Anda di halaman 1dari 34

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM:

Menuju Psikologi Islami

Penulis Hanna Djumhana Bastaman

Editor Fuad Nashori

Cetakan I, Oktober 1995


Cetakan II, Januari 1997 PP.95.058

Perancang Sampul
Buldanul Khuri

Pracetak Ayu, Diah K, Bima &


Herry

Penerbit PUSTAKA PELAJAR Bekerja sama


dengan Yayasan Insan Kamil Glagah UH
IV/343 Telp. (0274) 381542 Yogyakarta 55164

Pencetak Pustaka Pelajar


Offset

ISBN: 979-8581-40-7
Dilema Psikolog Muslim:
Sebuah Tantangan dan Peluang

TEMA "dilema psikolog muslim” mulai menghangat


dibicarakan di antara para psikolog dan di lingkungan calon-
calon psikolog Muslim di tanah air kita terutama setelah buku
The Dilemma of Muslim Psycholo gists karya Dr. Malik B. Badri
diterjemahkan ke dalam bahasa Indone sia." Tema-tema serupa, yakni
mempertanyakan kembali landasan fil safat,
teori, dan praktek-praktek
penerapan sains masa kini ditinjau dari sudut pandang nilai-nilai
Islami, sebenarnya sejalan dan berkaitan dengan salah satu tema-
sentral Kebangkitan Islam di Kurun XV Hijriyah, yaitu Islamisasi Sains.
Buku karya Badri ini merupakan sebuah buku dengan judul
dan tema yang benar-benar “menggigit” dan menimbulkan gairah ingin
tahu. Ini terlihat dari cukup seringnya buku ini dijadikan topik diskusi atau
temu-ilmiah mahasiswa psikologi. Gejala yang baik ini
diharapkan dapat memperluas wawasan dan menunjang peningkatan
pengetahuan menge nai psikologi, karena biasanya perkembangan
ilmu dimulai dari rasa ingin tahu. Tetapi di lain pihak buku Malik Badri
ini dapat pula menim bulkan kebingungan justru pada calon-calon psikolog
Muslim sendiri, karena menduga bahwa disiplin ilmu yang mereka tekuni
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dengan bertolak dari buku Malik Badri tulisan ini akan
mencoba meninjau masalah "dilema psikolog Muslim” dengan
memandangnya tidak saja sebagai tantangan yang harus diatasi
tetapi juga sebagai peluang untuk turut mewujudkan Psikologi
Islami.

SINOPSIS
Buku The Dilemma of Muslim Psychologists ini berangkat
dari pengamatan Badri tentang berlangsungnya penjiplakan
besar-besaran tanpa adaptasi yang dilakukan oleh para psikolog
Muslim terhadap teori

1). Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim Psychologists, (M.H.W.London Publishers, Lon
don, 1979) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, a.l. oleh Siti Zainab Luxfiati dengan
judul Dilema Psikolog Muslim (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986).

24
teori dan penerapan psikologi Barat yang hampir semuanya tidak
sesuai dengan ideologi dan lingkungan sosial-budaya Muslim.
la secara khusus mengecam keras Psikoanalisis dan Psikologi
Peri laku (Behaviorism), aliran-aliran yang dominan dewasa ini. Terhadap
Psikologi Perilaku kecaman diarahkan pada wawasan mengenai
manusia. yang dianggap sebagai makhluk hedonis yang memiliki motif
tunggal untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik dan lingkungan
sosial dengan sikap mementingkan ke-kini-dan-disini-an (here and now).
Kecaman Badri lainnya ditujukan terhadap corak reduksionistis yang
menganggap perilaku manusia yang sangat unik dan majemuk (termasuk
penghayatan/perilaku etis-religius) pada dasarnya bersumber semata
mata dari pengalaman menerima faktor-faktor penguat berupa
ganjaran dan hukuman.
Kecaman yang lebih keras ditujukan oleh Badri kepada
Psikoanalisis, antara lain terhadap konsep-konsep dasar Id-Ego-
Superego dan Oedi pus Complex yang dianggap lebih sebagai mitos
daripada sebagai hasil penelitian ilmiah. Kecaman juga ditujukan
terhadap pandangan Sigmund Freud mengenai fenomena keagamaan
sebagai ilusi, neurosis dan obsesi massal yang menghambat
perkembangan kecerdasan, serta anggapan bahwa relasi antara
manusia dengan Tuhan tidak lain sebagai sublimasi hubungan
antara anak dengan bapaknya. Pandangan hidup keyahudian yang
banyak melandasi teori Psikoanalisis tak luput dari kecaman Badri dan
asumsi-asumsi lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Selanjutnya Badri memberikan contoh salah-kaprahnya para
psiko log Muslim dalam hal menerapkan Psikologi Pendidikan, Psikometri,
Psikologi Anak dan psikoterapi di berbagai negara-negara Islam tanpa
menyesuaikannya dengan nilai-nilai budaya dan ideologi Islami.
Ternyata Badri tidak semata-mata mengecam psikologi
Barat, tetapi ia juga menghargai hal-hal positif dari psikologi Barat
yang dianggapnya sangat bermanfaat bagi kemajuan. Ia
berpandangan bahwa masyarakat Islam tidak mungkin mengisolasi
diri dari pengaruh budaya Barat, termasuk pengaruh-pengaruh yang
merugikan.
Oleh karena itu para cendekiawan Muslim justru perlu
memahami teori-teori (psikologi) yang bersumber dari Barat, tetapi hal itu
harus diajarkan secara kritis dengan mengupasnya dari sudut
pandang ilmiah dan Islami. Tidak jarang aspek-aspek yang benar dan dapat
dipercaya dari pandangan ilmiah Barat ternyata dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan baru, bahkan dapat ditemukan dasar-
dasarnya dalam ajaran Islam, atau telah pernah diungkapkan pula oleh
para pemikir Islam ter dahulu dan para pemikir Islam sekarang. Sebagai
contoh pandangan Psikoanalisis tentang pentingnya ungkapan kasih
sayang, kehangatan, dan sikap permisif terhadap perkembangan
kepribadian anak-anak sesungguhnya telah diteladankan oleh Rasulullah
SAW sendiri.
Selain itu metodologi ilmiah, sistem dan metode-metode
observasi, eksperimen, serta teknik-teknik pengukuran (inteligensi,
sikap, gangguan perilaku) merupakan produk ilmiah Barat yang perlu
dikuasai untuk
kemajuan negara-negara berkembang. Demikian pula sistem pendidikan yang
dilandasi oleh teori belajar, dan bermacam-macam teknik terapi telah terbukti
sangat bermanfaat. Badri pun sangat menghargai beberapa aliran psikologi Barat
seperti Psikologi Analitik Carl Gustav Jung yang memandang positif fungsi
agama. Badri menganjurkan para psikolog Muslim untuk mempelajarinya, antara
lain terhadap aliran psikologi Hu manistik yang sangat menghargai keunikan pribadi,
penghayatan subyek tif, kebebasan, tanggungjawab, dan kemampuan mengaktualisasi
diri. Bahkan Logoterapi, suatu ragam psikologi Humanistik yang ditemukan oleh
seorang neuropsikiater Yahudi-Austria yang bernama Viktor E. Frankl
mendapat pujian tinggi dari Badri sebagai suatu pendekatan psiko
logis yang optimis dan banyak kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip
al-Qur'an tentang manusia. Badri mengakhiri bukunya dengan
menyaran kan agar dilakukan pendekatan simpatik kepada para psikolog
Muslim yang masih terpukau oleh teori-teori psikologi Barat yang tak-
islami untuk mulai membuka mata terhadap kebenaran prinsip-prinsip
Islam mengenai manusia.
DILEMA PSIKOLOG MUSLIM
Apakah artinya “dilema dan apakah pula yang dimaksud
dengan “dilema psikolog Muslim"? Dilema adalah situasi sulit yang
mengharus kan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang
sama-sa ma tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan. Dalam
pengertian sehari-hari situasi dilematis sering disamakan dengan
peribahasa “Bagai kan makan buah simalakama : dimakan mati bapak, tak
dimakan mati emak”.3) Pengertian "dilema" seperti itu dalam psikologi
identik dengan salah satu jenis konflik yang dikenal sebagai
Avoidance - Avoidance conflict.
Tetapi bila kita telaah tulisan Badri dan kita hubungkan dengan
situasi dunia psikologi sekarang, maka "dilema psikolog muslim"
dapat digambarkan sebagai sengketa batin yang dialami para psikolog
Mus lim karena di satu pihak menyadari bahwa psikologi yang
mereka tekuni selama ini telah mempunyai posisi yang teguh
sebagai sains walaupun isinya banyak yang tidak Islami,
sedangkan di lain pihak mereka meya kini bahwa al-Qur'an (dan al-
Hadits) banyak sekali mengandung prinsip psikologi yang benar dan
mantap tetapi dalam kenyataannya Psikologi Islami sendiri belum
mewujud! Tanpa bermaksud menyederajatkan psi

