Seperti dikatakan di atas, hipotesa pencurian menerangkan mengapa poci teh dan
Sendok tidak di tempatnya lagi. Huxley dalam karangannya yang sama mengatakan, bahwz si
pemilik rumah dengan mengemukakan hipotesa pencurian itu telah menemukan vera causa
dari hilangnya poci dan sendok itu. Vera causa, bahasa Latin, hanya tidak lain daripada 'sebab
yang sebenarnya'. Ini berdasarkan anggapan yang aku pada waktu itu, bahwa konklusi
penalaran induktif icu memiliki nilai kebenaran yang pasti, jadi benar atau salah. Dengan
diakuinya bahwa konklusi penalaran ilmiah itu suatu probabilitas, istilah vera causa sekarang
telah berganti menjadi eksplanasi atau keterangan, penjelasan.
Mengenai keterangan atau penjelasan itu harus diingat bahwa sebuah fakta tidak
hanya dapat diterangkan dengan satu cara saja. Setiap keterangan sebenarnya hanya salah
satu keterangan yang dapat diberikan. Bahwa poci dan sendok tidak di tempatnya lagi,
misalnya, juga dapat diterangkan demikian. Pagi-pagi sekali pembantu rumah tangga telah
bangun dan membuka jendela. Tukang kebun dan rumah sebelahnya datang dan bercakap-
cakap melalui jendela yang terbuka sambil memegangi bingkai jendela dengan tangannya
yang kotor. Sehabis bercakap-cakap pembantu rumah tangga mengambil poci dan sendok
untuk dicuri. Ketika si pemilik rumah datang, barang-barang tersebut tidak di tempatnya lagi.
Hipotesa-hipotesa lain sudah tentu dapat disusun. Hal itu tergantung kepada imajinasi orang
yang menciptakannya. Tidak semua hipotesa yang dapat diciptakan mengenai sesuatu
masalah menyajikan eksplanasi yang baik. Menjelang akhir abad ke-18 teori phlogiston
mengenai pembakaran ditinggalkan oleh para ahli fisika. Menjelang pertengahan abad ke-20
ini teori ether sebagai zat pengantar gelombang suara dan getaran cahaya mengalami nasib
yang sama. Di bidang ilmu antropologi budaya tidak terdengar lagi tentang teon animisme
dan dinamisme sebagai teori yang masih hidup. Apa kriterianya untuk mengatakan bahwa
suatu hipotesa itu baik atau tidak baik? Di bawah ini tercantum kriteria yang dapat digunakan
untuk keperluan itu:
1. Sebuah hipotesa harus sekomprehensif mungkin
artinya: semua fakta yang berhubungan dengan masalahnya dan semua
aplikasi/penerapan dari hipotesa itu harus dapat diterangkan oleh hipotesa yang bersangkutan.
Hipotesa tentang pembantu rumah tangga yang bercakap-cakap dengan tukang kebun untuk
menjelaskan bahwa poci dan sendok tidak di tempatnya lagi kalah komprehensif dengan
hipotesa pencurian. Ada fakta yang bersangkutan dengan masalah itu yang tidak dapat
diterangkan dengan hipotesa percakapan itu: kalau mencuci poci dan sendok itu pekerjaan
rutin, mengapa si pemilik rumah tidak mengetahuinya? Untuk menerangkan hal ini harus
41

dibuat hipotesa tambahan, misalnya: si pemilik rumah kebetulan tidak ingat akan hal itu,
atau: si pembantu sedang ke pasar, sehingga tidak dapat ditanyai.
Ketika Leverrier menemukan planet Neptunus dengan menggunakan hukum gravitasi
Newton karena kelihatannya orbit planet Uranus tidak sesuai dengan hukum itu, itu
menunjukkan bahwa hukum gravitasi itu cukup komprehensif. Akan tetapi penyelewengan
planet Mercurius dari orbit yang diharapkan, yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan hukum
gravitasi, menunjukkan bahwa hukum itu kurang komprehensif.

2. Sebuah hipotesa harus memiliki nilai prediktif (predictive power)


Hipotesa harus dapat digunakan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Itulah tujuan
ilmu pengetahuan. Itulah kegunaan ilmu. Olch karena itu, kriterium ini juga disebut kriterium
utilitas
Nilai prediktif itu hanya terdapat pada hipotesa, kalau hipotesa berupa suatu generalisasi,
sehingga dapat diterapkan untuk semua fakta yang sama. Berdasarkan ini kriterium ini juga
disebut kriterium generalisasi.

3. Sebuah hipotesa harus dapat diuji (testability)


Yaitu dicocokkan dengan observasi anik. Pengujian itu memuntir teori ilmu
pengetahuan untuk membenarkan hipotesis dengan menunjukkan kesesuaiannya dengan fakta
Menurut teori yang lebih baru, pogujian itu untuk menaikkan probabilitas hipotesa karena
ketidakberhasilan usaha untuk membuktikan kmadakuacokkannya dengan fakta. Pengujian
yang pertama itu suatu verifikasi, pengujian yang kedua suatu falsifikasi.

