Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH METODE PENELITIAN EKSPERIMEN

“Experimental Psychology and The Scientific Method”

Disusun oleh: Kelompok 1


Ahmad Zikri (1910323017)
Clara Maharani D (1910323015)
Indah Wahyuni (1910322039)
Kamelia Putri (1910322011)
Nadia Fitri (1910323022)
Resty Wulandari (1910322030)
Metode Penelitian Eksperimen Kelas B

Dosen Pengampu:
Izzanil Hidayati, S,Psi., M.A.
Meria Susanti, M.Psi., Psikolog
Septi Mayang Sarry, M.Psi., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin puji syukur atas ke hadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya makalah Metode Penelitian Eksperimen yang berjudul
“Experimental Psychology and The Scientific Method” ini bisa penulis selesaikan
pada waktunya. Selawat beserta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang telah menjadi teladan bagi umat manusia.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah
Metode Penelitian Eksperimen yang telah membantu dalam memberikan ilmunya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
demi perbaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.

Padang, 5 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
2.1 Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan...............................................................3
2.1.1 Cara Memperoleh Pengetahuan...............................................................3
2.1.2 Perbedaan Ilmu Pengetahuan (Science) dan Pengetahuan Awam
(Common Sense)....................................................................................................7
2.1.3 Metode Ilmiah dalam Ilmu Pengetahuan.................................................9
2.1.4 Pandangan Mengenai Ilmu Pengetahuan...............................................11
2.1.5 Tujuan Ilmu Pengetahuan......................................................................11
2.1.6 Psikologi Sebagai Ilmu..........................................................................12
2.2 Experimental Psychology and Scientific Method.........................................13
2.2.1 The Need for Scientific Methodology...................................................13
2.2.2 The Characteristics of Modern Science.................................................15
2.2.3 The Objectives of Psychological Science..............................................17
2.2.4 The Scientific Method: Tools of Psychological Science.......................19
2.2.5 Scientific Explanation in Psychological Science...................................23
2.2.6 From Pseudoscience to Psychological Science.....................................26
2.2.7 The Organization of The Text...............................................................27
BAB III PENUTUP.....................................................................................................29
3.1 Kesimpulan...................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................30

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan dua istilah yang


memiliki sinonim. Bahkan, bukan hannya kedua istilah tersebut, sains juga
sering disamakan artinya. Meskipun, pengetahuan merupakan ilmu
pengetahuan begitupun sebaliknya, akan tetapi kita tidak dapat menganggap
hal tersebut menjadi suatu anggapan umum, selain berupa anggapan,
pengetahuan umum atau pengetahuan awam (common sense) tidak dapat
dijadikan landasan dalam proses berpikir ilmiah. Menurut Kerlinger dan Lee
(2000) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau science adalah pengetahuan
yang diperoleh manusia melalui metode ilmiah sehingga membentuk konsep
tentang sesusatu, sedangkan pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh
melalui metode non ilmiah sehingga kebenarannya tidak dapat dipastikan.
Eksperimen pada dasarnya memiliki prinsip yang sama, sekalipun
terdapat perbedaan dalam desainnya. Menurut banyak ahli, eksperimen
merupakan penelitian yang dilakukan untuk mempelajari fenomena dalam
kerangka hubungan sebab-akibat, dengan cara memberikan perlakuan kepada
subjek penelitian lalu mempelajari atau mengobservasi efek perlakuan
tersebut dengan mengendalikan variabel yang tidak dikehendaki (Merliani,
2013). Tujuan eksperimen sendiri adalah untuk mengamati akibat yang
ditimbulkan dari perlakuan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu:


1. Apa perbedaan ilmu pengetahuan dan pengetahuan awam?
2. Apa metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan?

1
3. Apa tujuan ilmu pengetahuan?
4. Apa saja karakteristik dari metode ilmiah?
5. Apa saja asumsi-asumsi dalam metode ilmiah?
6. Apa saja sarana utama metode ilmiah?
7. Bagaimana pandangan mengenai ilmu pengetahuan?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk:


1. Mengetahui perbedaan ilmu pengetahuan dan pengetahuan awam
2. Mengetahui metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan
3. Mengetahui tujuan dari ilmu pengetahuan
4. Mengetahui karakteristik dari metode ilmiah
5. Mengetahui asumsi-asumsi dalam metode ilmiah
6. Mengetahui sarana utama metode ilmiah
7. Mengetahui pandangan mengenai ilmu pengetahuan

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringkali berupaya untuk


mengetahui keadaan atau gejala yang ada disekelilingnya. Keingintahuan
tersebut mendorong manusia untuk mencari penjelasan mengenai suatu
keadaan atau gejala. Penjelasan atau informasi yang manusia peroleh disebut
sebagai pengetahuan (knowledge). Kemudian, pengetahuan sering dianggap
sama dengan ilmu pengetahuan (science).

2.1.1 Cara Memperoleh Pengetahuan


Terdapat enam cara untuk memperoleh pengetahuan menurut
Helmstadter (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017):
a. Kekukuhan pendapat (Tenacity)
Pengetahuan diperoleh berdasarkan takhayul (superstition) atau
kebiasaan (habit) yang berlaku pada masyarakat tertentu (Seniati,
Yulianto, & Setiadi, 2017). Takhayul atau kebiasaan tersebut
mencerminkan keyakinan bahwa suatu hal merupakan fakta dan hal
tersebut mengarahkan seseorang untuk terus percaya dengan keyakinan
tersebut, walaupun mungkin saja hal tersebut tidak selalu benar. Terus
mempercayai hal tertentu akan menjadi kekukuhan pendapat.
Berikut contoh dari kekukuhan pendapat:
“Budi mempunyai pulpen “sakti” pemberian temannya, dan ia
berpendapat bahwa pulpen tersebut dapat membuatnya selalu lulus
ujian. Hal tersebut dikarenakan Budi sering gagal ujian karena
menggunakan pulpen yang berbeda-beda. Budi dapat lulus ujian
dengan nilai yang baik saat ia menggunakan pulpen pemberian

3
temannya ketika ujian berlangsung. Oleh karena itu, Budi
menganggap pulpen tersebut sakti sehinga ia selalu menggunakan
pulpen tersebut saat mengerjakan ujian dan ternyata Budi selalu
berhasil (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).”
Terdapat beberapa kekurangan dari metode kekukuhan pendapat
(tenacity), diantaranya:
1) Seringnya ketidaksesuaian antara kekukuhan pendapat dengan
kenyataan.
2) Tidak adanya cara yang memperbaiki takhayul atau kebiasaan
yang bertentangan dengan kenyataan, sehingga kekukuhan
tersebut semakin kuat.

