Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Setiap Negara tidak dapat lepas dari tindakan pelanggaran hukum baik
secara pidana maupun perdata. Namun yang menjadi keresahan masyarakat
adalah maraknya tindakan pidana. Tindakan yang dapat mengganggu kepentingan
orang lain ini dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bahkan tindakan ini dapat
menghilangkan nyawa orang lain dan mengancam stabilitas Negara.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia dikejutkan dengan maraknya kasus
bom yang terjadi di restoran, hotel, bahkan kedutaan besar pun tak luput dari
serangan bom. Hal ini dikategorikan sebagai kasus tindak pidana terorisme dan
mulai menjadi pertanda bagi Indonesia sebagai Negara Teroris. Dengan dalih
menjalankan syariat Islam, teror demi teror dilakukan. Tentunya kita semua tahu
bahwa tindak terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta
musuh bagi semua agama, meskipun terorisme selalu di sangkut pautkan dengan
agama Islam. Namun Islam sejatinya adalah agama yang memberikan keamanan,
kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi semua makhluknya. Tidak ada
satupun ajaran di dalamnya yang, mengajarkan kepada umatnya untuk membenci
dan melukai makhluk lain, kalaupun ada, itu adalah bagian kecil dari salah satu
upaya pemecahan masalah yang dilakukan umatnya dan bukan ajarannya.
Namun itulah yang menjadi pijakan para kaum teroris dalam melakukan
tindakannya.
Dengan maraknya terror saat ini, maka keseriusan dalam pemberantasan
harus menjadi prioritas Negara untuk menjamin stabilitas dan menjamin hidup
masyarakat yang merupakan hak asasi manusia yang utama.

BAB II
PEMBAHASAN
(Upaya Pemberantasan Terorisme di Indonesia)
A. Sejarah Terorisme
Menurut Loudewijk F. Paulus Sejarah tentang Terorisme berkembang
sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa
pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang
kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan
maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.
Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni
dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern. Meski istilah
Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang
ditunjukkannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political
Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi
Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen
kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan
sebagai sistem rezim teror. Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang
terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada
pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia
dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif
untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orangorang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme
Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan
masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi
Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan
ideologi.
Bentuk pertama Terorisme terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme
dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk
kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang

mempopulerkan serangan yang bersifat acak terhadap masyarakat sipil yang


tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai
Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an
dan terkenal dengan istilah Terorisme Media, berupa serangan acak terhadap
siapa saja untuk tujuan publisitas.
B. Pengertian Terorisme
1. Perspektif Hukum Nasional
Sebagaimana yang diketahui, didalam hukum nasional yakni dari aspek
hokum pidana maka istilah terorisme sesungguhnya bukan merupakan hal yang
baru, karena hukum pidana telah mengatur beberapa perbuatan pidana yang
kemudian diberi kualifikasi sebagai kejahatan terorisme.
Menurut ketentuan pasal 6 Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme, yang dimaksud dengan terorisme adalah:
setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup
atau fasilitas public atau fasilitas internasional.
Selanjutnya, didalam penjelasan pasal 6 Perppu No.1 Tahun 2002,
pengertian terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dijelaskan sebagai
berikut: terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban
serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara
karena teroris sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang
menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan
kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara

berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat


dilindungi dan dijunjung tinggi.1

2. Perspektif Islam
Dalam kamus bahasa Indonesia, teroris diartikan sebagai orang yang
menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan biasanya untuk tujuan
politik. 2Terorisme dalam bahasa Arab, identik dengan kata al-ihrab, mashdar yang
merupakan musytaq (pecahan kata) dari fil (kata kerja) arhaba. Maknanya adalah
menciptakan ketakutan (akhafa) atau membuat kengerian atau kegentaran
(fazzaa). Para teroris tersebut melakukan aksi terornya mengatas namakan islam
sebagai jihad. Namun pengertian jihad sendiri dalam islam bukanlah memerangi
umatnya sendiri yang justru menghancurkan dan merusak tetapi jihad dalam islam
adalah upaya mengerahkan segala jiwa raga atas nama Allah sesuai ketentuanketentuan yang diajarkan dalam syariat islam.3
Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW dengan membawa agama
Islam didalam kehidupan manusia sebagai rahmat dan kenikmatan yang besar
bagi manusia bukan suatu musibah yang membawa malapetaka. Didukung oleh
berdirinya gerakan-gerakan islam khususnya di Indonesia sendiri yang bersifat
radikal yang ingin mendirikan suatu negara islam dengan cara-cara yang tidak
sesuai dengan syariat islam sehingga mereka biasanya bertindak kasar dan
melakukan aksi teror dalam mencapai tujuannya tersebut. Dari berbagai macam
aksi teror yang terjadi di Indonesia sering dikaitkan dengan syariat Islam dan
1 Aulia Rosa Nasution, terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,
(Jakarta:kencana)

