Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang sering terkait, baik secara substansial maupun
secara historis karna kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
paerkembangan ilmu memperkuat keberadapan  filsafat,  kelahiran filsafat di yunani
menunjukkan pola pemikiran bangsa yunani dari pandangan mitologi akhirnya lenyap  dan
pada gilirannya rasiolah yang lebih domain, dengan filsafat pola yang berfikir yang selalu
tergantung  rasio.
Dengan berkembangnya pola fikir manusia, maka berkembang pula tentang pemikiran
dan pembahasan di dalam filsafat. Filsafat dibagi menjadi empat periode. Namun pada 
pertemuan ini kami membahas hanya dua periode yakni, periode modern dan periode
kontemporer yakni Filsafat klasik, filsafat abad pertengahan, filsafat modern dan filsafat
kontemporer. Untuk pembahasan lebih lanjut, kami akan membahas dalam pembahasan
selanjutnya.

B.  Rumusan masalah
A. Bagaimanakah sejarah perkembangan filsafat di Barat pada periode modern  dan
kontemporer ?
B. Bagaimanakah sejarah perkembangan filsafat di Islam Timur pada periode modern dan
kontemporer ?
C. Apa perbedaan yang mencolok tentang sejarah perkembangan filsafat yang ada di Barat
dan di Islam timur ?
                                

1
BAB II
PEMBAHASAN

FILSAFAT BARAT

A.  Filsafat: Sebuah Perkenalan Awal


       Secara etimeologis (asal-usul kata), istilah filsafat berasal dari kata yunanai philia (=love,
cinta) dan sophia(= wisdom, kebijaksanaan). Namaun, jika hanya mendasarkan diripada arti
etimologi istilah in, maka kita tidak akan dapat memahami definisi filsafat dalam pengertian
operasionalnnya dan perkembangannya kemudian. Hla yang sama barangkali akan dialami
seandainya kita berusaha memahami istilah-istilah lain dalam ilmu pengetahuan. 1  Misalnya
saja pengertian  “psikologi”. dengan hanya meninjau arti etimologis istilah psikolog
(psyche=jiwa;logos=pengetahuan atau ilmu) akan membawa kita pada pengertian bahwa
fisikologi adalah ilmutentang  jiwa. Padahal kita tahu bahwa dalam perkembangannya yang
libih kemudia, psikolog tidak lagi mendefinisikan pisikologi sebagai ilmu pengetahuan
tentang tingkah laku dan proses-proses mental manusia (simith, dkk., 2002;feldman, 1999).
Tidak mudah memberikan definisi yang beragam tentang filsafat. Banyak filsuf memberikan
definisi yang beragam tentang apa itu filsafat tidak mudah untuk didefinisikan, maka kita
akan menemukan beberapa faktor yang menjadi penyebab di antarannya:
1. Para filsuf tidak setuju (berbeda pendapat) dalam menentukan prioritas objek kajian
(subject matter) filsafatnya ada filsuf yang memberikan tekana pada alam, manusia,
tuhan  ada juga yanga memberikan tekanan pada bahasa, sosial, politik,serta budaya.
2. Perbedaan dalam memberikan tekanan pada objek kajian filsafat mendorong mereka
mendefinisikan filsafat secara berbeda satu sama lain. Pehatikan beberapa contoh
definisi filsafat yang didefinisikan sejumlah filsafat yang berbeda-beda berikut ini:
a. Filsafat adalah pencarian makna hidup manusia.
b. Filsafat adalah analisis dan kritik atas ilmu pengetahuan, sampai ditemukan hakikat
ilmu pengetahuan sebenarnya.
c. Filsafat adalah analisis bahsa, upaya untuk memahami hakikat bahasa sarana
komunikasi manusia.
d. Filsafat adalah kritik kebudayaan.
e. Filsafat adalah upaya pemahaman-diri melalui simbol-simbol manusiawi (budaya,
politik, bahasa, religi, kesenian).
Jika definisi-definisi tersebut dipertimbangkan secara sendiri-sendiri, maka masing-
masing baru menggambarkan sistem filsafat secara keseluruhan.
a. Sejak perkembangannya ilmu-ilmu pengetahuan empires (baik dalam ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu bahasa). Filsafat redefinisi dalam hal peran dan
kontribusinya untuk pengetahuan manusia. Filsafat dewasa ini tidak lagi mengklaim “induk
segala ilmu”), tetapi secara sadar-diri kehidupan manusia. Filsafat dewasa ini tidak
samadengan filsafat Zaman Yunani kuno (Socrates,plato,Aristoteles,dan para filsafat klasik
lainnya) dan para filuft moderen (seperti Rane Descatres). Di kedua periode sejarah filsafat
tersebut filsafat dimaksudkan sebagai upaya raksasa untuk melakukan penemuan-penemuan
tentang hakikat alam semesta (alam, manusia, tuhan). Pada masa itu, seorang filsuf seperti
1
Filsafat-ilmu.blogspot.com
2
Aristoteles (384-322 SM) maupun menulis berbagai kajian dalam berbagai bidang ilmu
pengetahua, mulai dari metafisika sampai fisika, matematika, kedokteran, biologi,
astronomi,dan psikologi. Hal yang sama pun ada pada filsuft moderen seperti Descartes
(1592-1660) yang sangat fasif berfikir dan menulis tentang masala-masala fisika, psikologi,
sama fasihnya dengan menulis metafisika (fisafat). Akan tetapi, para filsuf dewasa ini
mempersempit kajiannya terhadap aspek-aspek tertentu dari alam semesta. Dewasa ini secara
filsuf yang tertarik pada bahasa, tidak serta merta mengetahui mengenai hakikat alam
semesta. Seseorang filsuf yang tertarik pada masalah hakikat ilmu pengetahuan, tidak akan
berbicara tentang Tuhan dan hal-hal metafisika. Seseorang filsuf yang tertarik untuk
menemukan makna hidup manusia, tidak malakukan analisis secara mendalam terhadap
bahasa-bahasa manusia.

b. Para filsuf dewasa ini lebih tertarik untuk menganalisiskehidupan manusia secara
nyata, baik kehidupan manusia sebagai individu maupunsosial dan kultural. Meraka mereka
tertarik pada masalah-masalah eksistensial seperti pengalaman manusia, makna hidup, makna
“aku”, makna penderitaan dankebahagiaan, makna kebebasan dan keterkungkungan. Ini
dimulai terutama sejak Kierkegaard (1813-1855), Hursell (1859-1938), dan para
eksistensialis lainnya seperti Martin Heidegger (1889-1976) dan Paul Sartre (1905-1980).
Parafilsuf pasca –eksistensialisme pun, yakni struktrualisme, teori kritis, dan post-medernism,
menulis tentang topik yang lebih kontekstual. Mereka menulis tentang pluralisme manusi,
tentang dominasi-dominasi struktural yang mengungkung manusia, tentang ketertindasan
perempuan, tentang kekuasaan dan penindasan yang tersembunyi dibalik kehidupan
masyarakat, tentang makna kebudayaan lokal, dan lain-lain.2
Meski objek kajian filsafat sangat beragam, dan selalu mengalami perkembangan,
tetapi pada dasarnya ada beberapa kesamaan yang dapat diidentifikasi dalam karya-karya
mereka. Pertama, karya-karya meraka pada umumnya berupaya menemukan hakikat
(insentif) atau makna dari apa yang sedang mereka teliti. Jika meneliti manusia, maka yang
hendak dicari jawabannya adalah apa sebetulnya hakikat manusia itu (atau, apa makna
menjadi manusia). Jika mereka meneliti alam semesta, maka yang mereka cari adalah
jawaban tentang apa hakikat alam semesta itu (atau, apa maknayang terkandung di balik alam
semesta yang kita tinggali ini). Jika meneliti kebudayaan, maka mereka sedang berusaha
mememukan jawaban tentang apa hakikat kebudayaan itu (atau, apa makna kebudayaan bagi
hidup manusia). Kedua, hakikat yang dicari oleh mereka bukan hhanya hakikatobjek yang
diteliti, tetapi juga sabjek (filsuf itu sendiri) yang sedang meneliti atau sedang melakukan
pencarian. Contoh: jika seorang filsuf menemukan dan bisa membuktikan secara logis bahwa
hakikat alam adalah materi dan manusia  adalah bagian dari alam  (materi), maka ia pun
memahami hakikat dirinnya  sebagai materi (tubuh).  Ketiga, para filsuf (berbeda dari
parailmuan) tidak melakukan penelitian empires, baik survei,eksperimental, atau studi
korelasional, pemikiran-pemikiran filsafat mereka lebih menitik beratkan pada pemikiran
logis dan rasional. Artinnya, yang ditentukan dalam berfilsafat adalah kemampuan dan
kekuatan berfikir logis dan rasional.

2
Bagir, Haidar. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan,hal 45

3
1. Jenis-Jenis Filsafat
Merujuk pada karya Pater Koestembuan (1968), dapatlah dikatakan bahwaterdapat tiga
jenis filsafat, yakni filsafat sebagai analisis, filsafat sebagai sintesis, dan filsafat sebagai
upaya mencari ,makna  hidup.

A.  Filsafat Sebagai Analisis3


Filsafat sebagai analisis berarti bahwa filsafat merupakan suatu analisis terhadap masalah-
masalah yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Beberaspa contoh analisis
yang dilakukan oleh filsafat antara lain adalah:
a)    Analisis atas common sense. Contoh: ketika melihat sebatang pohon, orang
awam pada umumnya sudah cukup puas dengan mengatakan, “saya melihat sebatang pohon.”
Namun, sebagian besar filsuf misalnya akan bertannya,  “apakah pohon yanng tampak itu
sama dengan pohon yang sebenarnya? ” pertanyaan-pertanyaan yang tampak artifisial ini
sebetulnya memiliki konsekuensi yang cukup penting jika diperluas kepada ilmu
pengetahuan. Misalnya, apakah teori-teori ilmu pengetahuan betul- betul mengambarkan dan
menjelaskan realita yang sesungguhnya? Apakah teori-teori tersebut sungguh-sungguh
objektif, lepas dari subjektivitas para ilmuwannya? Selain mana peran para ilmuan
memberikan warna subjektif dalam pembentukan teori-teori mereka?
b) Analisis atas masalah-masalah etika atau moral. misalnya: eatunasia (upaya mengakhiri
hidup pasien oleh dokter atas dasar kemanusiaan) dan hujuman mati. Pertanyaanya, atas dasar
apa manusia (seorang dokter, misalnya) mencabut nyawa manusia lain? Bagaimana
pertanggungjawaban di depan tuhan?
c)      Analisis atas masalah-masalah estetika. Misalnya: gambar lukisan orang telanjang.
Pertanyaannya, apakah gambar orang telanjang termasuk pornografi atau estetika (seni
keindahan)? Apakah gambar orang telanjang sama dengan keindahan (estetika) atau justru
melanggar norma-norma sosial, sehingga harus dimasukkan ke dalam pasal-pasal Undang-
Undang Anti Pornografi?
d)     Analisis tentang keberadaan tuhan dan agama. Mengapa orang beragama? Apakah
tuhanmemang menciptakan manusia atau, seperti dikemukakan oleh fouerbach (1894-1872)
dan Karl Marx (1818-1883) bahwa justru manusia sendiri yang menciptakan tuhan ? apakah
pernyataan-pernyataan religius bisa diverifikasi (dibuktikan kebenarannya)? Apakah rasio
manusia bisa mendeksripsikan kebenaran dan sifat-sifat Tuhan.
e)      Analisis atas ilmu pengetahuan. Apakah dasar-dasar atau asumsi-sumsi yang menjadi
landasan ilmu pengetahuan? Apakah kemajuan ilmu pengetahuan berkembang secara
evolusioner atau revolusioner? Apakah ilmu pengetahuan kebaikan pada manusia dan
peradaban atau justru mambawa kehancuran pada peradaban?
f)       Analisis atas negara. Bentuk negara apa yang terbaik bagi kehidupan manusia –
demokrasi, otoritarianisme, militerisme, teknokrasi? Apa dasar pilihan kita atas bentuk,
bentuk negara tersebut? Apakah demokrasi merupakanbentuk pemerintahan yang terbaik?
Mengapa dalam negara demokrasi perlua ada kontrol rakyat terhadap penyelenggaraan
negara (pemerintah)?