Metode ini masih dapat digunakan dalam penelitian ilmiah meskipun


terdapat kelemahan didalamnya. Hal ini dikarenakan ketika peneliti
sangat percaya dan teguh pendirian terhadap pendapat atau hipotesisnya
benar, meskipun mendapat banyak kritik dari orang lain.

b. Otoritas
Penerimaan akan suatu informasi sebagai pengetahuan yang benar
salah satunya dinyatakan oleh seseorang atau sumber yang dianggap
memiliki otoritas atau kekuasaan (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).
Pengetahuan seringkali dipaksakan untuk diterima dan pihak otoritas
dapat memberikan hukuman bila tidak mengikutinya. Metode ini tidak
selalu benar atau sesuai kenyataan. Salah satu kelemahan dari metode
otoritas (authority), yaitu pengetahuan yang diperoleh belum tentu benar
atau sesuai dengan kenyataan (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).
Metode ini juga digunakan untuk metode ilmiah, yaitu ketika seorang
peneliti mengkonsultasikan masalah penelitiannya kepada yang dianggap
ahli dalam bidangnya (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).

4
c. Intuisi (intuition)
Pengetahuan yang diperoleh tidak dikaitkan dengan pengetahuan atau
informasi sebelumnya, tidak melalui proses penalaran (reasoning) atau
pengambilan kesimpulan yang benar (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).
Metode ini sesuai dengan akal sehat (agree with reason) dan
mementingkan pengalaman atau penjelasan pribadi (self-evident) (Seniati,
Yulianto, & Setiadi, 2017). Pengetahuan dikatakan benar saat seseorang
berpikir seperti itu, namun tidak sadar alasan mengapa ia berpikir seperti
itu. Ketika terbesit penjelasan pada pikiran seseorang mengenai suatu hal,
maka penjelasan tersebut akan dipercaya, meskipun belum pernah dialami
ataupun berlawanan dengan pengalaman.

Terdapat beberapa kelemahan dari metode intuisi (intuition), yaitu


(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017):

1) Pengetahuan yang akurat atau tepat tidak dapat dibedakan dengan


pengetahuan yang tidak akurat
2) Pembuktian hanya pada diri sendiri, tidak ada pembuktian dari
orang lain (Self-evidence)
Metode intuisi digunakan dalam penelitian ilmiah ketika peneliti
membentuk hipotesis. Meskipun hipotesis dapat berasal dari teori atau
penelitian sebelumnya, hipotesisi juga dapat diperoleh dari intuisi
berdasarkan pengalaman pribadi atau pemikiran yang terbesit tiba-tiba
(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).
d. Rasionalisme (rationalism)
Pengetahuan diperoleh dari penalaran (reasoning). Proses berpikir
rasionalisme dikenal sebagai metode deduktif karena menggunakan
pemikiran rasional yang dibuktikan melalui situasi sehari-hari (Seniati,
Yulianto, & Setiadi, 2017). Pengetahuan dikatakan benar apabila

5
diperoleh melalui proses penalaran yang benar. Metode rasionalisme
banyak digunakan oleh para filsuf, yang mengutamakan pemikiran.
Namun, pengetahuan yang diperoleh tidak selalu sesuai dengan
kenyataan, informasi tidak selalu akurat, dan belum tentu dapat diterima
oleh orang lain (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017). Sama seperti metode
intuisi, ketika dua orang melakukan proses penalaran mengenai suatu hal,
maka dapat memperoleh hasil yang berbeda.
Namun kenyataannya, setelah diuji atau dibuktikan, pendapat
Aristoteles tersebut tidak benar (dibuktikan dengan metode empirisme).
Metode rasionalisme digunakan ketika peneliti menghubungkan teori-
teori yang ada untuk dijadikan hipotesis, kemudian diuji dalam penelitian
(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017). Ketika peneliti tidak menggunakan
rasionalisme dalam landasan teoritisnya, maka penelitian tersebut
dikatakan tidak memiliki dasar ilmiah (Seniati, Yulianto, & Setiadi,
2017).
e. Empirisme (Empiricism)
Berlawanan dengan metode rasionalisme yang mengutamakan
pemikiran rasional dan metode intuisi yang lebih banyak menggunakan
akal, metode empirisme lebih mementingkan pengalaman atau observasi
(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017). Penjelasan dianggap benar ketika
sesuai dengan pengalaman atau hasil observasi. Metode ini disebut
dengan metode induktif, karena kesimpulan yang diperoleh berdasarkan
pengalaman.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendapat Aristoteles tidak
terbukti, sehingga metode rasionalisme tidak selalu benar atau sesuai
dengan kenyataan. Metode empirismepun (pengalaman) tidak selalu
sesuai dengan kenyataan. Karena persepsi dipengaruhi oleh hal-hal yang
subjektif, misalnya motivasi atau pengalaman sebelumnya, contohnya:
“John Locke (1623-1704) melakukan percobaan dengan tiga ember.

6
Ember pertama diisi air hangat, ember kedua berisi air hangat dan
air dingin, dan ember ketiga berisi air dingin. Seseorang diminta
memasukkan tangan kanannya pada ember pertama (merasa
tangannya hangat) dan tangan kirinya pada ember ketiga (merasa
tangannya dingin). Kemudian secara bersamaan, kedua tangannya
dimasukkan pada ember kedua. Ternyata, tangan kanannya merasa
sejuk, sedangkan tangan kirinya merasa hangat, padahal sama-sama
berada di air ember yang sama.” (Seniati, Yulianto, & Setiadi,
2017)
Percobaan tersebut membuktikan bahwa persepsi dipengaruhi oleh
pengalaman sebelumnya dan setiap orang akan mempunyai persepsi yang
berbeda. Empirisme dalam ilmu berkaitan dengan pengumpulan data
menggunakan metode yang ilmiah, bukan hanya berdasarkan pengalaman
pribadi mengenai kejadian tertentu (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).
f. Metode ilmiah (Science)
Metode ilmah dapat diartikan sebagai metode penyelidikan (a method
or logic of inquiry), karena menitikberatkan pada proses penyelidikan
dalam memperoleh kebenaran (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017).
Metode ini menggunakan metode rasionalisme yang menekankan pada
penalaran dan metode empirisme yang berdasarkan kenyataan yang ada
(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017). Pada metode ilmiah, pengetahuan
diperoleh berdasarkan penelitian yang sistematis, objektif, terkontrol, dan
dapat diuji melalui metode deduktif dan induktif (Seniati, Yulianto, &
Setiadi, 2017). Metode ini juga dapat mengkoreksi sendiri (self-
correction), sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat selalu diperbaiki
dan dikembangkan.
2.1.2 Perbedaan Ilmu Pengetahuan (Science) dan Pengetahuan Awam (Common
Sense)

