Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PSIKOLOGI FORENSIK

SELF INJURY DAN BUNUH DIRI DALAM PENJARA

Dosen Pengampu:

Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, M.Psi., Psikolog

Disusun oleh:

Kelompok 4

Taufani Suam Siswoyo 15010116140167

Nadira Septyani 15000117120011

Agatha Pradita Uno Anisa 15000117120027

Daffa Gilang Bagaskara 15000117140085

Dina Mutmainah 15000117130133

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Kami berharap semoga
makalah ini dapat ber guna bagi para pembaca dan dapat membantu pembaca dalam menambah
dan memahami pengetahuan mengenai topik yang diangkat dalam makalah ini.

Makalah ini kami akui masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang ada
di makalah ini. Oleh karena itu, segala bentuk kritik, saran, dan masukan yang membangun dari
pembaca sangat kami butuhkan, sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan kami dan menjadi
lebih baik lagi dalam penyusunan makalah selanjutnya.

Semarang, 18 Maret 2020

Kelompok 4

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2

BAB I Pendahuluan 3

A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 3

BAB II Isi 5

A. Populasi Penjara 5
B. Perilaku Menyakiti Diri Sendiri 6
C. Faktor Terjadinya Self Injury 8
D. Faktor dan Situasi Berisiko Pemicu Bunuh Diri 9
E. Intervensi dan Treatment 10

BAB III Penutup 16

A. Kesimpulan 16
B. Saran 16

Daftar Pustaka 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikologi forensik merupakan aplikasi dari teori, metode dan penelitian psikologi
yang diterapkan kedalam sistem legal. Dalam artian bahwa psikologi forensik mengkaji
suatu fenomena hukum dalam konteks psikologi. Ketika mendengar istilah hukum pasti
akan berkaitan dengan tindak kejahatan, penjara dan lain sebagainya. Orang yang
melakukan tindak kejahatan atau tindak pidana disebut tahanan atau narapidana (warga
binaan). Di Indonesia, sering terjadi tindak kriminal yang meresahkan masyarakat.
Karena maraknya orang yang melakukan tindak pidana, beberapa penjara tidak mampu
menampung semua warga binaan.
Permasalahan serius yang kerap ditemui adalah warga binaan yang bunuh diri
atau gantung diri. Seperti yang terjadi baru-baru ini “Seorang warga binaan di LP Kelas
II B Karangasem, Ngakan Putu Wija Arta, 27, nekat mengakhiri hidup dengan cara
gantung diri di Ruang Isolasi Nomor 6, kamis malam. Aksi bunuh diri dilakukan sesaat
setelah mengikuti apel malam di LP Karangasem”. Hal ini menjadi permasalahan yang
dibahas dalam psikologi forensik. Faktor apa yang menyebabkan banyak narapidana
melakukan bunuh diri, apa yang mendasari hal ini. Seorang psikolog dalam hal ini dapat
memberikan intervensi sebagai tindakan preventif.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa yang termasuk ke dalam populasi penjara?
2. Bagaimana bunuh diri dan self injury dapat terjadi di dalam penjara?
3. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya bunuh diri dan self injury?
4. Bagaimana intervensi dan treatment untuk permasalahan bunuh diri dalam penjara?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui golongan dalam populasi penjara.
2. Untuk mengetahui bunuh diri yang terjadi dalam penjara.

3
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan bunuh diri dan self injury dalam
penjara.
4. Untuk mengetahui cara intervensi dan treatment mengenai bunuh diri dalam penjara

4
BAB II

ISI

A. Populasi Penjara
Seseorang yang tersandung kasus pidana, memiliki dua jenis status secara hukum,
yaitu tahanan dan narapidana. Berdasarkan PP No. 27 Pasal 19 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tahanan merupakan
seseorang yang masih dalam proses penyididkan, penuntutan dan pemeriksaan di
pengadilan negeri, pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung dan ditempatkan di rumah
tahanan. Narapidana, pada saat ini diganti menjadi warga binaan adalah seseorang yang
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas). Hingga November 2018,
terdapat 252.372 tahanan dan warga binaan di Indonesia, sedangkan kapasitas lapas
hanya setengah dari jumlah tahanan. Tahanan dan warga binaan tersebut terdiri dari
beberapa golongan yaitu sebagai berikut:
a. Berdasarkan usia
1. Tahanan anak (12-18 tahun)
2. Tahanan Dewasa (18 tahun ke atas)
b. Jenis Kelamin
1. Tahanan laki-laki
2. Tahanan perempuan
c. Lama pidana yang dijatuhkan
1. Pidana 1 hari sampai dengan 3 bulan (Register B.II b)
2. Pidana 3 bulan sampai dengan 12 bulan 5 hari (1 tahun) (Register B. II a)
3. Pidana Seumur Hidup (Register Seumur Hidup)
4. Pidana Mati (Register Mati)
d. Jenis Kejahatan
1. Pidana Umum (Pidum)
Jenis pidana umum merupakan jenis-jenis kejahatan yang tertuang dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Contoh: penipuan, pencurian,
pembunuhan.