3
Ibid,hlm 149

4
g)      Analisis atas manusia. Apakah setiap tingkah laku digerakkan oleh kehendak
pribadinnya atau ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang tidak bisa dikontrol oleh manusia
(misalnya oleh ketidaksadaran dan gerak kinestetik dari sistem saraf pusat kita)? Mengapa
manusia perlu memiliki moral tertentu sehingga tingkah lakunnya tidak seperti hewan, yang
hanya mengandalkan gerak naluriah dan impulsif?
h)      Analisis atas masyarakat dan kebudayaan . masyarakat dan kebudayaan seperti apakah
terbaik sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembangnya manusia-manusia masa depan yang
otentik dan unggul? Nilai-nilai apa yang mendasri kebudayaan dan kehidupan masyarakat
dan anggota-anggota masyarakat terjamin kebebasan dan keotentikannya?
i)      Di samping aspek-aspek kehidupan yang telah dijelaskan di atas, filsafat pun melakukan
analisis terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya, misalnya politik, hukum, ekonomi, dan
lain-lain.

B. Filsafat sebagai Sintesis


Filsafat sebagai sintesi berarti bahwa filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mensintesiskan pengalaman dan pengetahuan kedalam suaru visi atau pandangan mengenai
realitas. Oleh sebab itu, seorang filsuf seperti Ernst Cassires (1874-1945)  misaklnya merasa
perlu untuk mengumpulkan banyak inpotmasi tentang ilmu budaya, agama, psikobiologi,
psikologi, psikologi komperatif (lihat Bab 3 dalam buku ini), untuk bisa sampai pada suatu
sintesi bahwa hakikat manusia  adlah hewan pengguna simbol (animal symbolicum).
Demikian juga halnya dengan filsafat Bergson (1858-1941) tentang elan vital, yang
merupakan hasil dari upaya mensintesiskan barbagai imformasi dari fisika, bioligi dan
bahkan dari agama-agama besar. Hal yang sama bisa ditemukan dalam filsafat Scopenhauer
(1788-1860) dengan kehendak butannya dan filssafat Descartes dengan dualisme materi dan
jiwanya  (lihatnya Abidin, 2009).
Salah satu cabang filsafat yang dinamakan metafisika merupakan bagian dari filsafat
sintesis ini. Dalam metafisika kita bisa menemukan pandangan-pandangan yang bersifat
materialistik atau idealistik tentang kenyataan. Menurut para materialis (para filsuf penganut
paham materialisme), kenyataan pada dasarnya materi. Ide atau “roh” jika memang ada, pada
dasarnya merupakan produk dari materi. Sebaliknya menurut para idealis (para filsuf
penganut paham idealisme), semua kejadian pada dasarnya bersifat mental atau spiritual, apa
yang tampak material pada dasarnya modifikasi atau perwujudan dari roh (jiwa), apakah itu
bersifat individual (“aku”), kolektif (masyarakat), atau yang tunggal (Tuhan).

C. Filsafat sebagai pencarian Makna Hidup


Filsafat pun dapat menawarkan pemikiran tentang makna kehidupan. Filsafat juga ini
disebut sebagai filsafat hidup, karena mencoba mencari jawaban mengnai pentanyaan-
pertanyaan tentang makna hidup. Pernyataan-pernyataan yang coba dicari jawabannya antara
lain: apa sebetulnya makna kehidupan ini? Apakah sesungguhnya tujuan hidup manusia itu?
Apakah tujuan hidup manusia pada dasarnya untuk menemukan kesenangan,melayani ummat
manusia lainnya, aktualisasi-diri, mendapatkan status, merebut kekuasaan, atau memperoleh
penghargaan dan prestise? Apakah kehidupan itu sudah bermakna dan kita tinggal
menjalaninya,atau sebetulnya belum bermakna sehingga kita sendiri yang harus membuatnya

5
bermakna? Apakah kebahagian kita atau justru membuat hidup kita lebih optimaldan
bahagia?
Sebagia4n dari filsafat Socrates, plato, Aristoteles, dan, pemikiran filsafat sejumlah fulsuf
medern seperti Schopenhauer dan para eksistensialis dapat dikategorikan sebagai filsafat
hidup. Filsafat mereka merefleksikan kerja keras untuk menyelami makna kehidupan dan
memikirkannya secara filsafat. Meski mereka pun memikirnya gejala alam fisik dan biologis,
tetapi pemikiran mereka tentang biologis, tetapi pemekiran mereka tentang gejala tersebut
pada akhirnya ditujukan untuk memahami maknna hidup manusia, termasuk makna hiduo
mereka sendiri.
Aliran filsafat ini hanya tertarik pada analisis bahasa (jadi, filsafat sebagai analisis atas
teori-teori ilmu pengetahuan), dan tidak begitu tertarik untuk membuat sintesis dan pencarian
makna hidup atau metafisika. Demikian pula dengan filsafat post-modernisme yang tertarik
pada kritik sosial dan kebudayaan, dan mengecam adanya filsafat dengan sintesis-sintesis
besar (filsafat universalistik).

D. Filsafat sebagai Tinjauan kritis terhadap berbagai Masalah kemanusiaan


Di samping ketiga jenis filsafat seperti dikemukakan oleh Koestambaum di atas, terhadap
jenis filsafat lain yang disebut filsafat sebagai kajian kritis terhadap berbagai masalah
kamanusiaan, melalui filsafat, para filsuf coba mengkritik dan mengungkap ke permukaan
apa yang ada  dibalik gejala kehidupan yang oleh orang awam dinilai sudah lazim atau tidak
ada lagi masalah. Ciri kritis filsafat ini terutama tampak dari pemikiran-pemikiran filsafat
dari Karl Marx (1818-1883) dan para filsuf yang berasal dari gerakan filsafat kritis, seperti
Max Hokheimer (1895-1973), Theodor Adorno (1903-1929-...). menurut mereka, di balik
kehidupan masyarakat dan pemerintah yang kita jalani, terhadap ideologi-ideologi tertrentu
yang langsung maupun tidak langsung memengaruhi dan bahkan menominasi tingkah laku
dan pengalaman kita. Ideoloagi-ideologi tersebutdibuat oleh para penguasa (politik dan
ekonomi) dan hanya menguntungkan mereka, tetapi menyengsarakan masyarakat banyak.
Jadi, ada ketidak adilan dalam kehidupan sosial manusia. Para filsuf yang beraliran teori
kritis coba mengungkap gejala ini dan mengkritis kehidupan yang sebetulnya eksploitatif dan
tidak adai itu. Lebih jauh bahkan filsafat mereka menjadi praktis, karena ingin ingin
mengubah kondisi yang tidak adil itu menjadi kondisi adil.

2.  Metode dan Kebenaran Filsafat


Tidak seperti ilmu pengetahuan, filsafat menggunakan metode-metode empiris seperti
survei atau eksperimen. Filsafat bukan ilmu empires, yang meneliti hubungan sebab-akibat
atau korelasi antara satu atau lebih variabe dengan variabel (-variabel) lainnya. Filsafat pun
tidak membatasi gejala berdasarkan pada populasi dan sampel. Filsafat tidak menggunakan
instrumen pengambilan data seperti interviu, kuesioner, atau alat-alat yang bisa digunakan di
laboratorium (teleskop, mikroskop,unsur-unsur kimia, dan lain sebagainnya). Karena
persoalan filsafat sangat luas, tidak dibatasi oleh popu;asi dan sampel, maka satu-satu alat
atau metode yang digunakan oleg filsafat adalah kemampuan dan ketajaman berpikir, disertai
oleh kemampuan berpikir logis dan rasional.

4
Ibid, hlm 153

6
Ada banyak metode filsafat. Tetapi yang terkenal antara lain adalah: dialektika (plaoto,
Heger, Marx dan kaum Marxis), skeptisisme (Descartes), kritik transendental (Kant),
fenomenologi (Husserl dan eksistensialis), intuisi,(bergson) dan seterusnya. Meski ada
banyak metode filsafat, tetapi secara umum metode-metode tersebut mempunyai satu ciri
yang sangat esensial, yakni logis (keheren). Pada umumnya para filsuf memiliki sistem
filsafat yang sangat ketat, yang dibangun oleh kemempuan yang sangat logis dan sistematis.
Kerena cara berpikir logos dan sistematis menjadi ciri utama dari metode filsafat maka jenis
kebenaran filsafat terutama adalah kebenaran koherensi.
Sesungguhnya, secara tradisional, terdapat tiga jenis kebenaran yang dapat menjadi tolak
ukur untuk mengetahui kebenaran pengatahuan manusia, yakni koherensi, korespondensi, dan
pragmatis. Koherensi adalah kebenaran sesuatu pengetahuan, dimana pernyataan-pernyataan
yang menyususn pengetahuan tersebut tidak saling bertentangan, melainkan saling bertautan
secara logis (koheren). Contoh: jika seorang filsuf meyakini bahwa hakikat kenyataan pada
dasarnya adalah materi, maka manusia sebagian dari kenyataan adalah uuga meteri. Tidak
mungkin ada kenyataan spiritual dalam kehiduapan; tidak mungkin ada jiwa yang bersifat
ilahiah dalam diri manusia. Konsekuensi dari keyakina ini adalah bahwa tidak mungkin akan
ada tuhan, surga, atau neraka, setelah kita meninggal dunia. Sebagai materi maka kita
mengalami proses kehidupan yang alamiah, yakni mengalami aus atau penyusustan.
Artinnya, sebagian materi kita akan musnah oleh waktu, sehingga tidak bisa hidup lagi
setelah kia musnah (meninggal).
Selain ditepapkan dalam pemikiran-pemikira filsafat, contoh kebenaran koherensi tampak
dari pernyataan-pernyataan atau aksioma-aksioma matematika. Tidak perlu ada pembuktian
empires atau pengalaman inderawiuntuk membuktikan kebenaran pernyataan-pernyataan
matematik. Tidsk perlu menunjuk pada benda-benda tertentu untuk membuktikan bahwa
3+2=5,atau 100 x 100=10.000.
Koresponsensi adalah jenis kebenaran suatu pengetahuan, di mana pernyataan-pernyataan
yang menopang pengetahuan tersebut memiliki acuan pada kenyataan. Misalnya, jika kita
mengatakan bahwa bunga itu merah, maka kebenaran dari pernyataan itu adalah warna merah
yang kita persepsi. Jaika kita membaca sebuah teori, maka kebenaran dari teori yang kita
baca adalah kalau ada kesesuaian (korespondensi) dengan fakta yang dijelaskan oleh teori itu.
Jika ada survei yang menyebutkn bahwa 2 dari 3 laki-laki beristri di jakarta memiliki WIL
(wanita idaman lain), maka kebenaran dari survei itu harus sesuai dengan jumlah yang
sebenarnya. Berbeda dari kebenaran koherensi yang tidak begitu mempermasalahkan acuan
luarnya (realitas yang teratami oleh pancaindra), korespondensi justru sangat memberikan
tekana pada acuan luar (kenyataan).
Pragmatis adalah jenis kebenaran suatu pengetahuan dengan cara mengukur keguanaan
dari pengetahuan itu. Suatu pengetahuan atau pernyataan memiliki nilai kebenaran jika bisa
dimanfaatkan atau digunakan. Jika kita mengetahuai bahwa matahari merupakan sumber
energi, maka berarti pengetahuan itu bisa dimanfaatkan, misalnya dengan menjadikan cahaya
matahari sebagai energi listrik atau energi yang menggerakkan kendaraan bermotor.
Nah, dari tiga jenis kebenaran tersebut, filsafat lebih menekan-kanka pada kebenaran
koherensi. Alasannya terutama karenahakikat kenyataan yang dikaji filsafat tidak sepenuhnya
teramati (observable),sehingga kebenaran pengetahuan filsafat i tidak sepenuhnya dapat
dibuktikan secara empires. Tidak semua pengetahuan manusia memiliki acuan empires.

7
Pengetahuan manusia, khususnya filsafat, sering malampaui fakta-fakta empires, sehingga
teori korespondensi tentang kebenaranrurang relevan dijadikan sebagai tolak ukur bagi
kebenaran filsafat.

