Anda di halaman 1dari 16

Pengertian Pendidikan Moral (Budi

Pekerti)
Alfian Muhammad
4:23 PM
Kewarganegaraan (PKn)

Moral dapat dikaitkan dengan istilah etik, kesusilaan dan budi pekerti. Moral merupakan nilai
tentang baik –buruk kelakuan manusia. Oleh karena itu moral berkaitan dengan nilai terutama
nilai afektif.

Dengan demikian pendidikan moral dapat pula dipersamakan dengan istilah pendidikan etik,
pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai (value education) atau pendidikan afektif. Ada pula
dengan memakai istilah pendidikan watak dan pendidikan akhlak Dalam hal ini istilah-istilah
tersebut dapat saling menggantikan. Jadi istilah ini tidak bisa lepas dari pengertian moral,
nilai, budi pekerti , watak, akhalak atau afektif itu sendiri.

Menurut naskah kurikulum Pendidikan Budi Pekerti yang dikeluarkan oleh Puskur Depdiknas
(2001) menyatakan bahwa pengertian pendidikan budi pekerti dapat ditinjau secara
konsepsional dan secara operasional.

Secara konsepsional pengertian pendidikan budi pekerti mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang
berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan
datang.
2. Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan
perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas
hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, material spiritual dan individual
sosial).
3. Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang
berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan
latihan, serta keteladanan.
Adapun pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk
membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan selama
pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar memiliki
hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan
kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk, sehingga terbentuk pribadi
seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan,
kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.

Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia
yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya.

Hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
merupakan pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau pendidikan afektif. Dalam hal
ini hal-hal yang disampaikan dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk
domain afektif. Nilai-nilai afektif tersebut antara lain, meliputi : perasaan, sikap, emosi,
kemauan, keyakinan, dan kesadaran.

PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

PENDIDIKAN MORAL ANAK DALAM KELUARGA


DAN ASPEK-ASPEKNYA

A. Pendidikan Moral Anak dalam Keluarga


Menurut Sartono, manusia yang hidup dan berkembang serta berbudaya, sepanjang
sejarahnya, menyelenggarakan pendidikan sebagai fungsi utama untuk mempertahankan
eksistensinya serta menjamin kontinuitasnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu
untuk memelihara kehidupan manusia. Melalui proses pendidikan tersebut, generasi
selanjutnya diupayakan mengetahui atau mengerti tentang seluk beluk yang dialami para
pendahulunya, baik cara berjalan, makan, mandi, dan seterusnya. Segala bentuk warisan
tersebut, akan tetap eksis selama para anak cucunya melestarikan budaya nenek moyangnya.
Pendidikan merupakan usaha orang dewasa untuk mempengaruhi atau membimbing anak
didiknya dari yang tidak tahu menjadi tahu, atau membimbing anak didiknya menjadi lebih
dewasa. Purwanto mendefinisikan “pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya
kearah kedewasaan”. Sementara Langgulung memberikan pengertian pendidikan yaitu “suatu
proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola
tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik”.
Dari definisi pendidikan yang dipaparkan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
pendidikan merupakan usaha orang dewasa yang lebih tahu dengan sengaja atau tanpa
disengaja untuk mengarahkan atau membimbing dan mempengaruhi anak didiknya dengan
tujuan supaya segala tingkah laku yang dicontohkan dapat ditiru oleh anak didiknya menuju
kearah perkembangan yang lebih baik.
Apabila dicermati, ternyata pembagian masalah pendidikan banyak sekali mulai dari
pendidikan jasmani, pendidikan intelektual, pendidikan seks, pendidikan moral, dan
pendidikan spiritual. Pendidikan-pendidikan tersebut merupakan tanggung jawab orang tua
terhadap anak-anaknya, terlebih masalah pendidikan moral yang merupakan pendidikan yang
harus diberikan sedini mungkin dalam keluarga, sebelum anak mengetahui dunia luar.
Dengan diterapkan pendidikan moral, diharapkan manusia dapat hidup dengan tentram,
damai, dan sejahtera. Sebab tegaknya suatu masyarakat atau bangkitnya suatu bangsa tak
lepas dari manusia-manusia yang mempunyai moral baik dalam kehidupan masyarakatnya.
Sebaliknya runtuh atau hancurnya suatu masyarakat dan bangsa disebabkan manusia-
manusianya yang tidak melaksanakan ajaran moral yang berlaku baik ajaran dari agama
(Islam) ataupun dari norma sosial.
Sebelum dibicarakan lebih jauh, kiranya harus dibedakan dari konsep yang erat kaitannya
dengan moral yaitu akhlak dan etika. Sebagian orang menyamakan pengertian diantara
ketiganya, padahal terdapat perbedaan diantara ketiganya.
1. Moral
Kata “moral” berasal dari Bahasa Latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.
Moral secara umum merupakan ajaran baik buruk yang diterima masyarakat umum mengenai
perbuatan. Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, moral adalah “kelakuan jang sesuai dengan
ukuran-ukuran (nilai-nilai) masjarakat, jang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, jang
disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut”. Sementara menurut
Nurdin dkk, moral merupakan penjabaran dari nilai yang bersumber dari wahyu Ilahi dan
budaya.
Jadi moral itu merupakan aplikasi perbuatan yang berdasarkan pada ajaran Agama (Islam)
dan dari unsur budaya yang diakui sebagai kebenaran dalam masyarakat yang dilakukan
dengan penuh kesadaran pribadi yang bersangkutan secara kontinu.
2. Akhlak
Kata akhlak berasal dari Bahasa Arab khalaka “( )” yang berarti perangai, tabiat, adat. Atau
budi pekerti. Jadi secara etimologi kata akhlak berarti perangai, tabiat, adat, budi pekerti, atau
sistem perilaku yang dibuat.
Sementara secara terminologi akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan
tindakan manusia diatas bumi. Sistem yang dimaksud adalah ajaran Islam dengan sumber
nilainya dari al-Quran dan Sunnah Rasul saw, dan metode berpikirnya (Islam) yaitu ijtihad.
Mengutip dari Djatnika, tentang pengertian akhlak yang mengambil dai tokoh Islam, yaitu
Ibnu Maskawaih dalam bukunya “Tahdzibul-akhlak wa That-Hirul-a`raq”.
‫ا َ ْل ُخلُ ُق َحا ٌل ِللنَّ ْف ِس دَا ِعيَةٌ لَـ َها إِلى أ ْفعَا ِلـ َها ِم ْن َغي ِْر فِ ْك ٍر َو ُر ِويَ ٍة‬
Artinya: “Perangai itu adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan
perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran”.
Sedangkan al-Ghazali dalam bukunya “Ihya`-u `Ulumuddin”.
ُ ِ‫صد ُُر اْأل ْفـ َعا ُل ب‬
‫س ُهولَ ٍة َويُس ٍْر ِم ْن َغي ِْر َحا َج ٍة ِإلى فِ ْك ٍر َو ُر ِويَ ٍة‬ َ َ‫فَ ْال ُخلُ ُق ِعب‬
ْ َ ‫ارة ٌ َع ْن َهيْـئـ َ ٍة فِى النَّـ ْف ِس َرا ِس َخ ٍة َع ْن َها ت‬

Artinya: “khuluq, perangai adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran”.