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, cet. 2. 3). John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris - Indonesia,
PT Gramedia Jakarta, 1989,
cet. 18. Libat juga Kamus Internasional, karya Osman Raliby, C.V. Bulan Bintang,
Djakarta, 1956. 4). Avoidance - Avoidance conflict terjadi bila kita pada saat yang sama
harus memilih
satu di antara dua pilihan yang bobotnya setara dan sama-sama tidak kita inginkan.
26
kologi dengan agama, ini berarti bahwa keduanya sama-sama mengan
dung kekuatan dan kelemahan dilihat dari sudut metodologi
keilmuan. Psikologi sudah mantap sebagai sains tetapi teori-
teorinya banyak yang tidak benar menurut tolok ukur Islam,
sedangkan al-Qur'an (dan al Hadits) isinya mahabenar tetapi
kebanyakan belum terumus sesuai syarat keilmuan.
Dengan demikian dilema psikolog muslim seperti
digambarkan di atas bukan merupakan Avoidance - Avoidance conflict,
melainkan tergo long pada sengketa Double Approach-Avoidance
conflict. Gejala seng keta tak bisa dihindari dari kehidupan, dan
tidak selalu menimbulkan dampak negatif; bahkan sebaliknya
dapat lebih memantapkan kedewa saan pribadi selama dapat
diatasi secara tepat.
Menghadapi situasi konflik serupa itu biasanya para
psikolog muslim akan mengembangkan 5 (lima) pola sikap,
yaitu apatik, fanatik, seku laristik, antagonik dan idealistik.)
Mengenai pola sikap yang terakhir ini, -yang mungkin
akan dianggap sebagai impian seorang idealis yang
samasekali tidak pragmatis-, menurut penulis di dalamnya
terkandung suatu tantangan dan sekaligus peluang.
Tantangan untuk menghilangkan dilema psikolog muslim dan
tantangan untuk melakukan proses Islamisasi psikologi, serta
peluang untuk menjelmakan Psikologi Islami !

TANTANGAN-TANTANGAN ISLAMISASI
PSIKOLOGI
Sesuai dengan semangat Islamisasi sains yang mendambakan
sains yang dilandasi nilai-nilai Islami, maka yang dimaksud dengan
Islamisasi psikologi dalam tulisan ini adalah menjadikan wawasan Islam
mengenai manusia sebagai landasan filsafat untuk psikologi. Ini
bukan berarti menghapus atau menganggap salah sama sekali wawasan-
wawasan, teori-teori, sistem, metoda dan teknik-teknik pendekatan yang
sudah ada dan berkembang di lingkungan psikologi dewasa ini,
melainkan bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan
memberi kerangka acuan bagi konsep-konsep yang sudah ada. Untuk
itu perlu dilakukan telaah-banding antara wawasan Islami mengenai
manusia dengan berbagai wawasan psikologi, kemudian dilakukan
reorientasi-falsafi dan penyesuaian dari wawasan-wawasan
psikologi kepada wawasan islami.
Islamisasi psikologi dilandasi oleh keyakinan bahwa
kebenaran kebenaran hakiki terungkap secara verbal dalam
Firman-firman-Nya

5). Double Approach - Avoidance conflict terjadi bila kita pada saat yang sama barus
memilih satu diantara dua pilihan yang masing-masing memiliki sekaligus hal-hal
yang kita inginkan dan hal-hal yang tidak kita inginkan. Penjelasan tentng lima pola
sikap ini dapat dilihat pada tulisan Muslimisasi Psikolog: Menuju Psikologi Islami, bagian
pertama buku ini, hal. 42-45.

27
(al-Qur'an) dan tersirat dalam Sunatullah (Hukum Alam),
termasuk Suna tullah yang bekerja pada diri manusia sendiri.
Usaha Islamisasi psikologi pasti akan mendapatkan tantangan-
tan tangan antara lain sebagai berikut :
Pertama, tantangan bagi para psikolog dan para calon
psikolog Muslim untuk melakukan telaah yang serius mengenai asas-asas psikologi
yang terkandung dalam al-Qur'an (dan al-Hadits). Ini menuntut kerjasama antara
psikolog dengan para ahli agama, karena dalam kenyataannya jarang sekali
psikolog yang menguasai sepenuhnya pengetahuan agama, dan
sebaliknya jarang pula ahli agama yang benar-benar memahami
psikologi.
Kedua, tantangan dari para psikolog muslim sendiri yang tak ber
sedia menempatkan wahyu di atas akal, dalam artian tidak mau menjadi
kan al-Qur'an (dan al-Hadits) sebagai rujukan utama dan tolok ukur
kebenaran-ilmiah psikologi. Tantangan kedua ini diduga merupakan
tantangan yang akan sering dihadapi dan yang paling sulit diatasi, karena
menyangkut kesediaan seorang psikolog Muslim untuk meningkatkan
komitmen dengan nilai-nilai Islami.
Sudah pasti Islamisasi psikologi ini bukan merupakan tugas yang
ringan dan mudah, melainkan merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan
berat. Dituntut kerjasama antara para psikolog Muslim dan calon psikolog
Muslim sendiri yang sama-sama menyadari perlunya mewu judkan
sebuah corak psikologi yang menyelamatkan: Psikologi Islami!