3.  Bidang-bidang dan Bagian-bagian Filsafat


Jika kita mengamati karya-karya besar para filsuf, terutama karya-karya filsuf Yunani
seperti Aristoteles (384-322 SM) dan filsuf jerman terkemuka seperti Imauel Kant (1724-
1804), maka kita bisa membedakan adanya tiga tema besar dalam kajian filsafat, yakni:
kenyataan, Nilai, dan pengetahaun. Ketiga tema tersebut masing-masing dikaji oleh tiga
cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang
kajian eksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistemologi. Masing masing
bagian filsafat tersebut memiliki sub-sub bagaimana sendiri seperti berikut ini.
Tabel 2 Cabang-cabang Filsafat
SUB
CABANG CABANG
TEMA FILSAFAT FILSAFAT DEFINISI
Studi filsafat yang mengkaji
persoalan persoalan tentang
Ontologi ada (dan Tiada)
Studi filsafat yang mengkaji
persoalan-persoalan tentang
alam semesra, asal-usul dan
unsur-unsur yang
Konsmologi membentuk alam semesta
Kajian filsafat mengenai
persoalan-persoalan tentang
hakikat manusia, hubungan
Filsafat jiwa dan tubuh, kebebasan
manusia dan keterbatasan manusia
Cabang filsafta yang
mencari jawab tentang
persoalan-persoalan agama,
munculnya agama, dan
Filsafat kebutuhan manusia terhadap
Kenyataan Metafisika agama agama
Studi filsafat tentang
Teori sumber-sumber dan
pengetahuan validitas pengetahuan
Studi tentang penyususna
argumen-argumen dan
penarik kesimpulan-
pengetahuan Esiptemoli Logika kesimpulanyang valid
Filsafat Kajian filsafat tentang
bahasa hakikat, asal-usul,

8
kegunaan, dan makna
bahasa
Studi tentang landasan-
landasan filsafat ilmu
pengetahuan, sumber-
sumber ilmu pengetahuan,
proses-proses pembentukan
Filsafat ilmu teori ilmiah, kriteria
pengetahuan kebenaran ilmiah
Kajian filsafat mengenai
bagaimana seharusnya
manusia bersikap dan
Etika atau bertingkah laku,apa makna
filsafat etika atau moralitas dalam
moral kehidupan manusia
Bagian dari filsafat yang
mengkaji mengenai
keindahan, kesenian, yang
Estetika diakibatkan oleh keindahan
Studi filsafat mengenai
(dasar-dasar) negara,
perhubungan individu
Filsafat dengan negara, persoalan
sosial dan keadilan, hak dan kewajiban
politik negara serta warga negar.
Cabang filsafat yang
mengkaji persoalan-
Filsafat persoalan hukum dan teori-
Nilai Aksiologi hukum teori keadilan.
Terdapat dua catatan penting mengenai isi tabel diatas. Pertama, sub-sub cabang filsafat
diatas hanyalah sebagian saja banyak sub cabang filsafat lainnya. Disamping yang telah
disebutkan pada tabel tadi, terdapat sub-sub cabang filsafat lainya seperti filsafat pendidikan,
filsafat sejarah, filsafat ketuhanan, filsafat kebudayaan, dan lain-lain. Hal itu menunjukkan
luasnya objek kajian filsafat, yakni mencakup banyak hal yang ada dalam kehidupan
manusia.
Kedua, pembagian sub-sub cabang filsafat tadi pada kenyataanya tidak seketat atau
sekaku yang mungkin kita bayangkan setelah melihata tebel tadi. Seorang filsuf yang
mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis mengenai “Ada” misalnya,
sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi
masyarakat,bahkan etika. Ini misalnya tampak filsafat Heidegger. Dalam bukunnya yang
terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari
dan memahami “Ada”. Akan tetapi, dia mengaku bahwa “Ada” hanya dapat ditemukan pada
eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, maka dalam bukunnya itu

9
dia membahas mengenai keontetika, kecemasan, dan oengalaman-pengalaman manusia
dalam kehidupan sehari-hari (lihat abidin, 2009).

4. Ciri-ciri Persoalan Filsafat


Filsafat adalah sekumpulan pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses berfikir
yang sangat logis dan sistematis. Toko-tokoh yang menghasilkan pengetahuan filsafat
tersebut disebut filsuf-filsuf. Namun, filsafat pun pada dasarnya adalah suatu pendekatan
(approach) dalam memandang, mendekskripsikan, objek-objek kajiannya (kenyataan, nilai,
dan pengetahuan). Disebut pendekatan lain seperti ilmu pengetahuan, agama, media massa,
dan poengetahuan sehari-hari. Yang membedakan filsafat dengan jenis-jenis pengetahuan
lainnya tadi,5 antara lain adalah sebagai berikut:
a)        Ruang lingkup persoalannya luas. Filsafat bukan ilme pengethuan empires, sepetri
halnya psikologi, microbiologi, atau fisika plasma. Pernyataan-pernyataan
filsafat  melampaui batas-batas pernyataan ilmu-ilmu empires. Oleh sebab itu, untuk mencari
jawaban atas pernyataan –pernyataan filsafat, katakanlah mengenai hakikat manusia, ia
memerlukan, bukan hanya data yang bisa diamati secara langsung ( secara empires), tetapi
juga sejauh yang bisa dipikirkan oleh manusia.
b)        Tingkat abstraksi persoalnnya tinggi. Filsafat tidak berkenaan dengan hal-hal individu
seperti pohon  ini atau bayi itu, atau dengan hal-hal kolektifseperti manusia Sunda dan
manusia Jawa, melainkan dengan hakikat alam, realitas, atau manusia pada umumnya,atau
hakikat kebudayaan pada umumnya. Artinya, persoalan filsafta mengatasi ruang dan waktu.
(itulah sebabnya persoalan dan jawabanfilsafat tidak pernah bisa kadaluarsa, out of date,
melainkan selalu aktual).
c)        Persoalannya mendasar (fundemental). Filsaft melibatkan prinsip-prisip yang di
atasnya terdapat konsepsi kita mengeni manusia, diri sendiri, dan juga mengenai nilai, yakni
apa yang penting bagi kehidupan kita (koestembaun, 1967). Prinsip-prinsip tersebut
biasannya menjadi pedoman bagi kita, terutama ketika sedang mengalami krisis dalam
menjalanka hidup, misalnya ketika menderita, putus asa, diorientasi nilai. Dalam krisis, kita
ingin kembali pada jawaban atas persoalan-persoalan itu.
d)       Peroalan tidak dapat dipecahkan oleh metode ilmiah, yakni melalui observasi atau
eksperimen. Misalnya, persoalan moral dari kloning tidak bisa dipecahkan melalui hasil jarak
pendapat atau survei, karena dampak moral yang diakibatkan oleh kloning bukanlah masalah
kuantitas orang yang menyatakan setuju atau tidak setuju. Persoalan moral harus ditinjau
melalui tinjauan filosofis (dan agama juga secara agama), karena menyangkur keberadaan
dan harkat manusia, serta peran tuhan dalam penciptaan manusia.
e)        Pendekatan bukan hanya memberi tekanan pada fakta sebagaimana adannya  (das
Sein), tetapi juga pada bagaimana seharusnya (das Soller). Dengan perkataan lain,  yang
menjadi persoalan filsafat bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga membagi tanggapan
atas nilai dari fakta  itu. Ambil sebuah contoh tentang masalah kloning. Filsafat tidak hanya
ingin mengetahuai bagaimana proses kloning itu terjadi, tetapi juga apanimplikasi etis dan
moralnya bagi manusia di masa-masa yang akan datang. Demikian juga halnya dengan
kondisi sosial. Filsafat tidak mendeskripsikan dan menjelaskan peran-peran dan kuasa-kuasa

5
Praja, Juhaya.S. 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta:Prenada Media.hlm 68
10
sosial dalam masyarakat (seperti halnya sosiologi misalnya), melainkan mengkaji iplikasi etis
dari peran-peran pemegang peran dan kuasa, sehingga mengakibatkan munculnya masalah
etika dan moral (antara lain pelanggaran hak asasi manusia).

B. Hubungan Filsafat dengan ilmu pengetahuan


Filsafat seng disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu
pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari berkembangnnya dari
filsafat. Sebelum ilmu penetahuan lahir, filsafat telah memberikan landasan yang kuat. Para
filsuf Yunani klasik seperti Demokritos sampai tiga serangkai guru dan murid yang sangat
terkenal yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom,
naluri,emosi,bilangan dan ilmu hitung (Matematika), demokrasi, sistem pemerintahan dan
kemasyarakatan, yang kemudian dikembangkan oleh fisika, biologi, kedokteran, matematika,
ilmu, budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu poitik.
Lalu, setelah ilmu-ilmu pengetahuan melepaskan diri dari filsafat dan dengan tegas
menyatakan kemandiriannya, bagaimana bentuk hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan?
Bagaimana dengan kedudukan dan kegunaan filsafat selanjutnya? Kedudukan filsafat dan
hubungannya dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut.
a)       Tujuan filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu objek yang menjadi kajiannya
tetap dipertahankan, tetapi informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa
dipertanggung jawabkan bukan hanya secara rasional (logis), tetapi juga secara faktual
(dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu, filsafat (harus) mengadakan kontak
dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak informasi atau teori-teori terbaru darinya, dan
mengembangkan secara filsafati. Inilah yang telah dilakukan misalnya oleh Bergson,
Cassires, Husserl, Faocault, dan para filsaft mederen serta konten porer lainnya. Pemikiran
filsafat yang dikembangkan oleh sangat kaya dan ilustrasi-ilustrasi yang berasal dari temuan-
temuan ilmiah yang berkembang pada zamannya.
b)      Tujuan filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu objek (aksiologi) tetap
dipertahankan. Hal ini pun dilakukan fisafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya adalah
bahwa temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (dan
juga ketuhana), idebri kritik atau koreksi. Ingat misalnya, masalah kloning dan euthanasia.
Filsafat memberikan evaluasi dan krirtik terhadap dampak moral dan kemanuaan kedua
masalah tersebut bagi hidup mereka.
c)       Filsafat pun memberikan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodoligi
ilmu pengetahuan. Ini misalnya, dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan, kritik filsafat
atas cara kerja dan metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya menguntungkan ilmu
pengetahuan, karena dapat menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan. Kajian
positivisme Auguste Comte (1798-1857), neopositivisme (positivisme logis),
falsifikasoinalisme Karl Popper(1902-1994), dan bahkan fenologi Edmuad Husserl (1859-
1938) tentang ilmu pengetahuan bukan hanya memperkoat metodologi ilmu-ilmu
penegtahuan sosial dan kemanusiaan (humoniora). Kritik-kritik mereka terhadap ilmu-ilmu
sosial dan humoniora melahirkan paradigma-paradigma baru dalam ilmu sosial yakni yang
bersifat humanistik dan kritis, di samping positivistik.
1. Beda antara filsafat dengan ilmu Pengetahuan

11
Filsafat bukan ilmu pengetahuan, ia berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam beberapa
hal berikut ini: pernyataan inti, ruang lingkup masalah yang didekati, metode, fokus kajian,
dan tentu saja hasil (teori).lihat tabelberikut ini.
Tabel 3. Perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengtahuan
ILMU
FILSAFAT PENGETAHUAN
- Apa? (hakikat) -      mengapa? (sebab-
- Mengapa? (sebab- akibat)
akibat yang bersifat -      bagaimana?
ultimate) dari mana (dinamika)
(asal-usul) dan kemana -      berapa banyak?
(apa yang terjadi (kuantifikasi,
PERNYATAAIN INTI berikutnya)? presentase, frekuensi)
-      terbatas pada gejal
- luas, mencakup atau aspek-aspek
semua hal yang tertentu, swjauh ynag
memungkinkan untuk dapat diukur secara
RUANG LINGKUP MASALAH dipikirkan impires.
-      ilmiah, mencakup
rasional, empires,dan
METODE - logis-rasional terukur
-      fakta (das
- fakta (das Sein) dan Sein), terutama
FOKUS KAJIAN nila (dos Sollen) dalam pure science
- insentif (dalam), -      khususnya dapat
- ekstensif (luas), IPS: terbatas pada
- kritis (karena populasi dan “kelas”
HASIL TEORI berkaitan dengan nilai) objek yang diteliti

dari tabel diatas tampak jelas bahwa apa perbedaan antar filsafat dengan ilmu pengetahuan
dalam hal pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan oleh kedua disiplin ini. Filsafat
mengajukan pertanyaan yang intinnya dimaksudkan untuk mengetahui “apa” (esensi atau
sifat dasar) dari suatu masalah, kejadian, atau objek, sedangkan ilmu pengetahuan menjawab
pertanyaan “bagaimana” (dinamika atau proses) dari suatu masalah atau objek itu berjalan.
Ilmu pengetahuan mengajukan  pernyataan mengenai kuantitas, baik dari jumlah objek
(frekuensi) maupun signifikasi pengaruh atau hubungan (taraf signifikansi). Meski sama-
sama mengajukan pertanyaan mengenai “mengapa”, kedua disiplin itu berbeda sama sekali
kedalamannya. Jawaban yang dituntut dalam ilmu pengetahuan untuk pertanyaan “mengapa”
terbatas pada sejumlah variabel yang terukur, sehingga dapat dijawab melalui metode-metode
empires seperti eksperimen. Sedangkan, pernyataanfilsafat berkaitan dengan sebab-musabah
yang terdalam (ultimate causation),  sehingga jawabannya tidak dapat ditemukan melalui
penggunaan metode-metode empires. Misalnya, mengapa ada kehidupan jika pun akhirnya
akan mendatangkan penderitaan? Mengapa yanga ada itu ada? Mengapa saya hidup di dunia
ini saat ini, bukan kehidupan diabad-abad yang akan datang? Mengapa manusia memerlukan
moralitas?