2 Suharto, Tata Iryanto, Kamus Bahasa Indonesia Terbaru,(Surabaya:Indah)

3 DR.Muhammad Tahir ul Qadri, Fatwa tentang terorisme dan bom bunuh diri,(Jakarta Pusat:
LIPPI)

juga menimbulkan kebingungan di kalangan muslimin. Sebagian kalangan awam


menganggap bahwa tindakan terorisme tersebut merupakan upaya jihad umat
Islam.
Tindak terorisme berbeda dengan jihad. Jihad merupakan salah satu ajaran
Islam yang sangat mulia. Jihad dalam berbagai bentuknya merupakan bagian tak
terpisahkan dari iman. Kuat atau lemahnya iman seseorang salah satunya diukur
dari keberanian dan kesabarannya berjihad di jalan Allah. Iman yang kuat akan
senantiasa menggelorakan semangat seorang mukmin untuk berjihad. Sebaliknya,
iman yang lemah membuat seorang mukmin takut berjihad karena kesulitan dan
tantangan yang sangat berat. Bagi mukmin yang beriman dan berjihad dijanjikan
oleh Allah pahala surga, kehidupan yang mulia dan kedudukan yang terhormat di
sisi-Nya. Teori-teori ini yang sering digunakan pada pola-pola perekrutan anggota
kelompok-kelompok radikal tersebut. Praktik jihad yang diajarkan nabi dalam
peperangan bukan hanya untuk mendapatkan kemenangan dan mengalahkan
musuh. Tetapi untuk sesuatu yang mulia dan juga mendatangkan manfaat bagi
manusia.
Terkait hal ini, MUI mengeluarkan fatwa atas perbedaan antara pengertian
terorisme dengan jihad yaitu: terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap
kedaulatan Negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta
merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk
kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional
dan digolongkan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membedabedakan sasaran (indiskriminatif). Sedangkan, jihad adalah segala upaya sekuat
tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan
menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga
disebut al-qital atau al-harb. Segala upaya yang sungguh-sungguh dan
berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li ilaai
kalimatillah).4
4 DR.Muhammad Tahir ul Qadri, Fatwa tentang terorisme dan bom bunuh diri,(Jakarta
Pusat: LIPPI)

Rasulullah sebelum mencapai kejayaan islam juga pernah merasakan masa


pahit memerangi kaum musyrik. Namun Rasulullah SAW tetap bersabar dalam
menghadapi situasi tersebut bahkan tidak sampai melakukan bom bunuh diri atau
hal-hal lain yang menggangu keamanan masyarakat seperti aksi terorisme yang
sedang merajalela dan menyudutkan Islam sebagai pembawa ajarannya. Islam itu
rahmatan lilalamin, sangat menghargai kehidupan dan memiliki aturan dan
hukum yang tegas dalam menjalani kehidupan. Maka, jelas sudah bahwasanya
jihad dan terorisme adalah dua hal yang berbeda.
C. Peristiwa-peristiwa terror di Indonesia
Berikut ini adalah peristiwa-peristiwa yang dituding terkait terrorisme
yang pernah terjadi di Indonesia, antara lain: (lihat table.1)
Table 1.
Peristiwa-peristiwa terkait tindak terrorisme

Peristiwa
Ledakan bom

Waktu
1 Agustus 2000

Tempat
depan rumah duta besar Filipina
untuk

Indonesia

di

Korban jiwa
2org

kawasan

Ledakan granat

27 Agustus 2000

Menteng, jakarta Pusat


Kedutaan Besar Malaysia

Ledakan bom
Ledakan bom

13 September 2000
22 Juli 2001
23 September 2001

daerah Kuningan, Jakarta


Gedung Bursa Efek Jakarta
Gereja Santa Anna dan HKBP
Plaza Atrium di daerah Senen,

Ledakan bom (bali)


