Anda di halaman 1dari 8

Tokoh filsafat Hellenisme

A. Tokoh filsafat Hellenisme


1. Periode Etik
a. Epicurisme
Epicuros dilahirkan di samos pada tahun 341 SM. Pada tahun 306
ia mulai belajar di Athena, dan di sinilah ia meninggal pada tahun 270.
Filsafat Epicuros diarahkan pada satu tujuan belaka; memberikan jaminan
kebahagiaan kepada manusia. Epicuros berbeda dengan Aristoteles yang
mengutamakan penyelidikan ilmiah, ia hanya mempergunakan
pengetahuan yang diperolehnya dan hasil penyelidikan ilmu yang sudah ia
kenal, sebagai alat untuk membebaskan manusia dari ketakutan agama.
Yaitu rasa takut terhadap dewa-dewa yang ditanam dalam hati manusia
oleh agama Grik lama. Menurut pendapatnya ketakutan kepada agama
itulah yang menjadi penghalang besar untuk memperoleh kesenangan
hidup. Dari sini dapat diketahui bahwa Epicuros adalah penganut paham
Atheis.
Epicuros adalah seorang filosof yang menginginkan arah
filsafatnya untuk mencapai kesenangan hidup. Oleh karena itu tidak heran
jika filosof yang satu ini menganut paham atheis. Hal ini semata-mata ia
lakukan untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tanpa ada yang
membatasi. Menurutnya filsafat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu logika,
fisika dan etik.
1) Logika.
Epicuros berpendapat bahwa logika harus melahirkan norma untuk
pengetahuan dan kriteria untuk kebenaran. Norma dan kriteria itu
diperoleh dari pemandangan. Semua yang kita pandang itu adalah
benar. Baginya pandangan adalah kriteria .yang setinggi-tingginya
untuk mencapai kebenaran. Logikanya tidak menerima kebenaran
sebagai hasil pemikiran. Kebenaran hanya dicapai dengan
pemandangan dan pengalaman.

2) Fisika.
Teori fisika yang ia ciptakan adalah untuk membebaskan manusia dari
kepercayaan pada dewa-dewa. Ia berpendapat bahwa dunia ini bukan
dijadikan dan dikuasai dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh
hukum-hukum fisika. Segala yang terjadi disebabkan oleh sebab-
sebab kausal dan mekanis. Tidak perlu dewa-dewa 4itu diikutsertakan
dalam hal peredaran alam ini. Manusia merdeka dan berkuasa sendiri
untuk menentukan nasibnya. Segala fatalisme berdasar kepada
kepercayaan yang keliru. Manusia sesudah mati tidak hidup lagi, dan
hidup di dunia ini terbatas pula lamanya, maka hidup itu adalah
barang sementara yang tidak ternilai harganya. Sebab itu, menurutnya
hidup adalah untuk mencari kesenangan.
Dari pandangan fisika yang dikemukakan Epicuros, sangat terlihat
bahwa ia adalah penganut paham atheisme. Teori-teori yang ia
ciptakan adalah untuk menihilkan peran Tuhan di dunia ini.
3) Etik.
Ajaran etik Epicuros tidak terlepas dari teori fisika yang ia ciptakan.
Pokok ajaran etiknya adalah mencari kesenangan hidup. Kesenangan
hidup ialah barang yang paling tinggi nilainya. Kesenangan hidup
berarti kesenangan badaniah dan rohaniah. Badan terasa enak, jiwa
terasa tentram. Yang paling penting dan mulia menurutnya ialah
kesenangan jiwa.
Dari ketiga ajaran Epicuros, jika diaktualisasikan ke dalam agama
Islam maka akibatnya bisa fatal sekali. Seorang muslim akan menjadi
atheis ketika mengikuti ajaran Epicuros ini. Di sinilah bahaya filsafat
jika kita telan mentah-mentah tanpa ada proses penyaringan terlebih
dahulu. Apalagi jika tidak dilandasi dengan akidah yang kuat.