4. Simplisitas atau kesederhanaan.


Kriterium ini berdasarkan kecenderungan umum pikiran manusia bahwa apa yang
lebih sederhana itu lebih dapat dipahami dan diterima dlah pikiran, jadi lebih rasional. Dan
hipotesa sebagai cksplanasi harus rasional. Pada umumnya makin sedikit pengertian, makin
sedikit asumsi, dan makin sedikit hubungan antar fakta yang terdapat didalam hipotesa,
makin sederhana hipotesanya.

5. Hipotesa tidak boleh mengandung inkonsistensi.


42

Sesuatu yang tidak konsisten tidak dapat diterima oleh pikiran, jadi tidak rasional. Pada
hal keterangan atau penjelasan harus dapat diterima oleh pikiran.
Kalau kita perhatikan kritern di atas, terbukti ada yang mutlak ada yang tidak. Yang mutlak
ialah:
- Tharus memiliki nilai prediktif. Tanpa ini pengetahuan yang didasarkan atas hipotesa
itu tidak ada gunanya
- harus dapat diuji atas dasar observasi empirik. Semua pengetahuan ilmiah akhirnya
Harus dibuktikan probabilitasnya dengan ujian itu;
- harus konsisten. Yang tidak konsisten tidak rasional.
Sebaliknya kriteria konprchensvatas dan kesederhanaan bukan kriteria yang mutlak, artinya:
meskipun kurang komprehensif atau kurang sederhana, hipotesa masih dapat diterima oleh
pikiran, asal tidak melanggar kriteria yang mutlak.

2.7 PROBABILITAS

2.7.1 Teori probabilitas

Sudah kita ketahui bahwa konklusi dari segala penalaran induktif memiliki sifat
probabilitas, sifat peluang, yang menyebabkan pikiran dapat percaya akan kebenarannya
(rational credibility/rational belief). Banyak hal-hal yang kebenarannya tidak dapat diketahui
oleh manusia dengan pasti. Akan tetapi berdasarkan pengalaman, manusia tahu bahwa
probabilitas itu biasanya benar atau setidak tidaknya ada kemungkinan benar. Tanpa percaya
kepada probabilitas hidup manusia akan mengalami kesulitan-kesulitan yang tidak dapat
diatasi. Kata seorang filsuf Inggris: "Probability is the guide to life". Didalam kehidupannya,
manusia sering (mungkin yang tersering) bertindak atas dasar probabilitas. Ini berarti bahwa
waktu melakukan tindakan itu, manusia mempunyai harapan, bahwa apa yang dipercayainya
secara rasional itu akan benar-benar terjadi atau akan benar-benar ada. Jadi peristiwa atau
keadaan itu mengandung kredibilitas rasional. Inilah probabilitas peristiwa (the probability of
events/facts). Dan manusia memilih tindakan yang satu atas tindakan yang lain berdasarkan
tinggi-rendahnya probabilitas. Dalam praktek keilmuan orang berusaha mengukur tinggi-
rendahnya probabilitas itu dengan menggunakan angka-angka. Probabilitas yang berbentuk
angka itu dapat disebut probabilitas numerik.
43

Bagaimana caranya menentukan angka atau nilai probabilitas itu? Ada beberapa cara
yang masing-masing didukung oleh sebuah teori, semuanya ada kelebihan dan ada perlum
kekurangannya Ada baiknya untuk menguasai beberapa istilah terlebih dahulu yang untuk
membicarakan teori-teori yang berhubungan dengan cara untuk menentukan nilai probabilitas
Eksperimen ialah setiap prosedur yang jelas dan tetap yang harus dikerjakan atau setiap cara
yang tertentu dan tetap yang dapat dikerjakan. 'Dikerjakan' di sini harus dipandang secara
luas. Tidak hanya manusia yang dapat mengerjakan sesuatu, akan tetapi juga alam. Kejadian
alam juga dapat disebut eksperimen, asal cara atau prosedurnya jelas dan tetap, atau juga
dapat dikatakan: kalau kondisi yang diperlukan jelas dan tetap. Eksperimen yang sungguh-
sungguh terjadi atau dikerjakan adalah percobaan (trial). Hasil percobaan yang sesuai dengan
harapan disebut sukses. Setiap hasil percobaan, baik yang sukses maupun yang tidak disebut
peristiwa (ercut).

