Anda di halaman 1dari 24

Perkembangan Pemikiran Barat

Oleh: Purwo Husodo


(Makalah Untuk Latihan Kader I HMI Komisariat FIB Unand 3-6 Maret 2021

Pemikiran Barat dapat dibedakan menjadi tiga periode, yaitu periode Yunani Kuno, Abad
Pertengahan dan Modern.

I.Periode Pemikiran Yunani Kuno (6-3 SM)

Awal proses pemikiran dan perenungan dimulai pada abad ke 6 SM, di kota Miletos.
Kota Miletos merupakan kota pelabuhan dan perniagaan yang maju sehingga Miletos
mengalamipertumbuhan ekonomi dan politik yang pesat (Bertrand Russell, 2007:32). Filsuf
pertama dari Miletos diantaranya: Thales (624-545 SM), Anaximandros atau Anaximander (610-
540 SM), Anaximenes (538-480 SM), Pythagoras (580-500 SM), Xenophanes (570-480 SM),
Herakleitos (540-475 SM), Parmenides (540-475 SM), Empedokles (492-432 SM) dan
Demokritos (460-370 SM). Mereka inilah yang disebut dengan filsuf dari Miletos (Mazhab
Milesian). Mereka yang telah merubah tradisi mitos menuju logos dengan menggunakan
pemikiran dan perenungan secara mendalam. Mereka inilah orang-orang yang dianggap sebagai
pendobrak revolusi peradaban manusia. Sebelum filsafat lahir, orang Yunani Kuno mencari
kebenaran dengan menggunakan mitos (cerita atau dongeng yang kebenarananya diterima
melalui keyakinan dan kepercayaan masyarakat yang sudah turun temurun tanpa menggunakan
rasio atau akal pikiran).
Para filsuf dari Mitetos tersebut mempersoalkan tentang substansi yang terdalam dari
segala sesuatu atau prinsip dasar (prinsip pertama), yang dalam bahasa Yunani disebut dengan
arche. Para filsuf tersebut mengadakan pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang asal
mula alam semesta. Pemikiran mereka mencakup segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh akal.
Pada waktu itu, filsafat meliputi segala sesuatu yang sekarang disebut dengan ilmu pengetahuan
seperti: ilmu pasti, ilmu alam, ilmu hitung,ilmu ukur, ilmu bintang (astronomi), ilmu hayat, ilmu
kedokteran dan ilmu politik (Harun Hadiwijono, 1980:16).
Thales adalah orang pertama yang mempersoalkan substansi terdalam atau prinsip dasar
(prinsip pertama) dari segala sesuatu. Oleh karena itu Thales dianggap sebagai bapak filsafat. Ia
mengatakan bahwa prinsip pertama dari alam semesta berasal dari air. Anaximandros atau
Anaximander mengatakan bahwa substansi alam semesta adalah to apeiron (tak terbatas),
Anaximenes berpendapat bahwa prinsip dasar alamsemsta adalah udara, Pythagoras mengatakan
bahwa prinsip dasar adalah berupa bilangan-bilangan, Empedokles mengatakan bahwa substansi
alam semesta terdiri dari empat unsur (tanah, air api dan udara) dan Demokritos berpendapat
bahwa alam semesta terdiri dari atom-atom. Demokritos mengajarkan bahwa realitas yang ada
tidak hanya satu atau dua unsur tetapi terdiri dari banyak unsur. Unsur tersebut dinamakan atom,
berasal dari kata atomos (a artinya tidak dan tomos artinya terbagi). Menurut Demokritos, atom
tersebut jumlahnya tidak terhingga banyaknya (Bertens, 1984:62). Dengan demikian Demokritos
adalah orang pertama yang meletakkan dasar teori-teori tentang atom. Pemikiran Demokritos ini
merupakan peletak dasar dari prinsip mekanistis dan materialistik.
Sumbangan pemikiran barat yang besar pada masa Yunani kuno ada pada Socrates (469-
399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates telah merubah jalannya
sejarah pemikiran barat karena pokok persoalan yang diselidiki bukan lagi alam semesta tetapi
sudah bergeser pada manusia, artinya para filsuf tidak hanya mempelajari tentang alam semesta
saja tetapi juga mengarahkan pada persoalan-persoalan manusia.
Setelah Socrates meninggal, pemikiran-pemikirannya diteruskan oleh muridnya bernama
Plato. Plato lahir di Athena, ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione (Bertens,
1984:94). Plato adalah filsuf Yunani pertama yang menghasilkan karya-karya yang utuh (Harun
Hadiwijono, 1980:38). Plato mendirikan sekolah yang diberi nama “Akademia”. Banyak karya-
karya Plato, diantaranya yang terkenal sampai sekarang adalah: Apologia, Politeia, Republic dan
Timaios.
Sumbangan pemikiran pada masa Yunani kuno mencapai puncaknya pada pemikiran
Aristoteles. Hampir semua ilmu pengetahuan sekarang ini berasal dari pemikiran-pemikiran
Aristoteles, bahkan pada Abad Pertengahan masyarakat gereja hanya mengakui dan mengetahui
pemikiran dari Aristoteles. Karya-karya Aristoteles selalu dijadikan sumber dan pegangan oleh
para filsuf dan para ilmuwan dikemudian hari. Pemikiran Aristoteles telah memberikan
sumbangan bagi perkembangan bidang ilmu pengetahuan, seperti: matematika, fisika, biologi,
pisikologi, ekonomi, politik dan lain-lain. Murid Aristoteles yang terkenal adalah Aleksander
Agung.
Peradaban Yunani Kuno pada waktu itu sudah sangat maju bahkan dianggap telah
melampaui zamannya. Secara sosial politik, bangsa Yunani membedakan diri dengan masyarakat
bar-bar. Orang bar-bar adalah orang asing, yang tidak lain sebagai budak. Baginya orang Yunani
adalah orang yang beradab dan merdeka. Orang Yunani hidup dalam sebuah polis (menunjuk
kepada rakyat yang hidup dalam negara kota). Polis ini sebagai lembaga politik, yang menjadi
pusat segala keaktifan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan religius. Lembaga politik ini
mendapat kedudukan istimewa dalam masyarakat Yunani.
Dalam kehidupan bermasyarakat, urusan negara adalah urusan umum; artinya
kepentingan negara mengatasi kepentingan pribadi dan oleh karena itu negara tidak boleh
dirahasiakan. Dalam polis, urusan negara tidak terbatas atas seseorang atau sekelompok orang
saja, tetapi harus melibatkan semua warga negara. Dalam kehidupan sehari-hari, semua warga
negara mempunyai hak yang sama dan sederajat. Setiap warga berhak mengambil bagian dalam
urusan negara, seperti dalam keadaan perang harus memainkan perannya dalam medan
pertempuran. Sistem pemerintahan bersifat demokratis, kekuasaan tertinggi ada pada rakyat
(Bertens, 1984:21).
Dari aspek kultural, bangsa Yunani menghasilkan karya sastra dan filsafat. Kesusasteraan
di Yunani pada waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa dalam masyarakat. Karya-karya
sastra dianggap mempunyai nilai edukatif bagi masyarakat Yunani. Karya sastra dan pemikiran
filsafat selalu seiring dalam membentuk manusia Yunani yang bersifat rasional, obyektif dan
analitis.
II. Periode Pemikiran Abad Pertengahan (Awal Masehi-13 M)
Setelah berakhirnya pemikiran Aristoteles (abad 3 SM), peradaban Yunani mengalami
kemunduran dan kemudian mucul bangsa Romawi dalam peradaban Barat. Meskipun bangsa
Romawi sangat terkenal dan mempunyai peradaban yang maju namun dalam bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan, mereka praktis tidak memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran dibanding
dengan bangsa Yunani. Pada dasarnya bangsa Romawi adalah orang-orang yang ahli di bidang
militer disamping mereka ahli di bidang seni sastra, pelayaran, perdagangan, pemerintahan,
peperangan dan pertanian. Yang berkuasa adalah kaum bangsawan dan kaum agamawan, mereka
telah mendominasi peradaban di Eropa Barat dan agama yang dianut adalah agama Katolik
Roma.
Dalam perkembangan selanjutnya dominasi-dominasi di bidang agama sangat menonjol
sekali. Mereka lebih sibuk dengan memperhatikan masalah-masalah yang berhubungan dengan
keagamaan atau ketuhanan. Seperti mempermasalahkan tentang dosa atau pengampunan dosa
dan sebagainya. Mereka tidak begitu memperhatikan masalah-masalah keduniaan dan ilmu
pengetahuan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, bangsa Romawi (abad pertengahan) berpedoman
pada karya-karya Aristoteles dan ajaran-ajaran agama. Bagi ilmu pengetahuan yang bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama, maka pemikiran dan penemuan ilmu pengetahuan tersebut harus
diganti atau bahkan harus dimusnahkan. Apalagi jika penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
yang membahayakan terhadap ajaran-ajaran agama maka harus dimusnahkan.
Oleh karena mereka tidak memperhatikan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan
masalah-masalah duniawi sementara yang mereka perhatikan adalah masalah keagamaan dan
ketuhanan, maka Eropa pada abad pertengahan mengalami stagnan atau kemunduran dalam
bidang ilmu pengetahuan. Sehingga peradaban Barat pada abad pertengahan sering disebut
dengan The Dark Of Age (Abad Kegelapan).
Sesudah tahun 476 M, Romawi Barat mengalami kemunduran, sementara Romawi Timur
tetap bertahan sampai tahun 1453 M, saat Konstantinopel ditaklukkan oleh bangsa Turki yang
bergama Islam (Bertrand Russell, 2007:375). Sejak Romawi Barat mengalami kemunduran pada
tahun 476 M (abad 5 M), maka dunia Eropa memasuki Abad Kegelapan (The Dark of Age).
Di kalangan gereja pada abad 5 M dihadapkan pada kontroversi tentang inkarnasi.Tokoh
yang terlibat dalam perdebatan adalah dua orang rohaniwan, yaitu Cyril dan Nestorius. Cyril
dianggap sebagai orang suci, sementara Nestorius dianggap sebagai orang sesat. Cyril adalah
Uskup Agung Alexandria sekitar tahun 412 M sampai meninggal tahun 444 M, sedangkan
Nestorius adalah Uskup Agung Konstantinopel. Masalah yang diperdebatkan adalah hubungan
antara ketuhanan Kristus dengan kemanusian-Nya. Apakah ada dua pribadi, satu manusia dan
satu Tuhan ?. Pandangan ini dianut oleh Nestorius, jika tidak apakah hanya ada satu sifat atau
apakah dua sifat, sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan dalam satu pribadi ?. Sedangkan Cyril,
penganjur kesatuan adalah orang yang fanatik dan menggunakan kedudukannya sebagai Uskup
Agung untuk propaganda menentang pandangan Nestorius (Bertrand Russell 2007:493-494).
Uskup Cyril prihatin bahwa Konstantinopel disesatkan oeh ajaran Uskup Nestorius, yang
mengatakan ada dua pribadi dalam diri Kristus, yaitu satu manusia dan satu Tuhan. Atas dasar
inilah Nestorius menolak praktek baru yang menyebut Perawan Maryam “Ibu Tuhan”.Menurut
Nestorius, Bunda Maryam hanyalah seorang ibu dari manusia biasa, sedangkan Tuhan tidak
mempunyai ibu. Oleh karena masalah tersebut gereja terpecah menjadi dua pandangan. Untuk
memcahkan masalah tersebut dewan gereja memanggil pertemuan di Ephesus dan Nestorius
dianggap sebagai pembuat sesat (Bertrand Russell, 2007:494). Dewan gereja di Ephesus
memutuskan bahwa hanya ada satu Pribadi Kristus.
Pada akhir abad 11 M, orang Eropa mulai menyadari untuk menyelamatkan tanah
Yerussalem dari orang-orang Islam (suku Turki Saljuk) yang telah menguasai wilayah
Yerussalem. Akhirnya pada tahun 1071 M suku Turki Saljuk mengalahkan Byzantium sehingga
kaisar Konstantinopel (Alexius I) meminta bantuan pada Paus Urbanus II. Paus Urbanus II
(1088-1099M) mengumumkan Perang Salib Pertama (Bertrand Russell, 2007:570). Pada tahun
1095 M, di hadapan Dewan Clermont, Paus Urbanus II berkhotbah dan memproklamirkan
Perang Salib Pertama yang menimbulkan antusiasme agama sehingga meningkatkan kekuasaan
kepausan (Bertrand Russell,2007:572). Dalam khotbahnya, Paus Urbanus II mengatakan bahwa
sudah saatnya umat Kristiani mengangkat senjata melawan tentara Islam untuk merebut kembali
wilayah Yerusslaem. Perang Salib Pertama dimulai tahun 1096 dengan dipimpin oleh Godfrey,
Bohemond dan Raymond untuk merebut kota suci Yerussalem dan tanah suci Kristen dari kaum
Muslim. Tentara Salib memperoloeh kemenangan besar dengan merebut kembali Yersussalem
pada tahun1099 M.
Perang Salib Kedua dimulai tahun 1147 M, dibawah kekuasaan Paus Eugenius III.
Tentara Salib dipimpin oleh raja Louis VII (Perancis) dan raja Condrad II (Jerman). Di pihak
lain, kaum Muslim dipimpin oleh Sultan Saladin Al Ayyubi dengan semangat perang jihad
berhasil merebut kembali wilayah Yerussalem dari Tentara Salib pada tahun 1187 M.
Pada tahun (1189-1192 M) kembali dimulai Perang Salib Ketiga. Tentara Salib dipimpin
oleh Frederick Barbarossa (Frederick I) dari Jerman, Richard Lionheart (Richard Si Hati Singa)
dari Inggris dan raja Philip Augustus (Philip II) dari Perancis. Namun karena ketiga pimpinan
Tentara Salib saling berselisih, saling berebut dan iri hati akhirnya Perang Salib Ketiga
mengalami kegagalan.
Perang Salib Keempat (1202-1204 M) terjadi pada masa Paus Innocent III (1198-1216
M), yaitu orang yang mempunyai keyakinan teguh dalam mengambil keputusan kepausan. Ia
telah memerintahkan Perang Salib kepada Raymond dan Frederick II yang telah menghancurkan
warisan peradaban Barat. Namun Paus tidak puas dengan pimpinan Perang Salib, yaitu Raymond
dan Frederick II. Paus memecat Raymond karena bersikap setengah hati dalam mendukung
Perang Salib (Bertrand Russell, 2007:587). Paus juga memecat Frederick II karena ketika tiba di
Palestina, Frederick II menjalin persahabatan dengan kaum Muslim, membuat Paus lebih marah
lagi. Pasukan salib dianggap oleh Paus Innocent III telah murtad. Menurut Paus, pasukan harus
memerangi orang kafir, bukan berdamai dengan mereka (Bertrand Russell, 2007:589).
Pemikiran Abad Peertengahan dapat dibedakan menjadi tiga zaman yaitu: zaman
helenistik, zaman patristik dan zaman skolastik.
1)Zaman Helenistik
Zaman sesudah Aristoteles berbeda dengan zaman sebelum Aristoteles. Zaman sesudah
Aristoteles sering disebut dengan zaman Helenistik. Zaman Helenistik dimulai dari pemerintahan
Aleksander Agung. Zaman Helenistik ini memberikan kebudayaan dengan ciri-ciri pada para
bangsa yang bukan bangsa Yunani dengan mengadakan perubahan-perubahan di bidang
kesusasteraan, agama dan filsafat (Harun Hadiwijono, 1980:54). Pada zaman Helenistik,
pemikiran lebih diarahkan pada tindakan-tindakan manusia yang bersifat etis. Salah satu pemikir
yang menonjol pada zaman Helenistik adalah Epikuros (341-271 SM).
2) Zaman Patristik
Setelah zaman Helenistik berakhir, pemikiran di Barat kemudian diteruskan dengan
zaman Patristik. Pada saat inilah muncul orang-orang seperti: rasul Paulus, rasul Mathius, rasul
Yudas, dan rasul Yohanes, dan lain-lainnya. Mereka ini adalah murid-murid dari Yesus (Isa
Almasih). Zaman ini disebut dengan zaman Patristik, dari kata pater yang berarti bapak, yaitu
para bapak gereja. Zaman ini meliputi zaman para rasul (abad 1M) hingga awal abad 8 M. Para
filsuf Kristen pada zaman Patristik mengambil sikap yang berbeda-beda. Ada yang menolak
filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia dan menganggap bahwa
sudah ada wahyu ilahi. Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani karena filsafat
dipandang sebagai sarana atau penunjang bagi peneguhan kebenaran adanya Tuhan (Harun
Hadiwijono,1980:70). Salah satu tokoh zaman Patristik adalah Aurelius Augustinus (354-430
M), yang sering disebut dengan St. Augustinus.
3)Zaman Skolastik