5
2. Pidana Khusus (Pidsus)
Jenis pidana khusus merupakan jenis-jenis kejahatan yang tidak tertuang dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan diatur dalam undang-undang
khusus berkenaan dengan tindak pidana tersebut. Contoh: terorisme, korupsi.
Kriteria lain atas pertimbangan dan kebutuhan tertentu dalam pembinaan. Kriteria
ini berdasarkan keadaan khusus warga binaan seperti warga binaan yang memiliki
disabilitas fisik maupun psikis.

Penghuni penjara banyak berangkat dari keadaan sosioekonomi yang rendah


berkaitan juga dengan rendahnya tingkat kesehatan baik fisik dan psikis. Implikasi dari
keadaan sosioekonomi serta kesehatan fisik dan psikis yang rendah memunculkan
bentuk-bentuk kejahatan (Crighton & Towl, dalam Kaloeti, dkk, 2019).

B. Perilaku Menyakiti Diri Sendiri (Self-Injury)


Menurut Kaloeti dkk (2019) implikasi dari masalah kesehatan mental didalam
penjara adalah tingginya tingkat bunuh diri didalam penjara. Melihat atau bahkan hanya
mengetahui adanya kejadian bunuh diri didalam penjara akan menimbulkan ide bunuh
diri dikalangan warga binaan lainnya. Menurut Centers for Disease Control and
Prevention (2013) Bila terjadi pengalaman yang memicu depresi, maka ide bunuh diri
akan dijadikan alternatif solusi bagi warga binaan untuk keluar dari masalah yang
dihadapinya dan mencoba untuk melakukan bunuh diri.
WHO pada tahun 2007 (dalam Kaloeti, 2019) mendapati setiap menit terdapat
tiga percobaan bunuh diri dan satu diantaranya berhasil mati. Lebih lanjut, WHO
memberikan beberapa faktor komunitas yang memiliki paparan resiko bunuh diri yang
lebih tinggi disbanding dengan komunitas lainnya, yaitu
1. Laki-laki di usia muda (15-49 tahun)
2. Laki-laki diusia senja
3. Orang-orang pribumi
4. Orang dengan gangguan mental
5. Orang dengan ketergantungan obat/narkotika dan alkohol
6. Orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya
7. Orang dalam tahanan

6
Penjara merupakan tempat yang memiliki resiko bunuh diri yang cukup tinggi, hal
ini diakarenakan apabila tahanan mengetahui atau melihat adanya bunuh diri di dalam
penjara akan menimbulkan ide bunuh diri di antara para tahanan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Holmes & Rahe mendapatkan hasil bahwa kehidupan di penjara
atau lembaga permasyarakatan merupakan hal yang tidak mudah dan kaya akan berbagai
permasalahan. Terbukti bahwa penjara menempati urutan keempat dalam skala urutan
pengalaman hidup yang menyebabkan stress. Bahkan menurut Cohen & Taylor,
kehidupan di penjara sebagai keruntuhan hidup (massive life disruption). Apabila
terdapat hal yang memicu stress dan depresi, maka bagi para tahanan penyelesaian atas
permasalahan yang dihadapi adalah bunuh diri. Bunuh diri dapat terjadi pada beberapa
kelompok di penjara, yaitu :