PSIKOLOGI ISLAMI : Impian atau


Peluang?
Sebagai gagasan awal yang masih abstrak Psikologi
Islami membe rikan peluang yang sangat luas untuk ditinjau dari
berbagai sudut-pan dang yang akan menghasilkan beraneka ragam definisi.
Untuk sementara dalam makalah ini Psikologi Islami dirumuskan secara
sederhana dan sangat umum sebagai berikut :
Psikologi Islami adalah corak psikologi yang dilandasi oleh
filsafat manusia menurut al-Qur'an.
Perumusan di atas secara khusus menunjuk kepada
filsafat/wawasan mengenai manusia menurut al-Qur'an (dan al-Hadits),
aliran, teori, dan sistem psikologi senantiasa mengakar
karena setiap
pada sebuah

7). Sunnatullah diartikan sebagai ketetapan Nahi yang berlaku bagi


seluruh ciptaanNya,
termasuk diri manusia. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ?" (S. Fushshilat ayat 53). Sunnatullah ini di
lingkungan ilmu pengetahuan disebut Hukum Alam. (Dan di lingkungan ilmuwan Muslim
seharusnya disebut Hukum Allah !
0

28

pandangan filsafat mengenai manusia. Sekalipun pendekatan empiris induktif


pasti pada taraf tertentu akan sampai pula pada pertanyaan filosofis
"apakah manusia itu".
Tentang bagaimana wawasan Islami mengenai manusia,
bagian kedua buku ini akan mencoba merumuskannya.
Wawasan Islami mengenai manusia kiranya dapat dipakai
sebagai kerangka acuan untuk menerangkan perilaku manusia
secara Psikologi Islami.
Walaupun Psikologi Islami sejauh ini belum mewujud secara
jelas, tetapi tampaknya menunjukkan beberapa karakteristik sebagai
berikut:
1. Manusia secara fitriah adalah baik. 2. Eksistensi manusia masih
berlangsung setelah kematian. 3. Dimensi ruhaniah merupakan salah satu
dari totalitas manusia
di samping dimensi-dimensi organo-biologi, mental
psikis, dan
sosio-kultural yang mempengaruhi perilaku. 4. Dinamika kehidupan
manusia berlangsung sekitar interaksi
dengan sesamanya, pengembangan pribadi, memanfaatkan alam
sekitarnya, dan berbakti kepada Tuhan. Tinjauan mengenai
perilaku manusia berdasarkan kerangka acuan al-Qur'an (dan
al-Hadits). Ditemukan teori-teori psikologi baru yang
bersumber dari al
Qur'an (dan al-Hadits). 7. Dilakukan telaah-banding antara
pandangan-pandangan para
pemikir Islam mengenai manusia dengan pandangan-pandang
an teoritis dan temuan-temuan empiris psikologi. 8. Terjadi
kerjasama antara psikolog dengan ahli agama dalam
mengembangkan Psikologi Islami. 9. Tokoh identifikasi yang
paling sempurna bagi perkembangan
kepribadian manusia adalah pribadi Nabi Muhammad SAW. Orientasi
filosofis dan asumsi-asumsi dasar Islami yang melandasi Psikologi
Islami sama sekali tidak menjadikan corak psikologi ini eksklusif dan
kehilangan nilai “internasional”-nya, karena kita yakin bahwa asas asas
psikologi yang diungkapkan al-Qur'an adalah mahabenar, abadi
dan universal.

PERAN SERTA CALON-CALON PSIKOLOG


MUSLIM
Calon-calon psikolog Muslim yang pemikirannya masih murni,
terbu ka, dan idealis dapat memberikan andil besar dalam proses
Islamisasi psikologi. Berbagai usaha dapat dilakukan, antara lain
membentuk ke lompok studi, dengan berbagai kegiatan seperti
1. Memilih dan mengelompokkan ayat-ayat al-Qur'an
mengenai
manusia. 2. Melakukan telaah kepustakaan yang membahas
hubungan
antara agama dengan psikologi.
29

3. Diskusi dengan para psikolog dan para ahli agama yang sama
sama berminat dalam psikologi Islami. 4. Melakukan telaah terhadap
berbagai asas dan asumsi dasar
berbagai aliran/teori psikologi, dan meninjaunya dari pandangan
Islam. 5. Mempublikasikan hasil-hasil
diskusi.
Sejarah sering mencatat kegiatan-kegiatan yang dilakukan
suatu kelompok studi merupakan awal dari perkembangan suatu cabang
ilmu pengetahuan. Dengan demikian kelompok studi psikologi dan
agama memiliki peluang besar untuk berperanserta dalam Islamisasi
psikologi
guna turut menjelmakan Psikologi Islami.
Pemimpikah orang yang mendambakan Psikologi Islami?
Mungkin, tapi tak jarang sebuah mimpi menjadi kenyataan !!
30

Islamisasi Sains dengan Psikologi Sebagai


Ilustrasi

SEJAK penghujung awal abad 14 Hijrah pemikiran-pemikiran


me ngenai Islamisasi sains telah berkembang di kalangan cendekiawan
Muslim. Hal ini mungkin sejalan dengan makin disa darinya ketimpangan
ketimpangan yang merugikan akibat terpisah dan terkotak-
kotaknya sains dengan agama, antara lain berupa perkembangan Ilmu dan
Tek nologi yang makin lama makin canggih, tetapi ternyata makin meninggal kan
nilai-nilai etis dan agamis. Sebaliknya agama yang tidak mendukung
dukungan ilmu dan teknologi disinyalir makin tidak laku” di
lingkungan masyarakat maju yang “ilmiah minded”.
! Pemikian-pemikiran mengenai "Islamisasi pengetahuan" (Ismail
Raji al Faruqi), “dewesternisasi pengetahuan" (Naquib al-Attas), dan
gerakan gerakan seperti “AMSS” (Assosiation of Muslim Social Scientist)
di Amerika Serikat merupakan gambaran dari keinginan untuk memberi
warna agamis pada sains.” Di kalangan psikolog Muslim pemikiran dan
gerakan gerakan serupa itu mulai bersemi, antara lain terungkap dalam tulisan
Malik M. Badri “The Dilemma of Muslim Psychology", Al Qur'an dan Il mu
Jiwa" dari Utsman Najati, dan gerakan “The Islamic Psychology'nya Rasyid
Hamid.2) Walaupun pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan tersebut sejauh
ini masih terkesan sporadis dan belum padu, tetapi pa da awal Kurun 15 Hijriah
tampaknya Islamisasi sains telah menjadi tema sentral yang “trendy" di
kalangan cendekiawan Muslim.
Apakah yang dimaksud dengan “Islamisasi sains” sampai
saat ini tampaknya benar-benar masih merupakan gagasan mendasar yang
masih berkembang dan mungkin saja masih kontroversial di antara pandangan
yang satu dengan yang lainnya, serta masih memerlukan waktu
yang cukup lama untuk mewujudkan "sains yang Islami”.
Sehubungan dengan

1). Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Pustaka, Bandung 1981, Syed Muhammad
al -Naquib al Attas, Islam dan Sekuralisme; Pustaka, Bandung 1981. 2). Malik B. Badri,
The Dilemma of Muslim psychologists, MHW London Publishers, Lon
don, 1979. M. Utsman Najati, al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, terjemahan A. Rofii Usman Pustaka,
Bandung 1985. Rasyid Hamid, Mandate of Muslim Mental Health Professionals, an islamic
psychology, dalam Islam and Psychology. Lihat juga tulisan-tulisan Zakiah Daradjat
mengenai Islam dan Kesehatan Mental.