Bersamaan dengan keruntuhan kerajaan Romawi maka runtuh pula peradaban Romawi.
Pada zaman yang kacau tersebut perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat terhambat. Baru
dibawah pemerintahan Karel Agung (742-814) yang memerintah pada awal abad pertengahan
mulai muncul budaya, politik, ilmu pengetahuan, kesenian dan filsafat (Harun Hadiwijono,
1980:87). Filsafat pada abad pertengahan ini berbeda sekali dengan zaman sebelumnya, yaitu
zaman Helenistik dan zaman Patristik. Filsafat abad pertengahan menggambarkan suatu zaman
yang baru, ditengah-tengah rumpun bangsa yang baru yaitu bangsa Eropa Barat. Filsafat yang
baru ini dinamakan Skolastik (Harun Hadiwijono, 1980:87).
Untuk memahami pemikiran skolastik dapat dilihat dari aspek lingkungan ilmu
pengetahuan dan aspek religi (keagamaan). Dilihat dari aspek religi, masyarakat abad
pertengahan menganggap bahwa kehidupan di dunia sebagai persiapan perjalanan menuju ke
dunia lain (surga). Bagi manusia abad pertengahan, Nabi Isa (Yesus) adalah pembebas dan
pembahagia yang akan menolong umat manusia menuju surga. Aspek keagamaan ini yang
menjadi dasar filsafat skolastik pada abad pertengahan. Sementara dilihat dari aspek lingkungan
ilmu pengetahuan, masyarakat abad pertengahan telah mengenal universitas-universitas
(sekolah), metode pelajaran dan perpustakaan.
Filsafat Skolastik menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan
oleh sekolah-sekolah. Pada awalnya Skolastik muncul di biara-biara Gallia Selatan, dimana
tempat tersebut merupakan penyimpanan hasil-hasil karya filsuf Yunani kuno dan penulis
Kristiani (Harun Hadiwijono, 1980:87). Pada masa ini rencana pelajaran-pelajaran sekolah
meliputi studi bebas (artes liberalis), yang menunjuk pada kumpulan-kumpulan pengetahuan.
Studi bebas ini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok quadrivium dan kelompok
trivium. Kelompok pelajaran quadrivium terdiri dari empat ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang kenyataan fisik meliputi ilmu hitung (aritmatik), astronomi, ilmu ukur (geometri), dan
musik. Sedangkan kelompok pelajaran trivium terdiri dari tiga kesenian meliputi tata bahasa
(gramatika), seni pidato (retorika) dan logika.
Tokoh yang terkenal pada zaman Skolastik adalah Thomas Aquinas (1225-1274).
Disamping itu ada sarjana-sarjana yang terkenal dari masa Skolastik diantaranya adalah
Anselmus (1033-1109) dan Petrus Abaelardus (1079-1142). Anselmus menjadi uskup di
Canterbury dan mengembangkan pemikiran dari Augustinus (Harun Hadiwijono, 1980:95),
sementara Petrus Abaelardus mengembangkan cara berpikir (metode dialektika) melalui
rasionalitas untuk menjelaskan keberadaan dan kebenarana Tuhan (Harun Hadiwijono, 1980:98).
Pemikiran Para Filsuf Islam
Kalau di Eropa abad pertengahan disebut abad kegelapan, sebaliknya muncul peradaban
lain, yaitu peradaban Islam yang mengalami kemajuan atau kejayaan. Awal era peradaban Islam
dimulai pada tahun 622 M, setelah sepuluh tahun meninggalnya Nabi Muhammad. Sepeninggal
Nabi, mulai diadakan penaklukan wilayah Arab dan penaklukan wilayah lain seperti: Syria (634
M), Persia (637 M), Mesir (642 M), India (664 M), Konsatntinopel (669 M) dan Spanyol (711
M) berlangsung dengan cepat (Bertrand Russell, 2007:558) Bahkan peradaban Islam sudah
menguasai di berbagai wilayah seperti wilayah Persia, Asia Kecil, Afrika Utara, bahkan sampai
ke daratan Eropa (Turki dan Spanyol).
Sepeninggal Nabi, sistem kepemimpinan di Arab bersifat monarki absolut di bawah
khalifah (kekhalifahan). Kekhalifahan biasanya dipilih dan kemudian jabatannya diwariskan
secara turun temurun. Dinasti pertama adalah Dinasti Umayyah yang berlangsung sampai tahun
750 M. Setelah Dinasti Umayyah kekhalifahan diganti oleh Dinasti Abbasiyah dengan khalifah
terkenal yaitu Khalifah Harun Al Rashid meninggal tahun 809 M (Bertrand Russell, 2007:560-
561).
Ekspansi peradaban Islam berkembang dengan cepat ke berbagai wilayah karena
peradaban Islam melalui Nabi Muhammad mengajarkan agama monoteisme yang sederhana,
tidak dirumitkan oleh teologi trinitas dan inkarnasi seperti dalam agama Nasrani. Nabi tidak
pernah menyatakan dirinya sebagai Tuhan, demikian juga dengan umatnya. Nabi menghidupkan
kembali larangan agama Yahudi tentang patung berhala dan tidak boleh menganiaya kaum
Nasrani atau Yahudi (Bertrand Russell, 2007:559).
Peradaban Islam oleh beberapa sejarawan telah memberikan sumbangan pemikiran ilmu
pengetahuan modern. Para filsuf Islam telah memberikan sumbangan perkembangan ilmu
pengetahuan modern dengan berusaha menerjemahkan dan mempelajari karya-karya pemikir
pada abad Yunani Kuno terutama karya-karya Aristoteles serta diterjemahkan kedalam bahasa
Arab. Dengan diterjemahkannya karya-karya tersebut maka bangsa di wilayah kekuasaan Islam
menjadi maju dan menjadi pelopor di bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu wilayah-wilayah
pendukung peradaban Islam merupakan wilayah atau kota-kota pelabuhan yang sangat
dimungkinkan adanya hubungan antar peradaban. Dengan diterjemahkan kembali pemikiran-
pemikiran pada masa Yunani kuno, maka bangsa di wilayah tersebut menjadi maju dan
berkembang.
Penerjemahan ke dalam bahasa Arab dilakukan pada masa kepemimpinan khalifah Harun
Al Rashid kira-kira tahun 800 M. Penterjemahan pertama yang sampai ke ilmuwan-ilmuwan
sekarang didasarkan pada bahasa Arab dilakukan oleh Athelhard pada tahun 1120, sejak saat itu
studi-studi tentang geometri dan astronomi berangsur-angsur bangkit kembali di dunia Barat,
namun baru sesudah akhir zaman Renaissance mencapai kemajuan-kemajuan yang luar biasa
(Bertrand Russell, 2007:288). Tokoh-tokoh atau filsuf Islam yang memberikan sumbangan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat diantaranya adalah: Al Khawarizmi (783-850 M),
Al Kindi (801-873 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Ibnu Rushd (1126-1198 M) dan Ibnu Khaldun
(1332-1406 M).

