Disusun oleh:
NIM: 20141010042
2015
I. Pengertian Moral
menunjuk pada perilaku yang dianggap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku
dalam suatu masyarakat dan agama. Misalnya, dinyatakan bahwa si A telah melakukan
telah melanggar nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dan agama terkait dengan
pemeliharaan keluarga. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan moral? Secara
etimologis, kata moral berasal dari kata „mos‟ dalam bahasa latin, bentuk jamaknya „mores‟,
artinya adalah tata cara atau adat istiadat.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI)
Secara terminologis, terdapat berbagai pendapat tentang pengertian moral yang dilihat
dari segi subtansi materilnya memang tidak nampak perbedaan, namun dalam bentuk
formalnya berbeda. Dalam KKBI moral dinyatakan sebagai ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Selain itu moral juga diartikan
sebagai sikap mental yang membuat seseorang tetap berani, bergairah, bersemangat,
berdisiplin, dan juga diartikan sebagai isi hati atau perasaan yang terungkap dalam
perbuatan.3 K. Bertens menyatakan bahwa moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.4
Runes (1997 dalam Sjarkawi) merumuskan bahwa moral adalah hal yang mendorong
manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Dengan kata
lain moral adalah sarana untuk mengukur benar-tidaknya atau baik-tidaknya tindakan
1
K. Bertens, K. 2001. Etika, Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. h. 5.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka.
Cetakan ketiga, h. 592.
3
Ibid
4
Bertens, K. 2001. Etika...h. 7.
manusia.5 Atkinson (1969) mengemukakan moral sebagai pandangan tentang baik dan buruk,
benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Moral juga merupakan
seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan akrakter atau kelakuan dan
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Helden (1977) dan Richard (1971)
mengatakan bahwa moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan
dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan.6
sebagai berikut:7
1. Moral adalah nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
2. Moral menunjukkan kode, tingkah laku, adat, atau kebiasaan dari individu atau
kelompok.
3. Kualitas perbuatan manusia yang dikaitkan dengan nilai baik dan buruk.8
Jika moral diartikan sama dengan akhlak yang berasal dari bahasa Arab dan
merupakan sebuah konsep dari Islam, maka Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak
merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan
gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.9 Ibrahim Musthafa
mengartikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-
macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.10
Sementara Abdul Kadir Aidan menjelaskan bahwa akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat
5
Sjarkawi. 2008. Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai
Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta. PT Bumi Aksara. Cetakan kedua, h. 28.
6
Ibid
7
Sjarkawi, 2008. Pembentukan Kepribadian Anak..h. 27-28.
8
Moral juga mempunyai makna yang sama dengan moralitas, tetapi moralitas mengandung makna segala hal
yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana seseorang hidup secara baik
sebagai manusia. Di dalamnya terkandung aturan hidup bermasyarakat, petuah, wejangan, nasihat, peraturan,
perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu.
Lihat Sjarkawi, Ibid.
9
Ilyas, Yunahar. 2000. Kuliah Akhlak, Yogyakarta. LPPI UMY..Cetakan Kedua, h. 2.
Musthafa, Ibrahim dkk. 1972 Mu’jam al-Wasith, Turki. Al-Maktabah Al-Islamyah. Cetakan Kedua. h. 252.
10
yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai
perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.11
Bagi Sjarkawi, akhlak pada dasarnya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan,
sekaligus hubungan dengan sesama manusia lainnya yang bersifat universal dan bebas dari
diperhatikan dengan seksama, ada perbendaan yang sangat signifikan antara moral dalam
pengertian ilmu pengetahuan tersebut di atas dengan akhlak yang disebut belakangan.
dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Adapun tujuan dari pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.13 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia
11
Ilyas, Yunahar. 2000. Kuliah Akhlak…Ibid. Akan tetapi ada satu hal yang membedakan antara moral dengan
akhlak yaitu sumber nilai atau ukuran baik dan buruk yang dijadikan sebagai rujukan. Jika moral rujukannya
adalah prngrtahuan dan akal manusia, sehingga bersifat ralatif, maka akhlak dalam Islam sumbernya adalah al-
Qur‟an dan Sunnah atau syara‟. Dengan kata lain Tuhan-lah yang menjadi ukuran baik-buruk, benar-salah,
sehingga bersifat mutlak atau absolute. Tetapi Islam juga mengakui bahwa akal pikiran, hati nurani atau fitrah
manusia dapat dijadikan sebagai ukuran moral atau akhlak sepanjang tidak melepaskan diri dari keterikatannya
dengan Tuhan sebagai sumber yang absolute tentang baik-buruk, benar-salah. Ibid..h. 4. Lihat juga Sjarkawi,
Pembentukan Kepribadian Anak..h. 31.
12
Sjarkawi, 2008. Pembentukan Kepribadian Anak..h. 32. Dalam pandangan Fazlur Rahman keseluruhan ajaran
Islam adalah living morality atau moralitas yang hidup dalam keseluruhan tingkah laku penganutnya. Al-Qur‟an
adalah kitab moralitas yang menyejarah dalam sunnah; perilaku yang dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad
saw baik perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Bahkan sejak awal diwahyukannya, dimana doktrin ajaran
Islam lebih banyak berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi pada saat bersamaan juga
berbicara tentang keadilan sosial dan kemanusiaan. Contoh QS al-Maun (107): 1-7, dengan tegas Allah
mengatakan bahwa tidak dianggap beragama orang-orang melakukan pembiaran terhadap kaum dhua’fa dan
mustadh’afin. Lihat buku Rahman, Fazlur. 2010. Islam. Pustaka. Bandung. Cetakan kesebelas. h. 40.
13
UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 1 dan Bab II pasal 3
yang bermoral di sekolah maupun di lingkungan masyarakat yaitu di lingkungan keluarga,
tempat-tempat ibadah lewat majlis ta‟lim, bahkan semestinya melalui televisi yang disiarkan
Secara formal pendidikan moral di sekolah diajarkan melalui bidang studi agama,
pendidikan kewarganegaraan, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa Indonesia, dari jenjang
pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini dilakukan karena lembaga
siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk tidak bertindak.
Kemampuan demikian terkait dengan nilai-nilai, terutama nilai yang bersifat humanis. Plato
pun mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan manusia cerdas dan
baik.14 Dalam pandangan Muhammad Abduh tujuan pendidikan (Islam) adalah untuk
mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang
mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.15 Dengan tujuan pendidikan yang
menekankan pada aspek kognitif (akal) dan afektif (jiwa/spiritual) seperti ini diharapkan akan
terbentuk pribadi yang mempunyai struktur yang seimbang, selain memiliki kebiasaan dan
kekuatan berfikir dalam menentukan baik dan buruk, berguna atau tidak bermanfaat, tapi juga
memiliki kematangan dan kebersihan jiwa yang melahirkan akhlak mulia dan moral yang
tinggi.16 Secara lebih khusus tujuan pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan manusia
yang memiliki iman dan akhlak yang tinggi sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT.17
Oleh karena itu menjadi penting untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan moral.
14
Sjarkawi. 2008. Pembentukan Kepribadian Anak..h. 45
15
Bahri, Agus Saeful.2015. Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh (1849-1905 M), Working paper
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam di Bidang Pendidikan, Magister Studi Islam Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. h. 19.
16
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi Perbandingan.
Jakarta. Bulan Bintang. h. 156.
17
Hasanah, Nidhaan. 2015. Sejarah Pendidikan Islam, Working paper Studi Pengembangan Kurikulum,
Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. h. 6.
secara umum, tetapi juga untuk mengukur efektifitas pendidikan moral di sekolah-sekolah,
sekaligus untuk membuat program-program pendidikan moral yang tepat dan fungsional.
