PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Setiap Negara tidak dapat lepas dari tindakan pelanggaran hukum baik
secara pidana maupun perdata. Namun yang menjadi keresahan masyarakat
adalah maraknya tindakan pidana. Tindakan yang dapat mengganggu kepentingan
orang lain ini dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bahkan tindakan ini dapat
menghilangkan nyawa orang lain dan mengancam stabilitas Negara.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia dikejutkan dengan maraknya kasus
bom yang terjadi di restoran, hotel, bahkan kedutaan besar pun tak luput dari
serangan bom. Hal ini dikategorikan sebagai kasus tindak pidana terorisme dan
mulai menjadi pertanda bagi Indonesia sebagai Negara Teroris. Dengan dalih
menjalankan syariat Islam, teror demi teror dilakukan. Tentunya kita semua tahu
bahwa tindak terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta
musuh bagi semua agama, meskipun terorisme selalu di sangkut pautkan dengan
agama Islam. Namun Islam sejatinya adalah agama yang memberikan keamanan,
kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi semua makhluknya. Tidak ada
satupun ajaran di dalamnya yang, mengajarkan kepada umatnya untuk membenci
dan melukai makhluk lain, kalaupun ada, itu adalah bagian kecil dari salah satu
upaya pemecahan masalah yang dilakukan umatnya dan bukan ajarannya.
Namun itulah yang menjadi pijakan para kaum teroris dalam melakukan
tindakannya.
Dengan maraknya terror saat ini, maka keseriusan dalam pemberantasan
harus menjadi prioritas Negara untuk menjamin stabilitas dan menjamin hidup
masyarakat yang merupakan hak asasi manusia yang utama.
BAB II
PEMBAHASAN
(Upaya Pemberantasan Terorisme di Indonesia)
A. Sejarah Terorisme
Menurut Loudewijk F. Paulus Sejarah tentang Terorisme berkembang
sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa
pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang
kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan
maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.
Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni
dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern. Meski istilah
Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang
ditunjukkannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political
Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi
Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen
kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan
sebagai sistem rezim teror. Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang
terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada
pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia
dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif
untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orangorang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme
Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan
masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi
Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan
ideologi.
Bentuk pertama Terorisme terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme
dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk
kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang
2. Perspektif Islam
Dalam kamus bahasa Indonesia, teroris diartikan sebagai orang yang
menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan biasanya untuk tujuan
politik. 2Terorisme dalam bahasa Arab, identik dengan kata al-ihrab, mashdar yang
merupakan musytaq (pecahan kata) dari fil (kata kerja) arhaba. Maknanya adalah
menciptakan ketakutan (akhafa) atau membuat kengerian atau kegentaran
(fazzaa). Para teroris tersebut melakukan aksi terornya mengatas namakan islam
sebagai jihad. Namun pengertian jihad sendiri dalam islam bukanlah memerangi
umatnya sendiri yang justru menghancurkan dan merusak tetapi jihad dalam islam
adalah upaya mengerahkan segala jiwa raga atas nama Allah sesuai ketentuanketentuan yang diajarkan dalam syariat islam.3
Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW dengan membawa agama
Islam didalam kehidupan manusia sebagai rahmat dan kenikmatan yang besar
bagi manusia bukan suatu musibah yang membawa malapetaka. Didukung oleh
berdirinya gerakan-gerakan islam khususnya di Indonesia sendiri yang bersifat
radikal yang ingin mendirikan suatu negara islam dengan cara-cara yang tidak
sesuai dengan syariat islam sehingga mereka biasanya bertindak kasar dan
melakukan aksi teror dalam mencapai tujuannya tersebut. Dari berbagai macam
aksi teror yang terjadi di Indonesia sering dikaitkan dengan syariat Islam dan
1 Aulia Rosa Nasution, terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,
(Jakarta:kencana)
3 DR.Muhammad Tahir ul Qadri, Fatwa tentang terorisme dan bom bunuh diri,(Jakarta Pusat:
LIPPI)
Peristiwa
Ledakan bom
Waktu
1 Agustus 2000
Tempat
depan rumah duta besar Filipina
untuk
Indonesia
di
Korban jiwa
2org
kawasan
Ledakan granat
27 Agustus 2000
Ledakan bom
Ledakan bom
13 September 2000
22 Juli 2001
23 September 2001
12 Oktober 2002
5 Agustus 2003
10 Januari 2004
Jakarta Pusat
Bali
Hotel JW Marriot
Palopo
palopo
Ledakan bom
9 September 2004
Kedutaan
Bom tentena
Bom bali II
Bom pasar palu
Bom buku
28 Mei 2005
1 Oktober 2005
31 Desember 2005
2011
22org
22org
8org
-
Ledakan bom
15 april 2011
liberal
masjid dalam komplek Markas
Ledakan bom
23 april 2011
Besar
di
10org
5org
202org
11org
Australia
di
2. Faktor social-budaya
Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu
kelompok garis keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam
keseharian hidup yang kita jalani terdapat pranata social yang membentuk pribadi
kita menjadi sama. Situasi ini sangat menentukan kepribadian seseorang dalam
melakukan setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem social yang dibentuk oleh
kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang yang mempunyai tujuan
sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam garis keras atau
radikal.
