Anda di halaman 1dari 101

ASAL MULA FILSAFAT

 Ada empat hal yang melahirkan filsafat


1. Ketakjuban
2. Ketidakpuasan
3. Hasrat bertanya
4. Keraguan

PERANAN FILSAFAT
1. Pendobrak:
Keadaan semula dunia yang masih dipenuhi tradisi yang berisi
dongeng dan takhayul telah berlangsung lama. Kehadiran filsafat telah
mendobrak pintu-pintu dan tembok-tembok tradisi yang begitu sakral dan
selama itu tidak boleh diganggu gugat. Kendati pendobrakan itu
membutuhkan waktu yang cukup panjang, kenyataan sejarah telah
membuktikan bahwa filsafat benar-benar telah berperan selaku pendobrak
yang mencengankan.

2. Pembebas:
Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohan
serta membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir yang mistis dan
mitis.
Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak
teratur,tidak jernih, tidak kritis yang membuat manusia menerima kebenaran-
kebenaran semu yang menyesatkan.
Secara sungkat filsafat membebaskan manusia dari segala jenis
“penjara” yang hendak mempersempit ruang gerak akal budi manusia.

3. Pembimbing:
Filsafat membebaskan cara berpikir yang mistis dan mitis dengan
membimbing manusia untuk berpikir secara rasional. Filsafat membimbing
manusia untuk berpikir yang lebih luas dan mendalam, yakni berpikir secara
universal sambil berupaya mencapai radix dan menemukan esensi suatu
permasalahan. Filsafat membimbing manusia berpikir secara sistematis dan
logis, integral dan koheren.

CIRI-CIRI BERPIKIR FILSAFAT

1. Berpikir Radikal:
Karena berpikir secara radikal filsuf tidak pernah terpaku hanya pada
fenomena suatu entitas tertentu. Ia tidak pernah berhenti hanya pada suatu
wujud realitas tertentu. Keradikalan berpikirnya itu akan senantiasa
mengobarkan hasrat untuk menemukan akar seluruh kenyataan
Mengapa radix atau akar begitu penting untuk ditemukan? Ini karena bagi
seorang filsuf, hanya apabila akar realitas itu telah ditemukan, segala sesuatu
yang bertumbuh diatasnya akar itu akan dapat dipahami.
Hanya apabila akar suatu permasalahan telah ditemukan,
permasalahan itu dapat dimengerti sebagaimana mestinya.
Berpikir radikal bukan berarti hendak mengubah, membuang, atau
menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan berpikir secara mendalam,
untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan.
2. Mencari Asas:
Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya
mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas.
Para filsuf Yunani yang terkenal sebagai filsuf-filsuf alam, mengamati
keanekaragaman realitas di alam semesta, lalu berpikir dan bertanya,
“Tidakkah dibalik semua keanekaragaman itu hanya ada suatu asas?
“Mereka lalu mulai mencari asal usul/asas pertama alam semesta.
Thales mengatakan bahwa asas pertama alam semesta itu adalah air,
Anaximandros mengatakan yang tak terbatas, Anaximenes ngatakan udara,
Empedokles mengatakan ada empat akar segala sesuatu yang membentuk
realitas alam semesta, yaitu api, udara, tanah dan air.
Mencari asas pertama berarti juga berupaya menemukan sesuatu
yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi realitas, maka
realitas itu dapat diketahui dgn pasti dan jelas.

3. Memburu kebenaran:
Filsuf adalah pemburu kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan
setiap hal yang dapat dipersoalkan.
Berfilsafat = memburu kebenaran tentang segala sesuatu. Untuk
memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dapat
dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang teah diraih harus senantiasa
terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang
lebih pasti. Demikian seterusnya.
Filsafat tidak bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari
suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti.

4. Mencari Kejelasan:
Salah satu penyebab lahirnya filsafat adalah keraguan. Untuk
menghilangkan keraguan maka diperlukan kejelasan. Berfikir filsafati berarti
berusaha untuk memperoleh kejelasan.
Tanpa kejelasan filsafat akan menjadi sesuatu yang kabur, gelap,
mistik, serba rahasia.
Filsafat merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan
pengertian dan kejelasan seluruh realitas.