12
Fokus kajian filsafat bukan hanya pada pakta sebagaimana adanya tapi juga nilai,
yaitu sesuatu yang harusnya ada atau melekat pada pakta tersebut. Oleh sebab itu, banyak
filsuf yang meras tidak puas hanya dengan menggambarkan suatu objek keadaan, atau
masalah apa adanya, melainkan secara kritis menjelaskan bagaimana seharusnya atau
idealnya objek, keadaan atau masalah tersebut. Atas dasar itu dapat dipahami kenapa
sebagian filsuf bukan hanya memiliki keberfihakan pada nilai kebenaran, tetapi jugapada
nilai kemanusiaan (humanisme) ; pada kelompok masyarakat tertindas (Marxisme dan teori
kritis); dan lain-lain. Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan kurang
mempermasalahkan nilai, karena fokusnya pada deskripsi dan penjelasan serta prediksi fakta
atau gejala.
Karena berbeda dengan pertanyaan, ruang lingkup dan fokus kajian-kajiannya, maka
metode kedua disiplin itu pun masing-masing memiliki perbedaan. Dalam filsafat tidak ada
penelitian eksperimentalatau studi korelasional, misalnya. Filsafat tidak mengukur dan tidak
membuktikan hubungan antarvariabel. Meski ada beragam metode dalam filsafat, tetapi ciri
utamanya adalah rasional dan kritis. Sebaliknya, ilmu penngetahuan menggunakan metode
ilmiah, yang bukan hanya rasional, tetapi juga empires, mengukur pakta-pakta dan saling
hubungan antara fakta atau variabel yang satu dengan fakta atau variabel yang lain.

C.  Sejarah Filsafat Barat6


Mempelajari ilmu pengetahuan empiris seperti fisika, biologi, psikologi, antropologi,
dan ilmu-ilmu lainnya dapat dilakukan tanpa mempelajari sejarah lahir dan berkembangnya
ilmu-ilmu pengetahuan tersebut.mahasiswa tingkat strata satu (S1) dari fakultas psikologi
misalnya dapat menjadi seorang psikolog yang baik tanpa mengetahui sejarah dari ilmu yang
mereka pelajari (sejarah psikologi).Namun, tidak demikian halnya dengan filsafat.
Mahasiswa yang hendak mempelajari filsafat tidak akan dapat memahami filsafat tanpa
mempelajari sejarah filsafat. Pemikiran filsafat pada dasarnya merupakan sejarah pemikiran
para filsuf. Seorang filsuf yang berfilsafat akan berangkat dari, dan sekaligus melakukan
kritik terhadap pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya. Kita hanya akan dapat memahami
pemikiran sang filsuf itu jika kita mengetahui pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya.
Filsafat dewasa ini pun pada dasarnya merupakan perpanjangan sejarah filsafat masa
lalu. meski sudah berjalan ribuan tahun yang lalu, pemikiran para filsuf Yunani Kuno (Abad
ke-6 Sebelum Masehi) dan para filsuf sesudahnya (misalnya pemikiran filsafat para filsuf
Abad Pengetahuan) masih memberi warna pada pemikiran para filsuf modern dan
kontemporer. Oleh sebab itu, pada bagian ini saya akan mencoba member ringkasan sejarah
pemikiran filsafat Barat, mulai dari awal kelahirannya di Yunani hingga abad kita ini
(kontemporer) di negara-negara Eropa dan Amerika.
Sejarah filsafat barat terbagi dalam empat periode, yakni periode yunani kuno, abad
pertengahan, modern, dan kontemporer (Abad ke-20 dan 21).

D. Filsafat Yunani Kuno (600 SM – 500 SM)

6
Hadiwidjono, Harun. 1998. Sari Sejarah Filsafat Barat  1. Yogyakarta: Kanisius.hlm
24

13
Filsafat Yunani dimulai sejak abad ke-6 SM. Namun, sbelum lahirnya filsafat telah
ada beberapa kondisi yang perlu untuk kita ketahui karena kondisi-kondisi tersebut berperan
penting bagi kemunculan pemikiran filsafat Yunani pada saat itu. Menurut Bertens (1975).
Kondisi-kondisi tersebut adalah: mitologi, kesusasteraan, pengaruh ilmu pengetahuan dari
bangsa timur (Mesir dan Babilonia), dan kehidupan sosial politik.

1. Mitologi
Jauh sebelum filsafat lahir, masyarakat Yunani telah mengenal mite-mite. Mite-mite
tersebut berfungsi sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai teka-teki atau
misteri alam semesta dan kehidupan yang dialami langsung oleh masyarakat Yunani pada
saat itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain mengenai asal-usul alam semesta; sebab-
sebab bencana (antara lain, gempa bumi); sebab-sebab gerhana; dan lain sebagainya. Salah
satu contoh mitos yang sangat terkenal adalah mengenai sebab-sebab terjadinya gempa bumi.
Kenapa gempa bumi terjadi? Masyarakat Yunani pada saat itu meyakini bahwa dewa
Poseidon, yakni seorang dewa penjaga bumi dan laut, sedang marah dan ingin memberi
hukuman pada penghuni bumi (manusia) dengan cara menggoyang-goyangkan. Mite-mite
seperti itu merupakan upaya masyarakat Yunani untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan tentang misteri alam semesta.

2. Kesusasteraan
Masyarakat Yunani telah lama mengenal kesenian, khususnya kesusasteraan. Pada tahun
850 SM misalnya telah terbit puisi Homeros yang berjudul Ilias dan Odyssea, sebuah karya
seni yang hingga hari ini masih sangat terkenal. Sebuah ahli dalam psikologi dewasa ini
meyakini bahwa kesenian, termasuk kesusasteraan, dapat memperhalus emosi dan
meningkatkan kecerdasan. Filsafat Yunani hanya mungkin lahir dan berkembang dalam suatu
masyarakat yang memiliki kehalusan perasaan dan ketajaman intelektual. Kesusasteraan
dapat memperhalus perasaan dan mempertajam kecerdasan manusia Yunani pada saat itu.7

3.  Pengaruh Ilmu Pengetahuan dari Bangsa Timur (Mesir dan Babilonia)


Selain di Yunani, pada saat yang sama di beberapa negara lain pun berkembang
pemikiran-pemikiran intelektual. Di Mesir misalnya, telah berkembang ilmu ukur, yang
berawal dari upaya pengukuran ketinggian air sungai Nil. Dengan mengetahui ketinggian air
yang aman, mereka dapat melakukan perdagangan dan perjalanan. Orang Yunani belajar ilmu
seperti itu dari bangsa Timur. Namun, mereka belajar dan menggunakan ilmu itu bukan
hanya untuk tujuan praktis, melainkan juga teoretis. Mereka menggunakan ilmu tidak untuk
jangka pendek seperti untuk berdagang atau melakukan perjalanan, melainkan untuk ilmu itu
sendiri. Mereka belajar dan mengembangkan ilmu untuk menemukan kebenaran.

4. Sosial-Politik
Pemerintahan Yunani Kuno sering disebut sebagai cikal-bakal pemeintahan demokratis.
Ini dapat dipahami karena di negara ini diterapkan kehidupan sosial politik yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, setiap warga negara memiliki otonomi dalam bidang
hukum dan memiliki kemerdekaan politik untuk mengemukakan pendapat. Kedua, ada
7
Ibid, hlm 32

14
“negara-negara bagian” yang disebut polis. Kondisi polis saat itu sangat kondusif untuk
perkembangan intelektual. Di setiap polis terdapat agora (pasar), tempat di mana warga
Negara bukan hanya melakukan transaksi ekonomi (jual beli barang), melainkan juga tempat
belajar dan member pengajaran (pendidikan).

5. Filsuf-Filsuf yang Membahas Alam


Sejarah filsafat yunani diawali dengan munculnya filsafat alam. Dinamakan demikian
karena para filsuf pertama Yunani berusaha mencari jawaban tentang asal-usul dan kejadian
alam semesta. Ada sejumlah filsuf yang cukup terkenal, di antaranya adalah thales (624 SM –
546 SM), Anaximandros (610 SM – 546 SM), Anaximenes. (585 SM – 528 SM), dan
beberapa filsuf lainnya.
Thales (624 SM – 546 SM) dianggap sebagai filsuf pertama di Yunani. Ia adalah filsuf
yang berusaha untuk menemukan arkhe (asas atau prinsip) alam semesta. Menurutnya,
prinsip pertama alam semesta adalah air. Semua berawal dari air dan berakhir ke air juga.
Tidak ada kehidupan tanpa ada air. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang tidak
mengandung unsur air. Demikian juga tubuh manusia. Dewasa ini sejumblah ilmuwan dalam
bidang kedokteran menyebutkan bahwa unsur terbanyak dalam tubuh manusia (di atas 80%)
adalah air.
Filsuf berikutnya setelah Thales adalah Anaximandros (610 SM – 546 SM). Ia adalah
murid Thales. Seperti yang dilakukan oleh gurunya, ia pun mencari arkhe. Namun
baginya, arkhe yang sejati bukan suatu anasir yang dapat diamati oleh pancaindera,
melainkan sesuatu yang tidak tampak. Menurutnya, prinsip utama yang mendasari segala-
galanya bukanlah air, melainkan to apeiron, “yang tak terbatas”. Alasannya, sesuatu fisik
pasti berubah, sedangkan yang berubah pasti bukan arkhe. Oleh sebab itu, untuk
mencari arkhe kita jangan terkecoh oleh unsure-unsur yang bersifat fisik. Di dalam yang fisik
itu, Anaximandros menemukan to apeiron. Segala-galanya tak terbatas. Jumblah benda-benda
fisik yang dapat diamati adalah tanpa batas. Demikian juga dengan hal-hal yang nonfisik:
bilangan atau angka tidak terbatas; keinginan-keinginan kita tidak ada batasnya; bahkan batas
pandangan atau horizon kita pun tak terbatas: batas pandangan bergeser terus sesuai dengan
ketinggian posisi tempat kita berdiri.
Anaximenes. (585 SM – 528 SM). Menurutnya, asal-usul segala sesuatu adalah udara.
Kenapa udara? Karena udara merupakan bahan dasar yang membentuk semua benda yang
ada dalam alam semesta. Jika kumpulan udara sangat banyak maka ia berubah bentuk
menjadi awan atau sesuatu yang dapat dipandang mata; jika basah maka ia akan menjadi air
hujan; dan jika awan menjadi padat,maka ia menjadi tanah atau batu atau bahkan badan
manusia.
Dari hasil penyelidikan para filsuf pertama tadi tampak adanya kesamaan diantara
mereka, yakni mereka memandang alam semesta sebagai keseluruhan yang bersifat tunggal
sehingga dapat dijelaskan berdasarkan pada satu prinsip saja (bertens, 1975). Namun, mereka
berbeda dalam menentukan prinsip dasar yang menyatukan kesatuan alam semesta itu. Thales
mengasalkan prinsip itu pada air, Anaximandros pada to apairon, dan Anaximenes pada udara

6. Filsuf-Filsuf yang Membahas Ilmu Pasti Dan Metafisika

15
Di samping mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul alam
semesta, terdapat sejumlah filsuf yang tertarik untuk memfokuskan diri pada ilmu pasti dan
metafisika. Tokoh-tokohnya antara lain Pythagoras (570–490 SM), Herakleitos (535–475
SM), Parmenides (hidup sekitar abad ke-5 SM), Zeno (490–430 SM).
Pythagoras (570-490 SM). Ajaran Pythagoras yang terkenal adalah tentang bilangan atau
angka. Ia menyusun oktaf-oktaf (musik) yang bisa dibaca berdasarkan bilangan (matematik).
Menurutnya, nada-nada (dalam musik) dikuasai oleh hukum-hukum matematis, sehingga
untuk menguasai nada-nada diperlukan kemampuan memahami angka-angka. Ia pun
mengatakan bahwa dalam angka terdapat harmoni. Misalnya ganjil-genap, satu-banyak, kiri-
kanan, gelap-terang, baik-jahat, dan lain-lain. Pendapat Pythagoras kemudian berkembang
lebih jauh dengan mengatakan bahwa semua kenyataan dapat dicocokkan dengan
perhitungan-perhitungan atau kategori-kategori matematis. Ilmu pengetahuan alam modern
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pythagoras tadi. Galileo Galilie (1564-1642)
misalnya, mengatakan bahwa alam semesta ditulis dalam bahasa matematis, persis seperti
yang dikatakan oleh Pythagoras belasan abad sebelumnya.
Herakleitos (535-475 SM) membahas mengenai mertafisika. Menurutnya, segala sesuatu
yang ada di alam semesta itu mengalir, berubah-ubah. Tidak ada sesuatu pun yang tinggal
mantap tanpa mengalami perubahan (phanta rhei kai uden menei). Apa yang menjadi sumber
perubahan itu? Sumber perubahan itu adalah api. Api (panas) adalah lambang perubahan.
Karena api, semua dapat berubah. Air menjadi uap, kayu menjadi abu, warna menjadi pudar,
dan seterusnya. Bahkan hidup manusia pun tidak mungkin tanpa ada api (panas)!
Parmenides (hidup sekitar abad ke-5 SM). Tokoh ini banyak membahas ontologi. Ia
menentang pendapat Herakleitos tentang perubahan. Menurut pendapat Parmenides, gerak
atau perubahan itu tidak mungkin. Jika semua berubah, bagaimana kita mengetahui ada
perubahan, karena kita sendiri berubah? Bagaimana kita mengetahui bahwa yang berubah itu
berasal dari seesuatu yang pasti juga telah berubah dari asalnya? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia menggunakan istilah-istilah yang biasanya ditemukan
dalam ontologi, yakni “ada” (being) dan “tidak ada” (non-being). Kajian mengenai ontologi
dewasa ini seperti yang dilakukan oleh Heidegger, tidak bisa tidak akan membicarakan
ontologi Parmenides.