III. Periode Abad Modern


Munculnya Gerakan Renaissance dan Humanisme

Setelah berakhirnya abad pertengahan, yaitu sekitar akhir abad ke-14 peradaban Barat
mengalami pencerahan pemikiran menuju abad modern. Zaman modern dimulai kira-kira pada
1500 M. Meskipun demikian abad pertengahan tidaklah berhenti, kemudian abad modern mulai.
Abad modern bukanlah suatu fajar yang mengakhiri malam abad pertengahan (Brinton,
1981:23). Masa transisi antara abad pertengahan menuju abad modern diawali dengan gerakan
renaissance. Secara harfiah kata renaissance diartikan sebagai kelahiran kembali, sedangkan
secara historis berarti suatu gerakan atau semangat yang berpedoman kepada peradaban masa
Yunani kuno, dimana pada masa Yunani kuno telah mengedepankan kebebasan berpikir dan
bertindak (Harun Hadiwijono, 1984:1).
Cara pandang abad modern sebagai lawan dari cara pandang abad pertengahan dimulai di
Italia dengan gerakan yang disebut renaissance. Italia yang dulunya pernah menjadi pusat
Imperium Romawi kuno tetap mewarisi kebudayaannya. Pada awalnya, hanya beberapa orang,
diantaranya adalah Petrach yang menganut pandangan modern kemudian selama abad 15
pandangan renaissance menyebar ke sebagian orang Italia yang terdidik, baik di kalangan awam
maupun para pendeta (Bertrand Russell, 2007:651).
Munculnya renaissance tidak terlepas dari kota-kota besar di Italia, seperti Venesia,
Florence dan Genoa pada sekitar abad 12-14 merupakan kota pelabuhan dan perdagangan yang
maju sehingga melahirkan kelas orang kaya. Pada abad ke 13, ada tiga kelas yang berseteru di
Florence, yaitu: kelas bangsawan, kelas pedagang kaya dan kelas rakyat biasa (Bertrand Russell,
2007:653). Dengan adanya para kelas pedagang dan kelas bangsawan dari kota-kota terkemuka
di Italia memberikan dorongan kepada para penulis, pemikir dan seniman untuk berkarya, seperti
keluarga Medici, keluarga Leonardo da Vinci dan Michael Angelo.
Keluarga Medici yang berhasil menjadi penguasa Florence mulai kariernya sebagai
pemimpin politik yang demokratis. Cosimo dei Medici (1389-1464) adalah orang pertama dari
keluarga Medici. Florence dianggap sebagai kota yang paling beradab dan menjadi sumber
inspirasi utama renaissance. Hampir semua nama besar dalam bidang kesusasteraan dan kesenian
berhubungan dengan kota Florence (Bertrand Russell, 2007:653-654).
Gerakan renaissance bercita-cita untuk membentuk manusia yang otonom, yaitu manusia
yang mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak. Renaisance mendidik manusia ke arah
individualistik. Hal ini yang tidak terdapat dalam abad pertengahan, karena pada abad
pertengahan segala perbuatan dan tindakan selalu diabdikan pada gereja. Renaissance Italia telah
meruntuhkan pemikiran skolastik dan membangkitkan kembali pemikiran Plato yang selama
masa skolastik disingkirkan. Renaissance telah mengembangkan ilmu pengetahuan dari tangan
pertama melalui para penafsir dari filsuf Islam, dan yang lebih penting renaissance mendorong
tumbuhnya kebiasaan untuk menghargai kegiatan intelektual sebagai sebuah kerja (Bertrand
Russell, 2007:657-658).
Gerakan atau semangat renaissance mengingatkan kepada masyarakat Eropa agar berani
berfikir dan bertindak secara bebas. Dengan berfikir secara bebas, maka peradaban manusia akan
terus berkembang. Para tokoh penggerak renaissance mengingatkan kembali pada masyarakat
Eropa akan keterbelakangan dan kemunduran pemikiran manusia yang selalu didominasi kaum
gereja dan bangsawan pada abad pertengahan. Oleh karena itu para tokoh renaissance yang
didukung kaum humanisme dan intelektual selalu kritis berusaha kembali untuk menumbuhkan
semangat akan pentingnya kebebasan berfikir dan bertindak bagi setiap manusia. Renaissance
adalah gerakan sekelompok kecil intelektual dan seniman yang didukung oleh kaum pengusaha
dan para paus yang humanis (Bertrand Russell, 2007:658).
Masa transisi antara abad pertengahan menuju abad modern juga diwarnai dengan
berbagai pertentangan-pertentangan antara kaum agamawan dan kaum bangsawan dengan kaum
intelektual dan kaum humanisme. Periode sejarah yang lazim disebut “modern” mempunyai
banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode abad pertengahan. Ada dua hal
terpenting yang menandai sejarah “modern”, yakni runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya
otoritas sains. Menurut Bertrand Russell, abad pertengahan diidentikkan dengan otoritas gereja
dan abad modern diidentikkan dengan otoritas sains (Bertrand Russell, 2007:645). Dengan kata
lain kaum agamawan dan kaum bangsawan menolak adanya perubahan pikiran ataupun
penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan apalagi yang bertentangan dengan ajaran
agama.
Meskipun demikian banyak orang yang berani menentang ajaran-ajaran agama yang tidak
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi dengan keteguhan dan kebenaran
akan ilmu pengetahuan tersebut, maka mereka berani menentang atau melawan kaum agamawan
dan bangsawan. Mereka inilah yang dianggap sebagai perintis orang-orang modern. Mereka yang
dianggap sebagai perintis perkembangan abad modern adalah kaum humanisme yang merupakan
pilar utama pendukung gerakan renaissance. Gerakan humanisme mula-mula berkembang di
Italia kemudian berkembang ke seluruh Eropa seperti: Belanda, Jerman, Inggris, Perancis dan
Spanyol. Pada awal abad modern, humanisme mempunyai kecenderungan untuk menolak
kebiasaan berfikir abad pertengahan seperti yang diwujudkan dalam Skolatisisime (Brinton,
1981:30). Humanisme sendiri merupakan suatu faham atau aliran yang mengedepankan nilai-
nilai kemanusiaan.
Revolusi Ilmu Pengetahuan
Proses peradaban manusia modern sangat fenomenal, yaitu dengan munculnya
pemikiran-pemikiran di bidang ilmu pengetahuan, seperti penemuan dari Nicolaus Copernicus
(1473-1543), kemudian diteruskan oleh Tycho Brahe (1546-1601), Johanes Kepler (1571-1630),
Galileo Galilei (1569-1642) dan Francis Bacon (1561-1626). Hal yang paling mengejutkan
adalah dalam penemuan atau pemikiran Copernicus tentang astronomi, dimana pemikiran dan
penemuan dari Copernicus ini telah mencengangkan bagi pemuka-pemuka agama. Nicolaus
Copernicus lahir pada tahun 1473 di Torun, Polandia. Copernicus adalah seorang pendeta
ortodoks yang halus budi bahasanya. Pada masa muda, ia pergi ke Italia dan menghirup suasana
renaissance (Bertrand Russell, 2007:692). Selama di Italia, Copernicus mempelajari pemikiran
filsuf Aristarchus yang berpendapat bahwa bumi dan planet-planet lain berputar mengitari
matahari. Copernicus semakin yakin atas kebenaran hipotesa tersebut. Copernicus tidak pernah
bermimpi menjadi seorang astronom. Waktu hidupnya dihabiskan untuk mempelajari astronomi.
Semenjak awal Copernicus percaya bahwa matahari adalah pusat alam semesta dan bumi
mempunyai gerakan ganda, yaitu rotasi setiap hari dan revolusi mengelilingi matahari setahun
sekali. Oleh karena khawatir akan kecaman dari gereja maka ia menunda untuk menerbitkan
pemikiran-pemikirannya (Bertrand Russell, 2007:692).
Sebelum adanya pemikiran dari Copernicus, para pemuka agama berkeyakinan bahwa
ajaran-ajaran tentang tata surya dan seisinya berpedoman pada pemikiran dari Ptolemaios (masa
Yunani kuno). Ia mengatakan bahwa bumi merupakan pusat tata surya dan bumi adalah datar.
Pandangan ini yang diyakini oleh kalangan agamawan (Abad Pertengahan) yang berlangsung
berabad-abad lamanya. Pandangan atau teori ini lebih dikenal dengan teori geosentris. Teori
inilah yang kemudian dipatahkan atau digugat oleh Nicolaus Copernicus.
Menurut Copernicus, yang menjadi pusat dari tata surya adalah matahari dan ia juga
mengatakan bahwa bumi adalah bulat bukan datar. Pandangan atau teori ini sering disebut
dengan teori heliosentris. Penemuan inilah yang menggemparkan dan mengguncang pemuka-
pemuka agama (otoritas gereja). Bahkan Copernicus akan dihukum mati apabila dia tidak
mencabut pendapatnya, karena hal ini bertentangan dengan kalangan gereja dan ajaran agama.
Bagi pemuka agama, pemikiran Copernicus dianggap pandir dan bodoh. Mereka
mengatakan bahwa si bodoh (Copernicus) hendak memutarbalikkan teori astronomi, namun
dalam kitab suci dijelaskan bahwa matahari tetap diam. Pendirian kaum gereja Protestan sama
kerasnya dengan kaum agamawan Katolik. Martin Luther dan John Calvin mengecam
Copernicus dengan mengatakan dunia tidak bisa dipungkiri keberadaannya bahwa matahari tidak
bisa digerakkan (Bertrand Russell, 2007:695).
Pandangan inilah yang menjadi tonggak sejarah abad modern yang dipelopori oleh
Copernicus di bidang ilmu pengetahuan. Sehingga sampai sekarang pemikiran Copernicus
dijadikan tonggak munculnya revolusi ilmiah (Copernican Revolution). Teori heliosentris oleh
Copernicus kemudian disempurnakan oleh Tycho Brahe, Johanes Kepler, dan kemudian Galileo
Galilei.
Dibidang ilmu pengetahuan lainnya muncul tokoh yang tidak sedikit memberikan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan yaitu Francis Bacon. Ia lahir di
London tahun 1561, Bacon merupakan peletak dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan
terutama ilmu-ilmu empris (ilmu-ilmu yang berdasar pada pengamatan atau observasi) dan
dipandang sebagai orang yang meletakkan dasar bagi metode induktif. Menurut Bacon, untuk
menyusun ilmu pengetahuan harus menggunakan cara kerja atau metode induktif, yaitu sistem
penalaran yang berdasarkan pada argumentasi atau pernyataan dari sejumlah hal sampai pada
sebuah kesimpulan bersifat umum dan hasilnya boleh jadi (dugaan-dugaan sementara).
Menurut Bacon, cara kerja dari ilmu pengetahuan terlebih dahulu diadakan pengamatan
atau observasi kemudian diadakan percobaan-percobaan, dan sampai pada pengujian-pengujian
tentang obyek yang akan dikaji. Penjelasan tentang metode induktif terdapat dalam karyanya
Novum Organum (1620). Buku ini merupakan pengganti dari buku Aristoteles, yaitu Organon
yang dipelajari dan dikembangkan dalam ilmu-ilmu deduktif. Menurut Bacon, ilmu-ilmu empiris
yang menjadi dasar kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan tidak menggunakan cara kerja deduktif.
Bacon menekankan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diusahakan dengan pengamatan,
percobaan-percobaan dan penyusunan fakta-fakta (Harun Hadiwijono, 1984:17).
Reformasi Agama (Protestantisme)