5. Berpikir Rasional:
Berpikir radikal, mencari asas, memburu kebenaran dan mencari
kejelasan tidak mungkin dapat berhasio dengan baik tanpa berpikir secara
rasional.
Rasional = berpikir logis, sistematis, dan kritis.
- Logis = bukan hanya sekedar menggapai pengertian-pengertian yang
dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar anggup menarik kesimpulan
dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang
digunakan.
- Sistematis = rangkaian pikiran yang berhubungan satu sama lain dan
saling berkaitan secara logis.
- Kritis = membakar kemauan untuk terus menerus mengevaluasi
argumen-argumen yang mengklaim diri benar. Seorang yang berpikir kritis
tidak akan mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu
dipersoalkan dan benar-benar diuji terlebih dahulu.
Berpikir logis-sistematis-kritis adalah ciri utama berpikir rasional.
Berpikir rasional ini merupakan salah satu sifat dasar filsafat.

PEMBAGIAN FILSAFAT
Menurut Aristoteles:
Filsafat spekulatif atau teoritis
Filsafat Praktika
Filsafat Produktif
• Filsafat Spekulatif atau Teoretis. Bersifat objek. Termasuk dalam
bidang ini adalahfisika metafisika, biopsikologi, dan sebagainya.
Tujuan utama filsafat spekulatif adalah pengetahuan demi
pengetahuan itu sendiri.

• Filsafat Praktika. Filsafat praktika memberi petunjuk dan pedoman bagi


tingkah laku manusia yang bagik sebagaimana mestinya. Termasuk
budang ini adalah etika dan politik. Sasarannya membentuk sikap dan
perilaku yang akan memampukan manusia bertindak dalam terang
pengetahuan itu.

• Filsafat Produktif Filsafat produktif ialah pengetahuan yang


membimbing manusia menjadi produktif lewat suatu ketrampilan
khusus. Termasuk bidang ini adalah kritik sastra, retorika, dan estetika.
Sasaran utamanya adalah agar manusia menghasilkan sesuatu, baik
secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang
benar.

Logika: oleh Aristoteles disebut analitika (untuk meneliti argumentasi yang


berangkat dari proposisi yang benar) dan dialektika (untuk meneliti
argumentasi yang diragukan kebenarannya) tidak dimasukan dalam salah
satu bidang tersebut. Itu karena menurut Aritoteles analitika dan dialektika
adalah metode dasar bagi pengembangan ketiga bidang filsafat tersebut.

Menurut Christian Wolff (1679-1754)


Filsuf rasionalis dari Jerman pengikut Leibniz, membagi filsafat kedalam
cabang-cabang sbb
Logika
Ontologi
Kosmologi
Filsafat Psikologi
Teologi Naturalis
Etika
Menurut Will Durrant, dalam “The story of Philosophy” (1926)
Mengemukakan sbb:
Logika
Estetika
Filsafat Etika
Politika
Matafisika
 Logika = studi tentang metode berpikir dan metode penelitian ideal,
yang terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dan induksi. Hipotesis
dan eksperimen, analisis dan sintesis, dan sebagainya.
 Estetika = studi tentang bentuk ideal dan keindahan, estetika disebut
juga sebagai filsafat seni (philosophy of art)
 Etika = studi tentang perilaku ideal
 Politika = studi tentang organisasi sosial yang ideal, yaitu tentang
monarki, aristokrasi, demokrasi, sosialisme, anarkisme, dan
sebagainya.
 Metafisika = terdiri dari Ontologi, filsafat psikologi, dan epistemologi

Para penulis ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich Ingerichte


Encyclopaedie) membagi filsafat ke dalam sepuluh cabang sbb:
Metafisika
Logika
Epistemologi
Filsafat Ilmu
Filsafat Filsafat Naturalis
Filsafat Kultural
Filsafat Sejarah
Estetika
Etika
Filsafat Manusia

The World University Ensiclopedia membagi filsafat ke dalam cabang-cabang


sebagai berikut:
Sejarah Filsafat
Metafisika
Filsafat Epistemologi
Logika
Etika
Estetika

Masih banyak pembagian lain yang ditawarkan oleh para filsuf. Akan tetapi,
saat ini umumnya filsafat dibagi ke dalam enam bidang studi atau cabang
utama sbb:
1. Epistemologi
2. Metafisika:
 Ontologi
 Kosmologi
 Teologi metafisik
 Antropologi
 Logika
3. Logika
4. Etika
5. Estetika
6. Filsafat ttg berbagai disiplin ilmu