Teori klasik
Teori yang tertua ialah teori klasik yang disusun dalam hubungan dengan permainan
judi dan juga dikenal dengan nama teori perjudian (game theory). Ambillah misal sebagai
berikut:
Sebuah percobaan (trial) dapat menghasilkan sebanyak n peristiwa dengan syarat: (1) jumlah
peristiwa (eveat) yang dapat terjadi itu harus diketahui secara a priori, tanpa mengadakan
observasi terlebih dahulu: (2) tidak mungkin dua peristiwa terjadi bersama-sama dan ini juga
harus diketahui secara a priori; (3) harus tidak ada alasan untuk mengharap bahwa di antara
peristiwa-peristiwa itu yang satu akan lehih mudah terjadi daripada yang lain. Ini berarti
bahwa di antara semua peristiwa itu ada

persamaan kemungkinan akan terjadi atau dengan lain perkataan: di antara scomten peristiwa
itu ada ekuiposibilitas. Nilai probabilitas dari masing-masing peristiwa itu ialah Va.
Dalam definisi klasik: nilai probabilitas ialah hasilbagi atau kosien dari jumlah sukses
dibagi jumlah peristiwa yang memiliki ekuiposibilitas. Kalau kita melemparkan sebuah dadu,
maka percobaan itu memenuhi syarat (`1)dan (2) di atas. Dan kalau pembuatannya dan cara
melemparkannya demilcian mapa sehingga memenuhi syarat ekuiposībilitas, maka masing-
masing muka itu mempunyai nilai probabilitas % untuk menghadap ke atas. Kalau dadu itu
semua mulanya bermata satu, maka peristiwa lemparan dengan hasil mata satu memiliki nilai
probabilitas % atau 1. Kalau mukanya tidak ada yang bermata satu, maka peristiwa itu akan
mempunyai probabilitas % atau 0. Angka 1 dan D itu adalah probabilitas maksimum dan
44

minimum, yang sebenarnya bukan probabilitas lagi tetapi kepastian. Probabilitas yang
ditetapkan secara demikian itu juga disebut probabilitas matematik

Teori frekuensi relatif


Teori ini memandang probabilitas sebagai frekuensi relatif, yaitu seringuya atau
banyaknya hasil sukses dalam sejumlah percobaan. Jadi:
jumlah s(sukses)
frekuensi relatif ¿ ¿
jumlah t ¿ ¿
Menurut teori klasik, secara a priori dapat ditentukan bahwa nilai probabilitas umuk
memperoleh sukses berupa gambar rumah dalam lemparan mata uang seratus rupiah ialah 12.
Untuk menghitung frekuensi relatif, kita harus mengadakan lemparan sungguh-sungguh
(percobaan) sejumlah kali dan hasilnya, misalnya sebagai berikut (1 = gambar rumah atau
sukses):

−−11−−−11−1111
Deretan di atas adalah deretan peristiwa (sequence of events) hasil dari H kii lemparan,
diantaranya yang sukses ada 8. Berdasarkan 14 kali percobaan itu terdapat

jumlah s
deretan frekuensi (frequency sequence): ¿ sebagai berikut :
jumlah t
001222234 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Dari deretan frekuensi yang berbeda-beda itu, yang mana yang harus dipandang sebagai
frekuensi relatif atau probabilitas? Sebenarnya tidak ada Di sini teori im menurunkan sebuah
prinsip atau aksioma, yang disebut aksioma limit (the Iimit axiom), yang mengatakan bahwa
makin banyak diadakan percobaan dan malam panjang deretan frekuensinya, maka angka
frekuensi itu akan makin mendekati angla akhir kalau percobaan itu diteruskan sampai tak
terbatas. Angka akhir atau nilai
jumlah s
limit inilah nilai probabilitas sebenarnya. Jadi jumlah t itu hanya disebut nilai fire
jumlah t
kuensi relatif dalam arti: nilai ini adalah nilai untuk jumlah sekian percobaan, yang kalau
percobaan itu diteruskan sampai tak terbatas akan mencapai angka limit. Teori ini sifatnya a
posteriori dan probabilitasnya juga disebut probabilitas statistik, karena didasarkan atas
pencatatan data. Kalau dari 1000 orang yang berumur 25 tahun setahun yang lalu, kini ada
45