Gerakan protestantisme merupakan salah satu tonggak sejarah peradaban Barat menuju
zaman modern di bidang reformasi agama (pembaharuan agama). Tokoh dan penggerak
pandangan protestantisme diantaranya adalah Martin Luther (1483-1546). Ia adalah seorang
pastur dari Jerman dan pendiri gereja Protestan (gereja Lutheran). John Kalvin (1506-1564), ia
adalah seorang ahli agama Kristen dari Perancis. Namanya sering dikaitkan dengan sistem
teologi Kristen yang disebut dengan Kalvinisme dan Ulrich Zwingli (1484-1531,) ia adalah
pemimpin reformasi gereja dari Swiss.
Mereka tidak puas dengan ajaran agama yang disampaikan pemuka-pemuka agama
Katolik Roma, terutama yang diajarkan oleh gereja-gereja Katolik. Menurut protestantisme
(kaum Protestan), ajaran-ajaran Katolik Roma dianggap telah menyimpang dari ajaran-ajaran
yang diberikan oleh Yesus atau Isa Almasih. Hal ini dibuktikan dengan munculnya surat
pengampunan dosa. Oleh karena itu protestantisme mengadakan reformasi (pembaharuan) agama
dan kemudian mendirikan gereja baru yaitu gereja Inggris (Gereja Protestan Episkopal) (Brinton,
1981:82)
Bagi kelompok petinggi gereja Katolik Roma, pengikut-pengikut protestantisme ini
dianggap telah menyimpang dan keluar dari agama Kristen. Bahkan dianggap murtad dari agama
nenek moyang mereka. Sementara bagi kelompok reformis (pendukung gerakan-gerakan
protestantisme), mereka menginginkan adanya suatu perubahan-perubahan (pembaharuan) dan
membersihkan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus. Kaum
reformis protestantisme ingin meluruskan kembali ajaran yang telah diberikan atau disampaikan
oleh Yesus tersebut.
Para reformis protestan menegaskan bahwa mereka bukan sekedar memperbaharui
melainkan ingin kembali ke ajaran Yesus dan gereja awal, yaitu gereja Kristen yang
sesungguhnya. Mereka mengatakan bahwa gereja Roma yang telah merubah tradisi Kristen yang
benar dengan menodainya. Para reformis protestan percaya dan mengikuti jejak Kristus. Mereka
tidak beranggapan untuk merubah tradisi tetapi ingin memulihkan kembali ajaran Kristus
(Brinton, 1981:74-75).
Dengan demikian kaum protestan berpihak pada kebebasan individu dan pemerintahan
yang demokratis, sementara kaum katolik berada di pihak kekuasaan dan hak-hak istimewa.
Kaum protestan merasa dirinya sebagai orang modern, karena ingin mengadakan perubahan
sedangkan kaum katolik bersifat sebagai orang Zaman Pertengahan (Brinton, 1981:84). Kaum
katolik ingin mempertahankan ajaran dan tradisi lama yang telah berlangsung berabad-abad
lamanya.
Ajaran yang diperkenalkan dalam protestantisme adalah adanya semangat kerja atau etos
kerja. Bagi protestantisme, kerja adalah perbuatan yang mulia atau dianjurkan oleh Tuhan,
sedangkan orang yang tidak bekerja adalah dekat dengan setan. Kerja merupakan suatu perbuatan
kesalehan untuk maju ke dunia yang nantinya memperoleh pahala. Pandangan tentang etika kerja
dari kaum protestan mendasarkan pada ajaran dari John Kalvin, yang mengajarkan bahwa orang
bekerja adalah perbuatan mulia. Kalvinisme (penganut ajaran dari John Kalvin) adalah pusat
protestantisme (Brinton, 1981:102). Ajaran Kalvinisme ini banyak membantu dan mendorong
para kapitalis untuk mengembangkan usahanya. Ajaran Kalvinisme tentang kebebasan ini
merupakan benih-benih munculnya revolusi industri di Inggris pada abad 18.
Pemikiran Pada Abad 17
Abad ke 17 merupakan abad pembentukan pemikiran modern, yang sudah dimulai sejak
abad 15 dan 16. Abad 17 sering disebut dengan abad ilmu pengetahuan. Abad 17, tidak hanya
ditandai sebagai abad orang-orang yang pandai luar biasa (the century of genius) seperti,
Thomas Hobbes, Rene Descartes dan John Locke. Abad ini juga ditandai dengan terbentuknya
badan-badan atau lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, seperti Royal Society di Inggris (1660)
dan Academie des Sciences di Perancis (1660), dimana ilmu pengetahuan sudah menjadi
kegiatan sosial kemasyarakatan (Brinton, 1981:121).
Pada Abad 17 memang abad luar biasa, tidak hanya di bidang astronomi dan ilmu
dinamika tetapi juga dalam banyak hal yang berkaitan dengan penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan. Teleskop diciptakan oleh Lippershey pada tahun 1608, Torricelli dari Italia
menciptakan barometer, Von Guericke (1602-1686) dari Belanda menciptakan pompa udara.
Dengan penciptaan-penciptaan tersebut, penyelidikan ilmiah menjadi lebih pasti dari pada
penelitian sebelumnya (Bertrand Russell, 2007:704).
Perkembangan selanjutnya pada abad 17 bermunculan penemuan-penemuan dalam
bidang di luar astronomi dan ilmu dinamika. Gilbert (1540-1603) menemukan magnet pada tahun
1600. Harvey (1578-1657) menemukan sirkulasi darah pada tahun 1628 (Bertrand Russell,
2007:704). Dalam tahun 1628, Harvey membuktikan bahwa jantung manusia sesungguhnya
merupakan pompa dan bahwa darah manusia dijalankan oleh jantung melalui sistem peredaran
darah (Brinton, 1981:134). Kemudian Leeuwenhoek (1632-1723) dari Belanda menemukan
mikroskop dalam memeriksa spermatozoa dan protozoa atau organisme-organisme terkecil
seperti bakteri, Robert Boyle (1627-1691) sebagai bapak kimia, terkenal dengan hukum Boyle
yang menyatakan bahwa dalam jumlah dan suhu gas tertentu tekanan udara berbanding terbalik
dengan volumenya (Bertrand Russell, 2007:704).
Abad ke-17 sebagai abad ilmu pengetahuan telah mulai nampak pada awal abad 16,
ketika Copernicus, Johanes Kepler, Galileo Galilei memberikan suatu teori atau pandangan yang
berbeda dengan teori sebelumnya, yang lebih dikenal dengan revolusi Copernicus (Copernican
Revolution). Untuk memperjelas revolusi Copernicus muncul revolusi ilmiah oleh Rene
Descartes (Cartesian Revolution), terutama bidang ilmu pasti dan matematika dengan sistem
koordinat yang fungsinya untuk menjelaskan gejala-gejala alam. Revolusi Cartesian telah
menjelaskan fungsi ilmu pengetahuan dalam pembentukan pemikiran modern. Kedua revolusi
ilmiah tersebut telah meruntuhkan dominasi alam pikiran abad pertengahan.
Pada abad 17, pembentukan pemikiran modern mencapai penyempurnaan pada beberapa
tokoh besar. Sumber kebenaran yang dipakai manusia adalah melalui akal pikiran (rasio) dan
pengalaman panca indera (empiris). Oleh karena itu pada abad 17 muncul pandangan atau faham
baru dalam pembentukan pemikiran manusia yaitu rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme adalah suatu faham atau pandangan yang berpendirian bahwa akal pikiran
(rasio) manusia menjadi landasan dalam kehidupan. Dengan kata lain rasionalisme mempunyai
prinsip bahwa alam semesta bekerjanya sama dengan bekerjanya akal pikiran manusia. Jelasnya
harapan dari seorang rasionalis menyatakan bahwa segala-galanya tergantung dari akal pikiran
manusia. Bahkan ada anggapan bahwa rasio berfungsi sebagai pengganti Tuhan atau agama
(Brinton, 1981:120).
Kaum rasionalisme tidak percaya adanya hal yang gaib seperti: Tuhan dan malaikat
karena tidak bisa dibuktikan melalui akal pikiran. Hal yang gaib hanya bisa dibuktikan melalui
keimanan dan keyakinan seseorang. Pandangan ini sudah mulai menyimpang dari kepercayaan
Kristen, terutama alam gaib. Kaum rasionalis cenderung ke arah posisi bahwa yang sesuai
dengan pikiran itulah yang sesuai dengan alam dan tidak terdapat alam gaib (Brinton, 1981:118).
Dengan demikian, rasionalisme cenderung untuk menjauhkan dari agama Kristen dan
menyingkirkan Tuhan serta kegaiban dari alam semesta. Bagi rasionalisme, yang ada hanyalah
hal alamiah dan yang dapat diselidiki melalui metode penelitian ilmiah. Oleh karena itu untuk
memperoleh ilmu pengetahuan harus menggunakan rasio atau akal pikiran. Tegasnya
rasionalisme berpendirian bahwa kebenaran harus berdasar pada akal pikiran manusia atau rasio.
Bagi rasionalisme yang penting adalah hal-hal yang bersifat konkrit atau nyata dan dapat
dianalisa dengan pikiran.
Tokoh yang mewakili pemikiran rasionalisme pada abad 17 adalah Rene Descartes
(1596-1650). Dalam bidang matematika, Rene Descartes mempunyai nama Cartesius. Descartes
adalah seorang filsuf, matematikawan dan ilmuwan. Ia disebut sebagai bapak filsafat modern dan
sering dijuluki sebagai seorang polymath artinya orang yang mempunyai perhatian atau
pandangan sangat luas tentang ilmu pengetahuan terutama di bidang matematika dan ilmu pasti
(Brinton, 1981:139).
Sumbangan besar dari Descartes pada geometri adalah penemuannya tentang koordinat
dengan menggunakan metode analitik untuk memecahkan masalah, mengamati konsekuensi-
konsekuensi dari pengandaian dan menerapkan aljabar pada geometri. Perubahan-perubahan
dalam bidang filsafat ditandai dengan pemikiran-pemikiran Descartes. Descartes mampu melihat
visi ke depan dari fenomena-fenomena alam. Ia yang pertama kali memperkenalkan dalam dunia
pengetahuan melalui kesadaran (rasio) tentang penyelidikan ilmiah dan memberi gambaran yang
jelas mengenai kerangka dalam menafsirkan alam semesta.
Dalam bidang matematika, Descartes telah mengkombinasikan analisis geometri dan
aljabar. Hal inilah yang menurut Descartes sebagai sumber yang sebenarnya dari ilmu
pengetahuan. Penemuannya dalam bidang ilmu pasti dan matematika merupakan sumbangan
yang positip bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Descartes telah memberi suatu arah yang
pasti pada pembentukan pemikiran modern. Ia dianggap sebagai perintis munculnya pemikiran
rasionalisme. Lebih-lebih ketika bukunya Discours de la Methode (Diskursus tentang Metode)
yang terbit tahun 1637 telah memberi keyakinan akan eksistensi akal pikiran. Dalam bukunya
tersebut Descartes menggunakan metode skeptis dalam mencari suatu kebenaran.
Semboyan Descartes adalah cogito ergo sum, artinya aku berpikir maka aku ada.
Sebelum aku berpikir maka semua yang ada dihadapanku harus aku ragukan. Bagi Descartes
segala sesuatu harus diragukan, hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan yaitu cogito (aku
berpikir). Hal ini merupakan pengetahuan langsung yang disebut dengan primum philosophium
(kebenaran filsafat pertama). Cogito (aku berpikir) adalah hal yang pasti sebab cogito adalah hal
yang sudah jelas dan terang sebagai ciri kebenaran sejati (Harun Hadiwijono, 1984:21). Menurut
Descartes, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly)
maksudnya bahwa gagasan atau ide satu sama lain harus dibedakan agar memperoleh suatu
kejelasan (Harun Hadiwijono, 1984:19).
Pemikiran barat yang muncul pada abad 17 selain rasionalisme adalah empirisme.
Empirisme adalah suatu faham yang menganggap bahwa pengalaman indera (empiri) yang
menjadi tolak ukur dari suatu kebenaran. Dengan demikian, faham empirisme menganggap
bahwa pengalaman melalui panca indera yang menjadi landasan kehidupan manusia. Demikian
pula halnya, untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus berdasar pada pengamatan atau
pengalaman inderawi (pengalaman lahiriah). Menurut empirisme, akal pikiran (rasio) hanya
sebagai pelengkap atau membantu untuk memperjelas pengetahuan yang berasal dari
pengalaman. Cara kerja yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan adalah dengan
menggunakan metode induktif, seperti yang diterapkan oleh tokoh empirisme pada abad 16, yaitu
Francis Bacon.
Tokoh empirisme pada abad 17 adalah Thomas Hobbes (1588-1675) dan John Locke
(1632-1704). Thomas Hobbes adalah seorang penganut empirisme dan materialisme dari Inggris.
Pemikiran-pemikiran politik dituangkannya ke dalam bukunya Leviathan (1651 (Bertrand
Russell, 2007:719).Buku ini merupakan analisa tentang kekuasaan politik, terutama menjelaskan
tentang kekuasaan pemerintahan. Judul buku tersebut diambil dari kitab Perjanjian Lama yang
menggambarkan Leviathan sebagai seekor buaya raksasa yang memerintah di kerajaan binatang.
Dikisahkan bahwa sang penguasa kerajaan binatang, yaitu buaya raksasa yang tidak dapat
digulingkan. Hobbes yang pernah mengalami pemberontakan dan peperangan saudara di Inggris
menjadi yakin bahwa perdamaian dan ketertiban memerlukan suatu pemerintahan seperti yang
digambarkan dalam Leviathan, yaitu pemerintahan otoriter (Titus, 1984:46).
Tokoh lain empirisme abad 17 adalah John Locke. Ia adalah seorang filsuf dari Inggris.
Locke hidup dalam periode yang sangat kacau dalam sejarah Inggris, karena adanya konflik
antara raja dan kekuatan-kekuatan parlemen (Titus, 1984:174). Locke berpendapat bahwa segala
sesuatu pengetahuan berasal dari pengalaman atau empiri, sedangkan akal atau rasio merupakan
hal yang menyertai dan bersifat pasif pada waktu pengetahuan diperoleh. Menurut Locke,
pengetahuan merupakan goresan pengalaman manusia dalam kehidupannya. (Harun Hadiwijono,
1984:36).
Pandangannya tentang jiwa dari Locke sering dikenal dengan teori tabula rasa. Menurut
Locke, pada dasarnya manusia lahir bagaikan selembar kertas putih yang tanpa noda. Jiwa yang
tanpa noda tersebut kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman setiap orang selama
perjalanan hidupnya. Bagi Locke, pengalamanlah yang penting dalam memperoleh pengetahuan.
Apakah seseorang akan menjadi orang baik atau jahat, sangat tergantung pada pengalaman-
pengalaman yang mereka peroleh sehingga Locke lebih menekankan pada pengaruh lingkungan
dan pendidikan.
Pemikiran Abad 18 sebagai Abad Pencerahan

