Anda di halaman 1dari 17

TEORI PERKEMBANGAN MORAL PIAGET

Tugas Makalah Mata Kuliah Psikologi Perkembangan Peserta Didik

Dosem Pengampu : Dr. Arif Budi Raharjo, M.Si

Disusun oleh:

Agus Saeful Bahri

NIM: 20141010042

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM

PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015
I. Pengertian Moral

Dalam kehidupan sehari-hari kata moral seringkali terdengar diucapkan khususnya

menunjuk pada perilaku yang dianggap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku

dalam suatu masyarakat dan agama. Misalnya, dinyatakan bahwa si A telah melakukan

perbuatan tidak bermoral karena telah menelantarkan anak-anaknya, artinya si A dianggap

telah melanggar nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dan agama terkait dengan

pemeliharaan keluarga. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan moral? Secara

etimologis, kata moral berasal dari kata „mos‟ dalam bahasa latin, bentuk jamaknya „mores‟,

artinya adalah tata cara atau adat istiadat.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI)

moral diartikan sebagai aklak, budi pekerti, atau susila.2

Secara terminologis, terdapat berbagai pendapat tentang pengertian moral yang dilihat

dari segi subtansi materilnya memang tidak nampak perbedaan, namun dalam bentuk

formalnya berbeda. Dalam KKBI moral dinyatakan sebagai ajaran tentang baik buruk yang

diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Selain itu moral juga diartikan

sebagai sikap mental yang membuat seseorang tetap berani, bergairah, bersemangat,

berdisiplin, dan juga diartikan sebagai isi hati atau perasaan yang terungkap dalam

perbuatan.3 K. Bertens menyatakan bahwa moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang

menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.4

Runes (1997 dalam Sjarkawi) merumuskan bahwa moral adalah hal yang mendorong

manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Dengan kata

lain moral adalah sarana untuk mengukur benar-tidaknya atau baik-tidaknya tindakan

1
K. Bertens, K. 2001. Etika, Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. h. 5.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka.
Cetakan ketiga, h. 592.
3
Ibid
4
Bertens, K. 2001. Etika...h. 7.
manusia.5 Atkinson (1969) mengemukakan moral sebagai pandangan tentang baik dan buruk,

benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Moral juga merupakan

seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan akrakter atau kelakuan dan

apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Helden (1977) dan Richard (1971)

mengatakan bahwa moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan

dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan.6

Sjarkawi kemudian merumuskan pengertian moral secara komprehensif rumusan formalnya

sebagai berikut:7

1. Moral adalah nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu

kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

2. Moral menunjukkan kode, tingkah laku, adat, atau kebiasaan dari individu atau

kelompok.

3. Kualitas perbuatan manusia yang dikaitkan dengan nilai baik dan buruk.8

Jika moral diartikan sama dengan akhlak yang berasal dari bahasa Arab dan

merupakan sebuah konsep dari Islam, maka Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak

merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan

gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.9 Ibrahim Musthafa

mengartikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-

macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.10

Sementara Abdul Kadir Aidan menjelaskan bahwa akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat

5
Sjarkawi. 2008. Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai
Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta. PT Bumi Aksara. Cetakan kedua, h. 28.
6
Ibid
7
Sjarkawi, 2008. Pembentukan Kepribadian Anak..h. 27-28.
8
Moral juga mempunyai makna yang sama dengan moralitas, tetapi moralitas mengandung makna segala hal
yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana seseorang hidup secara baik
sebagai manusia. Di dalamnya terkandung aturan hidup bermasyarakat, petuah, wejangan, nasihat, peraturan,
perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu.
Lihat Sjarkawi, Ibid.
9
Ilyas, Yunahar. 2000. Kuliah Akhlak, Yogyakarta. LPPI UMY..Cetakan Kedua, h. 2.
Musthafa, Ibrahim dkk. 1972 Mu’jam al-Wasith, Turki. Al-Maktabah Al-Islamyah. Cetakan Kedua. h. 252.
10
yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai

perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.11

Bagi Sjarkawi, akhlak pada dasarnya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan,

sekaligus hubungan dengan sesama manusia lainnya yang bersifat universal dan bebas dari

batas-batas kebangsaan maupun perbedaan-perbedaan lainnya.12 Tetapi kiranya perlu

diperhatikan dengan seksama, ada perbendaan yang sangat signifikan antara moral dalam

pengertian ilmu pengetahuan tersebut di atas dengan akhlak yang disebut belakangan.