Salah satunya adalah dengan memahami teori perkembangan moral yang dirintis oleh Jean
metode observasi dan wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Dalam penelitiannya,
dan keadilan.18 Selain itu, dikarenakan moral dianggap sebagai suatu proses, maka perilaku
moral tidak saja terwujud dalam sesuatu yang tampak dan konkret, tetapi juga berwujud
anak usia pra sekolah. Menurut Santrock perkembangan moral adalah perubahan penalaran,
perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai salah dan benar.20 Desmita menjelaskan
bahwa perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan
konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan
orang lain.21 Oleh karena itu perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang
mengatur aktivitas seseorang ketika dia terlibat dalam interaksi sosial, dan dimensi
interpersonal yang mengatur interaksi soisal dan penyelesaian konflik (Gibs, 2003; Power,
18
Ayria, Yulia. Teori-Teori Dasar Perkembangan Moral Pada Usia Dini: Suatu Perspektif Psikologi, Makalah
pdf, h. 3. Lihat Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak Edisi Sebelas. Terj. Mila Rachmawati. Jilid 2.
Jakarta. Penerbit Erlangga. h. 117
19
Sjarkawi. 2001. Pembentukan Kepribadian Anak…h. 46
20
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak....h. 117
21
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung. RemajaRosda Karya. h. 149
22
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak...ibid.
Anak-anak ketika dilahirkan “tidak memiliki moral (amoral)”,23 tetapi dalam dirinya
terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya
berinteraksi dengan orang lain (org tua, saudara dan steman sebaya) anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk,
proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang
kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif
itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan
dengan masalah sosial.25 Piaget percaya bahwa perkembangan moral dapat digambarkan
melalui aturan permainan.26 Karena itu, hakekat moralitas adalah kecenderungan untuk
The game of marble containts an extremely complex system of rules, that is to say, a code
of laws, a juriprundence of its own.....All morality consists in a system of rules, and the
essence of all morality is to be sought for in the respect which the individual acquires for
these rules.27
terpisah dalam permainan kelereng yang dilakukan oleh anak-anak, pertama the practice of
rules (praktek/pelaksanaan aturan) yaitu cara anak-anak dari tingkatan usia yang berbeda
menerapkan aturan permainan; kedua the consciousness of rules yaitu ide atau pemikiran
anak-anak dari tingkatan usia yang berbeda membentuk atau membuat karakter aturan dari
Menurut K. Bertens kata “amoral” sebaiknya diartikan netral dari sudut moral atau tidak mempunyai
23
relevansi etis, sementara immoral yang juga sering terdengar diucapkan artinya bertentangan dengan moral yang
baik, secara moral buruk, tidak etis. Lihat Bertens. K. Etika…h. 7-8.
24
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan..h. 150.
25
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America: Johns Hopkins
University. h. 51.
26
Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan, and Others on Moral Development. Working paper, t.t. h. 1.
27
Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment of the The Child. Glencoe Illinois. The Free Press.h. 1.
permaian kelereng ini, apakah aturan tersebut sesuatu yang wajib dan suci, atau sesuatu yang
tunduk pada pilihan mereka sendiri, atau sebuah bentuk heteronomy atau outonomy.28
Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang
bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan.
Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia
6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6
tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum
menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun, anak-anak sudah
mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut
cenderung bermain individual tanpa kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung
menerima aturan tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu. Pada tahap ini, murni
karakter permainan anak-anak pada periode motor dan individual. Anak-anak bermain
karena didorong oleh keinginan bermain dan kebiasaan motorik, dan tidak dibatasi oleh
2. Anak-anak usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok, meskipun masing-masing
anak masih menganggap pendapatnya yang paling benar. Anak-anak ini belum memiliki
empati dan belum mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini
cenderung memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa, meskipun pada usia
28
Ibid... h. 3
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory …ibid
29
30
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Malang. IKIP Malang. h. 28
Piaget, Jean. T.t. The Moral Judgment…. h. 16. Lihat juga di Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg,
31
Gilligan…h. 3
ini mereka sering melanggar aturan tersebut. Piaget menyebutnya tahap egocentric,
dimana anak-anak belum memahami peraturan dengan baik, dengan kata lain ketika
mereka bermain bersama, setiap anak bermain dengan caranya sendiri (on his own) dan
setiap orang bisa menang pada saat yang bersamaan, serta tidak menghargai aturan yang
3. Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan aturan permainan
meskipun aturan permainannya umumnya masih belum jelas (kabur). Piaget menyebut
interaksi social, formal, aturan dapat diterapkan, dan kepatuhan anak dapat diamati.
Anak sudah bisa memahami arti kerjasama dan persaingan, meskipun pengertian di
antara anak-anak belum dapat dikatakan utuh ketika meloncat kepada aturan lainnya.34
4. Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat kesepakatan bersama
tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa aturan sebagai suatu yang
bisa diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan. Piaget menyebut tahap ini genuine
cooperation dimana anak yang lebih tua menunjukkan ketertarikan terhadap aturan-
aturan legal. Dia menikmati menyelesaikan perbedaan pendapat tentang peraturan yang
peraturan permainan, pada kategori ini kemajuan kesadaran terhadap peraturan melalui tiga
tahapan, dimana tahap yang kedua terjadi pada tahap egocentric dan berakhir pada
Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment…h. 17. Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan…ibid
34
35
Ibid
pertengahan tahap cooperation yaitu usia 9-10 tahun. Sementara tahap ketiga meliputi bagian
akhir tahap cooperation dan seluruh tahapan codification of rules.36 Adapun penjelasan
1. Pada tahap pertama belum ada paksaan dalam karakter anak, semuanya masih murni
bersifat motorik, atau karena masih pada tahap awal egocentric, anak menerima
aturan secara tidak sadar, hanya sebagai bentuk ketertarikan mengikuti contoh yang
2. Pada tahap kedua ini (tahap egocentric dan bagian awal tahap cooperation) peraturan
dihargai sebagai yang suci dan tidak berubah, berasal dari orang dewasa dan sifatnya
3. Selama tahap ketiga, sebuah aturan dilihat sebagai sebuah hukum sebagaimana
seharusnya untuk disepakati bersama, maka jika ingin mendapatkan loyalitas, harus
menghormati aturan, tetapi dalam kondisi tertentu terhadap aturan bisa dimungkinkan
Hubungan diantara kedua tahap perkembangan praktek dan kesadaran aturan tersebut
adalah bahwa aturan kolektif yang awalnya bersifat eksternal kemudian menjadi aturan
individual dan bersifat suci, yang kemudian secara bertahap anak menjadikannya sebagai
peraturannya sendiri, hal itu dimungkinkan karena aturan dianggap sebagai produk bebas
Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan
moralnya. Untuk memahami perubahan konsepsi yang terjadi, Piaget menghadapkan anak
36
Ibid...h. 18.
37
Ibid
38
Ibid
pada masalah-masalah moral seperti berbohong. Dari hasil penelitiannya, Piaget
menyatakan, bahwa anak-anak dengan usia lebih muda antara 5-7 tahun cenderung menilai
suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi yang hanya bersifat material, artinya anak-anak
tidak bisa membedakan antara tindakan intensi (tindakan yang disengaja) atau kesalahan
tidak disengaja.39 Anak-anak dengan usia yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah
tahap heteronomous ke tahap autonomous. Dalam mengetahui pendapat anak tentang makna
berbohong, Piaget melakukan tanya jawab dengan anak-anak. Pada tanya jawab itu, diperoleh
hasil bahwa anak-anak yang lebih muda usianya memberi makna bahwa bohong sesuatu yang
jelek dan tidak seorangpun sanggup mengatakannya. Anak-anak yang usianya lebih tua
memberi makna bohong adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk
diucapkan.41
keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, Piaget mencoba untuk mengidentifikasi konsepsi
mengemukakan bahwa hukuman harus atas pertimbangan yang wajar antara bobot kesalahan
Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….h. 139. Contoh kasus ketika seorang anak bernama Clai ditanya: “Do
39
you know what a lie is? – It’s when you say what isn’t true – “Is 2+2 = 5 a lie ?” – Yes, it’s a lie. – Why ? –
Because isn’t right – Did the boy who said that 2+2=5 know it wasn‟t right or did he make a mistake ?” – He
made a mistake. – Then if he made a mistake, did he tell a lie or not ?” – Yes, he told a lie. h. 140
40
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan..h. 31
41
Ibid…h. 32.
42
Ibid.
dan juga bobot penderitaan si pelanggar atas hukuman yang ditimpakan.43 Contoh hukuman
ekspiatoris dalam keluarga antara lain memukul, menampar, tidak memberi uang jajan,
dilarang bermain untuk sementara waktu, dan sebagainya. Hukuman yang bersifat
resiprositas senantiasa membuat keterkaitan antara hukuman dengan tindakan kesalahan yang
dibuat.44 Melalui hal tersebut, diharapkan si pelanggar sadar akan akibat-akibat perbuatannya.
dikembangkan oleh anak-anak yang tingkat perkembangan moralnya pada tahap autonomous.
Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget mencatat bahwa anak pada usia 6-7 tahun 30%
memilih hukuman ini, anak pada usia 8-10 tahun mencapai 50% memilih hukuman ini, dan
anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80% memilih hukuman ini. Sebaliknya, hukuman
ekspiatoris dipilih anak-anak yang perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-
anak pada tingkat usia ini, percaya bahwa keadilan selalu berhubungan dengan kesalahan-
kesalahan yang dilakukan seseorang, dan orang tersebut akan memperoleh hukuman atas
distributif yaitu equality dan equatity. Menurut pandangan Piaget, equality yaitu pemikiran
bahwa tiap manusia harus diperlakukan secara sama, sedangkan equity yaitu pemikiran yang
43
Ibid.
Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….h. 203-204
44
45
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan…h. 34. Fleming menjelaskan expiatory
punishment sebagai atonement (penebusan) yaitu beberapa bentuk tindakan hukuman yang dirlakukan, dimana
pelaku pelanggaran harus membayar harga atas pelanggaran yang telah dilakukannya. Adapu resipatory
pusnishment diartikan menempatkan sesuatu dengan benar, dimana si anak harus melihat konsekuensi dari
pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, dan memahami dengan jelas pentingnya berperilaku dengan sebuah
cara yang lebih kooperatif. Lihat Fleming, J.S., Piaget, Kohlberg, Gilligan…h. 2
46
Ibid
Ibid…35. Lihat Piaget, Jean. t.t. Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment….h. 262-275.
47
Untuk mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif tersebut, Piaget
berdasarkan tingkat usianya. Dari respon-respon yang muncul, Piaget membedakan respon
1. Tahap Just, di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang dewasa adalah ibarat
2. Tahap Equality Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli saat menghadapi
hukuman ataupun sedang menolak perintah, mereka akan lebih melihat kekuasaan
tertinggi. 50
3. Tahap Equity Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas (perlakuan sama) tidak
akan pernah dikembangkan tanpa memperhatikan situasi yang dihadapi tiap individu.51
dua tahap perkembangan moral yaitu morality of constrain or heteronomy dan morality of
Diberi label tahap moralitas kendala Diberi label tahap moralitas kerjasama
Ibid…36
48
konsekuensinya pelakunya
Sementara Fleming menyebut tahapan ini dengan istilah children’s moral judgment
yang didasarkan kepada dua aspek yaitu penilaian anak-anak terhadap cerita-cerita moral dan
interaksi mereka dalam permainan. Pada anak usia 4-7 tahun tahap penilaian moralnya
disebut moral realism atau moral heterenomy cirinya berkonotasi absolute (mutlak), dimana
moralitas dilihat sebagai aturan yang sudah tetap dan tidak bisa dirubah, kesalahan ditentukan
oleh sejauh mana pelanggaran dilakukan bukan dilihat niatnya atau motifnya. Pada usia
sekitar 10 tahunan dan yang lebih tua, anak-anak lebih sadar bahwa aturan sifatnya tidak
tetap dan absolute, selalu ada kemungkinan berubah sesuai dengan kebutuhan yang muncul
kemudian. Karena dalam pembemtukan peraturan ada kesepakatan yang dibangun dengan
1. Anak usia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heteronom. Anak berfikir bahwa keadilan
dan peraturan adalah properti dunia yang tidak bisa diubah, dan tidak dikontrol oleh
orang. Aturan diturunkan oleh sebuah otoritas yang maha kuasa. Kebaikan dan
heteronom juga percaya adanya imanent justice, sebuah konsep bahwa ketika peraturan
54
Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan…h. 4-5
55
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak...h. 117-118
dilanggar, maka hukuman akan langsung mengiringi pelanggaran tersebut. Anak percaya
kesalahan, takut adanya immanen justice. Immanent justice juga mengimplikasikan jika
sebelumnya.56
2. Dari usia 7-10 tahun, anak berada dalam masa transisi dan menunjukkan sebagian ciri-
ciri dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua,
moralitas otonom.
3. Mulai 10 tahun ke atas, anak menunjukkan moralitas otonom. Mereka sadar bahwa
peraturan dan humum dibuat oleh manusia, dan ketika menilai sebuah perbuatan, mereka
mempertimbangkan niat dan juga konsekuensinya. Hukuman terjadi hanya jika ada saksi
mata terhadapa pelanggaran, bahkan dengan ini pun bukan berarti bahwa hukuman
Akan tetapi tahap perkembangan moral ini tidak bersifat kaku, sangat tergantung situasi,
boleh jadi seorang anak mampu menilai moralitas secara independen dibandingkan anak-anak
lainnya. Piaget percaya ketika anak berkembang, pemahaman sosial ini terjadi melalui saling
memberi dan menerima dalam hubungan teman sebaya. Dimana anggotanya memiliki status
dan kekuatan yang sama, rencana biasanya dikoordinasikan, dirundingkan, dan perbedaan
pendapat dibahas dan akhirnya diselesaikan. Sementara hubungan orang tua dengan anak,
dimana orang tua memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh anak, maka akan lebih mungkin
mengembangkan penalaran moral, karena sering kali peraturan diturunkan dengan cara
otoriter.
56
Untuk lebih jelas bisa dibaca Piaget, Jean. t.t. The Moral Judgment...h. 251-261
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Agus Saeful.2015. Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh (1849-1905 M),
Working paper Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam di Bidang Pendidikan, Magister
Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Malang. IKIP
Malang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
Balai Pustaka
Fleming, J.S. 2006. Piaget, Kohlberg, Gilligan, and Others on Moral Development. Working
paper, t.p.
Hasanah, Nidhaan. 2015. Sejarah Pendidikan Islam, Working paper Studi Pengembangan
Kurikulum, Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2000. Kuliah Akhlak, Cetakan Kedua. Yogyakarta. LPPI UMY
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi
Perbandingan. Jakarta. Bulan Bintang
Manning, S.A. 1977. Child And Adolescent Development. Washington, D.C: Departement of
Psychology University of the District of Columbia.
Musthafa, Ibrahim. 1972. Mu’jam al-Wasith, Cetakan Kedua, Turki. Maktabah al-Islamiyah
Piaget, V.J. Terj. Majorie Gabain. tt. The Moral Judgment of The Child. The Free Press.
Glencoe Illionis
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas. Jilid 2. Jakarta. Penerbit
Erlangga
Sjarkawi, 2008. Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan
Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Cetakan Kedua. Jakarta.PT
Bumi Aksara
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America:
Johns Hopkins University.