7
Menurut Kerlinger dan Lee dalam Seniati, Yulianto, & Setiadi (2017),
science adalah pengetahuan yang diperoleh manusia berdasarkan metode
ilmiah, sehingga pengetahuan yang didapat membentuk suatu konsep
mengenai sesuatu, dan dikenal sebagai ilmu pengetahuan. Sedangkan common
sense merupakan pemikiran atau pengetahuan awam yang diperoleh melalui
metode non-ilmiah, sehingga kebenarannya tidak dapat dipastikan (Seniati,
Yulianto, & Setiadi, 2017). Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan
pengertian antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan sudut pandang tertentu, pengetahuan dan ilmu
pengetahuan atau yang umumnya disebut ilmu adalah sama, karena ilmu
merupakan perpanjangan yang sistematis dan terkontrol dari pengetahuan.
Menurut James Bryant Conant dalam Seniati, Yulianto, & Setiadi (2017)
pengetahuan merupakan sekumpulan konsep dan skema-skema konseptual
yang memuaskan kebutuhan praktis dalam kehidupan manusia. Namun,
konsep-konsep dan skema-skema konseptual tersebut dapat menyesatkan ilmu
pengetahuan modern, khususnya psikologi dan pendidikan. Dimana
kebanyakan pendidik di tahun 1800-an menggunakan hukuman sebagai alat
pendidikan, karena itulah pengetahuan yang ada saat itu. Namun pada
pertengahan tahun 1900-an, penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan
tersebut tidak benar, karena imbalan (reward) lebih efektif dalam membantu
pembelajaran (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017). Disamping itu, temuan-
temuan terakhir mengatakan bahwa berbagai bentuk hukuman yang berbeda
tetap berguna dalam pembelajaran kelas.
Secara umum, Kerlinger dan Lee berpendapat bahwa terdapat lima
perbedaan antara ilmu dan pengetahuan, yaitu (Seniati, Yulianto, & Setiadi,
2017):
a. Penggunaan konsep dan teori
Ilmu pengetahuan dan pengetahuan awam sama-sama menggunakan
konsep dan teori, namun konsep dan teori yang digunakan berbeda.

8
Konsep dan teori pada pengetahuan awam dapat berasal dari keyakinan
(kekukuhan pendapat) atau orang lain yang dihormati (otoritas) (Seniati,
Yulianto, & Setiadi, 2017). Sedangkan pada ilmu pengetahuan, teori
berasal dari penyelidikan yang sistematis dan objektif mengenai sesuatu
atau gejala tertentu (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017). Ilmu
pengetahuan juga tidak selalu mnggunakan teori yang sesuai dengan
kenyataan, karena berbagai teori dalam ilmu pengetahuan terbuka untuk
diuji kembali kebenarannya.
b. Pengujian teori dan hipotesis
Untuk menguji teori dan hipotesis, pengetahuan awam memilih bukti-
bukti yang mendukung hipotesisnya dan mengabaikan bukti-bukti yang
tidak sesuai dengan kenyataan, serta tidak didasarkan pada ukuran yang
pasti. Sedangkan pada ilmu pengetahuan, batasan merupakan hal yang
penting agar mencapai objektivitas.
c. Kontrol
Dalam ilmu pengetahuan, kontrol berarti ilmuwan berusaha secara
sistematis memisahkan variabel-variabel yang mungkin menjadi
“penyebab” dari gejala yang diteliti dengan variabel-variabel lain yang
memang dihipotesiskan menjadi “penyebab”. Sedangkan orang awam
kadang tidak peduli untuk mengontrol penjelasan mereka mengenai gejala
yang diobservasi. Mereka cenderung menerima semua penjelasan yang
sesuai dengan pendapat mereka sebelumnya, meskipun mengandung bias.
d. Kemampuan melihat hubungan antargejala
Ilmuwan secara konstan menaruh perhatian pada hubungan-hubungan
yang ada diantara gejala. Sedangkan orang awam menggunakan
pemikiran akal sehat untuk menjelaskan hubungan antargejala tanpa
adanya observasi dan pemikiran yang sistematis, objektif, dan terkontrol.
e. Penjelasan terhadap gejala yang diobservasi
Ilmuwan akan berusaha menghindari penjelasan-penjelasan yang

9
bersifat “metafisik” dalam memberikan penjelasan mengenai hubungan
antargejala, karena penjelasan metafisik merupakan proposisi yang tidak
dapat diuji kebenarannya. Apabila proposisi atau pertanyaan tidak
mengandung implikasi untuk diobservasi dan diuji secara terbuka, maka
proporsi atau pertanyaan tersebut tidak ilmiah.
2.1.3 Metode Ilmiah dalam Ilmu Pengetahuan
a. Orientasi metode ilmiah
Metode ilmiah merupakan suatu orientasi di kalangan ilmiah yang
ditandai dengan sikap kritis terhadap temuan dan pertanyaan, adanya
sikap skeptis, aktif dalam menemukan kesalahan, dan melihat penjelasan
sebagai tahap tentatif (Pedhazur dan Schmelkin dalam Seniati, Yulianto,
& Setiadi, 2017). Terdapat tiga hal yang menandai orientasi ilmiah
diantaranya:
1) Toleransi terhadap ambiguitas
2) Kesediaan dan kemauan mempertanyakan hal yang kelihatan tidak
perlu dipertanyakan
3) Keinginan untuk melakukan penguujian terhadap berbagai
kemungkinan jawaban yang saling bertentangan
b. Karakteristik metode ilmiah
Menurut Christensen dalam Seniati, Yulianto, & Setiadi (2017)
terdapat tiga karakteristik utama metode ilmiah diantaranya:
1) Adanya defenisi operasional
Operasionalisasi variabel merupakan variabel yang diteliti
didefinisikan dengan jelas dan juga cara pengukurannya.
2) Adanya kontrol
Kontrol dapat dilakukan pada jenis penelitian apapun terkhusus lagi
pada penelitian eksperimental.
3) Dapat diulang
Penelitian eksperimental harus reliabel apabila direplikasi oleh

10
peneliti lain.
c. Asumsi-asumsi dalam metode ilmiah
Terdapat empat asumsi dasar dalam penelitian yang ilmiah diantaranya
(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017):
1) Empirisme
Metode ilmiah harus dapat memberikan data atau fakta dari apa yang
diukur dan diobservasi.
2) Determinisme
Adanya aturan dan hukum tertentu sehingga dapat dicari faktor dan
penyebab dari suatu tingkah laku.
3) Kesederhanaan
Dalam menyusun hipotesis harus memilih hipotesis yang paling
sederhana dan paling konkret.
4) Keterujian
Adanya pengujian digunakan untuk menganalisis hipotesis apakah itu
benar atau salah.

2.1.4 Pandangan Mengenai Ilmu Pengetahuan


Terdapat dua pandangan mengenai ilmu menurut James Bryant
Conant, Kerlinger dan Lee, dan McGuidan dalam Seniati, Yulianto, & Setiadi
(2017) :
a. Pandangan statis
Pandangan statis menyatakan bahwa ilmu merupakan aktivitas menambah
informasi yang sistematis untuk dunia dimana ilmuwan bertugas untuk
menemukan fakta yang digunakan untuk menambah informasi
sebelumnya.
b. Pandangan dinamis
Pandangan dinamis menyatakan bahwa ilmu lebih sebagai keseluruhan
aktivitas yang dilakukan ilmuwan dimana pengetahuan yang ditemukan

11
sekarang dijadikan sebagai dasar untuk untuk penelitian yang akan
datang.