II. Pendidikan Moral

Dalam Undang–Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa

dan negara. Adapun tujuan dari pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.13 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia

merupakan negara yang mengakui pentingnya moralitas dan terselenggaranya pendidikan

11
Ilyas, Yunahar. 2000. Kuliah Akhlak…Ibid. Akan tetapi ada satu hal yang membedakan antara moral dengan
akhlak yaitu sumber nilai atau ukuran baik dan buruk yang dijadikan sebagai rujukan. Jika moral rujukannya
adalah prngrtahuan dan akal manusia, sehingga bersifat ralatif, maka akhlak dalam Islam sumbernya adalah al-
Qur‟an dan Sunnah atau syara‟. Dengan kata lain Tuhan-lah yang menjadi ukuran baik-buruk, benar-salah,
sehingga bersifat mutlak atau absolute. Tetapi Islam juga mengakui bahwa akal pikiran, hati nurani atau fitrah
manusia dapat dijadikan sebagai ukuran moral atau akhlak sepanjang tidak melepaskan diri dari keterikatannya
dengan Tuhan sebagai sumber yang absolute tentang baik-buruk, benar-salah. Ibid..h. 4. Lihat juga Sjarkawi,
Pembentukan Kepribadian Anak..h. 31.
12
Sjarkawi, 2008. Pembentukan Kepribadian Anak..h. 32. Dalam pandangan Fazlur Rahman keseluruhan ajaran
Islam adalah living morality atau moralitas yang hidup dalam keseluruhan tingkah laku penganutnya. Al-Qur‟an
adalah kitab moralitas yang menyejarah dalam sunnah; perilaku yang dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad
saw baik perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Bahkan sejak awal diwahyukannya, dimana doktrin ajaran
Islam lebih banyak berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi pada saat bersamaan juga
berbicara tentang keadilan sosial dan kemanusiaan. Contoh QS al-Maun (107): 1-7, dengan tegas Allah
mengatakan bahwa tidak dianggap beragama orang-orang melakukan pembiaran terhadap kaum dhua’fa dan
mustadh’afin. Lihat buku Rahman, Fazlur. 2010. Islam. Pustaka. Bandung. Cetakan kesebelas. h. 40.
13
UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 1 dan Bab II pasal 3
yang bermoral di sekolah maupun di lingkungan masyarakat yaitu di lingkungan keluarga,

tempat-tempat ibadah lewat majlis ta‟lim, bahkan semestinya melalui televisi yang disiarkan

secara bebas dan menjangkau masyarakat luas.

Secara formal pendidikan moral di sekolah diajarkan melalui bidang studi agama,

pendidikan kewarganegaraan, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa Indonesia, dari jenjang

pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini dilakukan karena lembaga

pendidikan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berfikir dan kecakapan

siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk tidak bertindak.

Kemampuan demikian terkait dengan nilai-nilai, terutama nilai yang bersifat humanis. Plato

pun mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan manusia cerdas dan

baik.14 Dalam pandangan Muhammad Abduh tujuan pendidikan (Islam) adalah untuk

mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang

mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.15 Dengan tujuan pendidikan yang

menekankan pada aspek kognitif (akal) dan afektif (jiwa/spiritual) seperti ini diharapkan akan

terbentuk pribadi yang mempunyai struktur yang seimbang, selain memiliki kebiasaan dan

kekuatan berfikir dalam menentukan baik dan buruk, berguna atau tidak bermanfaat, tapi juga

memiliki kematangan dan kebersihan jiwa yang melahirkan akhlak mulia dan moral yang

tinggi.16 Secara lebih khusus tujuan pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan manusia

yang memiliki iman dan akhlak yang tinggi sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT.17

Oleh karena itu menjadi penting untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan moral.

