Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usia filsafat telah ribuan abad. Filsafat telah mengemuka sejak Thales

mengemukakan renungannya tentang hakikat segala sesuatu. Filsafat sejak saat itu

berkembang dan bertemu kemungkinan-kemungkinan baru bagi pemikiran, salah

satunya adalah sinema. Sinema mengemuka relatif belum terlalu lama, persisnya

ketika Lumiere bersaudara mempresentasikan perangkat bernama cinematograph

di Grand Caf Paris, 28 Desember 1895. Peristiwa itu telah jamak disepakati

sebagai kelahiran resmi sinema. Sinema terus berkembang, pertama sebagai

teknologi, kemudian seni dan pada konteks tertentu sinema juga diafirmasi

sebagai pemikiran.

Henri Bergson adalah filsuf pertama yang mengantisipasi perkembangan

teori sinema dalam Matter and Memory (1986). Bergson mewacanakan perlunya

cara pikir baru untuk memahami gerak. Bergson menciptakan konsep imaji-

gerak dan imaji-waktu yang bisa menjelaskan esensi, cara kerja dan kelebihan

sinema. Sinema bekerja dengan imaji, sedangkan pemikiran bekerja dengan

konsep. Bergson mengatakan bahwa imaji lebih superior ketimbang konsep,

karena imaji lebih mampu menampilkan isi pikiran secara lebih konkret,

sedangkan konsep cenderung menampilkan isi pikiran dengan cara abstraksi

(http://www.iep.utm.edu/filmcont/). Penulis akan mencontohkan, misalnya imaji

tentang cinta relatif lebih konkret ketimbang konsep atau abstraksi tentang cinta.

1
Upaya tersebut pada dasarnya lebih mudah dilakukan sinema via imaji ketimbang

filsafat via konsep. Hal ini memicu Bergson (http://www.iep.utm.edu/filmcont/)

untuk mengakui kemungkinan sinema sebagai ilustrator terbaik bagi pemikiran.

Namun premis tersebut sebelas tahun kemduian disangkal sendiri oleh

Bergson. Bergson menolak setiap kemungkinan film sebagai ilustrasi pemikiran.

Bergson menyatakan penyangkalan tersebut terangkum dalam Creative Evolution

(1907). Bergson dalam sub-bagian yang berjudul The Cinematographic Illusion

membandingkan mekanisme pemikiran konseptual dengan mekanisme

sinematografis. Bergson (dalam Herzog, 2000: 7-9) menyatakan bahwa

mekanisme pemikiran yang berfungsi secara sinematik menciptakan ilusi

teoritis yang berpotensi mengaburkan persepsi manusia atas evolusi sebenarnya,

yakni sebuah kemenjadian radikal, kemenjadian yang terus-menerus tanpa putus.

Kritik Bergson tersebut merujuk pada kapasitas sinema untuk mereproduksi

realitas yang direpresentasikan melalui kapasitas kamera dalam mengisolasi

bagian-bagian realitas. Bergson menulis bahwa sinema atau tepatnya aparatus

sinema berkorespondensi langsung dengan fungsi intelek, yang darinya kamera

mengisolasi bagian-bagian realitas dan menghapus nuansa tansformasi yang

terjadi antara frame yang satu dan frame yang lain. Bergson dengan berdasar atas

asumsi tersebut kemudian menyimpulkan bahwa sinema pada dasarnya hanya

memproduksi gerak semu yang identik dengan ilusi sinematografis.

Premis pertama Bergson dalam Matter and Memory tentang kapasitas

sinema sebagai ilustrator terbaik bagi pemikiran jelas bertolak belakang dengan

2
premis kedua Bergson dalam Creative Evolution tentang kapasitas sinema sebagai

penghasil gerak semu atau ilusi sinematografis.

Berpijak dari kontradiksi dalam dua premis Bergson tentang sinema

tersebut, Gilles Deleuze justru menangkap kemungkinan elaborasi. Deleuze secara

kritis mengembangkan konsepsi Bergson tentang imaji-gerak dan imaji-waktu.

Deleuze menuangkannya dalam Cinema 1: The Movement-Image (1983) dan

Cinema 2: The Time-Image (1985). Lebih lanjut, Deleuze dalam Cinema 1 dan 2

selain mengembangkan konsepsi Bergson tentang imaji-gerak dan imaji-waktu,

Deleuze juga mengeksplisitkan penerapan imaji-gerak dan imaji-waktu Bergson

pada ranah sinema. Deleuze mengeksplisitkan penerapan imaji-gerak dan imaji-

waktu Bergson dalam dua tahap kerja: pertama, kritik terhadap Bergson, kedua,

rekonstruksi relasi antara imaji-gerak dan imaji-waktu dengan imaji

sinematografis. Hal ini secara implisit bisa disimak dalam pernyataan Deleuze

dalam pengantar Cinema 1:

The Bergsonian discovery of a movement-image, and more profoundly, of


a time-image, still retains such richness today that it is not certain that all
its consequences have been drawn. Despite the rather overhasty critique of
the cinema that Bergson produced shortly afterwards, nothing can prevent
an encounter between the movement-image, as he considers it, and the
cinematographic image (Deleuze, 2005: xix; 1983: 7).