Sementara Ahmad Amin, mendefinisikan akhlak dalam bukunya”Al-Akhlak”.


ِ ُ ‫ْال ُخلُ ُق َعادَة‬
ِ‫اإل َرادَة‬

Artinya: “khuluq ialah membiasakan kehendak”.


Dengan demikian akhlak itu merupakan pembiasaan diri dengan tingkah laku yang baik
(berbuat kebenaran) berdasarkan kesadaran diri tanpa memikirkan suatu imbalan tertentu.
3. Etika
Kata “etika” secara etimologi berasal dari Bahasa Latin etos yang berarti kebiasaan.
Sedangkan secara terminologi etika merupakan kesepakatan masyarakat pada suatu waktu
dan di tempat tertentu. Sebab antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain akan
berbeda pandang dalam masalah etika ini, sehingga kebenarannya pun akan

berbeda pula. Apabila suatu mayarakat bercorak religius, maka etika yang dikembangkan
pada masyarakat itu, tentu akan bercorak religius pula. Sebaliknya bila suatu masyarakat
bercorak sekuler, maka etika yang akan dikembangkan tentu saja akan bercorak sekuler pula.
Pendidikan moral di sini adalah segala upaya yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya
baik melalui bimbingan atau arahan agar anak (didik) dapat bertingkah laku sesuai dengan
moral yang ada, baik moral agama atau pun moral sosial.
Untuk mengetahui pengertian keluarga yang di maksud dalam penelitian ini, sebelumnya
peneliti akan memberikan sedikit gambaran pengertian keluarga baik dari sudut pandang
yuridis formal, sosiologis, dan paedagogies.
1. Tinjauan yuridis formal
Pengertian keluarga secara yuridis formal adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar
perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-
laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik
anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
2. Sudut pandang sosiologis
Secara sosiologis keluarga diartikan sebagai unit terkecil atau umat kecil yang memiliki
pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi
masing-masing anggotanya.
3. Perspektif paedagogie
Secara paedagogies keluarga diartikan sebagai lembaga pertama dan utama yang dialami
seseorang di mana proses belajar yang terjadi tidak berstruktur dan pelaksanaannya tidak
terikat oleh waktu.
Berkaitan dengan penelitian ini, maka pengertian keluarga yang di maksud adalah dari
perspektif paedagogie. Sebab dalam hal ini peran keluarga sebagai pendidik pertama dan
utama bagi anaknya dalam membimbing dan membina generasi mendatang, terutama dalam
pendidikan moral.
Pendidikan (moral) dapat dilakukan di lembaga formal ataupun lembaga informal. Menurut
Ki Hajar Dewantara, dalam dunia pendidikan ada tiga pusat pendidikan atau yang disebut tri
pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lembaga ini tidak berdiri
sendiri atau terpisah, melainkan saling berkaitan atau bekerja sama dan merupakan satu
rangkaian yang bertujuan demi tercapainya tujuan pendidikan yaitu membentuk manusia
seutuhnya sehat lahir batin atau sehat jasmani rohani bagi generasi muda (anak didik).
Pendidikan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua kepada anak. Anak merupakan
amanah dari Allah swt. yang harus dijaga, dirawat, dan diperhatikan segala kebutuhannya,
baik kebutuhan jasmani atau rohani. Adanya tanggung jawab orang tua kepada anaknya di
karenakan adanya sifat lemah pada diri anak. Anak lahir dalam kondisi serba tidak berdaya,
belum mengerti apa-apa dan belum dapat menolong dirinya sendiri. Ia memerlukan tempat
bergantung. Tidak ada tempat bergantung yang aman sesuai kodratnya sebagai anak, kecuali
kepada orang yang sangat menyayanginya yaitu kedua orang tuanya.
Pendidikan keluarga termasuk pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang diperoleh
seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, pada umumnya tidak
teratur dan tidak sistematis sejak seseorang lahir sampai mati. Keluarga atau masyarakat
terkecil merupakan tempat pertama dan utama pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap
anaknya. Karena sebelum anak menerima bimbingan dari sekolah, ia lebih dahulu
memperoleh bimbingan dari keluarganya, terutama ibu bapaknya. Pendidikan dalam keluarga
merupakan pondasi pembentuk watak kepribadian anak. Dalam kehidupan kesehariannya,
anak banyak berkumpul dengan keluarga. Segala tingkah laku orang tua terutama orang
tuanya akan ditiru oleh anak, sebab anak merupakan peniru yang ulung. Bila obyek
peniruannya jelek, orang tua tidak memberikan kasih sayang yang memadai dan tidak
memberikan teladan yang baik, serta jauh dari nuansa agama, maka jangan berharap kedua
orang tuanya akan menunai buah hasil yang baik. Namun apabila kedua orang tuanya
memberikan teladan yang baik, saling menghormati, menyayangi, jalinan yang baik sesama
anggota keluarganya, tidak bersifat masa bodoh, selalu memberikan contoh yang bernuansa
ajaran islami, maka semua itu akan tercetak ( terlukis) pada diri anak dan ia senantiasa akan
meniru segala perbuatan yang terekam mulai pagi hari sampai sore hari.
Keteladanan yang diberikan pada masa kanak-kanak awal seharusnya berasal dari bapak
ibunya, karena seorang anak sering tidak menghiraukan orang lain. Ketika anak melihat
selain orang tuanya sendiri mengerjakan sesuatu, ia tidak akan mudah terpengaruh, apalagi
kalau kedua orang tuanya tidak sejalan dengan orang tersebut. Namun sebaliknya anak tidak
dapat menghindar dari perbuatan orang tua. Atau dengan kata lain, satu pekerjaan yang
dikerjakan berulang-ulang oleh orang tua, akan memberikan pengaruh pada diri anak. Orang
tua yang bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya akan memberikan pengarahan dan
dasar yang benar kepada anaknya, yakni dengan menanamkan ajaran agama dan akhlakul
karimah. Berdakwah dalam keluarga lebih utama dibandingkan dengan di tempat lain.
Keselamatan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua. Jangan sampai pendidikan
keluarga terabaikan karena kepentingan yang lain. Adalah tidak bijak, memberikan
penerangan kepada orang lain, sementara keluarganya berantakan. Hal semacam ini dilarang
dalam ajaran Islam. Dalam sejarah perkembangan Islam juga dapat diketahui bahwa sebelum
berdakwah kepada masyarakat luas, Rasulullah saw. diperintahkan untuk berdakwah kepada
anggota keluarga dan kerabat dekatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi keagamaan dan
keselamatan keluarga harus lebih diprioritaskan. Pada hakekatnya dari kebaikan dan
keselamatan keluarga akan muncul kebaikan dan keselamatan masyarakat dan negara. Hal ini
sesuai dengan firman Allah swt.dalam QS.al-Syu’araa’ (26): 214.
(214:‫–وأنذر عشــيرتك األقربـين –)الشعراء‬

Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang ter-dekat”.

Allah juga berfirman dalam surat yang lain yaitu QS.al-Tahrim (66): 06, Dia menyerukan
kepada orang-orang beriman untuk menjaga keselamatan keluarganya dari api neraka.
ً ‫–يآيّ َها ْال ِذيْنَ أ َمنُ ْوا قُ ْوآ اَنـْفُسـَـ ُك ْم َوا َ ْه ِلــ ْي ُك ْم ن‬
(6:‫َارا … –)التحريم‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka”.

Untuk mendapatkan anak yang mempunyai perilaku baik tidak semudah membalik telapak
tangan, tetapi orang tua harus mempersiapkan tahapan-tahapan yang harus diajarkan kepada
putra putrinya agar tujuannya tercapai. Diantara tahapan-tahapan pendidikan moral anak
dalam keluarga adalah:
a. Pendidikan moral masa pranatal (prenatal)
Pendidikan moral sebaiknya tidak terlepas dengan pendidikan agama. “Sebab pendidikan
moral jang paling baik sebenarnja terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral jang dapat
dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari luar, datangnja dari kejakinan
beragama”, demikian menurut Zakiah Daradjat. Sebagai seorang muslim, tentunya dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari tidak lepas dari ajaran agama yang dianut. Ambil satu
contoh, apabila kita ingin berkeluarga diharapkan agar mencari pasangan yang seagama agar
dapat hidup tenteram, rukun, dan bahagia dunia akhirat.
Setelah terjadinya pembuahan dalam rahim istri, maka tiba saat pranatal, dalam arti istri
mengandung anak yang akan lahir. Untuk mempersiapkan keadaan tersebut, maka hal yang
harus dilakukan calon ayah dan ibu adalah melakukan pendidikan yang salah satunya berupa
pendidikan moral masa pranatal secara lahir batin. Pendidikan prenatal adalah upaya
pendidikan yang dilakukan oleh calon ayah dan ibu pada saat anak masih berada dalam
kandungan.
Sempurnanya bentuk manusia dalam rahim calon ibu, prosesnya itu melalui beberapa
tahapan. Diantara tahapannya adalah empat puluh hari pertama masih embrio (janin), belum
terlihat bentuknya. Empat puluh hari kedua, menjadi darah kental (alaqah) mulai tampak
permulaan munculnya wajah. Panjangnya sekitar 2,5 cm. Empat puluh hari ketiga, menjadi
segumpal daging (mudghah) yang panjangnya sekitar 12,5 cm. Mulai berbentuk manusia.
Jari-jari tangan dan kaki serta alat kelamin eksternal mulai berbentuk. Empat puluh hari
keempat, merupakan saat terpenting yakni saat penentuan nasib inilah, calon orang tua
terutama calon ibu, berusaha agar senantiasa mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara
mendidik calon bayi yang dikandungnya dengan memperbanyak doa dan ibadah supaya
mendapatkan keturunan yang mempunyai pribadi saleh dan berguna bagi agama dan
masyarakat, atau yang di sebut dengan pendidikan batin. Hal ini sesuai dengan hadis Rasul
saw. yang diriwayatkan Muslim dari Abdullah.
ّ ‫ حدّثنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن عبد هللا قال‬
‫ ث ّم يكون فى ذلك‬.‫إن أحدكم يجمع خلقه فى بطن أ ّمه أربـعـين يوما‬
,‫ بكـتب رزقه‬.‫ ويؤمر بأربع كلمـات‬.‫ ث ّم يرسل الـملك فيـنـقخ فيه الروح‬.‫ ث ّم يكون فى ذلك مضغة مثل ذلك‬.‫علقة مثل ذلك‬
(‫)رواه مســلم‬- .‫ي أوسـعيد‬ّ ‫ وشق‬,‫ وعلمه‬,‫وأجله‬-

Artinya: “Dari Abdullah berkata; telah bercerita (kepada saya) Rasulullah saw.
Sesungguhnya, seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibu selama 40
hari. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula. Kemudian menjadi segumpal
daging selama itu pula. Kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan roh atasnya serta
menulis empat ketetapan, yakni rezekinya, umurnya, amalnya, dan nasibnya (pertolongan)”.
(HR. Muslim).

Selain diberi pendidikan batin, calon bayi juga diberi pendidikan fisik melalui ibunya dengan
cara mengkonsumsi makanan yang bergizi dan halal, untuk pertumbuhan otak dan fisiknya.
Hal ini sangat penting bagi pertumbuhan janin, baik secara fisik maupun psikis, sehingga
diharapkan lahir bayi yang kuat, sehat, dan cerdas. Sebab makanan bergizi juga bermanfaat
terhadap calon ibu menjelang persalinan dan waktu menyusui anaknya.
Di samping itu, pasangan suami istri juga diharapkan untuk berusaha menciptakan keadaan
yang baik, harmonis, dan wajar dalam menyambut kelahiran anaknya sebagai amanah dari
Allah swt. Pendidikan dari calon ayah dan ibu tersebut diharapkan akan mempengaruhi
mental sifat anaknya. Allah berfirman dalam QS.Maryam (19): 28.
ْ ‫س ْوءٍ َّو َما كَان‬
(28:‫َت أ ُّم ِك بَ ِغيًّا –)مريم‬ ُ َ‫–يَآ ا ُ ْخت‬
َ ‫هر ْونَ َما َكانَ أب ُْو ِك ا ْم َرأ‬

Artinya: “Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan
ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”.