7. Filsuf-filsuf Pluralis
Filsafat Thales, Anaximandros, dan Anaximenes dapat dikategorikan sebagai filsafat
monisme. Monisme adalah pandangan filsafat yang mengandaikan prinsip alam semesta ke
dalam satu unsur saja. Thales misalnya mangasalkan prinsip itu pada air, Anaximandros
pada to apairon, dan Anaximenes pada udara. Namun, pada filsuf berikutnya menolak filsafat
monism. Mereka justru berkeyakinan bahwa anasir alam semesta bukan satu, melainkan
banyak. Dalam bahasa yang digunakan oleh mereka, yang ada bukan tunggal, tapi jamak
(plural). Pandangan ini dinamakan Pluralisme.Tokoh-tokoh aliran pluralisme antara lain
Empedokles (490-430 SM) dan Anaxagoras (500-428 SM). Menurut Empedokles (490-430
SM), ada empat unsur atau anasir dalam alam semesta, yaitu: api, udara, tanah, dan air. Dia
menyebut unsur-unsur tersebut “akar-akar”. Setiap benda berasal dari kombinasi keempat
unsur tersebut. Komposisi unsur-unsur yang berbeda menghasilkan benda-benda yang
berbeda. Misalnya, benda-benda hidup lebih banyak mengandung unsur air, dibandingkan

16
benda-benda mati. Karena hanya ada empat unsur yang ada dalam alam semesta maka tidak
ada yang baru lagi dalam kehidupan. Yang tampak baru pada dasarnya adalah baru dalam
komposisinya saja. Penambahan dan pengurangan salah satu unsur dalam sebuah benda akan
tampak seolah-olah benda itu menjadi baru.
Anaxagoras (500-428 SM) tidak setuju dengan pendapat Empedokles. Menurutnya,
unsur-unsur atau anasir-anasir itu jumlahnya pasti lebih dari empat, melainkan tidak
berhingga dan masing-masing unsur bercampur baur satu sama lain. Semua unsur tersebut
sudah ada sejak awal munculnya alam semesta, meski pada awalnya saling terpisah satu sama
lain. Alam semesta terbentuk karena percampuran semua unsur tersebut. Terbentuknya benda
baru disebabkan oleh pemisahan unsur-unsur tertentu dari percampuran unsur-unsur
sebelumnya yang tak terbatas, dan unsur-unsur tersebut kemudian bercampur membentuk
sesuatu yang baru. Terbentuknya badan manusia pun sama prosesnya seperti itu. Demikian
juga jiwa manusia. Jiwa manusia terbentuk dari perpaduan unsur-unsur yang sangat tidak
terbatas, tetapi unsur-unsur tersebut lebih murni, independen, dan halus dibandingkan unsur-
unsur yang membentuk benda-benda lainnya.

8. Filsuf-filsuf Atomis
Filsuf-filsuf atomis adalah para filsuf yang memiliki pandangan bahwa unsur-unsur
paling dasar yang membentuk alam semesta adalah berupa atom-atom. Atom-atom adalah
unsur-unsur terkecil dari semua benda yang ada dalam alam, sehingga keberadaannya tidak
dapat diamati oleh pancaindera. Atom-atom ini adalah unsur-unsur paling kecil yang pernah
ada dalam alam semesta, sehingga keberadaannya tidak dapat dibagi-bagi lagi. Jumlah atom
sangat tidak terbatas. Dari atom-atomlah semua benda terbentuk, termasuk alam semesta.
Tokoh-tokoh filsafat atomistik antara lain Leukippos (hidup di awal pertengahan abad ke-
5 SM) dan muridnya yang bernama Democritus (460-370 SM). Leukippos adalah filsuf
pertama yang mengembangkan teori atomisme, namun Democritus yang mensistematisasikan
dan menyempurnakan pemikiran Leukippos. Selain mengajukan teori mengenai atom
Leukippos pun mengajukan pendapat mengenai kejadian-kejadian dalam alam semesta. Dia
menulis, “Nothing happens at random (maten), but everything from reason (ek logou) and by
necessity.” Pernyataan ini adalah prinsip dasar pertama dalam logika, yakni the principle of
sufficient reason.
Democritus melangkah lebih jauh dari gurunya dengan menjelaskan bentuk dan hubungan
antar atom-atom. Atom-atom membentuk materi-materi. Materi-materi yang padat dibentuk
oleh atom-atom yang padat. Besi misalnya terbentuk dari atom-atom yang padat dan kuat
sehingga menjadikan benda ini (besi) sangat keras. Sebaliknya, benda-benda yang lembut
seperti air dan udara dibentuk dari atom-atom yang lebih halus.

9. Filsafat Para Sofis


Antara Abad ke-5 sampai ke-4 SM, dunia pendidikan dan pengajaran di Yunani
dijalankan oleh para sofis. Mereka (para sofis) adalah para filsuf yang sangat mahir
berpidato, berdebat, dan sekaligus juga mendidik. Mereka mendidik anak-anak muda dan
berpidato serta berdebat di pasar-pasar atau pusat-pusat keramaian (dinamakan “agora”) di
setiap negara-kota (dinamakan “polis”). Pendidikan dan pengajaran di Yunani saat itu
dijalankan oleh para sofis ini.

17
Ajakan para sofis sangat  berbeda dari para filsuf sebelumnya. Mereka tidak tertarik pada
filsafat alam, ilmu pasti, atau metafisika. Mereka menilai filsafat-filsafat sebelumnya terlalu
mengawang-awang. Mereka mengkritik filsafat-filsafat sebelumnya. Mereka lebih tertarik
pada hal-hal yang lebih konkret seperti makna hidup manusia, moral, norma, dan politik. Hal-
hal inilah yang dianggap perlu diajarkan pada generasi muda dan dikembangkan untuk
kelangsungan negara.

10. Socrates (470-399 SM)


Seperti para sofis, Socrates pun mengarahkan kajian-kajian filsafat yang semula sangat
abstrak dan jauh dari praksis kehidupan sehari-hari, menjadi lebih praktis dan konkret. Oleh
Socrates filsafat diarahkan pada penyelidikan tentang manusia, etika, dan pengalaman hidup
sehari-hari, baik dalam konteks individu (psikologis), sosial, maupun politik.
Namun, Socrates sangat menentang relativisme yang diajarkan oleh para sofis.
Menurutnya, kebenaran bukanlah sesuatu yang subjektif dan relatif. Kita dapat menangkap
adanya kebenaran objektif, yang tidak tergantung pada individu yang memikirkan atau
menggapainya. Dalam kehidupan sehari-hari, ada perilaku yang baik dan tidak baik, yang
pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan. Penentuan baik dan buruk, pantas dan tidak
pantas tidak terletak pada kekuatan argumentasi orang per orang, melainkan pada sesuatu
yang sifatnya universal. Berbuat jahat di mana pun adalah buruk, sedangakan berbuat baik
pasti merupakan kebaikan. Kebaikan bukan saja akan membawa kebahagiaan pada
pelakunya, tetapi juga karena dalam dirinya memang baik.
Bagaimana Socrates mengetahui adanya kebenaran yang tidak subjektif itu? Menurut
Socrates, metode yang dijalankan olehnya bukanlah penyelidikan atas fakta-fakata melainkan
analisis atas pendapat-pendapat atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang atau
oleh negarawan. Ia selalu bertanya tentang apa yang diucapkan oleh mereka atau oleh teman
bicaranya itu. Jika mereka atau para negarawan bicara tentang kebaikan dan keadilan, ia
kemudian bertanya apa yang dimaksud dengan adil dan baik itu? Jika mereka bicara tentang
keberanian, ia bertanya apa yang dimaksud dengan berani, pemberani, dan pengecut? Dan
seterusnya. Metodenya ini disebut dialektika, yakni “bercakap-bercakap” atau berdialog.
Socrates sendiri membandingkan metodenya ini dengan metode seorang bidan dalam
membantu persalinan. Bidan memiliki keahlian dalam membantu persalinan, sehingga
melalui bantuannya lahirlah ke dunia bayi-bayi sehat dari rahim para ibu. Socrates bertindak
seperti bidan. Namun, yang dilahirkan bukan bayi, melainkan ide-ide yang dimiliki oleh
orang-orang yang dibidaninya. Ia mengaku tidak menyampaikan pengetahuan, melainkan
dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang
lain agar keluar dalam bentuk ide-ide.
Filsafat Socrates banyak membahas masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang
paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan kesehatan
jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia harus sehat
terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup yang lainnya dapat diraih. Tujuan hidup yang paling
utama adalah kebahagiaan (eudaimonia). Namun, kebahagiaan dalam bahasa Yunani bukan
dalam arti seperti sekarang, yakni mencari kesenangan. Kebahagiaan dalam bahasa Yunani
berarti kesempurnaan (Bertens, 1975). Plato dan aristoteles setuju dengan pendapat  Socrates
bahwa eudaimonia merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai

18
kebahagiaan adalah arête (kebajikan). Orang yang bajik adalah orang yang mampu hidup
bahagia.

11. Plato (428/427 – 348/347 SM)


Plato adalah murid Socrates. Dia menganalogkan manusia dalam menjalankannkehidupan
sehari-hari dengan para tahanan yang selama hidupnya terkurung dalam gua. Kepala mereka
enggan menengok ke belakang (ke lubang gua) dan hanya terarah pada dinding gua belaka.
Oleh sebab itu, mereka tidak dapat melihat sumber cahaya di luar gua. Mereka hanya melihat
bayangan dirinya sendiri saja, yang sumber cahayanya berasal dari lubang gua dibelakang
badan mereka.
Apa arti perempuan itu? Melalui perumpamaan itu plato hendak menyampaikan dua
hal. Pertama, kebanyakan manusia terpaku pada kehidupan duniawi, yang cepat berubah dan
fana itu. Seolah-olah kehidupan yang fana itu adalah kehidupan yang sejati. Padahal
kenyataan yang sesungguhnya adalah berupa dunia ide, yakni dunia yang menjadi sumber
yang memancarkan kehidupan di alam fana ini. Dunia ide yang dimaksudkan oleh plato
bukanlah ide-ide yang ada dalam pikiran manusia, melainkan dunia objektif yang ada “di luar
sana” (di luar gua), yang mengatasi dunia kehidupan sehari-hari kita.
Kedua, Plato mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan yang sejati
adalah pengetahuan inderawi, yang sumbernya adalah pengamatan atau pengetahuan indera.
Padahal pengetahuan yang sebenarnya bersumber dari rasio dan berobjekan dunia ide. Dunia
pancaindera hanya merupakan “cermin” dari dunia ide.dalam dunia ide hanya terdapat hal-hal
yang umum, seperti “kesegitigaan” dan “kekudaan”. Segitiga atau kuda yang kita lihat di
dunia ini sesungguhnya adalah pantulan dari ide segitiga dan kuda yang bersifat umum, yang
ada dalam dunia ide. Pengamatan inderawi tidak dapat mengetahui dunia ide. Dunia ide
hanya dapat diketahui melalui rasio. Plato menganjurkan agar manusia menggunakan
rasionya untuk menemukan kebenaran.
Selanjutnya Plato menyusun filsafat manusia yang bersifat dualistik. Manusia terdiri dari
dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (benda) dan jiwa (ide-ide). Jiwa merupakan bagian dari
dunia ide,sedangkan tubuh dari dunia yang bersifat fana. Fungsi jiwa adalah untuk
mengendalikan nafsu yang bersumber dari tubuh. Fungsi jiwa seperti kusir pedati yang harus
mengedalikan jalannya kuda (tubuh) yang menarik pedati itu. Selanjutnya, karena jiwa
berasal dari dunia ide, maka ia tidak akan musnah meski kubuh (yang berasal dari dunia fana)
sudah hancur (mati).
Dalam karyanya yang paling terkenal, yakni Republic, Plato mengemukakan pemikiran
mengenai negara ideal (utopis) yang dipimpin oleh filsuf raja (philosopher king). Pemimpin
negara ini bercirikan sebagai berikut: cerdas, rasional, mampu mengendalikan diri dalam
berbagai situasi, mampu membuat keputusan yang adil bagi semua warga negara, dan tentu
saja cinta pada kebijaksanaan. Karena sifat-sifatnya tersebut, sang filsuf raja ini menempati
kelas atas dalam pemerintahan. Kelas berikutnya adalah kelas prajurit (warriors). Mereka