Pada abad 18 dimulailah suatu zaman baru, yang memang telah berakar pada masa
renaissance dan kemudian dilanjutkan pada abad 17. Pada abad 18 ini disebut dengan zaman
pencerahan, zaman fajar budi, Aufklarung (Jerman) atau Enlightenment (Inggris). Kenapa abad
18 disebut dengan zaman pencerahan?. Menurut Immanuel Kant, zaman pencerahan adalah
zaman manusia keluar dari keadaan tidak akil balik, yang disebabkan karena kesalahan manusia
sendiri. Kesalahan itu adalah bahwa manusia tidak mau memanfaatkan akalnya. Sekarang
semboyan orang adalah “sapere aude” atau “beranilah berfikir”. Voltaire menyebut zaman
pencerahan sabagai “zaman akal” dimana umat manusia telah merasa bebas, merdeka untuk
kemajuan peradaban dunia (Harun Hadiwijoono, 1984:47).
Zaman ini dipelopori oleh Newton, Voltaire, Montesquieu, Pompe, Rousseau dan Kant.
Di bidang hukum, muncul pemikiran Montesquieu dengan karyanya L’espirit des lois (Jiwa
Hukum), yang terbit tahun 1748. Dibidang psikologi, muncul pemikiran behaviorisme yang
bersifat materialisme seperti Holbach dan La Mettrie dengan karyanya L’ home Machine
(Manusia Mesin) dan kemudian, bidang ekonomi Adam Smith dengan karyanya Wealth of
Nation (Kemakmuran Bangsa-Bangsa). Kemudian muncul karya Rousseau di bidang politik
Contract Social (Kontrak Sosial), terbit pada tahun 1763. Kemudian Thomas Malthus dengan
teori ekonominya dalam Essay on the Principles of Population (Essay tentang Prinsip-Prinsip
Kependudukan), terbit pada tahun 1798 (Brinton, 1981:166).
Pencerahan mula-mula terjadi di Inggris, hal ini disebabkan menjelang akhir abad ke 17
di Inggris berkembang suatu sistem ekonomi dan negara yang bersifat liberal. Pemikiran
liberalis ini berasal dari ajaran John Kalvin agar manusia harus bekerja dan berusaha. Oleh
karena itu lambat laun pencerahan tumbuh menjadi keyakinan umum. Dari Inggris gerakan ini
dibawa ke Perancis dan Jerman kemudian tersebar di seluruh Eropa (Harun Hadiwijono,
1984:48).
Pencerahan di Inggris lebih mengarah ke bidang ekonomi, seperti Adam Smith dalam
bukunya The Wealth of Nations (1776) yang menggagas teori ekonomi berbasis laissez faire,
dimana sistem ekonomi di Inggris sebelumnya menggunakan sistem merkantilisme (sistem
ekonomi yang dijalankan oleh monopoli pemerintah). Gagasan-gagasan Adam Smith di
kemudian hari dijadikan dasar dalak membentuk sistem ekonomi kapitalis yang memberikan
ruang bagi setiap orang untuk melakukan kegiatan ekonomi dan negara tidak banyak ikut
campur.
Pencerahan di Inggris juga ditandai dengan berbagai penemuan-penemuan seperti
penemuan mesin uap oleh James Watt, sehingga pada abad 18 di Inggris muncul revolusi
industri. Inggris menjadi negara pertama munculnya revolusi industri karena letaknya yang
strategis, tingkat penghidupan yang lebih baik, cara produksi yang menggunakan mesin dan
tumbuhnya industri-industri.
Sedangkan di Perancis gerakan ini secara sadar dan terus terang bertentangan dengan
keadaan masyarakat, negara dan gereja. Pencerahan di Perancis lebih mengarah pada bidang
sosial, politik dan budaya, sehingga muncul Revolusi Perancis (1789). Sebaliknya di Jerman
gerakan pencerahan berjalan dengan tenang, tidak mengalami pertentangan di masyarakat.
Pencerahan di Jerman lebih mengarah pada bidang keilmuan sehingga memunculkan para
intelektual.
Sikap pencerahan terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat adalah bahwa orang sudah
mulai meninggalkan ajaran-ajaran Rene Descartes. Orang sudah tidak lagi dijejali dengan metode
Descartes, yakni yang jelas dan terpilah-pilah. Abad pencerahan dipengaruhi oleh ilmu
pengetahuan alam, yang telah dibawa sampai kepada puncaknya oleh Isaac Newton (1642-1727).
Newton yang memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan alam,
terutama hukum-hukum fisika.
Pencerahan di Perancis lebih diarahkan pada bidang sosial, p1olitik, dan kebudayaan.
Pencerahan di Perancis dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Ia lahir di Geneva,
Swiss pada tahun 1712. Pemikiran dan tulisan-tulisannya sangat berpengaruh dalam proses
terjadinya Revolusi Perancis. Bukunya yang terkenal “Contract Social” (Perjanjian
Kemasyarakatan), terbit tahun 1763.
Meletusnya Revolusi Perancis tidak terlepas dari praktek pemerintahan absolut yang
berlangsung lama hampir di seluruh Eropa. Pemerintahan kerajaan yang absolut bertitik tolak
dari ajaran Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya The Prince (Sang Pangeran). Dalam buku
tersebut Machiavelli menjelaskan bahwa dalam memerintah, seorang pangeran (raja) dapat
bertindak dan berkuasa tanpa batas terhadap negara, rakyat dan harta asalkan demi kepentingan
negara. Pemikiran Machiavelli ini banyak diterapkan oleh raja-raja pada waktu itu. Para
penguasa (raja) bertindak tanpa batas yang menimbulkan penderitaan bagi rakyatnya namun
hanya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan lingkungan kerajaan. Akibat dari pemerintahan
monarki absolut yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, kondisi masyarakat yang
bersifat feodalis dan adanya pemikiran dari filsuf-filsuf seperti: Locke, Montesquieu, Voltaire
dan Rousseau yang menyebabkan munculnya Revolusi Perancis.
Pemerintahan monarki absolut di Perancis diawali dari masa raja Henry IV (1589-1610)
kemudian diteruskan oleh raja Louis XIII (1610-1643) yang menyatakan bahwa raja tidak akan
membagi kewenangannya dengan siapapun. Pengganti raja Louis XIII adalah raja Louis XIV
yang berkuasa dari tahun (1643-1715) dengan gelar raja matahari dan menganggap dirinya wakil
Tuhan di dunia. Dengan semboyan yang terkenal e`tat est moi (negara adalah saya). Raja Louis
XIV inilah yang membangun istana Versailles.
Setelah raja Louis XIV pemerintahan monarki di Perancis diteruskan oleh raja Louis XV
yang berkuasa dari tahun (1715-1774). Pengganti raja Louis XV adalah raja Louis XVI yang
berkuasa sampai dengan terjadinya Revolusi Perancis 1789. Pada masa pemerintahan raja Louis
XVI negara menghadapi krisis keuangan dan kerajaan mempunyai hutang banyak sehingga
diusulkan oleh pembantu-pembantu raja untuk menarik pajak yang besar bagi rakyat. Akibat dari
pungutan pajak tersebut rakyat mengalami penderitaan dan muncul kelompok-kelompok
perlawanan rakyat yang menolak kebijaksanaan tersebut. Namun pemerintahan raja tetap
memberlakukan karena sumber keuangan tergantung dari pajak rakyat. Disamping itu isteri raja
Louis XVI, Marie Antoinette sering menghamburkan uang negara sehingga dijuluki nama
“Madame Defisit”
Berbeda dengan pencerahan di Inggris dan Perancis, di Jerman pencerahan lebih
ditekankan pada intelektual, artinya masa abad 18 sampai abad 19 pemikiran para filsuf
didominasi filsuf-filsuf dari Jerman. Puncak pencerahan abad 18 tercapai pada pemikiran
Immanuel Kant (1724-1804). Kemudian diikuti oleh pemikiran Fichte, Schelling, dan Hegel
sampai Karl Marx pada abad 19. Filsafat Kant sering disebut dengan kritisisme, karena ia
memberikan pemahaman secara kritis tentang pengenalan atau pengetahuan. Kant berusaha
untuk memadukan pandangan yang bertentangan, yaitu antara empirisme dan rasionalisme.
Pemikiran Abad 19
Pemikiran pada abad 19 ditandai dengan munculnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ada beberapa hal yang menjadikan ciri dari abad ke 19, dintaranya: Pertama,
pada abad ini masih memunculkan ajaran yang bersifat progress (kemajuan). Bahkan tampak
lebih kokoh daripada abad 18. Kehidupan manusia bertambah baik, tidak ada lagi batas-batas
dunia dan tidak ada hambatan-hambatan yang berarti dalam perkembangan pemikiran manusia.
Hal ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat sekali,
terutama di bidang: geologi, biologi, dan kimia. Pada akhir abad 18 ditemukan ilmu kimia
modern oleh Lavoisier dan ilmu biologi oleh Darwin, demikian pula halnya dengan geologi
sudah mencapai kemajuannya. Dalam ilmu sosial muncul Comte sebagai bapak sosiologi modern
(Brinton, 1981:213). Kedua, apabila pada abad 17 dan 18, ilmu pengetahuan didominasi ajaran-
ajaran dari Galileo Galilei dan Isaac Newton artinya pada waktu itu ilmu pengetahuan yang
berkembang berasal dari pemikiran mereka , maka pada abad 19 dipengaruhi oleh ajaran dari
Darwin (Harun Hadiwijono, 1984:86). Sumbangan besar pada abad 19 terhadap ajaran kemajuan
ilmu pengetahuan adalah pemikiran dari Darwin tentang evolusi organisme. Pandangan Darwin
tersebut diperjelas dalam penelitian geologis bahwa kehidupan di bumi telah berlangsung beribu-
ribu tahun bahkan berjuta-juta tahun lamanya. Peninggalan-peninggalan fosil menunjukkan
bahwa adanya kehidupan dari bentuk yang paling rumit sampai yang mudah (Brinton, 1981:215).
Ketiga, suatu faktor baru yang tampak pada abad 19 adalah adanya dominasi Jerman secara
intelektual, yang dimulai dari Kant pada abad 18, kemudian diteruskan oleh Fichte, Schelling,
idealisme Hegel dan materialisme dari Marx. Sementara itu di Perancis muncul faham
positivisme Comte (Harun Hdiwijono, 1984:86).
Pada abad 19, perkembangan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh pemikiran Charles
Robert Darwin, ia lahir tahun 1809 dan meninggal tahun 1882 adalah seorang ilmuwan dari
Inggris. Teorinya tentang evolusi organisme telah menyebabkan perubahan besar dalam ilmu
biologi, filsafat dan agama. Buku terpenting dari Darwin adalah The Origin of Species (Asal
Mula Jenis-Jenis Makhluk Hidup) yang terbit tahun 1859. Buku Darwin ini menimbulkan
perdebatan-perdebatan yang berlangsung beberapa puluh tahun kemudian (Titus, 1984:35).
Dengan terbitnya buku Darwin “The Origin of Species” memunculkan suatu konflik
antara kalangan ilmuan dan kalangan agamawan. Kaum agama menyangkal bahwa manusia
dalam hal apapun berbeda dari jenis makhluk hidup lainnya. Dalam kitab suci dijelaskan bahwa
manusia adalah ciptaan Tuhan, sehingga tidak mungkin manusia berasal dari jenis makhluk
hidup lain seperti yang dikemukakan oleh Darwin. Sampai sekarang konflik asal mula manusia
masih menjadi perdebatan (Brinton, 1981:217).
Demikian pula halnya di kalangan intelektual sendiri, konflik ini mengambil bentuk lain,
yaitu pertentangan antara kaum humanisme (the humanities) dengan kaum scientisisme (kaum
yang berpegang pada ilmu pengetahuan), yaitu kelompok yang mengakui pendapat Darwin
(Brinton, 1981:217). Kaum humanisme mengatakan bahwa, bagaimanapun juga manusia tidak
mungkin berasal dari jenis makhluk hidup lain. Apabila ada yang berpendapat bahwa manusia
berasal dari jenis makhluk hidup lain yang telah mengalami proses evolusi berarti telah
merendahkan martabat manusia itu sendiri.
Pemikiran Idealisme