Artinya:
Temuan Bergsonian tentang imaji-gerak dan terlebih lagi imaji-waktu
telah menyimpan keheningan yang hari ini tampak begitu sempurna.
Meskipun dalam Creative Evolution, Bergson terlalu terburu mengkritik
sinema tanpa perlu menjaga pertemuan antara imaji-gerak sebagai yang
dipertimbangkannya dan imaji sinematografik yang mengemuka
kemudian.

3
Cinema 1 dan Cinema 2 adalah sepasang manuskrip Deleuze yang belum banyak

dikaji di Indonesia, baik oleh penekun filsafat maupun penekun teori sinema.

Skripsi ini di satu sisi hendak memaparkan elaborasi Deleuze dalam manuskrip

tersebut, sembari menelusuri relasi yang terjadi antara filsafat dan sinema. Dalam

konstelasi tersebut, penulis juga akan menempatkan manuskrip Deleuze yang lain,

yakni What is Philosophy? Manuskrip tersebut ditulis Deleuze bersama Felix

Guattari. Penulis perlu menempatkan What is Philosophy? sebagai objek kajian

yang setara dengan Cinema 1 dan Cinema 2 untuk menegaskan relasi ontologis

antara filsafat dan sinema. Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 berbicara

tentang apa itu sinema dan dalam What is Philosophy?, Deleuze bersama Guattari

berbicara tentang apa itu filsafat.

Cinema 1, Cinema 2 dan What is Philosophy? karya Deleuze penting

dikaji secara relasional karena dalam tradisi pendidikan filsafat di Indonesia,

sinema cenderung dikaji sebagai yang eksternal dari filsafat, artinya sinema lebih

kerap ditempatkan sebagai objek kajian dan filsafat sebagai subjek kajian. Pola

kajian semacam ini mengakibatkan posisi sinema sebagai entitas baru dan modus

pemikiran baru justru jauh dari elaborasi. Filsafat tidak pernah benar-benar

memberikan sesuatu pada sinema, demikian sebaliknya, sinema juga tidak pernah

benar-benar memberikan sesuatu pada filsafat.

a. Rumusan Masalah

Berdasar atas latar belakang tersebut, rumusan masalah yang hendak

penulis jawab adalah sebagai berikut:

4
1. Apa itu filsafat menurut Gilles Deleuze?

2. Apa itu sinema menurut Gilles Deleuze?

3. Bagaimana relasi filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze?

b. Keaslian Penelitian

Penulis mencatat beberapa penelitian yang menempatkan film atau sinema

sebagai objek material penelitian di lingkup akademis Fakultas Filsafat

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, di antaranya sebagai berikut: Nugroho

(1997), Rachman (2005), Ismail (2006), Prawidyarto (2006), Dania (2004),

Negara (2010), Fajari (2011), Wijayanti (2011), Ikwanto (2011), Agustiani

(2011), Dwiantoro (2012), namun hanya satu yang menggunakan pemikiran

Gilles Deleuze sebagai objek formal penelitian, yaitu: Septiani Aulia, Hasrat

dalam Masyarakat Konsumeris Ditinjau dari Perspektif Gilles Deleuze: Studi

Kasus atas Film Confessions of a Shopaholic, Skripsi, 2011, kemudian satu

skripsi lagi yang tidak menempatkan film sebagai objek material penelitian,

tapi menggunakan pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari sebagai objek

formal penelitian, yaitu: Mohammad Arifin, Konstruktivisme Chaotic: Telaah

Filsafat Deleuze dan Guattari, Skripsi, 2006. Berdasarkan penelusuran

tersebut, skripsi ini adalah otentik, karena kendati menggunakan objek formal

yang secara umum sama, yakni pemikiran Deleuze, namun menempatkan

objek material penelitian yang secara signifikan berbeda, yakni: filsafat dan

sinema.

5
c. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis

Penelitian ini diharapkan menjadi sarana eksplorasi dan aktualisasi penulis

terkait wacana sinema dan filsafat secara umum dan pemikiran Deleuze

secara khusus.

2. Bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan menjadi suplemen tentang dinamika filsafat

Prancis pada paruh kedua abad ke-20 yang hingga kini masih memiliki

pengaruh luas, sekaligus memperkenalkan kajian filosofis tentang sinema.

3. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi suplemen filosofis dan sinematik

untuk kreasi sinema dari dan untuk masyarakat.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab tiga rumusan

masalah di atas, yaitu:

1. Merumuskan pemikiran Gilles Deleuze tentang filsafat.

2. Merumuskan pemikiran Gilles Deleuze tentang sinema.

3. Memaparkan relasi filsafat dan sinema dalam konteks pemikiran Gilles

Deleuze.