19
adalah kelas yang sangat pemberani, kuat, dan terorganisir. Kelas berikutnya lagi adalah
kelas pekerja (workers), diantaranya adalah para petani, pedagang, peternak, dan lain-lain.
12. Aristoteles (384-322 SM)8
Aristoteles adalah murid Plato. Namun, dia menentang ajaran gurunya tentang
keberadaan dunia ide. Dia mengaku bahwa dia sangat menyayangi gurunya, tetapi
kecintaannya pada kebenaran membuatnya dia berbeda pandangan dari gurunya itu.
Menurutnya, tidak ada dunia ide itu, tidak ada kesegitigaan, atau kekudaan yang sumbernya
dari dunia ide. Yang ada adalah segitiga atau kuda ini dan itu saja; jadi segitiga dan kuda
yang konkret. Tetapi ia setuju dengan pendapat Plato, bahwa pengetahuan yang sejati harus
berkenaan dengan yang umum dan universal, bukan hal-hal individual. Pengetahuan haruslah
mengenai semua segitiga atau semua kuda, bukan mengenai segitiga atau kuda ini dan itu.
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari ajaran Plato tentang ide-ide adalah menjamin
kemungkinan adanya pengetahuan yang bersifat umum dan kebenarannya tidak berubah-
ubah. Namun, pengetahuan itu bukan dari dunia ide, tetapi dari benda-benda yang dapat
diamati.
Oleh sebab itu, selain mengembangkan cara berpikir deduktif, dia pun mengembangkan
cara berpikir atau metode berpikir induktif. Kebalikan dari deduksi atau metode deduktif,
metode induktif dimulai dari pengamatan-pengamatan empiris dan kemudian ditarik
kesimpulan yang isinya melampaui objek-objek yang diamati. Dengan demikian, dalam
metode induktif ada proses generalisasi, yakni menarik kesimpulan yang lebih umum dari
pada objek-objek yang diamati. Melalui metode ini maka Aristoteles mengembangkan
sejumlah kajian yang menjadi cikal-bakal sejumlah ilmu pengetahuan modern, misalnya
biologi, geologi, fisika, anatomi, disamping filsafat, psikologi, retorika, ilmu politik, dan lain-
lain.
Dalam bidang filsafat Aristoteles mengajarkan sebuah teori tentang hylemorphism, teori
“bentuk-materi”. Setiap benda memiliki bentuk dan sekaligus materi. Misal sebuah patung.
Patung terdiri dari bahan tertentu dan bentuk tertentu. Bahan misalnya kayu atau batu; bentuk
misalnya kuda atau raja. Bentuk tidak dapat lepas dari materi, dan demikian juga sebaliknya.
Bahkan, sebelum menjadi bentuk patung, materi yang sama memiliki bentuk yang lain,
misalnya kayu bundar dan panjang atau batu yang lonjong.
Namun, Aristoteles tidak mengajarkan materi dan bentuk yang dapat dilihat atau yang
bersifat individual, malainkan sebagai prinsip-prinsip metafisis saja. Materi dan bentuk harus
diandaikan, bukan harus dilihat dan bersifat individual. Bentuk-bentuk yang dimaksud oleh
Aristoteles dianggap sebagai ide-ide (yang sudah ada dalam pikiran manusia) yang sudah
pindah ke dalam benda-benda konkret.

 E. Filsafat Abad Pertengahan (400-1500 SM)9


Ini adalah zaman dimana filsafat berfungsi sebagi alat untuk pembenaran atau
justifikasi ajaran agama (“the philosophy as a handmaiden of theology”). Sejauh filsafat bisa

8
Ahmad. 2007. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.hlm 56

9
Ibid, hlm 72

20
melayani teologi, ia bisa diterima. Namun, filsafat yang dianggap bertentangan dengan ajaran
agama dan gereja, ditolak. Banyak buku-buku filsafat zaman Yunani kuno yang ditemukan
kembali di zaman ini, tetapi banyak di antaranya yang diberangus, karena dinilai pemikiran
kaum kafir. Kebebasan berpikir dipangkas. Oleh sebab itu, zaman ini sering dinamakan Abad
Kegelapan Filsafat. Relatif tidak ada ajaran filsafat baru yang berkembang pada saat ini.
Di bidang filsafat sendiri, terdapat beberapa cirri khas filsafat yang patut untuk
dicatat. Cirri-ciri itu antara lain: filsafat banyak membahas masalah-masalah yang
berhubungan dengan keyakinan (iman) dengan rasio, keberadaan dan kesatuan tuhan, teologi
dan metafisika, dan persoalan-persoalan epistemologis seperti pengetahuan mengenai yang
universal dan individual.

F. Filsafat Modern (1600-1900)


Filsafat modern berawal pada paruh kedua abad ke 16 Masehi, setelah terlebih dulu
dimulai oleh Gerakan Renaissance dan humanism di Eropa Barat (pertengahan tahun 1300-an
hingga 1600). Gerakan ini merupakan reaksi atas kekuasaan gereja. Menurut gerakan ini,
manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari alam semesta, sehingga memiliki kebebasan
untuk mencari kebenarannya sendiri. Berbeda dari pandangan filsafat yang berkembang pada
Abad pertengahan, pada zaman ini banyak filsuf berpegang teguh pada pendirian bahwa
manusia pada hakikatnya bukan sebagai viator mundi (penjiarah di muka bumi), melainkan
sebagai vaber mundi (pekerja atau pencipta dunianya). Manusia harus mencari sendiri
kebenaran , bukan bersandar pada ajaran yang telah diberikan oleh gereja dan agama.
Upaya melepaskan diri dari kekuasaan gereja membawa mereka pada penggalian
karya-karya lama dari zaman yunani kuno. Doktrin-doktrin heliosentris dari Pythagoras (582
SM-496 SM) serta karya-karya Archimedes (287 SM-212 SM), Flippokrates (460-370 SM),
dan ahli-ahli fisika atomistik pada waktu itu, digali dan dikaji ulang. Leonardo da Vinci
(1452-1519) Kopernikus (1437-1543), dan Galileo Galilei (1564-1642) misalnya menimba
pelajaran berharga dari karya-karya mereka. Doktrin terkenal Phitagoras bahwa “alam
semesta tertulis secara matematis”, menjadi asumsi yang berkembang  pesat di lingkungan
para ilmuwan dan filsuf. (pada masa itu sulit untuk dibedakan antara ilmuwan dan filsuf.
Sampai abad ke-18 pun apa yang dinamakan ilmu pengetahuan sering disebut “filsafat alam”.
Ini tampak misalnya dari buku terkenal Isaac Newton yang dipublikasikan pada tahun 1687,
berjudul The mathematical Principles of Natural Philosophy). Atas dasar asumsi itu, mereka
mengajarkan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan gejala alam bukanlah dengan mengacu
pada ajaran gereja, melainkan pada eksperimentasi dan perhitungan-perhitungan matematis.
Meurut mereka, “buku alam harus diinterogasi secara eksperimental dan matematis”.Dalam
bidang filsafat muncul kecenderungan untuk menggali akar-akar pengetahuan (epistemologi).
Berkembangnya ilmu-ilmu alam (filsafat alam) mendorong para filsuf untuk
mempertanyakan tentang apakah sebetulnya pengetahuan itu? Dari mana sebetulnya sumber
pengetahuan? Apakah pengetahuan barasal dari pengalaman atau dari rasio manusia?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan aliran-aliran rasionalisme dan empirisme.
Namun, berkembangnya ilmu-ilmu alam pun mendorong para filsuf untuk bertanya
tentang hakikat manusia. Apakah manusia itu merupakan materi (alam fisik) atau berupa
jiwa? Apakah proses kimiawi dan gerak mekanis yang terjadi pada alam juga terjadi dalam
diri manusia? Atau manusia adalah pengecualian, sehingga tidak bisa dikenai proses kimiawi

21
dan mekanis seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan bermacam-macam
jawaban. Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah materi, jadi tidak
berbeda dari materi-materi lain yang ada dalam alam semesta. Sebaliknya, idealisme
mengajarkan bahwa bukan materi, melainkan jiwa yang merupakan intisari manusia,
sehingga semua gerak-gerik badan manusia adalah bersumber dari kekuatan yang bersifat
rohani, yakni yang ilahi dan jiwa manusia.
Para filsuf pada zaman ini di antaranya adalah: Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes
(1588-1679), Rene Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-1677), John Locke (1632-1704),
Leibniz (1646-1716), Berkeley (1685-1753), Hume (1711-1776), Kant (1724-1804), Fichte
(1762-1814), Hegel (1770-1831), Bentham (1748-1832), Schopenhauer (1788-1860), Comte
(1798-1857), Jhon Stuart Mill (1806-1873), Kierkegaard (1813-1855), Marx (1818-1883) and
Engels (1820-1895), Nietzsche (1844-1900), James (1842-1910).

Berikut ini beberapa contoh pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh beberapa filsuf dari
abad modern.
1. Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon adalah  salah seorang filsuf pertama yang berusaha menggali
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan alam dan menyusun metode ilmiah yang
disebut Novum Organum (Alat atau Metode Baru). Metode ini sangat menekankan metode
induktif dalam mendapatkan pengetahuan atau dalam teori menyusun teori ilmu pengetahuan.
Bacon yang tertarik pada upaya-upaya yang dilakukan oleh para ilmuan seperti Kopernikus,
Gallileo Gallilei, Leonardo da Vinci dalam melakukan penelitian-penelitian ilmiah, percaya
bahwa yang terpenting dalam menyusun teori ilmiah adalah metode induksi. Melalui metode
ini para ilmuan berangkat dari pengamatan-pengamatan terhadap kasus-kasus khusus untuk
kemudian menyusun kesimpulan-kesimpulan umum tersebut dipakai untuk menilai dan
menyeleksi kasus-kasus lain secara deduktif. Jadi, metode baru ini beranjak dari fakta-fakta
empiris ke kesimpulan sementara dan dari kesimpulan sementara bergerak lagi ke kesimpulan
sementara lainnya, sebelum sampai pada suatu kesimpulan akhir atau teori ilmiah. Bacon
menyebut langkah-langkah itu sebagai “tangga intelektual” (ladder of intelect).
Bacon adalah seorang filsuf yang sangat percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi
alat kekuasaan. Dia menulis, “knowledge is power”. Dengan pengetahuan, khususnya ilmu
pengetahuan, seorang individu dapat mempengaruhi dan menaklukkan orang-orang lain, dan
suatu bangsa dapat mempengaruhi dan menaklukkan bangsa-bangsa lain.
2. Thomas Hobbes (1588-1679)
Dalam karya utamanya yang berjudul Leviathan, Hobbes menulis bahwa tingkah laku
manusia pada dasarnya sejalan dengan hukum alam. Dia meminjam teori Newton tentang
hukum gerak pertama yang nyatakan bahwa benda-benda akan bergerak secara tetap, kecuali
mendapatkan gaya dari luar. Melalui teori Newton itu Hobbes mau menjelaskan bahwa
manusia pada dasarnya adalah serigala bagi serigala lainnya, karena selalu memiliki
kecenderungan untuk menerkam, bersaing, dan berperang. Maka harus ada “gaya” dari luar
diri mereka, yaitu hukum, peraturan, undang-undang yang ketat yang diberlakukan di
lingkungan sosialnya. Namun jika tidak alami, akibatnya adalah hidup manusia bisa jadi
membosankan, tidak menarik, miskin, menjijikan, dan tidak dapat bertahan hidup lama. Oleh

22
sebab itu, perlu ada kontrak sosial yang didasarkan pada hukum alam yang juga tidak terlalu
membatasi dan mengungkung manusia.