1. Tahanan dan warga binaan


Pandangan masyarakat mengenai penjara adalah tempat yang buruk dan
didalamnya terdapat para penjahat yang tidak memiliki etika serta identik dengan
kekerasan. Persepsi buruk mengenai penjara dan ketidakmampuan atau
ketidaksiapan individu dengan kehidupan di penjara dapat menyebabkan
permasalahan. Perubahan rutinitas seperti berkomunikasi dengan keluarga atau
orang terdekat, bebas dalam melakukan aktivitasnya, berada di lingkungan yang
aman dan adanya penghasilan membuat para tahanan merasa tertekan dan stress.
Tidak terpenuhinya kebutuhan ataupun kesulitan serta ketidak mampuan
beradaptasi dapat menyebabkan depresi dan mereka akhirnya berusaha untuk
menyakiti dirinya sendiri bahkan berpikiran untuk melakukan bunuh diri. Survei
yang dilakukan oleh inspektorat permasyaraktan untuk Inggris dan Wales
mengungkapkan bahwa terdapat 23% para penghuni lapas merasa depresi dan
memiliki ide untuk bunuh diri saat pertama kali sempai di penjara Cringhton &
Towl, 2005 ( dalam Kaloeti, dkk, 2019).
2. Warga binaan berusia muda
Menurut Cringhton dan Towl, warga binaan berusia muda atau anak-anak
memiliki risiko bunuh diri yang jauh lebih tinggi dibandingkan tahanan dewasa.
Karena pada usia remaja mulai memasuki fase-fase stress dan depresi yang
paling tinggi. Mendapat hukuman dengan masuk penjara merupakan sebuah

7
tekanan yang sangat besar dan menjadikan image individu menjadi buruk.
Kesulitan yang dihadapi oleh dikarenakan masa remaja merupakan masa dimana
sedang mengalami kebebasan dan mengeksplorasi berbagai hal. Pada masa
remaja, individu sedang mencari kemampuan yang dapat mengatasi (Coping
Strategy) stress dan depresi serta emosi negatif (Santrock, 2012). Maka dari itu,
apabila remaja yang ada dipenjara dapat memunculkan coping strategy yang
salah dan melampiaskan emosi negatif dan depresinya dengan self-injury seperti
Cutting.
3. Warga binaan perempuan
Pada penelitian yang dilakukan pada warga binaan perempuan dalam
melakukan bunuh diri cenderung sama bahkan lebih rendah dari pada warga
binaan pria. Namun, risiko depresi pada warga binaan perempuan lebih tinggi.
Namun dalam lapas wanita lebih sering terjadi kekerasan fisik hingga seksual di
dalam penjara. Namun wanita dalam lapas memiliki komunitas ataupun
kemampuan sosial yang lebih baik dan lebih sehat (Cringhton & Towl, 2015).

C. Faktor Terjadinya Perilaku Menyakiti Diri Sendiri (Self-Injury)


Perilaku self injury merupakan sebuah permasalahan yang cukup serius di dalam
penjara, hal ini karena perilaku self-injury merupakan permulaan dari percobaan bunuh
diri. Terdapat terminologi yang menjelaskan fenomena ini, antara lain percobaan bunuh
diri, perilaku sengaja menyakiti diri sendiri, mutilasi diri, gestur bunuh diri, kegagalan
bunuh diri, memunculkan kekerasan pada diri sendiri dan para-suicide. Istilah-istilah
tersebut memiliki esensi yang sama. Menyakiti diri sendiri (self-injury) dapat
didefinisikan sebagai perilaku menyakiti diri sendiri terlepas dari metode, maksud dan
keparahan yang timbul (Cringhton & Towl, 2015).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku self-injury di
penjara, Cringhton dan Towl (2015) menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang
berperan dalam munculnya perilaku menyakiti diri sendiri dalam penjara, antara lain
perempuan, penyalahgunaan obat / narkotika, trauma masa kanak-kanak, riwayat fisik,
kekerasan seksual, riwayat gangguan mental, depresi, rendahnya harga diri, tingginya
kecemasan, dan ketidakmampuan dalam mengelola stress (Coping Strategy). Selain itu

8
perilaku bullying dan intimidasi juga berperan dalam memunculkan perilaku menyakiti
diri sendiri di dalam penjara.

