Anda di halaman 1dari 25

MATERI FILSAFAT ILMU

MATERI 2 : Memahami Filsafat

A. Pengertian Filsafat

Kata Filsafat berasal dari kata: Falsafah (bhs. Arab), Philosophy (bhs. Inggris), dan
Philosophia (bhs Yunani). Philosophia terdiri atas 2 kata yakni Philos/philein (artinya:
cinta/senang/suka, love), dan Sophia (artinya: pengetahuan atau hikmat atau
kebijaksanaan, wisdom). Secara hurufiah, filsafat (philosophia) berarti: cinta akan
kebenaran/pengetahuan/kebijaksanaan (love of wisdom). Jadi, Filsafat adalah cinta
pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmat dan kebijaksanaan.
Seorang filsuf adalah pecinta atau pencari pengetahuan, kebenaran dan kebijaksanaan.

2. Pengertian terminologi Filsafat menurut beberapa ahli/filsuf

 Plato: filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan


kebenaran yang asli.
 Aristoteles: filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik dan estetika.
 Rene Descartes: filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
 Immanuel Kant: filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pokok pangkal
dari segala pengetahuan, yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
 Notonagoro: filsafat itu menelaah hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut
intinya yang mutlak dan yang terdalam, yang tetap dan tidak berubah, yang
disebut hakikat.

B. Ciri-ciri berpikir Filsafat

Kedelapan ciri berpikir filsafat ini menjadikan filsafat cenderung berbeda dengan ciri
berpikir ilmu-ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukan filsafat sebagai bidang
keilmuan yang netral, terutama ciri ketujuh.

1. radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat


atau substansi yang dipikirkan.
2. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman
manusia. (misalnya, apakah kebebasan itu?)
4. Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah
berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan
tertentu.
6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara filsafat
merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafat boleh dikatakan
merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka
sosial, historis, kultural, bahkan religius.
8. Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang
berpikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya. Paling tidak
terhadap hati nuraninya sendiri.

C. Asal dan Peranan Filsafat: (Surajiyo: 16 – 18)

1. Asal

Tiga hal yang mendorong manusia untuk “berfilsafat” sbb :

1) Keheranan. Banyak filsuf menunjukkan rasa heran (Yunani : thaumasia)


sebagai asal filsafat. Plato mengatakan: “Mata kita memberi pengamatan
bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan
untuk menyelidiki. Dari penyelidikan ini berasal filsafat”.
2) Kesangsian. Filsuf-filsuf lain seperti Augustinus (354 – 430 M) dan Rene
Descartes (1596 – 1650 M) menunjukan kesangsian (ragu-ragu) sebagai
sumber utama pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu dan
berpikir untuk mencari kebenaran.
3) Kesadaran akan keterbatasan. Manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari
bahwa dirinya sangat kecil, terbatas dan lemah, terutama bila dibandingkan
dengan alam sekelilingnya.
4) Kesadaran akan keterbatasannya ini mendorong manusia untuk memikirkan
bahwa di luar manusia yang terbatas tersebut, pasti ada sesuatu yang tidak
terbatas, sehingga ia mulai berfilsafat.

2. Peranan

Filsafat telah memerankan sedikitnya tiga peranan dalam sejarah pemikiran manusia
sbb :

1) Pendobrak. Berabad-abad lamanya, intelektualitas manusia tertawan dalam


penjara tradisi dan kebiasaan. Dalam penjara itu, manusia terlena dengan
alam mistik yang penuh sesak dengan hal-hal yang serba rahasia yang
terungkap lewat berbagai mitos. Manusia menerima begitu saja segala
penuturan mitos dan takhyul tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Kehadiran
filsafat telah mendobrak pintu dan tembok tradisi (mitos) yang begitu sakral
dan tidak boleh diganggu-gugat tersebut.
2) Pembebas. Filsafat bukan sekedar mendobrak pintu penjara tradisi dan
kebiasaan yang penuh dengan mitos itu, melainkan juga merenggut manusia
keluar dari dalam penjara itu. filsafat membebaskan manusia dari
ketidaktahuan dan kebodohannya. Filsafat membebaskan manusia dari
belenggu cara berpikir mistis. Filsafat membebaskan manusia dari segala
jenis “penjara” yang hendak mempersempit ruang gerak akal-budi manusia.
3) Pembimbing. Filafat tidak hanya membebaskan manusia dari cara berpikir
yang mistis, tetapi juga membimbing manusia untuk berpikir secara rasional.
Filsafat selain membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik, dangkal,
tidak teratur dan tidak jernih, tidak utuh dan fragmentaris, juga membimbing
manusia untuk membimbing manusia untuk berpikir secara luas dan
mendalam, sistematis dan logis, integral dan koheren.

D. Kegunaan Filsafat: (Surajiyo: 18 -19)

Umumnya, belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani


berbagai pertanyaan mendasar manusia yang tidak terelakan. Filsafat membantu untuk
menadalami berbagai pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup
tanggung jawabnya. Kemampuan itu dipelajari dari dua jalur:

1) secara sistematik. Artinya, filsafat menawar berbagai metode mutakhir untuk


menangani masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran
dan pengetahuan, baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab dan
keadilan, dan sebagainya.
2) secara historis atau sejarah filsafat. Artinya belajar untuk mendalami,
menanggapi, serta belajar dari jawaban- jawaban yang sampai sekarang
ditawarkan oleh para pemikir dan filsuf terkemuka.

