PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usia filsafat telah ribuan abad. Filsafat telah mengemuka sejak Thales
mengemukakan renungannya tentang hakikat segala sesuatu. Filsafat sejak saat itu
satunya adalah sinema. Sinema mengemuka relatif belum terlalu lama, persisnya
di Grand Caf Paris, 28 Desember 1895. Peristiwa itu telah jamak disepakati
teknologi, kemudian seni dan pada konteks tertentu sinema juga diafirmasi
sebagai pemikiran.
teori sinema dalam Matter and Memory (1986). Bergson mewacanakan perlunya
cara pikir baru untuk memahami gerak. Bergson menciptakan konsep imaji-
gerak dan imaji-waktu yang bisa menjelaskan esensi, cara kerja dan kelebihan
karena imaji lebih mampu menampilkan isi pikiran secara lebih konkret,
tentang cinta relatif lebih konkret ketimbang konsep atau abstraksi tentang cinta.
1
Upaya tersebut pada dasarnya lebih mudah dilakukan sinema via imaji ketimbang
terjadi antara frame yang satu dan frame yang lain. Bergson dengan berdasar atas
sinema sebagai ilustrator terbaik bagi pemikiran jelas bertolak belakang dengan
2
premis kedua Bergson dalam Creative Evolution tentang kapasitas sinema sebagai
Cinema 2: The Time-Image (1985). Lebih lanjut, Deleuze dalam Cinema 1 dan 2
waktu Bergson dalam dua tahap kerja: pertama, kritik terhadap Bergson, kedua,
sinematografis. Hal ini secara implisit bisa disimak dalam pernyataan Deleuze
Artinya:
Temuan Bergsonian tentang imaji-gerak dan terlebih lagi imaji-waktu
telah menyimpan keheningan yang hari ini tampak begitu sempurna.
Meskipun dalam Creative Evolution, Bergson terlalu terburu mengkritik
sinema tanpa perlu menjaga pertemuan antara imaji-gerak sebagai yang
dipertimbangkannya dan imaji sinematografik yang mengemuka
kemudian.
3
Cinema 1 dan Cinema 2 adalah sepasang manuskrip Deleuze yang belum banyak
dikaji di Indonesia, baik oleh penekun filsafat maupun penekun teori sinema.
Skripsi ini di satu sisi hendak memaparkan elaborasi Deleuze dalam manuskrip
tersebut, sembari menelusuri relasi yang terjadi antara filsafat dan sinema. Dalam
konstelasi tersebut, penulis juga akan menempatkan manuskrip Deleuze yang lain,
yang setara dengan Cinema 1 dan Cinema 2 untuk menegaskan relasi ontologis
antara filsafat dan sinema. Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 berbicara
tentang apa itu sinema dan dalam What is Philosophy?, Deleuze bersama Guattari
sinema cenderung dikaji sebagai yang eksternal dari filsafat, artinya sinema lebih
kerap ditempatkan sebagai objek kajian dan filsafat sebagai subjek kajian. Pola
kajian semacam ini mengakibatkan posisi sinema sebagai entitas baru dan modus
pemikiran baru justru jauh dari elaborasi. Filsafat tidak pernah benar-benar
memberikan sesuatu pada sinema, demikian sebaliknya, sinema juga tidak pernah
a. Rumusan Masalah
4
1. Apa itu filsafat menurut Gilles Deleuze?
b. Keaslian Penelitian
Gilles Deleuze sebagai objek formal penelitian, yaitu: Septiani Aulia, Hasrat
skripsi lagi yang tidak menempatkan film sebagai objek material penelitian,
tapi menggunakan pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari sebagai objek
tersebut, skripsi ini adalah otentik, karena kendati menggunakan objek formal
objek material penelitian yang secara signifikan berbeda, yakni: filsafat dan
sinema.
5
c. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
terkait wacana sinema dan filsafat secara umum dan pemikiran Deleuze
secara khusus.
2. Bagi akademisi
Prancis pada paruh kedua abad ke-20 yang hingga kini masih memiliki
3. Bagi masyarakat
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab tiga rumusan
Deleuze.