D. Faktor dan Situasi Berisiko Pemicu Bunuh Diri


1. Faktor risiko situasional
Penjara di dunia banyak dihuni oleh tahanan dan warga binaan yang melampaui
kapasitas. Jumlah yang melebihi kapasitas tersebut menjadi salah satu peran dalam
timbulnnya stress dalam penjara. Hal tersebut terjadi karena semakin besar selisih
antara jumlah tahanan atau warga binaan dengan kapasitas penjara yang
menimbulkan berkurangnya kualitas layanan binaan yang diberikan. Selain itu, pihak
pemasyarakatan akan semakin sulit mengontrol aktivitas warga binaan dengan jumlah
staf yang tidak proporsional. Hal tersebut juga diperburuk dengan kondisi terbatasnya
warga binaan untuk melakukan aktivitas pribadi di dalam penjara.
Penelitian yang dilakukan oleh Kaloeti, Rahmadani, La Kahija, Salma, dan Sakti
(2017) menunjukkan bahwa warga binaan dengan vonis panjang diatas 5 tahun
memilliki tingkat depresi yang tinggi darpada warga binaan dengan waktu hukuman
dibawah 5 tahun. Penelitian Towl dan Crighton (dalam Crighton & Towl, 2015)
berpendapat bahwa terdapat tren umum dalam peningkatan risiko melakukan bunuh
diri pada warga binaan yang memiliki waktu hukuman penjara lebih lama. Warga
binaan yang dihukum seumur hidup memiliki risiko bunuh diri yang jauh lebih tinggi
daripada warga binaan dengan waktu hukuman yang lebih pendek (Crighton & Towl,
2015).
2. Faktor Psikososial
Warga binaan tentu terpisah dari kelurga dan tinggal di dalam Lembaga
pemasyarakatan. Dukungan keluarga yang sulit didapatkantkan merupakan faktor
yang besar dalam masa tahanan dan permasyarakatan. Buruknya situasi sosial di
penjara memperburuk kondisi di dalamnya. Crighton dan Towl (2015) menyatakan
bahwa riset-riset terdahulu membuktikan bahwa terdapat tingginya bullying dan
intimidasi di penjara, terutama di periode tiga bulan pertama masa tahanan. Hal
tersebut dibuktikan dengan adanya sekitar 20% angka kematian dalam penjara

9
dialami oleh penghuni yang baru saja masukk sekitar tiga bulan dan dilaporkan
mengalami bulliying dan intimidasi dari penghuni lama.
Kesadaran petugas lapas akan fenomena ini masih cenderung rendah.
Ketidaksadaran petugas akan bullying dan intimidasi akan membuat warga binaan
yang mengalami hal tersebut semakin stress dan memunculkan ide untuk bunuh diri
karena tidak tahan dengan keadaan tersebut. Morewitz dan Goldstein (2014)
berpendapat bahwa warga binaan di penjara berisiko lebih tinggi melakukan bunuh
diri yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan perilaku yang menciptakan
penghinaan atau penyiksaan dan ketakutan yang parah bagi para warga binaan yang
dikombinasikan dengan kondisi tertentu lainnya, seperti intoksikasi alkohol/obat-
obatan terlarang yang juga dapat meningkatkan resiko bunuh diri.

E. Intervensi dan Treatment


1. Logotherapy
Logotherapy merupakan suatu jenis psikoterapi yang dikembangkan pertama kali
oleh Viktor Frankl tahun 1938 dengan mengutamakan makna hidup sebagai tema
sentral. Frankl menyatakan bahwa jika seseorang berhasil menemukan dan memenuhi
makna hidupnya, maka kehidupan akan menjadi lebih berarti, berharga dan bahagia
(Bastaman, 1996; Sutejo dkk., 2011). Kausch & Amer (2007) mengemukakan bahwa
logoterapi bertujuan membantu seseorang menemukan makna hidup sehingga tujuan
hidup dan kebahagiaan dapat dicapai. Terdapat tiga cara dalam logoterapi yang dapat
ditempuh manusia untuk menemukan makna hidup, yang pertama melalui pekerjaan
atau perbuatan, kedua dengan mengalami sesuatu atau melalui seseorang, dan yang
ketiga melalui cara individu menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari (Frankl,
2000). Menurut Asagba (2009), logoterapi juga dapat memulihkan para pengguna
napza dari ketergantungan.
Logotherapy dapat mengubah pandangan atau penilaian negatif setiap anggota
kelompok tentang permasalahan hidup yang dialaminya menjadi positif melalui
proses penemuan/pencarian makna dan nilai-nilai berharga di dalamnya serta
harapan-harapan yang masih dimiliki (Lindasari, 2017). Menurut Hutzel (dalam
Lindasari 2017) membagi logoterapi menjadi empat sesi. Sesi 1 mengidentifikasi