Untuk memperoleh seorang anak, pada umumnya melalui jalan perkawinan. Dengan sarana
perkawinan tersebut, maka rasa akan tanggung jawabnya sebagai orang tua secara naluriah
akan muncul. Oleh karena itu orang tua harus berusaha menjaga dan merawatnya sebagai
amanat dari Ilahi.

b. Pendidikan moral masa balita (kanak-kanak pertama 0-5 tahun)


Setelah ibu melahirkan, pertama yang harus dilakukan orang tua (bapak) adalah untuk
memberikan pengalaman keagamaan, yaitu ia diazankan untuk anak laki-laki, diiqamatkan
untuk anak perempuan. Kemudian tugas orang tua yang lain adalah memberikan nama yang
baik buat anaknya. Anak lahir sungguh membutuhkan bantuan dari pihak yang lain terutama
ayah ibunya sebagai sarana pengembangan potensinya. Seorang anak yang dibesarkan,
dipelihara, dan dididik dalam keluarga yang aman, tenteram, penuh dengan kasih sayang,
akan tumbuh dengan baik dan pribadinya akan terbina dengan baik pula, lebih-lebih lagi bila
orang tuannya mengerti agama dan taat menjalankannya dengan tekun.
Orang tua merupakan faktor pembentuk pribadi atau karakter anaknya. Sebab sebagian besar
waktu anak bersama mereka terutama ibunya. Ikatan emosional ibu dengan anak lebih besar
dibandingkan dengan hubungan kedekatan anak dengan ayahnya. Mulai pagi hingga malam
hari waktu ibu dihabiskan bersama anaknya. Ibu yang baik tidak akan pernah lupa dengan
tanggung jawabnya dalam membentuk kepribadian anaknya. Baik buruk anak tergantung
pengasuhan dan pendidikan dari orang tuanya, sebab anak merupakan seorang peniru yang
ulung. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah.
‫ فأبواه يهودانه‬.‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم مامن مولود اال يولد على الفطرة‬:‫عن أبى هريرة رضي هللا عنه قال‬
(‫ –)رواه مســلم‬.‫–وينصرانه ويمجسانه‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. Bersabda: Tidak ada anak kecuali dilahirkan
atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya atau menasranikannya atau
me-majusikannya. (HR. Muslim).

Untuk memberikan bimbingan, arahan, dan pengawasan terhadap anaknya dibutuhkan


adanya kerja sama dalam bentuk kesepakatan atau kompromi agar kelak tidak
membingungkan anak dalam menerima pendidikan tersebut. Apabila anaknya bersalah, maka
orang tua harus konsisten untuk memberikan hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Anak dalam usia 0-3 tahun belum bisa membedakan atau memahami kata-kata atau simbol
yang abstrak. Oleh karena itu perlu adanya keteladanan dari orang tuanya dalam bentuk
pengalaman langsung yang dapat dirasakan akibatnya dalam kehidupan kesehari-hariannya.
Atau dengan kata lain tingkah laku orang tua patut dijadikan contoh obyek peniruan dan
identivikasi bagi anak anaknya. Hal ini sesuai denga firman Allah dalam QS. Fushshilat (41):
46.
(46:‫)فصلت‬- ‫ظالَّ ٍم ِلّ ْلعَبـ ِ ْي ِد‬
ّ ِ‫سـا َء فَعَلَ ْي َها قلى َو َما َر بُّكَ ب‬
َ َ ‫صا ِل ًحا فَ ِلنَـ ْفسِه َو َم ْن ا‬
َ ‫– َم ْن َع ِم َل‬

Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan sekali-
kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya”.

Karena dalam masa ini (0-3 tahun) orang tua merupakan otoritas mutlak yang harus dianut
oleh anaknya, maka dari itu diperlukan bimbingan dan arahan dari bapak ibu kepada anaknya
melalui pembiasaan hal-hal yang baik, seperti anak dilatih bersopan santun, tutur kata yang
baik, sering diajak melakukan salat, dan sebagainya. Semua yang dilakukan orang tua, baik
ucapan dan tindak tanduk semuanya akan terekam dalam diri anak dari pagi hingga sore hari.
Sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk menjaga dan memelihara angota keluarganya
dari api neraka.
Memasuki usia 3-5 tahun, keberadaan anak dalam keluarga sudah mulai berkurang, karena ia
mulai mengenal lingkungan barunya terutama dengan teman sebayanya. Dalam usia 0-3
tahun, anak diajarkan benar dan salah oleh kedua orang tuanya, maka usia 3-5 tahun nilai-
nilai tersebut bergeser kepada norma-norma sosial sehingga yang muncul adalah bagaimana
seharusnya anak bertingkah laku dengan teman-temannya yang baik dan benar. Tugas orang
tua pada masa ini kepada anaknya adalah menunjukkan bagaimana seharusnya anak
bertingkah laku yang baik. Pemberian dorongan atau motivasi pada anak supaya anak gemar
dan mempunyai tradisi berbuat baik seperti yang telah dicontohkan bapak ibu terhadap
dirinya, dapat dilakukan orang tua dengan cara pemberian pujian baik melalui ucapan
ataupun pemberian hadiah ketika anak menampilkan perilaku yang baik dalam kehidupan
sehari-hari. Diberikannya pujian terhadap anak dapat memupuk suasana yang
menggembirakan dan dapat mempertinggi harga diri anak. Dan sebaliknya juga diberikan
bahaya-bahaya, apabila anak melakukan perbuatan yang bersifat negatif (jelek).
Larangan ataupun perintah yang diterapkan orang tua pada usia 3-5 tahun ini, akan
dipersepsikan anak dengan konsep benar atau salah. Adapun pengawasan sebagai tugas orang
tua yang berbentuk preventif yang baik yaitu anak diusahakan dan dijauhkan dari lingkungan
atau pergaulan yang tidak baik dan tidak sopan. Dalam periode ini sangat dibutuhkan
kewaspadaan yang serius dan jeli dari ibu bapaknya, sebab pembinaan mental anak hampir
dimonopoli oleh mereka terutama ibunya.
c. Pendidikan moral masa sekolah (kanak-kanak terakhir 6-12 tahun)
Ketika anak mencapai umur 6-12 tahun, maka tugas orang tua adalah memberikan ilmu
pengetahuan menulis dan membaca. Namun biasanya, karena keterbatasan waktu dan
kesibukan orang tua, anaknya dikirim ke lembaga formal (Sekolah Dasar). Dengan posisi
guru di sekolah sebagai pengganti orang tua, tidak secara otomatis beban tanggung jawab
orang tua dengan sendirinya hilang. Sebab hanya sedikit waktu anak di sekolah dibandingkan
waktu berkumpul anak dalam keluarga. Memang orang tua tidak akan mengajar ilmu
pengetahuan secara formal, akan tetapi secara tidak langsung dan informal orang tua
melaksanakan terus menerus pendidikan dan pembinaan mental terhadap anaknya.
Orang tua yang bijaksana, tentunya akan memilihkan lingkungan sosial baru kepada anaknya
(sekolah Dasar) yang dapat menjadi lapangan yang baik bagi pertumbuhan dan
pengembangan mental dan moral anak didik, di samping sebagai tempat atau lahan
penggalian pengetahuan pendidikan ketrampilan dan pengembangan bakat serta kecerdasan
pada diri anak.
Pemberian pengetahuan yang berupa menulis dan membaca, orang tua berharap anaknya
kelak dapat menjadi orang yang dapat berguna dalam agama dan masyarakat melebihi
pengetahuan bapak ibunya. Para guru diharapkan dalam memberikan pengetahuan kepada
anak didiknya seyogyianya menggunakan bahasa yang komunikatif dalam arti agar mudah
dicerna dan dipahami maksud yang akan disampaikan kepada anak

