Anda di halaman 1dari 36

Hari/ Tanggal : Selasa/17 September 2019

Kelompok :4
Tugas :1

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“SUBSTANSI FILSAFAT ILMU”

Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
YULIA PRATIWI (18175043)
RAHMI AGUSTIA WIDESTRA (18175027)
SADRAINI (18175035)

Dosen Pengampu:

Dr. H. ASRIZAL, M.Si


Dr. H. AHMAD FAUZI, M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Filsafat Ilmu dengan judul “Substansi Filsafat Ilmu”.
Penyelesaian makalah ini penulis banyak menemui kendala namun, berkat
bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu khususnya dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu, Bapak Dr. H.
Asrizal, M. Si dan Bapak Dr. H. Ahmad Fauzi, M.Si.
Penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya. Semoga makalah ini bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Padang, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan ................................................................................. 2
BAB II KAJIAN TEORI..................................................................................... 4
A. Pengertian Substansi ............................................................................. 3
B. Substansi Filsafat Ilmu .......................................................................... 4
1. Fakta atau Kenyataan ..................................................................... 4
2. Kebenaran (Truth).......................................................................... 7
3. Konfirmasi ..................................................................................... 18
4. Logika Inferensi ............................................................................. 20
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 26
A. Kesenjangan antara Fakta dengan Kebenaran ...................................... 26
B. Hubungan antara Fakta, Kebenaran, dan Konfirmasi .......................... 27
C. Keterkaitan Substansi Filsafat Ilmu dengan Pembelajaran Fisika ........ 29
D. Kesimpulan ........................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh
untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau secara empiris. Pengalaman-pengalaman
yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran
rasional agar kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Sementara itu, tingkat yang lebih
rendah dalam menangkap kebenaran adalah pengetahuan indra dan naluri karena
tidak terstruktur dan pada umumnya kabur. Oleh sebab itu, pengetahuan harus
dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat
dikatakan merupakan proses yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak
mungkin akan mendatangkan keputusasaan. Manusia, yang pada dasarnya adalah
makhluk yang selalu bertanya dan selalu merasa ingin tahu pada akhirnya
memutuskan untuk tetap selalu mencari kebenaran, tidak peduli betapa
keputusasaan telah mengepungnya dari berbagai arah. Tujuan akhirnya adalah
kebenaran harus ditemukan.
Proses pencarian kebenaran, menghindari kesesatan dan kesalahan dalam
usaha untuk mencapai kebenaran, maka disusunlah logika, yaitu sebagai pegangan
untuk pikiran kita dalam perjalanannya mencari kenyataan. Maka, tugas logika
adalah menyelidiki dan menetapkan aturan-aturan atau hukum-hukum itu untuk
selalu dapat mentaati dengan sebaik-baiknya dan dengan demikian mencapai
kebenaran dalam mempelajari filsafat ilmu.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana substansi filsafat ilmu tentang fakta atau kenyataan?
2. Bagaimana substansi filsafat ilmu tentang kebenaran?
3. Bagaimana substansi filsafat ilmu tentang konfirmasi?
4. Bagaimana substansi filsafat ilmu tentang logika inferensi?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Memahami substansi filsafat ilmu tentang fakta atau kenyataan
2. Memahami substansi filsafat ilmu tentang kebenaran
3. Memahami substansi filsafat ilmu tentang konfirmasi
4. Memahami substansi filsafat ilmu tentang logika inferensi

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis, melatih untuk mengembangkan keterampilan membaca yang
efektif, melatih untuk menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber,
memperluas cakrawala ilmu pengetahuan.
2. Bagi pembaca, sebagai salah satu sumber bacaan untuk memahami mengenai
substansi dari filsafat ilmu.

2
BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Pengertian Substansi
Hubungan antara substansi dangan esensi sama dengan hubungan antara
eksistensi dengan kenyataan. Setiap substansi mengandung pengertian esensi,
tetapi tidak setiap esensi mengandung pengertian substansi. Sebagaimana
ditunjukkan oleh Aristoteles, ada perbedaannya yang lain substansi suatu barang
ialah sesuatu yang mengandung, katakanlah sifat-sifat atau substansi dapat
dikatakan sesuatu yang didalamnya terwujud esensi. Substansi dipandang sebagai
sesuatu yang adanya terdapat didalam dirinya sendiri.
Substansi merupakan sesuatu yang mendasari atau mengandung kualitas dan
sifat yang dimiliki oleh suatu benda. Perhatikanlah secarik kertas, kertas tersebut
mempunyai kualitas tertentu, namun kertas tadi tidak tampak kualitasnya. Jika
bentuk kertas tersebut diubah, kertas tadi tetap merupakan kertas. Oleh karena itu,
yang dinamakan kertas bukanlah bentuknys, bukanlah warnanya, atau sesuatu
kualitasnya yang lain yang dapat ditangkap oleh indra, tetapi yang dinamakan
kertas ialah substansinya yaitu kertas.
Tampaknya kualitas suatu objek adanya tergantung pada substansi, yakni
“sesuatu” yang mendasarinya. Lama berselang John Locke menunjukan bahwa
kita tidak akan dapat mengetahui suatu substansi secara langsung, melainkan
secara tidak langsung. John Locke menamakan substansi terdalam itu “sesuatu
yang saya tidak tahu apa”. Pengikut monoisme berpendirian bahwa hanya ada satu
substansi. Sedangkan, pengikut dualisme berpendirian bahwa ada dua substansi.
Sementara itu, pengikut pluralisme beranggapan bahwa ada banyak substansi.
Aristoteles menyatakan bahwa jika yang ditunjuk merupakan subjek-subjek, maka
setiap subjek merupakan suatu substansi karena mengandung kualitas-kualitas.
Cara lain untuk mendekati masalah ini dengan menanyakan, apakah segala
sesuatu pada babak terakhir terdiri dari substansi-substansi atau bahan yang sama.
Inilah pertanyaan pertama yang menyibukkan para filsuf barat Yunani Kuno dan
pertanyaan ini hingga kini tetap mengusik banyak filsuf modern. Para pengikut

3
materialism merupakan pengikut monisme dan berpendirian bahwa materi
merupakan substansi terdalam. Para pengikut realisme sering mendasarkan
pendiriannya pada semacam dualisme yakni, ada dua macam substansi terdalam,
yaitu roh dan materi.