6
C. Tinjauan Pustaka

John Mullarkey dalam Refractions of Reality: Philosophy and the Moving

Image mengatakan bahwa baik filsafat dan sinema sama-sama menyodorkan

sesuatu yang megah, yakni realitas itu sendiri. Filsafat dan sinema mampu

memberikan gambaran realitas secara kuat. Mullarkey menambahkan, jika filsafat

secara umum bertumpu pada kata-kata, sinema bertumpu pada medium visual.

Seorang filsuf dan sutradara film pada dasarnya sama-sama berupaya menelusuri

realitas (Mullarkey, 2009: ix). Cynthia Freeland dan Thomas E. Watenberg dalam

Philosophy and Cinema mengurai hubungan filsafat dan film sebagai hubungan

yang tidak searah, maksudnya ketika filsafat selalu berupaya untuk

mengemukakan aspek-aspek penting dari film, film juga dapat menantang filsafat

untuk memikirkan film dan problem-problem film secara baru (Freeland et.al.,

1995: 1-2).

Thorsten Botz-Bornstein dalam Philosophy of Film: Continental

Perspectives coba memberikan pengantar umum tentang filsafat sinema dari sudut

pandang kontinental. Dengan bertolak dari Bergson, Botz-Bornstein akhirnya

menyinggung Deleuze. Deleuze disinggung bersama Jean Epstein, Jean Mitry dan

Daniel Frampton. Botz-Bornstein mengkategorikan Deleuze sebagai pemikir yang

turut mewacanakan sinema sebagai pemikiran

(http://www.iep.utm.edu/filmcont/). Botz-Bornstein mengatakan bahwa Deleuze

memang membawa kajian film lebih dekat dengan filsafat. Deleuze dalam

pengantar Cinema 1 menulis bahwa sutradara-sutradara besar sinema tidak hanya

bisa dihadapkan dengan pelukis, arsitek, musisi, tapi juga dengan pemikir (2005:

7
xiv; 1983: 7-8). Selain Botz-Bornstein, penulis mencatat beberapa nama yang

mengkaji pemikiran Deleuze tentang sinema secara spesifik. Beberapa nama yang

dimaksud adalah D.N. Rodowick (1997), Paola Marrati (2003), Ronald Bogue

(2003), David Martin-Jones (2006) dan Felicity Colman (2011).

D.N. Rodowick dalam Gilles Deleuzes Time Machine memahami Cinema

1 dan Cinema 2 sebagai upaya tidak sadar Deleuze dalam mendistribusikan ulang

beberapa pertentangan dalam teori film sebelumnya, misalnya antara

realisme/modernisme, ilusionisme/materialisme, kontinuitas/diskontinuitas,

identifikasi/distansi. Lebih lanjut, Rodowick (1997: xi) meyakini bahwa Cinema 1

dan Cinema 2 lebih kontributif dibaca sebagai tantangan atas beberapa

pertentangan tersebut. Gilles Deleuzes Time Machine dengan demikian adalah

upaya Rodowick untuk memperluas pemikiran Deleuze tentang sinema sebagai

kritik konstruktif atas teori film sebelumnya. Buku Rodowick tersebut, alih-alih

ditujukan sebagai pengantar pemikiran Deleuze tentang sinema, juga ditujukan

sebagai klarifikasi bahwa Cinema 1 dan Cinema 2 adalah karya filsafat yang

diupayakan Deleuze untuk memahami perkembangan sinema dan teori sinema

secara umum. Rodowick menegaskan bahwa filsafat Deleuze tentang sinema

adalah filsafat tentang waktu (Rodowick, 1997: xiii).

Paola Marrati dalam Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy mengurai

beberapa hal dalam pemikiran Deleuze tentang sinema, misalnya kaitan antara

Cinema 1 dan Cinema 2 Deleuze dengan beberapa teori sinema, posisi filsafat dan

pertaruhan-pertaruhan filosofis dihadapan sinema, kemudian posisi Cinema 1 dan

Cinema 2 Deleuze ditinjau dari karya Deleuze secara keseluruhan. Marrati

8
menjelaskan bahwa Deleuze berupaya melawan dua pendekatan yang

mendominasi kajian sinema pada tahun 1980-an di Prancis dan beberapa negara

lain, misalnya Inggris dan Amerika. Pendekatan pertama yang dominan adalah

pendekatan realis dan fenomenologis dari Andre Bazin, sedangkan pendekatan

kedua adalah pendekatan linguistik dan psikoanalitik dari Cristian Metz (Marrati,

2003: 1).

Deleuze menolak realisme Bazin (Marrati, 2003: 1-2), karena kurang

mampu menjelaskan aspek temporal dari sinema, yakni waktu. Realisme Bazin

berangkat dari yang nampak atau aspek empirik dalam sinema, yakni fenomena.