b. Stoaisme
Pendirinya adalah Zeno dari Kition. Ia dilahirkan di Kition pada
tahun 340 sebelum Masehi. Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang
suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah di tengah laut. Dirinya
selamat, tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia
berhenti berniaga dan tiba-tiba belajar filsafat. Ia belajar kepada Kynia
dan Megaria, dan akhirnya belajar pada academia di bawah pimpinan
Xenokrates, murid Plato yang terkenal.
Setelah keluar ia mendirikan sekolah sendiri yang disebut Stoa.
Nama itu diambil dari ruangan sekolahnya yang penuh ukiran Ruang,
dalam bahasa Grik ialah “Stoa”. Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah
menyempurnakan moral manusia. Dalam literatur lain disebutkan bahwa
pokok ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan
keselarasan dunia. Sehingga menurut mereka kebajikan ialah akal budi
yang lurus, yaitu akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Pada
akhirnya akan mencapai citra idaman seorang bijaksana; hidup sesuai
dengan alam.
Ajarannya tidak jauh beda dengan Epicuros yang terdiri dari tiga
bagian, yaitu logika, fisika dan etik.
1) Logika.
Menurut kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh kriteria tentang
kebenaran. Dalam hal ini, mereka memiliki kesamaan dengan
Epicuros. Apa yang dipikirkan tak lain dari yang telah diketahui
pemandangan. Buah pikiran benar, apabila pemandangan itu kena,
yaitu memaksa kita membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah
suatu pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang
dengan terang dan tajam. Sehingga orang yang memandang itu
terpaksa membanarkan dan menerima isinya.
Apabila kita memandang sesuatu barang, gambarannya tinggal dalam
otak kita sebagai ingatan. Jumlah ingatan yang banyak menjadi
pengalaman. Kaum Stoa bertentangan pendapatnya dengan Plato dan
Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles pengertian itu mempunyai
realita, ada pada dasarnya. Ingat misalnya ajaran Plato tentang idea.
Pengertian umum, seperti perkumpulan, kampung, binatang dan lain
sebagainya adalah suatu realita, benar adanya. Sedangkan menurut
kaum Stoa, pengetian umum itu tidak ada realitanya, semuanya itu
adalah cetakan pikiran yang subjektif untuk mudah menggolongkan
barang-barang yang nyata. Hanya barang-barang yang kelihatan yang
mempunyai realita, nyata adanya. Seperti orang laki-laki, orang
perempuan, kuda putih, kucing hitam adalah suatu realita. Pendapat
kaum Stoa ini disebut dalam filsafat pendapat nominalisme, sebagai
lawan dari realisme.
2) Fisika.
Fisika kaum Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang alam, tetapi
juga meliputi teologi. Zeno sebagai pendiri Stoa, menyamakan Tuhan
dengan dasar pembangun. Dasar pembangun ialah api yang
membangun sebagai satu bagian daripada alam. Tuhan itu menyebar
ke seluruh dunia sebagai nyawa, seperti api yang membangun
menurut sesuatu tujuan. Semua yang ada tak lain dari api dunia itu
atau Tuhan dalam berbagai macam bentuk.
Menurut mereka dunia ini akan kiamat dan terjadi lagi berganti-ganti.
Pada akhirnya Tuhan menarik semuanya kembali padanya, oleh
karena itu pada kebakaran dunia yang hebat, itu semuanya menjadi
api. Dari api Tuhan itu, terjadi kembali dunia baru yang sampai
kepada bagiannya yang sekecil-kecilnya serupa dengan dunia yang
kiamat dahulu.
3) Etik.
Inti dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud etiknya itu ialah mencari
dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian
malaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Pelaksanaan tepat
dari dasar-dasar itu ialah jalan untuk mengatasi segala kesulitan dan
memperoleh kesenangan dalam penghidupan. Kaum Stoa juga
berpendapat bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah memperoleh
“harta yang terbesar nilainya”, yaitu kesenangan hidup. Kemerdekaan
moril seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.