B. Substansi Filsafat Ilmu


Telaah tentang substansi filsafat ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya
dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan : (1) fakta atau
kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1. Fakta atau Kenyataan
Kata Fakta berasal dari bahasa Latin “factus” yang berarti segala sesuatu
yang telah dilakukan atau dikerjakan. Fakta (fact) dan kebenaran (truth) sering
kali disamakan, tetapi terdapat perbedaan yang penting dan praktis di antara
keduanya. Kamus Oxford Dictionary mendefinisikan “fakta” sebagai “sesuatu
yang tidak dapat dibantah/disangkal dalam suatu kejadian”. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), fakta merupakan hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan
kenyataan, sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi.
Fakta adalah sebagai faktor nyata atau suatu realitas yang ada di suatu
tempat dan dalam waktu tertentu tentang apa yang kita amati (lihat, dengar, raba,
cicip dan cium). Realitas yang kita amati itu bisa berupa kejadian, benda, simbol
sifat, dan lain sebagainya. Fakta dapat dipahami dalam tiga bentuk. Pertama,
fakta yang berupa benda seperti batu, pohon, orang dan sebagainya. Kedua,
berupa situasi atau kondisi seperti panas, kotor, bising dan sebagainya. Ketiga,
peristiwa atau kejadian seperti kebakaran, perkelahian dan proses lainnya.
Sebuah informasi yang kita peroleh dari sebuah pengamatan. Boleh juga
sebagai situasi atau kondisi yang telah terjadi yang diperoleh dari pengalaman
inderawi. Fakta sangat bersifat objektif. Jenis fakta yang paling sederhana adalah
fakta atomik, yakni fakta paling dasar dan tidak dapat direduksi. Ia tidak dapat
dibagi kedalam komponen-komponen, tetapi merupakan kombinasi dari benda-
benda dan objek pengertian. Pada dasarnya fakta atomik tidak dapat dipakai untuk
membuktikan adanya fakta atomik lainnya. Boleh juga dipakai istilah lain yakni

4
fakta nuklir (inti atom) yang tidak mungkin diurai lagi. Suatu kejadian, niscaya
sebuah fakta berkaitan dengan fakta-fakta lainnya dengan berbagai bentuk relasi
atau hubungan, seperti hubungan sebab dan akibat. Oleh karena itu, berbagai fakta
akan sangat penting artinya jika digunakan sebagai bukti sebuah penalaran.
Biasanya gambaran penuh dari interelasi fakta-fakta dijelaskan didalam deskripsi
ilmiah.
Fakta adalah apa yang membuat pernyataan itu betul atau salah. Fakta
menurut Russel (dalam Sofyan, 2010:425) adalah sesuatu yang ada. Fakta
berbentuk konkret dapat ditangkap panca indera, dapat diketahui dan dapat diakui
kebenarannya Gazalba (dalam Sofyan, 2010:425). Fakta atau kenyataan memiliki
pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang
melandasinya. Ada beberapa pandangan, yaitu sebagai berikut :
a. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi
antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
b. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian
kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya
korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah
koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
c. Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara
empirik dengan skema rasional.
d. Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi
antara empiris dengan obyektif.
Bagus (1996), memberikan penjelasan tentang fakta objektif dan fakta
ilmiah. Fakta objektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas yang
merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sementara itu, fakta
ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta objektif dalam kesadaran manusia.
Refleksi adalah deskripsi fakta objektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah
merupakan dasar bagi bangunan teoritis, tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu
mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam
istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.

5
a. Fakta dalam Kajian Filsafat
Filsafat dalam kajian filsafat, konsep fakta dibahas dalam bidang
epistemologi dan ontologi. Pertanyaan mengenai objektivitas dan kebenaran amat
terkait erat dengan pertanyaan mengenai fakta. Sebuah "fakta" dapat didefinisikan
sebagai sesuatu yang terjadi yaitu, keadaan tersebut. Fakta dapat dipahami sebagai
informasi yang membuat kalimat benar menjadi benar. Fakta juga dapat dipahami
sebagai hal-hal yang menjadi acuan kalimat yang benar. Pernyataan bahwa
"Jupiter adalah planet terbesar di tata surya" adalah tentang fakta bahwa Jupiter
memang merupakan planet terbesar di tata surya.
b. Fakta dalam Kajian Ilmu Pengetahuan (science)
Fakta dalam kajian ilmu pengetahuan adalah pengamatan atau pengukuran
cermat yang dapat diulang (melalui eksperimen atau cara lainnya), juga disebut
sebagai bukti empiris. Fakta adalah pusat untuk membangun teori-teori ilmiah.
Berbagai bentuk pengamatan dan pengukuran membawa kepada pertanyaan
mendasar tentang metode ilmiah, serta ruang lingkup dan validitas penalaran
ilmiah. Pada dasarnya, fakta ilmiah adalah sebuah observasi yang objektif dan
dapat diverifikasi, berbeda dengan hipotesis atau teori yang dimaksudkan untuk
menjelaskan atau menafsirkan fakta.
c. Fakta dalam Kajian Sejarah
Fakta dalam kajian sejarah adalah data sejarah yang telah dikritik
(diverifikasi) dan diinterpretasikan (ditafsirkan) oleh sejarawan. Di mana hasilnya
kemudian dijadikan dalil, argumentasi atau dasar pemikiran dalam menulis karya
sejarah. Fakta sejarah adalah fakta-fakta yang berhubungan langsung dengan
peristiwa sejarah yang kita teliti. F. J. Tigger mendefinisikan fakta adalah sebagai
hasil penyelidikan secara kritis yang ditarik dari sumber-sumber dokumenter (Sidi
Gazalba, 1981). Sementara itu, Louis Gottschalk mengartikan fakta sebagai suatu
unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari sumber sejarah
yang dipandang kredibel, setelah diuji secara seksama dengan metode sejarah.
Berdasarkan pandangan ahli, menunjukkan bahwa fakta dalam sejarah adalah
rumusan atau kesimpulan yang diambil dari sumber sejarah atau dokumen.