963 orang yang masih hidup, maka ada 1000 percobaan dan ada 963 sukses, sehingga nilai
frekuensi relatifnya ialah %1000. Juga dalam teori ini nilai maksimum dan minimum
probabilitas ialah 1 dan 0.
Sekali sebuah nilai probabilitas diketemukan, maka nilai itu dapat digunakan untuk
menghitung probabilitas-probabilitas lain. Hitung-menghitung probabilitas itu merupakan
bagian dari matematika yang disebut kalkulus probabilitas. Kedua teori di ataslah yang
biasanya diuraikan dalam hubungan dengan kalkulus probabilitas.
Teori klasik, karena berdasarkan pengetahuan a priori yang dengan sendirinya jelas
(self evident), kelihatan sangat mantap, akan tetapi sulit diterapkan di luar praktek perjudian.
Pengetahuan a priori yang disyaratkan tidak selalu dapat diperoleh dan juga syarat
ekuiposibilitas praktis hanya dapat diketahui secara negatif. Akan tetapi mengatakan bahwa
tidak diketahui adanya alasan untuk menduga tidak adanya ekuiposibilitas itu tidak sama
dengan mengatakan bahwa ada ekuiposibilitas. Teori frekuensi relatif sangat menarik karena
sifatnya a posteriori, jadi sesuai dengan ilmu pengetahuan empirik. Tetapi tidak selalu
tersedia data empirik. Ini antara lain terdapat pada peristiwa tunggal. Berapa nilai probabilitas
akan terjadinya perang nuklir? Tidak ada data empirik, karena belum pernah ada perang
nuklir. Ada teori lain yang kurang disenangi, karena sifatnya subyektif, akan tetapi toh juga
sering digunakan karena tidak dapat dihindarkan. Teori logiko-subyektif, demikian nama
yang sering diberikan untuk teori subyektif itu. Di sini probabilitas dilihat sebagai
kepercayaan rasional (rational belief), idak hanya asal kepercayaan, akan tetapi kepercayaan
yang masuk akal Proposisi-proposisi itu yang satu ada hubungan tertentu dengan yang lain
misalnya: kalau yang satu benar, yang lain tentu salah dan sebaliknya (kontradiksi}: kedua-
duanya tidak dapat bersama-sama (incompatibility); yang satu tidak ada hubungan dengan
yang lain (mutual independence). Menurut hubungannya, dikatakan bahwa proposisi yang
satu, p, memberi nilai probabilitas tertentu kepada proposisi yang lain, q.
Nilai maksimum probabilitas, 1, diberikan oleh proposisi p kepada proposisi q, kalau
di antara p dan qada hubungan penyimpulan (derivability): q adalah konklusi dari p. Nilai
minimum probabilitas, 0, diberikan oleh proposisi p kepada proposisi g, kalau diantara p dan
q ada hubungan kontradiktorik.
Nilai-nilai probabilitas untuk hubungan hubungan yang lain terletak diantara O dan 1.
Makin banyak faktor dalam proposisi q yang berbeda atau tidak terda dalam proposisi p,
makin kecil nilai probabilitasnya. Meskipun penentuan nilai itu pada dasarnya dilakukan
secara subyektif, dalam prakicknya cukup banyak faktor-faktor obyektif yang
diperhitungkan, sehingga pelaksanaannya tidak begitu sederhana seperti prinsipnya.
46

2.7.2 Kalkulus probabilitas


Bukan maksudnya di sini untuk memberi uraian matematika, akan tetapi untuk
memberikan gambaran sekedarnya tentang kalkulus probabilitas, dengan menjelaskan
beberapa hukumnya yang pokok
Hukum konyungsi (Joint occurence)
Kalau kita ambil P sebagai lambang frekuensi relatif atau probabilitas dan p sebagai
lambang peristiwa (event) berupa mata uang seratus rupiah dengan sukses gambar rumah,
maka P(p) berarti probabilitas pelemparan mata uang seratus rupiah dengan sukses gambar
rumah. Kalau q lambang sukses yang sama dalam pelemparan mata uang kedua, maka P(q)
berarti probabilitas pelemparan mata uang kedua dengan sukses gambar rumah. Selanjutnya
P(pag) berarti probabilitas dua mata uang seratus rupiah dengan sukses berupa dua gambar
rumah. Beaya nilai: P(p^9)= P(p ^q) = P(p) x P(q)
Kita ketahui bahwa probabilitas dalam pelemparan mata uang seratus rupiah dengan

1
sukses gambar rumah = . Maka probabilitas sukses yang sama dengan menggunakan dua
2

1 1 1
mata uang seratus rupiah ialah: x = Nilai probabilitas ini dapat dicocokkan demikian:
2 2 4
kalau kita melemparkan dua mata uang seratus rupiah bersama-sama, hasil peristiwa itu yang
mungkin dicapai ialah sebagai berikut:

(R = gambar rumah; A = angka): R −¿A


A–R
A –A
R−¿R

jelaslah bahwa hasil lemparan berupa dua rumah adalah salah satu dari empat hasil
yang mungkin diperoleh, jadi malai probabilitasnya: 4. Sebuah contoh lain: kita dalam
compat kali log ❑tarik dari seperangkat kartu bridge ingin mendapat sebuah kartu ruit,
sebuah kartu hart, sebuah kartu klaver, dan sebuah kartu sekop. Berapa besar probabilitasnya
keinginan kita akan terpenuhi? Rumusnya ialah:
P (r ∧ h ∧ k ∧ s) = P (r) x P (h) × P (k) × P (s)
47

Kartu bridge itu berjumlah 52 helai seperangkat dan kartu yang bergambar ruit, hart,
klaver, dan sekop itu masing-masing ada 13. Jadi P (r) atau probabilitas untuk menarik ruit

13 1
adalah .= Maka probabilitasnya bahwa keinginan kita untuk berturut-turut menarik
52 4

1 1 1 1 1
kartu ruit, hart, klaver, dan sekop itu ialah: x x x =
4 4 4 4 156
1 1 1 1
Andaikata kita hanya menarik tiga kali, maka misalnya P (h ∧ k ∧ s) = : x x =:
4 4 4 64
Terbukti bahwa probabilitas dari dua, tiga, dan empat kejadian bersama-sama seperti

