Anda di halaman 1dari 8

KRITIK ATAS PANDANGAN REPRESENTASIONALISME DAN SEJARAH

FILSAFAT DALAM FILSAFAT POST-STRUKTURALIS GILLES DELEUZE

Bikesha Sanara | 21/477960/FI/4960

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan, kita selalu memandang bahwa terhadap sesuatu keselarasan,


kesatuan, atau ketetapan yang ada di dalam dunia ini. Para filsuf dari awal permulaan
sejarah pemikiran sejarah filsafat juga memiliki pendirian yang sama mengenai
pandangan tersebut. Berawal dari Nietzsche, pandangan tersebut semakin memudar
dalam dunia pemikiran modern-kontemporer. Dengan munculnya ilmu sains modern, dan
juga teknologi yang semakin maju. Manusia semakin jauh dengan sosok transcendent
yang mengatur dunia ini. Akhirnya manusia dihadapi oleh pertanyaan, jika Allah atau
tuhan atau yang mengatur dunia tidak ada, lalu bagaimanakah manusia bisa hidup? Para
pemikir aliran Post-Strukturalisme mencoba untuk menghadapi pertanyaan tersebut.
Mereka menolak pemahaman terdahulu yang menganggap bahwa terdapat sebuah hakikat
atau ketetapan dalam segalanya. Gilles Deleuze merupakan salah satu pemikir Post-
Strukturalisme, dan dia menggunakan dasar ontologis untuk menjawab bagaimana
manusia bisa hidup. Dalam paper ini saya akan mencoba menguraikan, bagaimana dasar
ontologis yang mendasari pemikirannya, dan juga bagaimana kritiknya terhadap
pemikiran terdahulu.

B. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah yang akan disimpulkan dalam tulisan ini:

a. Bagaimanakah pandangan Gilles Deleuze terhadap filsafat dan


sejarahnya?
b. Bagaimanakah pandangan post-strukturalis anti-representif Gilles
Deleuze?
C. Tujuan Masalah
Penulisan paper ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran Gilles Deleuze
terhadap filsafat dan sejarah filsafat, dan bagaimana pemikirannya dalam lingkup Post-
Strukturalisme.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Apa itu Filsafat?