3. Faktor Pendidikan
System pendidikan yang tidak berkembang, yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat, dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat. Adanya
ketidakpuasan di dalam masyarakat ini telah membuat masyarakat melakukan
tindakan dengan menggunakan kekerasan untuk memenuhi kebutuhannya. Orangorang yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup pada umumnya lebih
mudah termakan oleh propaganda dari pihak-pihak yang hendak mengacaukan
Negara. Masyarakat seperti ini mudah menjadi bagian dari organisasi dan gerakan
teroris.
4. Faktor psikologi
Mereka yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup biasanya tidak menyukai
aturan-aturan, tempat-tempat, dan posisi-posisi dimana mereka berada. Mereka
berasumsi bahwa mereka tidak mendapatkan penghormatan, perhatian, dan cinta
dari masyarakat. Atas dasar itu mereka melakukan kejahatan dan bertingkah laku
secara agresif dan melakukan perbuatan lain untuk mendapatkan perhatian dan
penghormatan dari yang lainnya sebagai ekspresi diri mereka. Mereka mencoba
harus segera diredamkan dengan mengambil suatu kebijakan yang tepat sasaran
terkait permasalahan terorisme dengan tetap mengacu pada tujuan utama untuk
mewujudkan kehidupan bernegara yang aman, damai dan sejahtera sesuai dengan
Pancasila.
Tidak kurang pentingnya yaitu perjuangan di bidang ekonomi, yaitu
dengan sera memulihkan kegiatan perekonomian yang dapat dilakukan dengan
jalan memperbaiki infrastruktur yang telah menjadi target aksi teror. Apabila
semua sarana dan prasarana yang mendukung perekonomian telah diperbaiki
maka kegiatan perekonomian akan kembali lancar. Sehingga seluruh rakyat
Indonesia sejahtera sesuai dengan pedoman Pancasila. Dengan demikian, maka
tidak akan ada alasan pula untuk kaum Islam radikal untuk mengatakan bahwa
Indonesia dan Pancasila hanya membawa kesengsraan dan penderitaan bagi
rakyat.
Tidak kalah pentingnya yaitu usaha budaya, jangan sampai budaya bangsa
Indonesia yang damai dan toleran mau digantikan oleh budaya kekerasan dan
intimidasi. Dalam konteks hal ini, amat penting peran dari kaum Islam moderat
khususnya yang tergabung dalam NU dan Muhammadiyah. Penanaman
pemahaman atas Islam yang benar akan mengurangi tingkat mudahnya para aktor
intelektual teroris untuk mendoktrin seseorang mengikuti ideologi Islam radikal
mereka.7
Juga penting usaha militer, khususnya teritorial yang bermanfaat untuk
memberikan informasi tentang perkembangan dalam masyarakat dan memotivasi
rakyat agar selalu berpihak kepada Indonesia dan Pancasila. Selain itu adalah
kemampuan intelijen yang dikoordinasikan oleh BIN untuk menyediakan intelijen
tentang kaum teror Islam radikal serta kontraintelijen untuk makin melemahkan
gerakan teror. Dengan perjuangan dalam beberapa aspek kehidupan tersebut,
maka ruang gerak teroris makin sempit dan akhirnya dapat dikalahkan.
Berbicara tentang penanganan teror di Indonesia, dari pengamatan umum
selama ini masih terjadi kelemahan penanganan. Hal tersebut dapat dilihat dari
7
Budiman arif, Ilmu social dasar (Medan, UNIMED)
organisasi yang disusun. Ada beberapa instansi yang seharusnya sangat dekat
dengan tugas pokok instansinya, dalam mencegah perkembangan teror di
Indonesia, antara lain BNPT, BIN, Depag, TNI, Polri, Dephan dan Depsos.
Namun dalam pelaksanaan pencegahan perkembangan dan ancaman teror, sejauh
ini hanya muncul Polri. Bagaimana instansi lain melakukan tugasnya, apakah
instansi-instansi yang lain tidak melakukan tugas ? apakah polisi merasa satusatunya instansi yang berwenang menangani teror ? Dari pertanyaan ini
menunjukkan bahwa koordinasi antar instansi belum terbangun secara efektif dan
koordinator belum bekerja secara optimal atau bahkan hanya melakukan
monitoring,
sementara
pembagian
tugas
kepada
setiap
instansi
belum
dilaksanakan dengan baik dan bilapun sudah tugas yang diberikan mungkin belum
dimengerti secara tuntas sehingga tidak terlihat aksi dari setiap instansi yang
seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap teror.
Mestinya setiap instansi secara nyata melakukan tugas yang terarah
dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan instansinya. Melakukan
koordinasi antar instansi sehingga tugas dari setiap instansi dapat diidentifikasi
secara jelas dan tidak terjadi tumpang tindih yang menyebabkan terlau banyak
waktu dan tenaga yang terbuang namun hasil tidak dapat dicapai secara optimal.
Desk anti teror harus menyusun prosedur hubungan antar instansi dalam
pencegahan teror, sehingga setiap instansi dapat melakukan koordinasi dan
kerjasama secara efektif dan sasaran dapat dicapai lebih baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teror adalah aksi kekerasan yang harus diperangi. Tetapi di lain pihak,
harus juga disadari bahwa aksi tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya.
Banyak kalangan percaya hegemoni negara-negara besar terhadap negeri-negeri
tertindas telah memicu munculnya gerakan militan di mana-mana, mulai di
Palestina, Chechnya, Irak sampai Asia Tenggara. Dalam konteks makro, hal itu
harus menjadi perhatian intens masyarakat yang mencintai perdamaian yang
langgeng. Masalahnya, idiologi dan teologi yang mereka anut selalu menyangkut
pautkan dengan simbol-simbol agama atau kepercayaan tertentu sebagai
justifikasi bagi tindakan teroris, jelas suatu pembenaran sepihak. Sebab agama dan
kepercayaan manapun jelas menentang setiap tindakan teror dan terorisme, karena
pelakunya menghalalkan pembunuhan terhadap sesama manusia. Perbuatan
mereka bukan mewakili agama atau kepercayaan tertentu, melainkan mewakili
kepercayaan mereka sendiri. Untuk itulah, semua kalangan umat beragama di
tanah air mesti bahu membahu menghadapi aksi teroris yang selalu mengancam
masa depan kemanusiaan kita dengan justifikasi agama dan kepercayaan tertentu.
Sekalipun atas nama agama, tetapi radikalisme atau cara-cara kekerasan dalam
penyelesaian masalah jelas tidak mendapatkan tempat dalam ajaran agama
manapun, termasuk Islam. Islam, justru mengutamakan kedamaian. Meskipun
demikian, kenyataannnya, sejumlah kalangan terbatas dalam masyarakat agamaagama menempatkan kekerasan sebagai cara untuk mengekspresikan sikap dan
perasaannnya. Radikalisme bahkan telah menjadi cara hidup atau way of life
melawan apa yang mereka persangkakakan sebagai hegemoni Barat. Pemerintah
jelas pihak yang harus bertanggung jawab atas masalah seperti ini. Terorisme telah
menjadi salah satu biang baru keterpurukan kita. Terorisime telah merusak citra
Indonesia terutama di kalangan investor asing. Padahal modal asing diperlukan
untuk menggenjot perekonomian. Kasus larinya modal asing dengan cara relokasi
pabrik, bukan hanya karena makin kurangnya prospek berbisnis di dalam negeri,
tapi juga karena gangguan keamanan berinvestasi. Sekalipun demikian,
pemerintah juga harus mengutamakan tindakan preemptive dengan mencari akarakar masalah gerakan radikal. Secara teoritis, gerakan radikal di manapun muncul
karena perasaan keterhimpitan, khususnya secara sosial ekonomi. Indonesia
pasca-Orde Baru adalah negeri yang tak putus dirundung krisis. Beban hidup
rakyat amat berat. Harga-harga melambung tinggi. Pengangguran membludak.
Ketika persoalan sosial tersebut menggumpal, resolusinya menjadi idilogis.
Padahal akar persoalannya bukan terletak pada idiologi, melainkan krisis sosial
dan krisis ekonomi yang tak kunjung teratasi. Karena itu tidak ada jalan lain
kecuali Pemerintah terus berupaya menegakkan keadilan di masyarakat dan
pemerataan pembangunan di segala bidang. Ideologi radikal mudah terbentuk dan
berkembang mekar di masyarakat yang ketimpangan sosial ekonominya sangat
tajam. Di samping itu, perkembangan tata ekonomi politik dunia yang cenderung
pada materialime-kapitalistik, dengan motor para pemodal raksasa dari negaranegara Barat, telah membuat dis-assosiasi makin kental terutama di negara-negara
dunia ketiga. Pemerintah kita juga aktif mengkampanyekan tata hubugan dunia
yang makin berkeadilan.Sekalipun demikian, solusi ekonomi saja tidak cukup
mengatasi kompleksitas radikalisme. Akhirnya jelas, persoalan kekerasan dalam
politik dan tindakan terorisme atas nama agama tak hanya berkaitan dengan
masalah pemahaman agama yang salah kaprah, tetapi juga ketimpangan ekonomi
dan alienasi sosial di tengah pluralisme dunia dan negara bangsa yang cenderung
materialistik. Demokrasi yang mengandaikan pluralisme pada awalnya diharapkan
dapat mengatasi munculnya pandangan sempit (sebagai akar-akar radikalisme),
tetapi hal itu saja jelas tidak cukup. Demokrasi, pluralisme, harus berjalan seiring
dan sinergis dengan perbaikan ekonomi dan pembangunan sosial. Bila semua
pihak bersatu mengedepankan sikap toleransi dan instropeksi maka akan menjadi
media yang paling dahsyat uintuk melawan terorisme dimanapun berada. Tetapi
bila sikap saling menyalahkan dan saling curiga dikedepankan maka jangan
berharap bahaya laten teroris akan lenyap di muka bumi ini.
B. Saran