E. Jenis Filsafat: (Basman: 14)

Filsafat sebagai objek pemikiran, mengandung dua sisi penting, yaitu sisi fungsi dan
artinya bagi manusia. Sisi fungsi menunjuk pada filsafat hidup, dan sisi arti menunjuk
pada filsafat akademik.

1) Filsafat hidup (way of life) atau pedoman hidup yang kemudian membentuk cara
hidup yang mendasarkan diri pada suatu paham untuk mencapai tujuan hidup
(fungsi). Yang menjadi dasar atau sumber dari filsafat hidup ini adalah paham
atau aliran-aliran yang bersumber dari agama, kepercayaan- kepercayaan dan
adat istiadat yang berlaku dan hidup dalam masyarakat.
2) Filsafat akademik. Berbeda dengan filsafat hidup, filsafat akademik mempelajari
objek menurut cara pandang, metode dan sistem tertentu untuk mendapatkan
kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang menjadi sasaran filsafat
akademik adalah pengetahuan hakiki mengenai hal atau barang sesuatu (arti).
MATERI 3 : MEMAHAMI FILSAFAT ILMU

A. Pengertian Filsafat Ilmu (Mustansyir dan Munir: 49)

Ada berbagai definisi para ahli tentang filsafat ilmu. Empat definisi yang paling
representative sbb :

1) Robert Ackermann : filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-
pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat
terdahulu yang telah dibuktikan.
2) Lewis White Beck: filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode
pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah
sebagai suatu keseluruhan.
3) Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafat yang
menelaah secaera sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya,
konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam
kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
4) May Brodbeck: filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.

A. Pengertian Filsafat Ilmu.

Keempat definisi tersebut memperlihatkan ruang lingkup atau cakupan yang dibahas
dalam filsafat ilmu sbb :

1) Komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu.


2) Sifat dasar ilmu pengetahuan.
3) Metode ilmiah.
4) Praanggapan-praanggapan ilmiah.
5) Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Dari kelima faktor itu, yang paling banyak dibicarakan, terutama adalah sejarah
perkembangan ilmu, metode ilmiah dan sikap etis dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.

A. Pengertian Filsafat Ilmu

Sejarah perkembangan ilmu memaparkan berbagai wacana yang berkembang di


seputar temuan-temuan ilmiah sesuai dengan periodesasi-periodesasi. Setiap periode
menampakkan kekhasannya masing-masing, sehingga perbandingan secara kritis
antara satu periode dengan periode yang lain akan memperlihatkan kekayaan
peradigma ilmiah sepanjang sejarah perkembangan ilmu.
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola
kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memperkembangkan pengetahuan yang ada. Metode ilmiah pada umumnya diartikan
sebagai prosedur yang dipergunakan oleh para ilmuwan dalam pencarian sistematis
terhadap pengetahuan baru dan peninjauan kembali pengetahuan yang telah ada.

Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan merupakan salah satu isu penting
dalam filsafat ilmu, terutama untuk menjawab persoalan apakah ilmu itu bebas nilai
atau tidak. Ada dua kubu yang saling berhadapan: satu pihak beranggapan bahwa ilmu
itu harus bebas nilai, dan pihak lain beranggapan bahwa ilmu itu tidak mungkin bebas
nilai, karena terkait dengan kepentingan sosial.

B. Tujuan dan Implikasi Filsafat Ilmu: (Mustansyir dan Munir : 51-53).

1. Tujuan
 Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang
menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah
 Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan
metode keilmuan.
 Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.
2. Implikasi
 Bagi seseorang yang mempelajari filsafat ilmu, diperlukan pengetahuan
dasar yang memadai tentang ilmu, supaya para ilmuwan memiliki landasan
berpijak yang kuat.
 Menyadarkan seorang ilmuwan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir
“menara gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa
mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Padahal, setiap
aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan
sosial masyarakat.

C. Objek Filsafat Ilmu: (Mustansyir: 44 – 48)

1. Objek Material (pokok bahasan)


filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah
disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.
Perbedaan antara Pengetahuan dengan Ilmu Pengetahuan sbb :
Pengetahuan bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman sehari-hari
(semua manusia terlibat dalam pengetahuan dengan perangkat inderawinya).
Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat khusus dengan ciri-ciri: sistematis, metode
ilmiah tertentu, serta dapat diuji kebenarannya. Tidak semua orang terlibat dalam
aktivitas ilmiah ini, karena ada prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang
ilmuwan.

D. Prasyarat seorang Ilmuwan

1. Prosedur ilmiah yang harus dipenuhi agar hasil kerja ilmiah itu diakui oleh para
ilmuwan lainnya.
2. Metode ilmiah yang dipergunakan, sehingga kesimpulan atau hasil temuan
ilmiah itu bisa diterima (entah sementara atau seterusnya) oleh para ilmuwan,
terutama bidang ilmu yang sejenis.
3. Diakui secara akademis karena gelar atau pendidikan formal yang ditempuhnya.
4. Ilmuwan harus memiliki kejujuran ilmiah sehingga tidak mengklaim hasil temuan
ilmuwan lain sebagai miliknya.
5. Ilmuwan yang baik harus mempunyai rasa ingin tahu (curiosity) yang besar,
sehingga senantiasa tertarik pada perkembangan ilmu yang terbaru dalam
rangka mendukung profesionalitas keilmuannya.
MATERI 4 : Memahami Ilmu Pengetahuan

1. Objek Formal

filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih
menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti: apa
hakikat ilmu itu sesungguhnya (landasan ontologis), bagaimana cara memperoleh
kebenaran (landasan epistemologis), dan apa fungsi ilmu pengetahuan itu bagi
manusia (landasan aksiologis).