Ledakan bom
Ledakan
bom

12 Oktober 2002
5 Agustus 2003
10 Januari 2004

Jakarta Pusat
Bali
Hotel JW Marriot
Palopo

palopo
Ledakan bom

9 September 2004

Kedutaan

Bom tentena
Bom bali II
Bom pasar palu
Bom buku

28 Mei 2005
1 Oktober 2005
31 Desember 2005
2011

kawasan Kuningan, Jakarta


Tentena
Bali
Pasar palu
Tokoh-tokoh public yang dianggap

22org
22org
8org
-

Ledakan bom

15 april 2011

liberal
masjid dalam komplek Markas

Ledakan bom

23 april 2011

Polres Kota Cirebon


dekat Gereja Christ Cathedral,

Besar

di

10org
5org

202org
11org
Australia

di

Serpong, Tangerang Selatan

Dapat dilihat bahwa peristiwa peristiwa terorisme di Indonesia memiliki


sasaran dan lokasi yang bermacam macam, mulai dari ins titusi yang berkaitan
dengan luar negeri (kedutaan, waralaba luar negeri, hotel asing, dan sebagainya),
tempat peribadatan (gereja, masjid), pusat bisnis, aparatur keamanan (kepolisian),
dan ruang publik yang banyak didatangi masyarakat. Akan tetapi, tujuan dari aksi
terorisme itu hampir sama satu sama lain, yaitu untuk menimbulkan keresahan,
ketakutan, dan hilangnya rasa aman di tengah tengah masyarakat.
D. Faktor-faktor Terjadinya Terorisme Di Indonesia
Menurut sebagian besar aktifis yang tergabung dalam kelompok Tanzim
al-Qaidah di Aceh, faktor-faktor pendorong terbentuknya radikalisme dan
terorisme di Indonesia bukanlah semata-mata untuk kepentingan individu. Sebab,
apabila dimotivasi untuk kepentingan individu, maka semestinya hal tersebut apa
yang dilakukannya dan tindakannya tidak menyakitkan baik itu diri sendiri
maupun orang lain. Adapun faktor-faktor yang mendorong terbentuknya
terorisme, yaitu:
1. Faktor ekonomi
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi merupakan motif
utama bagi para terorisme dalam menjalankan misi mereka. Keadaan yang
semakin tidak menentu dan kehidupan sehari-hari yang membikin resah orang
untuk melakukan apa saja. Dengan seperti ini pemerintah harus bekerja keras
untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya. Kemiskinan membuat orang gerah
untuk berbuat yang tidak selayaknya diperbuat seperti; membunuh, mengancam
orang, bunuh diri, dan sebagainya.5

5 Aulia Rosa Nasution, terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,


(Jakarta:kencana)

2. Faktor social-budaya
Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu
kelompok garis keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam
keseharian hidup yang kita jalani terdapat pranata social yang membentuk pribadi
kita menjadi sama. Situasi ini sangat menentukan kepribadian seseorang dalam
melakukan setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem social yang dibentuk oleh
kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang yang mempunyai tujuan
sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam garis keras atau
radikal.
3. Faktor Pendidikan
System pendidikan yang tidak berkembang, yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat, dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat. Adanya
ketidakpuasan di dalam masyarakat ini telah membuat masyarakat melakukan
tindakan dengan menggunakan kekerasan untuk memenuhi kebutuhannya. Orangorang yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup pada umumnya lebih
mudah termakan oleh propaganda dari pihak-pihak yang hendak mengacaukan
Negara. Masyarakat seperti ini mudah menjadi bagian dari organisasi dan gerakan
teroris.
4. Faktor psikologi
Mereka yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup biasanya tidak menyukai
aturan-aturan, tempat-tempat, dan posisi-posisi dimana mereka berada. Mereka
berasumsi bahwa mereka tidak mendapatkan penghormatan, perhatian, dan cinta
dari masyarakat. Atas dasar itu mereka melakukan kejahatan dan bertingkah laku
secara agresif dan melakukan perbuatan lain untuk mendapatkan perhatian dan
penghormatan dari yang lainnya sebagai ekspresi diri mereka. Mereka mencoba