c. Skeptisisme
Skeptis artinya ragu-ragu. Mereka ragu-ragu untuk menerima
ajaran-ajaran yang dari ahli-ahli filsafat sebelumnya. Perlu diperhatikan
bahwa skeptisisme sebagai suatu filsafat bukanlah sekedar keragu-raguan,
melaiankan sesuatu yang bsa disebut keraguan dogmatis. Seorang
ilmuwan mengatakan, “saya kira masalahnya begini dan begitu, tetapi
saya tidak yakin.” Seorang yang memiliki keingintahuan intelektual
berujar, “saya tidak tahu bagaimana masalahnya, tetapi saya akan
berusaha mengetahuinya.” Seorang penganut Skeptis filosofis
mengatakan, “tak seorang pun yang mengetahui, dan tak seorang pun
yang akan bisa mengetahui.” Ini merupakan unsur dogmatisme yang
menyebabkan sistem tersebut lemah. Kaum Skeptis, tentu saja,
membantah bahwa mereka secara dogmatis menekankan mustahilnya
pengetahuan, namun bantahan mereka tidak meyakinkan.
Di masa Helen-Romawi ada dua sekolah Skeptis. Kedua-duanya
sama pendiriannya, keduanya ragu-ragu tentang ajaran kaum klasik yang
menyatakan bahwa kebenaran dapat diketahui. Tetapi dalam hal apa yang
dimaksud dengan sikap ragu-ragu itu, kedua sekolah itu berbeda
pahamnya. Sekolah yang satu disebut kaum skeptis aliran Pyrrhon dari
Elis. Pyrrhon lahir pada tahun 360 SM dan meninggal pada tahun 270
SM. Sekolah yang kedua disebut Skeptis Akademia, karena aliran ini lahir
dalam Akademia yang didirikan oleh Plato. Aliran ini lahir kira-kira
seumur orang sesudah Plato meninggal. Untuk lebih lengkapnya, mari
kita tinjau satu-persatu.
1) Skeptis Pyrrhon
Skeptisisme sebagai ajaran dari berbagai madzhab, dikemukakan
pertama kali oleh Pyrrhon, yang pernah menjadi seradu dalam
pasukan Alexandros, dan pernah bertugas bersama pasukan itu sampai
ke India. Sampai di India ia mempelajari mistik India. Tidak begitu
mendalam, tatapi cukup baginya untuk menentukan jalan pikirannya.
Tatkala ia kembali ke Elis, kota tempat ia lahir, didirikannya sekolah
filsafat. Muridnya cukup banyak. Ia sendiri tidak pernah menuliskan
filsafatnya. Tatapi ajarannya itu diketahui orang dari uraian-uraian
para pengikutnya.
Menurut Pyrrhon, kebenaran tidak dapat diduga. Kita harus sangsi
terhadap sesuatu yang dikatakan orang benar. Apa yang orang terima
sebagai kebenaran, hanya berdasarkan kepada kebiasaan yang
diterima dari orang ke orang. Rupanya saja “benar”. Karena itu orang
harus sangsi terhadap hasil pikiran yang disebut benar. Pikiran itu
sendiri saling bertentangan. Hal ini cukup ternyata dalam pengalaman.
Dari dua ucapan yang bertentangan tentang sesuatu, mestilah satu
yang benar dan yang lainnya salah. Dan untuk memutuskan mana
yang benar dan mana yang salah dalam pertentangan pendapat yang
begitu banyak, perlulah ada suatu kriteria tentang kebenaran. Kriteria
itulah yang tidak ada. Oleh karena itu kebenaran tidak dapat diketahui.
Maka dari itu, menurut Pyrrhon, seorang cerdik pandai hendaklah
menguasai diri jangan memberi keputusan. Menjauhkan diri dari sikap
memutus adalah jalanyang ditunjukkan Pyrrhon untuk mencapai
kesenangan hidup.