Setelah pemikiran dari Immanuel Kant, di Jerman muncul pemikiran Idealisme. Kata
Idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dengan arti dalam bahasa sehari-
hari. Kata idealis dalam bahasa sehari-hari diartikan. Pertama, seseorang yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral dan agama. Kedua, seseorang yang menganjurkan suatu rencana atau program
yang belum ada (Titus, 1984:316).
Kadang-kadang kata idealis dipakai sebagai ejekan (olok-olokan). Kata idealisme
dianggap sebagai seseorang yang memperjuangkan tujuan-tujuan yang dipandang orang lain tak
mungkin tercapai (sok idealis). Padahal kata idealisme berasal dari kata-kata “ide” bukan “ideal”.
W.E. Hocking, seorang penganut idealisme mengatakan bahwa kata “idea-isme” lebih tepat
daripada “idealisme” (Titus, 1984:316). Namun kata idealisme sudah menjadi kebenaran umum
dibandingkan menggunakan kata ideaisme.
Idealisme adalah suatu faham yang mengatakan bahwa realitas yang ada terdiri atas ide-
ide, pikiran-pikiran atau akal (mind). Sementara materi hanyalah fenomena (gejala) yang
menyertai. Dengan demikian idealisme merupakan suatu pandangan dunia yang lebih
menekankan pada pemikiran, ide atau gagasan yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide,
pikiran (gagasan) dan akal (Titus, 1984:316). Tokoh idealisme adalah Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831). Pemikiran Hegel yang terkenal adalah tentang metode dialektika. Metode
dialektika berangkat dari pemikiran tesa (pernyataan atau pendapat tertentu), antitesa (pernyataan
yang berlawanan) dan sintesa (pernyataan kompromis).
Pemikiran Positivisme

Positivisme berasal dari kata positif (faktual). Faham ini lebih menekankan pada hal-hal
yang bersifat faktual, nyata (konkrit) atau gejala-gejala yang dapat diamati melalui panca indera
dan menolak hal-hal yang bersifat metafisik dan teologis. Tokoh positivisme adalah Auguste
Comte, lahir pada tanggal 19 Januari 1789 di Montpellier, Perancis dan meninggal tanggal 5
September 1857. Gagasan tentang pemikiran manusia tentang hukum tiga tahap (the law of three
stages) merupakan unsur pokok dalam positivisme dari Comte, karena dalam hukum tiga tahap
tercermin makna dan sifat pandangan filsafatnya
Bagi Comte hukum tiga tahap merupakan dasar dan titik tolak untuk menjelaskan tentang
sejarah, ilmu pengetahuan, masyarakat dan agama (Koento Wibisono, 1983:10). Pandangan
Comte tentang hukum tiga tahap ini berlaku bagi pemikiran individu dan masyarakat. Comte
mengatakan bahwa pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis
(kanak-kanak atau sebagai seorang teolog), tahap metafisika (remaja atau sebagai metafisikus)
dan tahap positif (dewasa atau sebagai seorang fisikus). Comte juga mengajarkan sebuah agama
baru, yaitu sebagai pengganti agama yang telah dipeluk oleh manusia sebelumnya. Comte
menolak “Agama Ketuhanan” dan mengganti dengan agama baru. Agama baru yang dimaksud
oleh Comte adalah “Agama Kemanusiaan” (Religion of Humanity) sebagai “The Great Being”.
Pemikiran Materialisme

Materialisme adalah suatu aliran atau pandangan yang mengatakan bahwa alam semesta
atau realitas terdiri dari kesatuan material dan energi yang tak terbatas. Aliran materialisme
mempunyai dua bentuk, yaitu: Pertama, materialisme mekanik, yaitu suatu doktrin yang
mengatakan bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam (keteraturan alam) yakni
hukum sebab dan akibat yang dapat dituangkan dalam bentuk matematika jika data-datanya telah
terkumpul. Tokohnya: Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Paul Weiss (Titus, 1984:299). Kedua,
materialisme dialektik, sering disebut dengan materialisme historis atau juga disebut dengan
marxisme. Dikatakan sebagai materialisme dialektik karena pemikirannya dilhami pemikiran
dialektik dari Hegel. Sedangkan dikatakan sebagai materialisme historis karena melihat proses
gerak sejarah masyarakat dan disebut sebagai marxisme karena berasal dari pemikiran-pemikiran
Karl Marx. Tokoh sentral dari marxisme adalah Karl Marx (1818-1883).
Sumbangan Marx dalam pemikiran modern pada abad 19 sangat besar sekali, bahkan
pemikiran-pemikiran dan ajaran Marx diterapkan sebagai dasar filsafat negara Rusia dan Cina.
Ide-ide dan konsep pemikiran Marx kemudian ditafsirkan kembali dan diperluas oleh Lenin,
Stalin dan Mao Tse Tung pada abad 20 (Titus, 1984:300). Karl Marx adalah filsuf keturunan
Yahudi, yang lahir di Jerman pada tahun 1818. Ia sangat dijunjung tinggi dan dihormati di
kalangan sosialisme dan komunisme serta dianggap sebagai pemberontak oleh pemimpin-
pemimpin di negara-negara kapitalis. Marx bekerja sebagai wartawan surat kabar, yang
kemudian surat kabar tersebut dilarang terbit. Kemudian Marx pergi ke Paris dan berteman
dengan Friedrich Engels (1820-1895), seorang industrialis Inggris, yang kemudian bersama-sama
menulis buku “Communist Manifesto” terbit tahun 1848. Pada tahun 1849 Marx menetap di
London untuk melakukan penelitian tentang cara kerja sistem kapitalis. Dari penelitian tersebut
ia berhasil menyusun buku “Das Kapital” yang terbit pada tahun 1867 (Titus, 1984:301).
Pokok pemikiran dari ajaran Marx tentang materialisme historis. Marx melihat sejarah
masyarakat bergerak secara dialektik. Perkembangan masyarakat menurut Marx selalu berproses.
Perkembangan sejarah masyarakat berjalan pertama-tama melalui perpindahan dari masyarakat
yang berbentuk komune yang masih primitif dengan ciri-ciri pemilikan benda secara kolektif,
masyarakat perbudakan dengan ditandai timbulnya kaum aristokrat dan kaum budak, masyarakat
feodal dan masyarakat kapitalis dengan adanya kelas pemilik (kaum kapitalis) dan kelas tanpa
milik (kaum proletar) yang saling bertentangan (Titus, 1984:305-306).
Pemikiran Abad 20
Para ahli sejarah politik cenderung menganggap bahwa pecahnya perang dunia pertama
(1914) sebagai permulaan suatu zaman baru, namun bagi para sejarawan bidang filsafat ada dasar
cukup kuat untuk mengatakan bahwa abad 20 dimulai pada kira-kira tahun 1900, karena pada
waktu itu sudah tampak pemikiran-pemikiran baru seperti munculnya neo-kantianisme dan
pragmatisme (Bertens, 1983:3). Pada awal abad 20 ditandai dengan muculnya aliran filsafat
seperti: Neo Kantianisme, Pragmatisme dan Eksistensialiasme. Pada awal abad 20 masih
diwarnai oleh pandangan bahwa cara yang paling baik untuk menemukan kebenaran adalah
dengan kesadaran meninggalkan cara berpikir yang telah dikemukakan oleh para filsuf
sebelumnya (Bertens, 1984:130). Pada awal abad 20 di Jerman muncul pemikiran neo-
kantianisme, sementara di Amerika muncul pemikiran pragmatisme. Pada bagian berikutnya
muncul pemikiran eksistensialisme. Sedangkan akhir abad 20 muncul pemikiran tentang teori
kritis masyarakat.
Neo-Kantianisme
Pada awal abad 20 muncul gerakan neo-kantianisme di Jerman yang dipelopori oleh
Herman Cohen (1842-1918). Pendukung neo-kantianisme pada dasarnya sebagai reaksi atas
pemikiran positivisme dan materialisme pada waktu itu. Para pengikut neo-kantianisme ingin
mempelajari dan menafsirkan kembali pemikiran dari Immanuel Kant (Bertens, 1983:83). Di
Jerman, pada abad 20 neo-kantianisme menjadi subur, para mahasiswa belajar pada profesor
yang dipengaruhi oleh ajaran neo-kantianisme. Ada dua pusat neo-kantianisme di Jerman, yaitu
Mazab Marburg dan Mazab Baden.
Setelah Herman Cohen meninggal digantikan oleh muridnya: Erns Cassirer (19874-
1945) sebagai penerus Mazab Marburg. Selain sebagai penganut neo-kantianisme, Cassirer juga
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hegel dan filsafat sejarah Johan Gottfried Herder (1774-1803)
serta ahli biologi Johannes Von Uexkull (1864-1944). Cassirer adalah seorang pemikir dan
penulis yang sangat produktif. Karyanya yang sangat menonjol terutama di Indonesia adalah An
Essay on Man diterjemahkan oleh Alois Nugroho dengan judul “Manusia dan Kebudayaan,
Sebuah Esai Tentang Manusia”.
Tokoh penting dari Mazhab Baden adalah Wilhelm Windelband (1840-1915) dan
Wilhelm Dilthey (1833-1911). Menurut Windelband ada dua jenis ilmu pengetahuan yang
mempunyai sifat-sifat tersendiri, yaitu ilmu pengetahuan alam yang disifatkan sebagai ilmu
pengetahuan nomotetis (nomothetic sciences) dan ilmu pengetahuan budaya atau ilmu
pengetahuan historis disifatkan sebagai ilmu pengetahuan idiografis (idiographic science)
(Bertens, 1983:87). Pemikiran Windelband ini diteruskan oleh Wilhelm Dilthey. Dalam
pemikirannya tentang ilmu pengetahuan, Dilthey membedakan ilmu pengetahuan kealaman
(naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (geisteswissenschaften).
Pemikiran Pragmatisme
Pada awal abad 20 di Amerika Serikat muncul suatu gerakan filsafat yang disebut
pragmatisme. Pragmatisme ini mencerminkan sifat-sifat kehidupan dan kebudayaan Amerika
Serikat pada umumnya yaitu: Pertama tidak mempunyai tradisi sejarah filsafat yang panjang
seperti bangsa Inggris, Jerman ataupun Perancis, Kedua, ciri utama yang menonjol adalah
perkembangan material dan tekniknya (Titus, 1984:340).
Secara terminologis, pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti
perbuatan atau tindakan yang bermanfaat, sedangkam “isme” adalah ajaran, aliran atau paham.
Dengan demikian pragmatisme berarti ajaran, aliran atau paham yang menekankan pada
perbuatan atau tindakan. Namun perbuatan atau tindakan yang membawa atau menimbulkan
akibat praktis yang bermanfaat. Ukuran atau kriteria kebenaran adalah bermanfaat. Pragmatisme
bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis dan bermanfaat.
Bahkan kebenaran mitis dapat diterima asal membawa akibat praktis yang bermanfaat (Harun
Hadiwijono, 1984:130). Kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung demokrasi,
hak azasi manusia, kemerdekaan manusia dan gerakan kemajuan dalam masyarakat modern.
Tokoh Pragmatisme adalah: Charles. S Peirce (1839-1914), William James (1842-1910) dan
John Dewey (1859-1952).
Pemikiran Eksistensialisme

