Anda di halaman 1dari 12

MENYOAL FILM BETA MAU JUMPA

Ahmad Bachtiar Faqihuddin


AS T E N T A N G TR A U M A D A N
P A" M E M B A H
"BETA MAU JUM A GA M A D I A M B O N Y A NG
I P AS C A K O N F L IK
REKONSILIAS I T E R J AD I S EL A M A T IG A
JAN G A N . K O N F L IK IN
BERKEPAN GG A P E R J AN JI AN DA M A I
A H U N 1 99 9 H IN
TAHUN, SEJAK T
TAHUN 2002. 
LATAR BELAKANG MUNCULNYA
KONFLIK
•KONFLIK INI BERAWAL ADANYA KONFLIK BERDARAH YANG DIPICU
OLEH PERTENGKARAN DUA PEMUDA MUSLIM DAN KRISTEN DI
TERMINAL BATU MERAH AMBON TEPAT DI HARI RAYA IDUL FITRI 19
JANUARI 1999 (TAHAP KONFLIK I)
•TIDAKMEMBUTUHKAN WAKTU LAMA, KONFLIK ITU MENYEBAR KE
BERBAGAI WILAYAH DI MALUKU TENGGARA DAN MALUKU UTARA. 
TAHAPAN KONFLIK

• Gerry van Klinken dalam


bukunya Communal Violence and
Democratization in Indonesia (2007)
menjelaskan kejadian konflik Ambon dalam
lima tahap yang diselingi masa tanpa
konfrontasi bersenjata. 
TAHAPAN KONFLIK

 1. Pertengkaran pemuda di Terminal Batu Merah itu menandai tahap pertama. Simbol-
simbol identitas sosial keagamaan mulai dipakai secara eksplisit sejak peristiwa ini untuk
menegaskan segregasi antarkelompok.
 2. Pada pertengahan tahun 1999, menjelang pemilu nasional, suasana Kota Ambon
berangsur tenang. Tetapi pada bulan Desember, suasana pertikaian kembali memuncak.
 Pertikaian ini diduga berkaitan dengan dua peristiwa pada saat itu, yaitu perusakan
bangunan Gereja Protestan Maluku (GPM) Silo di pusat Kota Ambon oleh kelompok
Muslim dan serangan kelompok milisi Kristen terhadap suatu perkampungan Muslim di
Tobelo, Maluku Utara, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sekitar 800 warga
Muslim.
TAHAPAN-TAHAPAN KONFLIK

 3. Tahap ketiga dari Konflik Ambon ditandai oleh tibanya ribuan anggota kelompok Laskar Jihad di Ambon. Kehadiran milisi bersenjata asal Jawa ini
pada April 2000 di Ambon mengubah peta dan skala konflik, antara lain dengan mulai dipakainya senjata-senjata berat dalam pertempuran maupun
munculnya aliansi-aliansi baru dalam pertikaian di Ambon.

 4. Tahap keempat adalah suatu periode konflik yang berlangsung secara sporadik dan baru berhenti pada bulan Februari 2002, saat diadakannya
Perundingan Malino II. Perwakilan dari sejumlah kelompok yang bertikai difasilitasi oleh pemerintah pusat dalam satu forum kesepakatan di Malino
untuk mengakhiri pertikaian. Walapun tidak sepenuhnya mengakomodasi semua pihak yang berseteru, perundingan itu berhasil menghentikan
penggunaan kekerasan bersenjata dan mobilisasi massa dalam skala besar.

 5. Tahap kelima ditandai oleh kejadian serangan terhadap Kampung Kristen Soya. Tetapi peristiwa yang diduga bermaksud memancing kerusuhan
baru itu tidak mendapat tanggapan melalui penggunaan kekerasan secara massal. Setelah itu suasana di Ambon berangsur tenang, kecuali adanya
benturan antarmassa dalam peristiwa arak-arakan warga memperingati ulang tahun RMS (Republik Maluku Selatan) pada April 2004.
PENEGASAN SEGREGASI

– Kekerasan dan pengrusakan secara masif yang terjadi di masa konflik memaksa ribuan
warga meninggalkan rumahnya untuk mencari perlindungan. 
–  pemerintah mengambil langkah relokasi terhadap ribuan pengungsi dengan memisahkan
mereka menurut agama yang dianutnya. Salah satu akibatnya, segregasi pemukiman
penduduk menjadi semakin tajam berdasarkan identitas agama.
–  hampir semua kampung di Ambon dihuni oleh warga dari satu agama yang sama, misalnya
kampung Kuda Mati, Batu Meja, dan Batu Gantung yang hanya dihuni Kristen; atau
kampung Batu Merah, Kebon Cengkeh, dan Waringin yang hanya dihuni Muslim. Mereka
yang termasuk dalam kelompok agama minoritas di satu kampung memilih untuk pergi.
Walaupun pemisahan itu awalnya dimaksudkan untuk sementara waktu, kebijakan yang
tidak direvisi kembali itu lambat laun bersifat permanen
Respons terhadap segregasi