10
perubahan dan masalah yang terjadi pada klien dan mengembangkan kesadaran
terhadap nilai-nilai yang dimiliki dengan mengidentifikasi respon-respon yang timbul
terhadap pertanyaan yang diajukan. Sesi 2 menstimulasi imajinasi kreatif, yaitu
terapis mengembangkan pertanyaan ke arah harapan dan makna hidup yang
didambakan peserta. Sesi 3 terapis membantu peserta mengurangi ketidakyakinan
akan kelemahan diri yang dirasakan dengan cara memberikan reinforcement positif
atas kemampuan peserta untuk menemukan dan mempelajari makna hidup dari setiap
tindakan yang dilakukan. Sesi 4 yaitu mengevaluasi pencapaian makna hidup setelah
seluruh sesi dilakukan.

2. Forgiveness Therapy
Forgiveness (pemaafan) memiliki hubungan yang positif dengan kebermaknaan
hidup dan kebahagiaan psikologis (Clan, 2013; Karremans dkk, 2003). Emosi,
motivasi, kognisi, dan relasi berhubungan dengan kebermaknaan hidup dan pemaafan
(Chan, 2013; Wong, 2011). Kebermaknaan hidup dan pemaafan akan tercapai apabila
aspek-aspek tersebut terpenuhi (Chan, 2013; Karremans dkk, 2003). Menurut
Thompson dkk (2005), pemaafan dapat mengurangi pikiran, perasaan, dan perilaku
negatif dalam diri dengan mengubah sudut pandang individu menjadi positif dalam
memberikan respon kognitif, emosional, dan perilaku terhadap adanya kesalahan-
kesalahan di masa lalu dan masalah serupa yang terjadi di masa depan karena tidak
terjebak dalam pikiran, perasaan, dan perilaku negatif yang lama.
Pada konteks lapas, penelitian terkait terapi pemaafan telah banyak dilakukan dan
terbukti dapat memperbaiki mood dan mereduksi perasaan terisolasi dan terpojokkan
dari Tuhan, keluarga dan lingkungan selama menjalani hukuman di penjara,
mengurangi reaksi negatif Warga Binaan (WB), menumbuhkan empati dan
kerjasama, mengurangi kemungkinan residivisme serta meningkatkan kesehatan (Day
& Gerace, 2010; Day, Gerace, Wilson, & Howells dalam Bishop, Randall, & Merten,
2014; Gassin & Enright, Hargrave, dalam Webb & Brewer, 2015; Xu, Kou & Zhong,
2012; Zagorsky, Reiter, Chatterjee, & Nowak, 2013). Intervensi yang dirancang pada
forgiveness therapy dapat didasarkan dengan konsep pemaafan menurut Enright
(2002), dengan pendekatan kognitif perilaku yang menggabungkan prinsip-prinsip

11
mengenai pemrosesan informasi dan teori belajar. Pendekatan kognitif dapat
difokuskan pada penggalian emosi negatif dan pikiran disfungsional serta proses
pemaafan dengan melakukan restrukturisasi kognitif sehingga WB dapat memberikan
nilai atau makna dalam hidup yang dijalani.
Teknik dan metode yang digunakan untuk mencapai proses pemaafan sehingga
terjadi peningkatan kebermaknaan hidup terdiri dari sharing, penugasan, latihan
(reframing, teknik imagery, relaksasi, psikoedukasi, self-monitoring), reviu, umpan
balik, ceramah dan refleksi (Curwen, Palmer, & Ruddel, 2002; Enright, 2001;
Froggatt, 2009; Wilding & Milne, 2009). Menurut Pearson (1990), kelompok
berperan penting dalam membantu individu meningkatkan kesehatan mental dan
membentuk kemampuan dalam mengatasi efek negatif dari faktor fisik dan sosial
yang berbahaya. Individu yang saling bertemu dengan perjuangan yang sama akan
menumbuhkan keyakinan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik (Correy
dkk., 2014). Maka dari itu sesi-sesi pada terapi pemaafan dilakukan secara
berkelompok dengan karakteristik yang sama. Frekuensi terapi lebih efektif dilakukan
2 kali seminggu karena jeda antar sesi tidak terlalu panjang dan dapat meningkatkan
intensitas kelompok untuk berproses dengan tema terapi (Brabender, Fallon, &
Smolar, 2004; Yalom, 1985).
Sharing membutuhkan tempat untuk mencurahkan, sehingga kelompok dapat
menjadi wadah untuk saling berbagi dan belajar mengenai pengalaman hidup
(Zuanny, 2016). Sedangkan reframing menurut Frogatt (2009) mampu membantu
subjek melihat sisi positif dalam situasi negatif yang dihadapi dengan menilai
kembali cara pandang yang selama ini dimiliki, melalui sudut pandang lain yang
berbeda dan lebih luas (Enright, 2001). Teknik imagery merupakan teknik coping
untuk mengatasi ketakutan-ketakutan dan kecemasan-kecemasan yang dimiliki
(Wilding & Milne, 2009) dengan membantu subjek berlatih untuk membayangkan
coping yang akan digunakan dalam mengantisipasi situasi sulit yang mungkin akan
dihadapi di masa depan (Curwen, Palmer, & Ruddel, 2002) serta menumbuhkan
empati pada objek pemaafan (Enright, 2002). Menurut Zuanny (2016), salah satu hal
yang menentukan keberhasilan subjek melakukan imagery adalah kemampuan
visualisasi, serta kondisi tempat yang dirasa nyaman.