didiknya. Dan juga para guru seharusnya dapat dijadikan tokoh panutan dan pemberi contoh
yang baik, agar penanaman moral yang telah diperoleh di dalam keluarganya tidak terjadi
salah paham atau membingungkan para siswanya. Sekolah merupakan proses kelanjutan
pendidikan anak dalam keluarga, karena yang berpengaruh terhadap perkembangan
kepribadian anak pada umur ini bukan hanya orang tua saja, tetapi juga guru. Penampilan
guru-guru di sekolah terutama guru agama hendaknya dapat mengembangkan dan memupuk
apa-apa yang sudah betul, dan memperbaiki yang salah, yang diterimanya dari orang tuanya.
Untuk menunjang dalam pendidikan moral ini, seharusnya pendidikan agama dilakukan
secara intensif, yaitu antara ilmu dan amal supaya dapat dirasakan oleh anak didik di sekolah,
dalam arti pendidikan agama bukan berarti hanya sekedar menanamkan iman dan keyakinan
beragama saja. Pada usia sekolah ini diusahakan pendidikan agama sudah menyangkut amal
perbuatan kongkret, sehingga siswa dapat memahaminya bukan hanya berupa pengetahuan
saja. Para guru diharapkan tidak pilih kasih terhadap siswa-siswanya. Dengan keadaan
semacam ini tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan anak didiknya. Dalam
masa ini (usia sekolah Dasar) apabila ada anak yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan
kelompoknya, maka resikonya adalah akan dikucilkan dari kelompok sebayanya.
Pergaulan anak dengan lingkungan sosial (teman sebaya), juga berpengaruh terhadap
perhatian anak dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika teman-temannya pergi mengaji,
mereka akan ikut mengaji, temanya rajin salat jamaah ke masjid atau mushola juga akan turut
serta pergi ke tempat ibadah tersebut. Untuk itu, harus ada kontrol dari orang tua

dalam mengamati pergaulan anaknya. Sebab apabila kelompok anaknya, merupakan


kelompok yang tidak baik, dikhawatirkan akan mempengaruhi perilaku yang tidak baik pula
pada diri anak. Satu contoh yang diberikan Rasul saw. Dalam suatu hadisnya yang berarti
yaitu orang tua harus menyuruh anaknya yang berumur 7 tahun untuk melakukan salat.
Andaikan sampai berumur 10 tahun anak tetap tidak mau melakukan salat tersebut, maka
orang tua diberi kewajiban memukul anaknya, sebagai tanda agar anak tidak membiasakan
diri hingga dewasa tanpa melakukan ibadah salat itu.
Apabila anak mencapai umur sekitar 10 tahun ke atas, maka agama baginya berfungsi sebagai
pendidikan moral dan sosial. Anak mulai berpikir bahwa nilai-nilai agama bernilai tinggi
dibandingkan dengan nilai pribadi atau nilai keluarga bahkan nilai masyarakat. Sebab
kebenaran nilai agama merupakan milik masyarakat. Untuk membentuk pribadi anak yang
mempunyai moral baik itu, tentunya dibutuhkan kesadaran dari elemen keluarga, sekolah,
dan masyarakat yang berfungsi sebagai pengontrol dalam kehidupan sehari-hari. Dengan rasa
tanggung jawab bersama itu, kiranya sesuatu yang menjadi harapan bersama akan terwujud
ketika semua masih mau berusaha dan berjuang demi nilai-nilai ajaran agama Islam.

B. Aspek-aspek Pendidikan Moral


Pelaksanaan pendidikan dapat tercapai sesuai tujuan yang diinginkan, apabila semua faktor-
faktor pendidikan terpenuhi. Diantara faktor-faktornya adalah tujuan, metode, pendidik, dan
anak didik. Faktor tujuan dalam pendidikan sangat penting. Sebab dengan adanya tujuan akan
berdampak pada suatu harapan yang ingin dicapai kelak.
Bentuk tujuan pendidikan yang diharapkan, idealnya mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Apabila ketiga ranah tersebut tercapai oleh setiap manusia (anak didik), maka
aktualisasinya pun akan terwujud.
Demikian juga pendidikan moral yang dilakukan, bertujuan untuk mendidik anak menjadi
orang yang berkepribadian dan berwatak baik. Orang tua yang menginginkan anaknya
bermoral baik, tentunya ia harus berupaya semaksimal mungkin untuk mencurahkan segala
daya upaya yang terbaik bagi anak, terutama anak pertama. Sebab anak pertama, disamping
orang tuanya, ia akan dijadikan teladan bagi adik-adiknya.
Tujuan pendidikan moral dapat tercapai, apabila semua faktor yang ada baik orang tua, anak,
lingkungan, dan metode dapat bekerja sama dalam membentuk karakter anak. Sebagai
pendidik dalam memberikan informasi kepada anak, orang tua harus melihat kondisi anak
terutama dari segi umur.
Anak yang berumur 0-10 tahun, menurut Kohlberg yang dikutip oleh A.M.P. Knoers dan Siti
Rahayu Haditono, seharusnya anak sudah pernah menerima informasi sebagai berikut:
1. Penalaran moral yang pra-konvensional
Hal ini mendasarkan pada obyek di luar diri individu sebagai ukuran benar salah. Sebagai
contoh, anak harus mengikuti perintah ataupun larangan dari orang tua sebagai pemegang
otoritas mutlak. Menurut orang tua, apabila anak bertingkah laku sesuai orang tua maka anak
tidak akan menerima hukuman dan sebaliknya, apabila anak membangkang kehendak orang
tua maka ia memperoleh hukuman.