2) Skeptis Akademia
Meskipun sekolah ini didirikan oleh Plato, tetapi generasinya tidak
lagi mengusung ajaran-ajaran Plato. Para pengikut Plato, terutama di
bawah pengaruh Arkesilaos lebih mengutamakan ajaran Plato yang
bersifat negatif. Ajaran Arkesilaos berpangkal kepada ajaran Plato
yang mengatakan bahwa dunia yang kelihatan ini adalah gambaran
saja dari yang asli, bahwa pengetahuan yang didapat dari penglihatan
dan pemandangan adalah bayangan pengetahuan, bukan gambaran
dari pengetahuan yang sebenarnya. Pengetahuan yang sebenarnya
tidak tercapai oleh manusia.
Arkesilaos dan para pengikutnya tidak sejauh kaum sketis Pyrrhon
menolak kemungkinan mencapai kebenaran. Mereka terutama
menolak dogma-dogma yang dikemukakan oleh kaum Epicuros dan
kaum Stoa, bahwa segala pengetahuan berdasarkan pemandangan.
Mereka tidak menolak sama sekali kemungkinan untuk mencapai
pengetahuan. Norma pengetahuan itu ialah “kemungkinan”.
Kaum Skeptis aliran Arkesilaos berpendapat bahwa cita-cita orang
bijaksana ialah bebas dari berbuat salah. Kaum Epicuros dan Stoa
mengatakan bahwa memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh
dengan membentuk dalam pikiran hasil pandangan. Menurut
Arkesilaos yang seperti itu tidak mungkin. Kriteria daripada
kebenaran tidak dapat diperoleh dari pikiran manusia. Sedangkan
pikiran berdasarkan kepada bayangan saja, barang-barang yang
dipikirkan itu pada dasarnya tidak dapat dikenal.
Ketika Arkesilaos talah meninggal, ajaran itu dihidupkan lagi oleh
Karneades. Ia mengatakan bahwa kriteria bagi kebenaran tidak ada.
Pemandangan-pemandangan tak pernah dapat membedakan dengan
shahih pandangan yang benar dan pandangan salah. Tetapi sekalipun
kebenaran yang sebenarnya tidak dapat diketahui dan pengetahuan
yang shahih tidak dapat dicapai, orang tak perlu bersikap menolak
terus-menerus dan menjauhkan diri dari mempertimbangkan
sesuatunya. Sebagai pegangan dalam hidup sehari-hari dikemukakan
oleh Karneades tiga tingkat “kemungkinan.” Pertama, pemandangan
itu mungkin benar. Kedua, kemungkinan itu tidak dapat dibantah.
Ketiga, kemungkinan itu tidak dapat dibantah dan telah ditinjau dari
segala sudut.

2. Periode Etik
Pada periode ini, ada tiga aliran yang berperan, yaitu aliran Neo-Pythagoras,
aliran Philon, aliran Plotinus atau Neo-Platonisme

a. Neoplatonisme
Plotinus dan Ammonius Saccas adalah tokoh terpenting dalam aliran ini.
Plotinus (204-270) lahir di Lykopolis, Mesir. Pemikiran filsafatnya
dipengaruhi oleh Plato, sedikit Aristoteles. Titik tolak pemikirannya
adalah bahwa asas yang menguasai segala sesuatu adalah satu. Tuhan
dianggap sebagai kebaikan tertinggi dan sekaligus menjadi tujuan semua
kehendak. Demikian juga manusia sebagai makhluk bukanlah sebagai
ciptaan Tuhan, tetapi pancaran Tuhan. Karena zaman Neoplatonisme ini
diwarnai oleh agama, zaman ini disebutnya sebagai zaman mistik .