6
C. Tinjauan Pustaka
sesuatu yang megah, yakni realitas itu sendiri. Filsafat dan sinema mampu
secara umum bertumpu pada kata-kata, sinema bertumpu pada medium visual.
Seorang filsuf dan sutradara film pada dasarnya sama-sama berupaya menelusuri
realitas (Mullarkey, 2009: ix). Cynthia Freeland dan Thomas E. Watenberg dalam
Philosophy and Cinema mengurai hubungan filsafat dan film sebagai hubungan
mengemukakan aspek-aspek penting dari film, film juga dapat menantang filsafat
untuk memikirkan film dan problem-problem film secara baru (Freeland et.al.,
1995: 1-2).
Perspectives coba memberikan pengantar umum tentang filsafat sinema dari sudut
menyinggung Deleuze. Deleuze disinggung bersama Jean Epstein, Jean Mitry dan
memang membawa kajian film lebih dekat dengan filsafat. Deleuze dalam
bisa dihadapkan dengan pelukis, arsitek, musisi, tapi juga dengan pemikir (2005:
7
xiv; 1983: 7-8). Selain Botz-Bornstein, penulis mencatat beberapa nama yang
mengkaji pemikiran Deleuze tentang sinema secara spesifik. Beberapa nama yang
dimaksud adalah D.N. Rodowick (1997), Paola Marrati (2003), Ronald Bogue
1 dan Cinema 2 sebagai upaya tidak sadar Deleuze dalam mendistribusikan ulang
kritik konstruktif atas teori film sebelumnya. Buku Rodowick tersebut, alih-alih
sebagai klarifikasi bahwa Cinema 1 dan Cinema 2 adalah karya filsafat yang
beberapa hal dalam pemikiran Deleuze tentang sinema, misalnya kaitan antara
Cinema 1 dan Cinema 2 Deleuze dengan beberapa teori sinema, posisi filsafat dan
8
menjelaskan bahwa Deleuze berupaya melawan dua pendekatan yang
mendominasi kajian sinema pada tahun 1980-an di Prancis dan beberapa negara
lain, misalnya Inggris dan Amerika. Pendekatan pertama yang dominan adalah
kedua adalah pendekatan linguistik dan psikoanalitik dari Cristian Metz (Marrati,
2003: 1).
mampu menjelaskan aspek temporal dari sinema, yakni waktu. Realisme Bazin
berangkat dari yang nampak atau aspek empirik dalam sinema, yakni fenomena.
pengetahuan pada subjek. Corak subjektif dari fenomenologi inilah yang justru
diri pada analisis tentang waktu dalam sinema. Deleuze melandaskan analisisnya
dari konsepsi Bergson tentang waktu objektif. Waktu objektif secara konseptual
disebut Bergson sebagai durasi. Perlu diketahui, durasi dalam konteks Bergson
tidak cukup dipahami sebagai lamanya waktu. Durasi dalam konteks Bergson
9
Penolakan Deleuze atas pendekatan linguistik dan psikoanalitik Metzian
pemahaman objektif tentang sinema. Dalam hal ini, Marrati (2003: 2) mengurai
bahwa proyek Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 adalah upaya ekstraksi atas
esensi sinema. Deleuze menggambarkan apa yang melekat pada sinema secara
khusus dan mengurai singularitas sinema dari imaji-imaji yang diproduksi sinema.
bahwa masalah sentral yang diangkat Deleuze melalui pemilahan imaji-gerak dan
bentuk seni baru, tentu juga membawa masalah baru bagi pengetahuan. Sinema
bekerja dengan gerak semu yang pada mulanya diterima sebagai gerak nyata,
L'arrive d'un train en gare de La Ciotat (Kedatangan Kereta dari Stasiun Ciotat),
penonton merunduk karena mengira bahwa kereta yang hadir di atas layar akan
meloncat keluar.