CARA BELAJAR FILSAFAT


 Ada tiga metode mempelajari filsafat(Ahmad Tafsir, 2009):
- Metode sistematis
- Metode historis
- Metode kritis
1. Metode sistematis :
Pelajar menghadapi karya filsafat. Mula-mula pelajar menghadapi teori
pengetahuan (epistemologi) yang terdiri atas beberapa cabang filsafat.
Setelah itu ia mempelajari teori hakikat (ontologi) yang merupakan cabang
lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai (axiologi).
Dengan belajar filsafat melalui metode ini perbatian kita terpusat pada
isi filsafat, bukan pada tokoh atau pun periode.
2. Metode Historis :
Mempelajari filsafat denbgan cara mengikuti sejarahnya, jadi sejarah
pemikiran. Ini dapat dilakukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh
menurut kedudukannya dalam sejarah. Misalnya dimulai dengan
membicarakan filsafat Thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok
ajarannya baik secara epistemologi, ontologi dan axiologi. Kemudian
dilanjutkan dengan tokoh lain.
Dapat pula dengan cara lain yaitu membagi babakan sejarah filsafat
(ancient, middle dan modern philosophy)
Banyak variasi cara belajar filsafat metode ini. Yang pokok adalah
filsafat dipelajaro secara kronologis.

3. Metode Kritis:
Digunakan pada tingkat intensif. Pelajar sedikit banyak haruslah
memiliki pengetahuan filsafat. Sebaiknya digunakan pada tingkat pasca
sarjana.
Disini pengajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis
ataupun historis.
Langkah pertama adalah dengan memahami isi ajaran, kemudian
mengajukan kritik. Kritik itu bisa menentang atai mendukung, menggunakan
pendapatnya sendiri atau filsuf lain.

Objek Material dan objek Formal Filsafat

Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal,juga memiliki


objek material dan objek formal.
Objek Material filsafat
Adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang
tampak dan tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan
ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Termasuk pula pengertian
abstrak-logis, konsepsional, spiritual, nilai-nilai.
Adalah objek yang secara wujudnya dapat dijadikan bahan telaahan
dalam berfikir. Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek material
filsafat adalah segala sesuatu yang berwujud, yang pada garis besarnya
dapat dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu : Hakekat Tuhan, Hakekat Alam
Hakekat manusia
Sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian,
yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada
dalam kemungkinan.

Objek Formal filsafat


Adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional
tentang segala yang ada.
Cakupan objek filsafat lebih luas di bandingkan dengan ilmu karena
ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat
mencakup yang empiris dan yang non empiris.
Disamping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena
awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini
secara sistematis, rasional, dan logis termasuk hal yang empiris.

Objek Material Filsafat Ilmu


Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh
suatu ilmu, atau objek yang yang di pelajari oleh ilmu itu.
Objek material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu
pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah
tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara
umum.

Objek Formal Filsafat Ilmu


Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek
menelaah objek materialnya atau pendekatan-pendekatan, atau metode
untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan
deduktif.
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan
artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu
pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara
memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu
pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Obyek formal adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan
bertahap menurut segi-segi yang dimiliki obyek materi dan menurut
kemampuan seseorang.
Obyek formal diartikan juga sebagai sudut pandang yang ditujukan
pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut
pandang darimana obyek material itu disorot.
Obyek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi
pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain.
Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang
sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, akan
tergambar lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi
tertentu. Dengan kata lain, “tujuan" pengetahuan sudah ditentukan.
Misalnya, obyek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau
dari sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang
mempelajari manusia, diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan
sebagainya.