12
Selanjutnya adalah psikoedukasi. Melalui psikoedukasi, subjek memperoleh
pengetahuan, pembelajaran, keterampilan dan kemampuan dalam mengendalikan
stresor negatif dari lingkungan dengan kontrol diri yang adaptif (Norcross dalam
Dobson & Dobson, 2009). Kemudian penugasan berupa pengisian lembar kerja serta
checklist pelaporan diri adalah media penting yang membantu ketercapaian kesadaran
dalam memahami kondisi diri, memantau perubahan dan perkembangan diri serta
membantu subjek untuk mengingat bagaimana keterampilan yang didapatkan dapat
digunakan kembali di masa depan (Hayes, Strosahl, & Wilson, 2003; Wilding &
Milne, 2009). Kemudian terdapat relaksasi yang bertujuan untuk menurunkan
kecemasan, mengurangi keluhan-keluhan fisik, dan sebagai self-control dan coping
skill bagi klien untuk menghadapi perasaan negatif (David., Eshelman & McKay,
dalam Dobson & Dobson, 2009). Menurut Friendman (2009), relaksasi adalah salah
satu teknik yang dapat meringankan pikiran dan merelaksasikan otot-otot dan dapat
membawa seseorang menuju proses pemaafan.

3. Terapi Kognitif Perilaku


Beck (dalam Davison, 2010) dan rekannya menyusun terapi kognitif untuk
mengubah pola pikir maladaptif. Beck juga melibatkan berbagai komponen
behavioral dalam penanganan depresi yang dilakukan. Terapi kognitif perilaku dapat
diberikan secara individu ataupun kelompok (Puspasari & Rahmi, 2017). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Wilson, Bouffard dan Mac Kenzie (2005), cognitive
behavior therapy adalah sebuah model yang efektif sebagai salah satu treatment
psikologis untuk meningkatkan kemampuan mengontrol diri.
Teknik terapi kognitif perilaku menurut Lipsey dkk (2007) melibatkan pelatihan
keterampilan kognitif, manajemen marah, dan komponen tambahan yang terkait
dengan berbagai keterampilan sosial, perkembangan moral dan relapse prevention.
a. Pelatihan keterampilan kognitif (cognitive skills training)
Pelatihan keterampilan kognitif memiliki tujuan untuk mengajarkan keterampilan
berpikir, seperti pemecahan masalah interpersonal (dengan mengumpulkan informasi,
mengembangkan alternatif solusi, dan mengevaluasi hasil sebagai langkah penting),
berpikir abstrak, penalaran kritis, berpikir sebab akibat, penetapan tujuan,

13
perencanaan jangka panjang dan pemakaian sudut pandang. Latihan atau praktik yang
sering dilakukan pada keadaan yang sebenarnya dapat dijadikan cara dalam
mengatasi situasi yang dapat menghasilkan kebiasaan buruk.
b. Manajemen marah (anger management)
Fokus dari manajemen marah adalah pengajaran bagi narapidana untuk
memonitor pola pikiran otomatis mereka pada suatu situasi saat mereka cenderung
bereaksi dengan kemarahan. Keterampilan yang dapat diajarkan pada anger
management adalah anger control training dengan tujuan mengurangi impuls afektif
dengan meningkatkan kompetensi kontrol diri.
c. Supplementarry components

Komponen lain yang sering ditambahkan pada program terapi kognitif perilaku
antara lain social skills training, moral reasoning training, atau relepse prevention.
Relepse prevention yaitu program yang bertujuan untuk mengembangkan strategi
kognitif dalam manajemen risiko dengan melibatkan seperangkat perilaku untuk
menghindari perilaku menyimpang. Strategi ini dilakukan untuk mengenali dan
mengatasi situasi berisiko tinggi dan menghentikan siklus kambuh sebelum perilaku
menyimpang berubah menjadi kambuh total.