Sebagai aliran filsafat, eksistesialisme menekankan pada manusia sebagai tema


sentralnya. Eksistensialisme pada dasarnya sudah ada sebelum abad 20, namun aliran ini lebih
berkembang setelah Perang Dunia II dan bahkan baru dikenal di Indonesia secara umum pada era
tahun 80-an. Pada dasarnya eksistensialisme merupakan suatu gerakan protes. Pertama, sebagai
gerakan protes terhadap pemikiran-pemikiran filsafat tradisional, terutama pandangan tentang
manusia yang dikemukakan oleh Plato, Descrates, dan Hegel, yang memandang secara dangkal
dan sederhana terhadap pemahaman tentang manusia. Kedua, eksistensialisme juga merupakan
gerakan protes terhadap masyarakat industri maju yang menganggap rendah tentang nilai-nilai
kemanusiaan, dimana manusia selalu dijadikan obyek seperti halnya mesin dalam industri.
Menurut gambaran eksistensialisme, manusia pada masyarakat industri sudah menjadi alat-alat
mesin bagaikan komputer dan manusia sudah menjadi obyek bukan lagi sebagai subyek yang
sadar terhadap obyek. Ketiga, eksistensialisme juga merupakan gerakan protes terhadap ideologi
totalitarianisme yang dipraktekkan oleh nazisme (Hitler), fasisme (Mussolini) dan komunisme,
yang telah menghilangkan atau menenggelamkan sifat-sifat individu, personal atau perorangan di
dalam kolektivitas massa (Titus, 1984:382).
Eksistensialisme memandang segala sesuatu dengan berpangkal kepada eksistensi. Istilah
eksistensi berasal dari kata “eks” (keluar) dan “sistensi” (berdiri atau menempatkan). Oleh karena
itu kata eksistensi diartikan sebagai manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari
dirinya. Menurut eksistensialisme, hanya manusia yang bereksistensi sedangkan benda-benda
hanya berada.
Eksistensi sendiri artinya keberadaan, maksudnya cara manusia berada di dalam dunia.
Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Benda-benda
tidak sadar akan keberadaannya, sedangkan manusia sadar akan keberadaannya. Manusia berada
bersama-sama dengan benda-benda lain dan benda-benda tersebut menjadi berarti karena
manusia. Menurut Eksistensialisme, benda-benda hanyalah “berada” (en soi), sedangkan manusia
adalah “bereksistensi” (pour soi). Dengan demikian hanya manusialah yang bereksitensi (Harun
Hadiwijono. 1984:148).
Tokoh-tokoh eksistensialisme diantaranya adalah Soren Kierkegaard (1813-1855),
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Nicolas Berdyaev (1874-1948), Karl Jaspers (1883-
1969), dan Jean Paul Sartre (1905-1980). Dalam tulisan ini hanya membicarakan tokoh tertentu
yang sekiranya dapat mewakili eksistensialisme secara keseluruhan. Hal ini tidak berarti bahwa
tokoh-tokoh lain seperti Martin Heidegger (1889-1976) dan Gabriel Marcel (1889-1973)
dianggap tidak begitu penting, akan tetapi tokoh dalam tulisan ini dianggap mewakili
eksistensialisme. Mengingat kelima tokoh tersebut dapat mewakili ketiga pandangan
eksistensialisme, yaitu: eksistensialisme yang teistis (Kierkegaard dan Berdyaev),
eksistensialisme yang ateis (Nietzsche) dan eksistensialisme yang humanis (Sartre dan Jaspers).
Soren Kierkegaard adalah seorang filsuf dari Denmark, yang lahir pada tanggal 5 Mei
1813 dan meninggal pada tanggal 11 Nopember 1855. Soren Kierkegaard dipandang sebagai
bapak dari aliran eksistensialisme, meskipun ia sendiri tidak pernah bermimpi tentang aliran
tersebut. Akan tetapi cara dan suasana pikiran Kierkegaard adalah ciri-ciri pemikiran
eksistensialisme dikemudian hari. Ciri-ciri pemikiran eksistensialisme diantaranya adalah
eksistensi, ketakutan, kecemasan, hidup, mati, harapan, putus asa dan kebencian, yang menjadi
kegemaran aliran eksistensialisme (Drijarkara, 1978:67). Hal-hal tersebut mewarnai alam pikiran
Kierkegaard.
Kierkegaard menyerang pers sebagai opini (pendapat umum). Kierkegaard menganggap
bahwa pers menimbulkan demoralisasi. Pers membentuk pendapat umum yang belum tentu
kebenarannya, oleh karenanya pers merupakan suatu pendapat yang anonim. Pendapat umum
(publik) hanyalah suatu abstraksi bukan suatu realitas. Menurutnya pers (majalah, koran dan
media massa) hanyalah mengutamakan komoditas ekonomi belaka (Fuad Hasan, 1985:31).
Tokoh lain aliran eksistensialisme adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche. Ia adalah ahli di
bidang filologi, sastra kuno, penyair dan sekaligus sebagai seorang filsuf. Nietzsche lahir di kota
Rocken, Prussia, Jerman pada tanggal 15 Oktober 1844. Ayah Nietzsche adalah seorang pendeta
dan ia sendiri merupakan cucu dari dua pendeta dari aliran Lutherian (penganut Martin Luther).
Ayahnya meninggal ketika Nietzsche masih dalam usia muda dan kemudian ia diasuh oleh
ibunya, yang mendidiknya dengan rasa kelembutan dan kemanjaan. Oleh karena itu di kalangan
teman-teman kecilnya, Nietzsche tidak pernah dikenal sebagai anak yang nakal bahkan ia sering
diberi julukan sebagai sang pendeta. Di sekolah ia sering dijuluki “Yesus yang di Baiat Allah”
(Harun Hadiijono, 1984:127).
Pada usia delapan belas tahun Nietzsche mulai kehilangan kepercayaannya terhadap
Tuhan. Hal ini nampak janggal, mengingat latar belakang keluarga dan juga pendidikannya yang
selalu diwarnai dengan ajaran-ajaran agama. Banyak orang menduga bahwa penolakannya
terhadap Tuhan hanyalah gejala anak muda yang ingin mencari sesuatu dan bersifat sementara.
Akan tetapi nyatanya, sejak saat itulah Nietzsche memulai petualangannya dalam alam filsafat
(Fuad Hasan, Dalam karyanya Also Sprach Zarathustra, “Demikianlah Kata Zarathustra” atau
“Dendang Zarathustra” mencerminkan kegagalan perjalanan hidupnya. Di dalam buku tersebut
dijelaskan oleh Nietzsche bahwa ia telah menyerang agama Kristen, dan menyatakan sebagai
seorang ateis (tidak percaya pada Tuhan). Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan telah mati (God
is dead). Untuk menggantikan kedudukan Tuhan, Nietzsche memberikan konsep Uebermensch,
Overman yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Manusia Unggul”, “Superman”,
“Manusia Agung”, atau “Manusia Kuat” yang dianggap sebagai pencipta (kreator).
Tokoh lain yang memberikan warna bagi perkembangan eksistensialisme adalah Nicolas
Alexandrovith Berdyaev. Ia lahir di kota Kiev, Rusia pada tanggal 6 Maret 1874 dan meninggal
pada tanggal 24 Maret 1948. Berdyaev menyerang paham kapitalisme dan komunisme, dimana
keduanya telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi). Menurutnya, sistem
kapitalis merupakan bentuk penghisapan manusia atas manusia lain. Sementara komunisme,
yang tujuannya untuk menghapuskan kapitalisme akhirnya terjelma menjadi kapitalisme bentuk
baru yaitu kapitalisme negara, yang mengingkari kebebasan individu (pribadi) (Fuad Hasan,
1985:75).
Tokoh eksistensialisme lain adalah Karl Jaspers (1883-1969). Jaspers tidak
menunjukkan sikapnya yang pasti tentang Tuhan. Menurutnya, apakah Tuhan itu ada (teistis)
atau tidak ada (ateistis) bukanlah hal yang penting. Pandangan ini dapat dilihat dalam ucapannya:
“sebenarnya saya tidak tahu akan Tuhan bahkan tidak tahu apakah saya percaya terhadapNya”
(Fuad Hasan, 1985:84). Dari ucapannya tersebut, Jaspers dalam aliran eksistensialisme masuk ke
dalam agnotisme, yaitu suatu faham yang mempunyai sikap tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau
tidak ada. Jaspers mengaku tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak (sikap keragu-raguan
terhadap keberadaan Tuhan). Meskipun Jaspers mempunyai sikap tidak tahu tentang Tuhan,
namun ia menganggap bahwa sumber kebebasan manusia berasal dari Tuhan.
Tokoh lain yang memberikan warna bagi perkembangan eksistensialisme adalah Jean
Paul Sartre (1905-1980). Sartre mendukung ajaran tentang kebebasan mutlak, karena manusia
mempunyai keterbukaan. Tanpa keterbukaan dan kebebasan eksistensi manusia menjadi absurd
(hampa). Meskipun Sartre mendukung kebebasan mutlak namun akhirnya ia mengakui adanya
keharusan pada kenyataan (kefaktaan) yang dapat mengurangi kebebasan. Kenyataan-kenyataan
ini tidak dapat dihindari, Sartre menyebut kenyataan-kenyataan yang mengurangi kebebasan
manusia (Fuad Hasan, 1985:106-108), diantaranya adalah kenyataan tempat dimana manusia
berada, kenyataan di masa lampau, kenyataan lingkungannya, kenyataan adanya sesama manusia
dan kenyataan yang terakhir adalah maut (kematian). Kenyataan maut adalah suatu keharusan
yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia, karena maut melekat pada eksistensi manusia.
Teori Kritis Masyarakat (Aliran Frankfurt)

Pandangan filosofis mazab atau aliran Frankfurt dikenal sebagai teori kritis. Cara
pemikiran aliran Frankfurt mereka sebut sendiri dengan teori kritik masyarakat atau disingkat
dengan teori kritis. Nama ini diciptkan oleh Max Horkheimer (1895-1973). Horkheimer
merupakan salah satu tokoh utama aliran Frankfurt. Teori kritis ini memperoleh ilham dari Karl
Marx, namun sekaligus melampaui dan meninggalkan Marx serta menghadapi masalah-masalah
masyarakat industri maju secara kreatif. Teori kritis baru betul-betul menjadi bahan diskusi di
kalangan ahli filsafat dan sosiologi pada tahun 1961.
Teori kritis menjadi inspirasi bagi sebuah gerakan dalam masyarakat. Dalam sekejap teori
kritis menjadi gerakan perjuangan generasi kritis mahasiswa pada tahun 1960-an. Aliran
Frankfurt (Teori Kritis) memang menjadi sangat populer di kalangan mahasiswa di zaman
pemberontakan mahasiswa, sekitar tahun 1965 sampai tahun 1975. Dalam tahun enam puluhan
baik di Amerika Serikat maupun Eropa Barat telah terjadi suatu perubahan “iklim budaya”, yaitu
suatu generasi yang hanya membanggakan pembangunan fisik tetapi tidak dapat mengisi
kekosongan jiwa kemanusiaan.
Aliran Frankfurt mengkritik terhadap masyarakat industri yang maju, sehingga
memunculkan gerakan para akademisi (untuk mengadakan reformasi dalam masyarakat).Terlebih
lagi munculnya Herbert Macuse (1898-1979) yang dianggap dan disanjung sebagai guru mereka
dengan sebuatan New Left, yaitu suatu gerakan kiri baru bukan sebagai suatu organisasi,
melainkan suatu perasaan atau suasana yang bersimpati pada apa saja yang “kiri” dan yang
menentang establishment (status quo) atau kemapanan.
Kata “kritis” disini harus dimengerti dalam arti kritis terhadap keadaan masyarakat pada
saat itu, yang sangat memerlukan perobahan sosial dan juga terhadap ajaran-ajaran dibidang
sosial. Yang menjadi ciri khas teori kritis adalah memandang dirinya sebagai pewaris cita-cita
Marx, sebagai teori yang bersifat emansipatoris, yaitu suatu teori untuk mengembalikan
kebebasan, kemerdekaan dan masa depan manusia (Bertens, 1983:182).
Herbert Marcuse berpendapat bahwa secara ekonomis, masyarakat industri dewasa ini
semakin bertambah enak kehidupannya. Kemajuan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin membebaskan manusia dari cucuran keringat. Peranan ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan ciri khas yang menonjolkan dalam masyarakat industri modern. Dalam
kehidupan yang serba modern tersebut, manusia telah diperbudak oleh buatannya sendiri.
Manusia modern telah membuat teknologi yang canggih; seperti: bom nuklir dibuatnya,
teknologi persenjataan nuklir telah menghasilkan senjata-senjata penghancur yang akan
membawa akibat hancurnya umat manusia. Begitu hebatnya kekuasaan yang ada di tangan
manusia, sehingga manusia telah mulai kehilangan eksistensinya (Bertens, 1983:203).
Marcuse menganalisa mengenai masyarakat industri modern menunju masyarakat baru.
Ia memberikan suatu masyarakat alternatif. Pertama-tama Marcuse menekankan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi perlu. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang atau
dihilangkan tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul suatu masyarakat yang
bersifat kualitatif (Bertens, 1985:211). Masyarakat kualitatif maksudnya bahwa manusia tidak
hanya mengejar kemajuan di bidang materi (kuantitatif) tetapi harus diimbangi dengan bidang
humaniora (budaya, moral dan agama).
DAFTAR PUSTAKA

Asdi, Endang Daruni., Diktat Pandangan-Pandangan Tentang Sejarah, Yogyakarta, Fak. Filsafat
UGM, 1987.

Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Jakarta,Gramedia, 1980.

______ Filsafat Barat Abad XX : Inggris-Jerman.Jakarta, PT. Gramedia,1983.

Filsafat Barat Abad XX : Perancis. Jakarta, PT. Gramedia, 1985.

Brinton, Crane. Pembentukan Pemikiran Modern, Trj: Samekto, Jakarta, Penerbit Mutiara, 1981

Cassirer, Ernst., Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia, terj. Alois A.
Nogroho, Jakarta, PT. Gramedia, 1990.

Drijarkara., Percikan Filsafat, Jakarta, PT. Pembangunan, 1978


.
Fuad Hasan; Beerkenalan Dengan Eksistensialisme, Jakarta, Pustaka Jaya, 1983

Hadiwijono, Harun., Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta, Kanisius, 1980.

______ Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta, Kanisius, 1984.

Randal, John Herman., The Making of Modern Man, New York, Columbia University Press,
1976.
Russell, Bertrand; Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, 2007

Suseno, Franz Magnis., Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993.
Sullivan, John Edward., Prophets of The West, New York, Reinhart & Winston Inc, 1970
Syarif,MM., Para Filosof Muslim, Bandung, Penerbit Mizan, 1985.
Titus, Harold H (dkk)., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj : HM. Rasyidi, Jakarta, Bulan Bintang,
1984.
Wibisono, Kunto., Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 1983.

Anda mungkin juga menyukai