Landasan Ontologis pengembangan ilmu, artinya titik tolak penelaahan ilmu


pengetahuan didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang
ilmuwan. Sikap/pendirian ini terbagi atas 2 aliran besar yang sangat mempengaruhi
perkembangan ilmu pengetahuan: Materialisme dan Spiritualisme.

1) Materialisme adalah suatu pandangan metafisika yang menganggap bahwa tidak


ada hal yang nyata selain materi (sesuatu hal yang kelihatan, dapat diraba,
berbentuk dan menempati ruang). Aliran ini cenderung pada ilmu-ilmu
alam/empiris (Natuurweissenschaften).
2) Spiritualisme adalah suatu pandangan metafisika yang menganggap kenyataan
yang terdalam adalah roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Aliran ini
cenderung pada ilmu-ilmu kerohanian (Geistewissenschaften). Jadi, landasan
ontologis ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmu
pengetahuan terhadap realitas, apakah sebagai materi (ilmu-ilmu empiris), atau
sebagai spirit/roh (ilmu-ilmu humaniora, termasuk agama).

Landasan epistemologi pengembangan ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu


pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran, yang
disebut metode ilmiah. Metode ilmiah terbagi ke dalam 2 kelompok sbb :

1) siklus empirik untuk ilmu-ilmu alam, dan metode linier untuk ilmu-ilmu sosial-
humaniora.
Cara kerja siklus empirik: observasi ≈ penerapan metode induktif ≈ melakukan
eksperimentasi (percobaan) ≈ verifikasi/ pengujian ulang terhadap hipotesis yang
diajukan ≈ melahirkan teori baru.
2) Cara kerja metode linier: persepsi (penangkap inderawi terhadap realitas yang
diamati) ≈ konsepsi (menyusun sebuah pengertian) ≈ prediksi (peramalan
terhadap kemungkinan yang akan terjadi.

Landasan aksiologi pengembangan ilmu merupakan sikap etis yang harus


dikembangkan oleh seorang ilmuwan, dalam kaitan dengan nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya. Suatu aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan/agama
maupun ideologi yang dianut oleh masyarakat/bangsa tempat ilmu itu dikembangkan.

A. Apa itu Ilmu Pengetahuan (Surajiyo: 55 – 78)

1. Definisi ilmu pengetahuan

 Ilmu pengetahuan berasal dari kata Inggris: science, yang berasal dari kata
Latin: scientia (dari kata kerja: scire), yang berarti mempelajari, mengetahui.
Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga
menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik.
 The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya,
dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala
yang ingin dimengerti manusia. Jadi harus ada aktivitas manusia dengan
menggunakan metode tertentu sehingga menghasilkan pengetahuan yang
sistematis.
 Ilmu sebagai aktivitas ilmiah berwujud: penelaahan (study), penyelidikan
(inquiry), usaha menemukan (attempt to find), atau pencarian (search).
Pencarian dalam ilmu sering dilakukan berulang-ulang (research).
 Archie Bahm: definisi ilmu pengetahuan melibatkan 6 komponen, yaitu: masalah
(problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan
(conclusions), dan pengaruh (effects).

2. Ciri-ciri ilmu pengetahuan

 The Liang Gie mengemukakan 5 ciri pokok ilmu pengetahuan sbb :


1. Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2. Sistematis, berbagai keterangan/data pengetahuan mempunyai hubungan
ketergantungan dan teratur.
3. Objektif, pengetahuan itu bebas dari prasangka.
4. Analitis, pengetahuan berusaha membedakan pokok soal ke dalam berbagai
bagian yang terinci untuk memahami sifat, hubungan dan peranan bagian-bagian
tersebut.
5. Verifikasi, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun.

 Van Melsen mengemukakan 8 ciri yang menandai ilmu sbb :


1. Memiliki metode. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu
keseluruhan yang secara logis koheren.
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih.
3. Bersifat universal. Ilmu pengetahuan haruslah universalitas.
4. Bersifat objektivitas. Artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi
oleh prasangka-prasangka.
5. Dapat diverifikasi. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti
ilmiah yang bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat
dikomunikasi.
6. Bersifat progresif. Artinya, suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-
sungguh bila mengandung pertanyaan baru dan menimbulkan problem lagi.
7. Bersifat kristis. Artinya tidak ada teori yang definitif, setiap teori terbuka bagi
suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan
antara teori dan praktis.

3. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

 The Liang Gie membagi ilmu atas 7 jenis sbb :


1. Ilmu-ilmu matematis
2. Ilmu-ilmu fisis
3. Ilmu-ilmu biologis
4. Ilmu-ilmu psikologis
5. Ilmu-ilmu social
6. Ilmu-ilmu linguistic
7. Ilmu-ilmu interdisipliner

 Christian Wolff mengklasifikasi ilmu pengetahuan atas 3 kelompok besar yaitu:


1. Ilmu pengetahuan empiris : Kosmologi empiris dan Psikologi empiris.
2. Matematika : Murni (aritmatika, geometri, aljabar), dan Campuran (mekanika,
dll).
3. Filsafat :
1. Spekulatif (metafisika) : (Umum : ontology), (Khusus: psikologi, kosmologi,
teologi).
2. Praktis : (Intelek: logika), (kehendak: ekonomi, etika, politik), (pekerjaan fisik:
teknologi).
3. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan:

 Auguste Comte membagi ilmu pengetahuan atas 6 golongan sbb :


1. ilmu pasti (matematika)
2. Ilmu perbintangan (astronomi)
3. Ilmu alam (fisika)
4. Ilmu kimia (chemistry)
5. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
6. Fisika social (sosiologi)

 Karl Raimond Popper membagi ilmu pengetahuan atas 3 dunia (world) sbb :

Dunia 1, merupakan kenyataan fisis dunia.

Dunia 2, adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia.

Dunia 3, yaitu segala hipotesis, hukum dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama
antara dunia 1 dan 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama dsb.

3. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

 Thomas S. Kuhn: perkembangan ilmu pengetahuan bersifat revolusioner (revolusi


ilmiah), dalam 3 tahap (bukan kumulatif seperti anggapan selama ini) :
1. Tahap pertama : paradigma (cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh
prestasi atau praktik ilmiah konkrit), yang membimbing dan mengarahkan
ektivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Namun, dalam
menjalankan aktivitas ilmiah, ilmuwan menghadapi berbagai anomali (suatu
keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan
(fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
2. Tahap kedua: menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para
ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan.
3. Tahap ketiga, para ilmuwan mulai memperluas dan mengembangkan suatu
paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan
membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama
ke paradigma baru ini dinamakan revolusi ilmiah.
MATERI 5 :

A. Langkah-langkah dalam Ilmu Pengetahuan


1. Perumusan masalah. Setiap penyelidikan ilmiah dimulai dengan masalah yang
dirumuskan secara tepat dan jelas dalam bentuk pertanyaan agar ilmuwan
mempunyai jalan untuk mengetahui fakta-fakta apa saja yang harus
dikumpulkan.
2. Pengamatan dan pengumpulan data atau observasi. Penyelidikan ilmiah dalam
tahap ini mempunyai corak empiris dan induktif di mana seluruh kegiatan
diarahkan pada pengumpulan data melalui pengamatan yang cermat, didukung
oleh berbagai sarana yang canggih. Hasil observasi ini kemudian dituangkan
dalam bentuk pernyataan-pernyataan.
3. Pengamatan dan klasifikasi data. Dalam tahap ini, ditekankan penyusunan fakta-
fakta dalam kelompok, jenis dan kelas tertentu berdasarkan sifat yang sama
(klasifikasi).
4. Perumusan pengetahuan (definisi). Ilmuwan mengadakan analsis dan sintesis
secara induktif, dengan mengadakan generalisasi (kesimpulan umum), yakni
pernyataan umum atau universal. Dari sinilah teori terbentuk.
5. Tahap ramalan (prediksi). Teori yang sudah terbentuk tadi, diturunkan hipotesis
baru, dan melalui deduksi, ilmuwan mulai menyusun implikasi logis agar dapat
mengadakan ramalan (prediksi) tentang gejala yang perlu diketahui atau masih
yang masih terjadi.
6. Pengujian kebenaran hipotesis (verifikasi). Tahap ini menguji kebenaran
ramalan-ramalan tadi melalui pengamatan atau observasi terhadap fakta yang
sebenarnya atau percobaan-percobaan. Dalam hal ini, keputusan terakhir
terletak pada fakta. Jika fakta tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis itu
harus dibongkar dan diganti dengan hipotesis lain, dan seluruh kegiatan ilmiah
harus dimulai lagi dari permulaan.

B. Ilmu dan Teknologi: (Surajiyo: 75 – 77)

Pengertian teknologi dikaitkan dengan dimensi pengetahuan (Tim Dosen Filsafat UGM).

1. Teknologi adalah penerapan dari pengetahuan ilmiah kealaman (natural science)


(Brinkmann). Jadi, teknologi adalah hasil penerapan dari ilmu pengetahuan.
2. Teknologi merupakan pengetahuan sistematis tentang seni industri, atau sebagai
ilmu industrial (The Liang Gie).
3. Teknologi adalah ilmu terapan yang terbagi atas 4 cabang yaitu teknologi fisik
(teknik mesin, dll), teknologi biologi (farmakologi), teknologi sosial (riset
operasional), dan teknologi pikir (ilmu komputer) (Bunge).
4. Teknologi sebagai pertengahan antara ilmu murni dan ilmu terapan (teknologi
sebagai keahlian (Feibleman).
5. Teknologi sebagai alat kerja, pengajaran praktis dari sekolah industri, dan ilmu
tentang teknik (Karl Marx).

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan beberapa pendapat yaitu :

1. Teknologi bukan ilmu melainkan penerapan ilmu.


2. Teknologi merupakan ilmu, yang dikaitkan dengan aspek eksternal yaitu industri,
dan aspek internal yang dikaitkan dengan objek material ilmu maupun aspek
murni terapan.
3. Teknologi merupakan keahlian yang terkait dengan realitas kehidupan sehari-
hari.

C. Ilmu dan Teknologi: (Surajiyo: 75 – 77)

Menurut The Liang Gie, ada 7 perbedaan antara ilmu dan teknologi yakni :

1. Teknologi bertujuan untuk memecahkan masalah material manusia, atau untuk


membawa pada perubahan praktis yang diimpikan manusia. Ilmu bertujuan
untuk memahami dan menerangkan fenomena fisik, biologis dan dunia social
manusia secara empiris.
2. Ilmu berkaitan dengan pemahaman dan bertujuan untuk meningkatkan pikir
manusia, sedangkan teknologi memusatkan diri pada manfaat dan tujuannya
adalah untuk menambah kapasitas kerja.
3. Tujuan ilmu adalah memajukan pembangkitan pengetahuan, sedangkan tujuan
teknologi adalah memajukan kapasitas teknik dalam membuat barang atau
layanan.
4. Ilmu bersifat “Supranasional” (mengatasi berbagai negara), sedangkan teknologi
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tertentu.
5. Input teknologi berbagai jenis, yaitu material alamiah, daya alamiah, keahlian,
teknik, alat, mesin, ilmu maupun pengetahuan dari berbagai macam, misalnya
akal sehat, pengalaman, ilham, intuisi, dan lain-lain. Adapun ilmu adalah
pengetahuan yang telah tersedia.
6. Output ilmu adalah pengetahuan baru, sedangkan teknologi menghasilkan
produk berdimensi tiga.
7. Abrams dan Layton merumuskan perbedaan ilmu dan teknologi terkait dengan
pemegang peran. Ilmuwan diharapkan untuk mencari pengetahuan murni dari
jenis tertentu, sedangkan teknologi untuk tujuan tertentu. ilmuwan mencari tahu,
teknologi mengerjakan.
D. Titik singgung antara ilmu dan teknologi
1. Baik ilmu dan teknologi merupakan komponen dari kebudayaan.
2. Baik ilmu dan teknologi memiliki aspek ideal maupun faktual, dimensi abstrak
maupun konkret, dan aspek teoritis maupun praktis.
3. Terdapat hubungan dialektika antara ilmu dan teknologi: ilmu menyediakan
bahan pendukung bagi kemajuan teknologi yaitu teori-teori, sedangkan teknologi
membantu memperluas cakrawala penelitian ilmiah. Kemajuan ilmu
mengandalkan dukungan teknologi, sebaliknya kemajuan teknologi
mengandalkan dukungan ilmu.
MATERI 6 : MASALAH ILMU PENGETAHUAN

A. Sumber-sumber Pengetahuan yang mungkin (Basman: 26 – 33)

 Kesaksian sejarah (bersandar pada otoritas).

Cara yang paling umum untuk mendapatkan pengetahuan tentang masa lalu adalah
dengan bersandar kepada kesaksian orang-orang lain, yakni kepada otoritas. Kita
mengetahui bahwa Aristoteles atau Yesus pernah hidup karena kesaksian dari orang-
orang yang hidup pada masa mereka dan dari ahli-ahli sejarah.

Otoritas sebagai sumber pengetahuan mempunyai nilai tetapi juga mengandung


bahaya. Kesaksian atau otoritas yang terbuka bagi penyelidikan yang bebas dan jujur
tentang kebenarannya adalah suatu sumber yang sah dari pengetahuan.

Kita harus sadar bahwa kesaksian atau otoritas itu hanyalah merupakan sumber kedua
bukan sumber pertama. Kita tidak boleh puas hanya dengan memperoleh informasi dari
sumber kedua tetapi sedapat mungkin kita mencari informasi dari sumber pertama.

B. Indera sebagai sumber (bersandar kepada panca indera).

Aliran yang menegaskan bahwa kita mengetahui apa yang kita dapatkan dari panca
indera yakni Empirisme. Apa yang kita lihat, dengar, sentuh, cium dan cicipi, yakni
pengalaman-pengalaman yang konkrit, membentuk bidang pengetahuan, itulah
pendirian empirisme.

Walaupun kita bersandar kepada pengetahuan empiris untuk mengenal fakta dalam
dunia, kita perlu bersikap hati-hati dan sadar bahwa kita mungkin tersesat walaupun
dalam bidang data pancaindera, karena prasangka dan emosi.

C. Pemikiran sebagai sumber pengetahuan (bersandar kepada akal).

Aliran yang menekankan bahwa pikiran atau akal adalah faktor yang pokok dalam
pengetahuan kita, dinamakan rasionalisme. Rasionalisme adalah pandangan bahwa
kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk
mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri, atau bahwa pengetahuan itu diperoleh
dengan cara membandingkan ide-ide. Bagi rasionalisme, pengetahuan hanya terdapat
dalam konsep, prinsip dan hukum, dan tidak dalam fisik.

Kekurangan dari rasionalisme ini adalah kita mungkin mengganti pengamatan empiris
dengan pemikiran deduktif. Kita mungkin menerima suatu sistem yang memiliki
konsistensi logika tetapi tidak relevan dengan dunia tempat kita hidup.
D. Dalam diri sendiri sebagai sumber (bersandar pada intuisi).