31
itu dengan sendirinya masih banyak peluang untuk
memikirkan konsep dan gambaran mengenai “Islamisasi sains”
diartikan sebagai upaya untuk menghubungkan kembali sains dengan
agama, yang berarti menghu bungkan kembali sains dengan al-
Qur'an yang keduanya pada hakikat nya merupakan Ayat-ayat
Tuhan. Terlepas dari disadari tidaknya tujuan Islamisasi sains,
usaha-usaha menghubungkan sains dengan agama (Is lam)
sebenarnya telah lama dilakukan para ahli dalam tulisan-tulisan mereka
dalam pola hubungan yang beragam.
Sejauh pengamatan penulis ada beberapa bentuk pola
pemikiran "Islamisasi sains" mulai dari bentuk yang paling superfisial
sampai dengan bentuk yang agak mendasar, yang penulis istilahkan
sebagai berikut:
1. Similarisasi 2.
Paralelisasi 3.
Komplementasi 4. Komparasi
5. Induktifikasi 6.
Verifikasi
Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep
sains dengan konsep-konsep yang berasal dari agama, padahal belum
tentu sama. Misalnya menganggap bahwa Ruh sama dengan Jiwa,
atau al Nafs al- Amarah, Nafs al-Lawwamah, dan al-Nafs al-Muthmainah
dari al Qur'an dianggap identik dengan konsep-konsep Id, Ego, dan
Suprego dari psikologi, atau menyamakan Superego dengan Qalbu.
Penyamaan serupa ini sebenarnya lebih cepat disebut similarisasi semu,
yang dapat mengakibatkan biasnya sains dan direduksinya agama ke taraf
sains.'
Paralelisasi, yaitu menganggap paralel konsep yang
berasal dari al-Qur'an dengan konsep yang berasal dari sains karena
kemiripan kono tasinya, tanpa menyamakan (mengidentikkan) keduanya.
Misalnya meng anggap Perang Dunia III sejalan dengan kiamat, atau
menjelaskan perjala nan Isra' & Mi'raj paralel dengan perjalanan ke
ruang angkasa dengan menggunakan rumus fisika S = v.t (Jarak =
Kecepatan x Waktu), di mana faktor kecepatannya = tak-hingga.
Paralelisasi sering dipergunakan sebagai penjelasan ilmiah (scientific
explanation) atas kebenaran ayat ayat al-Qur'an dalam rangka
menyebarkan syi'ar Islam kepada kelompok masyarakat terpelajar. 3)
Komplementasi, yaitu antara sains dengan agama saling mengisi,
dan saling memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan
eksistensi masing-masing. Misalnya manfaat puasa Ramadhan
(untuk kesehatan) dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietary dari
Ilmu Kedok teran. Atau kebijakan Keluarga Berencana didukung oleh
ayat-ayat al

3). Lihat buku-buku karya S.S. Kadirun Yahya, mengenai Agama, Metafisika, dan Ilmu
Eksakta, yang diterbitkan oleh Universitas Pembangunan Panbudi, Medan.
Qur'an dan al-Hadits Nabi. Dalam hal ini tampaknya terjadi saling
meng absahkan/justifikasi antara sains dengan agama."
Komparasi, yaitu membandingkan konsep/teori sains dengan kon
sep/wawasan agama mengenai gejala-gejala yang sama. Misalnya teori
motivasi dari psikologi dibandingkan dengan konsep motivasi yang
dijabarkan dari ayat-ayat al-Qur'an.”
Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari teori-teori
ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan
pemikirannya secara teoritis-abstrak ke arah pemikiran metafisik/gaib,
kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dan al-Qur'an
mengenai hal tersebut. Teori mengenai adanya “Sumber gerak yang tak
bergerak” dari Aristoteles misalnya merupakan contoh dari proses induktifikasi
dari pemikiran sains ke pemikiran agamis. Contoh lainnya adalah adanya
keteraturan dan keseimbangan yang sangat menakjubkan di dalam alam
semesta ini menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar yang
mengatur!
Verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang
menunjang dan membuktikan kebenaran-kebenaran (ayat-ayat) al
Qur'an. Misalnya penelitian mengenai potensi madu sebagai obat
yang dihubungkan dengan Surat An Nahl ayat 69 dan Hadits
“Lazimkanlah memakai dua macam obat yaitu al-Qur'an dan Madu”
(HR. Ibnu Majah). Atau penelitian mengenai efek pengalaman
Dzikrullah terhadap kete nangan perasaan sesuai dengan Surat Ar
Ra'ad:28.
Keenam pola pemikiran tersebut harus dihargai sebagai upaya
Islamisasi sains, walaupun masih saja tetap terasa adanya jurang
pemisah antara keduanya. Agama yang pada dasarnya bersumber dari
keimanan/ wahyu yang bercorak metafisik tidak begitu saja dapat
dihubungkan dengan sains yang lebih bercorak empirik dan
merupakan produk akal dan intelektual manusia. Terasa ada semacam
"missing link”antara ke duanya, yang harus dicari sebagai bentuk lain yang
lebih mendasar dalam proses Islamisasi sains. Menurut penulis "the
missing link” yang dapat menghubungkan sains dengan agama harus
lebih bercorak falsafi/ metafisis serta didukung oleh sikap Islami dari para
cendekiawan Mus lim sendiri mengenai status sains terhadap agama.
Pola pemikiran yang diajukan ini untuk sementara penulis sebut sebagai
Fondasi Falsafi & Sikap Islami, yang artinya memberikan landasan
filsafat yang bercorak Islami kepada sains yang didukung oleh kesetujuan
para ilmuwan sendiri untuk percaya dan mengakui bahwa al-Qur'an
sebagai firman Allah yang tertulis mengandung di dalamnya kebenaran-
paripurna (the ultima

4). Lihat buku-buku karya Zakiah Daradjat mengenai Islam dan Kesehatan Jiwa, yang
diterbitkan penerbit "Bulan Bintang" Jakarta. 5). Lihat a.l. al-Qur'an dan Ilmu Jiwa karya M.
'Utsman Najati. 6). Effa Naila Hady, Penghayatan Ketenangan dalam Berdzikir, sikripsi sarjana,
Fakultas
Psikologi UI, Jakarta , 1982. Ratna Djuwita, Pengaruh Dzikir yang Didahului Sembah yang terhadap
Relaksasi, skripsi sarjana, Fakultas Psikologi UI, 1983. Arif Wibisono, Hubungan shalat dengan
kecemasan, Studia, Solo, 1988.

33
te truth) yang senantiasa dicari sepanjang masa oleh sains. Dengan de mikian selain
meletakkan fondasi falsafat Islami (the islamic philosophi cal foundation) untuk
sains, Islamisasi sains memerlukan pula sikap Islami (the islamic attitude) dari
ilmuwan sendiri. Adapun secara ope rasional pola pemikiran ini bekerja kira-kira
sebagai berikut: Ayat-ayat al-Qur'an (dan Hadits) mengenai suatu masalah tertentu
(alam, manusia, sosial, budaya, dan sebagainya) dikumpulkan dan
diintegrasikan sede mikian rupa sehingga kita mendapatkan wawasan mengenai
masalah itu, kemudian disarikan menjadi filsafat Islami mengenai masalah
tersebut. Di lain pihak filsafat dari sains tertentu (filsafat alam, filsafat
anthropologi, filsafat sosial, filsafat budaya, dan sebagainya) yang ber
anekaragam itu dihubungkan dengan filsafat Islami mengenai bidang yang
sama. Dalam hal ini mungkin saja keduanya sesuai, sejalan, dan sinkron,
tetapi mungkin pula tak sesuai, tak sejalan, tak sinkron, bahkan
bertentangan. Menghadapi situasi pertentangan inilah perlunya sikap rendah hati
yang Islami dari para cendekiawan Muslim sendiri, yakni bersedia untuk
menempatkan Agama (cq. al-Qur'an) di atas sains dengan keyakinan
bahwa al-Qur'an adalah Kebenaran Yang Mutlak yang harus menjadi
landasan, pengarah, dan penyempurna, serta sumber ilham
yang tak habis-habisnya bagi Sains. Sikap Islami lainnya adalah
keyakinan bahwa Sains merupakan upaya manusia untuk membuka rahasia
Sunnatullah dengan tujuan menemukan kebenaran melalui akal budi dan
keimanan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan kesa daran
bahwa kebenaran yang ditemukan oleh sains bukanlah kebenaran-paripurna.
Kebenaran-paripurna terkandung dalam al-Qur'an!