2. Penalaran moral yang konvensional


Dalam penalaran ini mendasarkan pada pengharapan sosial, dimana suatu perbuatan dinilai
benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat. Anak dianggap baik apabila
anak bertingkah laku sesuai dan dapat menyenangkan orang lain. Perbuatan anak dalam
bertingkah laku harus sesuai dengan jenis kelaminnya yang sesuai dengan masyarakat
tersebut.
3. Penalaran moral yang post-konvensional
Memandang aturan-aturan yang ada dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif, dan dapat
diganti oleh yang lain. Dan masyarakat sebagai pengontrol yang legalistis. Individu harus
memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya masyarakat juga harus menjamin
kesejahteraan individu. Peraturan dalam masyarakat adalah subyektif.
Anak sebagai obyek dari pendidikan moral, senantiasa akan menirukan segala tingkah laku
yang diperbuat orang tua dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu lingkungan pendidikan
moral sedapat mungkin memberikan contoh atau dapat dijadikan teladan bagi anak, terutama
orang tuanya sendiri. Pada diri anak yang dibutuhkan adalah keteladanan dan pengalaman
praktis dalam kehidupan sehari-hari, bukan cerita baik dan buruk. Sebab anak merupakan
peniru ulung.
Perbuatan anak tidak akan jauh dari perbuatan orang tuanya. Untuk itu orang tua harus ekstra
hati-hati dalam bertindak (tingkah laku) di depan anaknya. Anak akan menirukan apa yang ia
dengan dan apa yang ia lihat dari lingkungannya dari pagi hingga sore hari.
Anak bertingkah laku baik itulah tujuan akhir dari pendidikan moral ini. Hal ini dapat dicapai
apabila semua faktor pendidikannya mendukung. Salah satu faktornya berupa tujuan
pendidikan. Diantara aspek-aspek dari tujuan pendidikan moral itu adalah kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Idealnya ketiga aspek ini dimiliki oleh anak, agar aktualisasi pendidikan
moral itu benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Sebab ketiganya merupakan
komponen yang tidak terpisahkan.

a. Aspek kognitif
Aspek kognitif yaitu kemampuan anak untuk menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Pemberi informasi baik buruk pertama kali dan utamanya dari orang tuanya. Sebab pertama
kali anak berinteraksi dengan lingkungannya yaitu dengan orang tuanya terutama ibunya. Di
saat anak berumur 0-5 tahun, sebaiknya orang tua telah menanamkan moral baik dan buruk.
Atau dengan kata lain, apabila anak tidak mau mengikuti kemauan orang tuanya, ia pantas
menerima hukuman. Begitu juga sebaliknya, apabila anak mengikuti aturan yang diberikan
orang tua maka ia tidak akan menerima hukuman, karena ia berbuat sesuai aturannya.
Walaupun posisi orang tua mempunyai otoritas mutlak, namun sebaiknya orang tua jangan
sembarangan bertingkah laku dihadapan anak. Sebab anak akan merekam dan menirukan
segala perilaku orang tua dan lingkungannya dengan rasa imitasinya. Meskipun orang tua
tidak pernah memberikan informasi yang negatif, tetapi orang tua harus waspada terhadap
anaknya. Karena sedikit banyaknya anak akan terpengaruh dengan lingkungan di mana ia
bersosial. Untuk itu orang tua harus memberikan perhatian, baik berupa bimbingan dan
arahan yang baik agar apa-apa yang ia peroleh (informasi) dari lingkungannya dapat
terkontrol.
Memasuki usia sekolah dasar (6-12 tahun), para guru terutama guru agama merupakan
panutan bagi anak di samping ayah ibunya. Karena para guru tersebut di samping
memberikan pengajaran, juga merupakan penerus dari pendidikan moral keluarga. Oleh
karena itu para guru harus berusaha membenahi tingkah laku anak, apabila ada yang salah
dari pendidikan orang tuanya.

Salah satu aturan sekolah yang harus ditaati siswa (anak) adalah ia harus memenuhi segala
tugas dan kewajibannya sebagai anak didik. Apabila ia melaksanakan segala aturan sekolah
tersebut, maka ia tidak akan menerima hukuman. Dan sebaliknya apabila ia melanggar aturan
sekolah maka ia pantas menerima hukuman. Pada masa ini yang berlaku adalah aturan
masyarakat sekolah, bukan aturan orang tuanya. Hal ini terjadi karena adanya perjanjian
antara siswa denga pihak sekolah.
Meskipun orang tua telah menyerahkan tugasnya kepada pihak sekolah, namun dengan tidak
sendirinya kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya gugur. Karena waktu anak banyak
bergaul dengan keluarganya. Dengan keadaan tersebut, maka orang tua diharapkan senantiasa
menanyakan kegiatan anak terutama dengan perilakunya. Hal ini dilakukan sebagai kontrol
terhadap perilaku anak.
Orang tua juga harus mengusahakan dan memberikan pengertian kepada anak dalam memilih
teman bergaul yang baik perilakunya. Ini semua dilakukan agar anak tidak terjerumus dan
ikut-ikutan dalam perbuatan yang negatif. Sesuai firman-Nya QS. Luqman (31) : 17.

