Anda di halaman 1dari 11

Nama : Muhamad Rizki

NIM : 1930302051

FILSAFAT HELENISME

ANALISIS PEMIKIRAN EPIKURISME

Bertens (1993) berpendapat, mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran


filsafat. Dimana banyak sekali bermunculan tokoh-tokoh pemikir sekaligus filosof yang lahir
dalam “Dunia Yunani”, baik yang terkenal hingga mereka yang kurang terkenal dalam
pemikirannya. Filosof yang terkenal kebanyakan dari mereka adalah yang menuliskan
pemikirannya, seperti Aristoteles dengan tulisan-tulisannya. Meski adapula Filosof yang tidak
menulis sebarispun seperti Thales, Phytagoras, dan Sokrates.

Zaman sesudah Aristoteles memang zaman yang berbeda sekali dengan zaman Aristoteles.
Zaman ini adalah zaman yang baru, yang dimulai dengan pemerintahan Aleksander Agung yaitu
murid dari Aristoteles, dan disebut zaman Helenisme. Helenisme berasal dari kata Hellenizein
(berbahasa Yunani, dan juga menjadikan Yunani) sebagai roh dan kebudayaan Yunani sepanjang
roh dan kebudayaan itu memberikan ciri-cirinya kepada para bangsa yang bukan Yunani
disekitar lautan tengah, mengadakan perubahan-perubahan dibidang kesusasteraan, agama, dan
keadaan bangsa-bangsa itu.

Dalam perkembangan masa Helenisme ini ditandai dengan perubahan bentuk filsafat dari
filsafat teoritis menjadi filsafat praktis dan membuat filsafat menjadi bagian dari seni hidup.
Berbagai aliran yang muncul pada saat itu yang semuanya bertujuan untuk menentukan cita-cita
hidup manusia. Keinginan memperoleh pengetahuan teori semakin beralih kepada ilmu-ilmu
spesial. Makin mendalam penyelidikan ini dan makin tampak gunanya bagi penghidupan sehari-
hari, akan tetapi orang makin acuh tak acuh terhadap teori-teori metafisika umum.

Latar Belakang Historis Hellenisme

Pemerintahan Aleksander merupakan pemerintahan yang kuat dan memiliki banyak daerah
taklukan. Dalam waktu sepuluh tahun sejak 334 hingga 324SM ia menaklukkan Asia Kecil,
Siria, Mesir, Babilonia, Persia, Samarkand, Bactria, dan Punjab, dimana pada setiap daerah
taklukan ia selalu mendirikan kota Yunani dan mencoba mereproduksi lembaga-lembaga
Yunani, disertai upaya pemerintahan sendiri. Berangsur-angsur ketika kawasan yang ia
taklukkan kian meluas, ia memberlakukan kebijakan yang menganjurkan pembauran secara
damai antara bangsa Yunani dan bangsa Barbar, hal ini dapat mengacu pada beberapa faktor,
diantaranta:

a. Pasukan Aleksander tidak terlampau besar jumlahnya, tidak mungkin selamanya


mempertahankan kekuasaan imperium yang sangat luas itu dengan jalan kekerasan, melainkan
dalam waktu panjang, akan tergantung pada kerukunan dengan rakyat yang ditaklukkan.

b. Bangsa Timur tidak terbiasa dengan pemerintahan apapun kecuali pemerintahan oleh
seorang dewa-raja, yang oleh Aleksander dirasakan tepat untuk dibawakannya sendiri.

Pemerintahan Aleksander menerima orang-orang Makedonia sebagai panglima


pasukannya, bahkan memberikan sebutan “sahabat” untuk mereka. Para “sahabat” ini yang
kemudian memberikan masukan saran dan kritik dan mengambil andil yang “berpengaruh”
dalam pemerintahan Aleksander. Mereka yang memaksa Aleksander untuk lebih baik kembali
setelah menaklukkan kawasan sungai Indus dan bukan meneruskan perjalanan untuk
menaklukkan kawasan sungai Gangga.