6
Suatu peristiwa sejarah pasti akan meninggalkan bukti yang menunjukkan
kebenaran dari suatu peristiwa, bukti tersebut setelah dikritik dan ditafsirkan maka
akan menghasilkan fakta sejarah. Sehingga, fakta hanya merupakan sebagian dari
kenyataan/kebenran sejarah sehingga fakta sejarah tidak sama dengan
kenyataan/kebenaran sejarah.
Fakta tidak sama dengan realitas atau kenyataan dan kejadian sehari-hari,
yang bersifat pasti, tidak berubah. Fakta adalah pernyataan, rumusan atau
kesimpulan dari kejadian atau realitas sehari-hari tersebut. Sidi Gazalba
menegaskan bahwa fakta itu bersifat nisbi (bisa berubah), sedangkan realitas/
kejadian bersifat absolut, objektif. Oleh karena itu, fakta bisa saja berubah kalau
ditemukan data dan sumber yang lebih kredibel.

2. Kebenaran (Truth)
Manusia selalu ingin tahu kebenaran, karena hanya kebenaranlah yang bisa
memuaskan rasa ingin tahu kita, dengan kata lain tujuan pengetahuan ialah
mengetahui kebenaran. Tujuan ilmu juga mencapai kebenaran, manusia ingin
memperoleh pengetahuan yang benar, karena ilmu merupakan pengetahuan yang
sistematis, maka pengetahuan yang dituju ilmu adalah pengetahuan ilmiah.
Maksudnya ialah apabila kebenaran sudah datang maka kebatilan akan hancur
binasa dan tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan dan meruntuhkan
kebenaran itu.
a. Defenisi Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama didalam kehidupan manusia. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu
kebenaran. Berdasarkan skop potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran
itu menjadi :
1) Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan
pertama yang dialami manusia.
2) Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping
melalui indara, diolah pula dengan rasio.

7
3) Tingkat filosofis, rasio dan instrumen murni, renungan yang mendalam
mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4) Tingkatan instrumen, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang
Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan
kepercayaan.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu.
Sebaliknya, pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin dan konflik
psikologis. Didalam kehidupan manusia, sesuatu yang dilakukan harus diiringi
akan kebenaran dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan
dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukan oleh kebenaran. Kebenaran pada
dasarnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum, orang
merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik
mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan
berkembangnya dalam filsafat ilmu.
b. Jenis-jenis Kebenaran
Terdapat banyak pandangan mengenai teori kebenaran dalam kaitannya
dengan pengembangan ilmu, di antaranya adalah kebenaran empiris, kebenaran
rasional, kebenaran ilmiah, kebenaran intuitif dan kebenaran religius.

1) Kebenaran Empiris
Empiris adalah suatu keadaan yang bergantung bukti atau konsekuensi yang
teramati oleh indera. Data empiris dihasilkan dari percobaan atau pengamatan.
Empiris artinya kelihatan jelas, ada pembuktiannya, bias kita dengar, dan sentuh.
Contoh :
a) Api itu panas
b) Es itu dingin
c) Daun itu hijau

8
2) Kebenaran Rasional
Rasional berarti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis dan
sistematis menurut pikiran yang sehat dan cocok dengan akal. Rasionalisme
adalah pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal
mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri,
atau pengetahuan itu diperoleh dengan cara membandingkan ide dengan ide
(Basman, 2009: 30).
Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga
kemampuannya tersebut dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu yang
pada akhirnya sampai kepada kebenaran, yaitu kebenaran rasional. Sebagai
contoh, ketika TV kita tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan
komponen di dalam TV yang rusak atau sudah perlu diganti. Pemikiran tentang
ada sesuatu yang tidak beres ini merupakan suatu hal rasional yang timbul dari
fenomena dan dapat dipastikan pikiran rasional ini benar.

3) Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang muncul dari hasil penelitian
ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar
ilmu. Oleh karena itu, kebenaran ilmiah sering disebut sebagai kebenaran nisbi
atau relatif.
Sifat kebenaran ini sesuai dengan sifat keilmuan itu sendiri yang dapat
berubah sesuai dengan perkembangan hasil penelitian. Suatu teori pada masa
tertentu bisa jadi merupakan kebenaran, tetapi pada masa berikutnya bisa jadi
sebuah kesalahan besar. Contoh kebenaran ilmiah :
a) Bumi itu bulat dan tidak datar
b) Air mendidih pada suhu 100°C

4) Kebenaran Intuitif
Intuitif merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemukinan adanya sesuatu bentuk
penghayatan langsung (intuitif) Bergson dalam Muslih (2004: 68). Pendekatan ini

9
merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Intuisi yang dialami oleh
seseorang bersifat khas, sulit atau tidak bisa dijelaskan, dan tidak bisa dipelajari
atau ditiru oleh orang lain. Bahkan seseorang yang pernah memperoleh intuisi
sulit atau bahkan tidak bias mengulang pengalaman serupa, misalnya : seorang
yang sedang menghadapi suatu masalah secara tiba-tiba menemukan jalan
pemecahan dari masalah yang dihadapi atau secara tiba-tiba seseorang
memperoleh informasi mengenai peristiwa yang akan terjadi.

5) Kebenaran Religius
Kebenaran religius ialah kebenaran Illahi, kebenaran yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Kebenaran
tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa
menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Oleh karena itu
kebenaran haruslah mutlak dan berlaku sepanjang sejarah manusia. Contoh:
kebenaran religius adalah Al-quran.

c. Sifat Kebenaran
Kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan
nilai itu sendiri. Setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi
dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya dan disitu terlihat
sifat-sifat dari kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi empat hal,
yaitu :
1) Kualitas Pengetahuan
Kualitas pengetahuan adalah setiap pengetahuan dimiliki seseorang yang
mengetahui suatu objek ditinjau dari pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan
tersebut berupa :
a) Pengetahuan biasa yang sifatnya subjektif
b) Pengetahuan ilmiah yang bersifat instrumen
c) Pengetahuan filsafati yang sifatnya instrumen-intersubjektif
d) Pengetahuan agama yang bersifat instrument

