Anda di halaman 1dari 13

Nama : Muhamad Rizki

NIM : 1930302051

FILSAFAT STOAISME

Salah satu aliran filsafat yang menonjol pada masa Hellenisme ialah Stoisisme yang
didirikan oleh Zeno. Nama Stoisisme diambil dari kata Stoa yang dalam bahasa yunani yang
berarti serambi bertiang, tempat dimana zeno mengajarkan filsafatnya. Kendati lahir sezaman
dengan Epikureanisme, Stoisisme memiliki sejarah lebih panjang dan doktrinnnya lebih banyak
perubahan. Ajaran pendirinya, Zeno pada awal abad ke-3 SM, jauh berbeda dengan ajaran
Marcus Aurielius pada paruh terakhir abad ke-2 M. Zeno seorang materialis yang doktrin-
doktrinnya, terutama adalah kombinasi antara Sinisme dan Filsafat Hiraklitus; namun berangsur-
angsur setelah bercampur dengan platonisme, kaum stoa pun meninggalkan materialisme, hingga
pada akhirnya tinggal sedikit saja jejaknya yang tersisa.

Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah di
tengah laut. Dirinya selamat, tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia
berhenti berniaga dan tiba-tiba belajar filsafat. Ia belajar kepada Kynia dan Megaria, dan
akhirnya belajar pada academia di bawah pimpinan Xenokrates, murid Plato yang terkenal.

Setelah keluar ia mendirikan sekolah sendiri yang disebut Stoa. Nama itu diambil dari
ruangan sekolahnya yang penuh ukiran Ruang, dalam bahasa Grik ialah “Stoa”. Tujuan utama
dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Dalam literatur lain disebutkan bahwa
pokok ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan keselarasan dunia.
Sehingga menurut mereka kebajikan ialah akal budi yang lurus, yaitu akal budi yang sesuai
dengan akal budi dunia. Pada akhirnya akan mencapai citra idaman seorang bijaksana; hidup
sesuai dengan alam. Ajarannya tidak jauh beda dengan Epikuros yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu logika, fisika dan etik.
A. Logika

Menurut kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh kriteria tentang kebenaran. Dalam hal
ini, mereka memiliki kesamaan dengan Epikuros. Apa yang dipikirkan tak lain dari yang telah
diketahui pemandangan. Buah pikiran benar, apabila pemandangan itu kena, yaitu memaksa kita
membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah suatu pemandangan yang menggambarkan
barang yang dipandang dengan terang dan tajam. Sehingga orang yang memandang itu terpaksa
membanarkan dan menerima isinya.

Apabila kita memandang sesuatu barang, gambarannya tinggal dalam otak kita sebagai
ingatan. Jumlah ingatan yang banyak menjadi pengalaman. Kaum Stoa bertentangan
pendapatnya dengan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles pengertian itu mempunyai
realita, ada pada dasarnya. Ingat misalnya ajaran Plato tentang idea. Pengertian umum, seperti
perkumpulan, kampung, binatang dan lain sebagainya adalah suatu realita, benar adanya.
Sedangkan menurut kaum Stoa, pengetian umum itu tidak ada realitanya, semuanya itu adalah
cetakan pikiran yang subjektif untuk mudah menggolongkan barang-barang yang nyata.Hanya
barang-barang yang kelihatan yang mempunyai realita, nyata adanya. Seperti orang laki-laki,
orang perempuan, kuda putih, kucing hitam adalah suatu realita. Pendapat kaum Stoa ini disebut
dalam filsafat pendapat nominalisme, sebagai lawan dari realisme.

B. Fisika

Kaum Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang alam, tetapi juga meliputi teologi. Zeno
sebagai pendiri Stoa, menyamakan Tuhan dengan dasar pembangun. Dasar pembangun ialah api
yang membangun sebagai satu bagian daripada alam. Tuhan itu menyebar ke seluruh dunia
sebagai nyawa, seperti api yang membangun menurut sesuatu tujuan. Semua yang ada tak lain
dari api dunia itu atau Tuhan dalam berbagai macam bentuk.