Melalui fenomena inilah, Bazin terdorong untuk mendekati sinema secara

fenomenologis, alih-alih juga realis. Orientasi umum dari pendekatan

fenomenologis adalah merengkuh persepsi alamiah dengan cara menumpukan

pengetahuan pada subjek. Corak subjektif dari fenomenologi inilah yang justru

memustahilkan sinema dipahami secara objektif (Marrati, 2003: 2). Menghadapi

pendekatan realis dan fenomenologis Bazinian tersebut, Deleuze mengarahkan

diri pada analisis tentang waktu dalam sinema. Deleuze melandaskan analisisnya

dari konsepsi Bergson tentang waktu objektif. Waktu objektif secara konseptual

disebut Bergson sebagai durasi. Perlu diketahui, durasi dalam konteks Bergson

tidak cukup dipahami sebagai lamanya waktu. Durasi dalam konteks Bergson

adalah keberlangsungan. Kembali pada Deleuze, kendati mengadopsi konsepsi

Bergson, menurut Marrati (2003: 2-3) Deleuze tetap mengembangkan konsepsi

Bergson secara otentik. Deleuze mampu menerapkan konsepsi Bergson tentang

keberlangsungan dalam konteks perkembangan sinema.

9
Penolakan Deleuze atas pendekatan linguistik dan psikoanalitik Metzian

bersumber dari keraguan Deleuze bahwa linguistik hanya berpotensi untuk

mereduksi sinema pada praktik kebahasaan dan psikoanalitik mereduksi sinema

pada aspek kesadaran dan ketidaksadaran subjek. Dampak yang ditangkap

Deleuze dari pendekatan linguistik dan psikoanalik umumnya hampir sama

dengan pendekatan realis dan fenomenologis, yakni tidak mampu mencapai

pemahaman objektif tentang sinema. Dalam hal ini, Marrati (2003: 2) mengurai

bahwa proyek Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 adalah upaya ekstraksi atas

esensi sinema. Deleuze menggambarkan apa yang melekat pada sinema secara

khusus dan mengurai singularitas sinema dari imaji-imaji yang diproduksi sinema.

Deleuze mengklasifikasikan imaji-imaji sinema dalam dua imaji kunci,

yakni: imaji-gerak yang mewakili perkembangan sinema klasik dan imaji-waktu

yang mewakili perkembangan sinema modern. Marrati (2003: 3) mengatakan

bahwa masalah sentral yang diangkat Deleuze melalui pemilahan imaji-gerak dan

imaji-waktu adalah masalah representasi. Sinema sebagai entitas baru sekaligus

bentuk seni baru, tentu juga membawa masalah baru bagi pengetahuan. Sinema

bekerja dengan gerak semu yang pada mulanya diterima sebagai gerak nyata,

misalnya ketika Lumiere bersaudara mempresentasikan karyanya yang berjudul

L'arrive d'un train en gare de La Ciotat (Kedatangan Kereta dari Stasiun Ciotat),

penonton merunduk karena mengira bahwa kereta yang hadir di atas layar akan

meloncat keluar.

Ronald Bogue dalam Deleuze on Cinema mengkaji Cinema 1 dan Cinema

2 dengan berfokus pada eksposisi pemikiran Deleuze melalui beberapa sutradara

10
dan film yang diacu. Bogue menyatakan bahwa paparan Deleuze masih terlalu

alusif, artinya tidak selalu tereksplanasikan secara langsung, sehingga

membutuhkan penyelidikan lebih lanjut (2003: 2). Dalam Deleuze on Cinema,

Bogue lebih banyak melakukan peninjauan ulang atas beberapa kritikus dan

teorisi film yang disinggung Deleuze, juga argumentasi filosofis yang dibangun

Deleuze. Buku Deleuze on Cinema pada akhirnya, sebagaimana dinyatakan

Bogue, bertujuan untuk mendemonstrasikan koherensi dan originalitas pemikiran

Deleuze tentang sinema (Bogue, 2003: 3). Penulis berpendapat bahwa yang

menarik dari kajian Bogue adalah upayanya untuk menguraikan secara khusus

pengaruh Bergson pada Deleuze. Bogue (2003: 3) sangat menyadari bahwa tanpa

memahami konsepsi Bergson tentang waktu yang banyak diaplikasikan Deleuze

dalam Cinema 1 dan Cinema 2 akan berbuah pada obskuritas tersendiri.

Felicity Colman dalam Deleuze and Cinema: The Film Concepts

berkonstrasi pada uraian sejumlah konsep kunci Deleuze dalam Cinema 1 dan

Cinema 2. Tujuan Colman adalah untuk memahami konsepsi-konsepsi Deleuze

secara lebih detail. Colman tidak berhenti di situ, Colman juga coba

mengaplikasikan konsepsi Deleuze secara praktis. Colman merancang sistematika

bukunya dalam tiga tahap penjelasan. Pertama adalah paparan tentang apa itu

konsep x (misalnya, x adalah konsepsi Deleuze tentang imaji-gerak). Kedua

adalah bagaimana Deleuze menggunakan imaji-gerak. Ketiga adalah fungsi apa

yang dimiliki imaji-gerak (Colman, 2011: 5). Strategi Colman dalam memaparkan

dan membuktikan pengaplikasian teori Deleuze tentang sinema adalah pencapaian

tersendiri. Buku Colman bagi penulis adalah pengantar paling praktis dalam

11
memahami dan mengaplikasikan konsep-konsep Deleuze dalam Cinema 1 dan

Cinema 2. Lebih dari itu, Colman juga berhasil memperluas wilayah aplikasi

Cinema 1 dan Cinema 2 tidak terbatas pada sinema saja, tapi secara umum adalah

media layar yang memiliki kapasitas untuk menghadirkan imaji, suara dan gerak.