Tidak saja dalam rangka menumbuhkembangkan moral sebagaimana tujuan pendidikan

14
Sjarkawi. 2008. Pembentukan Kepribadian Anak..h. 45
15
Bahri, Agus Saeful.2015. Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh (1849-1905 M), Working paper
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam di Bidang Pendidikan, Magister Studi Islam Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. h. 19.
16
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi Perbandingan.
Jakarta. Bulan Bintang. h. 156.
17
Hasanah, Nidhaan. 2015. Sejarah Pendidikan Islam, Working paper Studi Pengembangan Kurikulum,
Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. h. 6.
secara umum, tetapi juga untuk mengukur efektifitas pendidikan moral di sekolah-sekolah,

sekaligus untuk membuat program-program pendidikan moral yang tepat dan fungsional.

Salah satunya adalah dengan memahami teori perkembangan moral yang dirintis oleh Jean

Piaget melalui penelitian-penelitiannya yang luas dan mendalam dengan menggunakan

metode observasi dan wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Dalam penelitiannya,

Piaget juga mengangkat persoalan-persoalan moral seperti mencuri, berbohong, hukuman,

dan keadilan.18 Selain itu, dikarenakan moral dianggap sebagai suatu proses, maka perilaku

moral tidak saja terwujud dalam sesuatu yang tampak dan konkret, tetapi juga berwujud

pertimbangan yang mendasari suatu keputusan moral.19

III. Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget

Perkembangan moral beriringan dengan perkembangan sosial, termasuk pada anank-

anak usia pra sekolah. Menurut Santrock perkembangan moral adalah perubahan penalaran,

perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai salah dan benar.20 Desmita menjelaskan

bahwa perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan

konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan

orang lain.21 Oleh karena itu perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang

mengatur aktivitas seseorang ketika dia terlibat dalam interaksi sosial, dan dimensi

interpersonal yang mengatur interaksi soisal dan penyelesaian konflik (Gibs, 2003; Power,

2004; Walker & Pits, 1998).22

18
Ayria, Yulia. Teori-Teori Dasar Perkembangan Moral Pada Usia Dini: Suatu Perspektif Psikologi, Makalah
pdf, h. 3. Lihat Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak Edisi Sebelas. Terj. Mila Rachmawati. Jilid 2.
Jakarta. Penerbit Erlangga. h. 117
19
Sjarkawi. 2001. Pembentukan Kepribadian Anak…h. 46
20
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak....h. 117
21
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung. RemajaRosda Karya. h. 149
22
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak...ibid.
Anak-anak ketika dilahirkan “tidak memiliki moral (amoral)”,23 tetapi dalam dirinya

terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya

berinteraksi dengan orang lain (org tua, saudara dan steman sebaya) anak belajar memahami

tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk,

yang tidak boleh dikerjakan.

Teori kognitif Piuaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan

proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang

perkembangan intelektual.24 Piaget bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan

kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif

itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan

dengan masalah sosial.25 Piaget percaya bahwa perkembangan moral dapat digambarkan

melalui aturan permainan.26 Karena itu, hakekat moralitas adalah kecenderungan untuk

menerima dan menaati sistem peraturan.

The game of marble containts an extremely complex system of rules, that is to say, a code
of laws, a juriprundence of its own.....All morality consists in a system of rules, and the
essence of all morality is to be sought for in the respect which the individual acquires for
these rules.27

Untuk mempelajari pemahaman moral anak-anak, Piaget mempelajari dua fenomena

terpisah dalam permainan kelereng yang dilakukan oleh anak-anak, pertama the practice of

rules (praktek/pelaksanaan aturan) yaitu cara anak-anak dari tingkatan usia yang berbeda

menerapkan aturan permainan; kedua the consciousness of rules yaitu ide atau pemikiran

anak-anak dari tingkatan usia yang berbeda membentuk atau membuat karakter aturan dari

Menurut K. Bertens kata “amoral” sebaiknya diartikan netral dari sudut moral atau tidak mempunyai
23

relevansi etis, sementara immoral yang juga sering terdengar diucapkan artinya bertentangan dengan moral yang
baik, secara moral buruk, tidak etis. Lihat Bertens. K. Etika…h. 7-8.
24
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan..h. 150.
25
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America: Johns Hopkins
University. h. 51.
26
Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan, and Others on Moral Development. Working paper, t.t. h. 1.
27
Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment of the The Child. Glencoe Illinois. The Free Press.h. 1.
permaian kelereng ini, apakah aturan tersebut sesuatu yang wajib dan suci, atau sesuatu yang

tunduk pada pilihan mereka sendiri, atau sebuah bentuk heteronomy atau outonomy.28

Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang

bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan.

Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia

6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6

tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum

menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun, anak-anak sudah

mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut

dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.29

A. Praktek Aturan Permainan

Dalam pengamatan Piaget terdapat empat tahap pemahaman anak-anak tentang

praktek aturan dalam permainan sebagai berikut:30

1. Anak-anak disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan permainannya sendiri dan

cenderung bermain individual tanpa kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung

menerima aturan tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu. Pada tahap ini, murni

karakter permainan anak-anak pada periode motor dan individual. Anak-anak bermain

karena didorong oleh keinginan bermain dan kebiasaan motorik, dan tidak dibatasi oleh

aturan-aturan yang telah dibuat secara kolektif.31

2. Anak-anak usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok, meskipun masing-masing

anak masih menganggap pendapatnya yang paling benar. Anak-anak ini belum memiliki

empati dan belum mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini

cenderung memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa, meskipun pada usia
28
Ibid... h. 3
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory …ibid
29

30
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Malang. IKIP Malang. h. 28
Piaget, Jean. T.t. The Moral Judgment…. h. 16. Lihat juga di Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg,
31

Gilligan…h. 3
ini mereka sering melanggar aturan tersebut. Piaget menyebutnya tahap egocentric,

dimana anak-anak belum memahami peraturan dengan baik, dengan kata lain ketika

mereka bermain bersama, setiap anak bermain dengan caranya sendiri (on his own) dan

setiap orang bisa menang pada saat yang bersamaan, serta tidak menghargai aturan yang

telah ditetapkan.32 Fleming menyebutnya sebagai tahap praoperasional yang bersifat

„monologues collective’ artinya sama sekali tidak bisa diajak berdialog.33

3. Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan aturan permainan

meskipun aturan permainannya umumnya masih belum jelas (kabur). Piaget menyebut

tahap incipient cooperation yaitu interaksi di antara anak-anak lebih menggambarkan

interaksi social, formal, aturan dapat diterapkan, dan kepatuhan anak dapat diamati.

Anak sudah bisa memahami arti kerjasama dan persaingan, meskipun pengertian di

antara anak-anak belum dapat dikatakan utuh ketika meloncat kepada aturan lainnya.34

4. Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat kesepakatan bersama

tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa aturan sebagai suatu yang

bisa diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan. Piaget menyebut tahap ini genuine

cooperation dimana anak yang lebih tua menunjukkan ketertarikan terhadap aturan-

aturan legal. Dia menikmati menyelesaikan perbedaan pendapat tentang peraturan yang

dibuat, membuat aturan baru, dan mengelaborasinya, bahkan mencoba untuk

mengantisipasi semua kemungkinan yang akan terjadi.35

B. Kesadaran Terhadap Peraturan

Meskipun sedikit lebih rumit dibandingkan dengan pemahaman praktis terhadap

peraturan permainan, pada kategori ini kemajuan kesadaran terhadap peraturan melalui tiga

tahapan, dimana tahap yang kedua terjadi pada tahap egocentric dan berakhir pada

Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….ibid


32

Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan…ibid


33

Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment…h. 17. Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan…ibid
34
35
Ibid
pertengahan tahap cooperation yaitu usia 9-10 tahun. Sementara tahap ketiga meliputi bagian

akhir tahap cooperation dan seluruh tahapan codification of rules.36 Adapun penjelasan

tahapannya adalah sebagai berikut:

1. Pada tahap pertama belum ada paksaan dalam karakter anak, semuanya masih murni

bersifat motorik, atau karena masih pada tahap awal egocentric, anak menerima

aturan secara tidak sadar, hanya sebagai bentuk ketertarikan mengikuti contoh yang

ada, bukan sebagai kewajiban untuk patuh pada peraturan.

2. Pada tahap kedua ini (tahap egocentric dan bagian awal tahap cooperation) peraturan

dihargai sebagai yang suci dan tidak berubah, berasal dari orang dewasa dan sifatnya

abadi. Setiap bentuk pembangkangan yang dilakukan anak adalah pelanggaran.