Menurut mereka dunia ini akan kiamat dan terjadi lagi berganti-ganti. Pada akhirnya Tuhan
menarik semuanya kembali padanya, oleh karena itu padakebakaran dunia yang hebat, itu
semuanya menjadi api. Dari api Tuhan itu, terjadi kembali dunia baru yang sampai kepada
bagiannya yang sekecil-kecilnya serupa dengan dunia yang kiamat dahulu.

C. Etik
Inti dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud etiknya itu ialah mencari dasar-dasar umum
untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian malaksanakan dasar-dasar itu dalam
penghidupan. Pelaksanaan tepat dari dasar-dasar itu ialah jalan untuk mengatasi segala kesulitan
dan memperoleh kesenangan dalam penghidupan. Kaum Stoa juga berpendapat bahwa tujuan
hidup yang tertinggi adalah memperoleh “harta yang terbesar nilainya”, yaitu kesenangan
hidup.Kemerdekaan moril seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.

Filsafat Stoa adalah nama sebuah aliran atau mahzab filsafat Yunani Kuno yang didirikan
di kota Athena, oleh Zeno dari Citium. Saat itu Athena menjadi pusat belajar filsafat, dimana saat
itu Zeno (yang dipengaruhi oleh Socrates) merupakan salah satu pengajar Mazhab Stoa. Kegiatan
belajar yang dilakukan Kaum Stoa tidak hanya berlangsung di dalam kelas tetapi juga di luar
kelas seperti beranda-beranda rumah. Karena itu, kemudian muncul istilah Stoa dan Stoik. Perlu
diketahui, bahwa Stoa merupakan bahasa Yunani yang berarti beranda rumah, sedangkan Stoik
merujuk pada orang-orang yang belajar di beranda-beranda rumah.

Para pengikut aliran stoa atau Kaum Stoa sudah mendiskusikan masalah takdir yang
kemudian menyulut perdebatan di antara para filsuf sezamannya.

Beberapa pendapat dan ajaran kaum stoa, antara lain;

1. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, yang menentukan keteraturan segala
sesuatu dengan mantap dan mengarahkannya pada tujuan yang telah ditetapkan sejak semula.
Keteraturan yang mantap segala sesuatu ini disebutnya sebagai takdir/nasib, sedangkan
keterarahan segala sesuatu pada tujuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta disebut sebagai
penyelengaraan. Selanjutnya, dalam jagad raya tidak ada sesuatu pun bisa luput dari keberlakuan
mutlak hukum takdir ini.

2. Ada ajaran tentang keharusan mengikuti hukum takdir ini dimana manusia hendaknya
mengikuti saja suratan takdir dan penentuan nasib bagi dirinya. Dengan demikian ia akan
mencapai keselarasan dengan takdirnya akan membawanya kepada kebahagiaan. Kalau pun
manusia mencoba melawan hukum takdir, usaha itu tak akan berhasil, karena akibatnya ia akan
susah sendiri. Jadi hukum takdir itu harus ditaati, terlepas dari perasaan senang atau tidak senang,
menguntungkan atau merugikan.
3. Kebebasan manusia tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir melainkan bahwa ia
secara sadar dan rela menyesuaikan diri dengan hukum alam yang tidak terelakkan itu. Bila
manusia telah menerima dengan sadar dan rela apa yang telah disuratkan padanya oleh takdir,
maka tidak akan terjadi sesuatu yang melawan kehendaknya. Dengan kata lain ia seluruhnya
bebas, sebab ia telah menentukan dirinya sendiri dan tidak merasakan hukum alam sebagai unsur
luar dirinya melainkan sebagai unsur yang telah menyatukan dengan dirinya.

4. Tujuan hidup kaum Stoa adalah hidup selaras dengann takdir. Untuk mencapai tujuan
itu, orang yang bijaksana akan membebaskan dirinya dari segala kecenderungan dan dorongan
tak teratur. Orang yang hidup tanpa nafsu nafsu yang menggoncangkan akan mengalami salah
satu hal yang diajarkan oleh filsuf Stoa ialah mengenai bagaimana menghadapi emosi.

Salah satu teori yang menjelaskan pengaruh emosi yaitu Teori Skema yang berpendapat
bahwa orang dalam keadaan emosi tertentu akan mempunyai kerangka umum atau skema yang
sesuai dengan emosi tersebut.