10
dan film yang diacu. Bogue menyatakan bahwa paparan Deleuze masih terlalu
Bogue lebih banyak melakukan peninjauan ulang atas beberapa kritikus dan
teorisi film yang disinggung Deleuze, juga argumentasi filosofis yang dibangun
Deleuze tentang sinema (Bogue, 2003: 3). Penulis berpendapat bahwa yang
menarik dari kajian Bogue adalah upayanya untuk menguraikan secara khusus
pengaruh Bergson pada Deleuze. Bogue (2003: 3) sangat menyadari bahwa tanpa
berkonstrasi pada uraian sejumlah konsep kunci Deleuze dalam Cinema 1 dan
secara lebih detail. Colman tidak berhenti di situ, Colman juga coba
bukunya dalam tiga tahap penjelasan. Pertama adalah paparan tentang apa itu
yang dimiliki imaji-gerak (Colman, 2011: 5). Strategi Colman dalam memaparkan
tersendiri. Buku Colman bagi penulis adalah pengantar paling praktis dalam
11
memahami dan mengaplikasikan konsep-konsep Deleuze dalam Cinema 1 dan
Cinema 2. Lebih dari itu, Colman juga berhasil memperluas wilayah aplikasi
Cinema 1 dan Cinema 2 tidak terbatas pada sinema saja, tapi secara umum adalah
media layar yang memiliki kapasitas untuk menghadirkan imaji, suara dan gerak.
kajian Paola Marrati dalam Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy. Kendati
demikian perlu dicatat bahwa Marrati memang memfokuskan diri pada gagasan
sinema dan filsafat Deleuze. Lebih dari itu, Marrati juga banyak bertumpu pada
dalam konteks pengeksplisitan status ontologis sinema dan filsafat dari perspektif
Deleuze, namun Marrati melewatkan begitu saja pembahasan tentang relasi antara
D. Landasan Teori
Relasi dalam bahasa Inggris disebut relation, dalam bahasa Latin disebut
relatio, yang artinya hubungan. Lorens Bagus mendefinisikan relasi dalam tiga
pengertian, yakni pertama, relasi adalah sebuah kaitan yang dimiliki suatu benda
dengan benda-benda lainnya atau suatu ide dengan ide-ide lainnya; kedua, relasi
adalah kualitas yang menjadi predikat dua hal atau lebih yang dapat direngkuh
sekaligus; ketiga, relasi adalah pengaturan dua hal atau lebih (Bagus, 2005: 946).
12
intinya selalu lebih dulu mensyaratkan keberadaan dua entitas, baik itu berupa
benda ataupun ide, yang tanpa prasyarat tersebut relasi tidak akan ada
meja kayu lebih dulu mensyaratkan adanya batang kayu dan tukang kayu. Meja
kayu tidak mungkin ada tanpa didahului oleh relasi antara batang kayu dan tukang
kayu.
Relasi dibagi menjadi dua corak umum, yakni relasi eksternal dan relasi
internal. Pembagian ini muncul dalam diskursus ontologi. Apa yang dimaksud
relasi eksternal adalah relasi antara dua hal atau lebih yang tidak bersifat mutlak
atau tidak secara langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal lainnya,
misalnya relasi antara korek api dengan saku kemeja. Relasi korek api dengan
saku kemeja tidaklah hakiki. Keberadaan korek api tidak berpengaruh secara
langsung pada keberadaan saku kemeja. Korek api tetap menjadi korek api tanpa
harus berada di dalam saku kemjea, demikian sebaliknya, saku kemeja tetap
menjadi saku kemeja tanpa harus ada korek api di dalamnya. Relasi eksternal
dengan demikian adalah relasi yang bercorak relatif terhadap hakikatnya. Adapun
yang dimaksud dengan relasi internal adalah sebuah relasi antara dua hal atau
lebih yang bersifat mutlak atau langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal
lainnya, misalnya relasi antara jiwa dan tubuh manusia. Relasi keduanya bersifat
hakiki. Keberadaan tubuh manusia berpengaruh secara langsung dengan apa yang
disebut jiwa, sebab tanpa tubuh, jiwa tidak akan memiliki wadah, demikian
sebaliknya, tanpa jiwa, tubuh manusia tidak akan bermakna (Bagus, 2005: 947-
948).