3. Rene Descartes (1596-1650)


Salah seorang filsuf yang sangat terkenal dari zaman ini adalah Rene Descartes. Ia disebut
Bapak Filsafat Modern, tapi juga sering disebut-sebut Bapak Psikologi (Abidin, 2009). Yang
menjadi perhatian utama filsafatnya terutama adalah masalah pengetahuan (epistemologi) dan
manusia (filsafat manusia), khususnya masalah hubungan jiwa-badan.Sebetulnya Descartes
bukan hanya filsuf, tapi juga ahli dalam bidang matematika. Dalam ilmu ukur kita masih
mengenal titik Cartesian, yakni titik-titik pada segi empat dalam sebuah grafik. Sebagai
seorang ahli matematika dan filsuf, ia ingin mengetahui dari mana sesungguhnya sumber
pengetahuan matematis itu. Asal mula pengetahuan matematis tentunya bukan dari
pengalaman, karena pernyataan-pernyataan matematis tidak memerlukan pembuktian empiris
(pancaindera). Sumber pengetahuan matematis pastinya berasal dari rasio. Ia menganggap
bahwa pengetahuan harus menjadi persoalan pertama yang digali sebelum kita berfilsafat.
Filsafat modern mulai dari epistemologi, bukan dari alam (metafisika dan ontologi). Dengan
epistemologi maka dimungkinkan kita membahas alam semesta dan objek-objek pengetahuan
lainnya.
Filsafat Descartes tentang epistemologi dikategorikan ke dalam aliran rasionalisme. Karena
argumentasi-argumentasi-argumentasinya yang sangat kuat dalam meyakinkan pentingnya
rasio dibandingkan pengalaman empiris dalam mendapatkan pengetahuan, maka Descartes
sering disebut bapak rasionalisme modern. Filsafatnya (dan filsafat dari para filsuf rasionalis
yang berasal dari negara-negara Continental lainnya) merupakan lawan dari empirisme
Inggris (Hume dan Locke). Dalam salah satu karyanya tentang metode untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat niscaya, dia mengajukan empat prinsip berikut:
a)      Jangan pernah menerima ide sebagai hal yang benar, kecuali ide yang kita yakini
kebenarannya itu sudah tidak dapat diragukan lagi.
b)      Untuk mencapai kesimpulan yang niscaya, pilah-pilahlah suatu permasalahan menjadi
bagian-bagian kecil dan sederhana, kemudian pujilah masing-masing bagian tersebut secara
hati-hati dan menyeluruh.
c)      Pengujian dilakukan dari bagian-bagian paling sederhana sampai yang paling kompleks
secara bertahap, jangan pernah melompati satu tahapan pun dalam pengerjaannya.
d)     Catatlah secara detil dan menyeluruh setiap hasil pengujian tersebut dan jangan sampai
ada yang terlewat atau tercecer sedikitpun.
Dari empat prinsip yang diajukan oleh Descartes di atas tidak satupun yang menuntut
pengujian empiris!
Filsafat manusia Descartes cukup menarik karena mencoba menghubungkan dua substansi
yang saling bertentangan yang terdapat pada manusia, yakni tubuh dan jiwa. Manusia adalah
makhluk dengan dua substansi yang tidak terpisahkan, yakni tubuh dan jiwa. Kedua substansi
tersebut satu sama lain saling berhubungan sehingga dalam setiap perilaku manusia kedua
substansi tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Dalam psikologi hubungan antara
jiwa/badan tersebut dinamakan psikosomatik. Seorang individu yang sedang sakit secara fisik
dapat berpengaruh pada sakitnya jiwa, demikian juga sebaliknya (Penjelasan lebih lengkap
tentang filsafat manusia Descartes, lihat Abidin, 2009).

23
4. John Locke (1632-1704)
Berbeda dari Descartes, John Locke berkeyakinan bahwa semua pengetahuan manusia
diperoleh melalui pengalaman, dan alat-alat indera (penglihatan, penciuman, peraba, dan lain-
lain) merupakan pintu masuk bagi pengalaman tersebut. Keyakinan ini merupakan inti dari
aliran empirisme. Locke percaya bahwa pikiran atau jiwa bayi yang baru lahir serupa dengan
kertas kosong atau tabula rasa. Pengalaman sepanjang hidup si bayi hingga menjadi tua kelak
serupa dengan tulisan yang dituliskan dalam pikiran dia. Jadi, tidak ada pengetahuan yang
berasal dari luar pengalaman.Semua pengetahuan manusia pada dasarnya merupakan ide-ide
yang disajikan pikiran manusia melalui pengalaman yang pernah dialaminya. Ada dua
tingkatan ide, yakni yang sederhana dan yang kompleks. Ide-ide sederhana adalah berupa ide-
ide yang langsung diperoleh melalui indera, seperti warna jingga, rasa asam, bau harum,
suara merdu, rasanya halus, dan lain-lain. Sedangkan ide-ide yang kompleks adalah ide-ide
hasil penggabungan dari dua atau lebih ide-ide yang sederhana yang diolah oleh pikiran.
Misalnya, konsep kuda, kursi, binatang, manusia, laki-laki, perempuan, dan lain-lain. Ide-ide
kompleks pun tidak selalu harus nyata. Misalnya, kuda terbang, yang merupakan gabungan
antara kuda dan hewan lain (misalnya, burung) yang punya sayap.
5. Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx adalah tokoh filsafat modern yang paling banyak dikenal oleh dunia.
Pemikiran-pemikiran filsafat politik dan ekonominya dianggap merupakan ancaman terhadap
kapitalisme Barat. Pengaruh filsafatnya sangat luar biasa karena bukan hanya dikalangan
akdemik, tetapi terutama di dunia politik dan ekonomi. Konon, sebelum “perang dingin”
antara Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet atau
Rusia dan sekutu-sekutunya) usai diawal tahun 1980-an, hampir separuh negara yang ada di
dunia ini dipengaruhi oleh ajaran Marx. Negara-negara Uni Soviet (sekarang Rusia) dan
negara-negara di Eropa Timur, China, Kuba, dan beberapa negara lain di Asia dan Afrika
menerapkan idelogi komunisme yang dasar-dasar filsafatnya adalah dari ajaran Marx.
Berbeda dari filsuf-filsuf sebelumnya, Marx menjadikan filsafat lebih praktis. Dia
mengecam filsafat konvensional atau tradisional. Menurut Marx, filsafat (dan juga ilmu
pengetahuan) selama ini hanya berperang menjelaskan realitas atau masyarakat. Padahal yang
terpenting adalah mengubah realitas atau masyarakat, yakni dari yang semula berada dalam
kondisi tidak adil dan tidak sejahtera, menjadi adil dan sejahtera. Dengan demikian, filsafat
bukan lagi suatu kajian teoretis belaka, melainkan menjadi suatu praktis politik dan ekonomi.
Menurut Marx, sejarah peradaban manusia pada dasarnya adalah serangkaian pertentangan
dan perjuangan kelas yakni antara kelas pemilik alat-alat produksi (eksploiters atau kelas
atas) dan kelas yang bekerja untuk pemilik alat-alat produksi (yang dieksploitasi atau kelas
bawah). Dulu kelas pemilik alat-alat produksi adalah para bangsawan pemilik tanah,
sedangkan kelas yang dieksploitasi adalah para petani penggarak tanah milik bangsawan.
Kini (pada saat Marx hidup) yang menjadi kelas pemilik alat-alat produksi adalah kaum
borjuis atau kapitalis, sedangkan kelas yang dieksploitasi adalah kaum proletar atau
buruh.Marx memang mengecam kapitalisme. Kapitalisme dinilai jahat, karena menjadikan
para pengusaha menjadi sangat kaya, tetapi buruh atau pekerja tetap miskin. Ia menegaskan
bahwa kapitalisme dengan sendirinya akan hancur. Terdapat beberapa nilai yang melekat
dalam kapitalisme, yang akan membawa pada kehancurannya sendiri (Magnis-Suseno, 1991).

24
Runtuhnya kapitalisme berkaitan dengan nilai-nilai yang melekat di dalam sistem kapitalisme
itu sendiri. Niali-nilai tersebut antara lain:
a)      Nilai dan martabat manusia hanya diukur dari kualitas pekerjaannya atau
produktivitasnya, bukan dari kemanusiaannya. Akibatnya, faktor kepemilikan ekonomi
menjadi sangat signifikan karena menjadi ukuran nilai dan martabat manusia.
b)      Nilai upah subsistensi. Nilai pekerjaan para buruh diukur dengan upah yang hanya
memadai untuk bisa hidup (subsistensi). Tidak ada masalah berapa lama mereka bekerja dan
keterampilan apa yang dimiliki oleh mereka, mereka hanya akan menerima upah sekadarnya
(subsistensi).
c)      Nilai lebih. Nilai lebih adalah “kelebihan” nilai yang telah dilakukan oleh para buruh,
tetapi tidak menjadi hak mereka. Mereka dipaksa bekerja melampaui batas sewajarnya tetapi
mereka dibayar hanya untuk bertahan hidup. Jadi ada eksploitasi buruh oleh kapitalis.
Marx selanjutnya mengatakan bahwa kaum pekerja diramalkan akan berontak karena mereka
pun mengalami alienasi (keterasingan).

H. Filsafat Kontemporer (1900-Dewasa ini)


Filsafat kontemporer, yang diawali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi
pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan
(antara lain, postmodernisme), kritik sosial, metodologi (fenomenologi, heremeutika,
strukturalisme), filsafat hidup (eksistensialisme), filsafat ilmu, sampai filsafat tentang
perempuan (feminisme). Teme-tema filsafat yang banyak dibahas oleh para filsuf  dari
periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan
gender, kuasa dan struktur yang mengun

gkung hidup manusia, dan isu-isu aktual yang berkaitan dengan budaya, sosial,
politik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Sejumlah filsuf yang termasuk sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah:
Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1859-1941),
Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970), Ludwig Wittgenstein (1889-
1951), Thomas Kuhn (1922-1996), Gilbert Ryle (1900-1976), Martin Heidegger (1889-
1976), Jean Paul Sartre (1905-1980), Simone de Beauvoir (1908-1986), Richard Rorty (1931-
2007), Paul Ricour (1913-2005), Theodor W. Adorno (1903-1969), Jacques Lacan (1901-
1981), Foucault (1926-1984), Levi-Strauss, Karl Popper (1902-1994), Jurgen Habermas
(1929-….), Slavoj Zizek (1949-….), dan lain-lain.
Berikut adalah beberapa contoh pemikiran filsafat dari zaman kontemporer.
1.  Wilhelm Dilthey 1833-1911
Selain seorang filsul, Dilthey pun adalah seorang sejarawan yang humanis, oleh sebab itu,
dia sangat menentang upaya-upaya yang dilakukan oleh para ilmuan sosial pada zamannya
untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam (IPA) sebagai model bagi ilmu pengetahuan sosial
(IPS). Ada kecenderungan para ilmuwan abad ke-19 dan bahkan hari ini untuk menjadikan
metode IPA sebagai model untuk metode IPS. Dalam filsafat ilmu pengetahuan upaya-upaya
seperti itu dinamakan positivasi IPS. Alasan yang dikemukakan oleh Dilthey kenapa dia
menentang upaya-upaya itu adalah fakta bahwa ada perbedaan antara IPA dan IPS, terutam
dalam objek kajiannya. Objek kajian IPA adalah benda-benda alam, sedangkan objek IPS

25
adalah gejala tindakan manusia. Oleh sebab itu, metode penyelidikannya pun harus berbeda
dari metode IPA.
Ia membedakan secara tegas antara Geisteswissenchaften (IPS)
dari Naturwissenchaften (IPA). Meetode IPS tidak harus meniru metode IPA, karena IPS
pada dasarnya adalah suatu hermeneutika, atau seni memahami makna-makna yang
tersembunyi di balik gejala tindakan-tindakan atau aksi-aksi manusia. Disamping itu, tujuan
IPS pun berbeda dari IPA karena IPS bertujuan untuk memahami motif tindakan individu
dari “dalam”, sedangkan IPA menjelaskan gejala alam dari “luar”. Berikut adalah tabel
perbedaan diantara kedua jenis ilmu tersebut.
Tabel 4. Perbedaan antara IPS (Geisteswissenchaften) dengan IPA (Naturwissenchaften)
Geisteswissenchaften Naturwissenchaften
Geist: ekspresi jiwa
manusia (“kehidupan”)
dalam bentuk action dan Alam: organis dan
Objek kajian karya-karya manusia inorganis
Erklaren (penjelasan-
kausal)
Verstehen (Pemahaman) Perangkatnya dan
Perangkatnya: analisis sifatnya: analisis
intelektual-rasional dan intelektual, rasional,
Metode afektif-empatik objektif
Mengungkap pengalaman
subjektif atau “batin”
(perasaan, ekspektasi, Menjelaskan sebab-
intensi, dll) dari individu akibat objektif suatu
Tujuan atau masyarakat gejala alam

Ada beberapa catatan mengenai tabel di atas. Pertama, Dilthey kadang-kadang


menyebut objek Geisteswissenchaften itu “Erlebnis”, yaitu pengalaman khas individu atau
masyarakat yang bermakna bagi individu atau masyarakat itu sendiri. Misalnya pengalaman
tentang cinta, persahabatan, revolusi, ambisi, penderitaan, kebahagiaan, dan lain-
lain. Kedua, tindakan (action) dan karya-karya manusia yang diselidiki oleh IPS pada
dasarnya merupakan simbol. “Di balik” atau “di belakang” simbol tersebut terdapat
dorongan-dorongan subjektif seperti cinta, persahabatan, pemberontakan jiwa, ambisi,
penderitaan, kebahagiaan, dan lain-lain.
Ketiga, Dilthey menekankan pentingnya hubungan antardisiplin diantara ilmu-ilmu
pengetahuan (IP) yang termasuk dalam Geisteswissenchaften (antara lain psikologi, seejarah,
ilmu budaya, sosial, hukum, sastera). Alasannya, ekspresi jiwa tidak dapat dipilah-pilah ke
dalam bagian-bagian (misalnya, bagian hukum, ekonomi, sosial, psikologi, dan lain-lain),
sehingga semua ilmu yang termasuk ke dalam IPS memiliki hubungan bersifat antardisiplin
atau interdisipliner. Keempat, verstehen adalah pemahaman ilmuwan sosial tentang
pengalaman seorang individu atau masyarakat secara mendalam (depth) dan menyeluruh
(comprehensive), berdasarkan pada titik pandang atau perspektif individu atau masyarakat
yang sedang dipahami oleh ilmuwan itu.