Dalam studi Psikologis, tokoh yang bernama Linschoten menjelaskan bahwa perasaan
manusia menurut modalitasnya terbagi menjadi tiga yaitu suasana hati, perasaan itu sendiri, dan
emosi (Sundari, 2005). Bagi penulis, emosi merupakan bagian dari perasaan dalam arti luas.
Emosi timbul karena adanya gejolak berupa gelombang atau zat-zat kimia otak sehingga individu
mengalami perubahan perasaan dalam menanggapi suatu situasi atau keadaan yang dialami.
Dengan demikian, individu pasti menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan menentukan
respon dalam menghadapi situasi, entah itu negatif atau positif. Emosi memang telah tertanam
dalam otak dan ditimbulkan oleh adanya rangsangan. Pengalaman sehari-hari yang dialami
individu dalam menghadapi suatu rangsang akan mempertajam kepekaan emosi serta ketepatan
dalam mengekspresikan emosinya. Orang yang mempunyai banyak pengalaman positif tentu
akan memiliki perkembangan dan kematangan emosi yang berbeda dengan orang yang sedikit
mengalami pengalaman positif (Sundari, 2005). Hal ini disebabkan oleh adanya perekaman
kebiasaan atau putusan-putusan yang sering dilakukan oleh memori dalam otak.

Goleman menjelaskan bahwa pada prinsipnya emosi dasar manusia meliputi takut, marah,
sedih, dan senang. Sutanto (2012) menambahkan malu, rasa bersalah, dan cemas sebagai emosi
dasar manusia. Emosi-emosi tersebut berpengaruh tidak hanya pada perilaku saat ini namun juga
perilaku yang akan terjadi di masa mendatang. Salah satu teori yang menjelaskan pengaruh
emosi yaitu Teori Skema yang dipelopori oleh Aaron T. Beck. Ia berpendapat bahwa orang
dalam keadaan emosi tertentu akan mempunyai kerangka umum atau skema yang sesuai dengan
emosi tersebut. Misalnya, seseorang yang sedih akan mempuyai skema sedih atau depresif untuk
mengorganisir sebuah informasi. Orang tersebut akan mempersepsikan dan mengingat
pengalaman negatifnya, serta cenderung menafsirkan dunia lingkungannya dari perspektif yang
negatif. Teori lain yang menjelaskan pengaruh emosi yaitu Teori Neuropsikologis dari tokoh
bernama Ashby, yang mengembangkan teori mengenai pengaruh emosi terhadap kemampuan
kognitif. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan emosi yang netral
memiliki dopamin yang cukup, peningkatan dopamin akan terjadi saat seseorang dalam keadaan
emosi yang positif. Peningkatan dopamin ini akan mempengaruhi peningkatan kinerja berbagai
tugas kognitif, termasuk memori. Oleh karena itu, individu harus mampu memahami dan
mengendalikan emosi, tentunya ke arah yang positif. Karena bila tidak, emosi negatif akan
menguasai pikiran yang dapat menghambat aktivitas serta menjauhkan individu dari pikiran,
kegiatan positif, bahkan kebahagiaan.

Menurut Kaum Stoa, bukan suatu kejadian yang menyebabkan kita emosi, tetapi opini atau
interpretasi kita terhadap suatu kejadian.

Dalam diskursus kebahagiaan, khususnya Stoisisme, kebahagiaan memiliki arti tersendiri.