Colman mengeksplisitkan konsepsi Deleuze tentang sinema sebagai metode.

Colman (2011: 6) menyebutnya Deleuzian cin-system.

Berdasarkan uraian di atas, fokus penelitian penulis hampir mirip dengan

kajian Paola Marrati dalam Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy. Kendati

demikian perlu dicatat bahwa Marrati memang memfokuskan diri pada gagasan

sinema dan filsafat Deleuze. Lebih dari itu, Marrati juga banyak bertumpu pada

Cinema 1, Cinema 2, What is Philosophy? dan mengeksplorasi tiga teks tersebut

dalam konteks pengeksplisitan status ontologis sinema dan filsafat dari perspektif

Deleuze, namun Marrati melewatkan begitu saja pembahasan tentang relasi antara

sinema dan filsafat.

D. Landasan Teori

Relasi dalam bahasa Inggris disebut relation, dalam bahasa Latin disebut

relatio, yang artinya hubungan. Lorens Bagus mendefinisikan relasi dalam tiga

pengertian, yakni pertama, relasi adalah sebuah kaitan yang dimiliki suatu benda

dengan benda-benda lainnya atau suatu ide dengan ide-ide lainnya; kedua, relasi

adalah kualitas yang menjadi predikat dua hal atau lebih yang dapat direngkuh

sekaligus; ketiga, relasi adalah pengaturan dua hal atau lebih (Bagus, 2005: 946).

Berdasarkan tiga pengertian tersebut, penulis berpendapat bahwa relasi pada

12
intinya selalu lebih dulu mensyaratkan keberadaan dua entitas, baik itu berupa

benda ataupun ide, yang tanpa prasyarat tersebut relasi tidak akan ada

sebagaimana keberadaan akhirnya juga tidak akan mungkin, misalnya adanya

meja kayu lebih dulu mensyaratkan adanya batang kayu dan tukang kayu. Meja

kayu tidak mungkin ada tanpa didahului oleh relasi antara batang kayu dan tukang

kayu.

Relasi dibagi menjadi dua corak umum, yakni relasi eksternal dan relasi

internal. Pembagian ini muncul dalam diskursus ontologi. Apa yang dimaksud

relasi eksternal adalah relasi antara dua hal atau lebih yang tidak bersifat mutlak

atau tidak secara langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal lainnya,

misalnya relasi antara korek api dengan saku kemeja. Relasi korek api dengan

saku kemeja tidaklah hakiki. Keberadaan korek api tidak berpengaruh secara

langsung pada keberadaan saku kemeja. Korek api tetap menjadi korek api tanpa

harus berada di dalam saku kemjea, demikian sebaliknya, saku kemeja tetap

menjadi saku kemeja tanpa harus ada korek api di dalamnya. Relasi eksternal

dengan demikian adalah relasi yang bercorak relatif terhadap hakikatnya. Adapun

yang dimaksud dengan relasi internal adalah sebuah relasi antara dua hal atau

lebih yang bersifat mutlak atau langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal

lainnya, misalnya relasi antara jiwa dan tubuh manusia. Relasi keduanya bersifat

hakiki. Keberadaan tubuh manusia berpengaruh secara langsung dengan apa yang

disebut jiwa, sebab tanpa tubuh, jiwa tidak akan memiliki wadah, demikian

sebaliknya, tanpa jiwa, tubuh manusia tidak akan bermakna (Bagus, 2005: 947-

948).

13
Diskursus tentang relasi bermula dari pemikiran Aristoteles, kemudian

semakin mendapatkan kedudukan penting dalam ontologi abad ke-19 hingga

sekarang. Relasi-relasi dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara, misalnya

dengan cara melihat tingkatan relasi pada beberapa entitas yang berkaitan satu

sama lain. Kevin Mulligan dalam A Companion to Metaphysics mencontohkan

konsep relasi melalui gambaran beberapa orang yang duduk bersebelahan,

sebutlah beberpa orang itu adalah Maria, Sam dan Tom. Apa hubungan Maria

yang duduk lebih dekat dengan Sam ketimbang dengan Tom? Bisa jadi antara

Maria dan Sam memiliki derajat hubungan yang lebih intim ketimbang Maria dan

Tom, juga dengan laki-laki lain (Mulligan, 2005: 445). Mulligan menjelaskan

lebih lanjut bahwa beberapa relasi sesungguhnya memiliki variabel tertentu.

Beberapa relasi menunjukkan perbedaan susunan sifat, material atau formal.