Lipsey dkk (2007) juga mengemukakan berbagai bentuk program terapi kognitif
perilaku untuk para pelaku kejahatan, antara lain:

1. The reasoning and rehabilitation program (Ross & Fabiano, dalam Lipsey dkk,
2007). Program ini dilakukan melalui latihan (seperti critical thinking, social
perspective-taking) yang berfokus pada upaya memodifikasi impuls, sifat
egosentris, pikiran yang tidak logis dan kaku pada pelaku dan kemudian
mengajarkan mereka berhenti dan berpikir sebelum bertindak, untuk
mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku mereka, untuk
mengkonseptualisasikan cara lain dalam menanggapi masalah interpersonal dan
untuk mempertimbangkan dampak perilaku mereka terhadap orang lain.
2. Moral Reconation Therapy (Little & Robinson, dalam Lipsey dkk, 2007). Terapi
ini didasarkan pada tahap perkembangan moral Kohlberg dan menggunakan
serangkaian kelompok dan latihan buku kerja yang dirancang untuk

14
meningkatkan tingkat penalaran moral narapidana melalui 16 tahap moral dan
penilaian kognitif.
3. Aggression Replacement Training (Goldstein & Glick, dalam Lipsey dkk, 2007).
Pelatihan ini terdiri dari tiga komponen, yaitu skill streaming, anger control
training, dan moral education. Skill streaming mengajarkan perilaku prososial
melalui pemodelan dan bermain peran. Anger control training mengajarkan klien
untuk mengendalikan diri dengan meminta mereka mencatat pengalaman yang
membangkitkan kemarahan mereka, mengidentifikasi pikiran yang memicu dan
menerapkan teknik mengontrol kemarahan. Moral education menghadapkan
pelaku pada dilema moral, disajikan dalam bentuk diskusi dengan tujuan
meningkatkan penalaran moral narapidana.
4. Thinking for a change (Bush dkk, dalam Lipsey dkk, 2007) terdiri dari 22 sesi
latihan kelompok dan pekerjaan rumah yang diorganisasi seputar; 1) pemahaman
bahwa pikiran mengontrol perilaku, 2) memahami dan menanggapi perasaan diri
dan orang lain, 3) keterampilan memecahkan masalah.
5. Cognitive Intervension Program (National Institute of Corrections, dalam Lipsey
dkk, 2007) yaitu 15 pelajaran restrukturisasi kognitif yang memadu narapidana
untuk melihat perilaku mereka sebagai hasil langsung dari pilihan yang diperbuat.
Program ini membuat peserta untuk mengenali distorsi dan kesalahan dalam
berpikir (misalnya, sikap korban, optimisme yang besar, kegagalan untuk
mempertimbangkan cedera pada orang lain) dan sikap antisosial yang
berpengaruh terhadap pilihan-pilihan mereka. Berpikir alternatif akan
diperkenalkan dan dipraktekkan agar tercipta lebih banyak pilihan yang dapat
mereka pilih.
6. Relapse Prevention approach to substance abuse (Marlatt & Gordon, dalam
Lipsey dkk, 2007) telah disesuaikan untuk penanganan terhadap perilaku agresi
dan kekerasan. Program ini melibatkan keterampilan kognitif dan elemen
restrukturisasi kognitif ke dalam kurikulum yang membangun strategi perilaku
untuk mengatasi situasi berisiko tinggi dan menghentikan siklus kambuh sebelum
penyimpangan berubah menjadi kambuh total.