Ilmu, dan Pengetahuan

1. Perbedaan antara pengetahuan dan ilmu.


Banyak diantara kita yang menyamakan pengertian ilmu dan
pengetahuan. Padahal, kedua hal tersebut jelas berbeda. Pengetahuan
berasal dari kata tahu yang tentunya memiliki makna lebih dangkal.
Pengetahuan menandakan bahwa seseorang telah mengerti
mengenai sesuatu. Misalnya ibu A telah membaca sebuah artikel mengenai
jerawat kemudian tahu bahwa jeruk nipis adalah salah satu obat jerawat yang
alami. Pengetahuan ibu A tersebut tidak bisa disebut sebagai ilmu.
Untuk mendapatkan ilmu seseorang harus belajar lebih detail misalnya
dengan mengetahui tipe-tipe kulit, penyebab jerawat, penanganan kulit
berjerawat berdasarkan jenisnya. Jenis-jenis jerawat, proses penyembuhan
jerawat, zat-zat yang dibutuhkan untuk menumpas factor penyebab jerawat,
dan sebagainya. Tentunya yang dapat memahami detail jerawat tersebut
adalah dokter kulit.
Kata ilmu jika dilihat dari segi bahasa, ilmu berasal dari bahasa arab
yaitu al-ilmu, atau dari bahasa Yunani yaitu logos, yang berarti pengetahuan.
Orang-orang yang mempelajari bahasa Arab mengalami sedikit kebingungan
tatkala menghadapi kata “ilmu”. Dalam bahasa Arab kata ” Al-ilm” berarti
pengetahuan (knowledge).
Sedangkan kata ilmu dalam bahasa indonesia biasanya merupakan
terjemahan dari science. Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian dari Al-
ilm dalam bahasa Arab.
Maksudnya agar orang yang mengerti bahasa Arab tidak bingung
membedakan kata ilmu (science) dengan kata ilmu (knowledge). (Prof Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu: 2010. Hal 3.)
Berdasarkan asal katanya, pengetahuan diambil dari kata dalam
bahasa Inggris yaitu knowledge. Sedangkan ilmu berasal dari kata
Science. Tentunya dari dua asal kata itu mempunyai makna yang berbeda.
1. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yg terklasifikasi, tersistem
dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
2. Pengetahuan merupakan pengetahuan yang belum tersusun, baik
mengenai metafisik maupun fisik.
3. Pengetahuan adalah informasi yg bersifat commonsense, sedangkan
ilmu sudah merupakan bagian yg lebih tinggi dari itu karena memiliki
metode & mekanisme tertentu.
4. Ilmu bagaikan sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan
dipotong ujung dan pangkalnya, kemudian diikat, sehingga menjadi
sapu lidi, sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih
berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat lain yg belum
tersusun dengan baik.
5. Ilmu memiliki kebenaran yang bersifat objektif, sedangkan
pengetahuan bersifat subjektif.

2. Perbedaan filsafat pengetahuan (Epistemologi) dengan filsafat ilmu


pengetahuan.
• Filsafat Pengetahuan: mengkaji segala sesuatu yg berkaitan dgn
pengetahuan manusia pada umumnya, terutama menyangkut gejala
pengetahuan, syarat2 pengetahuan, bentuk2 pengetahuan, dan
sumber pengetahuan manusia.
• Hal-hal yg dipersoalkan adalah: bagaimana manusia bisa tahu?
Apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yg bersifat pasti?
Apakah pengetahuan yg pasti itu mungkin? Apa artinya mengetahui
sesuatu? Bagaimana manusia bisa tahu bahwa ia tahu? Dari mana
asal dan sumber pengetahuan manusia itu? Apakah pengetahuan
sama dengan keyakinan? Dimana letak perbedaannya?
• Filsafat Ilmu Pengetahuan: mengkaji segala persoalan yg berkaitan
dengan ilmu pengetahuan. Erat hubungannya dengan logika dan
metodologi. Bahkan kadang Filsafat Ilmu Pengetahuan disamakan
dengan metodologi.
• Hal-hal yang dipersoalkan adalah: apa itu kebenaran? Apa metode
ilmu pengetahuan itu? Manakah metode yang paling bisa diandalkan?
Apa kelemahan metode yang ada? Apa itu teori? Apa itu hipotesis?
Apa itu hukum ilmiah?

Referensi
• Akhyar Yusuf Lubis, Donny Gahral Adian, Pengantar Filsafat Ilmu
Pengetahuan
• Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional
• A. Sonny Keraf, Mikhael Du, Ilmu Pengetahuan sebuah tinjauan
filosofis. Kanisius, 2001.