Menurut Kaum Stoa, kebahagiaan ialah saat tidak adanya atau tidak timbulnya emosi yang
negatif atau dapat dibahasakan seperti “bahagia jika kita tidak merasa cemas, sedih, dan takut”.
Seorang filsuf Stoa bernama Epictetus mengatakan “It is not things that disturb us, but our
opinion of them”. Maksud perkataan Epictetus ialah sering kali perasaan takut, cemas, terganggu
terhadap suatu hal itu timbul karena opini kita sendiri. Bagi kaum Stoa, emosi negatif itu timbul
karena nalar yang sesat, bukan disebabkan oleh peristiwa eksternal. Marcus Aurelius seorang
kaisar dan juga filsuf Stoa mengatakan “Jika kamu bersusah hati karena hal-hal eksternal,
kesusahan itu datangnya bukanlah dari hal tersebut, tetapi dari opinimu sendiri mengenai hal itu.
Dan kamu memiliki kemampuan mengubah opini tersebut kapan saja”. Hal-hal eksternal yang
dimaksud adalah seperti kekayaan, reputasi, tahta, dan lain-lain. Menurut Kaum Stoa opini kita
berada di dalam otak dan hanya kita sendiri yang dapat mengendalikannya.
Agar lebih jelas, penulis sedikit menggambarkan sebuah kejadian. Anggap saja, setiap hari
kita sedang bersantai menaiki mobil untuk berangkat kerja, lalu dengan tiba-tiba kita mengalami
suatu kejadian A, dan kejadian A inilah yang menyebabkan kita menjadi emosional. Menurut
Kaum Stoa, tindakan emosional seperti itu merupakan hal yang keliru. Yang terjadi pada
peristiwa itu ialah saat kita dihadapi oleh kejadian A, kita mulai menambahkan opini atau
interpretasi terhadap kejadian A (yang sedang dialami) dan bila kita menghadirkan interpretasi
yang negatif, maka hal tersebut akan menyebabkan timbulnya emosi negatif juga. Menurut Kaum
Stoa, bukan suatu kejadian yang menyebabkan kita emosi, tetapi opini atau interpretasi kita
terhadap suatu kejadian. Sebagai contoh, saat kita mengahadapi macet di jalan kita sering sekali
merasa emosional bertensi tinggi karena macet membuang waktu kita, merasa menjadi kurang
produktif, perasaan cemas akan terlambat, dan hal lainnya. Padahal kita tahu bahwa macet adalah
jalanan yang sedang padat merayap dan jika kita memiliki interpretasi yang positif kita dapat
memanfaatkan waktu macet tersebut untuk membaca buku atau bersantai sejenak meminum
minuman dingin. Dengan demikian, dalam menghadapi bahkan menghindari emosi negatif,
Kaum Stoa berpendapat bahwa perlunya melatih diri mengenali opini atau interpretasi diri kita
terhadap hal yang irasional.

Para pengikut aliran stoa atau Kaum Stoa sudah mendiskusikan masalah takdir yang
kemudian menyulut perdebatan di antara para filsuf sezamannya. Beberapa pendapat dan ajaran
kaum stoa, antara lain;

1. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, yang menentukan keteraturan segala
sesuatu dengan mantap dan mengarahkannya pada tujuan yang telah ditetapkan sejak semula.
Keteraturan yang mantap segala sesuatu ini disebutnya sebagai takdir/nasib, sedangkan
keterarahan segala sesuatu pada tujuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta disebut sebagai
penyelengaraan. Selanjutnya, dalam jagad raya tidak ada sesuatu pun bisa luput dari keberlakuan
mutlak hukum takdir ini.

2. Ada ajaran tentang keharusan mengikuti hukum takdir ini dimana manusia hendaknya
mengikuti saja suratan takdir dan penentuan nasib bagi dirinya. Dengan demikian ia akan
mencapai keselarasan dengan takdirnya akan membawanya kepada kebahagiaan. Kalau pun
manusia mencoba melawan hukum takdir, usaha itu tak akan berhasil, karena akibatnya ia akan
susah sendiri. Jadi hukum takdir itu harus ditaati, terlepas dari perasaan senang atau tidak senang,
menguntungkan atau merugikan.

3. Kebebasan manusia tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir melainkan bahwa ia
secara sadar dan rela menyesuaikan diri dengan hukum alam yang tidak terelakkan itu. Bila
manusia telah menerima dengan sadar dan rela apa yang telah disuratkan padanya oleh takdir,
maka tidak akan terjadi sesuatu yang melawan kehendaknya. Dengan kata lain ia seluruhnya
bebas, sebab ia telah menentukan dirinya sendiri dan tidak merasakan hukum alam sebagai unsur
luar dirinya melainkan sebagai unsur yang telah menyatukan dengan dirinya.

4. Tujuan hidup kaum Stoa adalah hidup selaras dengan takdir. Untuk mencapai tujuan itu,
orang yang bijaksana akan membebaskan dirinya dari segala kecenderungan dan dorongan tak
teratur. Orang yang hidup tanpa nafsunafsu yang menggoncangkan akan mengalami ketenangan
hidup. Jika upaya ini berhasil, nikmat atau sakit baginya sama saja. Dalam penderitaan, Kaum
Stoa masih bisa merasa kesejukan dan ketenangtentraman hati.