Intuisi merupakan salah satu sumber pengetahuan, yaitu pemahaman yang langsung
tentang suatu realitas yang tidak merupakan suatu pemikiran yang sadar atau persepsi
rasa secara langsung.

Beberapa pandangan tentang intuisi sbb :

1. Terdapat unsur intuisi dalam segala pengetahuan


2. Intuisi hanya merupakan tumpukan pengalaman dan pemikiran seseorang pada
masa lalu
3. Intuisi adalah salah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya
berbeda dengan pengetahuan yang dihasilkan oleh indera atau akal
4. Intuisi yang ditemukan dalam penjabaran mistik memungkinkan kita untuk
mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi pengetahuan yang
diperoleh melalui indera dan akal.

Kelemahan dan bahaya intuisi adalah bahwa ia bukan memperoleh metode yang aman
jika dipergunakan sendirian. Ia dapat tersesat dengan mudah dan mendorong kepada
pengakuan-pengakuan yang tidak masuk akal kecuali dicek oleh akal dan indera.

E. Sumber-sumber Pengetahuan saling melengkapi

Sumber-sumber pengetahuan yang bermacam-macam itu saling melengkapi dan tidak


bertentangan dalam usaha mencari kebenaran. Semuanya adalah merupakan sumber
pengetahuan yang benar, masing-masing mempunyai nilai untuk disumbangkan dan
masing-masing mungkin lebih tinggi dari pada lainnya dalam bidang-bidang tertentu.

Sumber-sumber pengetahuan ini idealnya harus dimanfaatkan atau digunakan sedapat


mungkin secara integral karena semuanya saling melengkapi bahkan saling
membutuhkan. Penggunaan rasio tanpa pengalaman akan menjadi timpang, demikian
pula penggunaan intuisi tanpa pertimbangan rasio juga dapat menyesatkan.

F. Watak Pengetahuan: (Basman: 34 – 35)

Dua aliran yang saling bertentangan, yaitu:

1. Subyektivisme, adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa objek dan


kualitas yang kita persepsikan dengan indera kita tidak berdiri sendiri terlepas
dari kesadaran kita terhadapnya. Kesadaran seorang manusia-lah yang
menentukan keberadaan suatu objek tertentu.
2. Obyektivisme, adalah pandangan yang mengatakan bahwa objek dan kualitas
yang kita persepsikan dengan perantaraan indera kita itu ada dan bebas dari
kesadaran manusia.

Kedua aliran ini (subjektivisme dan objektivisme) mempunyai peran yang sama
pentingnya dalam penyelidikan ilmiah.

G. Cara-cara untuk Mengetahui dan mencapai kebenaran

Empat cara atau tingkatan pemikiran untuk mengetahui dan mencapai kebenaran sbb :

1. Logika formal. Cara berpikir ini merupakan tingkatan pertama yang telah
dijelaskan oleh Aristoteles dan disempurnakan oleh beberapa ahli logika
kemudian. Bentuk rasionalitas logika ini erat hubungannya dengan prinsip
kebenaran koherensi dalam kebenaran universal.
2. Penyelidikan empiris. Pada tingkatan kedua ini, kita menambahkan persepsi
inderawi kepada logika formal dan masuk dalam bidang sains yang bermacam-
macam. Pengetahuan kita tentang kejadian-kejadian khusus yang terjadi dalam
ruang dan waktu memerlukan persatuan antara logika dan dunia pengalaman
dan wujud yang selalu berubah. Sains adalah penyempurnaan, penghalusan,
dan pengecekan terhadap pengetahuan kita yang perseptual.
3. Pertimbangan normatif. Tingkatan ketiga ini melihat sesuatu dalam rangka
menilai lebih baik atau lebih jelek, benar atau salah, baik atau jahat. Dalam
memasuki bidang penyelidikan ini, kita tidak boleh melupakan rasionalitas logika
atau faktual, namun pandangan kita harus lebih mendalam. Kemampuan kritis
dari manusia harus dipergunakan untuk pertimbangan-pertimbangan nilai, baik
mengenai nilai moral, pandangan-pandangan estetika, atau pengalaman-
pengalaman beragama.
4. Rasionalitas yang menyeluruh. Tingkatan yang keempat ini merupakan tingkatan
pemikiran yanng paling inklusif, karena ia memakai dan melampaui pengetahuan
dalam tingkatan-tingkatan sebelumnya. Tingkatan ini terjadi jika pemikir
berusaha untuk berintegrasi dengan apa yang dipikirkan dan mencapai
pandangan yang komprehensif/menyeluruh tentang suatu hal. Tingkatan ini bisa
disebut dengan “rasa metafisika” manusia.
MATERI 7 :

A. Definisi dan Penalaran: (Surajiyo: bab 8)

Untuk mendapatkan pengetahuan yang ilmiah, seorang ilmuwan dituntut bisa membuat
suatu definisi dari setiap konsep dengan baik, dan bisa bernalar dengan baik dari setiap
proposisi yang digunakannya. Karena itu, masalah definisi dan penalaran adalah
termasuk hal yang sangat penting dalam filsafat ilmu.

Definisi

 Definisi dari bhs. latin: definire: menandai batas-batas pada sesuatu, menentukan
batas, memberi ketentuan atau batasan arti. Jadi definisi dapat berarti sebuah
pernyataan yang memuat penjelasan tentang arti suatu term (istilah).
 Definisi terbagi atas dua bagian yakni : bagian pangkal (difiniendum) yang berisi
istilah yang harus diberi penjelasan, dan bagian pembatas (difiniens) yang berisi
uraian mengenai arti dari bagian pangkal.

3 Macam defenisi

1. Definisi nominalis: menjelaskan sebuah kata dengan kata lain yang lebih umum
dimengerti.
2. Definisi realis: penjelasan tentang hal yang ditandai oleh sesuatu term.
3. Definisi praktis: penjelasan tentang hal sesuatu ditinjau dari segi penggunaan
dan tujuan yang sederhana.

Syarat-syarat definisi

1. Sebuah definisi harus menyatakan ciri-ciri hakiki dari apa yang didefinisikan,
yakni menunjukkan pengertian umum (genus) yang meliputinya beserta ciri
pembedanya yang penting.
2. Sebuah definisi harus merupakan suatu kesetaraan arti dengan yang
didefinisikan, maksudnya tidak terlampau luas dan tidak terlampau sempit.
3. Sebuah definisi harus menghindarkan pernyataan yang memuat term yang
didefinisikan, artinya definisi tidak boleh berputar-putar memuat secara langsung
atau tidak langsung subjek yang didefinisikan.
4. Sebuah definisi sedapat mungkin harus dinyatakan dalam bentuk rumusan yang
positif, yakni tidak boleh dinyatakan secara negative jika dapat dinyatakan
dengan kata-kata yang positif
5. Sebuah definisi harus dinyatakan secara singkat dan jelas terlepas dari rumusan
yang kabur atau bahasa kiasan, karena maksud membuat definisi adalah
memberi penjelasan serta menghilangkan makna ganda.
B. Penalaran

Penalaran adalah suatu proses penarikan kesimpulan dari satu atau lebih proposisi.
Penalaran terbagi atas :

1. Penalaran langsung: penalaran yang didasarkan pada sebuah proposisi


kemudian disusul proposisi lain sebagai kesimpulan dengan menggunakan term
yang sama.
2. Penalaran tidak langsung: penalaran yang didasarkan atas dua proposisi atau
lebih kemudian disimpulkan.

Prinsip Penalaran

Ada 4 prinsip penalaran yaitu sbb :

1. Prinsip identitas (principium identitas): “sesuatu hal adalah sama dengan halnya
sendiri” (Aristoteles).
2. Prinsip kontradiksi (principium contradictionis): “sesuatu tidak dapat sekaligus
merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan” (Aristoteles).
3. Prinsip eksklusi tertii (principium exclusi tertii): “sesuatu jika dinyatakan sebagai
hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang
merupakan jalan tengah” (Aristoteles).
4. Prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis): “suatu perubahan yang
terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak
mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupinya” (Leibniz).

C. Silogisme

Silogisme adalah proses menggabungkan tiga proposisi, dua menjadi dasar


penyimpulan (premis), satu menjadi kesimpulan (konklusi).

Seluruh argumen mengandung tiga proposisi yaitu :

1. Pengertian yang menjadi subjek (S) kesimpulan disebut term (premis) minor.
2. Pengertian yang menjadi predikat (P) kesimpulan disebut term (premis) mayor.
3. Pengertian yang tidak terdapat dalam kesimpulan, tetapi terdapat dalam kedua
premis disebut term antara/pembanding.

Contoh: semua binatang makan. Sapi adalah binatang. Kesimpulan: Sapi itu makan.
(binatang adalah term pembanding, sapi adalah term minor, makan adalah term mayor,
semua binatang makan adalah premis mayor, sapi adalah binatang sebagai premis
minor).
D. Sesat pikir

Sesat pikir dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu :

1. Menyimpulkan sesuatu lebih luas daripada dasarnya (contoh: kucing berkumis.


Candra berkumis. Jadi candra kucing?).
2. Membuat definisi yang tidak memperjelas, tidak konsisten dan tidak lengkap.
3. Bentuk tidak tepat atau tidak sahih

Penggolongan sesat pikir

Sesat piker di golongkan atas :

1. Kesesatan karena pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika bahasa


2. Kesesatan karena kesimpulan yang tidak relevansi.
MATERI 9 : TOKOH-TOKOH FILSAFAT ILMU DAN PEMIKIRANNYA: (Basman: bab
VI).

 David Hume (Problem Metafisika Empirisme dalam Kajian Filsafat Ilmu)

Menurut Hume, manusia tidak mempunyai pengetahuan bawaan dalam hidupnya.


Sumber pengetahuan adalah pengamatan (empirisme). Pengamatan memberikan dua
hal: kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Hume,
sebagai seorang empirisme yang sangat konsisten termasuk radikal, menegaskan
bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika (rasio).

Pandangan Hume tentang Tuhan tidak terlepas dari pendekatan empirismenya, yang
menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang diperoleh
melalui pengalaman atau eksperimen. Menurut Hume, ketika kita percaya kepada
Tuhan sebagai pengatur alam ini, kita berhadapan dengan berbagai dilema. Baginya,
tidak ada bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan adanya Tuhan.