1 2 1 3 1 4
dalam contoh di atas ialah ( ) ( ) ( ) Hitungan seperti itu berlaku untuk setiap jumlah
2
;
4
;
4
kejadian, asal kejadian yang bersangkutan tidak saling mempengaruhi (mutually
independent). Yang dimaksud dengan peristiwa yang tidak saling mempengaruhi di sini ialah
peristiwa yang meskipun yang satu terjadi atau tidak, yang lain tidak terpengaruh.
Dalam menarik kartu bridge dalam contoh di atas, setiap peristiwa dianggap tidak
berpengaruh atas peristiwa yang lain. Ini berarti bahwa sesudah menarik sehelai kartu, kartu
itu dikembalikan lagi pada tumpukannya. Sebab kalau tidak demikian peristiwa berikutnya
akan terpengaruh oleh terjadinya peristiwa sebelumnya:jumlah kartu akan tinggal 51, 50, dan
seterusnya.
Kalau kita menarik kartu bridge dengan maksud mendapatkan kartu dua ruit,

1
probabilitas peristiwa ini dapat ditulis: P (2r) dan nilainya ialah . Kita menarik lagi dan
52
ingin mendapat kartu dua sekop, akan tetapi kartu yang telah ditarik tidak dikembalikan ke

1
tumpukannya. Di sini probabilitas peristiwa kedua, yaitu: P (2s), bukan akan tetapi
52
probabilitas itu harus dihitung sebagai probabilitas peristiwa 2s sesudah atau jika sudah

1
terjadi peristiwa 2r = P (2s jika 2r), dan besarnya ialah Jadi:
52
P (2r ∧ 2s) = P (2r) x P (2s jika 2r).
1 1 1
Nilai P (2r) x P (2s jika 2r) =. x =
52 51 2652
Andaikata dua orang pencuri lari masuk ke rumah teman mereka, yang penghuninya tiga
orang. Polisi tidak mengenal ciri-ciri si pencuri. Si pencuri tidak mengaku dan ketiga orang
temannya juga tidak mengaku, karena mereka tidak tahu bahwa teman mereka itu pencuri.
48

Berapa nilai probabilitasnya bahwa polisi berturut-turut akan menangkap orang yang

1
dicarinya? Dalam penangkapan yang pertama, probabilitas ketepatannya ialah : Dalam
5

1
penangkapan berikutnya nilai probabilitas ketepatannya ialah . Jadi nilai probabilitas bahwa
5

1 1 1
polisi berturut-turut akan menangkap orang yang tepat ialah x =
5 4 20

Hukum disyungsi
Ada disyungsi eksklusif dan ada disyungsi inklusif. Di antaranya yang lebih
sederhana untuk dihitung probabilitasnya ialah disyungsi eksklusif. Kita mulai dengan
disyungsi eksklusif.
a. Disyungsi eksklusif
Kalau kita melemparkan sebuah dadu, kita tahu bahwa hasilnya pasti mana-sara atata
bukan-mata-satu. Bukan-mata-satu adalah komplemen dari mata-san. Selain mata-satu tidak
ada sesuatu yang lain kecuali bukan-mata-satu. Tidak mungkin mata-satu dan bukan-mata-
satu terdapat bersama-sama sebagai hasil sebuah lemparan dadu. Kalau probabilitas hasil
lemparan mata-satu itu ditulis P (p) dan komplemennya ditulis (P), maka kita mendapat:
P(p+p) = o
Sebaliknya kalau kita melemparkan sebuah dadu, hasilnya pasti mana satu atau bukan-
mata-satu. Jadi: P(pvp) = 1. Dari rumus terakhir ini dapat disimpulkan: P(p) = 1 - P (p) dan
P(p) = 1- P(p). Ini disebut Hukum komplemen atau hukum negasi Kedua rumus itu
menghasilkan: 1 (p) + (p). Dari sini nampaklah bahwa P(pvp)=1= P(p) + P(p). Jadi: P(p v p)
= P(p) + P(p), yaitu: probabilitas suatu disyungsi adalah jumlah dari probabilitas masing-
masing anggotanya. Ini disebut hukum disyungsi eksklusif. Rumus itu dapat dicocokkan
demikian : P(P), yaitu probabilitas peristiwa pelemparan dadu dengan sukses mata-satu,

1
bernilai. P(p) atau komplemennya, yaitu peristiwa yang sama dengan sukses bukan-mata-
6

5
satu, bernilai Jadi P(p) + P(p) = 1 = P(p v p).
6
Meskipun dalam contoh-contoh di atas anggota dari disyungsi eksklusif itu yang satu
merupakan komplemen dari yang lain, akan tetapi hukum disyungsi itu berlaku untuk setiap
disyungsi eksklusif. Kalau dalam melempar dadu itu sukses mata-satu sampai dengan mata-
49

enam masing-masing dilambangkan dengan angka 1 sampai dengan 6, maka probabilitas


masing-masing sukses itu ditulis (1), (2), dan seterusnya. Kalau kita melemparkan sebuah
dadu, maka di antara keenam sukses itu ada ekuiposibilitas dan hasilnya tenta 1, atau 2, atau
3, atau 4, atau 5, atau 6; dan pasti hasilnya tentu salah satu di antaranya Ini harus ditulis: P(1