15
Menurut Lipsey & Landenberger, dalam Milkman & Wanberg, 2007),
terapi kognitif perilaku dapat dikatakan sukses tergantung dari jumlah sesi per
minggu dan atau dengan ditambahkan pertemuan dengan individu, pengendalian
mutu perawatan, dan pemantauan kehadiran.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam populasi penjara terdapat penggolongan bagi para narapidana beradasarkan
jenis kelamin, usia, jenis pidana, lama tindak pidana dan kriteria lainnya. Implikasi dari
masalah kesehatan mental di dalam penjara adalah tingginya bunuh diri dalam penjara.
Bunuh diri dalam penjara sering terjadi pada tahanan dan warga binaan, warga binaan
berusia muda, warga binaan wanita. Faktor yang menyebabkan sering terjadinya bunuh
diri dalam penjara yaitu karena situasi yang dirasa tidak menguntungkan bagi warga
binaan dan tentunya karena faktor psikososial. Sulitnya mendapatkan dukungan dari
keluarga dan lingkungan sosial penjara yang buruk. Karena sering terjadinya bullying dan
intimidasi antar warga binaan di dalam penjara. Untuk mengurangi perilaku bunuh diri
dalam penjara dapat dilakukannya intervensi untuk mengubah pola pikir maupun perilaku
warga binaan, menumbuhkan perasaan positif pada warga binaan. Seperti logoterapi,
terapi memaafkan dan terapi kognitif perilaku.

B. Saran
Di dalam makalah ini masih belum secara dalam menjelaskan tentang bunuh diri
dalam penjara. Sehingga mungkin perlu diperbaiki lagi agar lebih luas dalam
menjelaskan bunih diri dalam penjara.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asagba, R.B. (2009). Logotherapeutic Management of persons with substance


abuse/dependence. Ife Psychologia, 17 (1). Diperoleh dari:
https://www.questia.com/library/journal/1P3-1868494141/logotherapeutic-
managementof-persons-with-substance.

Bastaman, H.D. (1996). Meraih hidup bermakna kisah pribadi dengan pengalaman tragis.
Jakarta: Paramadina.

Brabender, V.A., Fallon, A.E., & Smolar, A.I (2004).Essential of group therapy. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.

Corey, M. S., Corey, G., & Corey, C. (2014). Groups : Process & practices (9th edition).
Belmont, CA: Brooks/Cole Cengange Learning.

Corsini, R.J. & Wedding, D. (2000). Current Psychotherapies. USA: Brooks/Cole.

Curwen, B., Palmer. S., & Ruddell.P. (2000). Brief cognitive behavior therapy. London: Sage
Publication, Ltd.

Dobson., D., & Dobson., K. S. (2009). Evidance-based practice of cognitive behavioral


therapy. The Guilford Press : New York, London.

Enright, R. D. (2001). Forgiveness is a choice. Washington, DC : APA Lifetools.

Enright, R. D. (2002). Forgiveness is a choice : A step -by-step process for resolving anger and
restoring hope. Washington DC: American Psychological Association

Friedman, P. H. (2009). The forgiveness solution : The whole-body Rx finding true happiness
abundant love, and inner peace. San Francisco : Red Wheel/Weiser.

17
Froggatt, W. (2009).A brief-introduction to cognitive behavior therapy. Diunduh dari
www.rational.org.nz

Gerace, A., & Day, A. (2010). Criminal rehabilitation: The impact of religious programining.
Journal of Psychology and Christianity, 29 (4), 317-325.

Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (2003). Acceptance and commitment therapy
an experiential approach to behaviour change. New York : The Guilford Press.

Kaloeti, D.V.S., Indrawati, E.S., Alfaruqy, M.Z. (2019). Psikologi forensik. Yogyakarta:
Psikosain.

Lindasari, S. W., Yosep, I., & Sutini, T. (2017). Pengaruh logotherapy terhadap keputuasaan
pada narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Bandung. Jurnal
Keperawatan Komprehensif (Comprehensive Nursing Journal), 3(2), 101-110.

Lipsey, M.W., Landenberger, N.A. & Wilson, S.J. (2007). Effects of cognitive behavioral
programs for criminal offenders. Nashville: Center for Evaluation Research and
Methodology.

Puspasari, D., & Rahmi, F. (2017). Efektivitas terapi kognitif perilaku dalam kelompok untuk
menurunkan depresi narapidana wanita di lapas kelas IIA Muaro. Happiness, Journal of
Psychology and Islamic Science, 1(1).

Zuanny, I. P. (2017). Forgiveness therapy to increase the meaning of life among inmates in.
Psikoislamedia: Jurnal Psikologi, 1(1).

18

Anda mungkin juga menyukai