 Karl Popper (Epistemologi Rasionalisme-Kritik)

Popper merupakan tokoh penganjur rasionalisme-kritis (berbeda dengan rasionalisme-


konvensional oleh Descartes). Rasionalisme-kritis Popper menyatakan bahwa rasio
bisa menemukan kebenaran, tetapi rasio juga harus mempunyai kesediaan untuk
mengakui kesalahan dalam mendekati kebenaran. Kemungkinan salah itu dianggap
sebagai ruang dinamika bagi suatu evaluasi-kritis dalam taraf yang lebih tinggi.

Menurut Popper, statemen yang tidak dapat dikritik adalah statemen yang irasional.
Sepanjang statemen itu rasional, akan selalu terbuka untuk dikritik. Di sini, terletak
perbedaan antara pengetahuan yang bersifat subjektif dan yang bersifat objektif.
Menurutnya, pengetahuan subjektif kebal terhadap kritikan, karena pengetahuan itu
semata-mata didasarkan pada disposisi subjek (menurut maunya subjek.) Sedangkan
pengetahuan objektif membuka diri terhadap kritikan, karena yang objektif adalah apa
yang ditetapkan oleh ilmu itu sendiri, lepas dari disposisi subjek.

Popper memberi peluang bagi falsifikasi (penyalahan, penyangkalan) suatu teori ilmiah,
bukan verifikasi (pembuktian kebenaran suatu teori). Bagi Popper, fakta-fakta yang
dicari bukan dengan maksud membenarkan suatu teori, tetapi justru sebaliknya,
menyalahkannya. Pandangan Popper tersebut bertendensi mencari-cari kesalahan
ilmiah dan kedengarannya bersifat negatif, tetapi bagi Popper, justru sangat positif
karena sangat mendorong pertumbuhan pengetahuan.
 Thomas Samuel Kuhn (Revolusi Ilmu Pengetahuan)

Kuhn merupakan salah satu filsuf yang menyoroti aspek sejarah ilmu. Bagi Kuhn,
sejarah sangat menentukan karena sejarahlah yang berbicara tentang segala kegiatan
yang berhubungan dengan sains, sehingga peneliti mampu melihat pergeseran dan
perubahan yang terjadi dalam lapangan sains.

Kuhn berpendirian bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan


berjalan secara revolusioner, yaitu perubahan yang cakupannya sangat luas dan
didalamnya tercakup berbagai unsur seperti keyakinan-keyakinan, dasar, struktur,
perilaku individu serta kebijakan. Hal ini dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi ilmiah
(ilmu pengetahuan), yaitu “segala perkembangan non kumulatif di mana paradigma
yang terlebih dahulu ada diganti dengan yang baru”. Kata kunci yang ditekankan oleh
Kuhn adalah: PARADIGMA.

 Imre Lakatos (Program Riset Ilmiah).

Lakatos cenderung melanjutkan tradisi positif Popper tentang falsifikasi. Menurutnya,


falsifikasi terbagi atas dua jenis: falsifikasi dogmatik dan falsifikasi metodologis. Model
falsifikasi dogmatis mengakui adanya kemungkinan salah (fallibility) dari semua teori-
teori sains tanpa suatu kualifikasi. Ciri penting falsifikasi dogmatik ini adalah pengakuan
bahwa semua teori adalah praduga.

Lakatos menjelaskan jika dalam perspektif falsifikasi dogmatis, suatu teori dapat
difalsifikasi dan terbukti salah, sedangkan falsifikasi metodologis, teori itu mungkin
masih benar. karena itu, ia mengajukan teori tentang program riset sebagai metodologi
ilmiah.
MATERI 10 : ETIKA KEILMUWAN

A. Problema Etika Ilmu Pengetahuan

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan
lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan sesuatu
yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi
mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menghancurkan eksistensi manusia.

Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab
terhadap hal-hal yang akan datang dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi di masa-masa lalu, sekaran maupun apa akibatnya bagi masa depan
berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya.

Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang
dapat mengubah sesuatu aturan, baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja
menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam
perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia
secara utuh.

B. Problema Etika Ilmu Pengetahuan

Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu


pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, harus
menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk
memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam
hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun
sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya.

Van Melsen (1985) menegaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung
pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh
manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang
teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesunggunya, yakni
kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan
yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan
bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang
martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk
mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan
kreativitas manusia itu sendiri.

C. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai

Perkembangan ilmu-ilmu yang pesat hingga sekarang ini, menimbulkan persoalan,


apakah ilmu itu bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai, artinya tuntutan
terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu
sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan factor eksternal yang tidak secara
hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai,
yaitu sbb:

1. Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh
eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur
kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin.
Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

Max Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu sosial harus
menjadi nilai-nilai yang relevan.

Jurgen Habermas berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas
nilai. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk
berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya
tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis.

D. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan

Para ilmuwan perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral
inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. Sikap ilmiah ini harus
dimiliki oleh setiap ilmuwan, sebab sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan
untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang
ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara
untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam
semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras
dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.

Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan (Abbas Hamami M., 1996) sedikitnya ada
6 sikap, yaitu sebagai berikut :

1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan
untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih
atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap
alat-alat indra serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah
mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas
terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk
riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak
untuk menembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.

Norma-norma umum dari etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkansecara normatif


di atas berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan
tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja
yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah
objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.

Di samping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada
etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya,
etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika profesi lainnya yang secara
normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan kepatuhan terhadap
norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan
kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi.
Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya
pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia.

Anda mungkin juga menyukai