Seorang nominalis memahami struktur relasi sebagai yang tidak dapat diualng

(non-repeatable), artinya relasi pada dasarnya bercorak partikular, sehingga tidak

ada satupun relasi yang mencakup segalanya. Berkebalikan dengan seorang anti-

nominalis yang beranggapan bahwa struktur relasi sesungguhnya bersifat

universal, artinya sebuah relasi antara dua entitas tertentu akan berdampak atau

berkait dengan entitas lain (Mulligan, 2005: 446). Seorang nominalis dengan

demikian lebih mengakui eksternalitas relasi, sedangkan seorang anti-nominalis

lebih condong pada internalitas relasi.

Louis O. Kattsof mengatakan bahwa dua hal dikatakatan berelasi jika dua

hal tersebut saling berkaitan atau ada koneksi antar keduanya, relasi itu sendiri,

menurut Kattsof adalah banyak macamnya, misalnya relasi dalam ruang, dalam

14
waktu, dalam kualitas, dalam kuantitas, dalam asal-usul keturunan. Secara

epistemologis, relasi dibagi menjadi dua bentuk, yakni relasi dari dalam dan relasi

dari luar (Kattsof, 2004: 56). Hal ini mirip dengan penjelasan penulis tentang

relasi eksternal dan relasi internal, perbedaannya hanya dari segi istilah. Kattsof

menyebut relasi internal sebagai relasi yang bercorak intrinsik dan relasi eksternal

sebagai relasi yang bercorak ekstrinsik. Lebih lanjut, Kattsof (2004: 57)

menambahkan bahwa pemikir yang mendasarkan diri pada relasi eksternal

digolongkan sebagai pendukung realisme, sedangkan pemikir yang mendasarkan

diri pada relasi internal merupakan pengikut idealisme.

Dalam filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas, relasi adalah salah satu

kategori yang muncul dari konteks pembagian hubungan substansi-aksidens.

Relasi adalah kategori yang bersifat membatasi subjek dalam kaitannya dengan

yang lain yang eksternal, misalnya hubungan ayah-anak, suami-istri, majikan-

buruh. Sebagai aksidens, relasi memiliki tiga unsur dasar, yakni: subjek, tujuan

dan dasar (Bagus, 1991: 133). Untuk lebih jelasnya, analogikan saja subjek adalah

bapak, sedangkan apa yang disebut bapak selalu mengacu atau diacukan kepada

yang lain, yakni anak. Apa yang disebut anak tersebut pada dasarnya berdiri

sebagai acuan atau tujuan subjek, sedangkan apa yang menjadi dasar dari relasi

subjek dan tujuan dalam konteks analogi bapak dan anak tersebut adalah kelahiran

(Bagus, 1991: 134).

Penulis mencatat setidaknya ada tiga jenis relasi, yakni relasi menurut

bentuknya, relasi menurut polanya, relasi menurut sifatnya. Pertama, apa yang

penulis maksud dengan relasi menurut bentuknya adalah relasi real dan relasi

15
ideal. Relasi real adalah relasi yang memang ada dalam kenyataan, misalnya

kebaikan dan keharmonisan dalam keluarga. Relasi ideal adalah relasi yang ada

dalam pikiran semata, misalnya relasi antara manusia dan tuhan yang hanya bisa

diandaikan dalam pikiran saja (Bagus, 1991: 134).

Kedua, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut polanya adalah

relasi sepihak dan relasi timbal balik. Relasi sepihak adalah relasi yang searah,

misalnya relasi antara yang mengetahui dan yang diketahui. Apa yang diketahui

dalam konteks relasi sepihak pada dasarnya tidak memberikan tambahan apa-apa

pada yang mengetahui, sebab yang diketahui diposisikan sebagai objek mati.

Relasi timbal balik adalah relasi antara dua hal yang saling mengandaikan,

misalnya seorang baru disebut bapak ketika mempunyai anak. Anak disebut anak

karena mempunyai bapak. Anak ada karena bapak ada (Bagus, 1991: 134-135).

Ketiga, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut sifatnya adalah

relasi predikamental dan relasi transendental. Relasi predikamental adalah relasi

mental yang mengacu pada ciri fisik tertentu, misalnya sifat kebapakan yang

mengandaikan manusia laki-laki atau persisnya laki-laki yang menjadi bapak.

Relasi transendental adalah relasi yang membentuk subjek itu sendiri, misalnya

relasi antara materi dan bentuk yang mengemuka pada kenyataan. Materi sebagai

materi karena ada kemungkinan menjadi bentuk. Dalam konteks relasi

transendental, materi dianggap tidak bisa berdiri sendiri sebagai materi, demikian

juga dengan bentuk. Kesatuan antara materi dan bentuk inilah yang menyebabkan

keberadaan entitas seperti meja, komputer dan celana sebagai realitas konkret

(Bagus, 1991: 135).