PSIKOLOGI : Sebuah Gambaran Umum


Sebagai salah satu disiplin ilmu yang mempelajari manusia yang bersifat
multikompleks dan memungkinkan sudut pandang serta pen dekatan yang
berbeda-beda, tidaklah mengherankan bila definisi menge nai psikologi
sangat beranekaragam. Merujuk kepada etimologinya, - psyche = jiwa,
rohani; logos = sains-, maka semula psikologi sering diartikan sebagai ilmu
pengetahuan mengenai jiwa manusia. Tetapi jiwa sebagai sasaran telaah
dianggap terlalu abstrak dan tak mungkin diteliti secara utuh, maka psikologi
membatasi diri untuk hanya mempelajari gejala-gejala kejiwaan, khususnya
kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan. Kemudian untuk lebih
mendapatkan kejelasan sasaran telaah, metodologi dan efektivitas teknik-
teknik pendekatannya, maka psikologi modern menyatakan diri sebagai sains
yang mempelajari perilaku manusia, dengan asumsi bahwa perilaku
merupakan ungkapan dan cerminan dari kondisi, proses, dan fungsi-fungsi
kejiwaan. Ditetapkan nya perilaku sebagai sasaran telaah psikologi
modern di satu pihak makin menegaskan posisi psikologi sebagai
disiplin ilmu dengan sasaran telaah serta metode pendekatan dan teknik-
teknik penerapan yang lebih terarah. Tetapi di lain pihak penekanan yang
berlebihan pada perilaku

34
yang semata-mata teramati dengan metodologinya yang makin kuan titatif-
matematis menyebabkan psikologi makin lama makin tak-insani dan manusia
yang digambarkannya pun seakan-akan dihilangkan "ruh" nya, seperti
disindir oleh Badri sebagai “ a psychology without soul study
ing a man without soul'. 7)
Walaupun demikian psikologi sebagai disiplin sains telah benar benar
memenuhi tolok ukur ilmu pengetahuan pada umumnya:
: ".. - adanya batasan tentang sasaran studi (sebagaimana
dirumuskan dalam definisinya sebagai disiplin);
- dan atas dasar itu menetapkan konsep-konsep dasar
dengan ruang lingkup yang relatif jelas;
- atas dasar nama terbuka kemungkinan untuk menyusun
teori teori dan kaidah-kaidah (dalil, hukum, dsb);
- serta memiliki cara (metode) serta alat (teknik) dalam
penerapan nya;
- dan kesemuanya itu bersifat terbuka (publik), dapat
diajarkan dan dipelajari". 8)
Selain posisinya yang makin teguh dan diakui dalam dunia
sains, sumbangsih psikologi terhadap masyarakat telah sejak lama
dirasakan manfaatnya. Ini antara lain terlihat dari makin berkembangnya ragam
psikologi-terapan, seperti psikologi Klinis, Psikologi Sosial, Psikologi
Perkembangan, Psikologi Industri, Psikologi Olahraga, Psikologi
Agama, Psikologi Kemiliteran, dan sebagainya.
Dilihat dari kesejarahan, pemikiran-pemikiran mengenai jiwa manu sia
sebenarnya telah diungkapkan lama sekali oleh para cendekiawan, bahkan
kitab-kitab suci (khususnya al-Qur'an) sarat dengan asas-asas psikologi. Tetapi
sebagai sains modern Psikologi dianggap baru muncul ilmu pengetahuan setelah
Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi di Universitas Leipizig sekitar
seabad yang lalu. Setelah itu psikologi makin pesat berkembang metodologi dan
teknik-tekniknya, serta berbagai alirannya seperti aliran-aliran
Structuralism, Associatio nism, Psychoanalysis, Functionalism, Gestalt
Theory, Behaviorism, dan Humanistic Psychology.

Model-Model Manusia dalam Psikologi


Setiap aliran, teori, sistem, metoda, dan teknik-teknik psikologi
pada umumnya dilandasi dan diwarnai oleh “Model of Man", yakni
wawasan mengenai manusia yang dikembangkan oleh masing-masing
aliran psikologi. Dewasa ini di dunia psikologi dianut bermacam-macam
model manusia, yakni MODEL BIOLOGIK yang dominan dalam Ilmu Kedokteran

7). Malik B. Badri, b. 5. 8). Fuad Hassan, Psikologi & Gejala Paranormal, Majalah Psikologi
Populer ANDA, Agustus
1985, No. 105, b. 75.

35
yang tampaknya akhir-akhir ini makin “laku" di lingkungan psikologi,
MODEL PSIKOSOSIAL yang meliputi Model Psikoanalisis, Model Beha vioristik, Model
Humanistik, Model Eksistensial, dan Model Interpersonal.
Model-model tersebut mengandung kelemahan-dasar yang sama, yakni
cenderung hanya menitikberatkan konsepnya pada salah satu di mensi
manusia, yaitu dimensi ragawi, dimensi penghayatan pribadi, atau dimensi
sosio-kultural semata-mata. Menyadari ketimpangan ter sebut para ahli
psikologi dan psikiatri mengajukan sebuah model yang lebih komprehensif
yang bercorak “eklektik-holistik”, yakni keseluruhan yang terdiri dari tri-
unsur Organo-biologik, Psiko-edukatif, dan Sosio kultural yang saling
mempengaruhi.10) Hadirnya wawasan mengenai manusia yang bercorak
komprehensif serupa itu adalah sangat relevan, walaupun menurut penulis masih
mengenai satu dimensi terpenting dan paling menentukan dari manusia, yakni
Dimensi Spiritual (Ruhani) yang justru menjadi ciri khas insani dan yang
membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Memang tak disangkal ada juga
tokoh-tokoh psikologi dan psikiatri yang mengembangkan teori mengenai manusia
dengan mengikutsertakan dimensi spiritual. Viktor Frankl pendiri aliran Logoterapi
misalnya, menyebutkan tiga faktor yang menandai eksistensi manusia,
yakni spirituality (keruhanian), freedom (kebebasan), dan responsibility
(tanggung-jawab).11) Akan tetapi Frankl sendiri menegaskan bahwa istilah
spirituality yang dimaksud sama sekali tidak mengandung konotasi agamis, tetapi semata-mata
penghayatan maknawi manusia akibatadanya kemampuan transendensi
terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya. Demikian pula aliran
Psikologi Transpersonal yang dirintis oleh tokoh-tokoh psikologi
Humanistik (a.l. oleh mendiang Abraham Maslow) yang berusaha
mempelajari segi esoterik (ruhani) manusia ternyata kurang populer di
kalangan psikologi-masa kini yang cenderung makin praktis dan
menitikberatkan perhatian pada ungkapan ungkapan yang teramati. Kondisi
serupa ini benar-benar menimbulkan dilemma bagi para psikolog Muslim,
karena di satu pihak disadari banyak model dan aliran psikologi yang
“tak-Islami”, tetapi di lain pihak psikologi "yang Islami”, sendiri belum
mewujud! Oleh karena itu sepenuhnya dapat dipahami kalau Malik Badri
menulis buku yang berjudul The Dilemma of Muslim Psychologists. 12)

Wawasan Islami Mengenai Manusia


Salah satu peluang untuk memahami wawasan Islami
mengenai manusia adalah dengan mempelajari ayat-ayat al-Qur'an (dan
al-Hadits)

2). James C. Coleman, Abnormal Psychology and Modern life, D.B. Taraporevala Sors &
Co. Private ud., 1975. 10). Menjadi landasan kerja Direktorat Kesebatan Jiwa, Depkes
RI. 11). Viktor E. Frankl, The Doctor and the Soul, Penguin Books, Baltimore, 1973., bl. 16. 12). Malik B. Badri,
The Dilemma of Muslim Psychologists, MHW London. Diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Siti Zainab Luxfiati, dengan judul Dilema Psikolog Muslim,
diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, 1986.