Perkembangan Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu diperkenalkan sekitar abad XIX oleh sekelompok ahli ilmu
pengetahuan dari universitas wina.
Para ahli ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Moris Schlick
membentuk suatu perkumpulan yang disebut Wina circle untuk menyatukan
semua disiplin ilmu (kimia,fisika,matematika) pada suatu bahasa ilmiah dan
cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis.
Bidang keilmuan membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan
dengan pokok perhatian yang lebih spesifik. Karena itu saat ini filsafat ilmu
sudah semakin berkembang dan menjadi filsafat modern yang dibutuhkan
dalam setiap ilmu.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak perang dunia ke 2, yang
telah menghancurkan kehidupan manusia, para Ilmuwan makin menyadari
bahwa perkembangan ilmu dan pencapaiannya telah mengakibatkan banyak
penderitaan manusia , ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan
teknologi yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral serta komitmen etis dan
agamis pada nasib manusia .
Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada Mahasiswa
California Institute of Technology mengatakan “ Perhatian kepada manusia itu
sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar
yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda,
agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan
kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 )."
Akan tetapi penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945
menunjukan bahwa perkembangan iptek telah mengakibatkan kesengsaraan
manusia , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian,
namun hal itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert
Einstein, sehingga hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah
kemajuan peradaban manusia sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) .
Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu merenungi
apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in
Pilosophy (1959), beliau mengutif beberapa pendapat cendikiawan seperti
Northrop yang mengatakan “ it would seem that the more civilized we become
, the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga
pernyataan Lewis Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown
in our civilization : erosion of value, the dissipation of human purpose, the
denial of any distinction between good and bad, right or wrong, the reversion
to sub human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)
Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa memasuki
dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi
hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis
menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh etis dan
agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi manusia
dan kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke
pencarian makna dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.
Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science
yang dimulai sejak tahun 1965.
Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan
filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik
terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim
universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian
agama.
Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael
Foccault dan Derrida dengan beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif
dengan modernisme seperti dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang
pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-
narasi besar, namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest
Gellner dalam bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit
pada tahun1992.
Dia menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada
relativisme dan untuk itu dia mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis,
karena rasionalitas merupakan standar yang berlaku lintas budaya.
Dan pada periode ini pula teknologi informasi sangat luar biasa ,
berakibat pada makin pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga sulit
menentukan diskursus mana yang paling menonjol, hal ini mungkin sesuai
dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The third Wave,
dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang pada
gilirannya akan mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang
pemikiran filsafat.
Meskipun nampaknya prkembangan Filsafat ilmu erat kaitan
dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam
perkembangannya keadaan tersebut telah juga mendorong para akhli untuk
lebih mencermati apa sebenarnya ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat
dimensi ontologis sebenarnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya
seperti ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun
mendapat evaluasi ulang dan pengkajian yang serius.
Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu)
adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh
Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962, buku ini
merupakan sebuah karya yang monumental mengenai perkembangan
sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep
sentral, disamping konsep sains/ilmu normal.
Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya pengumpulan
fakta untuk membuktikan suatu teori, sebab selalu ada anomali yang dapat
mematahkan teori yang telah dominan.
Pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang pemikiran
ilmiah telah menghasilkan teori-teori, kemudian teori-teori terspesifikasikan
berdasarkan karakteristik tertentu ke daLam suatu Ilmu. Ilmu (teori) tersebut
kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan menjadi dasar
bagi riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal
yaitu riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang
lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika
dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya
( Thomas S Kuhn, 2000 :10 ) .
Pencapaian pemikiran ilmiah tersebut dan terbentuknya sains yang
normal kemudian menjadi paradigma, yang berarti “apa yang dimiliki bersama
oleh anggota suatu masyarakat sains dan sebaliknya masyarakat sains terdiri
atas orang yang memiliki suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 :
171 ).
Paradigma dari sains yang normal kemudian mendorong riset normal
yang cenderung sedikit sekali ditujukan untuk menghasilkan penemuan baru
yang konseptual atau yang hebat (. Thomas S Kuhn, 2000 : 134 ). Ini
berakibat bahwa sains yang normal, kegunaannya sangat bermanfaat dan
bersifat kumulatif.
Teori yang memperoleh pengakuan sosial akan menjadi paradigma,
dan kondisi ini merupakan periode ilmu normal. Kemajuan ilmu berawal dari
perjuangan kompetisi berbagai teori untuk mendapat pengakuan intersubjektif
dari suatu masyarakat ilmu.
Dalam periode sain normal ilmu hanyalah merupakan pembenaran-
pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paaradigma yang dianut
masyarakat tersebut, ini tidak lain dikarenakan paradigma yang berlaku telah
menjadi patokan bagi ilmu untuk melakukan penelitian, memecahkan
masalah, atau bahkan menyeleksi masalah-masalah yang layak dibicarakan
dan dikaji
Akan tetapi didalam perkembangan selanjutnya ilmuwan banyak
menemukan hal-hal baru yang sering mengejutkan, semua ini diawali dengan
kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal,
kemudian pandangan yang anomali ini dikembangkan sampai akhirnya
ditemukan paradigma baru yang mana perubahan ini sering sangat
revolusioner.
Paradigma baru tersebut kemudian melahirkan sain normal yang baru
sampai ditemukan lagi paradigma baru berikutnya. Bila digambarkan nampak
sebagai berikut : struktur perubahan keilmuan.