10
2) Karakteristik Cara Membangun Pengetahuan
a) Penginderaan/sense experience
b) Akal instrumen/ratio/intuisi
c) Keyakinan
3) Jenis Pengetahuan Menurut Instrumen Karakteristik
a) Pengetahuan indrawi
b) Pengetahuan akal budi
c) Pengetahuan intuitif
d) Pengetahuan kepercayaan/pengetahuan otoritatif
e) Pengetahuan lain-lain
4) Ketergantungan Terjadinya Pengetahuan
Ketergantungan terjadinya pengetahuan, yang artinya bagaimana hubungan
subjek dan objek. Bila yang dominan subjek maka sifatnya subjektif, sebaliknya
bila yang dominan objek maka sifatnya objektif.

d. Teori Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran
ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal
itu langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Tetapi, pengetahuan
tertentu yang diperoleh dari kegiatan ilmiah dengan metode yang sistematis,
melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah dapat kita sebut
sebagai ilmu pengetahuan. Beberapa teori tentang kebenaran, yakni :
1) Teori Korespondensi/Teori Persesuaian(The Correspondence theory of
truth)
Teori ini sampai tingkat tertentu sudah dimunculkan Aristoteles,
mengatakan hal yang ada sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada,
adalah salah. Sebaliknya, mengatakan yang ada sebagai ada, atau yang tidak ada
sebagai tidak ada, adalah benar. Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori
kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa
yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatu pernyataan dianggap benar jika apa
yang dinyatakan memiliki keterkaitan (corespondence) dengan kenyataan yang
diungkapkan dalam pernyataan itu.

11
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal
sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Selain
itu, kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang
diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian
juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan
proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori
didukung fakta atau tidak.
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepadarealita obyektif
(fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan
situasi yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya,
karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan
yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237). Jadi, secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah
benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi
(berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas
yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti
benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang
diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan
realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah.
Kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan
sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan. Kebenaran adalah kesesuaian
pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi
instrumen. Ada lima instrumen yang perlu dalam kebenaran yaitu :
a) Pernyataan(statement)
b) Persesuaian (instrument)
c) Situasi (situation)
d) Kenyataan (reality)
e) Putusan (judgement)

12
2) Teori Koherensi/Saling Berhubungan (The Coherence Theory of Truth)
Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara
proposisi dengan kenyataan melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan
proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi, atau
hipotesis dianggap benar jika proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya
yang dianggap benar.
Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu pengetahuan
dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu mempunyai
hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar”. Jadi,
kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau
melalui pembuktian logis atau matematis.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
dengan fakta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri,
dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru
dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih
dahulu.
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada
kriteria koheren atau konsistensi. Pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar (Suriasumantri, 1990:55). Jadi, menurut teori
ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan
saling menerangkan satu sama lain.”
Rumusan kebenaran adalah konsistensi, kecocokan.”kebenaran sesunguhnya
hanya berkaitan dengan implikasi logis dari instrumen pemikiran yang ada.
Misalnya: (1) Semua manusia pasti mati; (2) Sokrates adalah manusia; dan (3)
Sokrates pasti mati. Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern
seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga
meliputi dunia; dengan begitu makatiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-
tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan
realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)

13
3) Teori Pragmatisme atau Inherensi (The Pragmatic Theory of Truth)
Teori pragmatis tentang kebenaran ini dikembangkan dan dianut oleh para
filosof pragmatis dari Amerika seperti Charles Sanders Pierce dan William James.
Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep,
pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar
adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang berdasarkan ide itu
melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Dengan kata lain,
berhasil dan berguna adalah instrumen utama untuk menentukan apakah suatu ide
benar atau tidak. Contohnya, ide bahwa kemacetan di jalan-jalan besar di Jakarta
disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi satu orang. Maka,
konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi minimal oleh tiga
penumpang”. Ide tersebut benar jika ide itu berguna atau berhasil memecahkan
persoalan kemacetan.
Piecre mengatakan bahwa ide yang jelas dan benar mau tidak mau
mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Artinya, jika ide itu benar,
maka ketika diterapkan akan berguna dan berhasil untuk memecahkan suatu
persoalan dan menentukan perilaku manusia. William James mengembangkan
teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”.
Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu,
melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau
kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika
suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini
dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Selain itu, apa konsekuensi praktis
yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide yang keliru.
Menurut William James, instrumen teori yang benar adalah instrumen teori
yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya,
ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membantu
untuk memenuhi kebutuhan. Ide yang benar adalah ide yang dalam penerapannya
paling berguna dan paling behasil memungkinkan manusia bertindak atau
melakukan sesuatu. Artinya, jika ide tertentu itu benar, maka ide itu akan berguna
dan berhasil membantu manusia untuk bertindak secara tertentu. Kebenaran sama

14
dengan berguna atau kebergunaan. Ide yang berguna lalu berarti ide yang benar
dan sebaliknya. Suatu ide yang benar akan memungkinkan kita dan menuntun kita
untuk sampai pada kebenaran, atau memungkinkan kita untuk sampai pada apa
yang diklaim dalam instrumen pernyataan tersebut. Contohnya, ide tentang kinerja
sebagai berbanding lurus dengan reward atau appraisal. Ide ini benar jika naiknya
jaminan bagi pekerja ternyata meningkatkan kinerja atau produktifitas pekerja.
Benar, dengan demikian, sama artinya dengan berfungsi dan berlaku.
Ide yang benar adalah ide yang berfungsi dan berlaku membantu manusia
bertindak secara tertentu secara berhasil. Menurut Jhon Dewey dan William
James, ide yang benar sesungguhnya adalah instrumen untuk bertindak secara
berhasil. Kebenaran yang terutama ditekankan oleh kaum pragmatis ini adalah
kebenaran yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know-how). Suatu ide
yang benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau
menciptakan sesuatu. Hal ini membuat kaum pragmatis sesungguhnya tidak
menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori kebenaran kaum
empiris. Hanya saja, bagi mereka suatu kebenaran apriori hanya benar bila kalau
kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memunginkan manusia
bertindak secara efektif. Demikian pula tolok ukur kebenaran suatu ide bukanlah
realitas statis, melainkan realitas tindakan. Jadi, keseluruhan kenyataan yang
memperlihatkan kebergunaan ide tersebut.
4) Teori Kebenaran Sintaksis
Surajiyo (2013:106) menguraikan bahwa penganut kebenaran sintaksis atau
gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekat
padanya. Suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti
aturan-aturan sintaksis yang baku. Apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat
atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu mempunyai arti.
Teori ini berkembang di antara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu
ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya, suatu kalimat standar harus ada
objek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan
tidak baku atau bukan kalimat. Seperti kalimat “semua korupsi”, ini bukan kalimat
standar karena tidak memiliki subjek.