Gilles Deleuze merupakan sebuah filsuf yang dalam pandangannya terhadap


filsafat, berbeda dengan pemikir sebelumnya. Dia memiliki pandangangan yang non-
tradisional dalam mendefinisikan apa itu filsafat. Gilles Deleuze, dalam bukunya yang
ditulis dengan rekannya Felix Guattari yang berjudul What Is Philosophy?, mengatakan
bahwa filsafat merupakan “….the art of forming, inventing, and fabricating
concepts.”(WP; 2). Dengan kata lain, filsafat merupakan seni dalam bagaimana manusia
menggunakan dan menciptakan konsep. Lalu untuk konsep menurutnya adalah sebuah
“multiplisitas”(WP; 15) yang terdiri dari banyak komponen-komponen yang harus
memiliki koherensi dalam menetapkan dirinya. Dengan pengertian filsafat tersebut,
Deluze mendasari sistem filsafatnya. Oleh karena itu, dia memiliki sebuah pendekatan
yang berbeda dalam filsafat yang menekankan pada konstruktivitas konsep dan
kreativitas dari pemikir. Namun, mungkin pendekatan seperti inilah yang membuatnya
menjadi sebuah sosok yang kontroversial dan sulit dipahami pemikirannya, baik pada
masanya, ataupun saat ini. Hal ini karena Deleuze tidak hanya menciptakan konsep
dengan menggunakan neologisme, melainkan juga meminjam berbagai dari ilmu lain
seperti sains dan matematika. Alan Sokal dan Jean Bricmont, mengkritisi pendekatan
Deleuze ini dalam bukunya yang berjudul Fashionable Nonsense. Mereka menganggap
bahwa Deleuze (dan juga Guattari) menggunakan konsep sains dan matematika secara
seenaknya. Ketika mereka menganalisis bagian dari buku What Is Philosophy? Deleuze
dan Guattari, mereka mengatakan bahwa terdapat “at least a dozen scientific terms used
without rhyme or reason, and the discourse oscillates between nonsense (“a function is a
Slow-motion”) and truisms (“science constantly advances accelerations”).”(Alan Sokal
& Jean Bricmont,1997; 157). Namun, kritik ini hanya dalam bidang teknis saja, karena
Alan Sokal dan Jean Bricmont tidak mengkritisi atau berinteraksi langsung terhadap isi
pandangannya Deleuze ataupun Guattari.
B. Kritik Atas Sejarah Filsafat
Perkembangan pemikiran filsafat Deleuze dibagi menjadi dua periode. Periode
awal pemikirannya ditandai dengan berbagai karya dan aktivitas dalam pembacaan serta
penafsiran sejarah filsafat. Dalam pembacaannya, dia menggunakan dasar pengertian
filsafatnya, yaitu sebagai ilmu yang menciptakan konsep, sehingga selalu memberikan
pemikiran atau pandangan yang sifatnya original dan perluasan dari filsuf yang diamati.
Hal ini karena dia memandang bahwa pandangan tradisional terhadap sejarah filsafat,
yang terlalu bergantung dengan pemahaman dan interpretasi dari filsuf, bersifat terlalu
membatasi kreativitas manusia dalam berpikir, dan mendorong terjadinya spesialisasi
yang mengasingkan pembaca yang bukan ahli dalam bidang filsafat, serta menciptakan
terjadinya politisasi dalam tradisi sejarah filsafat.
“It has played the repressors role: how can you think without having read Plato,
Descartes, Kant and Heidegger, and so-and-so’s book about them? A formidable school
of intimidation which manufactures specialists in thought – but which also makes those
who stay outside conform all the more to this specialism which they despise. An image of
thought called philosophy has been formed historically and it effectively stops people
from thinking.” (D 13)
Selain itu dia menganggap bahwa seharusnya dalam memandang sejarah filsafat,
filsuf seharusnya tidak hanya dalam bentuk refleksi saja, tetapi menciptakan konsep.
“What we should in fact do, is stop allowing philosophers to reflect ‘on’ things. The
philosopher creates, he doesn’t reflect.” (N 122).
C. Post-Strukturalisme Gilles Deleuze
a. Difference in Itself

Sudah dilihat bahwa Gilles Deleuze sangat kritis terhadap pandangan yang
terdapat dalam sejarah filsafat. Dalam bukunya Difference and Repetition, Deleuze ingin
memberikan argument terhadap batasan yang menganggap bahwa realita merupakan
sesuatu yang dapat diidentifikasi (James Willaim,2003; 11). Menurut Deleuze,
pandangan filsuf sebelumnya merupakan “gambaran pikiran yang dogmatis”(Todd
May,2005; 73). Gambaran pikiran yang dogmatis tersebut adalah template atau cara
pandangan manusia, yaitu menganggap bahwa dunia ada di luar sana, dan pikiran kita
dapat merepresentasikan dunia tersebut (Todd May,2005; 74). Pandangan ini merupakan
pandangan yang disebut representasionalisme. Menurut Deleuze, “Representasion” gagal
dalam memandang dunia yang penuh dengan difference. “representasi hanya memiliki
satu pusat, perpektif yang unik dan surut, sehingga secara konsekuensi memiliki
kepalsuan. Representasi hanya mediasi segalanya, tetapi tidak menggerakkan
apapun”(DR 55). Mungkin dapat dikatakan bahwa, representation hanya melihat dunia
sebagai sesuatu yang tetap, sedangkan menurut Deleuze, dunia itu penuh perbedaan yang
terus menerus menciptakan sesuatu kebaruan dalam tiap objek.

Dari Plato (DR 59-63), sampai dengan Heidegger(DR 64-6), menurut Deleuze,
para filsuf memegang pandangan yang representatif tersebut. Dia mengatakan bahwa,
para filsuf sebelumnya, memegang sebuah pandangan yang memprioritaskan identitas
diatas difference. Difference tidak dianggap sebagai konsep tersendiri, melainkan
dipahami sebagai referensi dari identitas. Difference sebelumnya dianggap adalah hasil
dari hubungan antar dua term atau objek yang sudah lebih dahulu memiliki identitas
masing-masing. Deleuze membalikkan ingin kita menganggap Difference sebagai
sesuatu dengan sendirinya, tidak bergantung dengan identitas. Dia mengatakan bahwa
identitas merupakan hasil dari perbedaan/differential. Sehingga, Difference bukan lagi
relasi empiris antar term, melainkan sebagai prinsip transcendental yang membuat
menciptakan sebuah diversitas empiris(Stanford Encyclopedia of Philosophy 2020).
Difference menjadi sebuah ideal atau potensi virtual dalam transformasi identitas (James
William,2012). Sebagai contohnya adalah bagaimana sepeda dapat menjadi sepeda
motor, yang membuat sepeda menjadi sebuah sepeda motor tidak terdapat dalam sepeda,
melainkan dari banyak hal berbeda seperti mesin, teknologi, kaca (spion) dan sebagainya.
Jadi relasi antara difference antara berbagai hal tersebut lah yang menciptakan sebuah
kemungkinan atas sesuatu yang baru. Menurut Deleuze, Difference terdapat disegala hal.
Segala hal yang terlihat sama, seperti antara daun satu dan daun lainnya, memiliki
perbedaan, sehingga tidak ada yang identik sama.

“no two grains of dust are absolutely identical, no two hands have the same
distinctive points, no two typewriters have the same strike, no two revolvers score their
bullets in the same manner”(DR 26)

b. Repetition for Itself

Selain mencoba untuk menciptakan konsep Difference yang murni dari konsep
identitas, Deleuze juga berupaya untuk membedakan konsep repetition dengan
hubungannya terhadap konsep Difference. Deleuze membedakan konsep Repetition
dengan keumuman(generality). (DR 1). Memang repetition mempengaruhi
generalisasi(dalam aktivitas generalisasi, kita mengulang-ulang term atau konsep).
Namun menurut Deleuze, ‘repetition bukanlah persoalan pengulangan sesuatu yang
sama berkali-kali’.(Adrian Parr 2005). Oleh karena itu, dalam setiap pengulangan,
sesuatu yang berbeda muncul. Tidak ada hal yang sama dalam repetition, semuanya
berbeda dalam posisi, waktu, dan bentuk. Repetisi menghasilkan variasi sepanjang
perbedaan. Misalnya ketika kita memahami sebuah kertas, ketika memikirkan sebuah
kertas selanjutnya, kertas itu berbeda dari sebelumnya, di lain waktu lagi akan berbeda,
begitu seterusnya. Repetition yang memungkinkan sesuatu baru atau potensi agar dapat
terjadi. Potensi diaktualisasikan dan bergantung terhadap rangkaian repetisi (James
William, 2012). Oleh karena itu, Repetition berhubungan dengan kemampuan difference
dalam proses produktif yang menciptakan variasi dalam dan melalui setiap
repetisi.(Adrian Parr 2005)

Repetition sendiri berasal dari perbedaan(difference), bukan peniruan. Proses


membongkar landasan dari difference lah yang menolak untuk berubah menjadi sistem
replikasi yang tidak bergerak. (Adrian Parr 2005). Deleuze mengatakan bahwa proses
repetition tidak bergantung pada subjek ataulah subjek, melainkan merupakan sebuah
proses yang mandiri. Siklus repetition bersifat tak terbatas, dari siklus repetisi
menandakan perawalan dari repetisi selanjutnya. Namun, perlu dipahami kalau siklus
repetisi bukanlah merupakan rangkaian yang liniar. Repetition tidak memiliki tujuan, dan
yang diulang dalam repetition adalah dorongan difference bagi dan pada sendirinya. Jadi
kesimpulannya adalah repetition merupakan aktivitias kreatif dari transformasi
(Adrian Parr 2005).

Dari perbedaan(difference) dalam setiap repetisi(repetition) lah yang menjelaskan


perubahan atau kebaruan dari segala sesuatu. Misalnya seseorang yang menciptakan
ebook reader dalam sebuah smartphone atau komputer, dapat diandaikan bahwa dia
melihat buku lalu komputer. Di dalam pikirannya dia mengulang-ulang konsep kedua hal
tersebut, akan tetapi dia mengaturnya, sehingga konsep tersebut menjadi berbeda. Dia
mengulangi konsep komputer dalam pikirannya, dan melihat terdapat perbedaan dalam
komputer tersebut terhadap buku(kemampuan untuk membaca tulisan seseorang),
sehingga dapat menghasilkan yang dinamakan ebook reader. Repetition, sama halnya
dengan difference, terdapat pada segala hal. Dalam prosesnya menghadap pada suatu
kebaruan. Sehingga, realitas menurut Deleuze merupakan suatu multiplisitas yang
saling berhubungan(melalui difference dan repetition), dan selalu dalam proses
menjadi (melalui repetition).

‘Ultimately, then, Difference and Repetition will show that the individuation of
entities is produced by the actualization, integration, or resolution (the terms are
synonymous for Deleuze) of a differentiated virtual field of Ideas or “multiplicities” that
are themselves changed, via “counter-effectuation,” in each individuating event.’
(Stanford Encyclopedia of Philosophy 2020).

D. Kesimpulan

Deleuze merupakan filsuf yang dalam artiannya adalah pencipta konsep.


Menurutnya konsep adalah sebuah multiplisitas (konstruktivis). Deleuze juga melihat
sejarah filsafat melalui pandangannya sebagai pencipta konsep. Dia menganggap bahwa
pandangan tradisional terhadap sejarah filsafat barat bersifat represif, dan menghambat
kemampuan kita dalam berpikir. Sehingga dalam melihat sejarah, filsafat kita tidak boleh
terpaku dengan refleksi terhadap pemikiran sebelumnya, melainkan dengan melihat
sejarah kita dapat menciptakan konsep-konsep baru dari pemikiran para filsuf tersebut.

Deleuze sebagai filsuf yang menekankan pada sisi kreatif pemikiran, mengkritik
pendapat representasionisme yang menganggap dunia sebagai sesuatu yang tetap. Dia
menganggap bahwa dalam realita, kita dihubungkan oleh perbedaan-
perbedaan(difference) dari satu term dan yang lainnya dan realita adalah suatu proses
menjadi (becoming) yang didorong oleh repetition dari perbedaan-perbedaan yang ada
pada segalanya untuk menciptakan suatu yang baru. Berbeda dengan pandangan
representasionisme yang memegang dunia memiliki sebuah hakikat yang tetap.
DAFTAR PUSTAKA

Deleuze, Gilles. (1994). Difference and Repetition (Paul Patton. Terjemahan). New York:
Columbia University Press (DR)

Delleuze, Gilles, dan Claire Parnett. (1987). Dialogues (Hugh Tomlinson dan Barbera
Habberjam, Terjemahan). London: Althone Press. (D)

Delleuze, Gilles. (1995). Negotiations (Martin Joughin. Terjemahan). New York:


Columbia University Press. (N)

Deleuze, Gilles, dan Felix Guattari. (1994). What is Philosophy (Hugh Tomlinson and
Graham Burchell. Terjemahan ). New York: Columbia University Press. (WP)

Sokal, Alan dan Jean Bricmont. (1998). Fashionable Nonsense. New York:Picador.

Smith, Daniel and John Protevi, "Gilles Deleuze", The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Spring 2020 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL =
<https://plato.stanford.edu/archives/spr2020/entries/deleuze/>.

Parr, Adriann. A Deleuze Dictionary (2010). George Square: Edinburg University Press.

Cambrige Companion of Deleuze (2012).

Anda mungkin juga menyukai