Pencapaian sain normal dan paradigma baru bukanlah akhir , tapi


menjadi awal bagi proses perubahan paradigma dan revolusi sains
berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal yang baru
tersebut.
Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara
substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu
paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada saat yang lain bisa
tergantikan dengan paradigma baru yang telah mendapat pengakuan dari
masyarakat ilmiah, itu berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali.

Aliran-aliran Filsafat

Materialisme
Merupakan paham atau aliran yg menganggap bhw dunia ini tidak ada
selain dari materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah satu.
Pada abad 1 masehi faham ini tidak mendapat tangggapan serius, dan
abad pertengahan org masih menganggap asing.
Baru pada zaman Aufklarung (pencerahan), materialisme mendapat
tanggapan dan penganut penting di Eropa Barat. Pada abad 19 pertengahan,
aliran ini tumbuh subur di Barat disebabkan, dgn paham ini, orang-orang
merasa mempunyai harapan-harapan yg besar atas hasil-hasil ilmu
pengetahuan alam.
Selain itu, faham Materialismen ini praktis tidak memerlukan dalil-dalil
yg muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan
yg jelas dan mudah dimengerti.
Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yg keras dan hebat dari kaum
agama dimana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham ini pada abad 19 tidak
mengakui adanya Tuhan (ateis).
Adapun krtitik yg dilontarkan tersebut adalah:
a. Materialisme mengatakan bahwa alam wujud ini terjadi dgn sendirinya
dari chaos (kacau balau). Padahal menurut Hegel, kacau balau yg
teratur bukan lagi kacau balau namanya.
b. Materialisme menerangkan bhw segala peristiwa diatur oleh hukum
alam. Padahal hakikat hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga.
c. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada
asal benda itu sendiri. Padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber
dari luar alam itu sendiri yaitu Tuhan.
d. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yg
paling mendasar sekalipun.
Diantara tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-528SM),
Anaximandros (610-545SM), Thales (625-545SM), Demokritos (460-545SM),
Thomas Hobbes (1588-1679), Lamettrie (1709-1715), Feuerbach (1804-
1877), Spencer (1820-1903), dan Karl Marx (1818-1883)

Dualisme
Adalah suatu ajaran atau faham yg memandang alam ini terdiri atas
dua macam hakikat yaitu hakikat materi dan hakikat rohani.
Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama asasi
dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan alam.
Contoh yg paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini adalah
terdapat dalam diri manusia
Tokoh aliran ini: Plato (427-347), Aristoteles (384-322), Descartes
(1596-1650), Fechner (1802-1887), Arnold Gealines, Leukippos, Anaxagoras,
A.Schopenhuer (1788-1860)
Empirisme
Adalah aliran yg menjadikan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dgn cara observasi/penginderaan. Pengalaman merupakan
faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari
pengetahuan manusia.
Empirisme berasal dari kata Yunani “empiris” yg berarti pengalaman
indrawi. Karena itu, empirisme dinisbatkan kepada faham yg memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yg
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yg menyangkut pribadi
manusia.
Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dgn rasionalisme
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yg sejati berasal dari rasio,
karena itu pengenalan indrawi merupakan suatu bentuk pengenalan yg kabur.
Sebaliknya empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman sehingga pengenalan indrawi merupakan pengenalan yg paling
jelas dan sempurna.
Seorang yg beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa
pengetahuan ini di dapat melalui penampungan yg secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti bahwa semua pengatahuan,
betapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yg tidak dapat bukanlah ilmu
pengetahuan.
Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai pada pengalaman indrawi dan apa yg tidak dapat dilacak
bukan ilmu pengetahuan.
Lebih lanjut penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman
tidak lain adalah suatu objek yg merangsang alat-alat indrawi, yg kemudian
dipahami dalam otak, dan akibat dari rangsangan tsb terbentuklah
tanggapan-tanggapan mengenai objek yg telah merangsang alat-alat indrawi
tersebut.
Empirisme memengang peranan penting bagi pengetahuan. Namun
aliran ini banyak memiliki kelemahan karena (1) indra sifatnye terbatas, (2)
indra sering menipu, (3) objek juga menipu, seperti ilusi/fatamorgana, dan (4)
indra dan sekaligus objeknya.
Jadi kelemahan empirisme in karena keterbatasan indra manusia
sehingga muncullah aliran rasionalisme.
Tokoh-tokoh empirisme: Francis Bacon, Thomas Hobbes, Joch Locke, David
Hume, George Berkeley, Herbert Spencer, dan Roger Bacon.