15
5) Teori Kebenaran Semantik
Abbas Hamami (dalam Surajio, 2013:106) menggunakan istilah teori
kebenaran semantik ini sebagai kebenaran berdasarkan arti (Semantic Theory of
Truth). Teori kebenaran semantik, proposisi itu ditinjau dari segi arti atau
maknanya. Setiap proposisi akan ditanyakan apakah proposisi yang merupakan
pangkal tumpuan itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini
mempunyai tugas untuk menguak kesalahan dari proposisi dalam referensinya.
Surajiyo menguraikan bahwa teori kebenaran semantik dianut oleh paham
filsafat analitik bahasa yang dikembangkan pasca filsafat Betrand Russell sebagai
tokoh pemula dari filsafat analitik bahasa. Contoh dari penggunaan analisis
kebenaran semantik, yaitu: kata filsafat secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu dari kata philosophia yang berarti ‘cinta akan kebijaksanaan’.
Pengetahuan tersebut dinyatakan benar jika ada referensi yang jelas. Jika tidak
mempunyai referensi yang jelas, maka pengetahuan itu dinyatakan salah.
6) Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori Kebenaran Non-Deskripsi dikembangkan oleh para penganut paham
filsafat fungsionalisme. Pada dasarnya suatu pernyataan itu akan mempunyai nilai
benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. Pengetahuan
dalam teori Kebenaran Non-deskripsi akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan
itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.
7) Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan
Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical-Superfluity Theory of
Truth) ini dikembangkan oleh para penganut paham Filsafat Positivistik yang
diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problem
kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya
merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa “pernyataan” yang
hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logika yang sama dan masing-
masing saling melingkupinya.
Setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi
itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama, dan semua orang
sepakat. Hal yang demikian itu disebabkan karena suatu pernyataan yang hendak

16
dibuktikan nilai kebenarannya merupakan fakta atau data yang telah memiliki
evidensi, artinya bahwa objek-objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan
kejelasan dalam dirinya sendiri. Contohnya tentang teori kebenaran logika yang
berlebihan ini adalah sebagai berikut: “suatu lingkaran adalah bulat, ini telah
memberi kejelasan dalam pernyataan itu sendiri, tidak perlu diterangkan lagi.
Sebab pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian, gabungan
(himpunan) dari titik yang jaraknya sama dengan satu titik tertentu. Kemudian,
membentuk lintasan melingkar, sehingga titik awal bertemu dengan titik akhir
sehingga berupa garis yang bulat.
8) Kebenaran Religius atau Teori Kebenaran Performatif (The
Performative Theory of Thruth)
Teori ini terutama dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, Jhon Austin, dan
Peter Strawson. Filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah”
adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang
benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas.
Jadi, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas,
melainkan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam
pernyataan itu. Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat anda sebagai manager
perusahaan TX”. Pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai
manager perusahaan TX.
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita dan perbandingan
antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan
maka itu benar. Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objeckif, universal, dan berlaku bagi seluruh umat
manusia. Kebenaran ini secara ontologis dan aksiologis bersumber dari Tuhan
yang disampaikan melalui wahyu. Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari
Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan super individual
bahkan bagi kaum instrumen kebenaran Ilahi ini adalah kebenaran tertinggi.

17
9) Teori Kebenaran Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada instrumen atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
instrumen tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan
bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh
kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang
telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut
instrumen oleh Kuhn dan World View oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang
dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata
lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu instrumen bersama
(Pratama: 2012).
Masyarakat sains mencapai instrumen yang kokoh karena adanya instrumen.
Pengujian suatu instrumen terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Klasifikasi terhadap sesuatu akan
menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya instrumen.
Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses
verifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan
memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara
fakta dan teori.
Secara umum, kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang dipikirkan
dengan kenyataannya. Kenyataan berperan sebagai tolak ukur dalam suatu
penilaian. Kebenaran berasal dari bahasa Yunani, yaitu alètheia artinya
'ketaktersembunyian'. Hal yang dinilai dalam kebenaran (apakah objek tersebut
benar atau salah) isi dan subjek dari sebuah konsep/persepsi, bukan
konsep/persepsi itu sendiri.

3. Konfirmasi
a. Pengertian Konfirmasi
Secara etimotologis, konfirmasi berasal dari kata confirmation dalam bahasa
Inggris yang artinya mempertegas dan memperkuat untuk mencari kepastian.
Konfirmasi berupaya mencari hubungan yang normatif antara hipotesis

18
(kesimpulan/dugaan sementara) yang sudah diambil dengan fakta-fakta.
Konfirmasi apabila dikaitkan dengan ilmu, maka fungsi ilmu adalah menjelaskan,
memprediksi, dan menghasilkan. Menjelaskan ataupun memprediksi tersebut
lebih bersifat interpretasi untuk memberikan makna tentang sesuatu. Pemaknaan
tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik.
Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau
axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi, tidak salah bila mengeksplisitkan
asumsi dan postulatnya. Sedangkan, untuk membuat penjelasan, prediksi atau
pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara
induktif, deduktif, ataupun reflektif.
b. Aspek Konfirmasi
1) Aspek Kualitatif, yaitu informasi untuk konfirmasi didapat dalam bentuk
narasi atau deskripsi (gambaran seluruhnya). Contohnya, dalam sebuah
penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan data
ilmiah.
2) Aspek Kuantitatif, yaitu informasi untuk konfirmasi yang didapat dalam
bentuk angka. Konfirmasi kuantitatif membutuhkan sampel-sampel yang bisa
mewakili keseluruhan bahan penelitian sehingga bisa dilakukan generalisasi
kesimpulan. Contoh penerapan konfirmasi kuantitatif dalam penelitian adalah
penggunaan angket.
Dasar untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi
sebagian ahli mengemukakan aspek kuantitatif dan sebagian lain aspek kulitatif.
Derajat konfirmasi bersifat probabilitas, probabilitas dari hasil analisis frekuensi.
Derajat konfirmasi kuantitatif menjadi masalah pada keluasan generalisasi,
seberapa jauh generalisasi dapat diterapkan.
Konfirmasi kuantitatif menimbulkan masalah pada signifikansinya. Batas
koefisien dianggap signifikan menjadi masalah, karena dalam terapan dijumpai
batas signifikansi statistik dan batas signifikansi arbiter, misalnya dalam analisis
data psikologis, sosiologis yang mentoleri koefisien lebih rendah dari tabel
signifikansi statistik, karena objeknya adalah manusia. Upaya membangun

19
konfirmasi kualitatif dan melepaskan dari kuantitatif tampaknya belum dapat
dilakukan sepenuhnya.
c. Teori Konfirmasi
Teori kepastian (comfirmation theory) berupaya mencari deskripsi
hubungan normatif antara hipotesis dengan evidensi, hubungan tersebut berupaya
mengukur atau mengindikasikan apakah dan bagaimana suatu evidensi menjamin
kepercayaan kita pada hipotesis. Ada tiga teori konfirmasi, yaitu:
1) Decision theory, menentukan kepastian yang didasarkan pada manfaat objek
secara aktual.
2) Estimation theory, menentukan kepastian dengan memberi peluang benar-
salah dengan konsep probabilitas.
3) Reliability theory, menentukan kepastian dengan mencermati stabilitas
fakta/bukti yang berubah-ubah terhadap hipotesis. Suatu kepastian dikatakan
handal apabila hasil penelitiannya selalu tetap walaupun penelitian dilakukan
dalam jangka waktu yang berbeda-beda.

4. Logika Inferensi
a. Pengertian Logika Inferensi
Logika dalam filsafat ilmu sangat dibutuhkan untuk menjelaskan dan
memahami sebuah gejala keilmuan. Menurut Endraswara logika berasal dari kata
Yunani yaitu “logos” yang berarti ucapan, kata, akal budi, dan ilmu (Etand:2013).
Secara leksikal, Oxford Advanced Learner’s Dictionary mendefinisikan logika
sebagai (1) the science of thinking about or explaining the reasons for something,
(2) a particular method or system of reasoning, dan (3) a way of thinking or
explaining something, whether right or wrong. Karomani juga mendefinisikan
logika sebagai suatu kajian tentang bagaimana seseorang mampu untuk berpikir
dengan lurus (Etand:2013). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
logika berarti pengetahuan tentang kaidah berfikir, jalan fikiran yang masuk akal.
Logika adalah ilmu atau cara tertentu yang digunakan seseorang dalam
rangka berpikir lurus guna mencari alasan, penjelasan, dan jawaban atas sebuah
permasalahan. Inferensi berarti simpulan, sehingga logika inferensi atau logika

20
inferensial dapat didefinisikan sebagai “berfikir dengan akal yang sehat untuk
memperoleh kesimpulan”.
b. Jenis-Jenis Logika
1) Logika Formal dan Logika Material
Menurut Bakry dalam Shekhu logika artificialis dibedakan menjadi dua
macam, yaitu logika formal dan logika material (Shekhu:2009). Logika formal
mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus
ditaati, agar orang dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika
material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika
formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya.
Apakah hasil-hasil logika formal itu sungguh sesuai dengan isi (materi) kenyataan
yang sebenarnya. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asal-usul
pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnya
merumuskan metode ilmu pengetahuan. Logika material inilah yang menjadi
sumber yakni yang menimbulkan filsafat mengenal dan filsafat ilmu pengetahuan.
Logika formal dinamakan juga logika minor, sedangkan logika material
dinamakan sebagai logika mayor.
2) Positivistic Logic
Positivisme Logis (disebut empirisme logis, empirisme rasional, dan juga
neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada
tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti
rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang
ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak
memiliki arti sama sekali.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat
terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal
yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan
haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga,
penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme
naturalisme filsafat dan empirisme.

21
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori
tentang “makna yang dapat dibuktikan”, yang menyatakan bahwa sebuah
pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan
tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah,
semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di
antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa,
sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang
digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang
konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang “makna yang dapat dibuktikan”,
seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang
dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam)
atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna
hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang
dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada
burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung
berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis
buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934.
Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu
dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan
(falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang
membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk
membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat
metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-
apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada
saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan
selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu tidak
memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai

22
ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat
dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
3) Mathematical Logic
Logika matematika adalah cabang ilmu pengetahuan logika dan matematika.
Logika matematika mempelajari tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke
dalam ruang lingkup matematika. Logika matematika juga memiliki kaitan erat
dengan ilmu komputer dan logika filsafat. Lebih dari itu, logika matematika
kadang dianggap sebagai ilmu yang bisa memetakan logika manusia. Logika
matematika sebenarnya mengacu kepada dua ruang lingkup penelitian yang
berbeda. Pertama, aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam matematika dan
penalaran matematika. Kedua, aplikasi dari teknik-teknik matematika ke dalam
representasi dan analisis logika formal. Logika matematika menyatukan kekuatan
ekspresi dari logika formal dan kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal
(formal proof system). Penggunaan matematika dalam hubungannya dengan
logika dan filsafat dimulai pada zaman Yunani kuno.
Beberapa hasil teori logika yang telah berhasil dan terkenal di kalangan para
matematikawan barat di antaranya adalah Teori silogisme dari Aristoteles dan
aksioma Euclid untuk geometri planar. Sekitar tahun 1700, percobaan-percobaan
untuk melakukan operasi-operasi logika formal dengan memakai simbol-simbol
dan aljabar juga dilakukan oleh banyak matematikawan lain, termasuk Leibniz
dan Lambert. Tetapi, informasi mengenai hasil pekerjaan mereka sangat sedikit
dan jarang sekali ditemukan, yang karena itu tidak terlalu diketahui oleh publik.
4) Postmodern Logic
Istilah postmodern, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada
tahun 1939 (Faby: 2008). Kendati sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam
pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang
di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke
benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran
tersebut. J Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan
konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul The Post-Modern

23
Condition sebagai kritikan atas karya The Grand Narrative yang dianggap sebagai
dongeng khayalan hasil karya masa Modernitas.
Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi
penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Kesalahan
berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berfikir dan
menjadi ambigu. Sedangkan, kekacauan akibat konsep berfikir yang tidak jelas
akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut. Banyak versi
dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian
orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari
modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern.
Sedangkan, sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah
pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam
Theories of Modernity and Post-Modernity-nya.
Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi
tentang memahami Post-modernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat
berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradok, sedangkan yang
lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari
modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme
tanpa melalui tahapan modernitas. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya
postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis
Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernisme dan
Affirmative Post-Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas,
muncul pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang
kontradiktif tadi.
Zygmunt Bauman dalam karyanya yang berjudul Post-Modern Ethics
berpendapat, kata “post” dalam istilah tadi bukan berartikan “setelah” (masa
berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi.
Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari
kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun
penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang
bersumber dari prasangka (insting, wahm) belaka. Asas pemikiran postmdernisme

24
sebagaimana berbagai isme dan aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu
dan berakhir pada empat pola pemikiran yaitu epistemologi materialisme,
humanisme, liberalisme dan sekularisme.
5) Pragmatic Logic
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti
perbuatan atau tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang
lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham (Luthfi:2000). Dengan demikian
pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti
tindakan. Kriteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau
hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan
kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar
tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah
atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan
budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya yang
lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang
terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S.
Peirce (1839-1942), kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910)
dan John Dewey (1859-1952).
c. Manfaat Logika
Menurut Endaswara secara singkat manfaat logika yang dapat dikategorikan
sebagai berikut (Etand : 2013) :
1) Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan prinsip-prinsip
abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan bahkan
seluruh lapangan kehidupan.
2) Logika menambah daya berpikir abstrak dan dengan demikian melatih dan
mengembangkan daya pemikiran dan menimbilkan disiplin intelektual.
3) Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh
berdasarkan otoritas, emosi, dan prasangka.
4) Logika membantu kita untuk mampu berpikir sendiri dan tahu membedakan
yang benar dan yang salah.

25
5) Logika membantu orang untuk dapat berpikir lurus, tepat dan teratur karena
dengan berpikir demikian seseorang dapat memperoleh kebenaran dan
menghindari kesalahan.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesenjangan antara Fakta dengan Kebenaran


Nilai-nilai kebenaran sangat dijunjung tinggi oleh para orang tua, pendidik,
ulama dan anggota masyarakat dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Prinsip satu kata dengan perbuatan atau perilaku masih
terwujud dalam fakta yang dapat diamati. Sebagai contoh, kita sebagai masyarakat
minangkabau yang mayoritas beragama islam, menganut falsafah, adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah. Keluarga kaum ulama pada zaman dahulu
masih konsisten dalam menjalankan ajaran agama Islam tentang etika bergaul
antara pria dan wanita, etika tata cara berpakaian menurut Islam bagi kaum pria
dan wanita, serta etika-etika lainnya yang semuanya telah diatur dalam Al-quran
dan hadist. Ajaran-ajaran dalam Islam tersebut merupakan suatu kebaikan dan
kebenaran yang sifatnya mutlak. Oleh karena itu, tata cara bergaul antara pria dan
wanita serta tata cara berpakaian antara pria dan wanita Islam di zaman pra-
globalisasi penuh dengan nilai-nilai serta etika tentang sopan santun. Fenomena
ini terwujud dalam fakta di masyarakat yang dapat diamati dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebaliknya, di era globalisasi, nilai- nilai kebenaran khususnya kebenaran
etika bergaul dan berpakaian antara pria dan wanita menurut Islam sudah mulai
ditinggalkan oleh sebagian anggota masyarakat remaja yang terwujud dalam
fakta. Sebagai contoh ajaran islam ‘larangan mendekati zina’ sebagai suatu ajaran
yang mengandung nilai kebenaran mutlak, kini telah ditinggalkan oleh sebagian
remaja yang berpola pikir kebarat-baratan. Islam juga mengajarkan nilai sopan
santun yang mengandung nilai kebenaran tentang keharusan kaum wanita untuk
menutup aurat, namun dalam faktanya, sebagian remaja kita telah menganggap
ajaran itu tidak benar atau kuno, sehingga mereka berpakaian sangat seksi. Oleh
sebab itu dapat disimpulkan bahwa nilai kebenaran agama mengalami krisis dan
kesenjangan dengan kenyataan atau fakta yang diamati dalam kehidupan sehari-
hari di masyarakat.

27
B. Hubungan antara Fakta, Kebenaran, dan Konfirmasi
Tabel 1. Hubungan antara Fakta, Kebenaran, dan Konfirmasi

No Aspek Fakta/Kenyataan Kebenaran Konfirmasi


1 Pengertian Sebagai faktor nyata Satu nilai utama Upaya mencari
atau suatu realitas di dalam hubungan yang
yang ada di suatu kehidupan normatif antara
tempat dan dalam manusia hipotesis
waktu tertentu (kesimpulan/dugaan
tentang apa yang kita sementara) yang
amati menggunakan sudah diambil dengan
indra (lihat, dengar, fakta-fakta.
raba, cicip dan cium)
2 Ciri-ciri 1. Suatu kejadian1. Berasal dari 1. Berasal dari
yang benar-benar fakta informasi dalam
terjadi dan ada 2. Berkaitan bentuk narasi
buktinya dengan (kualitatif) atau
2. Dapat diamati kualitas angka-angka
(lihat, dengar, pengetahuan (kuantitatif)
raba, cicip, dan 3. Didapatkan 2. Dasar untuk
cium) dari memastikan
3. Berasal dari pengindraan, kebenaran
benda, kondisi/ akal dan 3. Bersifat
situasi, informasi keyakinan probabilitas
pengamatan dan 4. Adanya bukti
peristiwa. yang teramati
4. Merupakan oleh indra
jawaban dari
5. Logis menurut
pertanyaan apa, pikiran sehat
siapa, kapan di 6. Muncul dari
mana atau berapa penelitian
5. Menunjuk pada ilmiah
suatu benda 7. Tidak bisa
orang, waktu, diramalkan
tempat, peristiwa 8. Dapat
atau jumlah dibuktikan
tertentu kebenarannya
9. Hubungan
antara objek
dan
pengetahuan
tentang objek
itu
Aliran/Pan 1. Positivistik 1. Pendekatan 1. Decision theory.
berpandangan empiris suatu Menentukan
dangan bahwa sesuatu keadaan yang kepastian yang

28
No Aspek Fakta/Kenyataan Kebenaran Konfirmasi
yang nyata bila bergantung didasarkan pada
ada korespondensi bukti atau manfaat objek
antara yang konsekuensi secara aktual
sensual satu yang teramati 2. Estimation theory.
dengan sensual oleh indera menentukan
lainnya. 2. Pendekatan kepastian dengan
2. Fenomenologik Rasional, memberi peluang
memiliki dua arah pandangan benar salah dengan
perkembangan bahwa kita konsep probabilitas
3. Rasionalistik mengetahui 3. Reliability theory.
menganggap apa yang kita Menentukan
suatu sebagai pikirkan dan kepastian dengan
nyata, bila ada bahwa akal mencermati
koherensi antara mempunyai stabilitas
empirik dengan kemampuan fakta/bukti yang
skema rasional. untuk berubah ubah
4. Realismemetafisik mengungkapka terhadap
berpendapat n kebenaran
bahwa sesuatu dengan diri
yang nyata bila sendiri.
ada koherensi 3. Kebenaran
antara empiris ilmiah adalah
dengan obyektif. kebenaran
yang muncul
dari hasil
penelitian
ilmiah dengan
melalui
prosedur baku
4. Kebenaran
intuitif
5. Kebenaran
religious
Jenis objek Objek formal Objek formal Objek formal
substantive substantive instrumentatif

29
C. Keterkaitan Substansi Filsafat Ilmu dengan Pembelajaran Fisika
Tabel 2. Keterkaitan Substansi Filsafat Ilmu dengan Pembelajaran Fisika
No Substansi Ilmu Penerapan dalam Pembelajaran Fisika
1 Fakta Buah kelapa jatuh selalu ke bawah menuju tanah
Buah kelapa yang jatuh disebabkan oleh ada gaya yang
menariknya
2 Kebenaran Buah kelapa belum bisa dipastikan apakah benar jatuh
atau tidak. Oleh karena itu, membuktikan kebenarannya
maka perlu dibuktikan.
Pembuktian ini melalui metode ilmiah seperti yang
dilakukan oleh Sirr Isaac Newton sehingga akhirnya
ditemukan Hukum Newton
3 Konfirmasi Konfirmasi digunakan untuk memberikan penguatan
bahwa setiap benda akan selalu jatuh ke bawah atau
setiap benda yang dilemparkan ke atas pasti akan selalu
jatuh ke bawah karena benda tersebut ditarik oleh gaya
gravitasi bumi.
4 Logika Setiap benda yang jatuh ke bawah dipengaruhi oleh
gaya gravitasi bumi

D. Kesimpulan
1. Substansi dipandang sebagai sesuatu yang adanya terdapat di dalam dirinya
sendiri. Substansi ialah sesuatu yang mendasari atau mengandung kualitas-
kualitas serta sifat-sifat kebetulan yang dipunyai barang sesuatu.
2. Fakta adalah apa yang membuat pernyataan itu betul atau salah. Fakta
berbentuk konkret dapat ditangkap pancaindera, dapat diketahui dan dapat
diakui kebenarannya. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian
realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia.
Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam
kesadaran manusia
3. Kebenaran adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan yang pasti,
dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tujuan ilmu juga mencapai kebenaran, dalam
ilmu, kita manusia ingin memperoleh pengetahuan yang benar, karena ilmu
merupakan pengetahuan yang sistematis, maka pengetahuan yang dituju ilmu
adalah pengetahuan ilmiah.

30
4. Konfirmasi apabila dikaitkan dengan ilmu, maka fungsi ilmu adalah
menjelaskan, memprediksi, dan menghasilkan. Menjelaskan ataupun
memprediksi, tersebut lebih bersifat interpretasi untuk memberikan makna
tentang sesuatu.
5. Logika inferensi merupakan penarikan kesimpulan baru dianggap sahih
apabila dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika.

31
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.


Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama 1, Jilid I. Cet. I. Ciputat: Lolos Wacana
Ilmu.
Betand, Andy. 2013. Logika dan Kebenaran.http://bettand90.blogspot.co.id.
Diakses tanggal 11 September 2019

Dede, Melda. 2013. Kebenaran, Fakta dan Kepercayaan.


http://meldadedee.blogspot.co.id (Diakses, 11 September 2019)
Drajat, Amroeni. 2006. Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu. Jakarta: Erlangga.
Faby, Larsa 2008. Makalah.www.informatika.com. Diakses tanggal 11 September
2019
Hasan Alwi, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. III; Cet. IV; Jakarta:
Balai Pustaka, 2005
Hidayat, Ade. 2014. Modul Kuliah Filsafat Ilmu. Banten: FKIP UMB.
Ismaun. 2001. Filsafat Ilmu (Materi Kuliah). Bandung: (Terbitan Khusus).
Liang, Gie The. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Liberty.
Luthfi, Muchtar. 2000. http://jurnalislam.net/id
Manga, Wiwid. 2012. Substansi Filsafat Ilmu. http://wiwidmanga.blogspot.co.id
(Diakses, 11 September 2019)
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme, dan Post
Modernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary. 2005. Oxford: Oxford University Press
Pratama, 2012. Substansi Filsafat Ilmu.
http://prachzpratama2.blogspot.co.id(Diakses, 11 September 2019)
Purwaningsih, Indriyani. 2012. Kriteria Menemukan Kebenaran.
http://catatananakfikom.blogspot.co.id(Diakses, 11 September 2019)
Shekhu. 2009. Logika Inferensial. https://jaringskripsi.wordpress.com. Diakses
tanggal 11 September 2019

32
Sudrajat, Akhmad. 2008. Filsafat Ilmu. https://akhmadsudrajat.wordpress.com
(Diakses, 11 September 2019)
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Cet. III.
Bandung: Alfabeta.
Surajio, 2013. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara
Suriasumantri, Jujun, S. 2009. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu (suatu kajian dalam dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis). Jakarta: Bumi Aksara
Wattimena, Reza A.A. 2008. Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar. Jakarta: PT
Grasindo.
Titus,Harold H. (1984) dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasjidi, Jakarta:
Bulan Bintang.

33

Anda mungkin juga menyukai