16
Archie J. Bahm dalam Metaphysics: An Introduction mengatakan bahwa

relasi melibatkan entitas terkait dalam beberapa persamaan dan perbedaan (Bahm,

1986: 72). Bahm dengan demikian memahami bahwa dua entitas dikatan berelasi

jika memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Hal ini dengan kata lain, jika

sebuah entitas memiliki persamaan total dan perbedaan total dengan entitas lain,

maka entitas tersebut sebagaimana dinyatakan Bahm, justru tidak memiliki relasi

sama sekali dengan entitas lain (Bahm, 1986: 72). Entitas tersebut adalah entitas

yang berdiri sendiri. Entitas dengan ciri yang demikian itu pada kenyataannya

sukar untuk ditunjuk dan dibuktikan keberadaannya. Bahm menguraikan lebih

lanjut tentang beberapa kategori relasi, salah satunya adalah antara kesebagian

dan keseluruhan. Keseluruhan, demikian tulis Bahm, adalah selalu keseluruhan

dari kesebagian dan kesebagian adalah selalu bagian-bagian dari keseluruhan

(Bahm, 1986: 73).

Deleuze dalam salah satu esainya tentang David Hume memahami relasi

sebagai nilai yang diretas dari sebuah impresi yang terberi untuk sebuah idea yang

tidak terberi, dengan demikian, relasi harus dikreasi. Relasi harus dikreasi menjadi

idea tentang relasi. Deleuze menambahkan bahwa relasi adalah sebuah efek dari

apa yang dinamakan prinsip-prinsip kebersatuan, kebersinggungan, kemiripan,

hubungan sebab-akibat yang mendasari alam manusia (Deleuze, 2001: 39; 2004:

164), sedangkan dalam Negotiation, Deleuze mengatakan bahwa relasi antara

sinema dan filsafat adalah relasi antara imaji dan konsep (Deleuze, 1995: 64).

Deleuze dengan demikian melihat bahwa relasi antara imaji dan konsep identik

dengan relasi filsafat dan sinema. Berdasarkan uraian tersebut, landasan teori yang

17
umumnya akan penulis gunakan sebagai pisau analisis adalah teori tentang jenis-

jenis relasi. Teori tersebut akan penulis operasikan dalam konteks pembacaan

relasi antara filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze.

E. Metode Penelitian

a. Materi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengandalkan kajian

pustaka. Merujuk Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair dalam

Metodologi Penelitian Filsafat, penelitian penulis lebih condong pada model

penelitian historis faktual mengenai naskah atau buku (1990: 67-71). Penulis

menempatkan tiga buku Gilles Deleuze, yakni Cinema 1, Cinema 2 dan What

is Philosophy? sebagai objek penelitian.

Penulis mengklasifikasikan pustaka menjadi dua jenis, yakni pustaka

primer dan pustaka sekunder. Pustaka primer adalah teks-teks yang ditulis

Deleuze dan berkaitan lsngdunh dengan objek penelitian. Pustaka yang

penulis maksud sebagai berikut:

a. Deleuze, Gilles, 2005, Cinema 1: The Movement-Image, trans. Hugh

Tomlinson & Barbara Habberjam, Continuum, London & New York.

Sebagai pembanding, akan digunakan juga versi Prancis: Deleuze,

Gilles, 1983, Cinma 1: LImage-Mouvement, Les ditions De Minuit,

Paris.

18
b. _____________, 2005, Cinema 2: The Time-Image, trans. Hugh

Tomlinson & Robert Galeta, Continuum, London & New York.

Sebagai pembanding, akan digunakan juga versi Prancis: Deleuze,

Gilles, 1985, Cinma 2: LImage-Temps, Les ditions De Minuit,

Paris.

c. _____________ & Flix Guattari, 2004, What is Philosophy?:

Reinterpretasi atas Filsafat, Sains dan Seni, terj. Muh. Indra Purnama,

Jalasutra, Yogyakarta. Sebagai pembanding, akan digunakan juga versi

Prancis: Deleuze, Gilles & Flix Guattari, 1991 Quest-Ce Que La

Philosophie?, Les ditions De Minuit, Paris.

Pustaka sekunder adalah pustak kedua atau pustaka para pengkaji

Deleuze yang berguna sebagai pengantar dalam memahami kompleksitas

pemikiran Deleuze. Pustaka yang penulis maksud sebagai berikut:

a. Bogue, Ronald, 2003, Deleuze on Cinema, Routledge, London & New

York.

b. Colebrook, Claire, 2002, Gilles Deleuze, Routledge, London & New

York.

c. Colman, Felicity, 2011, Deleuze and Cinema: The Film Concepts,

Berg, New York.

19
d. Flaxman, Gregory (ed.), The Brain Is the Screen: Deleuze and The

Philosophy of Cinema, University of Minnesota Press, Minneapolis &

London.

e. Khalfa, Jean (ed.), 1999, An Introduction to the Philosophy of Gilles

Deleuze, Continuum, London & New York.

f. Marrati, Paola, 2004, Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy, trans.

Alisa Hartz, The Johns Hopkins University Press, Baltimore.

g. Parr, Adrian (ed.), 2005, The Deleuze Dictionary, Edinburgh

University Press, Edinburgh.

h. Sasso, Robert & Arnaud Villani (ed.), 2003, Le Vocabulaire de Gilles

Deleuze, Le Cahiers de Noesis, Paris.

i. Mohamad Panji Wibowo, Januari 2002, Gerak-Waktu-Imaji Gilles

Deleuze dalam Sinema, dalam Percah-Percah Postmodernisme,

Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XXV, No. 3, Jakarta.

j. Jaegwon, Kim et.al., 2009, A Companion to Metaphysics, Wiley-

Blackwell, United Kingdom.

k. Bagus, Lorens, 1991, Metafisika, Gramedia, Jakarta.

l. Bahm, Archie J., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper & Row,

Albuquerque.