26
2. Jean Paul Sartre (1905-1980)
Belum pernah ada seorang filsuf pun yang begitu ekstrem seperti Sartre yang menegaskan
tentang kebebasan manusia. Manusia, jika Sartre diminta untuk mendefinisikannya, identik
dengan kebebasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan pada beragam
pilihan, dan pada saat itu pula berarti kita memiliki kebebasan untuk memilih. Bahkan, dalam
situasi yang paling menekan karena ada ancaman pun, kita tetap bebas. Misalnya, saya
ditodong oleh seorang perampok untuk menyerahkan harta-benda saya. Dalam kondisi ini
saya masih memiliki kebebasan, apakah mau menyerahkan apa yang dia minta atau melawan.
Apapun pilihan saya, selalu mengandung resiko yang harus saya pikul akibatnya.Kebebasan
yang kita miliki ternyata tidak menyenangkan. Bahkan sering membuat kita merasa cemas.
Kebebasan bukanlah “berkah”, melainkan hukuman atau kutukan. Buktinya, kita sering
melarikan diri dari kebebasan. Kebebasan mempersyaratkan tanggung jawab pribadi. Semua
pilihan yang saya putuskan tidak selalu bisa saya prediksi hasilnya. Dalam kasus-kasus
tertentu, kalaulah ternyata pilihan saya tidak tepat, maka hancurlah (sebagain) dari hidup
saya. Oleh sebab itu, kita sering menjadi orang malafide, yakni orang yang tidak-autentik
karena lari dari kebebasan dan enggan menghadapi resiko akibat kebebasan yang kita miliki.
Tidak sulit mencari orang-orang yang tidak-autentik atau malafide seperti itu. Kita sering
menemukan individu-individu yang mengasalkan segala perilakunya dari “takdir” atau
“nasb”, atau dari kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yang menurutnya tidak bisa ditentang
atau dihindari. Mereka biasanya mengungkapkan pernyataan-pernyataan seperti, “sifat saya
memang begitu, mau apa lagi?”, atau “kehendak para penguasa kita memang demikian,
bagaimana kita bisa menentangnya?”, atau “itu sudah menjadi ketentuan para pemimpin kita,
sehingga adil atau tidak adil harus kita lakukan”. Itulah pernyataan-pernyataan yang keluar
dari mulut-mulut manusia malafide. Apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh mereka
adalah, “semua yang saya lakukan itu bukanlah kehendak saya, atau tidak ada sangkut
pautnya dengan kemauan saya, jadi apapun yang terjadi, bukanlah tanggung jawab saya”.

BAB III
FILASAFAT TIMUR

27
A. Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan
serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran
keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian
secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu). Pada saat inilah, para filsofof
kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah
dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang
alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun
diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka
kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang
memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai
ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan
rasional. Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-
pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta.Semangat inilah
yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat danilmu menjadi
satu. Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M..
Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam,
dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada
saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau
Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada
kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.

B.  Filsafat Timur10
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal
dari dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat
Islam, Filsafat Buddhisme, dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu
sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi
menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina dapat terbagi menjadi
Konfusianisme dan Taoisme. Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran antara
sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya Buddhisme berakar dari Hinduisme,
namun kemudian menjadi lebih berpengaruh di Cina ketimbang di India. Di sisi lain, filsafat
Islam malah lebih banyak bertemu dengan filsafat Barat. Akan tetapi, secara umum dikenal
empat jenis filsafat Timur yang terkenal dengan sebutan “Empat Tradisi Besar” yaitu
Hinduisme, Buddhisme, Taoisme,dan Konfusianisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-
ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai
dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Di dalam studi post-kolonial

10
Takwin, Bagus. 2003. Filsafat Timur,Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran
Timur. Jakarta: UI Press.

28
bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah ketimbang sistem pemikiran
Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya karena
dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik. Akan tetapi, sekalipun di antara filsafat
Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan perbedaan, namun tidak dapat dinilai mana yang
lebih baik, sebab masing-masing memiliki keunikannya sendiri. Selain itu, keduanya
diharapkan dapat saling melengkapi khazanah filsafat secara luas.

C.  Pemikiran Timur sebagai Filsafat

1. Keberatan-Keberatan
Banyak ahli tidak melihat pemikiran Timur sebagai filsafat melainkan sebagai agama,
karena dianggap tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Kriteria radikal (berpikir
secara mendalam), sistematis, dan kritis berasal dari filsafat Barat. Selain itu, pemikiran
Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis; mereka
hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian mengamalkannya. Akan tetapi,
sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi kriteria untuk menentukan pemikiran Timur
digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab seringkali kategorisasi filsafat dan bukan
filsafat ditentukan oleh Barat yang memaksakan kriteria kriterianya terhadap Timur.
Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis,
bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya seperti Konfusius, Lao Tzu, dan Siddharta
Gautama.

2. Pemikiran Timur memenuhi Definisi Filsafat


Definisi menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran. Dilihat dari definisi
filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat, sejauh filsafat
Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang didasarkan pada rasa
cinta akan kebenaran itu sendiri. Pengetahuan akan kebenaran selalu berkaitan dengan
kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan akan kebaikan tertinggu dan
tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pengetahuan dan tindakan haruslah hadir di
dalam diri seorang yang bijaksana. Kedua hal ini ada di dalam pemikiran sejumlah pemikir
Timur seperti Lao Tzu, Konfusius, Siddharta Gautama, para filsuf Hindu, dan para filsuf
Islam, sehingga pemikiran mereka dapat disebut filsafat Timur.

3. Pemikiran Timur memenuhi Kriteria Filsafat


Selain melalui definisi, filsafat Timur juga dapat memenuhi kriteria-kriteria sebuah
filsafat seperti yang lazim menjadi kriteria filsafat Barat, yakni kritis, sistematis, dan radikal
Tentu saja ada perbedaan cara dengan yang dipahami oleh filsafat Barat. Aspek kritis dapat
dipenuhi bila pemikiran-pemikiran yang telah ada diolah secara kritis dan terbuka terhadap
modifikasi. Pengolahan dilakukan melalui dialog, diskusi, adu argumentasi, dan kesiapan
untuk membuka diri terhadap pemikiran baru. Aspek sistematis sebenarnya telah ada di
dalam pemikiran-pemikiran Timur, dan dapat berbeda-beda antara satu pemikiran dengan
pemikiran lainnya. Misalnya filsafat Cina didasarkan pada konstruksi kronologis, mulai dari
penciptaan alam hingga meninggalnya manusia. Di sini, yang penting terdapat alur yang
runut dalam setiap sistem pemikiran, ada masalah yang jelas, ada proses pengolahan

29
informasi sebagai upaya penyelesaian masalah, dan ada solusi bagi masalah tersebut.
Mengenai sifat radikal dalam arti mendalami obyeknya, hal itu juga telah lama berakar pada
pemikiran Timur. Siddharta Gautama, misalnya, mencoba menggali hakikat hidup
sampai sedalam-dalamnya, melakukan pembaruan terhadap sistem India yang sudah ada,
dan  membentuk sistem baru yang dikenal sebagai Buddhisme.

BAB IV
PERBEDAAN FILSAFAT TIMUR DENGAN FILSAFAT BARAT

30
A. Perbedaan dengan Filsafat Barat
Filsafat Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang didalam
budaya yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan di antara
keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada
persamaan di antara keduanya.
1. Pengetahuan
Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan akal budi dan pemikiran yang
rasional sebagai pusat kodrat manusia. Filsafat Timur lebih menekankan hati  daripada akal
budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan akal budi dan intuisi, serta
intelegensi dan perasaan. Tujuan utama berfilsafat adalah menjadi bijaksana dan menghayati
kehidupan, dan untuk itu pengetahuan harus disertai dengan moralitas.
2. Sikap Terhadap Alam
Filsafat Barat menjadikan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek sehingga
menghasilkan eksploitasi berlebihan atas alam. Sementara itu, filsafat Timur menjadikan
harmoni antara manusia dengan alam sebagai kunci. Manusia berasal alam namun sekaligus
menyadari keunikannya di tengah alam.
3. Cita-Cita Hidup
Kalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan bekerja dan bersikap aktif
sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni, ketenangan, dan
kedamaian hati. Kehidupan hendaknya dijalani dengan sederhana, tenang, dan menyelaraskan
diri dengan lingkungan.
4. Status Manusia
Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai individu dengan
segala kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak bisa menghilangkan status
seorang manusia dengan kebebasannya. Filsafat Timur menekankan martabat manusia
tetapi dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia ada bukan untuk dirinya
melainkan ada di dalam solidaritas dengan sesamanya.

BAB V
PENUTUP

31
A. Kesimpulan
Filsafat merupakan dasar-dasar dari keseluruhan yang terjadi pada diri manusia serta
makhluk hidup lain yang ada di muka bumi ini baik dari awal penciptaan manusia dimuka
bumi ini, ilmu-ilmu pengetahuan, dan ilmu-ilmu lainnya. Lahirnya filsafat karena rasa ingin
ketahuan manusia terhadap sesuatu hingga lahirlah para-para filsuf baik dari belahan Bumi
Barat maupun dari belahan Bumi Timur. Dengan adanya filsafat ini manusia dapat berfikir
dari alur yang berpikir rasional dan meninggalkan alur pikir yang selalu mengaitkan sesuatu
dengan mitos atau mistis yang kejadiannya bisa saj secra kebetulan. Filsafat merupakan
teoritis ilmu yang dapat mematahkan teori lain dengan adanya pembuktian yang menyatakan
bahwa teori itu dapat diterima dengan akal pikiran serta terbukti kebenarannya atau disebut
empirisme. Secara garis besar filsafat Timur banyak memasukkan unsur-unsur agama
yang menjadikan filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat
Barat, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran
Timur dikatakan sebagai fisafat, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara
filsafat Barat dan Timur keduanya tidak dapat nilai mana yang lebih baik karena
memiliki keunikan tersendiri. Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi
khazanah filsafat secara luas.

B. SARAN
            Filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping
nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga
bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Jadi
saya merasa ilmu filsafat ini ilmu yang tinggi yang tentu juga perlu pemahaman tinggi untuk
memahaminya. Jika ada kesalahan atau ketidaksamaan pendapat dalam makalah ini, pembaca
dapat memberikan masukan atau kritikan yang membangun pada saya.

DAFTAR PUSTAKA

32
Dr. Zainal Abidin. Pengantar Filsafat Barat
Muhammad Harsono. 2010. Makalah Filsafat Timur. Filsafat-ilmu.blogspot.com

Bagir, Haidar. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.


Praja, Juhaya.S. 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta:Prenada Media.
Smith, Huston. 2001. Agama-Agama Manusia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Takwin, Bagus. 2003. Filsafat Timur, Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran
Timur. Jakarta: UI Press.
Ahmad. 2007. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Hadiwidjono, Harun. 1998. Sari Sejarah Filsafat Barat   1. Yogyakarta: Kanisius.

33

Anda mungkin juga menyukai