3. Selama tahap ketiga, sebuah aturan dilihat sebagai sebuah hukum sebagaimana

seharusnya untuk disepakati bersama, maka jika ingin mendapatkan loyalitas, harus

menghormati aturan, tetapi dalam kondisi tertentu terhadap aturan bisa dimungkinkan

untuk dilakukan perubahan.37

Hubungan diantara kedua tahap perkembangan praktek dan kesadaran aturan tersebut

adalah bahwa aturan kolektif yang awalnya bersifat eksternal kemudian menjadi aturan

individual dan bersifat suci, yang kemudian secara bertahap anak menjadikannya sebagai

peraturannya sendiri, hal itu dimungkinkan karena aturan dianggap sebagai produk bebas

hasil kesepakatan dan kesadaran autonomous.38

C. Beberapa Teori dalam Perkembangan Moral Piaget

1. Intensi dan konsekuensi

Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan

moralnya. Untuk memahami perubahan konsepsi yang terjadi, Piaget menghadapkan anak

36
Ibid...h. 18.
37
Ibid
38
Ibid
pada masalah-masalah moral seperti berbohong. Dari hasil penelitiannya, Piaget

menyatakan, bahwa anak-anak dengan usia lebih muda antara 5-7 tahun cenderung menilai

suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi yang hanya bersifat material, artinya anak-anak

tidak bisa membedakan antara tindakan intensi (tindakan yang disengaja) atau kesalahan

tidak disengaja.39 Anak-anak dengan usia yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah

mampu memperhatikan intensi kesalahan yang muncul dari suatu perbuatan.40

Intensi dan konsekuensi merupakan gambaran perubahan perkembangan moral dari

tahap heteronomous ke tahap autonomous. Dalam mengetahui pendapat anak tentang makna

berbohong, Piaget melakukan tanya jawab dengan anak-anak. Pada tanya jawab itu, diperoleh

hasil bahwa anak-anak yang lebih muda usianya memberi makna bahwa bohong sesuatu yang

jelek dan tidak seorangpun sanggup mengatakannya. Anak-anak yang usianya lebih tua

memberi makna bohong adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk

diucapkan.41

2. Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal

Melalui cerita-cerita sederhana yang berhubungan dengan pelanggaran dalam

keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, Piaget mencoba untuk mengidentifikasi konsepsi

anak-anak mengenai hukuman. Piaget mengklasifikasikan hukuman ke dalam dua bentuk,

yaitu hukuman-hukuman yang bersifat ekspiatoris (expiatory punishment) dan hukuman-

hukuman yang bersifat resiprositas (reciprocity punishment).42

Hukuman yang bersifat ekspiatoris, Sherwood dalam Cahyono dan Suparyo

mengemukakan bahwa hukuman harus atas pertimbangan yang wajar antara bobot kesalahan

Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….h. 139. Contoh kasus ketika seorang anak bernama Clai ditanya: “Do
39

you know what a lie is? – It’s when you say what isn’t true – “Is 2+2 = 5 a lie ?” – Yes, it’s a lie. – Why ? –
Because isn’t right – Did the boy who said that 2+2=5 know it wasn‟t right or did he make a mistake ?” – He
made a mistake. – Then if he made a mistake, did he tell a lie or not ?” – Yes, he told a lie. h. 140
40
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan..h. 31
41
Ibid…h. 32.
42
Ibid.
dan juga bobot penderitaan si pelanggar atas hukuman yang ditimpakan.43 Contoh hukuman

ekspiatoris dalam keluarga antara lain memukul, menampar, tidak memberi uang jajan,

dilarang bermain untuk sementara waktu, dan sebagainya. Hukuman yang bersifat

resiprositas senantiasa membuat keterkaitan antara hukuman dengan tindakan kesalahan yang

dibuat.44 Melalui hal tersebut, diharapkan si pelanggar sadar akan akibat-akibat perbuatannya.

Bentuk hukuman resiprositas dapat berupa ganti rugi dan pengucilan.45

Berdasarkan hasil pengamatan Piaget, diketahui bahwa hukuman resiprositas

dikembangkan oleh anak-anak yang tingkat perkembangan moralnya pada tahap autonomous.

Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget mencatat bahwa anak pada usia 6-7 tahun 30%

memilih hukuman ini, anak pada usia 8-10 tahun mencapai 50% memilih hukuman ini, dan

anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80% memilih hukuman ini. Sebaliknya, hukuman

ekspiatoris dipilih anak-anak yang perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-

anak pada tingkat usia ini, percaya bahwa keadilan selalu berhubungan dengan kesalahan-

kesalahan yang dilakukan seseorang, dan orang tersebut akan memperoleh hukuman atas

kesalahannya tersebut secara alamiah.46

3. Antara Equality dan Equity

Membahas mengenai keadilan, Piaget menekankan pada dua bentuk keadilan

distributif yaitu equality dan equatity. Menurut pandangan Piaget, equality yaitu pemikiran

bahwa tiap manusia harus diperlakukan secara sama, sedangkan equity yaitu pemikiran yang

lebih mempertimbangkan tiap-tiap individu.47

43
Ibid.
Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….h. 203-204
44
45
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan…h. 34. Fleming menjelaskan expiatory
punishment sebagai atonement (penebusan) yaitu beberapa bentuk tindakan hukuman yang dirlakukan, dimana
pelaku pelanggaran harus membayar harga atas pelanggaran yang telah dilakukannya. Adapu resipatory
pusnishment diartikan menempatkan sesuatu dengan benar, dimana si anak harus melihat konsekuensi dari
pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, dan memahami dengan jelas pentingnya berperilaku dengan sebuah
cara yang lebih kooperatif. Lihat Fleming, J.S., Piaget, Kohlberg, Gilligan…h. 2
46
Ibid
Ibid…35. Lihat Piaget, Jean. t.t. Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….h. 262-275.
47
Untuk mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif tersebut, Piaget

mengangkat masalah-masalah ke dalam sebuah cerita untuk mengetahui respon anak-anak

berdasarkan tingkat usianya. Dari respon-respon yang muncul, Piaget membedakan respon

tersebut ke dalam tiga tahap yaitu:48

1. Tahap Just, di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang dewasa adalah ibarat

hukum yang harus dijalankan.49

2. Tahap Equality Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli saat menghadapi

hukuman ataupun sedang menolak perintah, mereka akan lebih melihat kekuasaan

tertinggi. 50

3. Tahap Equity Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas (perlakuan sama) tidak

akan pernah dikembangkan tanpa memperhatikan situasi yang dihadapi tiap individu.51

D. Tahap Perkembangan Moral Piaget

Berdasarkan pembahasan dan penjabaran di atas, Piaget menyimpulkan bahwa terdapat

dua tahap perkembangan moral yaitu morality of constrain or heteronomy dan morality of

cooperation or aoutonomy,52 dengan ciri-cirinya masing-masing sebagai berikut:53

Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget

Tahap Heteronomous Tahap Autonomous

(Tahap Realisme Moral) (Tahap Independensi Moral)

Anak Usia < 12 tahun Anak usia > 12 tahun

Diberi label tahap moralitas kendala Diberi label tahap moralitas kerjasama

Ibid…36
48

Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….h. 283


49
50
Ibid...h.284
51
Ibid
52
Ibid...h.195
53
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory… h. 52.
Aturan dipandang sebagai paksaan dari orang Aturan dipandang sebagai hasil kesepakatan

yang lebih dewasa bersama

Menilai perilaku moral berdasarkan Menilai perilaku moral berdasarkan niat

konsekuensinya pelakunya

Hukuman dipandang sebagai konsekuensi Hukuman dipandang sebagai sesuatu hal

otomatis dari pelanggaran yang tidak serta merta, namun dipengaruhi

oleh niat pelakunya

Sementara Fleming menyebut tahapan ini dengan istilah children’s moral judgment

yang didasarkan kepada dua aspek yaitu penilaian anak-anak terhadap cerita-cerita moral dan

interaksi mereka dalam permainan. Pada anak usia 4-7 tahun tahap penilaian moralnya

disebut moral realism atau moral heterenomy cirinya berkonotasi absolute (mutlak), dimana

moralitas dilihat sebagai aturan yang sudah tetap dan tidak bisa dirubah, kesalahan ditentukan

oleh sejauh mana pelanggaran dilakukan bukan dilihat niatnya atau motifnya. Pada usia

sekitar 10 tahunan dan yang lebih tua, anak-anak lebih sadar bahwa aturan sifatnya tidak

tetap dan absolute, selalu ada kemungkinan berubah sesuai dengan kebutuhan yang muncul

kemudian. Karena dalam pembemtukan peraturan ada kesepakatan yang dibangun dengan

alasan kesetaraan dan keadilan.54

Dalam Santrock tahap perkembangngan moral Piaget disimpulkan demikian:55

1. Anak usia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heteronom. Anak berfikir bahwa keadilan

dan peraturan adalah properti dunia yang tidak bisa diubah, dan tidak dikontrol oleh

orang. Aturan diturunkan oleh sebuah otoritas yang maha kuasa. Kebaikan dan

kebenaran perilaku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat dari pelakunya. Pemikir

heteronom juga percaya adanya imanent justice, sebuah konsep bahwa ketika peraturan

54
Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan…h. 4-5
55
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak...h. 117-118
dilanggar, maka hukuman akan langsung mengiringi pelanggaran tersebut. Anak percaya

bahwa pelanggaran terhubung secara otomatis dengan hukumannya. Sehinga seringkali

anak kecil melihat ke sekelilingnya dengan perasaan khawatir ketika melakukan

kesalahan, takut adanya immanen justice. Immanent justice juga mengimplikasikan jika

seseorang kena musibah, orang tersebut pasti telah melakukan pelanggaran

sebelumnya.56

2. Dari usia 7-10 tahun, anak berada dalam masa transisi dan menunjukkan sebagian ciri-

ciri dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua,

moralitas otonom.

3. Mulai 10 tahun ke atas, anak menunjukkan moralitas otonom. Mereka sadar bahwa

peraturan dan humum dibuat oleh manusia, dan ketika menilai sebuah perbuatan, mereka

mempertimbangkan niat dan juga konsekuensinya. Hukuman terjadi hanya jika ada saksi

mata terhadapa pelanggaran, bahkan dengan ini pun bukan berarti bahwa hukuman

adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan.

Akan tetapi tahap perkembangan moral ini tidak bersifat kaku, sangat tergantung situasi,

boleh jadi seorang anak mampu menilai moralitas secara independen dibandingkan anak-anak

lainnya. Piaget percaya ketika anak berkembang, pemahaman sosial ini terjadi melalui saling

memberi dan menerima dalam hubungan teman sebaya. Dimana anggotanya memiliki status

dan kekuatan yang sama, rencana biasanya dikoordinasikan, dirundingkan, dan perbedaan

pendapat dibahas dan akhirnya diselesaikan. Sementara hubungan orang tua dengan anak,

dimana orang tua memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh anak, maka akan lebih mungkin

mengembangkan penalaran moral, karena sering kali peraturan diturunkan dengan cara

otoriter.

56
Untuk lebih jelas bisa dibaca Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment...h. 251-261
DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Agus Saeful.2015. Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh (1849-1905 M),
Working paper Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam di Bidang Pendidikan, Magister
Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Malang. IKIP
Malang.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
Balai Pustaka

Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan, and Others on Moral Development. Working
paper, t.p.

Hasanah, Nidhaan. 2015. Sejarah Pendidikan Islam, Working paper Studi Pengembangan
Kurikulum, Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta

Ilyas, Yunahar. 2000. Kuliah Akhlak, Cetakan Kedua. Yogyakarta. LPPI UMY

Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi
Perbandingan. Jakarta. Bulan Bintang

Manning, S.A. 1977. Child And Adolescent Development. Washington, D.C: Departement of
Psychology University of the District of Columbia.

Musthafa, Ibrahim. 1972. Mu’jam al-Wasith, Cetakan Kedua, Turki. Maktabah al-Islamiyah

Piaget, V.J. Terj. Majorie Gabain. tt. The Moral Judgment of The Child. The Free Press.
Glencoe Illionis

Rahman, Fazlur. 2010. Islam. Cetakan kesebelas. Pustaka. Bandung.

Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas. Jilid 2. Jakarta. Penerbit
Erlangga

Sjarkawi, 2008. Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan
Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Cetakan Kedua. Jakarta.PT
Bumi Aksara

Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America:
Johns Hopkins University.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003

Anda mungkin juga menyukai