1 1 1 1 1 1 1
v 2 v 3 v 4 v 5 v 6) = + + + + + = 1. Dari sini jelaslah bahwa P(1 v 2) = +
6 6 6 6 6 6 6

1 2 1 1 1 3
= ; P(1 v 2v 3) = + + = ; dan seterusnya.
6 6 6 6 6 6
Jelaslah bahwa hukum disyungsi eksklusif tidak hanya berlaku untuk disyungs yang
anggota-anggotanya komplementer, bahkan berlaku juga apabila disyunga memiliki lebih
dari dua anggota.
Contoh: Seorang polisi melihat seorang pemuda memukul orang di jalanan sampa
pingsan. Ketika pemuda itu hendak ditangkap, ia lari masuk halaman sebuah sekolah dan
terus masuk sebuah kelas. Ada 30 orang murid di situ, tidak ada yang mengaku orang yang
dikejar oleh polisi itu dan juga tidak ada orang yang memberitahukannya Polisi merasa
melihat bahwa perpuda yang dikejarnya itu berbaju hijau, maka ditangkapnyalah seorang
murid berbaju hijau. Akan tetapi tubuhnya kecil, sedang merasa pemuda yang dicarinya itu
berbadan tegap. Maka ditangkapnya seorang murid lain yang berbadan tegap akan tetapi
berbaju biru. Akan tetapi yang ini rambutnya pendek, sedang ia merasa pemuda yang
dicarinya itu berambut panjang. Maka ditangkapnya seorang lagi yang berambut panjang,
tetapi berbaju abu-abu. Berap nilai probabilitasnya bahwa di antara ketiga pemuda yang
ditangkap inu terda pemuda yang dicari? Kalau peristiwa penangkapan pemuda berbaju hijau,
biru, dan abu-abu kita lambangkan dengan huruf h, b, dan a, maka nilai probabilitasnya yang

1 1 1 812 840 870


dicari itu adalah sebagai berikut: P(h v b v a) = + + = + + =
30 29 28 24630 24360 24360

2522
24360

Contoh berikut ini adalah contoh yang sederhana tetapi kompleks. Berapa nilai
probabilitasnya kalau kita melemparkan dua mata uang seratus rupiah dan ingin mendapatkan
hasil dua gambar rumah atau dua angka seratus? Probabilitasnya ini mengenai disyungsi
eksklusif, yang anggota-anggotanya masing-masing adalah sebuah konyungsi, yaitu:
probabilitas untuk mendapatkan dua gambar rumah dan probabilitasnya untuk mendapatkan
50

1 1
dua angka seratus. Maka perhitungannya menjadi demikian: P[P(r ∧ r) v P(a v a)] = P[( x
2 2

1 1 1 1 1
) v ( x )] = + =
2 2 4 4 2

b. Disyungsi inklusif
Kita melemparkan mata uang seratus rupiah dua kali. Berapa nilai probabilitasnya
untuk mendapatkan sukses gambar rumah pada lemparan pertama atau kedua? Disyungsi ini
adalah disyungsi inklusif, karena suksesnya dapat dicapai pada lemparan pertama atau kedua
atau pada lemparan pertama dan kedua. Kalau nilai probabilitas itu dihitung dengan rumus

1 1
probabilitas disyungsi eksklusif, skan menjadi + = 1, atau kepastian. Ini jelas tidak cocok
2 2
dengan fakta. Kalau disyungsinya diperluas dan lemparannya dijadikan tiga kali dan

1 1 1 1
probabilitasnya dihitung secara sama, maka akan menjadi + + =1 , atau melebihi
2 2 2 2
kepastian. Jelas tidak mungkin. Justru hasil yang melebihi angka 1 atau probabilitas
maksimum itu adalah salah satu ciri perhitungan probabilitas yang salah. Kalau kita
melemparkan mata uang seratus rupiah dua kali, sukses yang dapat dicapai ialah: R−¿R; A
−¿R; R−¿A; dan A - A. Dari sini jelas bahwa nilai probabilitas itu ialah . Apa yang kita
kerjakan di sini ialah mengembalikan suatu disyungsi inklusif menjadi disyungsi eksklusif
dengan menjabarkan suatu sukses menjadi sejumlah peristiwa yang eksklusif yang satu
terhadap yang lain, yaitu sebuah sukses berupa hasil lemparan gambar rumah menjadi: R−¿
R;R−¿A; dan A-- R. Tanpa membuat penjabaran itu hasil perhitungan tersebut dapat
diperoleh dengan menggunakan rumus;
P(p v q) = [P(p) + P(q)] −¿ P(p q).
Dengan menerapkan rumus itu dalam hal melemparkan mata uang di atas, hasilnya