Penulis juga akan menggunakan sumber lain yang tentu saja akan

memperkaya khazanah penelitian. Sumber lain yang penulis maksud adalah

20
teks-teks umum tentang teori-teori film, sejarah filsafat dan sejarah sinema,

baik itu buku ataupun jurnal, baik dalam wujud cetak atau digital.

b. Jalan Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dalam empat tahap:

1. Inventarisasi

Penulis akan mengumpulkan materi penelitian, yakni pustaka-

pustaka yang terkait dengan objek penelitian, baik yang sifatnya

primer ataupun sekunder.

2. Klasifikasi

Penulis akan memilih dan memilah pustaka primer dan pustaka

sekunder, juga pustaka lain-lain yang mendukung jalannya

penelitian.

3. Analisis

Penulis akan mengurai pustaka primer dan pustaka sekunder dengan

perangkat metodis yang mampu mengantarkan penulis pada tujuan

penelitian.

c. Analisis Data

Metode yang penulis gunakan dalam menganilis data-data penelitian

adalah hermeneutika-filosofis dengan perangkat metodis sebagai berikut:

1. Interpretasi

Melakukan interpretasi mendalam guna menangkap arti dari

beberapa konsep kunci Gilles Deleuze tentang sinema dan filsafat.

21
2. Koherensi intern

Penulis akan melihat dan menyelaraskan diri dengan alur

argumentasi dan konsepsi Gilles Deleuze tentang sinema dan filsafat.

3. Holistika

Penulis akan melihat konsepsi pemikiran Deleuze yang integral dan

relasional dengan pemikiran Gilles Deleuze secara keseluruhan.

4. Deskripsi

Penulis akan melakukan pemaparan tentang hasil pemahaman

penulis secara sistematis.

F. Hasil Yang Dicapai

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah mampu memperoleh jawaban

dari persoalan yang telah disampaikan dalam rumusan masalah, yaitu:

1. Mendapat paparan yang jelas tentang filsafat menurut Gilles Deleuze.

2. Mendapat paparan yang jelas tentang sinema menurut Gilles Deleuze.

3. Mendapat paparan dan pembuktian yang jelas dan meyakinkan tentang relasi

filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab berikut:

Bab I merupakan bagian pendahuluan. Bagian pendahuluan tersebut

meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat

22
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode

penelitian yang digunakan.

Bab II merupakan bagian yang dikhususkan untuk menjawab rumusan

masalah pertama. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran

Deleuze tentang filsafat. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab,

yakni: pertama, paparan tentang biografi dan posisi filsafat Gilles Deleuze; kedua,

paparan tentang karya dan kontribusi Gilles Deleuze sebelum Anti-Oedipus;

ketiga, penjelasan Gilles Deleuze tentang filsuf sebagai persona konseptual dan

filsafat sebagai aktivitas penciptaan konsep; keempat, penjelasan Gilles Deleuze

tentang tantangan filsafat sebagai tantangan penciptaan konsep; kelima, poin-poin

kesimpulan tentang filsafat menurut Gilles Deleuze.

Bab III merupakan bagian yang dikhususkan untuk menjawab rumusan

masalah kedua. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran

Gilles Deleuze tentang sinema. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam empat

sub-bab, yakni: pertama, kontribusi Deleuze dalam Sinema; kedua, konstruksi

teoritik Deleuze; ketiga, Cinema 1 dan Cinema 2 sebagai karya filsafat; keempat,

Cinema 1 sebagai imaji-gerak; kelima, Cinema 2 sebagai imaji-waktu; keenam,

kesimpulan tentang sinema menurut Deleuze.

Bab IV merupakan bagian yang dikhususkan untuk menjawab rumusan

masalah ketiga. Bagian ini secara umum merupakan sintesis dari Bab II dan III.

Penulis akan mengurai relasi sinema dan filsafat menurut Gilles Deleuze. Bab ini

secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab, yakni: pertama, penciptaan konsep

sebagai ontologi filsafat Deleuze; kedua, penciptaan imaji sebagai ontologi

23
sinema Deleuze; ketiga, kesimpulan tentang relasi filsafat dan sinema menurut

Deleuze.

Bab V merupakan bagian kesimpulan atau bagian penutup yang meliputi

dua sub-bab berikut: kesimpulan dan saran. Penulis dalam sub-bab kesimpulan

akan mengurai beberapa poin pokok yang menjadi hasil penelitian atau pokok

jawaban dari tiga rumusan masalah. Penulis dalam sub-bab saran akan

memaparkan sedikit evaluasi kritis atas hasil penelitian. Tujuan penulis agar

penelitian serupa tetap terbuka.

24

Anda mungkin juga menyukai