13
Diskursus tentang relasi bermula dari pemikiran Aristoteles, kemudian
dengan cara melihat tingkatan relasi pada beberapa entitas yang berkaitan satu
sebutlah beberpa orang itu adalah Maria, Sam dan Tom. Apa hubungan Maria
yang duduk lebih dekat dengan Sam ketimbang dengan Tom? Bisa jadi antara
Maria dan Sam memiliki derajat hubungan yang lebih intim ketimbang Maria dan
Tom, juga dengan laki-laki lain (Mulligan, 2005: 445). Mulligan menjelaskan
Seorang nominalis memahami struktur relasi sebagai yang tidak dapat diualng
ada satupun relasi yang mencakup segalanya. Berkebalikan dengan seorang anti-
universal, artinya sebuah relasi antara dua entitas tertentu akan berdampak atau
berkait dengan entitas lain (Mulligan, 2005: 446). Seorang nominalis dengan
Louis O. Kattsof mengatakan bahwa dua hal dikatakatan berelasi jika dua
hal tersebut saling berkaitan atau ada koneksi antar keduanya, relasi itu sendiri,
menurut Kattsof adalah banyak macamnya, misalnya relasi dalam ruang, dalam
14
waktu, dalam kualitas, dalam kuantitas, dalam asal-usul keturunan. Secara
epistemologis, relasi dibagi menjadi dua bentuk, yakni relasi dari dalam dan relasi
dari luar (Kattsof, 2004: 56). Hal ini mirip dengan penjelasan penulis tentang
relasi eksternal dan relasi internal, perbedaannya hanya dari segi istilah. Kattsof
menyebut relasi internal sebagai relasi yang bercorak intrinsik dan relasi eksternal
sebagai relasi yang bercorak ekstrinsik. Lebih lanjut, Kattsof (2004: 57)
Dalam filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas, relasi adalah salah satu
Relasi adalah kategori yang bersifat membatasi subjek dalam kaitannya dengan
buruh. Sebagai aksidens, relasi memiliki tiga unsur dasar, yakni: subjek, tujuan
dan dasar (Bagus, 1991: 133). Untuk lebih jelasnya, analogikan saja subjek adalah
bapak, sedangkan apa yang disebut bapak selalu mengacu atau diacukan kepada
yang lain, yakni anak. Apa yang disebut anak tersebut pada dasarnya berdiri
sebagai acuan atau tujuan subjek, sedangkan apa yang menjadi dasar dari relasi
subjek dan tujuan dalam konteks analogi bapak dan anak tersebut adalah kelahiran
Penulis mencatat setidaknya ada tiga jenis relasi, yakni relasi menurut
bentuknya, relasi menurut polanya, relasi menurut sifatnya. Pertama, apa yang
penulis maksud dengan relasi menurut bentuknya adalah relasi real dan relasi
15
ideal. Relasi real adalah relasi yang memang ada dalam kenyataan, misalnya
kebaikan dan keharmonisan dalam keluarga. Relasi ideal adalah relasi yang ada
dalam pikiran semata, misalnya relasi antara manusia dan tuhan yang hanya bisa
Kedua, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut polanya adalah
relasi sepihak dan relasi timbal balik. Relasi sepihak adalah relasi yang searah,
misalnya relasi antara yang mengetahui dan yang diketahui. Apa yang diketahui
dalam konteks relasi sepihak pada dasarnya tidak memberikan tambahan apa-apa
pada yang mengetahui, sebab yang diketahui diposisikan sebagai objek mati.
Relasi timbal balik adalah relasi antara dua hal yang saling mengandaikan,
misalnya seorang baru disebut bapak ketika mempunyai anak. Anak disebut anak
karena mempunyai bapak. Anak ada karena bapak ada (Bagus, 1991: 134-135).