36

yang berkaitan dengan riwayat Nabi Adam a.s., mengingat


bahwa dalam keyakinan Islam Nabi Adam a.s. adalah "cikal bakal umat manusia
yang menciptakan langsung oleh Kuasa dan Kehendak Ilahi, dan
dengan de mikian merupakan prototip manusia pada umumnya.
Adapun tema-tema utama dalam riwayat Nabi Adam a.s.
antara lain sebagai berikut:
- Firman Allah kepada para malaikat mengenai rencana akan
dijadikanNya Khalifah di bumi (S.2: 30) - Adam diciptakan
dari tanah (S.3. : 59; S. 15 : 28, 33; S.17 : 61;
S.38 : 71). Ditiupkan Ruhku (S.15:29; S.38 :72) Allah SWT
mengajarkan seluruh nama kepada Adam dan meng
ujikannya kepada para malaikat (S.2 : 31-32-33). - Para
malaikat bersujud kepada Adam a.s., kecuali iblis yang tidak
mau bersujud, (S.2:34; S.7: 11; 5.15 : 30-31; S.17 : 61; S.18 : 50; S.20 :
116; S.38 : 72-73-74). Alasan iblis menolak perintah Tuhan untuk
bersujud kepada Adam a.s. (S.7 : 12; S.15: 33; S.17 : 62; .38 : 76).
Iblis diusir dari Surga, ia memohon izin untuk senantiasa me
nyesatkan manusia (S.7 : 13 s/d 18; S.15 : 34 s/d 39; S.17 : 62; S.38: 79
s/d 82).
Adam a.s. dan isteri beliau tinggal dalam Surga (S.2: 35; 5.7:
19). - Adam a.s. ditipu syaitan (S.2. : 36; 5.7: 20 - 21-22; S.20: 120 -
121).
• Nabi Adam a.s. bertaubat kepada Allah SWT dan mendapatkan
ampunanNya (S.2. : 37; S.7: 23 - 24; S.20 : 122). - Nabi Adam
a.s. diperintahkan meninggalkan Surga dan tinggal
di dunia (S.2: 36, 38; S.7 : 24; S.20 : 123). - Dijanjikan
petunjukNya (S.2 : 38; S.20 : 122 s/d 124).
Telaah ayat-ayat mengenai Adam a.s. menunjukkan gambaran me
ngenai Islami mengenai manusia (The islamic concept of man) antara
lain sebagai berikut:
1. Manusia diakui mempunyai martabat yang sangat tinggi. Fung
sinya sebagai khalifah di bumi yang dipercaya memegang dan
melaksanakan amanah Tuhan menunjukkan betapa tingginya
maitabat itu. Wawasan Islami mengenai manusia tidak mengenal dosa-
asal atau dosa keturunan. Ini berarti bahwa setiap orang harus
bertanggungjawab sendiri atas perbuatannya. Selain itu manusia
dapat membersihkan dosa-dosa darinya dengan jalan bertaubat
kepada Tuhan.

37

5.
3. Manusia merupakan totalitas yang memiliki empat dimensi,
yakni: dimensi fisik-biologis, dimensi mental-psikis, dimensi
sosio-kultural, dan dimensi spiritual (ruhani). 4. Wawasan Islami
mengenai manusia mengakui manusia sebagai
makhluk yang berakal, memahami lambang (simbol), intelek
dan berilmu pengetahuan, serta memiliki kesadaran normatif.
Manusia memiliki kebebasan berkehendak (freedom of will) untuk
berusaha mengarahkan dirinya ke taraf keluhuran rohani atau ke
taraf dorongan-dorongan nafsu jasmaniah yang rendah. Dengan
sendirinya kebebasan ini tidak mutlak, tetapi dibatasi oleh
kondisinya sebagai makhluk, serta tetap dianut untuk
bertanggung atas apa yang dilakukannya. 6. Di samping
keunggulan-keunggulannya, manusia pun memiliki
kelemahan-kelemahan yang memungkinkan mereka terjerumus ke dalam
kesesatan. Manusia tidak dibiarkan hidup tanpa tuntunan dan
petunjuk Tuhan, kepada mereka diberikan harapan (hope) dan
dijanjikan keselamatan hidup di dunia dan akhirat bagi mereka
yang
mengikuti petunjuk-petunjukNya. Demikianlah antara lain
gambaran wawasan Islami mengenai ma nusia yang tersirat di balik riwayat
Nabi Adam a.s. 13)
Melengkapi wawasan Islami mengenai manusia berdasarkan riwayat
Nabi Adam a.s. Imam Al-Ghazali dalam bukunya yang termasyhur Ihya
Ulumuddin mengemukakan semacam struktur keruhanian manusia
yang terdiri atas empat aspek, yaitu kalbu, ruh, nafsu dan akal.
Konsep Al Ghazali tersebut sejauh ini hanya menjadi ajang telaah dan
olahan para ahli Sufi. Mungkin suatu saat nanti konsep tersebut
“tersentuh" oleh Psikologi Islami.
7.

Islamisasi Psikologi : Mungkinkah ?


Sejalan dengan pola pemikiran Fondasi falsafi. & Sikap Islami
yang penulis ajukan sebagai salah satu bentuk usaha ke arah Islamisasi
sains, maka yang dimaksud dengan “Islamisasi psikologi" dalam
makalah ini adalah memberikan landasan filsafat kepada psikologi
berupa wawasan Islami mengenai manusia.
Ini bukan berarti menghapus, atau menganggap salah sama sekali
wawasan-wawasan, teori, sistem, metodologi, teknik-teknik pendekatan yang
sudah ada dan berkembang di lingkungan psikologi dewasa ini, melainkan
bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan mela kukan penafsiran
baru serta memberikan pandangan integral terhadap konsep-konsep yang
sudah ada. Untuk itu perlu dilakukan telaah ban

13). Hanna Djumbana Bastaman, Di Balik Riwayat Nabi Adam a.s. Sebuah Wawasan
Islami Mengenai Manusia. Dalam Majalah KALAM No. 6 Vol 1994, hal. 10-22.

38
ding antara wawasan-wawasan Islami dengan wawasan-wawasan psi
kologi mengenai manusia, dicari persamaan dan perbedaannya serta
komplementasinya, kemudian dilakukan reorientasi-falsafi dari wawasan psikologi
kepada wawasan Islami mengenai manusia.
Di sinilah perlunya mengembangkan sikap kesetujuan psikolog Mus lim untuk
mau menjadikan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai rujukan utama untuk
mendapatkan patokan kebenaran ilmiah psikologi. Hal lain yang perlu
dikembangkan adalah kesadaran bahwa psikologi merupakan ilmu untuk
membuka rahasia Sunnatullah yang bekerja pada diri manusia sendiri (S.
Fushilat : 53) dengan terutama menggunakan akal budi dan metodologi
yang dianggap tepat. Dengan demikian wawasan, teori, konsep,
motode, dan hasil-hasil kajian pasti mengandung kebenaran,
walaupun bukan suatu kebenaran yang mutlak dan paripurna. Untuk
mendekati kebenaran inilah perlunya sains dilandasi nilai-nilai Agama:
Islamisasi psikologi. Sudah pasti usaha Islamisasi psikologi ini bukan
merupakan upaya yang ringan, melainkan hal yan sangat berat untuk
dilakukan. Sebagai contoh: Kita mengetahui bahwa asas tbeosentrisme dan dimensi
ruh merupakan unsur-unsur utama dalam wawasan Islami mengenai manusia yang
akan mengubah wajah psikologi sekuler menjadi wajah psikologi Islami.
Masalahnya bagaimana meletakkan asas teosentris pada wawasan
psikologi yang pada umumnya berorientasi antropo sentris? Atau apakah
yang harus dilakukan agar dimensi ruh yang diyakini ada dalam diri
manusia dapat diterima sebagai salah satu dimensi insani selain dimensi
ragawi, kejiwaan, sosio-kultural? 14)
Mengembangkan suatu aliran dalam dunia sains adalah suatu
peker jaan yang sulit dan memerlukan waktu yang lama pula, akan tetapi bu
kan hal yang mustahil. Khusus bagi psikologi, bukankah al-Qur'an dan al-
Hadits Rasul sarat dengan prinsip-prinsip yang mapan mengenai manu
sia? Bukankah para pemikir Islam seperti Ibnu Sina telah memikirkan dan
mengembangkan pandangan-pandangannya sejak dahulu mengenai kejiwaan
manusia? Bukankah Al-Ghazali pun telah mengemukakannya pula? Kemudian
masalah ruh yang dianggap metafisis dan misterius itu bukankah menjadi
kajian dan olahan sehari-hari ahli Tasauf/Sufi Islam sejak dahulu
sampai saat ini? Suatu psikologi yang berwawasan Islami, -psikologi
Islami-, bukan sesuatu hal yang mustahil hadir di lingkungan
psikologi moderen!!15) .

14). Theo = Tuhan; sentris = pusat. Theosentris adalah pandangan yang


mengakui bahwa
Tuhan inerupakan pusat dan asal seluruh ciptaanNya. Anthropos = manusia; sentris = pusat.
Antroposentris adalah pandangan yang menundukkan manusia sebagai pusat segala
pengalamannya dan manusialah yang
menentukan semua peristiwa. 15). Hanna Djuumbana Bastman, Psikologi dan Agama,
dengan Logoterapi sebagai Fokus
Telaah, Yayasan Wakaf Paramadina, Serie KKA 24/Tahun II/1988.

39

Muslimisasi Psikolog:
Menuju Psikologi Islami

UNTUK mengembangkan dan mewujudkan psikologi Islami,


maka setidak-tidaknya kita memerlukan dua upaya.
Pertama, menetapkan wawasan manusia menurut al-Qur'an (dan al-Hadits)
sebagai landasan filosofis psikologi Islami: Dalam hal ini wawasan-wawasan
lain mengenai manusia disinkronkan dengan wawasan Islami itu. Usaha semacam ini
dapat kita sebut sebagai kegiatan Islamisasi psikologi.
Kedua, meningkatkan komitmen para psikolog Muslim terhadap
nilai-nilai Islam. Ini harus didasari oleh sikap rendah hati untuk me nempatkan
petunjuk-petunjuk wahyu di atas akal fikiran mereka, dan kesetujuan untuk
menjadikan al-Qur'an (dan al-Hadits) sebagai rujukan utama psikologi.
Kegiatan ini dapat dikatakan sebagai Muslimisasi psikolog.
Kedua hal tersebut saling menunjang dan tak mungkin dipisahkan
dalam usaha mengembangkan psikologi Islami. Pada bagian ini kita akan
menelaah lebih jauh bagaimana sikap psikolog Muslim terhadap gagasan
psikologi Islami dan kemungkinan melakukan Muslimisasi psikolog

Lima Sikap Psikolog Muslim


Islamisasi psikologi tidak mungkin dapat terlaksana tanpa
disertai Muslimisasi psikolog. Yang dimaksud dengan “Muslimisasi
psikolog" di sini bukan beraiti memuslimkan psikolog yang sudah Muslim,
melainkan meningkatkan komitmen para psikolog Muslim terhadap
nilai-nilai Is lam. Secara lebih operasional Muslimisasi psikolog
merupakan upaya untuk meyakinkan para psikolog Muslim agar bersedia
menempatkan petunjuk-petunjuk wahyu di atas akal fikiran mereka,
sehingga bersedia pula menjadikan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai rujukan
utama dan tolok ukur kebenaran ilmiah psikologi. Upaya ini tidak mudah,
karena di kalangan psikolog Muslim sendiri terdapat bermacam-
macam sikap terhadap Islamisasi psikologi: ada yang antusias, dan
ada pula yang skeptis.

40

Penulis mengamati sekurang-kurangnya ada lima ragam sikap


para psikolog Muslim terhadap gagasan Islamisasi psikologi.!)
Pertama, apatik, yaitu acuh tak acuh dan tak ada minat
membica rakan hubungan antara agama dengan psikologi. Lebih-lebih
terhadap gagasan Islamisasi psikologi, mereka sama sekali tidak tertarik.
Sikap yang tidak bermotivasi (unmotivated) dan diwarnai oleh rasa puas
diri ini tampaknya telah menutup pemikiran terhadap kenyataan
betapa rapuhnya landasan filsafat psikologi masa kini, dan betapa
perlunya psikologi mendapatkan landasan baru berupa filsafat-manusia yang
lebih mantap guna menghadapi problema kemanusiaan yang makin
majemuk dan sulit. Dan dalam hal ini al-Qur'an benar-benar mampu
memenuhi kebutuhan tersebut!
Kedua, fanatik, yaitu berpendapat bahwa agama telah mencukupi segala-
galanya dalam kehidupan manusia. Sains pun sudah tercakup dalam
Agama, karena sains adalah Sunatullah. Gagasan Islamisasi sains (dan
Islamisasi psikologi), dengan demikian tak perlu dilakukan, karena Sains
pada dasarnya "sudah Islam". Mereka berpendapat bahwa yang perlu
"dimuslimkan" adalah ilmuwannya dan bukan ilmunya. Mereka yang
mempunyai sikap demikian melupakan bahwa sains adalah proses
mengungkapkan kemahabenaran sunatullah dengan akal manusia
yang
serba terbatas. Kesimpulan ilmu bisa keliru!
Ketiga, sekularistik, yaitu menganggap tidak ada hubungan
asasi antara sains dengan agama, sehingga keduanya harus dipisah dan dibe
dakan dengan tegas. Psikolog Muslim dengan sikap serupa ini
tampaknya paling banyak jumlahnya dan diduga akan paling gigih menentang
gagasan Islamisasi psikologi. Mereka berpendapat bahwa psikologi
yang obyektif-ilmiah harus bebas-nilai tidak boleh "dicemari" oleh hal-hal yang
tidak ilmiah (cq. agama).
Keempat, antagonistik, yaitu meyakini agama dan sekaligus
penga nut fanatik aliran psikologi tertentu. Sekalipun menyadari bahwa
prinsip prinsip psikologinya tidak sesuai dengan nilai-nilai hidup Islami,
dengan ringan hati mereka dapat berpindah-pindah mengamalkan dua hal
yang bertentangan. Kiat mereka: Dalam menerapkan psikologi pantang mem
bawa-bawa agama, dan sebaliknya ilmu (dan psikologi) tak diperlukan
dalam mengamalkan agama.
Kelima, idealistik, yaitu bersikap positif terhadap gagasan
dan upaya. Islamisasi sains pada umumnya, dan Islamisasi psikologi pada
khususnya, serta mendambakan terwujudnya psikologi yang bercorak Islami.
Berusaha untuk menyempurnakan psikologi kontemporer, antara lain
dengan jalan melandasinya dengan nilai-nilai Islami. Sikap ini dilandasi oleh
kesadaran bahwa dalam agama (al-Qur'an dan al-Hadits) terkandung
1). HD. Bastaman, Dilema Psikolog Muslim, sebuah tantangan dan peluang. Makalah pada
Tafaqquh Fiddin SMFPsi Unisba Bandung, 7-8-1991.