2.1.5 Tujuan Ilmu Pengetahuan


Ada empat tujuan utama ilmu pengetahuan menurut Christensen dalam
Seniati, Yulianto, & Setiadi (2017):
a. Deskripsi
Ilmu bertujuan untuk memberikan gambaran dari suatu gejala dengan
cepat
b. Eksplanasi
Ilmu bertujuan untuk memecahkan masalah dimana diperlukan penjelasan
mengenai gejala yang terjadi
c. Prediksi
Ilmu bertujuan untuk dapat membuat prediksi akan munculnya gejala
pada pada masa depan
d. Kontrol
Ilmu bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap gejala tertentu

2.1.6 Psikologi Sebagai Ilmu


Ilmu pengetahuan memiliki ciri utama, salah satunya adalah adanya
pemikiran ilmiah mengenai segala kejadian dalam hidup. Pemikiran ilmiah
tersebut berupa adanya asumsi bahwa terdapat hukum-hukum yang mengatur
kehidupan. Sebagai ilmu, psikologi didasari oleh asumsi bahwa terdapat
hukum yang mengatur yang mendasari tingkah laku dan pikiran yang dapat
diungkapkan melalui analisis ilmiah. Untuk dapat memahami hukum-hukum
mengenai tingkah laku dan untuk memahami, memprediksi, serta mengontrol
tingkag lakum maka diperlukan suatu pendekatan atau pandangan ilmiah.
Psikologi dianggap ilmu karena semua tingkah laku manusia dijelaskan
berdasarkan dengan pemikiran dan penelitian ilmiah mengenai pikiran dan
tingkah laku manusia.

12
Sebagai salah satu cabang dalam ilmu sosial, psikologi memiliki
tujuan untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang dapat berguna untuk
memecahkan masalah manusia. Prinsip dasar dari penelitian ilmiah ada empat,
antara lain (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2017):
1. Adanya teori yang mendasari hipotesis
2. Adanya observasi yang sistematis, objektif, dan terkontrol
3. Keterbukaan untuk melakukan perbaikan terhadap kesalahan serta terbuka
dalam perbedaan pendapat dengan ahli lain
4. Adanya kemungkinan untuk mengulang penelitian

2.2 Experimental Psychology and Scientific Method

2.2.1 The Need for Scientific Methodology


Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengumpulkan dan menggunakan
data psikologis untuk memahami perilaku orang lain dan bahkan perilaku kita
sendiri. Dalam Sehari-hari, data non ilmiah berkumpul sehingga membentuk
ekspektasi dan kepercayaan kita yang akan mengarahkan perilaku kita
terhadap orang lain atau yang biasanya disebut dengan commonsense
psychology. Pengambilan data bagi psikologi commonsense dibatasi oleh dua
faktor penting, yaitu sumber informasi psikologis dan strategi inferensial yang
digunakan (Myers & Hansen, 2012). Keyakinan psikologi commonsense
mengenai perilaku berasal dari data yang dikumpulkan dari pengalaman
sendiri. Sering kali, data yang didapat dari perilaku tidak reliabel, sehingga
penjelasan dan prediksi yang dibuat berdasarkan data tersebut menjadi tidak
sempurna.
a. Sumber Data Non Ilmiah
Data yang didapat dalam psikologi commonsense berasal dari sumber
yang bisa dianggap kredibel dan terpercaya tapi sebenarnya orang-orang
ini bukan lah sumber yang valid untuk mendapatkan informasi mengenai

13
perilaku (Myers & Hansen, 2012). Karena informasi psikologis yang
ditampilkan oleh orang yang kita sukai diterima tanpa ada pertanyaan.
Ketika kita percaya bahwa kita mengetahui sesuatu, kita cenderung untuk
menghindari hal-hal yang dapat menghancurkan keyakinan kita dan
mencari hal-hal yang dapat menegaskan keyakinan tersbebut. Hal ini bisa
dikatakan dengan confirmation bias.
Penelitian telah membuktikan bahwa orang aka cenderung
mempercayai suatu informasi jika informasi itu datang dari orang-orang
tertentu, seperti orang terkenal atau orang yang terlihat ahli. Tapi orang
lain bukanlah satu-satunya sumber data kita mengenai proses psikologis.
Kita mengumpulkan informasi mengenai perilaku dari hasil observasi dan
interaksi dengan orang lain.
b. Kesimpulan Non Ilmiah
Data pertama yang dikumpulkan mengenai seseorang biasanya datang
dalam bentuk sifat atau traits yang terkait dengan orang tersebut (Myers
& Hansen, 2012). Ketika memahami perilaku orang lain, ada bias yang
kuat untuk mengabaikan data situasional. Kita cenderung untuk
mengabaikan informasi penting mengenai suatu situasi. Kemampuan kita
untuk membuat prediksi yang akurat mengenai sifat seseorang meningkat
seiring dengan lamanya hubungan yang telah dijalin. Penilaian kita akan
lebih akurat ketika kita menilai seseorang yang kita kenal dari pada orang
asing.
Memahami seseorang dari sifat mereka dapat berguna untuk
memprediksi perilaku mereka, tapi hal ini dapat menyebabkan perkiraan
yang berlebihan tentang kemungkinan bahwa mereka akan bertindak
dengan cara yang konsisten dalam berbagai situasi yang berbeda. Masalah
lain dalam memprediksi perilaku terjadi karena orang-orang tidak terlalu
baik dalam menggunakan data untuk memperkirakan probabilitas
kejadian yang sebenarnya. Selanjutnya ada istilah yang dikenal dengan

14
overconfidence bias dimana prediksi, tebakan, dan penjelasan cenderung
terasa lebih benar dari pada yang ssebenarnya, dan semakin banyak data
yang kita miliki (akurat atau tidak), maka semakin percaya diri kita dalam
menilai perilaku.

2.2.2 The Characteristics of Modern Science


a. The scientific mentality
Istilah scientific mentality dikemukakan oleh Alfred North Whitehead
yang mana merupakan dasar dari asumsi para tokoh psikologi yaitu
perilaku harus diikuti oleh natural order sehingga ia dapat diprediksi.
Whitehead sendiri merupakan seorang filsuf yang mengusut
perkembangan dari sains itu sendiri (Myers & Hansen, 2012). Ia
mengungkapkan dalil bahwa keyakinan terhadap alam semesta yang
teratur merupakan salah satu hal yang penting bagi sains (Myers &
Hansen, 2012). Para tokoh psikologi juga percaya bahwa terdapat hal-hal
yang dapat ditentukan meskipun hal tersebut kurang penting ataupun
sederhana dapat menyebabkan seseorang berperilaku dan penyebab ini
juga dapat ditemukan melalui penelitian. Istilah ini disebut degan
determinism (Myers & Hansen, 2012).
b. Gathering empirical data
Konsep modern science yang diungkapkan oleh Whitehead juga
berkaca kepada Aristoteles. Aristoteles sendiri berasumsi bahwa
keteraturan itu ada pada alam semesta dan ia mengatur bagaimana
caranya mendeskripsikan keteraturan tersebut dalam cara yang sistematis
yaitu melalui pengumpulan data empiris (Myers & Hansen, 2012). Data
empiris yang dimaksud dapat diobservasi atau dialami. Melalui obsevasi
yang sistematis dan pengklasifikasian yang tepat inilah kejadian atau
fenomena alam dapat dijelaskan dengan baik. Karakteristik penting
lainnya dalam data empiris yaitu apakah data tersebut dapat diverifikasi