(17:‫إن ذلِكَ ِم ْن َع ْز ِم اْأل ُم ْو ِر –)لقمن‬


َّ ‫صابَكَ ط‬ ْ ‫ف َوأنـْهَ َع ِن ْالـ ُم ْنك َِر َوأ‬
َ ‫صبِ ْر َعلى َمآأ‬ ِ ‫صلوة َ َوأ ُم ْر بِ ْالـ َم ْع ُر ْو‬ َّ ُ‫يَـبُن‬-
َّ ‫ي أقِ ِم ال‬

Artinya: “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.

Salah satu contoh kebaikan adalah mengerjakan salat. Salat sangat penting dilakukan anak,
karena kegiatan ini merupakan salah satu rukun dari rukun Islam. Apabila anak tidak mau
melakukan salat sampai berumur 10 tahun, maka anak harus menerima hukuman sebagai
konsekuensinya.
Aspek kognitif ini dikatakan berhasil, diantaranya apabila anak telah mampu mengetahui,
memahami, dan menerapkan informasi yang telah diperolehnya kemudian “ditransfer”
kedalam dirinya yang berbentuk pengetahuan intelektual tentang hal (salat) tersebut.
b. Aspek afektif
Aspek afektif adalah kemampuan anak untuk merasakan dan menghayati apa-apa yang
diajarkan, yang telah diperolehnya dari aspek kognitif di atas tersebut. Setelah anak
mengetahui dan memahami dari pengertian salat, tahapan selanjutnya adalah anak dengan
kesadarannya senang memperhatikan orang melakukan salat. Rasa perhatiannya itu dapat
ditunjukkan anak dengan senang melafalkan doa-doa salat dan kadang-kadang menirukan
gerakan orang salat.
Peran orang tua dalam hal ini adalah mengusahakan lingkungan belajar anak. Usaha pertama
adalah melalui lembaga formal (MI atau TPQ) agar anak senantiasa memperoleh banyak
informasi tentang salat. Usaha kedua, yaitu orang tua senantiasa membimbing dan mengajak
anak ke tempat dimana banyak orang yang melakukan salat, supaya anak dapat merespons
kegiatan tersebut. Apabila anak sudah mampu merasakan dan menghayatinya, maka anak
akan menghargai nilai-nilai yang ada dalam salat. Dan akhirnya ia percaya akan kebaikan
nilai itu
dan rela untuk mempertahankan dan menjadikannya sebagai karakter dalam falsafah
hidupnya.
Keberhasilan aspek ini, salah satunya dapat dilihat dari rasa penghargaan anak terhadap nilai
yang dipelajarinya. Bentuk penghargaan tersebut berupa rasa penerimaan terhadap nilai yang
dipelajarinya, sebagaimana nilai yang ada dalam salat tersebut.
c. Aspek Psikomotorik
Aspek psikomotorik adalah kemampuan anak didik untuk merubah perilaku sesuai dengan
ilmu yang telah dipelajari (aspek kognitif) dan ilmu yang telah dihayatinya (aspek afektif).
Tahapan dari mengerti tentang sesuatu (salat) dilanjutkan dengan menghayati nilainya, dan
tahapan terakhir adalah melaksanakan hal tersebut dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan
salah satu tujuan dari aspek psikomotorik yaitu anak dengan kesadarannya melakukan
gerakan salat saat tiba waktunya. Dengan melakukan salat setiap hari minimal lima kali,
maka hal ini akan menjadi tradisi dalam hidupnya. Andaikata anak pernah meninggalkan
sekali salatnya, maka perasaan bersalah (berdosa) yang akan menghantuinya (dirasakan).
Menurut Bloom cs, yang dikutip oleh Nasution, bahwa ketiga ranah tersebut saling
berhubungan. Meskipun pada awalnya hal ini (ranah) berlaku dalam dunia pendidikan, tetapi
akhirnya berlaku juga dalam segala hal yang dilakukan manusia. Walaupun ketiga ranah
tersebut bersifat integral, namun dalam dunia pendidikan moral ini, ranah yang sangat
berperan adalah ranah afektif. Sebab pendidikan moral itu sifatnya abstrak, oleh karena itu
perlu adanya kongkritisasi orang tua dalam pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kongkritisasi itu dapat dilakukan, maka anak pun akan mengikuti perbuatan orang
tuanya. Karena periode anak-anak adalah masa imitasi dan identivikasi. Maka perlu adanya
lingkungan yang kondusif agar pendidikan moral tersebut sesuai tujuan yang diharapkan.
Setelah anak mampu melaksanakan aktualisasi salat setiap hari, orang tua sebagai panutan
pertama bagi anak sepatutnya memberikan motivasi kepada anak agar ia tetap rajin
melaksanakan salat. Pembinaan dari orang tua dapat dilakukan dengan senantiasa
mendampingi anak melaksanakan salat berjamaah, baik di rumahnya atau di masjid.

C. Keberhasilan Pendidikan Moral Anak Dalam Keluarga


Proses pendidikan dapat berhasil apabila didukung oleh faktor-faktornya. Diantara faktor
pendidikan tersebut meliputi faktor tujuan, pendidik, anak didik, dan alat-alat. Dari ilustrasi
di atas, maka pendidikan moral anak dalam keluarga akan berhasil, apabila semua faktor
pendidikannya terpenuhi. Diantara faktor-faktor pendidikan moral yaitu sebagaimana yang
terdapat dalam faktor pendidikan tersebut.
1. Faktor Tujuan
Faktor tujuan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Karena segala sesuatu
yang diusahakan akan nampak hasilnya, apabila tujuan tersebut tercapai. Demikian juga
dalam pendidikan moral ini, faktor tujuan merupakan akhir dari proses pendidikannya yaitu
agar anak dapat bermoral yang baik. Untuk mempersiapkan perencanaan tujuan tersebut
dalam pelaksanaannya menurut Gronlund dan Linn (1990) dalam bukunya “ measurement
and evaluation in teaching”, sebagaimana yang dikutip oleh Zubaidi, menyarankan 4 prinsip
yang harus dipenuhi, yaitu : kelengkapan (completeness), kesesuaian (appropriateness),
ketepatan (soundness), dan fisibilitas ( feasibility).

