Anda di halaman 1dari 9

MAUMERE CINEMA DAN IDENTITAS IPSE:

MEMBACA REALITAS FILM DARI PERSPEKTIF FILSAFAT


Oleh Felix Baghi svd
STFK Ledalero

Pendahuluan

Komunitas KAHE lewat manajer program, Mario Nuwa, mengundang saya untuk
memberi tanggapan atas dua film dengan kategori dokumenter pendek. Kedua film itu
adalah Ula-Ula (durasi 37 menit) dan Mona, Bergerak dari Pinggir (durasi 12
menit). KAHE menempatkan tafsiran atas kedua film itu dalam tema Membingkai
Identitas. Namun hal yang menarik, tema ini masuk dalam kerangka umum dari
seluruh kegiatan dengan inspirasi pada nilai esensial dari kehidupan yang disebut
Tumbuh. Atas dasar itu, saya berbicara dari perspektif filsafat dan sorotan saya
adalah murni filosofis sambil tetap terbuka terhadap dimensi lain.

Film dan Filsafat

Hubungan film dan filsafat dapat membuka banyak kemungkinan untuk ditafsir. Ia
bisa berarti film ditinju dari perspektif filsafat. Bisa juga berarti berfilsafat tentang
film. Katakanlah filsafat film. Film dari perspektif filsafat berarti kita menjadikan
filsafat sebagai teropong untuk melihat realitas film. Kita berpikir tentang film secara
filosofis.

Ada cara lain memandang. Kita juga bisa melihat film sebagai suatu cara berfilsafat,
(film as philosophy /FAP) film mengajak kita untuk berpikir. Film adalah suatu
realitas di mana kita berpikir tentang sesuatu. Artinya untuk dapat berpikir, kita bisa
menempuh jalan yang ditawarkan filem. Dengan perkataan lain, film mengajarkan
kita untuk berpikir tentang suatu kenyataan atau tentang suatu fiksi.

Film, in se, adalah suatu realitas, dan lewat realitas itu kita diundang untuk masuk ke
dalam realitas yang dihadirkannya. Film menyajikan semacam ways of seeing. Ada
cara-cara, ada banyak kemungkinan dan juga banyak akses yang kaya di dalam film
untuk mengerti suatu realitas.

Film Sebagai Filsafat

Dewasa ini orang berbicara tentang FAP1 sebagai kemungkinan di mana filem
memberi kontribusi bagi filsafat. Sama seperti orang membaca novel, menyelami
suatu teks ilmiah untuk mengerti makna, demikian juga ketika kita menonton film,
kita dihantar ke dunia makna.

Selain itu, untuk melihat film dari perspektif filsafat, kita perlu memiliki keyakinan
yang baik bahwa realitas film adalah realitas yang menawarkan cara unik untuk
berpikir. Gillez Deleuze berkata film is a new form of thinking, karena film

1 BdkTom Mcclelland, “The Philosophy of Film and Film as Philosophy” dalam University of
Cambridge, February 2018, http://www.researchgate.net/publication/322931669.

1
menghadirkan cara-cara yang boleh sangat asing, dan menghantar kita ke imaji. Imaji
itu menjembatani mental reality dan material reality.

Skenario dalam film biasanya dalam bentuk gambar dan narasi, namun gambar narasi
itu dapat menimbulkan persoalan epistemik karena protagonisnya berbicara tentang
kehidupannya secara tunggal. Apalagi beberapa protagonist berasal dari kelompok
etnis yang sama. Tentu, pandangan yang sedikit skeptik ini memiliki aspek positif
dalam hal fungsinya yang popular sebab melaluinya kita bisa menangkap ilustrasi dan
ide-ide serta simbol-simbol yang kaya makna.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia filsafat, saya tetap memandang film
secara positif dari segi kegunaannya. Film mengkomunikasi prapengandaian atau
presuposisi tentang hal-hal yang akan membawa kita ke tingkatan refleksi yang lebih
ilmiah dan argumentatip. Film bisa mengajak kita untuk memulai dari mitos, legenda,
dari kisah, dongeng, dari hal-hal yang irasional menuju logos, bahasa, cara berpikir
dan kemampuan rasionalitas yang membuka banyak sekali kemungkinan untuk
memahami makna realitas hidup manusia secara memadai.

Film adalah jendela (active place), tempat di mana kita memandang kehidupan,
menemukan makna atau ide-ide filosofis yang direfleksikan secara baik. Namun
meski demikian kita tetap terbuka terhadap persoalan umum ketika kita berhadapan
dengan film apa saja. Filsafat biasanya bergumul dengan persoalan umum seperti apa
itu pengetahuan, dan persoalan ini menutut suatu jawaban seperti, pengetahuan adalah
suatu justifikasi kebenaran yang dipegangteguh sebagai keyakinan di dalam hidup.

Narasi dalam film menghadirkan skenario tertentu (nyata atau fiktif) dan skenario itu
memiliki makna tersendiri. Makna dalam film tidak dapat melampaui batas-batas
skenario yang dihadirkan film. Misalnya film dokumenter pendek Ula-Ula dari Eka
menawakan suatu dunia nyata, dunia kehidupan (actual world) suku Bajo di Wuring –
Maumere. Namun, jika skenario itu diinterpretasi lebih jauh, boleh jadi, makna dunia
nyata suku Bajo di Wuring dapat membawa kita ke apa yang disebut kemungkinan-
kemungkinan yang membentuk dunia baru (the possible world).

Hal yang sangat penting adalah bagaimana menerjemahkan makna yang dihadirkan
film (makna implisit), mengingat lewat film kita sering berhadapan dengan
representasi visual, gambar, aktivitas, keseharian, yang semuanya membutuhkan
ketepatan konseptual dari perspektif linguistik untuk menjelaskan secara baik. Jika
yang nyata (the real) adalah apa yang dapat kita lihat, rasakan, dengar, persepsi,
karena itu, yang nyata hanyalah suatu signal, tanda yang membawa kita untuk
menyelami makna yang tersembunyi (the possible) di balik yang nyata itu. Tentang
hal ini, Ricoeur berbicara tentang hidden nucleus, inti tersembunyi dari setiap
kenyataan hidup yang harus dijaga.

Persoalan yang paling mendasark dari setiap cinema adalah bagaimana


mengekspresikan pikiran. Klaim-klaim filsafat bahwa setiap pengetahuan harus
dijustifikasi lewat keyakinan akan kebenaran tertentu, makan hal ini hanya mungkin
lewat ketepatan makna (precision) yang dihadirkan dalam klaim-klaim itu. Ada
kecemasan bahwa film tidak menghadirkan dimensi ketepatan dan tidak sanggup
mempertahankan klaim ketepatan yang menjadi ciri epistemik dalam dunia
pengetahuan dan filsafat pada umumnya.

2
Filsafat mengutamakan pemikiran sistimatis, tetapi film tidak menampilkan kekuatan
di dalam dirinya untuk menawarkan isi melalui cara yang sistimatis. Pemikiran
filosofis menuntut secara esensial argumen-argumen untuk membenarkan klaim-
klaimnya, sementara film tidak berkecimpung dengan dengan argument-argumen
formal sehingga orang dapat saja berkata narrative films are not arguments.2 Apakah
ini berarti bahwa kita begitu saja terima dan yakin bahwa realitas film amat jauh dari
cara berpikir filosofis? Persoalan ini dapat dijawab dengan melihat kemungkinan
bahwa film mengandung makna tersendiri dan makna itu memberi kita ruang untuk
ditafsir. Hal ini dapat dijadikan sebagai kontribusi film bagi filsafat.

Memang kita tidak begitu saja dengan gampang menggunakan narasi-narasi film
untuk menjustifikasi klaim-klaim tertentu. Situasi imajinasi dalam film tidak serta
merta menjadi data pendukung apalagi film menghadirkan skenario fiksional tertentu.
Namun kita tetap terbuka terhadap kemungkinan bahwa narasi dalam film adalah
premis-premis yang mengimplikasikan argumen dan konklusi tertentu. Dengan kata
lain, narasi yang bersifat eksplisti dapat memiliki makna filosofis secara implisit.

Narasi-narasi yang ada di dalam film adalah eksperimen pikiran tertentu dan pikiran
itu boleh jadi dapat merupakan suatu argumen filosofis untuk menjustifikasi suatu
kenyataan hidup tertentu. Dalam filsafat, khususnya dalam hermeneutika, eksperimen
pikiran lewat narasi amat penting. Paul Ricoeur menulis tiga volume Time and
Narrative untuk memberi penekanan esensial tentang narasi sebagai bagian dari jati
diri dan identitas manusia. Namun untuk mengerti narasi kehidupan dengan baik, kita
perlu juga memiliki kapasitas untuk menafsir setiap bentuk metafora yang ada di
dalam kehidupan manusia.

Oleh karena itu, sejak awal saya katakan bahwa film menghadirkan suatu dunia untuk
ditafsir namun tugas kita adalah membawa pesan makna dari film dari lapisan mitos
ke lapisan logos agar kita sanggup memahami jati diri dan identitas kita sebagai
manusia. Hal ini hanya dapat dicapai jika kita mempunyai kesanggupan menafsir
setiap pesan simbol dengan baik.

Peranan Simbol

Untuk membaca fenomen kebudayaan, peranan simbol amat penting karena symbol
gives rise to thought.3 Artinya simbol menggerakkan pikiran. Ia memberi suplemen
pada pikiran. Simbol mendatangkan pemberian bagi pikiran. Simbol membuat pikiran
berpikir dengan tanpa menenggelamkan pikiran ke dalam simbol. Pikiran bukan
realitas pertama. Tidak ada yang mendahului pikiran selain simbol.

Simbol adalah satu elemen yang mendahului rasio karena ia menyiapkan kesempatan
untuk berpikir. Yang dipikirkan pikiran adalah makna yang dihadirkan simbol. Secara
eksistensial, kita senantiasa berkorelasi dengan realitas, dengan kenyataan hidup,
keterbatasan, penderitaan, kerapuhan, kelemahan, keterlukaan, yang seringkali
membawa kita kembali kepada peranan simbol dan mitos yang kaya makna.


2
Ibid. 16.
3
Paul Ricoeur, The symbolism of Evil, trans. Emerson Buchmann, New York: Harper and Row, 1967.
348

3
Dalam hidup ini, pesan simbol mencakup banyak ekspresi yang menghadirkan
bentuk-bentuk tanggungjawab yang bersifat imperatif, nasihat, kebiasaan, tradisi,
arahan dan narasi sebagai dasar kekuatan hidup, nyanyian pujian tentang sentimen
moral tertentu, kekaguman, pujaan, rasa bersalah, penyesalan, rasa malu, belaskasih,
kesendirian, keharuan, dan lain sebagainya. Semuanya membentuk skema kewajiban
yang di dalamnya terungkap suatu bentuk pengakuan diri sebagai anggota komunitas.

Agar dapat memahami pesan simbolis, baiklah diperhatikan tiga peranan simbol
berikut ini. Pertama, simbol sebagai suatu tanda pengakuan. 4 Pesan simbol selalu
merupakan sesuatu yang dapat dibagikan, artinya setiap pesan simbol memiliki
dimensi dialogal. Kesanggupan memasuki suatu pesan simbol berarti terbuka
kemungkinan secara korelatif untuk dapat masuk ke dalam pesan-pesan yang
memberi dampak pada pengakuan.

Kedua, soal netralitas simbol dalam kaitan dengan bayangan tentang perspektif yang
lain dan afirmasi kehidupan orang lain sebagai suatu kehidupan yang layak
sebagaimana kehidupan saya.5 Hal ini menuntut kesanggupan untuk menerima dua
pandangan ini yaitu mengimajinasikan perspektif yang lain dan mengafirmasikan
setiap kehidupan yang lain sebagai suatu kehidupan yang layak sebagaimana
kehidupan saya. Sebagai agen dari setiap tindakan, setiap kita sanggup menerima hal
ini, khusus dalam situasi konflik agar kita memiliki keyakinan moral.

Ketiga, berkenaan dengan kesanggupan untuk masuk ke dalam pesan simbol,


seseorang sebagai agen perbuatan memiliki kapasitas untuk bertindak atas dasar
aturan keadilan dan aturan itu sesuai pilihan pribadi.6 Hal ini menemukan aspek yang
paling dasariah dalam ekspresi misalnya: tidak wajar! tidak adil! sebagai reaksi
spontan ketika berhadapan dengan suatu kenyataan yang tidak baik dalam komunitas.
Reaksi spontan seperti ini digambarkan Rawls sebagai original position, suatu situasi
awal yang memungkinkan aturan keadilan. Situasi awal ini ditandai oleh apa yang
Rawls sebut veil of ignorance atau selubung ketidaktahuan di mana orang-orang
belum mempunyai pengetahuan tentang fakta-fakta atas diri mereka atau fakta tentang
lingkungan di sekitar mereka. Untuk sampai pada pengetahuan, baik tentang diri
maupun situasi, seseorang harus masuk dalam kesadaran akan situasi dengan
semangat pengakuan yang mutual dan sesuai persetujuan bersama.7

Perlu ada usaha untuk menyetujui tuntutan terhadap keadilan dengan komitmen yang
tinggi yang melampaui prinsip-prinsip kegunaan yang lain. Ini berkenaan dengan
kesanggupan untuk melakukan kebaikan dan keadilan bagi sesama. Usaha ini harus
melewati pemahaman bersama melalui keputusan-keputusan yang dipertimbangkan
(considered judgments) dengan kekuatan akal budi praktis dan atas dasar nilai
keadilan dan kebenaran. 8 Kita memperhitungkan kesanggupan untuk mengakui,
kesanggupan untuk bersikap netral (impartiality), kesanggupan untuk bersikap fair.
Semuanya membentuk kemampuan kita untuk masuk ke dalam pesan-pesan simbolis

4
Paul Ricoeur, Philosophical Anthropology, Writings and Lectures, 272.
5
Ibid., 273.
6
Ibid.
7
John Rawls, Justice as Fairness, a Restatement, Erin Kelly (ed.), Cambridge, Massachusetts: Harvard
University Press, 2003, 14.
8
Paul Ricoeur, Philosophical Anthropology, Writings and Lectures, 274.

4
yang memungkinkan pemahaman kita yang lebih konkret bagaimana kita menjadi
agen yang bertanggungjawab atas tindakan atau perbuatan kita sendiri.9

Prosedur Kebenaran

Sebagai suatu cara berpikir, di dalam film terdapat suatu prosedur kebenaran. Film
menawarkan kebenaran tersendiri. Sebagaimana politik, ilmu pengetahuan memiliki
kebenaran, demikian juga film. Film menyajikan kebenaran tertentu dari realitas.

Hemat saya, film membuka suatu jalan. Jalan itu adalah akses menuju sesuatu yang
sedang terjadi. Ini ada hubungan dengan event, kejadian kebenaraan dalam hidup.
Oleh karena itu, aspek sentral dalam film adalah cultural phenomenon yang sedang
terjadi di dalam masyarakat seperti perkawinan, keluarga, pertanian, perlautan, ,
pendidikan, peperangan, konflik, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Sebagai fenomen kebudayaan, film memiliki relasi dengan politik, ekonomi, dan juga
diskursus publik. Tentu, hal ini tidak serta merta membawa kita ke dalam dunia
perbincangan tentang politik film atau politisasi film. Hal yang dapat digarisbawahi
yaitu ada semacam ide-ide dalam film yang bersifat politis (cinematic idea). Ada
nilai-nilai atau pesan tertentu yang membuat film menjadi politis serta menciptakan
suatu dunia tertentu.

Bagaimana dengan realitas politik kita? Kita sedang mengalami semacam dilemma.
Dilemma yang menjebak kita ke dalam dialektika dan identitas dan direfensiasi.
Politik kita sekarang adalah politik identitas dan politik diferensiasi. Dualisme politik
ini merupakan fakta yang perlu dikaji dari perspektif pluralitas, yaitu adanya keadaran
tentang koeksistensi di tengah perbedaan.

Apa yang sering terjadi adalah kecurigaan terhadap fakta pluralitas dan perbedaan
sebagai sumber konflik. Politik identitas itu buta terhadap identitas. Derrida berbicara
tentang diffērance sebagai kondisi umum yang sedang menguasai kita sekarang.
Kondisi ini ditandai misalnya oleh kondisi bahasa yang dibentuk dari ruang dan
perbedaan-perbedaan (differences). Selain itu diffrérance ditandai oleh kekhususan
pembicaraan (speech) yang menandakan ciri perbedaan tersendiri; dan menunjukan
juga bagaimana penanda (signifier) memperlihatkan perbedaan dari hal-hal yang
lain.10

Resiko politik differend dalam pandangan Lyotard adalah terjadinya kenyataan buta
terhadap yang lain, kebutaan yang dapat mengakibatkan, meminjam kata-kata
Levinas, totalité yaitu totalitas diri yang hidup dari keangkuhan ego yang dibangun
atas dasar prinsip-prinsip identitas diri yang semu.
Kita perlu merasa yakin bahwa dalam suatu ruang publik yang demokratis, hak untuk
berbeda dan kewajiban untuk berintegrasi adalah bagian dari kehiupdan kita. Dalam
liberalisme politik modern, ini adalah dari suatu tanda dari well-ordered society dalam
suatu masyarakat yang sudah dewasa dalam berdemokrasi.


9
Ibid.
10
John D Caputo, What Would Jesus Deconstruct? Michigan: Baker Akademic,2007, 144

5
Film Dokumenter Ula-Ula dan Mona: Bergerak dari Pinggir

Secara pribadi saya tertarik dengan tema ini. Namun ketertarikan itu harus diuji lebih
jauh dari perspektif filsafat kritik. Dua film dokumneter itu dibangun dengan skenario
kehidupan orang Wuring. Panji Ula-Ula digambarkan sebagai simbol yang
mengandung di dalamnya ritus sekelomok orang yang merasa diri memiliki identitas
etnis Bajo, yang berkembang dari awal abad 19 sampai sekarang. Namun yang
menarik, Haji Adam membuat suatu klaim bahwa identitas suku Bajo di Wuring ini
tidak murni dari satu suku saja. Orang Bajo di Wuring sudah membaur dengan orang
Bugis, Makasar, Butung, Jawa, Lombok dan lain sebagainya, yang kalau dilihat,
orang-orang dari suku yang lain itu (non Bajo) datang dan tinggal di Wuring dengan
latar belakang budaya yang berbeda. Apakah eksistensi mereka tenggelam atau
sengaja ditenggelamkan dalam eksklusivisme suku Bajo yang mayoritas? Bagaimana
mereka mengeskpresikan eksistensi mereka di Wuring? Apakah mereka menerima
dan mengakui begitu saja mayoritas etnis Bajo di wilayah itu? Apakah pernah terjadi
intoleransi berbasis etnis di sana? Atau bagaimana?

Tentang Panji Ula-Ula. Setiap etnis apapun memiliki simbol. Simbol selalu berbicara
tentang makna tertentu. Simbol bisa menghadirkan mytiho-poetic nucleus untuk
ditafsir lebih jauh. Hemat saya, penafsiran atas simbol dari suatu etnis jauh lebih
penting dari fenomen sosial apapun mengingat makna simbol yang sangat terbuka.
Seperti yang saya jelaskan dari perspketif hermeneutika Ricoeur, bahwa simbol
memungkinkan pikiran untuk menyelam lebih dalam kedua makna yang tersembunyi
di balik simbol itu. Lewat simbol, pikiran manusia digerakkan, ditarik dan bahkan
diundang masuk ke dalam lapisan tersembunyi di balik simbol. Bisa jadi, lewat
simbol kita dihantar ke lapisan psikis yang paling dalam dari suatu suku karena
simbol berbicara tentang apa yang disebut hidden nucleus, inti terdalam atau sari pati
tersembunyi yang terus hidup dan akan terus dijaga oleh suatu etnis tertentu.
Persoalan mendasar di sini adalah bagaimana menangkap setiap hidden nucleus suatu
kebudayaan lewat pesan-pesan simbol dan selalu ditafsir baru untuk pembaharuan
hidup ke depan. Di sini, peranan narasi dan kemampuan membaca setiap tindakan dan
perbuatan harian amat esensial karena narasi memberi dasar bagi praksis hidup, dan
sebaliknya setiap tindakan dan perbuatan (ritus) menyiapkan bahan untuk narasi. Hal
ini memang dihadirkan secara baik dalam film dokumenter Ula-Ula itu.

Tentang Mona, saya membicarakannya dari perspektif yang sama yaitu soal identitas
dan jati diri. Tafisran atas cara hidup dan bahasa yang keluar dari kelompok Warkas
adalah amat penting untuk memahami hak-hak mereka dari dalam. Ini ada hubungan
dengan hak asasi untuk berada sebagaimana adanya di ruang publik. Tafsiran atas
pantun-pantun dan kesanggupan membaca tindakan ritual perkawinan adat suku Bajo
yang dibaurkan dengan tradisi Islam dapat membawa kita ke inti terdalam identitas
orang Wuring yang saya tempatkan di sini sebagai identitas ipse.

Identitas Ipse

Dengan identitas ipse saya bermaksud melihat identitas dan jati diri orang Wuring
dari persepektif yang dinamis, fleksibel, terbuka. Dari film pendek itu, kita dapat
mengetahui bahwa suku Wuring memiliki kisah tersendiri. Kisah itu dapat dibaca dari
bahasa dan tindakan mereka yang khas etnis Bajo di Wuring. Ketika mendengar Haji
Adam berbicara, Gonggo Asa mengisahkan dan Pamang Lamong berceritera, yang

6
kita dengar adalah bagaimana mereka menginterpretasi diri mereka, hidup mereka,
atau dunia mereka pada umumnya. Ini adalah kemungkinan yang paling akhir yang
melaluinya seseorang mengerti dirinya dan memahami kehidupan mereka secara
personal baik dari aspek-aspek yang terbatas maupun yang tidak terbatas, dari
kenyataan hidup yang pahit maupun yang manis.

Mereka menafsir diri mereka, mengerti kehidupan sendiri, lewat bahasa mereka dan
melalui tindakan ritual yang telah lama menjadi bagian dari budaya mereka. Identitas
ipse berkenaan dengan kemampuan pribadi untuk menafsir kehidupan sendiri.
Kemampuan ini secara luas berkenaan dengan rencana hidup, proyek dan kapasitas
membangun niat-niat hidup ke depan. Rencana ini bertolah dari kisah masa lampau,
sejarah, mitos, dongeng, yang dihidupkan dan terus dijadikan sebagai dasar untuk
membangun kehidupan yang lebih baik ke depan. Dalam identitas ipse, di sana ada
janji yang dibuat ke dalam. Janji itu berkenaan dengan rencana untuk membentuk diri
dan hidup bersama dalam kelompok.

Identitas ipse menggambarkan pengalaman reflektif tentang diri, tentang kelompok,


tentang agama sendiri yang bertumbuh di tengah realitas yang plural. Identitas ini
dibentuk dalam jaringan sosial yang luas, dan bertumbuh demi pembentukan
kesadaran moral tentang diri dan tentang kelompok ke dalam.

Kisah tentang suku Bajo di Wuring adalah kisah tentang jati diri, identitas pribadi,
kelompok yang hidup dalam suatu komunitas etnis. Mereka merasa ada kekuatan in-
group selama mereka bertumbuh dari dari hidden nucleus yang sama. Mereka
memiliki kekayaan semantik tersendiri yang tidak mungkin dimengerti oleh orang
lain.

Etika Pengakuan

Aspek lain yang hendak disoroti di sini adalah etika pengakuan dan alteritas. Yang
dimaksudkan dengan etika adalah prinsip hidup yang berbunyi “cita-cita akan hidup
baik bersama dengan dan untuk yang lain dalam institusi-institusi yang adil.” 11
Pengertian ini mengandung tiga unsur penting yang perlu dijelaskan. Pertama,
perhatian atas martabat pribadi; kedua, perhatian terhadap martabat sesama; dan
ketiga, institusi yang adil. Ketiga struktur ini menyatukan aspek martabat diri yang
bercita-cita untuk hidup baik, aspek relasi dan tanggunjawab sosial yang dibangun
bersama, dan aspek hukum yuridis yang diatur melalui institusi yang adil.
Tiga aspek penting seperti kesanggupan berbicara, kesanggupan bertindak dan
bernarasi, semuanya adalah subjek etika. Di sini etika diartikan sebagai refleksi
tentang baik buruknya tindakan dan perkataan manusia, dan refleksi ini menempatkan
manusia sebagai sumber pembicaraan, sebagai agen suatu perbuatan dan sebagai
narator atas kisah hidupnya. Manusia menilai dirinya dari apa yang ia katakan dan
dari apa yang ia lakukan atau kisahkan.
Pada level personal misalnya, diri yang sanggup adalah diri yang menjadi
subjek tindakan, subjek yang berbicara dan subjek yang mengisahkan hidupnya.
Setiap orang diakui sebagai pribadi yang bebas dan setara karena ia memiliki hak-hak
dasar. Pada level yuridis, diri yang sanggup adalah diri yang mampu menempatkan


11
Ibid., 172.

7
kemampuannya dalam korelasi antara validitas universal tentang norma-norma dan
situasi konkret dan partikular yang ia hadapi.
Perjuangan pengakuan yang menuntut aspek yuridis membutuhkan perhatian
yang seimbang antara aturan-aturan normatif dengan situasi konkret tempat di mana
orang menjalani kehidupan sesuai kesanggupannya. Di sini, ruang normatif atas hak-
hak dasar harus mendukung dan menegaskan hak-hak pribadi setiap orang. Karena
itu, what we call human dignity is nothing else than the recognised capacity to
require a right.12
Pada level sosial, hal yang relevan adalah pembicaraan tentang transisi dari
dunia diri menuju dunia yang lain. Dalam transisi ini, ada kesanggupan untuk berkata
‘ya’ terhadap diri dan terhadap yang lain. Setiap orang membuka ruang pribadi untuk
yang lain. Ruang itu adalah ruang nilai dan ruang keputusan bahwa yang lain juga
memiliki kesanggupan diri sebagai pribadi yang bermartabat. Pemahaman tentang
yang lain harus menjadi bagian dari pemahaman tentang diri. Yang lain, dalam arti
seluas-luasnya, adalah sahabat, dia yang hidup sekomunitas, dia yang tidak dikenal,
atau siapa saja, yang semuanya adalah bagian dari kemanusiaan. Setiap orang, karena
panggilan kemanusiaan, dapat membangun relasi dengan yang lain melalui institusi.
Karena itu, relasi dengan yang lain tidak saja dikonstruksi secara terbatas dalam ‘aku-
engkau’ tetapi secara luas dalam ‘aku-engkau-mereka.’
Relasi sosial bergantung pada variasi mediasi sosial dan pelbagai jenis
peranan sosial. Di sini sistim institusi berfungsi mengatur pelbagai jenis relasi dan
peranan sosial seperti keluarga, komunitas, sekolah, tatanan hidup masyarakat dan
negara menjadi sangat penting. Hegel berbicara tentang Sittlichkeit sebagai the
concrete morality of a rational order where rational institutions and laws provide the
content of conscientious conviction.13 Etika kehidupan pada level sosial berbicara
tentang penghargaan atas martabat suatu pribadi, namun penghargaan itu selalu
dimengerti dalam relasi dengan martabat pribadi yang lain.
Pada level institusi, amat dibutuhkan ruang normatif keadilan sebagai
pembenaran sistim nilai sosial. Keadilan adalah keutamaan dari sistem sosial.
Penggunaan istilah keutamaan dalam konteks ini menekankan kepatuhan hubungan
berpolitik dalam ruang interaksi sosial. Hal ini membutuhkan semacam kepatuhan
bersama. Etika bertujuan untuk menggapai “cita-cita hidup baik bersama dengan dan
untuk yang lain, dalam institusi-institusi yang adil.”14 Keadilan di sini dilihat dari
sudut pandang berbagai peran, tugas, keuntungan, dan kerugian di antara anggota
komunitas. Keinginan untuk hidup bersama inilah yang menjadikan masyarakat
sebagai kelompok kerjasama yang unik.

Situasi Konkret: Kebajikan Praktis


Cara hidup yang konkret dari suku Bajo di Wuring mengandaikan kemampuan
berdialog sesuai nilai keadilan,15 dan melalui penggunaan bahasa dan pertimbangan
yang khusus. Melalui dialog dalam ruang publik, pertimbangan politik
menitikberatkan pada etika dan ujian universalisme nilai. Hidup manusia adalah dasar


12
Paul Ricoeur, “Capabilities and Rights” hal. 24. Lihat juga Feinberg J, Rights, Justice and the
Bounds of Liberty: Essays in Social Philosophy, (Princeton: Princeton University Press, 1980).
13
Hegel’s Philosophy of Right, T.M. Knox (trans.), (Oxford: Oxford University Press,1967), hal.
319.
14
Paul Ricoeur, Oneself as Another, hal. 172.
15
Paul Ricoeur, The Just, David Pallleuer (trans.), (Chicago and London: The University of Chicago
Press, 2000), hal. xiv-xvi.

8
penilaian politik dan kesanggupan untuk menilai menyiratkan ujian dialog dalam
ruang keadilan. Ujian ini menggunakan bahasa tertentu dan penilaian tertentu.
Secara praktis, pertimbangan etika membawa manusia menuju kepenuhan
hidup. Politik dipandang sebagai tempat di mana manusia mengalami pemenuhan
16

diri. Dengan kata lain, politik memperluas etika dengan cara menyediakan ruang
operasional untuk pelbagai pertimbangan etika. Pertimbangan politik menguatkan
persyaratan konstitutif untuk tujuan etika dan pengakuan yang mutual.17
Etika adalah sarana pertimbangan untuk mencapai kehidupan yang baik.
Institusi politik merupakan tempat terjadinya penilaian etika dalam kehidupan
manusia. Melalui pengakuan yang mutual, pelaksaan keputusan politik dibuat untuk
masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai model kerja sama di mana yang menang
dan yang kalah hidup berdampingan, mempraktikkan keadilan, dan berjuang demi
kebaikan bersama. Kekuatan politik adalah syarat mutlak yang diperlukan untuk
mewujudkan kesanggupan pribadi warganegara. Secara personal, setiap orang adalah
pribadi yang mampu dan secara politis ia adalah warga negara yang sanggup untuk
bekerjasama.


16
Paul Ricoeur, Oneself as Another, hal. 170.
17
Paul Ricoeur, “Ethics and Human Capability,” hal. 288.

Anda mungkin juga menyukai