41

kebenaran paripurna, sedangkan sains (cq. psikologi) hanya mengung


kapkan kebenaran temporer, tetapi selalu berkembang progresif mende kati
kebenaran paripurna. Adapun metoda berfikir ilmiah yang dianggap tepat dalam
proses Islamisasi sains adalah menempatkan Wahyu di atas Akal. 2)
Bila kita telaah sikap-sikap skeptis yang kurang mendukung
gagasan Islamisasi sains (dan Islamisasi psikologi) tampaknya hal itu
bersumber dari kurang dipahaminya pandangan Islam yang sangat
menghargai akal, serta menilai tinggi kedudukan ilmu, ilmuwan, pengajar,
pelajar, dan kegiatan belajar mengajar. Dalam pandangan Islam hubungan
antara sains dengan agama adalah bersanding, dan bukan bertanding!3)
Sehubungan dengan masih dominannya sikap-sikap skeptis
di kalangan psikolog Muslim sendiri terhadap Islamisasai psikologi,
maka upaya Muslimisasi psikolog berarti memberikan informasi yang sebaik
baiknya kepada rekan-rekan kita mengenai pandangan Islam yang sangat positif
terhadap sains, dan sekaligus menunjukkan betapa asas-asas Qur'ani
mengenai manusia sangat potensial untuk dijadikan landasan psikologi. Untuk itu
temu-temu ilmiah antara para psikolog dengan para ahli agama dapat dijadikan
titik tolak kegiatan Islamisasi psikologi dan Muslimisasi psikolog. Mudah-
mudahan usaha-usaha serupa itu dapat meningkatkan kesadaran,
pemahaman dan komitmen terhadap nilai nilai ilmiah dan amaliah Islam,
serta sedikit demi sedikit mengubah sikap menjadi lebih positif terhadap gagasan
Islamisasi psikologi.
. Selain usaha-usaha yang dilakukan secara sengaja dan terarah melalui
pendekatan kognitif seperti di atas, ada usaha lain yang secara langsung
dapat meningkatkan derajat kemusliman diri para psikolog, yakni mengintensifkan
ibadah. Maksudnya: meningkatkan kualitas iba dah dengan jalan menerapkan
metode ibadah yang benar untuk menam bah kekhusyukan dan keikhlasan. Kita
ambil sebagai contoh sebuah bentuk ibadah yang sejauh ini sering terabaikan dan
dianggap semata mata ibadah bertaraf sunat belaka, yaitu Dzikir.
Dzikir dalam artian umum sering diidentikkan dengan ibadah dalam
arti luas. Sedangkan dalam artian khusus diartikan sebagai ibadah menyebut-
nyebut Asma Allah dengan segala rukun-syaratnya. Bertaburan firman Allah
dan sabda Rasul mengenai manfaat ibadah dzikir, antara lain dalam
Surat al-Baqarah (2) ayat 152:
“Dzikirlah akan Daku, supaya Aku dzikir pula akan dikau;
bersyukurlah akan Daku dan jangan ingkari nikmatKu"

2). Ali Garishab, Metode Pemikiran Islam. Terjemahan Salim Basyrabil, Gema Insani Press,
Jakarta, 1991. 3). HD. Bastaman, Sains dalam pandangan Islam. Makalah pada acara
Temu diskusi Subuh,
tanggal 24 Februari 1991, di Masjid Al-Irfan, Kompleks Perumahan UI Ciputat, Jakarta Selatan.
Dari ayat itu jelas diungkapkan bahwa Allah SWT akan membalas ibadah
dzikir kita dengan DZIKIR-NYA, dzikir dari Allah SWT sendiri. Betapa dahsyatnya
Kurnia Ilahi itu ! Bayangkan, Yang Maha Pengasih berkenan mengirimkan
Dzikir-Nya/Nama-Nya sendiri yang dibawa dengan segala keagungan oleh
bermilyar-milyar malaikat yang suci dan perkasa untuk dicurahkan kepada si
pedzikir! Kalau hal itu benar-benar terjadi sudah pasti sifat angkara
murka yang berasal dari syaithan dan nafsu manusia sendiri akan
sirna dan digantikan dengan cahaya terang benderang yang
menyelamatkan dirinya dan lingkungannya. Nikmat kurnia inilah yang
ditunggu-tunggu oleh segenap kaum Muslimin dan Muslimat agar mereka
benar-benar menjadi Muslim dan Muslimat sejati Sehubungan dengan ini
seorang Sufi-ilmuwan mengatakan :
“Bukan dzikir kita, si baharu, yang memberi bekas,
melainkan Dzikir Allah SWT Yang Maha Akbar sendirilah yang
memberi bekas, namun yang harus dijolok turun oleh
manusia yang sampai dzikirnya ke hadlirat Allah SWT !•*)
Kalau ibadah dzikrullah saja sudah demikian dahsyat
kurnianya, apalagi Shalatyang oleh Rasulullah SAW dimasyhurkan
sebagai “mi'raj nya kaum mukminin” (Ash-shalaatul mi'rajul mukminin).
Untuk itu wajib dicari metodologi dan teknik-tekniknya, agar
dzikir (dan shalat) kita benar-benar sampai ke hadliratNya.” Dan metodologi
itu tersimpan dan tersedia dalam salah satu pilar utama agama Islam :
Tasauf Islam !
Dengan intensifying ibadah serupa itu, insya Allah Muslimisasi
psiko log akan benar-benar meningkatkan kemusliman para psikolog,
sehingga Islamisasi psikologi akan ditanggapi sebagai kewajaran.

RANGKUMAN
Salah satu hal yang menentukan keberhasilan mewujudkan
psikologi Islami adalah respons para psikolog Muslim sendiri terhadap
gagasan dan usaha-usaha Islamisasi psikologi. Dalam hal ini terdapat
beragam sikap para psikolog Muslim: ada yang skeptis, ada yang
menyambut baik. Sudah dapat diduga bahwa tanpa apresiasi yang kuat
terhadap nilai-nilai Islam respons para psikolog yang mendukung
Islamisasi psi

S.S. Kadirun Yahya, Ilmu Teknologi dalam Al Qur'an.Ceramah ilmiah di hadapan Civitas Academica
Univ. Pemb. Pancabudi (Unpab) Medan dan para undangan, 20-10-1990. "Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilab Wasilab Galan) yang mendekatkan diri
kepadaNya, dan berjibadlah pada jalanNya supaya kamu mendapat keberuntungan" S. al-Maidah
(5): 35. Perhatikan : orang mukmin yang sudah bebat itu masih disuruh Nya bertakwa, dan orang
mukmin yang sudah muttaqin pun masih diperintahkanNya untuk mencari Wasilah (jalan, metode)
!! Itupun harus serius menjalaninya, barulah mendapat kemenangan !!

Anda mungkin juga menyukai