Menurut Plotinus, Semua yang ada berasal dari dan menuju kepada Yang
Esa. Ia adalah tujuan segala sesuatu. Dalam menjelaskan proses berasal
dan menuju kepada Yang Esa ini, Plotinus menggunakan konsep Emanasi
pelimpahan). Konsep emanasinya Plotinus, bahwa, tidak ada (dua hal)
yang bertentangan. Padanya alam ini terjadi dari Yang Melimpah, yang
itu tetap menjadi bagian dari Yang Melimpah itu. Bukan Tuhan berada di
dalam alam, melainkan alam berada di dalam Tuhan. Hubungannya sama
dengan hubungan benda dengan bayangannya. Makin jauh yang mengalir
itu dari Yang Asal, makin tidak sempurna ia. Alam ini bayangan Yang
Asal, tetapi tidak sempurna, tidak lengkap, tidak cukup, tidak sama
dengan Yang Asal. Kesempurnaan bayangan itu bertingkat menurut
jaraknya dari Yang Asal. Sama dengan cahaya, semakin jauh dari sumber
cahaya, semakin kurang terangnya.
b. Aliran Neo Pythagoras
Dinamakan Neo Pyithagoras karena ia berpangkal pada ajaran
Pyithagoras yang mendidik kebatinan dengan belajar menyucikan roh.
Yang mengajarkannya ialah mula-mula ialah Moderatus dan Gades, yang
hidup dalam abad pertama tahun masehi. Ajaran itu kemudian diteruskan
oleh Nicomachos dari Gerasa.
Untuk mendidik perasaan cinta dan mengabdi kepada Tuhan, orang harus
menghidupkan dalam perasaannya jarak yang jauh antara Tuhan dan
manusia. Makin besar jarak itu makin besar cinta kepada Tuhan. Dalam
mistik ini, tajam sekali dikemukakan perbedaan antara Tuhan dan
manusia, Tuhan dan barang. Bedanya Tuhan dan manusia digambarkan
dalam mistik neo Pythagoras sebagai perbedaan antara yang sebersih-
bersihnya dengan yang bernoda. Yang sebersih-bersihnya adalah Tuhan,
yang bernoda ialah manusia.
Menurut mereka, Tuhan sendiri tidak membuat bumi ini. sebab apabila
Tuhan membuat bumi ini , berarti ia mempergunakan barang yang
bernoda sebagai bahannya. Dunia ini dibuat oleh pembantunya, yaitu
Demiourgos. Kaum ini percaya bahwa jiwa ini akan hidup selama-
lamanya dan pindah-pindah dari angkatan makhluk turun temurun.
Kepercayaan inilah yang menjadi pangkal ajaran mereka tentang
inkarnasi.
c. Philon Alexandreia
Alexandria terletak di Mesir. Di sana bertemu antara filsafat Yunani yang
bersifat intelektualis dan rasionalis, dan pandangan agama kaum Yahudi
yang banyak mengandung mistik. Pencetusnya adalah Philon. Ia hidup
dari 25 SM, sampai 45 M. ia mencapai umur 70 tahun. Ia adalah seorang
pendeta Yahudi, karenanya filsafat yang dipelajarinya terpengaruh oleh
pandangan agama.
Yang menjadi pokok pandangan filsafatnya ialah hubungan manusia
dengan Tuhan. Baginya Tuhan itu Maha Tinggi tempatnya. Tuhan hanya
dapat diketahui oleh kata-kata-Nya yang terdapat dalam kitab suci, dari
alam dan dari sejarah. Tuhan sendiri tidak dapat diketahui oleh manusia
dengan panca inderanya.
Karena Tuhan itu begitu tinggi kedudukannya, perlulah ada perantara
yang menghubungkan Tuhan dengan alam. Makhluk terutama yang
terdekat dengan Tuhan ialah “Logos”. Logos itu ialah sumber dari segala
cita-cita yang sebagai pikiran Tuhan. Logos juga beredar dalam dunia
yang nyata sebagai penjelmaan dari akal Tuhan. Kewajiban manusia yang
pertama, menurut mereka, ialah mengasuh jiwa mendekati Tuhan.
Kesenangan hidup sebesar-besarnya adalah mengabdi kepada Tuhan.
Tujuan tertinggi ialah bersatu dengan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai