Anda di halaman 1dari 14

REVIEW BUKU

FILSAFAT ILMU KLASIK HINGGA KONTEMPORER


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Seni

Oleh :

Tika Awalini ( 22070865001)

Dosen Pengampu :

Dr. Djuli Djatiprambudi, M.Sn.

PRODI S2 PENDIDIKAN SENI BUDAYA


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2022
A. IDENTITAS BUKU
Penulis: Dr. Akhyar Yusuf Lubis
ISBN: 978-979-769-686-3
Halaman: 266
Ukuran: 16 X 24 cm
Cetakan: 7, 2020

Daftar Isi :

B. PENDAHULUAN
Salah satu ciri khas dari manusia adalah kemampuan untuk berfikir.
Sedangkan makhluk-makhluk lain tidak memiliki kemampuan sesempurna manusia.
Ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang lain adalah wujud dari adanya aktivitas berfikir yang
dilakukan oleh manusia. Seiring berkembangnya zaman ilmu akan terus berkembang
dan pengenalan dasar ilmu sangatlah penting agar kita mengetahui akar dari hasil
pemikiran para ilmuan yang telah disajikan dalam teori-teorinya. Belajar filsafat sama
halnya dengan belajar untuk berfikir radikal, sitematis dan universal.
Buku yang akan direview adalah buku “Filsafat Ilmu : Klasik Hingga
Kontemporer” karya Akhyar Yusuf Lubis. Buku ini diterbitkan oleh Rajawali Pers di
Jakarta tahun 2016. Dengan membaca buku ini kita akan mencoba untuk mengenal
filsafat yang dimulai dari filsafat barat. Tema yang disampaikan mendasar perihal
filsafat ilmu (epistimologi) dan metodologi secara runut dan sistematis. Terdiri dari
sembilan bab dengan bab pertama hingga bab keenam membahas tentang pengertian
dasar filsafat, epistemologi, logika dan metodologi dari masa Yunani Klasik hingga
era modern (nasionalisme, empirisme, positivisme). Pembahasan yang disampaikan
oleh penulis bukan sekedar pemahaman terhadap teori para filosof namun juga
disampaikan kritik terkait posmodernisme atas asumsi (epistemologis, aksiologis, atau
ontologis) modernisme. Pada bab ketujuh disampaikan paradigma bedasarkan hasil
pemikiran dari Thomas Samuel Kuhn yang menyampaikan pendapat tentang
ketidaksepadanan (incommensurability) serta plularitas paradigma.
Berbeda dengan positivisme yang disampaikan oleh Aguste Comte yang lebih
menekankan pada “kesatuan” atau “keseragaman”. Pada bab kedelapan dan
kesembilan penulis membahas mengenai Hermeunetika dan Fenomenologi yang
sudah masuk ranah ilmu social-budaya. Selanjunya akan di paparkan hasil review dari
bab satu sampai bab ke sembilan kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang didapat
setelah membaca buku ini.

C. HASIL REVIEW 9 BAB

BAB 1
FILSAFAT : SEBUAH PENGENALAN SINGKAT
Filsafat ilmu merupakan sebuah hal mendasar yang selalu muncul dalam
setiap ilmu yang kita pelajari. Akhyar Lubis dalam bukunya yang berjudul Filsafat
Ilmu Klasik Hingga Kontemporer mengajak kita untuk mengenal filsafat dengan
penjelasan yang mudah dipahami. Beliau mengungkapkan jika filsafat adalah sebuah
tanda tanya bukan tanda seru. Hal tersebut menjelaskan bahwa filsafat adal ilmu yang
mengajari kita untuk berfikir lebih kritis terhadap apa-apa yang terjadi pada
kehidupan kita.
Akhyar Lubis menjelaskan bahwa pertanyaan sehari-hari kemudian
memberikan jawaban dikenal dengan pengetahuan eksistensial sementara pertanyaan
teknis dan mendalam menghasilkan jawaban yang disebut filsafat. Artinya apabila
seseorang berpikir demikian dalam menghadapi masalah dalam hubungannya dengan
kebenaran, orang tersebut telah memasuki pemikiran filsafat.
Filsafat mengajarkan kita untuk berfikir secara sistematis, bukan sekedar
asumsi, namun juga mengkajinya secara logis dan realis. Memang didalamnya juga
ada sistem kepercayaan seperti percaya kepada Tuhan, akan tetapi kita juga akan
belajar untuk memahami realitas atau sebuah kebenaran yang hakiki dari kepercayaan
yang telah kita yakini. Meskipun begitu, dalam filsafat kita juga akan belajar
menentukan batas-batasan dan jangkauan pengetahuan agar pemikiran tidak terlalu
melebar dan keluar dari konteks pemikiran. Dengan begitu filsafat akan membantu
kita untuk menyampaikan apa yang kita katakana, dan membantu kita untuk
mengatakan apa-apa yang kita lihat. Pemikiran seperti ini akan membawa kita untuk
menjadi manusia yang lebih terbuka dan toleran terhadap sesama, sebab kita tidak
akan memperdebatkan pemahaman orang lain terkait suatu hal yang memang itu
sudah menjadi kepercayaan atau dasar pemikiran mereka.
Selain menjelaskan tentang pengertian, Akhyar Lubis juga menuliskan dasar
pemikiran terkait Mitos ke Logos. Ini menjadi awal mula manusia menyadari bahwa
ia memiliki kemampuan yang berbeda dengan makhluk lain yaitu manusia memiliki
kemampuan untuk berfikir secara rasional. Pada mulanya memang manusia memiliki
keyakinan berupa mistis (pra-logis), pada masa itu manusia tidak dapat berfikir secara
logika dan percaya bahwa semua yang ada di alam baik manusia, tumbuhan, hewan
dan penduduk alam semesta yang lain dan beranggapan bahwa alam memiliki
kekuatan (jiwa). Pandangan pra-logis ini disebut dengan hylozoisme. Seiring
berjalannya waktu munculah pemikiran logis dalam diri manusia, ia menyadari bahwa
ia mampu menangkap rasio-rasio yang ada di alam yang membedakannya dengan
makhluk lainnya. Dari sanalah mulai ada pemikiran logis untuk mempertanyakan
tentang hubungan antara dirinya dengan alam. Pikiran-pikiran tentang manusia dan
alam yang berbau mitos itu mulai bergeser dan pelan-pelan hilang. Manusia mulai
mempertimbangkan logika, dan rasionalitas dalam berfikir yang berasal dari akal itu
sendiri. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat lahir saat logos (akal budi)
menggantikan mitos (mistis) yang sebelumnya menjadi dasar kepercayaan manusia
tentang kehidupan.
Beranjak pada pertengahan bab 1, Akhyar Lubis juga mengenalkan kita
kepada periodesasi dari ilmu fisafat yang berkembang di Eropa. Dimulai dengan
periode Yunani (6000 SM=400 M) dan membaginya dalam dua masa yaitu, pertama
pada masa pra-Socrotes dengan pemikiran yang banyak mempertanyakan tentang
alam dan terbuat dari apa alam itu (kosmosentris). Contoh Filsuf pra-Socrates adalah
Thales Pythagoras dan Heraclito. Sedangkan masa yang kedua adalah masa Yunani
klasik (abad pertengahan dan modern) dengan tokohnya antara lain, Socrates, Plato
dan Aristoteles. Socrates yang merupakan seorang pemikir kritis selalu
mempertanyakan segala hal. Ia mempertanyakan dasar argumentasai dan konsistensi
berpikir para tokoh di zamannya. Buah pemikiran tersebut ia tuangkan dalam tulisan
sehingga Plato dan Aristoteles dapat mempelajari dan mengembangkan pemikirannya.
Hingga mereka menjadi filsuf besar dan berpengaruh hingga saat ini.
Selanjutnya pada periode Abad Pertengahan (400-1500 M), secara umum
terbagi menjadi dua yakni zaman patristik dan zaman skolastik. Zaman patristic
sendiri adalah zaman dimana para filsuf percaya bahwa kebenaran sejati hanya ada
pada kitab suci (injil). Semua didasarkan oleh kepentingan gereja, hingga datang masa
dimana pemimpin gereja semakin mendominasi seluruh pemikiran manusia. Akhirnya
(abat ke 10 M dan 15 M) munculah perkembangan baru yaitu lahirnya sekolah-
sekalah dikatedral yang disebut masa Skolastisisme. Salah satu tokohnya adalah
Summa Theologia, ia membedakan tugas ilmu pengetahuan dengan Agama tetapi
keduanya tidak saling bertentangan tetapi saling melengkapi.
Periode terakhir yaitu pediode modern yang juga terbagi dalam dua masa,
yaitu masa Renaisans (abad ke-14 samapai ke17) dan masa pencerahan (abad ke-18).
Zaman modern sendiri ditandai dengan berbagai penemuan bidang ilmiah. pada masa
Renaisans muncul kembali upaya membangkitkan kebebasan berpikir seperti pada
masa Yunani. Zaman pencerahan adalah zaman yang menghasilkan pemikiran yang
sangat berpengaruh bagi seluruh aspek kebudayaan modern.
Pergerakan periode filsafat ini juga berpengaruh pada hasil karya seni yang
dibuat oleh para seniman. Dimulai dari mereka yang awalnya berkarya hanya untuk
kepentingan gereja, hingga dapat berkarya lebih bebas yaitu pada masa Renainsans
(beranggapan seniman sudah tidak dianggap sebagai pengrajin/ artisan). Dalam
perkembangannya seni rupa menjadi media untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran
pada masa itu yang diekspresikan melaluialiran Neo Klasikisme dan Romantiskisme
serta (mulai muncul pada abad ke 19). Pada masa itu mulai muncul filsafat “seni
untuk seni” yang kemudian membuka jalan untuk lahirnya aliran impresionisme dan
post impresionalisme. Contoh karya besar yang terlahir saat itu (renainsans) salah
satunya adalah lukisan Monalisa karya Leonardo da Vincie dan Lukisan Starry Nigh
(1889) karya Vincent Van Gogh dengan aliran Impresionalisme yang lebih memilih
untuk melukis objek alam namun menekankan perasaan berdasarkan penglihatan bati.
Sehingga wajar jika karya yang dihasilkan sudah tidak realis, naturalis seperti yang
banyak berkembang pada masa renainsans
Dalam mempelajari filsafat, Akhyar Lubis juga memberikan pemahaman
kepada kita tentang pemetaan bidang yang secara garis besar dikelompokan menjadi
tiga bidang yaitu ontology, epistomologi dan aksiologi. Dari pemetaan tersebut kita
akan lebih mudah untuk mempelari filsafat karena sudah dikelompokkan menurut
bidangnya masing-masing. Penulis juga memberikan gambaran terkait perbedaan
filsafat, ilmu pengetahuan dan agama yang seringkali terjadi kesalah pahaman.
Perbedaan antara kajian filsafat dan ilmu pengetahuan salah satunya terletak pada ciri
berpikir radikal dan komprehensif. Jika filsafat mengkaji tentang manusia (disebut
objek material) misalnya, maka kajian tentang manusia itu dilakukan secara
menyeluruh; sementara ilmu pengetahuan mengkaji manusia dari sisi atau aspek
(objek formal): oleh karena itu ilmu pengetahuan sangat bersifat spesialis atau
mengembangkan spesialisasinya masing-masing.
Sedangkan filsafat dengan agama dapat dilihat perbedaannya berdasarkan
sumbernya. Jika filsafat (juga ilmu pengetahuan) bersumber dari pengalaman dan
rasio, maka agama bersumber dari iman (wahyu Tuhan). Bukan berati kita tidak perlu
menggunakan rasio dalam kehidupan. Meskipun ada perbedaan anatara filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama, akan tetapi juga ada persamaan antara ketiga itu, yaitu
ketiganya sama sama mencari kebenaran yang berangkat dari titik tolak dan cara yang
berbeda.
Pada bagian akhir dalam bab 1 ini, penulis menyampaikan ciri, cara, dan
metode dalam berfikir filsafat. Hal ini akan membuat kita lebih mudah memahami
dan mencoba mempraktekkan untuk berfikir filsafat yang menuntut kejelasan,
keruntutan, konsisten dan sistematika. Dengan cara, berani berfikir kritis, kemauan
untuk mengajukan hipotesis, kesediaan untuk mencari kebenaran diatas keputusan diri
sendiri dan kemampuan untuk memisahkan sikap/pandangan/konflik pribadi. Untuk
menutup bab 1, penulis menyampaikan manfaat yang dapat diambil untuk belajar
filsafat secara, yaitu akan membentuk kemandirian secara intelektual, membangun
sikap toleran terhadap perbedaan sudut pandang dan membebaskan dari jeratan
dogmatism. Pada masa sekarang sangat diperlukan pemikiran kritis dan “radikal”
yang mengharuskan kita untuk mengkaji lebih mendalam dan melihat semua hal dari
banyak sudut pandang agar tidak tersesat dalam arus informasi yang diragukan
kebenarannya (hoax).

BAB 2
EPISTEMOLOGI

Sebagai manusia kita pasti memiliki banyak pemikiran yang dapat


berkembang berdasarkan pengetahuan ataupun pengalaman yang telah kita lalui.
Dalam filsafat kita dapat mengkaji hal tersebut secara epistemology. Epistimologi
sendiri pada dasarnya merupakan satu upaya evaluatif dan kritis tentang pengetahuan
(knowledge) manusia. Dalam buku Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer karya
Akhyar Lubis, hal tersebut disampaikan pada bab 2, setelah penjelasan terkait
pengertian filsafat pada bab 1.
Ada banyak sumber pengetahuan menurut Hospers maupun Honderich yang
disampaikan oleh Akhyar Lubis pada bab ini yaitu, perception, memory ,reason
intropection, intuition, authority, prekognition, clairvoryance, dan telephaty. Dari 9
sumber pengetahuan yang disampaikan Hospers maupun Honderich kita dapat
mengetahui lebih mendalam terkait sumber pengetahuan yang kita miliki selama ini.
Sebab dalam proses berfikir, pengetahuan memiliki peran penting didalamnya yang
kita dapatkan dari sumber yang beragam. eseorang akan kesulitan dalam membuat
karya tulis saat dirinya kurang memiliki minat dalam membaca, ia akan sulit
merangkai kata sebab kosa kata dalam pengetahuannya masih sangat minim.
Begitupun dalam proses pendidikan, seorang peserta didik akan kesulitan menangkap
materi pelajaran jika dia tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup.
Setelah menyampaikan berbagai sumber pengetahuan, penulis juga
menyampaikan materi tentang berbagai ogjek pengetahuan mulai dari, gejala alam,
masa lalu, masa depan, nilai-nilai (aksiologi), abstraksi, pikiran (philosophy of mind:
our own experiences, our own inner states, other minds). Jadi pengetahuan sendiri
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan apabila seseorang
mengenal tentang sesuatu (bahwa pengetahuan dari hasil usaha manusia untuk
memahami suatu obyek tertentu). Penulis juga mencantumkan pendapat Honderich
(1995) yaitu obyek pengetahuan dikelompokkan berdasarkan konsep Popper tentang
teori tiga dunia, yaitu Dunia I (objek tentang alam fisis), Dunia II (dunia pemikiran
dan proses mental), dan Dunia III (berdasarkan konsep dan teori yang ada dalam
buku/tulisan sebelumnya). Dari sini kita akan memahami jika pengetahuan memiliki
banyak objek yang dapat kita kaji secara mendalam sesuai dengan perspektif kita
masing-masing.
Lanjut pada poin ke-4 terkait strukstur pengetahuan yaitu Relativisme
(pandangan yang menyatakan bahwa kebenaraan tidak bersifat absolut atau
universal). Dan Fenomenalisme (pandangan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat
mengetahui gejala sebagaimana tampak melalui sebuah pengamatan). 5 Jenis struktur
ini akan mempengaruhi pengetahuan yang akan terbentuk untuk mempelajari filsafat
ilmu.
Namun semua pengetahuan tersebut perlu dikaji berdasarkan teori kebenaran
yang disampaikan naran yang disampaikan disana, yaitu korespondens, konsistensi
atau koherensi, pragmatis, performatif dan paradigmatis dan consensus. Kelima teori
tersebut dapat dijadikan pendekatan untuk menguji kebenaran pengetahuan yang
sedang dipaparkan. Pemahaman dalam suatu hai dapat dibenarkan berdasarkan dasar
teori dan juga sudut pandang pemikirnya. Jadi, sesuai dengan apa yang ada pada
penjelasan bab 1 bahwa filsafat akan mengajarkan kita untuk berfikir lebih terbuka,
dan bijak dalam memandang sebuah pemikiran.
Bijak dalam hal ini juga tetap disesuaikan dengan makna kebenara yang
berlansgung. Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya Filsaft Ilmu menyampaikan
pendapat Juliene Ford, sebagaimana dikutip Lincoln dan Guba (1985: 14-15),
mengemukakan bahwa kebenaran memiliki empat makna, yaitu: empiris (kriterianya
vertifikasi dan falsifikasi), logis-matematis (kriterianya koherensi dan konsistensi),
etis (ditentukan oleh nilai-nilai moral) dan metafisik (kebenaran ini tidak dapat
dibuktikan, akan tetapi diterima sebagai keyakinan paling dasar). Semua kebenaran
itu bermakna karena adanya pemahaman bahwa dunia ada dan kita mengetahuinya,
dunia empiris dapat diketahui melalui panca indra, realitas (dunia) dapat diketahui
secara utuh sebenarnya lebih bersifat postulat dan fenomena alam ditentukan oleh
hukum kausalitas dan hukum kausalitas itu dapat ditemukan melalui metode empiris-
eksperimental.
Pada bagian akhir, penulis menjelaskan tentang macam-macam jenis
epistimologi. Dari pemaparan diatas kita akan dapat memilah mana jenis epistimologi
yang dapat kita gunakan dalam belajar filsafat. 1). Epistemologi Metafisis yang
memandng dunia idea dengan dunia fisis hanya sebagai tiruan dari dunia idea (Plato)
, sedangkan asumsi metafisis di mana baginya realitas hanya merupakan perwujudan
dari roh (Hegel). 2). Epistemologi Skeptis upaya untuk menemukan metode yang
pasti, sehingga filsafat dan pengetahuan dapat mengatasi berbagai perbedaan dan
pertentangan pendapat yang muncul. 3). Epistemologi Kritik, artinya mencari
kelemahan atau kekurangan yang ada pada teori, metode, dan cara berpikir lalu
diupayakan untuk merumuskan metode baru. Epistimologi sendiri perlu dipelajari
karena adanya pertimbangan jaman yang semakin modern, diperlukan adanya strategi
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB 3
FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Pada bab 3 penulis menjelaskan tentang perbedaan antara pengetahuan dan ilmu
pengetahuan dan juga pengetahuan sehari-hari dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan
adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, dan pahaman yang dimiliki manusia tentang
dunia dan segala isinya. Contohnya, pengetahuan agama, pegetahuan sehari-hari,
pengetahuan ilmiah dll. Sedangkan Pengetahuan Ilmiah merupakan jenis pengetahuan
yang memiliki ciri-ciri dan metode serta sistematika tertentu. Pengetahuan ilmiah atau
Ilmu pengetahuan hmerupakan salah satu jenis pengetahuan yang memiliki ciri-ciri
khusus. Salah satu ciri-cirinya adalah adanya penggunaan metode Kualitatif,
Kuantitatif serta dalam penyampaian bahasa secara lugas/tepat, dan
verifikasi/falsifikasi sehingga terkesan baku. Sehingga bukan secara asal dalam
penyampaiannya seperti halnya ciri pada pengetahuan sehari-hari yaitu tanpa
menggunakan metode dan menggunakan bahasa yang ambigu atau kabur..
Kita dapat melihat contoh yang disampaikan oleh penulis bahwa Jamu
dipercaya dapat mengobati walau tanpa pembuktian laboratorium dan masyarakat
tetap percaya namun belum dapat menjelaskan alasannya (pengetahuan sehari-hari).
Jika Jamu tersebut diteliti seorang ahli dan memang terdapat zat yang diketahui
mampu untuk mengobati (pengetahuan sehari-hari berubah menjadi pengetahuan
Ilmiah). Dari contoh tersebut kita dapat melihat jika pengetahuan sehari-hari bisa jadi
hanya menyampaikan mitos yang ada di masyarakat tentang kasiat Jamu yang
dipercaya secara turun-temurun.
Penulis juga membahas tentang pengelompokan filsafat pengetahuan menjadi dua,
yaitu filsafat ilmu pengetahuan umum (Pengetahuan alam & pengetahuan social, seni
dll.) dan filsafat ilmu pengetahuan khusus (biologi, fisika, psikologi, ekonomi, seni
rupa dll). Pada perkembangannya terdapat Ilmu Pengetahuan Alam & Ilmu sosial-
budaya yang dibedakan berdasarkan subjek dan metode yang digunakan. Selain
membicarakan tentang filsafat ilmu pengetahuan dipaparkan juga sejumlah istilah
penting yang kerap digunakan dalam pembahasan filsafat ilmu pengetahuan , metode ilmiah
dan asumsi-asumsi ilmiah, logika yang akan membicarakan bagaimana cara untuk
menarik kesimpulan dan metodologi yang menjadi alat untuk membedah logika /
pemikiran dalam sebuah ilmu pengetahuan.

BAB 4
RASIONALISME KLASIK DAN MODERN

Selanjutnya pada bab 4 materi yang di bahas adalah tokoh rasionalisme baik
yang hidup di era Klasik maupun era Modern. Pada era Klasik diwakili oleh Plato
sementara untuk era Modern pembahasan difokuskan pada pemikiran Rene Descartes
dan Baruch Spinoza. Kendati masing-masing tokoh rasionalisme ini memiliki
perbedaan , tetapi mereka memiliki kesamaan yakni sama-sama meyakini bahwa rasio
adalah sumber pengetahuan.
Pengetahuan menurut Plato bukanlah hasil pengamatan indra sebab dunia
yang kita amati hanya sebagai bayangan dunia idea (dunia yang melampaui
manusiadimana ide tidak tergantung pada pemikiran manusiamelainkan pemikiran
manusiayang tergantung padadunia ide)karena realitas yang kita amatihanya
bayangan dari dunia ideamaka pengetahuan kita berasal darirealitas fisiitu bersifat
kabur. Pengetahuan indrawitidak dapat membukajalan bagi pemahaman tentang
realitas yang sesungguhnya. Bagi Plato pengetahuan adalah mutlak pengetahuan
bukan hasil pengamatan, ataupun pengalaman. Bagi Plato pengetahuan harus
memiliki dua ciri, yaitu harus pasti dan berupa realitas yang sempurna / abadi.
Pada bab ini juga dibahas tentang pemaparan dari pemikiran Hegel. Kendati
Hegel lebih terkenal sebagai tokoh idealisme ketimbang rasionalisme, namun kedua
aliran ini sebetulnya juga masih memiliki irisan. Kedua tokoh tersebut memiliki
kesamaan yaitu mementingkan rasio, hanya perbedaannya apabila idealisme lebih
mengacu kepada hal yang bersifat ontologis, rasionalisme, dan lebih mengacu pada
hal yang bersifat epistemology. Sedangkan rasionalisme lebih pada pengetahuan yang
di dapatkan baik dari pengalaman ataupun dari proses pengamatan.

BAB 5
EMPIRISME KLASIK DAN MODERN
Di bab 5 ini, penulis menyampaikan bahwa kita dapat memahami bahwa
banyak juga filsuf (Aristoteles, Bacon, Hobbes, John Lock, Isac Newton, Berkeley,
David Hume, dan Immanuel Kant) yang bependapat tentang sumber pengetahuan itu
berasal dari empirisme (pengalaman). Kaum empirisme lebih menekankan pada suatu
sumber pengetahuan itu harus mengaplikasikan prinsip-prinsip empiris secara
metodologis dijamin oleh pengalaman dan eksperimen.
Pada bab ini, penulis mencantumkan pendapat dari Democritus (460-360 SM)
yang mengemukakan bahwa pengetahuan bersumber dari pengamatan. Namun dalam
buku tersebut juga disampaikan bahwa Democritus mengemukakan bahwa
pengetahuan bersumber juga dari persepsi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
akan berakhir pada persepsi yang menjadi hasil pemikiran. Sedangkan Bacon dan
kaum empiris lain mencoba memisahkan nilai dan kepentingan subjek serta
menekankan bahwa hanya fenomena yang observasional dan terukur tajam yang
boleh masuk kedalam dunia ilmiah. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
persepsi tidak dapat terukur karena hanya berdasarkan pendapat seseorang.
Sedangkan eksperimen dapat dijadikan observasi dan dapat dilaksanakan secara
terukur jika semua dikondisikan secara terperinci.
Terdapat banyak pemahaman yang dapat dipetik dari materi yang disampaikan
pada bab ini, salah satunya adalah pemikiran manusia akan terus berkembang, seperti
halnya para filosof yang terus mengalami perubahan pikiran dari pendapat-pendapat
yang telah dikemukaan oleh filosof sebelumnya. Belajar untuk selalu memiliki sikap
yang kritis dan radikal, dalam artian memahami suatu hal harus dari akar-akarnya
bukan hanya sekedar faham pada wilayah permukaan saja. Dari sikap tersebut kita
akan mampu menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikiran tentang suatu
pemahaman akan hal tertentu secara utuh dan global.

BAB 6
POSITIVISME, POSITIVISME LOGIS, DAN SIKLUS EMPIRIS

Aguste Comte disebut sebagai bapak Positivisme yang menjadi pembuka pada
bab ini. Membahas tentang perjalanan hidup beliau dan pemikirannya tentang
positivisme. Positivisme Comte hanya menerima pengetahuan faktual, fakta positif
yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu. Istilah "positif” kerap digunakan
dalam tulisan Comte, yang maksudnya sama dengan filsafat positivismenya. Fakta
positivis adalah "fakta real” atau "yang nyata”. Hal positif (a positive fact) adalah
sesuatu yang dapat diuji atau diverifikasi oleh setiap orang (yang mau
membuktikannya). Pada awalnya ia memang mengembangkan ilmu Fisika Sosial,
namun dalam perkembangannya ia berpendapat bahwa manusia dan masyarakat
dianggap sama dengan alam yang memiliki hukum-hukum yang pasti (mekanis) oleh
sebab itu akhirnya beliau menggeser pengembangan ilmunya pada ilmu sosiologi atas
dasar metode empiris (dengan mencontoh metode ilmu-ilmu alam).
Selain mencantumkan asumsi dan paradikma dari positivisme, penulis juga
menyampaikan kelemahan yang ada dalam pendapat tersebut, yaitu pandangan
positivisme tentang keseragaman serta kesatuan hukum alam (grand theory) tidak
mampu menjelaskan keberagaman budaya dan keunikan manusia. Sedangkan setiap
manusia pasti berkembang dalam sebuah budaya yang beragam dan memiliki
keunikan tersendiri antara satu dan lainnya. Kemudian kepercayaan positivisme
adalah ilmu pengetahuan akan membawa pada kemajuan ternyata di sisi lain juga
menimbulkan hal-hal negative bagi kehidupan. Tidak selamanya pengetahuan bersifat
positif, karena semua tergantung pada dimana letak ia berkembang.
Kemudian pada pertengahan bab, penulis juga menyampaikan tentang
Positivisme Logis yang merupakan hasil perkembangan dari Positivisme. Tokoh
Positivisme Logis (Filsafat Analisis) dan Pemikirannya. Positivisme logis lebih
mempercayai bahwa “objek-objek fisik” atau data inderawi sebagai pola-pola dan
data-data yang konstan, sehingga pernyataan ilmiah yang kemudian menjadi titik
tolak filsafat analitis (positivisme logis), ketika menyatakan verifikasi sebagai kriteria
ilmiah dan non-ilmiah. Filsafat analitis menganggap bahwa permasalahan filsafat
dapat diselesaikan melalui penggunaan bahasa yang ketat. Selain penggunaan bahasa,
penggunaan logika dan analisis bahasa juga dilakukan untuk menghindari penggunaan
bahasa yang abstrak, ambigu, samar, kacau, atau bahasa yang semu. Sehingga tetap
ada aturan yang terukur dan sistematis.
Dalam asumsi dasar pemikiran Positivisme Logis berkembang sebelum tahun
1960-an, berbeda dengan Rasionalisme Kritis (Popper) dan Teori Kritis (Mazhab
Frankfurt) yang mulai berkembang pada tahun sesudah 1960-an. Pada poin F, penulis
menyampaikan tentang perbedaan Wittgenstein I dan Wittgenstein II serta analisis
kritis terhadap Positivisme dan Positivisme Logis. Hal tersebut disampaikan untuk
menunjukkan adanya peralihan di dalam memaknai dan memahami bahasa. Bahasa-
bahasa dipakai dengan berbagai rupa dan cara, sebagaimana layaknya permainan
(sesuai penggunaannya).
Sedangkan untuk analisis kritis atas Positivisme dan Positivisme Logis
bertujuan untuk menunjukkan sisi kelemahan yang selama ini luput dari pandangan
para ahli, yaitu tentang fenomena alam yang tidak dapat disamakan dengan sosial-
budaya, karena adanya keunikan individu dan kekhasan pada fenomena sosial–
budaya. Oleh sebab itu diperlukan paradigma lain (Paradigma Interpretatif, Krisis,
dan Konstruktivis) yang menghargai keanekaragaman dan keunikan fenomena social-
budaya itu.
BAB 7
PEMIKIRAN KUHN DAN PLURALISME PARADIGMA

Dalam bab 7 ini penulis menyampaikan tentang pemikiraan Kuhn yang


merupakan pemberontakan terhadap paradigma positivisme karena gagasan Kuhn
dianggap sangat radikal dan memberikan pengaruh bagi post positivisme dan
epistemologi postmodern dengan pluralisme paradigmanya. Menurut Kuhn seorang
ilmuwan harus ahli dalam bidangnya untuk memecahkan permasalahan yang
dihadapinya, serta harus melihat jelas semua elemen pertautan dimana elemen ini
sangat bertautan. Elemen pertautah yaitu konseptual teoritis, instrumental,
metodologis. Selain itu juga penulis sampaikan pendapat lain Kuhn, yaitu tentang
pluralitas paradigma diartikan sebagai setiap paradigma memiliki aturan dan kriteria
kebenarannya masing-masing sehingga satu paradigma tertentu tidak bisa memaksa
untuk menilai paradigma lainnya yang ada intinya aturan dan kriteria antar satu
paradigma perlu diperhatikan.
Pada bagian akhir dalam bab ini, penulis membahas tentang pendapat Egon G.
Guba dan Yvanna S. Lincoln (1985) yang mengemukakan tentang asumsi-asumsi
empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan (dengan berbagai
asumsi yang mendasarinya) diataranya: Paradigma Positivisme (Paradigma ini
menerapkan epistimologis dualis, di mana subjek harus benar-benar dipisahkan dari
objek dan teori), Post-positivisme (pemikiran ilmuan yang umumnya berlatar
belakang fisika dan matematika yang mengkritik paradigma positivisme dengan
argumen yang berbeda), Teori Kritis (ditandai dengan sikap kritis terhadap berbagai
aspek kehidupan sosial-budaya dan intelektual dengan tujuan utama yaitu
menyingkap secara akurat kondisi masyarakat dan ilmu pengetahuan modern) , dan
Konstruktivisme (semua aktivitas manusia adalah praktik sosial kontingen yang
maknanya dikonstruksi dalam pasang surut interaksi sosial.).
Dari keempat paradigma yang dipaparkan diatas dapat disederhanakan
menjadi tiga paradigma: Positivisme, teori kritis, dan konstruktivisme (Post Modern)
lantaran post-kohfilsafat kontemporer (Richard Rorty) berpandangan bahwa dialog
antara ilmuan menjadi sangat penting dalam suasana pluralisme budaya ilmiah
seperti saat ini. Bukan untuk menentukan siapa yang benar atau siapa yang salah,
sebab dalam dunia ilmiah ada kebenaran yang beragam, tergantung dari sisi mana
orang tersebut memandang atau mengkaji sebuah ilmu pengetahuan. Seorang filosof
juga hanya berperan sebagai moderator, yang mengatur lalu lintas pemikiran. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan pada bab 1 bahwa filsafat ilmua adalah sebuah ilmu
yang dapat membuat manusia menjadi lebih bijak dalam menyikapi suatu hal, sebab
dia akan melihat dari berbagai sudut pandang, tidak menghakimi hanya menggunakan
satu teori saja.
BAB 8
HERMENEUTIKA

Dalam bab 8 ini, penulis menyampaikan materi tentang hermeneutika.


Hermeneutika sendiri merupakan seni pemahaman yang mampu memberi aturan-
aturan metodologis konkret dalam menafsirkan satu teks. Melalui aturan itu,
diharapkan apa yang ingin disampaikan penulis melalui teks atau tingkah laku dapat
diungkapkan secara total (objektif). Dari pandangan tersebut hermeneutika memang
hanya terpaku pada pemahaman dengan metode yang konkret, sesuai dengan apa yang
disampaikan dalam bentuk teks ataupun perbuatan. Tokoh-tokoh yang memiliki
pandangan ini antara lain, F.Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-
1911), Martin Heidegger (1889-1976), Rudolf Bultmann (1884-1976), George
Gadamer (1960), Betti (1962), Jurgen Habermas (1968), Paul Ricoeur (1969), Szondi
(1975), Apel (1976), dan lain sebagainya.
Dalam bab ini penulis juga mnyampaikan tiga pendekatan menurut
Schleiermacher yaitu Pendekatan Linguistik (pendekatan yang di dalam menganalisis
teks menggunakan analisis bahasa atau menganalisis teks itu secara langsung).
Pendekatan Filosofis (beranggapan sebaliknya, bahwa kita tidak mungkin bisa
merengkuh makna (pemahaman) secara objektif, dan yang terakhir adalah
pendekatan Kritis yang memiliki tujuan untuk mengungkap “kepentingan”
penggagas/pengarang/penulis teks. Teks disini tidak semata-mata diartikan sesuatu
yang tertulis saja, namun budaya, politik, kondisi sosial atauoun yang bersifat
fenomenologi juga dimaknai sebagai sebuah “teks”. Dari ketiga pendekatan tersebut
semuanya mengutamakan penggunaan teks dalam menyampaikan pendapatnya.
Namun narasi yang terbentuk dalam sebuah teks tersebut tidak memiliki aturan baku
yang terstruktur.
Pada bagian akhir bab, penulis menyampaikan pendapat Malinowski bahwa,
tidak mungkin kita bicara tentang tingkah laku, tanpa bicara tentang kebudayaan,
organisasi sosial dan lain-lain (konteks budaya dan sosial). Dengan kata lain,
pengaruh budaya-sosial sangat berpengaruh dalam menafsirkan sebuah teks.
Penafsiran yang dihasilkan oleh seorang penulis diawali dengan pra-pemahaman,
sehingga tidak mungkin penafsir bersifat bebas dan netral dari pengaruh budaya-
sosialnya yang ada. Sebab memang tidak ada aturan baku terkait bagaimana
penyampaian teks hanya saja hermeneutika harus disampaikan secara konkret, jelas
dan lugas sesuai dengan objek yang ada.

BAB 9
FENOMENOLOGI

Pada bab terakhir ini, penulis seakan ingin menjelaskan materi yang telah
disinggung sejak bab 8, yaitu tentang Fenomenologi. Fenomenologi adalah ilmu
tentang fenomena atau pembahasan tentang sesuau yang menampakkan diri (manusia
dan gejala social-budaya). Penulis juga menyampaikan dua pendapat dari filsuf yang
berbeda yaitu Kant (mengacu pada yang tampak, dapat dipahami, dan dimengerti
yaitu suatu metafisik dibalik fenomena yang tidak dapat dipahami). Sedangkan
menurut Hegel (fenomena hanyalah penampakan diri dari akal yang tidak terbatas,
terdapat hubungan antara esensi dengan penampakan sesuatu yang teramati.
Dua pendapat tersebut seakan memiliki kesamaan yaitu hanya mengacu pada
apa yang tampak. Namun tampak yang dimaksud oleh dua filosof ini berbeda. Kant
lebih mengutamakan apa yang tampak sekalipun hanya metafisik (nonfisik atau tidak
kelihatan), sedangkan Hegel berpendapat sesuatu yang tampak itu adalah apa yang
dapat diamati secara konkrit.
Pada bagian pertengahan bab 9, penulis menyampaikan pendapat filsuf lain
tentang fenomenologi, yaitu Martin Heidegger dan Potty . Menurut Heidegger
fenomenologi dapat digunakan sebabagi analisis eksistensial, sebab focus
pengamatannya memang lebih pada dunia manusia atau dengan istilah in-der-welt-
sein (ada-dalam-dunia). Hal tersebut didasarkan pada pendapatnya bahwa manusia
ada keterlibatan, keterkaitan, komitmen dan memiliki keakrapan dengan lingkungan
alam dan budayanya. Dari pendapat tersebut jelas bahwa Heidegger memiliki tujuan
untuk menginterpretasikan apa yang tersembunyi melalui manusia itu sendiri.
Penyelidikan tentang apa yang ingin diketahui melalui manusia sebagai makhluk
yang mampu berfikir logis dan mampu mempertanyaan suatu hal secara konkret.
Sedangkan Potty berpendapat bahwa fenomenologi adalah filsafat yang
menerima kenyataan bahwa dunia telah tersedia sebelum melakukan usaha terhadap
perenungan tentang dunia itu. Keberadaan dunia itu diterima sebagai sesuatu yang
tidak dapat dipungkiri atau dibuang. Pendapat ini meyakini bahwa dunia sudah
memiliki banyak fenomena-fenomena tanpa harus ada keikutsertaan manusia dalam
mengkajinya. Entah sebagai subjek ataupun objek semua sudah tersedia dan manusia
hanya tinggal menggunakan atau menyampaikannya saja. Dari berbagai pendapat ini,
ada satu titik temu yang sama, yaitu mereka menjembatani pandangan tentang subjek
ataupun objek dengan sudut pandang masing-masing.
Selanjutnya pada bagian akhir penulis menyajikan materi tentang
Fenomenologi dan Ilmu-ilmu Sosial-Kemanusiaan. Ilmu ini sudah mendapatkan
banyak perhatian oleh para ahli, sejak bab 6 yaitu pada materi positifisme, dan
positivisme logis yang mulai membahas penggunaan bahasa dan sudah ada perhatian
untuk mengkaji sosial-budaya dalam ilmu sosiologi.Kemudian penulis juga
menyampaikan tentang fenomenologi yang dikaitkan dengan ilmu psikologi. Penulis
mencantumkan pendapat Maslow, yaitu tataran keutuhan manusia (fisiologis, rasa
aman, cinta dan rasa memiliki, dan aktualisasi diri) sebagai hasil penelitian dengan
menggunakan metode kualitatif (fenomenologi) dan melahirkan teori psikologi
humanistik Maslow. Psikologi humanistik ini menggunakan metode fenomenologi
untuk mengadakan penelitian tentang eksistensi manusia.
Kita dapat menarik kesimpulan dari bab terakhir dalam buku Filsafat ilmu ini,
yaitu memahami pendekatan fenomenologi pada dasarnya adalah menggali “makna”
terhadap suatu fenomena yang ada dan dapat saja digunakan untuk mengkaji berbagai
ilmu sosial termasuk ilmu psikologi yang sangat erat kaitannya dengan kajian tentang
manusia itu sendiri.
D. KESIMPULAN
Buku ini diawali dengan penyampaian materi tentang apa itu filsafat, apa itu
pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar itulah yang menjadi pemantik penulis
untuk membahas filsafat ilmu lebih mendalam. Disampaikan secara runtut dari
perkembangan awal, dari filosof yang mengkaji ilmu pasti sampai filosof yang
mengembangkan pemikirannya pada kajian ilmu social-budaya. Penulis juga
menyampaikan tentang latar belakang kehidupan para folosof, mungkin dari sana
penulis juga ingin menyampaikan bahwa latar belakang dari filosof juga akan
mempengaruhi pola pikir dari filosof itu sendiri hingga mengembangkan teori-teori
yang dapat diterima oleh publik.
Buku ini tepat untuk dibaca oleh semua mahasiswa baik tingkat S1 ataupun S2
dari berbagai jurusan, sebab ilmu filsafat adalah dasar dari segala ilmu pengetahuan.
Belajar filsafat akan mengajari kita untuk berfikir kritis, radikal (dalam artian berfikir
sampai akar-akarnya bukan hanya sekedar menerima informasi begitu saja), sistematis
dan juga universal. Pemikiran yang mendalam akan mengajarkan kita untuk dapat
berfikir kritis dengan apa-apa yang akan kita pelajari. Selain itu kita juga dapat belajar
untuk lebih menghargai pendapat orang lain, karena setiap orang memiliki pemikiran
dan dasar pandangannya masing-masing.
Meskipun pada awalnya sedikit kesulitan dalam memahami, namun setelah
membaca berulang kali pemahaman itu muncul dengan sendirinya. Antara bab satu
dengan yang lain juga saling berkaitan sekalipun disampaikan secara tersirat.
Penambahan foto filosof, bagan dan juga tabel juga memudahkan pembaca untuk
memahami buku yang memiliki 260 halaman ini.

Anda mungkin juga menyukai