a. Kelengkapan
Kelengkapan yang dimaksud adalah apabila seluruh hasil pendidikan moral yang penting
telah tercakup dalam tujuan tersebut. Sebagai contoh, anak sudah mampu membiasakan diri
melakukan perbuatan yang positif dan meninggalkan yang negatif dalam kehidupan sehari-
harinya.
b. Kesesuaian
Kesesuaian yang dimaksud adalah bahwa orang tua mengharapkan anaknya tersebut pada
akhirnya mampu meng-aplikasikan informasi yang telah diterimanya dalam bentuk ketiga
ranah yang integral, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik berjalan beriringan.
c. Ketepatan
Usia kanak-kanak merupakan usia di mana rasa imitasinya sangat tinggi terhadap lingkungan
di mana ia bertempat tinggal. Oleh karena itu orang tua dalam keluarganya harus
mengusahakan untuk memberikan “transfer” informasi pendidikan moral baik yang bersifat
nasihat ataupun pembiasaan dalam diri anak.
d. Fisibilitas
Fisibilitas dimaksud yaitu setelah orang tua memberikan informasi pendidikan moral, ia tidak
menuntut kepada anaknya secara berlebihan. Namun disesuaikan dengan perkembangan dan
pertumbuhannya. Sebagai contoh, anak umur tujuh tahun, apabila belum mau melaksanakan
salat maka orang tua harus bersabar untuk membimbingnya, bukan memberikan hukuman
secara fisik.
2. Faktor pendidik
Faktor pendidik yang dimaksud di sini adalah pendidik secara alamiah (orang tua). Orang tua
sebagai pendidik bagi anak harus bertakwa kepada Allah, berkelakuan baik, dan bertanggung
jawab terhadap tugasnya. Orang tua yang baik tentunya akan bersikap sabar dan rela
berkorban demi tanggung jawabnya. Juga orang tua harus mencintai anaknya sebagai rasa
kasih sayangnya terhadap amanat dari Allah.
Orang tua sebelum mendidik anaknya, maka hal yang pertama dilakukannya adalah
penyelamatan hubungan yang baik antara keduanya sehingga dapat dijadikan contoh
bagi anak-anaknya. Apabila hubungan keduanya harmonis dan jauh dari masalah yang
mengganggu rumah tangganya, maka konsentrasi terhadap pendidikan anak akan
terfokus.
Peran keluarga (orang tua) sangat penting dalam pendidikan moral ini, namun juga
tidak menafikkan peran lingkungan pendidikan yang lain seperti sekolah dan
masyarakat.
Oleh karena itu orang tua sebagai pendidik pertama, sedapat mungkin memberikan
lingkungan yang dapat membentuk anak bermoral. Apabila dalam periode awal pendidikan
moral ini, anak tidak pernah mendapatkan penalaran moral yang pra-konvensional niscaya
untuk mendapatkan anak yang bermoral akan jauh dari harapan.
Dengan kondisi yang sangat menentukan ini, seharusnya pihak orang tua ekstra hati-hati
dalam memberikan informasi dan keteladan moral bagi anak. Meskipun orang tua
mempunyai otoritas mutlak, tetapi menjadi keharusan bagi orang tua sedapat mungkin
dijadikan teladan bagi anak dalam bertingkah laku. Bagi anak yang dibutuhkan adalah
praktek keberagamaan dan tindak moral dari orang tua, bukan bercerita baik dan buruk.
Karena dalam periode ini (kanak-kanak awal), anak tidak dapat menangkap simbol-simbol
yang abstrak. Apabila orang tua mampu memberikan hal itu kepada anak, niscaya rasa imitasi
anak terhadap orang tua akan terwujud dalam kepribadiannya. Dan juga adanya kontrol dari
orang tua sebagai koreksi atas perilaku anak.

3. Faktor anak didik


Anak (didik) atau manusia dalam perkembangannya merupakan hasil perpaduan antara
“nature-nurture”. Atau dalam bahasanya Irwanto, dkk, bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture).
Dalam dunia pendidikan perpaduan “nature-nurture” di sebut sebagai teori konvergensi.
Dimana teori ini, menjelaskan bahwa kedua faktor tersebut memberikan pengaruh sama
besarnya dalam perkembangan mental individu. Demikian juga hal ini berlaku dalam
pendidikan moral.
a. Faktor Pembawaan
Diakui bersama bahwa kontribusi genetik orang tua memberikan pengaruh terhadap
pembentukkan sifat anak. Apabila orang tua berharap ingin mempunyai anak yang bermoral
baik, maka ia harus berusaha tidak mengkonsumsi makanan yang bukan miliknya (hasil
mencuri) dan juga senantiasa melatih dirinya dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada
Allah melalui usaha menjalankan segala yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan
Allah.
b. Faktor Lingkungan
Walaupun orang tua tidak memberikan informasi pendidikan moral yang negatif, tetapi orang
tua harus waspada terhadap perilaku anak. Sebab lingkungan juga merupakan sumber belajar
(imitasi) bagi anak. Agar perilaku anak terkontrol, maka orang tua harus senantiasa
mengoreksi tingkah laku anak, jika ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
4. Faktor Alat-alat
Faktor alat-alat yang dimaksud di sini adalah faktor alat dalam arti luas yang dapat diartikan
dengan metode-metode. Berkaitan dengan pendidikan moral ini, maka metode-metode yang
digunakan pendidik terutama orang tua dalam pendidikan moral ini, sebagaimana yang
dikutip oleh Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali dari Abdullah Nashih Ulwan adalah :
a. Pendidikan dengan keteladanan.
b. Pendidikan dengan adat kebiasaan.
c. Pendidikan dengan nasihat.
d. Pendidikan dengan memberikan perhatian.
e. Pendidikan dengan memberikan hukuman.
Menurut pemikiran Ulwan, apabila metode-metode tersebut diterapkan dalam pendidikan
anak khususnya dalam keluarga, maka secara bertahap para orang tua mempersiapkan anak-
anaknya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi kehidupan.
Pada dasarnya posisi moral adalah netral. Karena ada moral yang baik dan moral yang buruk.
Bagi orang yang melakukan kebaikan, berarti ia berbuat atau bermoral baik dan sebaliknya.
Demikian juga keberhasilan pendidikan moral dari orang tua kepada anak. Apabila anak
dapat berbuat baik berarti pendidikannya berhasil dan sebaliknya.
Keberhasilan pendidikan moral anak dalam keluarga dapat diamati, apabila ada perubahan
dalam diri anak tentang pengetahuan (salat dan sebagainya), kemudian adanya penghargaan
terhadap nilai salat tersebut dan tahapan terakhir adalah anak mampu mengaktualisasikannya
dalam kehidupan yang berbentuk pelaksanaan ibadah salat minimal lima waktu sehari
semalam.

Anda mungkin juga menyukai