1. Pertama, ada upaya mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut, yaitu
dengan memulangkan pengungsi ke lokasi sebelumnya.
– Pada tahun 2005 warga masyarakat Kariu yang tersebar itu dipulangkan kembali ke lokasi mereka
dan diterima secara adat oleh kampung-kampung Muslim tetangganya.
2. upaya menghidupkan kembali hunian bersama di area-area percampuran warga Muslim dan
Kristen. Menguatnya segregasi pada konflik 1999 dengan sendirinya menghilangkan area pembauran
di masing-masing kampung. Tetapi di tempat-tempat tertentu dengan karakteristik masyarakatnya
yang beragam, ada inisiatif bersama masyarakat Muslim dan Kristen untuk kembali ke lokasi mereka.
3. Ketiga, menerima segregasi hari ini sebagai realitas baru bagi masyarakat. Masyarakat yang sudah
terlanjur tinggal di lokasi yang baru mulai menerima atau secara terpaksa hidup dalam kondisi
tersebut sebagai konsekuensi dari konflik yang berkepanjangan di masa lalu. 
Perempuan dan perdamaian

– Perempuan dan anak merupakan dua kelompok paling rentan dalam masa konflik
Ambon 1999-2002. Sementara para pria dewasa ikut dalam pertempuran,
perempuan tinggal di rumah bekerja  untuk menafkahi anak sambil diliputi
kecemasan, terutama ketika banyak anak diekploitasi oleh orang dewasa untuk
terlibat dalam pertempuan.
– Namun perempuan tidak tinggal diam melihat kondisi yang semakin parah ini.
Perempuan lintas iman yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Peduli (GPP)
memperjuangkan penghentian kekerasan. 
– Aksi nir-kekerasan tersebut berlanjut dengan pembacaan “Suara Hati Perempuan”
Rekonsiliasi akar rumput:
perempuan dan anak muda
– dua bulan setelah pecah konflik Ambon, sekitar 700 keluarga Kristen
meninggalkan Batu Merah Dalam dan kemudian di tampung sebagai pengungsi
di Wisma Atlet Karang Panjang
– Pada 2006, 410 keluarga eks-pengungsi di Wisma Atlet Karang Panjang pindah
ke kawasan relokasi Kayu Tiga, yang berjarak sekitar 7 Km dari Batu Merah
Dalam. Status tanah yang mereka tempati saat itu masih berupa sitaan
pemerintah. Atas bantuan salah satu partai politik, dan dengan mengantongi
biaya pemulangan serta tambahan pinjaman dari bank, mereka berhasil
melunasi biaya kaplingan tanah perkeluarga sebesar Rp 6 juta. 
– Hubungan yang dibangun kembali oleh perempuan Muslim dari Batu Merah
Dalam dan perempuan Kristen dari kawasan relokasi Kayu Tiga itu merupakan
contoh rekonsiliasi di akar rumput.
– Perempuan-perempuan Muslim di Batu Merah Dalam kini tergabung dalam
Community Center Lograf dan perempuan-perempuan Kristen di Kayu Tiga yang
tergabung dalam Community Center Betabara pernah hidup bertetangga. Meski
kedua lembaga ini baru diresmikan pada 2016, hubungan kedua komunitas
sudah dibangun sejak bertahun-tahun sebelumnya, antar lain melalui budaya
saling kunjung dan bertukar pemberian.
– Saling kunjung dan bertukar pemberian di kalangan teman atau tetangga telah
mentradisi di Ambon, jauh sebelum konflik, antara warga Muslim dan Kristen
pada perayaan Natal maupun Idul Fitri. Pada saat Natal, perempuan-
perempuan dari Batu Merah Dalam menyiapkan makanan seperti ketupat dan
opor untuk dibawa serta dalam kunjungan mereka ke Kayu Tiga. Di sana mereka
menyantap makanan itu bersama. Sebaliknya pada perayaan Idul Fitri,
perempuan-perempuan dari Kayu Tiga menyiapkan makanan siap saji berupa
kue yang dibawa dalam kunjungan mereka ke Batu Merah Dalam. Saling
kunjung juga terjadi ketika ada pernikahan atau kedukaan di daerah masing-
masing. Mereka tetap merawat tradisi itu walaupun kini dalam kondisi tinggal
terpisah.

Anda mungkin juga menyukai