15
ataupun dibantah melalui investigasi ataupun penelitian.
c. Seeking general principles
General principles dibutuhkan dalam melakukan penelitian yang mana
untuk menstruktur bagaimana prosedur penelitian agar observasi dan
pengumpulan data menjadi mudah. Dalam general principles terdapat law
dan theory. Law yaitu saat prinsip yang digunakan memiliki generalitas
ketika diaplikasikan dalam sistuasi apapun (Myers & Hansen, 2012).
Namun ketika informasi yang didapatkan tidak cukup untuk menyatakan
general law, peneliti masih dapat mengerti dengan merancang dan
mencoba penjelasan sementara, hal ini disebut sebagai teori (Myers &
Hansen, 2012). Teori merupakan suatu kesatuan, ataupun set beragam
terkait fakta-fakta yang disusun ke dalam skema yang dapat digunakan
untuk memprediksi contoh perilaku yang baru (Myers & Hansen, 2012).
d. Good thinking
Hal utama lainnya dalam metode saintifik ialah good thinking.
Pendekatan-pendekatan dalam mengumpulkan ataupun
menginterpretasikan data harus sistematis, objektif, dan juga rasional
(Myers & Hansen, 2012). Terbuka terhadap ide-ide baru meskipun
kontradiktif dengan pendapat utama juga termasuk kepada good thinking.
Selain itu dalam good thinking juga harus mengikuti aturan logis terlepas
dari bagaimana hasil penelitian, baik itu sesuai prediksi peneliti ataupun
tidak (Myers & Hansen, 2012).
e. Self-correction
Ilmuwan modern seharusnya dapat menerima ketidakpastian dalam
kesimpulan yang mereka buat (Myers & Hansen, 2012). Hal ini
dikarenakan konten terkait sains terus berkembang seiring dengan adanya
informasi baru dan informasi lama yang ada dievaluasi kembali
mengingat adanya fakta baru yang ditemukan. Contohnya dalam hal
menjelaskan bagaimana hubungan antara media violence dengan perilaku

16
agresif (Myers & Hansen, 2012). Pada awalnya hal ini dijelaskan
menggunakan social learning theory yang mana orang akan menunjukkan
perilaku agresif yang sama dengan yang mereka tonton di media. Namun
seiring adanya perkembangan informasi dan pengetahuan, hal ini dapat
dijelaskan lebih lengkap melalui cognitive priming theory. Menurut teori
ini dengan mengobservasi kekerasan yang terjadi dapat memicu atau
men-trigger representasi kognitif dari perilaku agresif yang tersimpan di
memori dalam skema kognitif seseorang. Berdasarkan kedua teori ini
dapat terlihat bahwa cognitive priming theory lebih sering digunakan
daripada teori social learning theory karena dapat menjelaskan secara
mendalam perilaku agresif yang dilakukan ketika menonton tayangan
kekerasan di media.
f. Publicizing results
Pada zaman modern ini, ilmuwan lebih bebas dalam melakukan
kegiatan penelitian secara publik dan dapat menghadiri pertemuan ilmiah
dalam rangka bertukar informasi terkait ilmu pengetahuan terkini. Oleh
karena itu jumlah jurnal saintifik terus meningkat yang mana hal ini
sangat vital bagi proses saintifik (Myers & Hansen, 2012).
g. Replications
Dalam pendekatan ilmiah, replikasi sangat penting yang mana saat
peneliti kembali mengulang prosedur penelitian maka akan mendapat
hasil yang sama jika mengumpulkan data secara objektif dan mengikuti
good thinking (Myers & Hansen, 2012).

2.2.3 The Objectives of Psychological Science


Terdapat 4 tujuan utama penelitian yang dilakukan dalam psikologi
diantaranya (Myers & Hansen, 2012):
a. Deskripsi
Ketika mendefinisikan deskripsi di dalam ilmu psikologi mengacu

17
kepada penggambaran yang bersifat sistematis dari karakteristik perilaku
yang diamati (Myers & Hansen, 2012). Deskripsi yang baik
memungkinkan dapat memberikan kita pengetahuan informasi yang lebih
luas dan dapat memberikan gambaran seperti apa perilaku nantinya.
Misalnya, tentang deskripsi kesedihan, akan memberikan gambaran dan
membuat kita paham orang yang sedang berduka sangat mungkin akan
bersedih, mengalami depresi hingga menangis.
Contoh desain penelitian deskriptif yaitu meliputi studi kasus dan studi
lapangan (Myers & Hansen, 2012). Dalam, studi kasus pengamat luar
mencatat perilaku atau pengalaman atau, atau keduanya dari suatu
individu. Studi kasus umum digunakan dalam psikologi klinis, organisasi,
dan forensik dalam membuat kesimpulan mengenai asal-usul gangguan
psikologis, proses perkembangan dan pengaruh peristiwa kehidupan.
Sedangkan studi lapangan merupakan studi observasional terhadap
sekelompok orang maupun hewan dalam pengaturan kehidupan yang
nyata. Di mana pengamat dapat mengumpulkan data deskriptif tentang
berbagai jenis pengalaman sosial dan budaya, termasuk perkembangan
anak, struktur dan fungsi organisasi, serta kebiasaan sosial.
b. Prediksi
Mengarah kepada kapasitas dalam mengetahui ketika munculnya suatu
perilaku yang diharapkan terjadi, dengan menentukan dan
mengidentifikasikan kondisi lain sebelumnya dan mengaitkan hal tersebut
(Myers & Hansen, 2012). Misalnya, kematian kakek dan nenek kita
diasosiasikan dengan kesedihan dan kita dapat memprediksinya bahwa
beberapa orang akan sedih jika hal tersebut terjadi. Prediksi ini
bermanfaat bagi psikolog maupun klinis.
Sejumlah desain penelitian, yang disebut sebagai correlational dan
quasi-experimental design biasanya digunakan untuk memprediksi
perilaku (Myers & Hansen, 2012). Dalam desain korelasional misalnya

18
adanya hubungan statistik antara orang dewasa yang mengalami obsesitas
dengan diabetes tipe 2. Hubungan tersebut memungkinkan dokter dan
asuransi perusahaan untuk memprediksi akan resiko individu tersebut
dapat terkena diabetes karena kelebihan berat badan.
c. Eksplanasi
Ketika kita menjelaskan suatu perilaku, kita juga dapat memahami apa
yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Penjelasan tersebut
mencakup pengetahuan tentang kondisi kondisi tertentu pada suatu
perilaku. Untuk penjelasan mengenai suatu perilaku, kita dapat
menggunakan desain penelitian eksperimental secara sistematis yang
dimanipulasi aspek pengaturannnya untuk menghasilkan perilaku
tertentu. Melakukan pengontrolan akan faktor lainnya juga akan
mempengaruhi perilaku selama jalannya eksperimen.
d. Kontrol
Mengarah kepada penerapan yang digunakan berdasarkan yang telah
dipelajari tentang perilaku (Myers & Hansen, 2012). Setelah perilaku
dijelaskan melalui eksperimen, dimungkinkan untuk melibatkan
pengetahuan agar dapat mempengaruhi perubahan atau meningkatkan
perilaku. Di mana kontrol ini jarang menjadi tujuan eksperimen, namun
beberapa penelitian melakukannya dengan tujuan untuk menghasilkan
perubahan perilaku seiring dengan peningkatan pengetahuan.