1 1 1 1 3
dapat dihitung demikian: + −¿ ( x ) = Sukses dari lemparan mata uang dalam contoh
2 2 2 2 4
di atas yang satu tidak berpengaruh atas yang lain (mutually independent) artinya apakah
sukses itu sudah terdapat atau belum pada lemparan yang pertama, hal itu tidak berpengaruh
atas sukses tidaknya lemparan yang keduz. Lain halnya dengan contoh yang beriku.. Berapa
besarnya nilai probabilitas untuk mendapat sukses yang berupa dua bidang dengan jarish
mata yang sama atau yang jumlahnya kurang dari sepuluh, kalau kita melemparkan dua buah
dadu?
51

6
Nilai probabilitas sukses berupa dua bidang dengan jumlah mata yang sana ialah .
36
Kalau kita melemparkan dua dadu, jumlah peristiwa dengan ekuiposibiltas: ialah 36, sedang
sukses yang berupa dua bidang dengan jumlah mata yang sama ada 6. Periksa tabel berikut:
Tabel peristiwa dengan ekuiposibilitas dalam melemparkan dua dadu:
1-1 1-2 1-3 1-4 1-5 1-6
2-1 2–2 2–3 2–4 2–5 2-6
3–1 3-2 3-3 3-4 3-5 3-6
4-1 4–2 4–3 4-4 4–5 4- 6
5–1 5–2 5-3 5-4 5-5 5- 6
6–1 6- 2 6–3 6-4 6–5 6-6
Jumlah sukses dengan dua bidang yang jumlah matanya kurang dari sepuluh ada 30

30
(periksa tabel). Jadi nilai probabilitasnya Kedua angka probabilitas itu dapat digunakan
36
untuk menghitung P(p) + P(q) akan tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung P(p ∧ q),
sebab kedua sukses itu saling pengaruh-mempengaruhi. Jumlah sukses dengan dua bidang
bermata sama dan sekaligus jumlah matanya kurang dari sepuluh hanya ada empat, yaitu: 1 -

4
1;2-2; 3 - 3 dn 4 - 4 (periksa tabel). Jadi P(p ∧ q) ialah . Maka nilai probabilitas yang
36

6 30 4 32 8
dicari itu ialah: + - = =
36 36 36 36 9

Nilai harapan
Kalau kita berbicara tentang nilai harapan (expected value) atau harapan matematik,
maka kita berbicara tentang taruhan. Dalam taruhan, kita dapat menang, dapat kalah Kalau
menang, biasanya kita mendapat lebih daripada apa yang dipertaruhkan, kalau kalah apa yang
dipertaruhkan itu hilang. Kalau mempertaruhkan Rp. 1.000,- maka uang seribu rupiah itu
tidak bernilai seribu rupiah, sebab dalam taruhan itu saya dapat kalah dan uang Rp.1.000,- itu
dapat hilang, tidak kembali. Uang Rp. 1.000,- dalam taruhan itu nilainya harus
diperhitungkan berdasarkan kemungkinannya saya akan menang dan akan kalah. Caranya
menghitung ialah nilai probabilitas sukses (menang) kali jumlah uang yang diterimanya kalau
memang (uang taruhan ditambah emenangannya) ditambah dengan nilai probabilitas bukan
sukses (kalah) kali jumlah uáng yang diterimanya kalau kalah. Hasil perhitungan inilah yang
disebut nilai harapan atau harapan matematik. Berikut ini beberapa contoh.
52