Ketiga, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut sifatnya adalah
mental yang mengacu pada ciri fisik tertentu, misalnya sifat kebapakan yang
Relasi transendental adalah relasi yang membentuk subjek itu sendiri, misalnya
relasi antara materi dan bentuk yang mengemuka pada kenyataan. Materi sebagai
transendental, materi dianggap tidak bisa berdiri sendiri sebagai materi, demikian
juga dengan bentuk. Kesatuan antara materi dan bentuk inilah yang menyebabkan
keberadaan entitas seperti meja, komputer dan celana sebagai realitas konkret
16
Archie J. Bahm dalam Metaphysics: An Introduction mengatakan bahwa
relasi melibatkan entitas terkait dalam beberapa persamaan dan perbedaan (Bahm,
1986: 72). Bahm dengan demikian memahami bahwa dua entitas dikatan berelasi
jika memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Hal ini dengan kata lain, jika
sebuah entitas memiliki persamaan total dan perbedaan total dengan entitas lain,
maka entitas tersebut sebagaimana dinyatakan Bahm, justru tidak memiliki relasi
sama sekali dengan entitas lain (Bahm, 1986: 72). Entitas tersebut adalah entitas
yang berdiri sendiri. Entitas dengan ciri yang demikian itu pada kenyataannya
lanjut tentang beberapa kategori relasi, salah satunya adalah antara kesebagian
Deleuze dalam salah satu esainya tentang David Hume memahami relasi
sebagai nilai yang diretas dari sebuah impresi yang terberi untuk sebuah idea yang
tidak terberi, dengan demikian, relasi harus dikreasi. Relasi harus dikreasi menjadi
idea tentang relasi. Deleuze menambahkan bahwa relasi adalah sebuah efek dari
hubungan sebab-akibat yang mendasari alam manusia (Deleuze, 2001: 39; 2004:
sinema dan filsafat adalah relasi antara imaji dan konsep (Deleuze, 1995: 64).
Deleuze dengan demikian melihat bahwa relasi antara imaji dan konsep identik
dengan relasi filsafat dan sinema. Berdasarkan uraian tersebut, landasan teori yang
17
umumnya akan penulis gunakan sebagai pisau analisis adalah teori tentang jenis-
jenis relasi. Teori tersebut akan penulis operasikan dalam konteks pembacaan
E. Metode Penelitian
a. Materi Penelitian
penelitian historis faktual mengenai naskah atau buku (1990: 67-71). Penulis
menempatkan tiga buku Gilles Deleuze, yakni Cinema 1, Cinema 2 dan What
primer dan pustaka sekunder. Pustaka primer adalah teks-teks yang ditulis
Paris.
18
b. _____________, 2005, Cinema 2: The Time-Image, trans. Hugh
Paris.
Reinterpretasi atas Filsafat, Sains dan Seni, terj. Muh. Indra Purnama,
York.
York.
19
d. Flaxman, Gregory (ed.), The Brain Is the Screen: Deleuze and The
London.
Albuquerque.
Penulis juga akan menggunakan sumber lain yang tentu saja akan
20
teks-teks umum tentang teori-teori film, sejarah filsafat dan sejarah sinema,
baik itu buku ataupun jurnal, baik dalam wujud cetak atau digital.
b. Jalan Penelitian
1. Inventarisasi
2. Klasifikasi
penelitian.
3. Analisis
penelitian.
c. Analisis Data
1. Interpretasi
21
2. Koherensi intern
3. Holistika
4. Deskripsi
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah mampu memperoleh jawaban
3. Mendapat paparan dan pembuktian yang jelas dan meyakinkan tentang relasi
G. Sistematika Penulisan
22
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode
masalah pertama. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran
Deleuze tentang filsafat. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab,
yakni: pertama, paparan tentang biografi dan posisi filsafat Gilles Deleuze; kedua,
ketiga, penjelasan Gilles Deleuze tentang filsuf sebagai persona konseptual dan
masalah kedua. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran
Gilles Deleuze tentang sinema. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam empat
teoritik Deleuze; ketiga, Cinema 1 dan Cinema 2 sebagai karya filsafat; keempat,
masalah ketiga. Bagian ini secara umum merupakan sintesis dari Bab II dan III.
Penulis akan mengurai relasi sinema dan filsafat menurut Gilles Deleuze. Bab ini
secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab, yakni: pertama, penciptaan konsep
23
sinema Deleuze; ketiga, kesimpulan tentang relasi filsafat dan sinema menurut
Deleuze.
dua sub-bab berikut: kesimpulan dan saran. Penulis dalam sub-bab kesimpulan
akan mengurai beberapa poin pokok yang menjadi hasil penelitian atau pokok
jawaban dari tiga rumusan masalah. Penulis dalam sub-bab saran akan
memaparkan sedikit evaluasi kritis atas hasil penelitian. Tujuan penulis agar
24