2.2.4 The Scientific Method: Tools of Psychological Science


Tiga sarana utama metode ilmiah yaitu observasi, pengukuran, dan
eksperimen (Myers & Hansen, 2012). Juga merupakan alat dasar ilmuwan
psikologi. Contoh penelitian yang dijelaskan dalam bentuk ilustrasi yang baik
dari observasi, pengukuran, dan eksperimen.
Contoh Eksperimental: What’s in the Air ? Panas, dingin, musim
berangin, seperti di Mediterania selatan atau angin Santa Ana di California.

19
Dianggap menjadi hal munculnya insomnia hingga pembunuhan dan hal ini
didukung oleh beberapa bukti lainnya. Angin ini dapat meningkatkan suhu
udara, kurangnya kelembapan dan mengubah keseimbangan elektron
atmosfer. Selama musim berangin, konsentrasi ion positif di udara menjadi
lebih tinggi, juga beberapa penelitian menunjukkan bahwa ion positif yang
tinggi tersebut dapat merubah perasaan susasana hati yang negatif. Bisakah
ion negatif memiliki efek yang bertolak belakang seperti membuat orang
menjadi merasa lebih baik?.
Robert A. Baron dkk (1985) dalam Myers & Hansen (2012) menguji
prediksi ini dengan melakukan eksperimen laboratarium yang menarik. Untuk
mengatur kondisi pengujian tersebut, para peneliti menggunakan mesin yang
dapat menghasilkan ion negatif (pembersih udara elektronik) untuk megubah
udara di dalam ruangan laboratarium menjadi konsesntrasi ion negatif yang
normal, sedang dan tinggi. Dalam setiap sesi seorang sarjana dituntut untuk
terlibat dalam eksperimen tentang belajar. Tugasnya yaitu melatih sarjana lain
untuk mengurangi detak jantungnya dengan biofeedback. “Pelajar”
sebenarnya ialah sekutu peneliti yang sudah dilatih. Sesi diatur sedemikian
rupa sehingga separuh dari relawan dibuat untuk marah dengan komentar-
komentar buruk dari “pelajar” selama sesi dan separuhnya tidak. Suasana
akhir setiap relawan diukur di khi sesi. Hasil yang diapat tidak sesuai dengan
apa yang Baron dan rekan-rekan prediksi. Alih-Alih mendorong suasana hati
menjadi lebih baik pada setiap orang, konsentrasi ion negatif yang tinggi
tampaknya meningkatkan kekuatan suasana hati. Sukarelawan yang tidak
terpapar ion negatif merasa tidak marah, dan kurang tertekan. Penjelasan
mengenai hal tersebut bahwa ion negatif mungkin secara fisiologis
membangkitkan dan meningkatkan kekuatan emosi yang dirasakan.
1) Observasi
Observasi, ialah pengamatan dan pencatatan suatu peristiwa yang
dilakukan secara sistematis. Hanya peristiwa yang dapat diamati yang

20
dapat dipelajari secara ilmiah. Banyak terdapat perilaku yang dapat
diamati (tersenyum, berbicara, merokok), sedangkan bagaimana dengan
proses internal seperti perasaan, pemikiran, atau pemecahan masalah.
Kunci untuk mempelajari proses internal tersebut adalah dengan
mendefinisikannya sebagai peristiwa yang dapat diamati: waktu yang
dibutuhkan seseorang untuk memecahkan permasalahan, jawaban
seseorang dalam kuesioner suasana hati, dan amplitudo respons
elektrodermal seseorang.
Dalam eksperimen Baron dan rekan-rekan tersebut perlu untuk
mengamati suasana hati orang. Tetapi, suasana hati tidak dapat dilihat
secara langsung. Maka dari itu, peneliti Baron meminta kepada orang
untuk melaporkan suasana hatinya melalui kuesioner atau instrumen
lainnya. Dalam Kerangka ilmiah, pengamatan juga harus dilakukan secara
sistematis, dan sistem yang sama harus diberikan secara konsisten pada
setiap dilakukannya pengamatan. Misalnya, kuesioner suasana hati yang
sama harus diberikan kepada setiap orang dalam penelitian. Tidak hanya
itu, pengamatan juga harus dilakukan secara objektif, di mana pengamat
objektif lain juga harus dapat memperoleh catatan yang sama mengenai
peristiwa tersebut. Kita juga harus menghindari distorsi data agar tidak
mengubah catatan yang diperoleh. Baron dan rekan-rekannya mencatat
tanggapan kuesioner pada subjek mereka, meskipun tanggapan tersebut
tidak sesuai prediksi.
2) Pengukuran
Pengukuran adalah penetapan nilai numerik untuk objek, peristiwa
atau karakteristiknya berdasarkan aturan konvensional. Saat melakukan
penelitian, kita menetapkan angka-angka untuk ukuran ,kuantitas, atau
kualitas yang berbeda dari peristiwa-peristiwa yang diamati. Kita dapat
menggunakan tes kecerdasan dan berbagai ukuran kepribadian, tetapi
standarnya sering ditetapkan oleh konteks studi-studi tertentu. Ketika

21
ingin menggambarkan perilaku individu dalam suatu situasi yang
ditentukan, seperti seberapa banyak mereka berbicara dengan orang asing
dalam situasi stres?. Di lain waktu, ingin mengukur reaksi individu
terhadap situasi tersebut, seperti seberapa depresi yang mereka rasakan
setelah situasi yang penuh tekanan ?
Ketika Baron dan rekan-rekan mengukur suasana hati setiap
sukarelawan, mereka merancan kuesioner suasana hati mereka
berdasarkan skala bernomor dalam mewakili tingkat kemarahan, depresi,
dan sebagainya. Pengukuran yang dilakukan harus bersifat konsisten pada
setiap kondisinya, jika tidak maka kita tidak dapat membandingkan
pengamatan yang terukur secara langsung. Misalnya, dalam unit
pengukuran yang sama digunakan setiap saat melakukan pengukuran
menggunakan ons, dihari berikutnya tidak akan menggunakan takaran
sendok teh. Agar konsisten, kita perlu menggunakan insturmen dan
prosedur yang sama, setiap peristiwa yang diamati. Dalam penelitian
Baron yaitu cara kuesioner diberikan identik di setiap sesi, karena
menggunakan statistik maka dibutuhkannnya angka atau skor dalam
mewakili tingkat jumlah perilaku yang berbeda.
3) Eksperimen
Eksperimen adalah proses yang dilakukan dalam menguji hipotesis,
bahwa perilaku tertentu akan terjadi dalam situasi tertentu yang telah
ditentukan. Ketika melakukan eksperimen, kita secara sistematis dapat
memanipulasi aspek pengaturan untuk memverifikasi prediksi, tentang
perilaku yang diamati dalam kondisi tertentu. Untuk melakukan
eksperimen, prediksi kita harus dapat di uji. Terdapat 3 syarat minimum
yang harus terpenuhi: pertama, kita harus memiliki prosedur untuk
memanipulasi pengaturan. Kedua, hasil yang diprediksi harus dapat
diamati. Ketiga, kita harus dapat mengukur hasilnya. Beberapa hipotesis
yang tidak dapat di uji pada saat ini, bisa saja dapat di uji pada masa

22
depan.
Berdasarkan prediksi Baron dapat di uji karena ia dapat memanipulasi
setting untuk mendiptakan kondisi yang ingin ia selidiki, sehingga dapat
diamati dan diukur hasilnya. Eksperimen juga harus bersifat objektif dan
tidak boleh mempersipakan suatu situasi yang otomatis mengkonfirmasi
prediksi si peneliti. Selain itu, terdapat eksperimen yang tidak boleh
dilakukan karena tidak etis untuk dilakukan.