Anggapan bahwa bangsa Yunani adalah bangsa yang lebih unggul derajatnya daripada
bangsa Barbar pernah diungkapkan pada sebuah ungkapan pandangan umum yang menyatakan
ras utara bersemangat, ras selatan beradab, namun hanya bangsa Yunananilah yang penuh
semangat sekaligus beradab. Plato dan Aristoletes berpendapat bahwa tidak selayaknya bangsa
Yunani dijadikan budak, namun mereka tidak berpendapat demikian mengenai bangsa Barbar.

Sikap inipun menciptakan hasil berupa hubungan timbal balik antara bangsa Yunani dan
bangsa Barbar. Orang Barbar memetik sesuatu hal dari ilmu pengetahuan Yunani, sedangkan
orang Yunani mendapat banyak pelajaran dari takhayul bangsa Barbar. Peradaban Yunani,
setelah menjangkau wilayah lebih luas, menjadi tidak sepenuhnya Yunani. Pembauran serta
penerimaan budaya yang berbeda, namun masih Yunani (mengadopsi budaya Yunani) inilah
yang dikenal dengan Helenisme, sebuah paham “ke-Yunani-an” yang menerima bangsa lain
dalam kehidupan bermasyarakatnya dibawah pemerintahan Aleksander.
Perkembangan dalam Dunia Filsafat

Hellenisme di bagi menjadi dua fase, yaitu fase Hellenisme dan fase Hellenisme Romawi.
Fase Hellenisme adalah fase yang ketika pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang-orang
Yunani. Adapun fase Hellenisme Romawi ialah fase yang sudah datang sesudah fase hellenisme,
dan meliputi semua pemikiran filsafat yang ada pada masa kerajaan romawi, yang ikut serta
membicarakan peninggalan pikiran Yunani, antara lain pemikiran Romawi di barat dan di timur
yang ada di mesir dan di siria. Fase ini dimulai dari akhir abad ke-4 sebelum masehi sampai
pertengahan abad ke-6, Masehi di Bizantium dan roma, atau sampai masa penerjemahan di dunia
arab.

Pada masa ini, aliran-aliran etis yang menekankan pada persoalan-persoalan tentang
kebijaksanaan hidup yang praktis disamping itu juga ada aliran-aliran yang diwarnai pemikiran
keagamaan. Jadi, secara garis besarnya sifat filsafat sesudah Aristoteles atau pada masa
Helenisme dapat dibagi menjadi dua, masa Etik dan masa Religi. Yang termasuk aliranyang
bersifat Etis diantaranya adalah aliran Stoa, Epikorus, dan Skeptis. Sedangkan yang termasuk
aliran yang diwarnai agama diantaranya adalah filsafat Neo-Pythagoras, filsafat Plotinus Tengah,
filsafat Yahudu dan Neoplatonisme.

Pemikiran Epikurisme

Epikuros (bahasa Yunani Kuno: Ἐπίκουρος, Epíkouros, berarti "sekutu, rekan", lahir tahun
341 SM – meninggal tahun 270 SM) adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang mendirikan sebuah
mazhab filsafat yang disebut epikurisme. Ia lahir di Pulau Samos di Yunani dari orang tua yang
berasal dari Athena. Pemikirannya dipengaruhi oleh Demokritos, Aristoteles, dan mungkin juga
oleh para filsuf beraliran sinisisme. Epikuros menentang aliran platonisme yang populer pada
masanya dan ia juga mendirikan sekolahnya sendiri yang dijuluki "Kebun" di Athena. Sebagai
seorang penulis ulung, ia konon telah menulis banyak sekali karya, tetapi sebagian besar sudah
hilang ditelan zaman. Yang tersisa kini hanya tiga surat yang ditulis olehnya (Surat kepada
Menoikeus, Pitokles, dan Herodotos) dan dua rangkaian kutipan (Ajaran Pokok dan Pepatah
Vatikan), ditambah dengan beberapa penggalan dan kutipan tulisannya yang lain. Ajarannya
dicatat dengan baik oleh penulis-penulis dari zaman lain, seperti penyair Romawi Lucretius dan
seorang penulis biografi Yunani yang bernama Diogenes Laërtius.
Bagi Epikuros, tujuan filsafat adalah untuk mewujudkan kehidupan yang tenang dan
bahagia berupa perpaduan ataraxia (ketiadaan ketakutan, kegelisahan, ataupun kecemasan) dan
aponia (ketiadaan rasa sakit), dan juga dengan menjalin persahabatan. Ia mengajarkan bahwa
akar dari segala penderitaan adalah penolakan kematian dan kecenderungan manusia untuk
membayangkan bahwa kematian itu mengerikan dan menyakitkan. Menurutnya, hal ini telah
menimbulkan kecemasan yang tidak perlu. Epikuros sendiri berpandangan bahwa kematian
adalah akhir dari tubuh maupun jiwa, sehingga tidak perlu ditakuti. Walaupun Epikuros percaya
akan keberadaan para dewa, ia yakin bahwa mereka tidak ikut campur dalam urusan manusia dan
juga tidak mengazab ataupun mengaruniai orang berdasarkan tindakan mereka. Epikuros juga
mengajarkan bahwa orang tetap perlu berbuat baik kepada sesama, karena jika mereka bertindak
jahat, rasa bersalah akan menghantui mereka dan membuat mereka tidak dapat mencapai
ataraxia.

Epikuros beraliran empirisisme seperti Aristoteles. Dalam kata lain, ia percaya bahwa indra
adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat diandalkan di dunia. Dalam bidang fisika, ia
mendukung gagasan materialisme seperti Demokritos. Epikuros mengajarkan bahwa alam
semesta itu tidak terbatas dan abadi, dan semua materi terdiri dari partikel-partikel kecil tak
terlihat yang disebut atom. Semua peristiwa di dunia dihasilkan oleh pergerakan atom-atom di
ruang kosong. Pemikiran Epikuros mengenai hal ini berbeda dengan Demokritos karena
Epikuros juga mengajarkan mengenai "penyimpangan" atom: atom-atom dapat menyimpang dari
arah yang seharusnya dilalui, dan proses inilah yang menghasilkan kehendak bebas pada diri
manusia.

Pemikiran Epikuros telah menyebar luas pada zaman kuno, dan para penganut epikurisme
bahkan mengagumi sosoknya sebagai guru besar, penyelamat, atau dewa. Namun, ajaran
Epikuros sudah menuai kontroversi sedari awal, termasuk ketika ia diusir dari Mitilene karena
telah membuat resah penduduknya. Epikurisme sendiri mencapai puncak kejayaannya pada
tahun-tahun terakhir Republik Romawi, tetapi kemudian aliran ini mengalami kemunduran dan
kalah dengan mazhab stoisisme yang merupakan saingannya. Epikurisme mati pada zaman kuno
akhir ketika Kekristenan tengah mengalami perkembangan pesat. Ajarannya kembali dikenal
pada abad kelima belas berkat penemuan naskah-naskah penting, tetapi epikurisme baru dapat
diterima pada abad ketujuh belas setelah imam Katolik Prancis Pierre Gassendi membangkitkan
kembali gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya. Epikurisme kemudian memengaruhi
gagasan berbagai tokoh penting pada Abad Pencerahan dan sesudahnya, seperti John Locke,
Thomas Jefferson, dan Karl Marx.

Pandangan Epistemologi dan Metafisika Epikuros

Terlebih dahulu kita akan sedikit memahami epistemologi dan metafisika Epikuros karena
pemikiran-pemikiran inilah yang mendasari ajaran etikanya.

Epistemologi: Sensasi sebagai Kriteria Kebenaran

Yang diminati oleh Epikuros adalah pengetahuan untuk memahami dunia sekeliling yang
dikatakannya berhubungan dengan pencapaian kebahagiaan manusia. Untuk itu ia menyatakan
bahwa manusia memerlukan alat yang bisa diandalkan. Alat tersebut adalah tiga kriteria
kebenaran: sensasi (pengalaman inderawi), konsep umum (pandangan umum) dan perasaan.
Sensasi merupakan kriteria yang utama, sedangkan kedua lainnya merupakan turunan dari
sensasi. Epikuros menegaskan “semua sensasi adalah benar” dalam arti, sensasi yang dialami
oleh indera manusia merupakan bukti dari eksistensi aktual suatu obyek. Kriteria kedua adalah
konsep umum yang merupakan pemikiran dalam memori, hasil dari pengalaman inderawi yang
konstan mengenai suatu obyek. Kriteria ketiga adalah perasaan nikmat atau sakit yang datang
dari sensasi.

Lebih lanjut, Epikuros menyatakan bahwa nikmat adalah alami dan membawa
kebahagiaan, sedangkan sakit adalah asing dan karenanya membawa penderitaan. Dengan
demikian, kriteria kebenaran diperlukan untuk memandu manusia mencapai kenikmatan dan
menghindari penderitaan. Sensasi adalah pemandu manusia akan eksistensi obyek dalam dunia,
konsep umum membantu memahami dan menjelaskan sensasi dengan benar, sedangkan perasaan
nikmat atau sakit adalah kriteria bagaimana manusia harus bertindak.

Metafisika: Alam Semesta Terdiri dari Atom dan Void

Seperti Demokritos, pemikiran metafisika Epikuros banyak didasari oleh pemikiran atom.
Epikuros berpendapat bahwa alam semesta dibentuk dari atom (yang tidak dapat dibagi) yang
bergerak dalam void (ruang kosong). Baik atom maupun void berjumlah tak terhingga.
Epikuros menyatakan bahwa atom memiliki ukuran dan bentuk. Atom juga memiliki berat
dan oleh karena itu secara alami bergerak ke bawah. Akan tetapi secara random, atom-atom ini
mengalami gerakan yang melenceng (the swerve) yang mengakibatkan tabrakan dan penyatuan
dengan atom lainnya. Atom-atom yang bersatu kemudian membentuk materi tubuh atau
kumpulan tubuh. Masing-masing tubuh akan memiliki karakter yang berbeda (seperti warna,
tekstur atau sifat), tergantung dari struktur atom yang membentuknya. Alam semesta dikatakan
terbentuk karena adanya gerakan melenceng ini. Dari sini Epikuros berpendapat bahwa ‘nothing
comes into existence from nothing’. Atom dan void telah ada sejak dulu dan akan selalu ada di
masa depan. Setiap tubuh atau kumpulan tubuh bisa terbentuk ataupun musnah sedangkan atom
dan void adalah abadi.

Bahwa segala sesuatu merupakan kumpulan atom-atom begitu pula dengan jiwa manusia.
Jiwa merupakan tubuh yang terbentuk dari atom-atom yang sangat halus dan hanya dapat
menyatu dalam tubuh fisik. Pada saat kematian, atom-atom jiwa menguap ke dalam void karena
tubuh manusia tempat atom-atom jiwa itu menyatu telah terurai. Epikuros berkata “Kematian
bukanlah apa-apa. Karena apa yang telah terurai tidak bisa mengalami sensasi, dan apa yang
tidak merasakan sensasi adalah bukan apa-apa bagi kita”. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu
ditakuti karena kematian hanyalah pemusnahan tubuh.

Epikuros juga percaya akan adanya dewa-dewa, akan tetapi berpendapat bahwa mereka
tidak memiliki kepentingan dan hubungan apapun dengan manusia. Dewa-dewa hidup terpisah
dalam ruang di antara sistem kosmis yang dikenal dengan istilah intermundia. Seperti manusia,
dewa-dewa juga terbentuk dari atom. Akan tetapi mereka dapat hidup imortal karena menjalani
kebahagiaan sempurna dan memiliki kemampuan untuk menjaga dan memperbaharui atom-atom
dalam tubuhnya.

Etika Kebahagiaan Epikuros

The Four Part Cure

(Philodemus, Herculaneum Papyrus 1005, 4.9-14)

Don’t fear god, don’t worry about death,

What is good is easy to get, and what is terrible is easy to endure.


Pemikiran epistemologi dan metafisika seperti terangkum di atas mendasari ajaran etika
Epikuros mengenai kenikmatan. Jelas bagi Epikuros, sensasi merupakan kriteria kebenaran dan
bagaimana rasa nikmat atau sakit memandu manusia untuk memutuskan apa yang baik bagi
hidupnya. Akan tetapi kita harus berhati-hati untuk memahami nikmat seperti apa yang
dimaksud oleh Epikuros dan tidak begitu saja menyamakan etika Epikuros dengan hedonisme
kasar yang sekedar mengejar kenikmatan jasmani.

Kenikmatan sebagai Absennya Rasa Sakit dan Penderitaan (Apathia)

Epikuros membedakan 2 jenis kenikmatan yaitu kinetic pleasure (kenikmatan bergerak)


dan katastematic pleasure (kenikmatan pada kondisi yang statis, harmonis dan penuh).
Kenikmatan kinetik merupakan kenikmatan yang diperoleh sensasi inderawi saat seseorang
menjalankan aktifitas yang menyenangkan (misalnya, saat menyantap makanan). Sedangkan
kenikmatan katastematik justru datang saat rasa sakit dan penderitaan hilang (misalnya, saat
lapar dan dahaga hilang). Jika dihubungkan dengan pemikiran atomisnya, pada kenikmatan
katastematik, atom-atom dalam tubuh manusia bergerak secara harmonis dan stabil.

Epikuros lalu kembali pada pengamatannya terhadap bayi, yang dikatakannya masih murni
dan belum dihinggapi berbagai macam hasrat. Bayi yang lapar mencari kenikmatan katastematik
yaitu rasa nikmat saat perut tidak lagi merasa lapar. Dari pengamatan ini lalu disimpulkan bahwa
saat tubuh terbebas dari sakit dan penderitaan, manusia mengalami kenikmatan yang
membahagiakan. Dengan kata lain, kebahagiaan manusia datang dari kenikmatan katastematik
yang berarti absennya rasa sakit dan penderitaan. Kenikmatan katastematik adalah esensial bagi
kebahagiaan manusia. Sedangkan kenikmatan kinetik hanyalah variasi dari kenikmatan, ia tidak
menghilangkan rasa sakit, sebaliknya kedatangannya seringkali disertai oleh sakit dan
penderitaan.

Kenikmatan dengan Kebijaksanaan (Phronesis)

Epikuros menyadari bahwa kenikmatan berkaitan erat dengan terpenuhinya hasrat. Oleh
karena itu ia membedakan 3 macam hasrat: hasrat alami dan perlu (seperti makanan), hasrat
alami tapi tidak perlu (seperti makanan mewah dan seks) dan hasrat yang sia-sia (seperti
kekayaan dan kekuasaan). Epikuros mengingatkan bahwa hasrat alami dan perlu akan
mendatangkan kenikmatan katastematik sedangkan kedua hasrat yang lain hanya menghasilkan
kenimatan kinetik. Jika kenikmatan datang karena terpenuhinya hasrat, maka ada 2 strategi untuk
mencapainya: pertama, memenuhi segala hasrat yang muncul, dan kedua, memenuhi hasrat yang
mudah dicapai. Epikuros menganjurkan jalan kedua, karena secara realistis tidak mungkin
manusia dapat memenuhi semua. Sebaliknya, hasrat yang tidak terpenuhi justru mendatangkan
sakit dan penderitaan (apathia).

Epikuros juga membedakan dua jenis penderitaan yaitu penderitaan fisik dan penderitaan
mental. Penderitaan fisik berkaitan dengan apa yang dirasakan saat ini, sedangkan penderitaan
mental berkaitan dengan memori masa lalu dan ketakutan akan masa depan (yang sebenarnya
tidak pasti). Karena cakupannya lebih panjang, penderitaan mental bisa memperburuk
penderitaan fisik. Selanjutnya Epikuros menyimpulkan bahwa penderitaan mental dapat
menghalangi tercapainya kebahagiaan, dan bahwa penghalang kebahagiaan terbesar adalah
ketakutan akan masa depan (terutama kematian dan hidup setelah kematian) serta ketakutan akan
dewa-dewa (yang akan menghukum manusia jika tidak hidup sesuai dengan harapan dewa-
dewa).

Bahwa atom-atom dapat mengalami gerakan random juga mendasari pemikiran Epikuros
mengenai kebebasan kehendak. Seperti atom yang membebaskan diri dari gerakan alaminya,
manusia juga bisa membebaskan diri dari ‘takdirnya’. Di sini Epikuros seolah-olah ingin
membebaskan manusia dari rasa takut akan dewa-dewa dan kematian. Ia ingin mengajarkan
manusia untuk mengatur hidup menurut kebijaksanaannya sendiri (phronesis). Manusia harus
melihat jauh ke depan dan memiliki penguasaan diri dalam mengolah hasratnya. Tidak semua
kenikmatan perlu diraih dan tidak semua penderitaan perlu ditolak. Penderitaan adalah baik dan
bisa dijalani jika pada akhirnya ia memberikan kenikmatan yang besar. Sebaliknya kenikmatan
bisa buruk dan mesti ditolak jika dibaliknya ada penderitaan yang lebih besar.

Kenikmatan sebagai Jalan Menuju Ketentraman dan Ketenangan Jiwa (Ataraxia)

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa etika Epikuros bersifat privatistik karena sifatnya
mencari kebahagiaan pribadi. Tidak mengherankan jika semboyan Epikuros adalah“hidup dalam
kesembunyian”. Manusia dianjurkan hidup tenang dengan menikmati kenikmatan yang mudah
diraih, serta menghindari sakit dan penderitaan. Bagi Epikuros, kenikmatan berada dalam
ketentraman jiwa yang tenang, bebas dari perasaan cemas atau dikenal dengan istilah ataraxia.
Dengan prinsip privatistik ini, Epikuros seolah-olah tidak melihat politik, keadilan dan
kehidupan publik sebagai sesuatu yang bernilai. Keadilan bagi Epikuros hanyalah sarana bagi
kenikmatan, yang diperlukan untuk sekedar mengatur ketentraman agar manusia tidak
mengganggu ketenangan hidup manusia yang lain. Politik menjadi terlalu berisiko, karena
kehidupan politik seringkali naik turun, mengancam ketentraman dan ketenangan hidup.
Kehidupan publik, walapun menawarkan kenikmatan seperti kemasyuran dan kekayaan,
seringkali penuh kecemasan dan bersifat kompetitif. Padahal kecemasan dan perilaku kompetitif
tidak diperlukan dalam usaha pencapaian kenikmatan katastematik.

Berkaitan dengan kehidupan sosial, satu hal yang menarik adalah Epikuros menekankan
tingginya nilai persahabatan. Menurut Epikuros “Persahabatan bagaikan menari mengelilingi
dunia, menggugah kita semua untuk merasakan kebahagiaan”. Pemikiran persahabatan ini
menimbulkan dua penafsiran. Di satu sisi, bisa ditafsirkan sebagai pemikiran egoistik karena
sahabat dilihat sebagai alat untuk mencapai kenikmatan. Akan tetapi di sisi lain, bisa
menunjukkan bagaimana etika Epikuros juga bersifat altruistik karena dalam persahabatan,
kebahagiaan tidak hanya datang dalam tindakan menerima tapi juga dalam tindakan memberi.

Tanggapan dan Perbandingan dengan Etika Yunani Lainnya

Seperti seluruh tradisi filsafat Yunani, etika Epikuros memiliki kesamaan dengan etika
Aristoteles dan juga etika Stoa. Ketiganya bersifat teleologis dan memiliki titik tolak yang sama
bahwa kebahagiaan merupakan nilai tertinggi yang menjadi tujuan hidup manusia. Perbedaan
mendasar dari ketiganya adalah definisi tentang kebahagiaan itu sendiri. Aristoteles menyatakan
kebahagiaan datang saat manusia berhasil mengembangkan dirinya. Stoa menyatakan
kebahagiaan tercapai saat manusia menyatu dengan keselarasan alam semesta. Sedangkan
Epikuros mengidentikkan kebahagiaan dengan kenikmatan.

Dibandingkan dengan etika Aristoteles terlihat bahwa etika Epikuros menjadi lebih
‘sempit’, walaupun sama-sama dilakukan dengan phronesis. Bagi Aristoteles hidup etis
terlaksana tidak hanya dalam pengembangan potensi individu tapi lebih luas lagi yaitu dalam
tindakan yang merealisasikan hakikat dan potensi manusia sebagai makhluk sosial. Sebaliknya
etika Epikuros menjadi terlihat egois karena hanya mempertimbangkan kenikmatan dan
kenyamanan diri sendiri. Dengan prinsipnya menyepi dari kehidupan publik, etika Epikuros
seolah-olah mengingkari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Sehingga timbul pertanyaan
apakah kebahagiaan yang dituju oleh etika Epikuros benar-benar membahagiakan?

Dibandingkan dengan etika kebahagiaan Stoa, etika Epikuros juga memiliki perbedaan
pandangan mengenai takdir dan kebebasan. Jika Epikureanisme ingin mengajarkan manusia
untuk melawan takdir dan menggunakan kebijaksanaannya sendiri, kaum Stoa justru memiliki
pandangan determinisme tentang hukum alam universal yang mendasari gerak dalam alam
semesta, segalanya termasuk manusia berada di bawah takdir. Sama dengan Epikurean, kaum
Stoa juga mencita-citakan tercapainya ataraxia dan apathia seperti kaum Epikurean, akan tetapi
pemaknaannya menjadi berbeda. Ataraxia dan apathia bukanlah ketentraman dan ketenangan
jiwa individu melainkan sikap mental yang kuat, yang sudah bertekad untuk menyatu dengan
alam dan tak bergeming jika digoyangkan oleh yang fana. Kehidupan sosial juga mendapatkan
tempat dalam etika Stoa. Ataraxia dikatakan membebaskan manusia untuk bersikap positif dan
bertanggungjawab terhadap masyarakat sekeliling.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketiga etika Yunani di atas memiliki tujuan
yang sama yaitu mengajarkan manusia paham hidup yang baik, bermutu dan bermakna. Akan
tetapi sifat privatistik dari etika Epikuros menjadikan etika ini lebih sempit dan egois
dibandingkan dengan kedua etika yang lain. Magnis-Suseno bahkan menyatakan, etika Epikuros
mengandung cacat moral karena tidak dapat menampung sikap-sikap moral dasar seperti
tanggung jawab, kewajiban, cinta kasih, perjuangan demi keadilan demi kebaikan sesama.
Walaupun etika Epikuros mengandung kebaikan dan kebijaksanaan, kebahagiaan privat yang
ditawarkan seperti menyempitkan arti kebahagiaan yang sebenarnya.

Perbandingan dengan Etika Kant

Jika dibandingkan dengan etika Kant, maka etika Epikuros menjadi sangat berlawanan.
Etika Kant bergerak dari kewajiban murni tanpa ada tujuan tertentu (deontologis) sedangkan
etika Epikuros, sebagaimana etika Aristoteles, justru ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu
yaitu kebahagiaan (tergolong dalam etika teleologis). Seperti dikatakan di atas, etika Epikuros
tidak dapat menampung nilai-nilai moralitas sebaliknya etika Kant seluruhnya justru berbicara
tentang keluhuran moralitas dan bagaimana moralitas mengikat manusia dengan mutlak.
Menurut Kant pertanyaan tentang kebahagiaan adalah masalah kebijaksanaan, bukan moralitas.
Tak ada kaitan antara moralitas dengan kebahagiaan, penjahat pun ingin hidup bahagia.
Moralitas baru dimulai ketika orang tidak memikirkan dirinya sendiri melainkan apa yang secara
obyektif menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.

Walaupun demikian, keluhuran yang dikandung oleh etika Kant tidak begitu saja
menjadikan etika Epikuros tidak bernilai. Etika Epikuros terasa lebih manusiawi, ‘hangat’ dan
relevan dengan konteks hidup manusia sehingga mudah dimaknai dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam konteks dunia yang didominasi kapitalisme saat ini
maka etika Epikuros menjadi sangat berguna dan mudah diterapkan dalam melawan terjangan
konsumerisme.

Anda mungkin juga menyukai