5. Dalam kehidupan sehari-hari dapat saja terjadi orang dihadapkan pada pilihan-pilihan
yang tidak dapat di terima karena secara emosional ia tidak mampu lagi menanggungnya.
Misalnya, suatu niat penuh tanggung jawab untuk memperbaiki sistem admisnistrasi negara
tetapi menemui jalan buntu. Berhadapan dengan situasi itu, Kaum Stoa menawarkan pilihan
terakhir, bunuh diri! Daripada mengambil sikap yang tidak sesuai dengan keseimbangan batin
dan takdir maka lebih baik bunuh diri dengan sepenuh kesadaran dan dengan segala ketenangan.
Ajaran itu bahkan dipraktekkan oleh Zenon sendiri dengan bunuh diri lantaran mengalami luka
berat setelah jatuh.

Ajaran takdir Kaum Stoa ini segera menuai serangan dan tantangan dari para filsuf
semasanya, yang memberikan minimal dua alasan yaitu:

1. Alasan teoritis, menurut mereka Kaum Stoa menekankan peranan mutlak takdir atas
perjalanan segala sesuatu, termasuk atas perjalanan hidup manusia. Mereka mempertanyakan
bagaimana orang dapat mengetahui mana yang merupakan takdir dan mana yang bukan. Artinya,
mana yang bisa diubah dan mana yang harus diterima begitu saja. Misalnya kalau seseorang,
menyaksikan satu kelompok orang lain diserang, ditindas dan diperas, Kemudian hanya sekadar
mengatakan bahwa memang itulah takdirnya, ataukah sebaliknya orang menganggap penindasan
itu bukan takdir manusia, dan karenanya harus didobrak.

2. Masalah Praktis; Menurut para penentang ajaran Kaum Stoa, karena ketidakjelasan
dalam hal takdir atau hukum nasib maka menjadi tidak jelas pula tindakan mana yang mesti
diambil yang sesuai dengan hukum takdir itu. Apakah tindakan bunuh diri merupakan tindakan
yang tepat atau sebenarnya merupakan tindakan pengecut, sebab lari dari tanggung jawab untuk
semakin menyempurnakan hidupnya.

Selanjutnya, para penentang ajaran Kaum Stoa hukum nasib maka menjadi tidak jelas pula
tindakan mana yang mesti diambil yang sesuai dengan hukum takdir itu. Apakah tindakan bunuh
diri merupakan tindakan pengecut, sebab lari dari tanggung jawab untuk semakin
menyempurnakan hidupnya.

Selanjutnya, para penentang ajaran Kaum Stoa mengemukakan bahwa kalaupun orang tahu
apa yang merupakan takdirnya dan ia menerima itu, tetapi kemudian berbagai usaha yang
dilakukan untuk hidup baik menjadi tidak perlu lagi. Sebab segalanya telah ditentukan oleh
suratan takdir, orang tinggal menunggu saja dan takdirnya tiba. Dengan alasan yang sama
seorang pembunuh berdarah dingin membunuh orang lain lalu membenarkan tindakannya
dengan berkata bahwa tindakannya itu sudah merupakan suratan takdir. Namun kalau begitu, lalu
kebebasan dan tanggung jawab pribadi menjadi absurd.

Dalam buku Filosofi Teras, ada pernyataan terkenal dari Epictetus, yakni:

“Ada hal-hal yang berada di bawah kendali tergantung pada kita, dan ada hal-hal yang
tidak di bawah kendali atau tidak tergantung pada kita “.

Kaum Stoa pada dasarnya mengajarkan dikotomi kendali menjadi dua hal itu saja. Pertama,
hal-hal yang bukan di bawah kendali kita, yakni tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi,
kekayaan, kondisi tubuh, segala sesuatu yang diluar pikiran dan tindakan kita seperti cuaca,
gempa bumi, dan peristiwa alam lainnya. Kemudian, yang kedua adalah hal-hal yang di bawah
kendali kita yaitu pertimbangan, opini, persepsi, tujuan hidup, dan segala sesuatu yang
merupakan pikiran dan tindakan kita. Sehingga, individu diwajibkan untuk menerima kenyataan
bahwa banyak hal-hal di luar sana yang senantiasa siap membuat kita kecewa. Kaum Stoa
mengajarkan untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kendalikan.
Namun, bukan berarti harus menghindari hal-hal yang berada di luar kendali, justru sebaliknya,
menghadapinya dengan menerapkan kebijakan. Filsafat Stoa mengenai kebahagiaan juga
mengajarkan individu untuk memilih respon atau tindakan seperti apa yang sebaiknya diambil.
Dengan catatan, respons tersebut adalah hasil penggunaan nalar yang sebaik-baiknya dengan
prinsip bijak, adil, menahan diri, dan berani. Dengan begitu, kita diharapkan mampu
menghilangkan emosi negatif melalui kendali pikiran kita sendiri.

Stoisisme kurang bercorak Yunani jika dibandingkan semua aliran filsafat . kaum Stoa
awal kebanyakan adalah bangsa Syria, dan kaum Stoa belakangan kebanyakan adalah orang
Romawi. Kaum Stoa lebih belakangan yang mengikuti pandangan Plato bahwa jiwa bersifat
imaterial; kaum Stoa yang awal sependapat dengan Hiraklitus dalam memandang bahwa jiwa
tersusun dari api material

Aliran Stoisisme ini berpandangan bahwa kebaikan adalah kebahagian. Dan manusia dapat
mencapainnya dengan jalan keutamaan. Adapun keutamaan itu sendiri merupakan buah dari
kehendak yang disandarkan epada akal. Oleh karena itu, pekerjaan orang gila tidak ada nilainya
walaupun pekerjaannya benar. Termasuk keutamaan, adalah sabar dalam menghadapi kesulitan
untuk mencapai kebaikan dan memperjuangkannya.

Zeno percaya bahwa tak ada sesuatu yang disebut kebetulan, dan bahwa jalannya alam
sudah ditetapkan secara ketat oleh hukum-hukum alam. Dalam keyakinannya, keteraturan dunia
yang menakjubkan ini bukanlah suatu kebetulan belaka melainkan sesuai dengan rencana
bijaksana dari Tuhan. Pada mulanya hanya ada api; kemudian unsur-unsur lain- udara , air, tanah,
secara berurutan munculnya. Namun cepat atau lambat akan terjadilah kebakaran kosmis, dan
seluruhnya akan kembali menjadi api. Peristiwa ini menurut kaum Stoa, bukanlah
penyempurnaan akhir, seperti hari kiamat dalam doktrin kristiani, namun hanyalah kesimpulan
dari suatu siklus; seluruh proses itu akan berulang lagi selamanya. Segala sesuatu yang terjadi
sudah pernah terjadi sebelumnya, dan akan terjadi lagi, bukan hanya sekali, melainkan berulang
kali tanpa kesudahan.

Terdapat sikap dingin tertentu yang menyertai konsepsi Stoa tentang keutamaan. Bukan
hanya nafsu-nafsu buruk yang dikecam, namun semua nafsu. Seorang yang bijaksana tidak akan
merasakan simpati: ketika istri atau anak-anaknya meninggal , ia menganggap kejadian ini
bukanlah kendala bagi keutamaannya sendiri, dan karenanya tak perlu terlampau berduka

Persahabatan yang dijunjung tinggi oleh Epikurus, pun dinilai baik, namun kehendaknya
tidak dilakukan sampai ke atas dimana nasib sial sahabat bisa menghancurkan ketenangan batin
yang suci. Seorang Stoa tidaklah bersikap utama dengan maksud berbuat kebaikan, namun
berbuat kebaikan untuk menjadi utama. Tidak mungkin baginya mencintai tetangganya
sebagaiman ia mencintai dirinya sendiri, cinta kecuali dalam pengertian yang semu, tidak
terdapat dalam konsepsinya mengenai keutamaan.

Seperti Heraclitus, kaum Stoa percaya bahwa setiap orang adalah bagian dari satu akal atau
logos yang sama. Mereka beranggapan bahwa setiap orang adalah seperti sebuah dunia maniatur
atau mikrokosmos yang merupakan cerminan makrokosmos. Ini mendorong pada pemikiran
bahwa ada suatu kebenaran universal, yang dinamakan hukum alam. Dan karena hukum alam ini
didasarkan pada akal manusia yang abadi dan universal, ia tidak berubah sejalan dengan
berlalunya waktu dan berpindahnya tempat. Jadi, dalam hal ini aliran Stoa berpihak kepada
socrates yang bertentangan dengan kaum Sophis.

Hukum alam mengatur seluruh manusia. Kaum Stoa menganggap ketentuan undang-
undang dari berbagai negara hanyalah tiruan tidak sempurna dari hukumyang tertanam dalam
alam itu sendiri. Sebagaimana kaum Stoa menghapuskan perbedaan antara individu dan alam
raya, merekapun menyangkal adanya pertentangan antara “ruh”dan “materi”. Hanya ada satu
alam, mereka menegaskan. Gagasan semacam ini disebut monisme.

Kaum Stoa benar-benar kosmopolitan, dalam pengertian bahwa mereka lebih mudah
menerima kebudayaan kontemporer dibanding dengan kaum sinisme. Mereka memberi perhatian
pada persahabatan manusia. Kaum Stoa, lebih lanjut menekankan bahwa semua proses alam,
seperti penyakit dan kematian, mengikuti hukum alam yang tak pernah lekang. Oleh karena itu,
manusia harus belajar menerima takdirnya. Tidak ada sesuatu yang terjadi dengan kebetulan.
Segala sesuatu terjadi karena ada penyebabnya. Maka tidak ada gunanya mengeluh jika takdir
telah datang mengetuk pintu. Mereka berpendapat bahwa manusia juga harus menerima
peristiwa-peristiwa yang membahagiakan dalam hidup tanpa gelisah. Dalam hal ini, mereka
menyatakan semua kejadian lahiriah itu tidak penting.
5 Pelajaran Penting Stoisisme

1. Hidup selaras dengan alam

Ajaran utama dari stoisisme adalah agar kita dapat hidup selaras dengan alam. Apakah
artinya? Hidup selaras dengan alam berarti kita harus menggunakan nalar yang membuat kita
berbeda dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Aplikasi nyata dari nilai ini adalah berusaha
mengendalikan diri agar tidak serta merta mengikuti hawa nafsu dan emosi.

Pernahkah kamu merasa dibuat kesal oleh seseorang dan tanpa pikir panjang langsung
mengucapkan berbagai macam sumpah serapah? Padahal jika ditelaah lebih dalam, mungkin
orang tersebut tidak sengaja atau terpaksa dilakukan karena terburu-buru. Jika seperti itu, apa
gunanya kamu marah-marah? Selain membuang energi, kamu pun juga membuat mood menjadi
jelek bukan?

Hidup selaras dengan alam juga berarti kita sadar bahwa segala hal di dunia ini memiliki
keterkaitan. Sebagai contoh saat lingkungan tempat kita tinggal mengalami banjir, jika kita sadar
bahwa banjir tersebut terjadi karena curah hujan yang tinggi, banyak orang membuang sampah
sembarangan, dll maka kita tidak perlu membuang tenaga untuk saling menyalahkan karena
kejadian itu memang sesuai kehendak alam.

Hidup selaras dengan alam tidak mengajarkan kita untuk menjadi pasrah dengan keadaan,
tetapi menerima keadaan tersebut dengan lapang dada sehingga kita tidak mudah terbawa emosi
dan bisa bertindak dengan nalar. Hal ini akan membantu kamu untuk lebih bahagia dan bahkan
menemukan sebuah solusi cerdas untuk masalah yang sedang kamu hadapi.

2. Dikotomi kendali

Para filsuf stoisisme membuat pembagian yang jelas antara hal yang bisa kita kendalikan
dan tidak bisa kita kendalikan. Hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah motivasi, tujuan hidup,
usaha, dan opini. Sedangkan, hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan adalah kekayaan, opini/
perilaku orang lain, kesehatan, dsb.

Stoisisme menggambarkan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan sebagai hal yang tidak
berpengaruh terhadap kebahagiaan kita, sedangkan hal-hal yang dapat kita kendalikanlah yang
menentukan kebahagiaan kita. Hal ini membuat kita sadar bahwa kamu merasa bahagia atau
tidak sepenuhnya berada di bawah kendali kita, jadi apa yang membuat kamu tidak merasa
bahagia saat ini?

Mungkin saat ini kamu berpendapat bahwa kekayaan, kesehatan, opini orang lain, dll juga
berpengaruh terhadap kebahagiaan kita. Itulah yang disebut oleh para filsuf stoisisme bahwa kita
telah menjadi "budak" akan suatu hal. Jika kita menggantungkan diri pada harta atau hal-hal yang
di luar kendali kita. Semakin kita menggantungkan diri pada hal di luar kendali kita, maka
semakin takut kita akan kehilangan hal tersebut dan justru membuat kita sulit menemukan
kebahagiaan.

Mungkin kamu juga berpikir bahwa hal di luar kendali seperti kekayaan dan kesehatan bisa
kita kendalikan. Namun, kamu jangan keliru karena yang sebetulnya bisa kita kendalikan adalah
usaha untuk mendapatkannya dan bukan hasilnya. Seperti kata pepatah,

"Manusia yang berusaha dan Tuhan yang menentukan hasilnya"

3. Kendalikan persepsi

Sadarkah kita bahwa sebagian besar rasa sedih dan marah yang kita alami sebetulnya
berasal dari persepsi diri sendiri terhadap suatu hal? Contohnya jika kita tidak diajak jalan-jalan
bersama teman-teman sekali saja, kita mungkin akan merasa sedih dan jengkel sehingga
memutuskan untuk menjelek-jelekkan teman atau bahkan tidak menganggap mereka sebagai
teman lagi.

Padahal jika kita lebih tenang, hal yang kita alami hanya ditinggal bermain oleh teman
sekali saja tetapi karena kita membangun persepsi berlebihan justru kita berpotensi kehilangan
teman selama-lamanya. Padahal, bisa saja mereka tidak mengajak karena waktunya yang tidak
pas saat itu.

Stoisisme mengajarkan kita untuk melihat suatu hal secara tidak berlebihan dan fokus pada
saja pada kejadian serta situasi yang ada. Dengan begitu kita bisa mengendalikan emosi dan
sebaliknya membuat persepsi positif yang membuat kita lebih bersemangat. Contohnya "oh,
mungkin mereka sedang mempersiapkan hadiah untukku."
4. Jangan salahkan diri sendiri

Seringkali jika kita mengalami suatu musibah atau ketidakberuntungan, kita justru
menyalahkan diri sendiri dan membuat kita semakin depresi. Stoisisme mengajarkan agar kita
berhenti berpikir hal tersebut dan coba untuk mengendalikan persepsi kita terhadap suatu
kejadian.

Sadarilah bahwa apa yang kita alami adalah sesuatu yang di luar kendali sehingga tidak
perlu merasa sedih karenanya dan bahwa kejadian itu merupakan kehendak alam karena segala
hal di dunia ini saling berhubungan satu sama lain.

Stoisisme tidak mengajarkan kita untuk pasrah dan menyalahkan orang lain, tetapi untuk
menerima kejadian yang ada dan tidak bereaksi berlebihan terhadapnya. Dengan begitu kita bisa
lebih percaya diri untuk memperbaikinya atau mencoba lebih baik di kesempatan lain.

5. Berkaryalah!

Dalam buku berjudul meditations, Kaisar Marcus Aurelius berkata:

"So you were born to feel “nice”? Instead of doing things and experiencing them? Don’t
you see the plants, the birds, the ants and spiders and bees going about their individual tasks,
putting the world in order, as best they can? And you’re not willing to do your job as a human
being? Why aren’t you running to do what your nature demands?"

Marcus mengatakan bahwa setiap makhluk hidup memiliki panggilan alam untuk
memenuhi perannya masing-masing. Jadi, jika kita melawan panggilan alam dan hanya berdiam
diri saja tanpa melakukan apapun yang bermanfaat, apakah kita betul-betul akan merasa bahagia?

Stoisisme mendorong kita untuk berkarya dan bersosialisi dengan orang lain agar kita tidak
melupakan hakikat kita sebagai manusia yaitu makhluk sosial dan produktif. Dengan begitu, kita
diyakini bisa menjadi lebih tangguh dan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai