KELAS : KPI 5B
NIM : 2022022
1. Latar Belakang
Setiap individu memiliki hasrat untuk berbicara, agar bisa mengungkapkan pendapat dan
menyampaikan informasi yang dimilikinya. Karena pada dasarnya manusia serba ingin tahu.
Disisi lain, dengan adanya kemampuan berkomunikasi yang baik, seseorang bisa
merumuskan ide dan gagasan serta kemampuan daya nalar sehingga bisa menyebutkan apa
saja yang ditunjuk. Hal itu merupakan satu langkah terciptaanya ilmu pengetahuan.
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk
memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara langsung,
maupun tidak langsung melalui media.1
Komunikasi adalah salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Sebagai
makhluk sosial tentunya tak lepas dari interaksi dengan manusia lainnya dalam
keberlangsungan hidupnya. Artinya adalah manusia memiliki ketergantungan dengan
manusia lainnya. Secara umum pengertian komunikasi sudah banyak dijelaskan oleh para
ahli. Secara sederhananya, komunikasi merupakan sebuah proses pengiriman pesan/informasi
antara komunikan dan komunikator dimana puncak dari komunikasi itu adalah umpan balik
atau feedback. Di era globalisasi sekarang ini, teknologi berkembang semakin pesat sehingga
membuat bentuk penyampaian pesan/informasi pun menjadi beragam, yang menjadi salah
satu bentuk penyampaian pesan tersebut dalam bentuk film, dimana dalam sebuah film pasti
akan ada pesan atau komunikasi di dalamnya. Fungsinya tidak hanya sekedar menghibur,
film juga memiliki fungsi lain , seperti fungsi edukatif dan fungsi informatif. Salah satu yang
disampaikan melalui film adalah pesan-pesan yang bersifat horror namun memiliki pesan
dakwah didalamnya atau ajaran agama.2
1
Onong Uchayan Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 5
2
Sri Wahyuningsih, “Memahami Representasi Pesan-Pesan Dakwah Dalam Film Melalui Analisis Semiotik”,
(Surabaya: Media Sahabat Cedikia, 2019), hlm. 16
Menurut Ariel Heryanto (2017), orang menonton film cenderung karena menyukai film
tersebut. Dalam perspektif teoritis, kesukaan (preferensi) juga akibat dari proses pengondisian
yang terus menerus. Teori pengondisian (conditioning theory), menyatakan bahwa proses
menjadi suka disebabkan pengulangan-pengulangan terpaan pesan.3 Film horor cukup
berkembang di Indonesia, dapat dilihat beberapa pertumbuhan film horor dari segi judul
cukup banyak di Indonesia. Dalam film-film horor terungkap secara implisit maupun eksplisit
pesan-pesan atau makna ajaran agama, baik itu melalui adegan non-verbal maupun verbal
yang dikemas dengan baik. Namun ada beberapa pesan atau amanat yang disampaikan di
dalam film tidak mudah untuk di tangkap.
Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang sangat mempengaruhi pola
perilaku manusia. Sejak awal kemunculan film di Indonesia mengalami perkembangan yang
pasang surut pada periode 1998-2019. Periode tersebut diwarnai oleh film-film dengan genre
yang berbeda namun masih begitu banyak kelemahan sehingga menghambat kemajuan film
Indonesia. Film di bagi menjadi dua kategori, yaitu film cerita dan film non cerita. Film fitur
diproduksi berdasarkan cerita yang disusun dan dilakukan oleh aktor dan aktris lain.
Sedangkan film non cerita mengambil realitas sebagai subjeknya. 4 Media massa begitu
berkembang pesat di Indonesia yang harus di topang oleh institusi pengontrol serta
seperangkat aturan yang jelas konsepnya sekaligus pelaksanaanya.5
Film merupakan media elektronik yang paling tua diantara media lainnya, apalagi setelah
film berhasil menunjukkan gambar-gambar hidup yang seolah-seolah memindahkan realitas
kehidupan di sebuah layar. Film megandung fenomena sosial, psikologi, dan estetika secara
bersamaan yang kompleks yang berupa dokumen terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi
kata-kata dan musik. Film akan selalu mempengaruhi dan membentuk kebiasaan masyarakat
berdasarkan muatan pesan dalam film yang di tonton.
3
Redi Panuju, “Film Sebagai Proses Kreatif”, (Malang: PT. Cita Intrans Selaras, 2019), hlm. 34-35
4
Said Rahmat Hidayat, Skripsi: Representasi Nilai-nilai Islam, Film “InsyaAllah Sah (Analisis Semiotika
Roland Barthes)” (RIAU: YLPI, 2020) hlm, 2
5
Kuswandi, Wawan, “Komunikasi Massa”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.13
Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis,
yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu yang digunakan dalam film mengisyaratkan
pesan kepada penonton.6 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Semiotika atau, dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).7 Film biasanya mempunyai
makna seperti yang telah dikemukakan oleh Roland Barthes, yaitu penanda (signifer) dan
pertanda (signified). Semiotika adalah suatu bidang studi ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda dalam suatu konteks skenario, gambar, teks, dan adegan dalam sebuah film
sehingga menjadi sesuatu yang dapat dimaknai. Kata “semiotika” berasal dari Yunani,
Semeion yang berarti “tanda” atau Seme yang berarti “penafsir tanda”. (Kurniawan, 2001 :49
dalam Mudjiono, 2011 :129).
Sofianjaya (2018) menulis 5 alasan menonton film di bioskop: 1) film yang diadaptasi
dari novel, 2) memiliki kesamaan dengan film tersebut, 3) suka dengan genrenya, 4) sensasi
menonton bersama-sama, 5) refreshing atau menemani teman. 8 Pada tahun 1980-an, banyak
film yang tayang merupakan film yang diadaptasi dari novel atau komik yang sedang sukses
dipasaran. Karena ada timbal balik antara siklus produksi novel-film. Ada beberapa hal yang
terjadi di khalayak, novel menjadi lebih terkenal setelah di filmkan, begitu juga sebaliknya.
Penyebabnya adalah mereka yang sudah menonton film merasa penasaran dengan cerita dari
novel, dan juga yang sudah membaca novel merasa penasaran dengan filmnya.
6
Asnat Riwu dan Tri Pujiati, “Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film 3 Dara”, Jurnal Sastra Indonesia
Pamulang, Vol. 10 No.03, September-Desember 2018, hlm. 212-223
7
Oseani Umi Damayanti, Ahmad Toni, “Analisis Film Dokumenter Citizen Four Karya Laura Poitras”, Jurnal
Lingkar Studi Komunikasi, Vol. 4 No. 2, September 2018, hlm.147
8
Redi Panuju, …hlm 35
(Marsha Timothy), yang memiliki kesamaan nama dengan almarhum anaknya.9 Laporan Box
Office: Film Qodrat Raih 865 Ribu Penonton dalam 8 Hari, Diprediksi Tembus 1 Juta Akhir
Pekan Ini, Pencapaian film Qodrat disampaikan Vino G. Bastian lewat akun Instagram
terverifikasi, Jumat (4/11/2022), seraya mengunggah infografis perolehan jumlah penonton
hingga Kamis (3/11/2022) malam.10
Dalam film “Qodrat” memiliki beberapa scene yang memperlihatkan nilai-nilai islam,
yaitu nilai aqidah, nilai moral, dan nilai sosial, nilai-nilai tersebut sangat berkaitan erat
dengan kehidupan sehari-hari.
Penelitian tentang analisis semiotika sebuah film tentunya bukan lagi sebuah penelitian
yang baru. Sebelumnya juga telah banyak penelitian yang menganalisis makna dari sebuah
film menggunakan analisis Roland Barthes maupun analisis lainnya.
Dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama, dan
konottasi berada ditingkat kedua. Namun dalam hal ini makna denitasi lebih diasosiasi
dengan ketertutupan makna. Untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif
tersebut, Barthes mencoba untuk melawan dan menyingkirkan serta menolaknya. Bagi
Barthes yang ada hanyalah Konotasi. Lebih lanjut Barthes mengatakan bahwa makna harfiah
ini adalah sesuatu yang bresifat alami yang biasa dikelan dengan teori signifikansi. Hal ini
berlandaskan teori tentang tanda yang pernah dikemukakan oleh Ferdinand De Saussare,
hanya saja setelah itu dilakukan perluasan makna yang berlangsung dalam dua tahap, yaitu
tanda Penanda dan Petanda. Pada tahap pertama, penanda dan petanda menyatu sehingga
dapat membentuk penanda pada tahap kedua, kemudian pada tahap kedua, penanda dan
petanda yang telah menyatu dapat membentuk petanda baru yang merupakan perluasan
makna dari tahap sebelumnya.
9
https://id.wikipedia.org/wiki/Qodrat, diakses 9 November 2022
10
https://www.liputan6.com/showbiz/read/5116331/laporan-box-office-film-qodrat-raih-865-ribu-penonton-
dalam-8-hari-diprediksi-tembus-1-juta-akhir-pekan-ini, diakses 9 November 2022
Sudah disebutkan sebelumnya bawah dalam film Qodrat terdapat begitu banyak pesan
dakwah yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu untuk mengungkap komunikasi
dakwah yang terkandung, maka peneliti menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
melalui beberapa masalah.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uaraian yang ada pada latar belakang penelitian ini, maka penulis membuat
sebuah rumusan masalah, yakni; bagaimana representasi nilai-nilai islam dalam film
“Qodrat” dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes?
2. Tujuan Penelitian
Tujuan adanya penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang representasi nilai-nilai islam
dalam film “Qodrat” dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes.
3. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini bisa bermanfaat untuk pembaca, baik itu secara teoritis
maupun praktis. Manfaat secara teoritis, penulis berharap agar penelitian ini bisa bermanfaat
baik untuk pengembangan teori pada analisis semiotika maupun referensi bagi peneliti lain
yang jika hendak melakukan penelitian yang serupa. Sedangkan secara praktis, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai representasi nilai-nilai Islam dalam film
“Qodrat”.
BAB II
Landasan Teori
Roland Barthes merupakan anak kelahiran tahun 1915, Ia lahir ditengah-tengah keluarga
kelas menengah Prostetandi Cherbourgh dan kemudian di besarkan di Bayonne, kota kecil
dekat pantai Atlantik disebelah barat daya Prancis. Barthes dikenal sebagai salah seorang
pemikir strukturalis yang suka mempraktikkan metode linguistik dan semiologi Saussaure. Ia
juga salah satu intelektual dan kritikus ternama sastra Prancis. Barthes adalah penerus
pemikiran Saussure. Saussure tertarik dengan cara pembentukan kalimat yang kompleks dan
cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi ia kurang tertarik dengan kenyataan
bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda dalam situasi yang
berbeda. Telah banyak buku yang ditulis oleh Barthes, dan beberapa diantaranya menjadi
rujukan penting untuk pembelajaran semiotika di Indonesia.
Pemikiran Barthes dipengaruhi oleh Saussure tentang semiotika, hanya saja keduanya
memiliki perbedaan, yakni; Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified yang
berkenaan dengan lambang atau teks dalam suatu pesan, sedangkan Barthes menggunakan
istilah denotasi dan konotasi untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan makna. Sistem denotasi
adalah sistem pertanda tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yaitu
hubungan materialitas. Sedangkan pada sistem konotasi, yaitu sistem penanda tingkat kedua
rantai penanda atau petanda pada sistem denotasi menjadi penanda dan selanjutnya berkaitan
dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan yang lebih tinggi.
Makna denotasi bersifat objektif (first order) yang berada ditingkat pertama, makna ini
dapat diberikan kepada lambang-lambang, yaitu dengan mengaitkan secara langsung antara
lambang-lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Adapun makna konotasi adalah
makna yang dapat diberikan kepada lambang-lambang dengan mengacu pada nila-nilai
budaya oleh karena itu berada ditingkatan kedua (second order).
1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotatif)
4. Connotative Sign (tanda konotatif)
Tabel 1.1
Dari peta diatas, dapat dilihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan
petanda(2). Akan tetapi, disaat yang bersamaan, tanda denotatif juga merupakan tanda
konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes ini, benda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan tetapi juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang mejadi landasan
keberadaannya.
Selain dua teori signifikansi dan mitos yang sudah disebutkan sebelumnya, Barthes juga
mengemukakan ada lima jenis kode penandaan, kode tersebut seringkali digunakan dalam
teks;
a. Kode Hermeneutik, yang merupakan harapan yang dimiliki para pembaca untuk
mendapatkan kebenaran atas pertanyaan yang muncul dalam sebuah teks.
11
Indiawan Seto wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi
Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), hal. 21-22.
b. Kode Proaretik, kode ini umumnya dimiliki oleh karya fiksi seperti novel. Barthes
mengatakan bahwa tidak ada karya fiksi yang tidak memiliki kode ini. Kode ini juga
biasa disebut sebagai suara empirik. Barthes juga mengemukakan bahwa kode ini
merupakan perlengkapan utama teks yang dibaca orang.
c. Kode budaya, kode ini merupakan kode yang bersumber dari pengalaman manusia,
sebagai referensi kepada sebuah lembaga ilmu pengetahuan.
d. Kode semik, yang merupakan kode penghubung konotasi dari orang, objek, dan
tempat yang pertandanya adalah karakter.
e. Kode simbolik, adalah suatu yang bersifat tidak stabil, dan bisa ditentukan dengan
berbagai bentuk sesuai dengan pendekatan sudut pandang yang digunakan.