untuk menghindari kekhawatiran, ketakutan, dan kemarahan dengan melakukan


kekerasan dan perbuatan yang bersifat agresif.6
Selain karena empat factor diatas, salah satu factor penting yang mendorong
terorisme adalah adanya kesalah penafsiran dan pengajaran agama Islam.
Ideology dan mindset para teroris memandang bahwa tindakan mereka dapat
dibenarkan oleh agama, oleh karena itu resiko apa pun akan dilakukan dengan
wilayah kerja yang tidaklah mengenal batas-batas Negara
E. Upaya Pemberantasan Terorisme
Pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia dalam mengatasi
permasalahan terorisme adalah masalah hukum yang harus ditangani oleh aparat
hukum saja dan tidak perlu digunakan kemampuan bangsa lainnya. Pandangan
seperti ini membuat bangsa Indonesia tidak akan pernah mampu menyelesaikan
permasalahan terorisme. Terorisme memang dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
tindak pidana, namun di dalam upaya pemberantasannya masyarakat sangat
berperan besar.
Untuk itu, perlu adanya suatu upaya yang komprehensif yang meliputi
seluruh bangsa. Usaha di bidang hukum terkait permasalahan ini, di Indonesia
ditangani khususnya oleh Polri dan Detasemen Khusus 88. Untuk melakukan
pengusutan, perlu adanya suatu perangkat hukum yang mengatur tentang tindak
pidana teroris. Dalam konteks hal ini, lebih didasarkan pada peraturan yang ada
saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang belum
mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas tindak
terorisme. Oleh karena itu, pemerintah menyusun Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Keberadaan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme ini, disamping dengan keberadaan KUHP dan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan hukum pidana
6 Aulia Rosa Nasution, terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,
(Jakarta:kencana)

khusus. Sebagai undang-undang khusus, memiliki arti bahwa Undang-Undang


No. 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil, sehingga terdapat
pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu asas lex specialis derogate lex generalis, hukum yang mengatur
secara khusus dapat mengesampingkan undang-undang yang mengatur secara
umum.
Pemberlakuan terhadap asas ini harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu
pengecualian terhadap undang-undang yang bersifat umum dilakukan oleh
peraturan setingkat yaitu undang-undang, serta pengecualian termaksud
dinyatakan dalam undang-undang khusus tersebut sehingga pengecualiannya
hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan, bagian yang tidak
dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan
undang-undang khusus tersebut. Sedangkan dalam kriminalisasi tindak pidana
terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan
melalui banyak cara, yaitu melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap
pasal-pasal KUHP, melalui sistem global dengan pengaturan yang lengkap di luar
KUHP termasuk hukum acaranya, serta melalui sistem kompromi dalam bentuk
memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak dapat dilupakan bahwa mengatasi terorisme juga
merupakan suatu perjuangan ideologi, yaitu menjadikan ideologi Pancasila yang
makin kuat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga tidak ada
kemungkinan ideologi lain mengambil alih tempat Pancasila sebagai dasar negara.
Pemahaman dasar-dasar Pancasila harus diperdalam melalui pendidikan dengan
cara diskusi, bukan melalui indoktrinasi, sehingga makin kuat kesadaran bangsa
kita mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa.
Perjuangan politik juga penting untuk menjadikan pancasila sebagai
landasan bernegara yang mantap, seperti di dalam pelaksanaan demokrasi di
Indonesia yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, kaum Islam
radikal tidak akan ada alasan untuk dapat menggantikan posisi Pancasila sebagai
ideologi bangsa. Suhu politik yang memanas sebagai akibat dari tindak terorisme

harus segera diredamkan dengan mengambil suatu kebijakan yang tepat sasaran
terkait permasalahan terorisme dengan tetap mengacu pada tujuan utama untuk
mewujudkan kehidupan bernegara yang aman, damai dan sejahtera sesuai dengan
Pancasila.
Tidak kurang pentingnya yaitu perjuangan di bidang ekonomi, yaitu
dengan sera memulihkan kegiatan perekonomian yang dapat dilakukan dengan
jalan memperbaiki infrastruktur yang telah menjadi target aksi teror. Apabila
semua sarana dan prasarana yang mendukung perekonomian telah diperbaiki
maka kegiatan perekonomian akan kembali lancar. Sehingga seluruh rakyat
Indonesia sejahtera sesuai dengan pedoman Pancasila. Dengan demikian, maka
tidak akan ada alasan pula untuk kaum Islam radikal untuk mengatakan bahwa
Indonesia dan Pancasila hanya membawa kesengsraan dan penderitaan bagi
rakyat.
Tidak kalah pentingnya yaitu usaha budaya, jangan sampai budaya bangsa
Indonesia yang damai dan toleran mau digantikan oleh budaya kekerasan dan
intimidasi. Dalam konteks hal ini, amat penting peran dari kaum Islam moderat
khususnya yang tergabung dalam NU dan Muhammadiyah. Penanaman
pemahaman atas Islam yang benar akan mengurangi tingkat mudahnya para aktor
intelektual teroris untuk mendoktrin seseorang mengikuti ideologi Islam radikal
mereka.7
Juga penting usaha militer, khususnya teritorial yang bermanfaat untuk
memberikan informasi tentang perkembangan dalam masyarakat dan memotivasi
rakyat agar selalu berpihak kepada Indonesia dan Pancasila. Selain itu adalah
kemampuan intelijen yang dikoordinasikan oleh BIN untuk menyediakan intelijen
tentang kaum teror Islam radikal serta kontraintelijen untuk makin melemahkan
gerakan teror. Dengan perjuangan dalam beberapa aspek kehidupan tersebut,
maka ruang gerak teroris makin sempit dan akhirnya dapat dikalahkan.
Berbicara tentang penanganan teror di Indonesia, dari pengamatan umum
selama ini masih terjadi kelemahan penanganan. Hal tersebut dapat dilihat dari
7
Budiman arif, Ilmu social dasar (Medan, UNIMED)

organisasi yang disusun. Ada beberapa instansi yang seharusnya sangat dekat
dengan tugas pokok instansinya, dalam mencegah perkembangan teror di
Indonesia, antara lain BNPT, BIN, Depag, TNI, Polri, Dephan dan Depsos.
Namun dalam pelaksanaan pencegahan perkembangan dan ancaman teror, sejauh
ini hanya muncul Polri. Bagaimana instansi lain melakukan tugasnya, apakah
instansi-instansi yang lain tidak melakukan tugas ? apakah polisi merasa satusatunya instansi yang berwenang menangani teror ? Dari pertanyaan ini
menunjukkan bahwa koordinasi antar instansi belum terbangun secara efektif dan
koordinator belum bekerja secara optimal atau bahkan hanya melakukan
monitoring,

sementara

pembagian

tugas

kepada

setiap

instansi

belum

dilaksanakan dengan baik dan bilapun sudah tugas yang diberikan mungkin belum
dimengerti secara tuntas sehingga tidak terlihat aksi dari setiap instansi yang
seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap teror.
Mestinya setiap instansi secara nyata melakukan tugas yang terarah
dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan instansinya. Melakukan
koordinasi antar instansi sehingga tugas dari setiap instansi dapat diidentifikasi
secara jelas dan tidak terjadi tumpang tindih yang menyebabkan terlau banyak
waktu dan tenaga yang terbuang namun hasil tidak dapat dicapai secara optimal.
Desk anti teror harus menyusun prosedur hubungan antar instansi dalam
pencegahan teror, sehingga setiap instansi dapat melakukan koordinasi dan
kerjasama secara efektif dan sasaran dapat dicapai lebih baik.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teror adalah aksi kekerasan yang harus diperangi. Tetapi di lain pihak,
harus juga disadari bahwa aksi tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya.
Banyak kalangan percaya hegemoni negara-negara besar terhadap negeri-negeri
tertindas telah memicu munculnya gerakan militan di mana-mana, mulai di
Palestina, Chechnya, Irak sampai Asia Tenggara. Dalam konteks makro, hal itu
harus menjadi perhatian intens masyarakat yang mencintai perdamaian yang
langgeng. Masalahnya, idiologi dan teologi yang mereka anut selalu menyangkut
pautkan dengan simbol-simbol agama atau kepercayaan tertentu sebagai
justifikasi bagi tindakan teroris, jelas suatu pembenaran sepihak. Sebab agama dan
kepercayaan manapun jelas menentang setiap tindakan teror dan terorisme, karena
pelakunya menghalalkan pembunuhan terhadap sesama manusia. Perbuatan
mereka bukan mewakili agama atau kepercayaan tertentu, melainkan mewakili
kepercayaan mereka sendiri. Untuk itulah, semua kalangan umat beragama di
tanah air mesti bahu membahu menghadapi aksi teroris yang selalu mengancam
masa depan kemanusiaan kita dengan justifikasi agama dan kepercayaan tertentu.
Sekalipun atas nama agama, tetapi radikalisme atau cara-cara kekerasan dalam
penyelesaian masalah jelas tidak mendapatkan tempat dalam ajaran agama
manapun, termasuk Islam. Islam, justru mengutamakan kedamaian. Meskipun
demikian, kenyataannnya, sejumlah kalangan terbatas dalam masyarakat agamaagama menempatkan kekerasan sebagai cara untuk mengekspresikan sikap dan
perasaannnya. Radikalisme bahkan telah menjadi cara hidup atau way of life
melawan apa yang mereka persangkakakan sebagai hegemoni Barat. Pemerintah
jelas pihak yang harus bertanggung jawab atas masalah seperti ini. Terorisme telah
menjadi salah satu biang baru keterpurukan kita. Terorisime telah merusak citra
Indonesia terutama di kalangan investor asing. Padahal modal asing diperlukan
untuk menggenjot perekonomian. Kasus larinya modal asing dengan cara relokasi
pabrik, bukan hanya karena makin kurangnya prospek berbisnis di dalam negeri,
tapi juga karena gangguan keamanan berinvestasi. Sekalipun demikian,

pemerintah juga harus mengutamakan tindakan preemptive dengan mencari akarakar masalah gerakan radikal. Secara teoritis, gerakan radikal di manapun muncul
karena perasaan keterhimpitan, khususnya secara sosial ekonomi. Indonesia
pasca-Orde Baru adalah negeri yang tak putus dirundung krisis. Beban hidup
rakyat amat berat. Harga-harga melambung tinggi. Pengangguran membludak.
Ketika persoalan sosial tersebut menggumpal, resolusinya menjadi idilogis.
Padahal akar persoalannya bukan terletak pada idiologi, melainkan krisis sosial
dan krisis ekonomi yang tak kunjung teratasi. Karena itu tidak ada jalan lain
kecuali Pemerintah terus berupaya menegakkan keadilan di masyarakat dan
pemerataan pembangunan di segala bidang. Ideologi radikal mudah terbentuk dan
berkembang mekar di masyarakat yang ketimpangan sosial ekonominya sangat
tajam. Di samping itu, perkembangan tata ekonomi politik dunia yang cenderung
pada materialime-kapitalistik, dengan motor para pemodal raksasa dari negaranegara Barat, telah membuat dis-assosiasi makin kental terutama di negara-negara
dunia ketiga. Pemerintah kita juga aktif mengkampanyekan tata hubugan dunia
yang makin berkeadilan.Sekalipun demikian, solusi ekonomi saja tidak cukup
mengatasi kompleksitas radikalisme. Akhirnya jelas, persoalan kekerasan dalam
politik dan tindakan terorisme atas nama agama tak hanya berkaitan dengan
masalah pemahaman agama yang salah kaprah, tetapi juga ketimpangan ekonomi
dan alienasi sosial di tengah pluralisme dunia dan negara bangsa yang cenderung
materialistik. Demokrasi yang mengandaikan pluralisme pada awalnya diharapkan
dapat mengatasi munculnya pandangan sempit (sebagai akar-akar radikalisme),
tetapi hal itu saja jelas tidak cukup. Demokrasi, pluralisme, harus berjalan seiring
dan sinergis dengan perbaikan ekonomi dan pembangunan sosial. Bila semua
pihak bersatu mengedepankan sikap toleransi dan instropeksi maka akan menjadi
media yang paling dahsyat uintuk melawan terorisme dimanapun berada. Tetapi
bila sikap saling menyalahkan dan saling curiga dikedepankan maka jangan
berharap bahaya laten teroris akan lenyap di muka bumi ini.

B. Saran

Hendaknya terorisme yang terjadi di Indonesia bisa dihentikan, usaha keras


memanglah diperlukan untuk melaksanakannya. Selain itu prosedur-prosedur lain
perlu juga untuk ditaati dalam menjalankan, bangsa kita terikat dengan adanya
ideologi pancasila juga demokrasi dan di Negara kita juga dijunjung tinggi hak
asasi manusia, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa Negara kita adalah negara
hukum. Pihak-pihak yang menagani hal-hal tersebut diharapkan mampu
menjalankan fungsi dalam upaya memberantas terorisme yang terjadi di
Indonesia. Kedepannya, penulis berharap Indonesia terhindar dengan segala
bentuk terorisme.

Anda mungkin juga menyukai