Di atas sudah kita ketahui bahwa kalau kita melemparkan dua buah dadu, maka nilai
probabilitasnya untuk mendapat sukses yang berupa dua bidang dengan jumlah mata yang
sama atau yang jumlahnya kurang dari sepuluh ialah %. Kita mengadakan taruhan dan
berpegang pada sukses ini, tiga lawan satu: kita menyediakan Rp. 3.000, sedang lawan kita
Rp. 1.000,-. Kalau kita menang mendapat Rp. 1.000,- disamping uang taruhan kita, sedang
kalau kita kalah, uang Rp. 3.000,- menjadi milik lawan kita. Nilai harapan dari Rp. 3.000,-
dalam taruhan ini ialah: (% x Rp. 4.000,-) + ( x Rp. 0) = Rp. 3.555,56. Jadi dalam taruhan itu
uang Rp. 3.000, - bernilai lebih dari Rp. 3.000,- Ini disebabkan karena nilai probabilitas untuk
menang lebih besar daripada nilai probabilitas untuk kalah. Meskipun taruhan kita lebih besar
daripada taruhan lawan, akan tetapi perbedaannya masih belum sebanding dengan perbedaan
nilai probabilitasnya.
Lain halnya kalau taruhan itu tidak tiga banding satu, akan tetapi delapan banding
satu: Kita menyediakan Rp. 8.000,- dan lawan kita Rp. 1.000,-. Dalam hal ini nilai harapan
dari Rp. 8.000,- yang kita pertaruhkan ialah: (% x Rp. 9.000,-) + (% x Rp. 0) = Rp. 8.000,-.
Disini Rp. 8.000,- nilai harapannya tetap Rp. 8.000,
Contoh berikut ini lebih kompleks. Di sebuah pasar malam di mana diadakan
permainan judi, kita ikut bermain di sebuah stand. Permainan menggunakan dua dadu.
Taruhan diletakkan di atas meja di mana terdapat enam petak yang diisi dengan angka 1
sampai dengan 6. Kita menaruh Rp. 1.000,- atas angka 3. Ini berarti bahwa kalau kedua dadu
itu masing-masing menunjukkan mata tiga, maka kita akan memenangkan 4 kali lipat dari
taruhan kita, sehingga kita menerima Rp. 1.000,- + Rp. 4.000,- = Rp. 5.000,-. Kalau hanya
satu dadu yang menunjukkan mata tiga, maka kita akan menerima Rp. 1.000,- + Rp. 2.000,-
(dua kali lipat jumlah taruhan) = Rp. 3.000, -. Kalau tidak ada yang menunjukkan angka tiga,
maka uang Rp. 1.000, hilang. Di sini hasil peristiwa pelemparan dua dadu itu tidak hanya
sukses dan tidak sukses, akan tetapi sukses I, sukses II, dan tidak sukses. Kecuali itu
probabilitas setiap sukses dan tidak sukses itu adalah probabilitas suatu konyungsi, yaitu:
probabilitas hasil lemparan dadu yang pertama dan probabilitas hasil lemparan dadu yang
kedua
Nilai harapan dari Rp. 1.000,- yang dipertaruhkan isu perhitungannya menjadi Nilai

1 1 1
probabilitas sukses I, (dua mata tiga) ialah x =
6 6 36
53

Nilai probabilitas sukses II adalah suatu disyungsi eksklusif, yang menunjukkan mata tiga

1 1 5 1 10
pada dadu yang pertama atau dadu yang kedua. Maka nilainya ialah ( X ) + ( X ) =
6 6 6 6 36
5 5 25
Jadi nilai harapan Rp. 1.000,- dalam taruhan ini ialah: X = jadi nilai harapan Rp.
6 6 36
1.000, - dalam taruhan ini adalah (

1 10 25 35.000
36
x Rp . 5.000 ¿+
36( )(
x Rp. 3.000 +
36 )
x Rp.0 =Rp
36
=Rp. 972,70 Ini berarti bahwa

setiap pemain judi di situ untuk setiap Rp. 1.000,- menyumbangkan Rp. 27,30 kepada
bandarnya.
Anggaplah bahwa pemain judi di atas sebetulnya tidak suka bermain judi. Akan tetapi
ketika menonton, ia melihat bahwa 36 kali dadu tidak pernah menunjukkan dua mata tiga,
ditambah 35 kali lagi dengan hasil non-mata tiga. Karena ia tahu bahwa nilai probabilitas
sukses dua mata tiga itu , maka tertariklah ia untuk bertaruh atas hasil dua mata tiga, dengan
pikiran bahwa kini sudah waktunya untuk mendapatkan hasil dua mata tiga itu. Di sini ia
melakukan kesalahan yang sering terjadi dalam perjudian, yang oleh karenanya disebut
falasia (kesesatan) Monte Carlo. Nilai probabilitas tidak menentukan apa-apa tentang
peristiwa yang berikut, akan tetapi menunjukkan angka limit: perbandingan jumlah sukses
dengan jumlah peristiwa, kalau peristiwanya diulang terus-menerus tak terbatas, makin lama
akan makin kecil selisihnya dengan angka limit. Asal jumlah peristiwanya cukup besar,
selisih itu dapat sampai jauh di bawah 1%. Ini juga disebut hukum jumlah yang besar (the
law of large numbers).
BAB III

Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian di atas bahwa logika induktif sebagai proses penalaran yang
dapat digunakan untuk mendapatkan kebenaran. Logika induktif yang mengambil pemikiran
pada hal yang khusus menuju ke universal sebagai metode dapat digunakan untuk mencari
jawaban. sebagai suatu proses penalaran logika induktif biasa digunakan untuk memperoleh
jawaban dari penelitian ilmiah untuk mencari kebenaran. Hasil penelitian dengan
mengunakan logika induktif bisa saja kurang tepat apabila hasil dari penalaran dalam
pembuktian kurang sesuai dengan fakta yang ada. Oleh karena itu ketekitian dan ketegasan
dalam mengumpulkan fakta untuk menghasilkan jawaban yang sesuai dengan kebenaran
dibutuhkan ketegasan dan ketelitian dalam mengambil keputusan.

53
DAFTAR PUSTAKA

Soekadio, RG. (2003) Logika Dasar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Sumaryono, E. (2016). Dasar-Dasar Logika. Yogyakarta: Kanisius.

54

Anda mungkin juga menyukai