2.2.5 Scientific Explanation in Psychological Science


a. Identifiying Antecedent Conditions
Dalam konteks ilmiah, berarti menentukan kondisi anteseden dari
suatu peristiwa atau perilaku. Kondisi anteseden merupakan keadaan atau
situasi yang datang sebelum kejadian atau perilaku yang ingin kita
jelaskan (Myers & Hansen, 2012). Contoh dalam percobaan Baron yaitu
ketika konsentrasi ion negatif yang berbeda adalah kondisi anteseden
yang ditentukan, dan suasana hati merupakan perilaku yang dijelaskan
oleh kondisi ini. Jika kita dapat mengidentifikasi semua anteseden dari
suatu perilaku, kita dapat menjelaskan perilaku itu dengan cara berikut:
Ketika XYZ adalah himpunan kondisi anteseden dan merupakan perilaku
tertentu. Maka jika anteseden XYZ terjadi lagi, diharapkan memiliki hasil
yang sama.
b. Comparing Treatment Conditions
Dalam psikologi, dalam mengidentifikasi hampir tidak mungkin
semua anteseden yang mempengaruhi perilaku partisipan penelitian pada
waktu tertentu (Myers & Hansen, 2012). Namun, meskipun kita tidak
dapat mengidentifikasi semua kondisi anteseden, kita dapat berfokus pada
anteseden tertentu yang kita percaya memiliki efek perilaku. Dalam
psikologi eksperimen, ada yang namanya membuat rangkaian kondisi
anteseden tertentu yang biasa disebut dengan treatmen/pengobatan.

23
Adanya perbandingan kondisi perlakuan yang berbeda sehingga dapat
menguji penjelasan tentang perilaku secara sistematis dan ilmiah. Perlu
diingat bahwa kata “treatment” seperti yang digunakan dalam
eksperimen, tidak berarti bahwa harus secara aktif melakukan sesuatu
untuk “memperlakukan” subjek. Artinya kita akan memperlakukan
subjek secara berbeda ketika kita mengekspos mereka ke set anteseden
yang berbeda dan kemudian mengukurnya untuk memastikan apakah
perilaku yang berbeda menghasilkan hasil yang dapat diprediksi berbeda.
c. The Psychology Experiment
Eksperimen psikologi merupakan prosedur yang terkontrol dimana ada
setidaknya dua kondisi perlakuan yang berbeda diterapkan pada subjek
(Myers & Hansen, 2012). Perilaku tersebut kemudian diukur dan
dibandingkan untuk menguji hipotesis tentang efeknya dari perawatan
atau treatment tersebut pada perilaku. Perhatikan bahwa kita harus
memiliki setidaknya dua perkuan yang berbeda sehingga kita dapat
membandingkan perilaku dibawah kondisi yang bervariasi dan
mengamati cara perilaku berubah saat kondisi perlakuan berubah. Selain
itu, kita juga harus melakukan prosedur dalam eksperimen psikologi
dengan hati-hati sehingga kita dapat mengukur apa yang ingin kita ukur.
Penting untuk diketahui bahwa eksperimen sangat bergantung pada
prinsip kontrolnya. Untuk menghasilkan kesimpulan yang valid, semua
pejelasan kecuali yang sedang diujikan harus dapat disampaikan dengan
jelas. Faktor-faktor lain yang dapat mengasilkan efek yang ingin
dijelaskan dikendalikan dengan hati-hati. Dalam melakukan eksperimen
dapat dilakukan di laboratorium dimana psikolog atau peneliti mencapai
tingkat kontrol terbesarnya dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku dan mengarah pada kesimpulan yang salah. Namun, terkadang
mengorbankan sejumlah realism dan generalisasi untuk mendapatkan
presisi, teteapi kembali lagi kontrol sangat penting untuk eksperimen.

24
Dalam eksperimen, suatu peristiwa atau perilaku memerlukan kontrol
yang cermat terhadap banyaknya kemungkinan yang akan terjadi. Kontrol
paling sering dicapai dengan, pertama, penugasan acak subjek ke kondisi
perlakuan yang berbeda atau memberikan design khusus pada subjek
tertentu; kedua, menyajikan kondisi perlakuan dengan cara yang identic
untuk semua subjek; tiga, menjaga lingkungan, prosedur, dan alat ukur
konstan untuk semua subjek dalam percobaan sehingga kondisi perlakuan
adalah satu-satunya hal yang diperbolehkan untuk berubah. Dengan
demikian, peneliti akan yakin bahwa perubahan dalam perawatan atau
treatmen merupakan penyebab perbedaan perilaku yang diamati.
d. Establising Cause and Effect
Dalam psikologi eksperimen yang akan menjadi nilai terbesar adalah
bagaimana peneliti yang melakukan eksperimen dapat menyimpulkan
hubungan sebab-akibat antara kondisi yang mendahului dan perilaku
subjek (Myers & Hansen, 2012). Jika himpunan anteseden XYZ selalu
mengarah pada perilaku tertentu, sedangkan perlakuan lainnya tidak, kita
dapat menyimpulkan bahwa himpunan anteseden XYZ menyebabkan
perilaku tersebut.
Contohnya ketika suatu subjek berada pada suatu kodisi anteseden
tertentu dan dia akan melakukan perilaku A, lalu kita akan memberikan
“cause” yaitu berupa tindakan maka bisa saja subjek yang tadinya akan
melakukan perilaku A akan melakukan perilaku B. Namun, kita bisa saja
akan menemukan bahwa banyak metode penelitian yang berbeda dapat
digunakan untuk mempelajari perilaku, tetapi hanya eksperimen yang
bedar yang membuat pernyataan kausal. Pada eksperimen ini kita akan
menemukan bahwa kesimpulan kita tentang hubungan sebab-akibat
denyatakan dalam bentuk probabilitas-tidak pernah pasti. Hubungan
sebab-akibat yang ada pada eksperimen disebut hubungan temporal,
karena perbedaan waktu terjadi dalam hubungan tersebut. Kondisi

25
treatmen datang sebelum perilaku muncul penyebab pendahuluan efek.
Jadi, peneliti akan mencari perbedaan perilaku ketika subjek diberikan
treatmen/pengobatan atau kondisi tertentu dengan yang tidak diberikan.
Selain itu, pada hubungan sebab-akibat ini perlu adanya pemikiran yang
logis untuk mengungkapkan apakah ada hubungan sebab dan akibat itu
terjadi untuk melihat apakah perilaku tersebut terjadi karena alasan
tertentu. David Hume (1711-1776) dalam Myers & Hansen (2012)
mengatakan bahwa peneiti tidak akan dapat menetapkan kausalitas jika
ada hubungan temporal. Keberatan Hume terhadap argument bahwa
hanya karena satu peristiwa yang mendahului yang lain, itu tidak berarti
bahwa peristiwa yang pertama menyebabkan peristiwa yang kedua.
e. Necessary versus Sufficient
Ketika peneliti mencari hubungan sebab-akibat, maka ia mencoba
mengidentifikasi kondisi pada saat peristiwa akan terjadi. Peneliti akan
membedakan kondisi yang diperlukan denga kondisi yang cukup
memadai. Contoh seorang gadis remaja ingin menurunkan berat badannya
dengan mengurangi kabohidrat. Apakah itu syarat dapat menurunkan
berat badan? Tidak. Seseorang juga dapat menurunkan berat badan
dengan meningkatkan aktivitas fisik atau berolahraga. Menurut Isen
(1987) dalam Myers & Hansen (2012), hubungan sebab-akibat yang
dibangun melalui penelitian ilmiah perlu adanya pengidentifikasian
kondisi yang cukup. Sebagai contoh ketika seseorang berada dalam
suasana hati yang baik maka akan meningkatnya kesediaan orang
tersebut dalam membantu orang lain atau berbuat kebaikan. Tetapi
banyak faktor lain seperti karakteristik orang yang membutuhkan
bantuan, jumlah orang yang akan menolong, dan lain sebagainya juga
dapat menentukan apakah kita akan membantu atau orang tersebut atau
tidak (Latane & Darley dalam Myers & Hansen, 2012).

26
2.2.6 From Pseudoscience to Psychological Science
Psikologi sebagai ilmu eksperimental baru muncul pada akhir tahun
1800-an. Wilhelm Wundt (1832–1926), secara umum dianggap sebagai
psikolog eksperimental pertama, dan kelahiran ilmu psikologi biasanya
bertanggal dari pembukaan laboratoriumnya di Leipzig, Jerman, pada tahun
1879 (Myers & Hansen, 2012). Di sana Wundt menggunakan alat-alat dari
metode ilmiah (observasi, pengukuran, dan eksperimen) untuk mempelajari
pengalaman sensorik manusia. Dia memperoleh keuntungan besar dalam
pengukuran tepat fenomena sensorik dengan menggunakan instrumen ilmiah
untuk menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan individu untuk
menyelesaikan berbagai jenis tugas sensorik dan persepsi. Seiring ketenaran
Wundt tumbuh dengan cepat, siswa dari seluruh dunia datang ke Leipzig
untuk bekerja di laboratoriumnya. Salah satu mahasiswa laboratorium
pertamanya adalah psikolog Amerika G. Stanley Hall. Hall kemudian
membuka laboratorium psikologi pertama di Amerika Serikat pada tahun
1883 di Universitas Johns Hopkins.
Seperti di Eropa, psikologi akademis awal di Amerika Serikat
menemukan tempatnya di departemen filsafat di bawah rubrik filsafat mental.
Filsafat mental mencakup studi tentang kesadaran dan proses mental dan
didasarkan pada premis bahwa pikiran manusia dimulai sebagai batu tulis
kosong, memperoleh pengetahuan tentang dunia melalui pengalaman
sensorik. Para filsuf mental terutama terlibat dalam studi panca indera melalui
introspeksi dan observasi proses mental mereka sendiri dan mengamati
mereka dari yang lain. Para filsuf mental bukanlah praktisi metode ilmiah dan
tidak terlalu terganggu oleh fakta bahwa pikiran manusia adalah pengamat dan
hal yang diamati (Haven dalam Myers & Hansen, 2012).

2.2.7 The Organization of The Text


Dalam merancang dan melakukan proyek penelitian perlu bagian-

27
bagian dalam paralel dengan proses melakukan percobaan dan bagian yang
sesuai dari laporan pencarian ulang. Bagian pertama “pengantar” memberikan
orientasi keseluruhan untuk bidang metode pencarian ulang, seperti tinjauan
literature memberikan gambaran keseluruhan tentang keadaan pencarian ulang
dalam arca konten tertentu. Bab-bab selanjutnya berfokus pada design
penelitian deskriptif dan prediktif dan mempersiapkan diri untuk memahami
eksperimen.
Bagian satu akan memberikan informasi yang diperlukan untuk
memikirkan eksperimen dibidang tertentu. Bagian dua, metode yang
mencangkup semua prosedur dasar yang digunakan dalam melakukan
eksperimen sederhana, memilih subjek, dan mengumpulkan data dengan cara
ilmiah. Bagian tiga, hasil yang mengatasi data, emninjau yang digunakan
untuk menganalisis data dan rumus reputasi dan table statistic dapat
ditemukan di Lampirkan A dan B. bagian empat, Diskusi melihat pada isu-isu
utama yang melibatkan dalam menarik kesimpulan dari data dan
mengkomunikasikan temuan. Bagian akhir, tentang penulisan laporan
mencangkup informasi tentang bagaimana setiap bagian dari laporan
penelitian disusun dan dituliskan mengikuti gaya manual prublikasi terbaru
APA.

28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam keseharian, manusia seringkali berupaya mencari tahu keadaan
ataupun gejala yang ada di sekelilingnya. Keingintahuan yang ada mendorong
manusia untuk terus mencari penjelasan dari hal-hal yang membuat mereka
penasaran. Hal inilah yang menntun manusia menuju pengetahuan atau yang
sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, mennurut Helmstadter dalam Seniati, Yulianto, & Setiadi
(2017) terdapat enam cara diantaranya: kekukuhan pendapat, otoritas, intuisi,
rasionalisme, emprirsme, dan metode ilmiah. Dalam hal metode ilmiah
sendiri, metode ini merupakan orientasi yang ditandai dengan sikap kritis
terhadap temuan, sikap skeptis, aktif dalam menemukan kesalahan, dan
melihat penjelasan sebagai tahap tentatif sehingga ilmu pengetahuan dapat
terus berkembang.
Berkaitan dengan pandangan terhadap ilmu pengetahuan, terdapat
pandangan statis dan juga dinamis. Dalam hal ini ilmu pengetahuan dianggap
sebagai penambahan informasi yang sistematis dan juga dapat digunakan
sebagai tolak ukur dalam pengembangan ilmu pengetahuan di masa depan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan sendiri memiliki
tujuan yaitu deskripsi, eksplanasi, prediksi, dan control. Sebagai ilmu,
psikologi didasari oleh asumsi bahwa terdapat hukum yang mengatur yang
mendasari tingkah laku dan pikiran yang dapat diungkapkan melalui analisis
ilmiah.

29
DAFTAR PUSTAKA

Merliani, R. 2013. Psikologi Eksperimen. Bandung: CV Pustaka Setia


Myers, anne & Hansen, Christine. 2012. Experimental Psychology Seventh Edition.
USA: Wadsworth Cegange Learning
Seniati, Liche., Yulianto, Aries., & Setiadi, Bernadette N. 2017. Pikologi Eksperimen.
Jakarta: Indeks

30

Anda mungkin juga menyukai