Rasionalisme
Adalah faham yg berdasarkan rasio, ide-ide yg masuk akal. Selain itu,
tidak ada sumber kebenaran yg hakiki. Zaman rasionalisme berlangsung dari
pertengahan abad 17 sampai akhir abad 18.
Pd zaman ini hal yg khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yg ekslusif daya akal (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata
penggunaan akal budi yg demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yg besar sekali akibat perkembangan yg pesat dari ilmu-ilmu
alam.
Maka tidak mengherankan bhw pada abad-abad berikutnya orang-orang yg
terpelajar makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran
tentang hidup dan dunia.
Hal ini jadi tampak lagi pd bagian kedua abad 17, dan lebih lagi pada
abad ke 18 karena pandangan baru terhadap dunia yg diberikan oleh isaac
Newton (1643-1727). Menurutnya fisika itu terdiri dari bagian-bagian kecil
(atom) yg berhubungan satu sama lain berdasarkan hukum sebab akibat.
Semua gejala alam harus dijelaskan menurut jalan mekanis ini. Harus
diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yg mendalam tentang
batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan.
Berdasarkan kepercayaan yg makin kuat akan kekuasaan akal budi,
lama kelamaan orang-orang pada abad itu berpandangan dalam kegelapan.
Dan ketika mereka mampu menaikkan obor terang yg menciptakan manusia
dan masyarakat modern yg telah dirindukan pada abad 18, maka abad itu
disebut juga zama Aufklarung (pencerahan).
Menurut rasionalisme pengalaman tidak mungkin dapat menguji
kebenaran hukum “sebab-akibat”, karena perinstiwa yg tak terhingga dalam
kejadian alam ini tidak mungkin dapat di observasi.
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme disebabkan kelemahan
alat indra tadi, dan dapat dikorelasi seandainya akal digunakan.
Rasionalisme tidak dapat mengingkari kegunaan indra dalam
memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra digunakan untuk merangsang
akal dan memberikan bahan-bahan yg menyebabkan akal dapat bekerja.
Akan tetapi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yg tidak
didasarkan bahan indra sama sekali. Jadi, akal dapat juga menghasilkan
pengetahuan tentang objek yg betul-betul abstrak.
Indra dan akal yg bekerja sama belum lama dapat dipercaya mampu
mengetahui bagian-bagian tertentu tentang suatu objek. Manusia mampu
menangkap keseluruhan objek beserta intuisinya. Jika yg bekerja hanya
rasio, yg menjadi andalan rasionalisme maka pengetahuan yg diperoleh ialah
pengetahuan filsafat. Dan pengetahuan filsafat itu sendiri adalah
pengetahuan yang logis tanpa didukung data empiris.
Rasionalisme mempunyai kritik terhadap empirisme, bahwa:
a. Metode empiris tidak memberi kepastian, tetapi hanya sampai pada
probabilitas yg tinggi.
b. Metode empiris baik dalam sains maupun dalam kehidupan sehari-hari
biasanya sifat-sifatnya hanya sepotong-sepotong.
Tokoh2 aliran ini: Rene Descartes, Nicholas Malerbranche, B. De Spinoza,
G.W Leibniz, Christian Wolf, dan Blaise Pascal.

Kritisisme
Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang
dari tujuan semula. Pada satu sisi landasan berpikir aliran rasionalisme yg
bertolak dari rasio dan di lain sisi empirisme yg lebih mendasarkan pada
pengalaman seolah sudah sempurna, padahal kedua tawaran tersebut bukan
jawaban yg tepat.
Tokoh yg paling menolak kedua pandangan diatas adalah Immanule
Kant.
Kant berusaha menawarkan perspektif baru dan berusaha mengadakan
penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya yg dinamakan
kritisisme.
Untuk itulah ia menulis tiga bukunya berjudul: Critique of Pure Reason
(1781) dan Critique of Practical Reason (1788), dan Critique of Judgement
(1790). Bagi Kant, dalam pengalaman indrawi selalu sudah ada dua bentuk
apriori,yaitu ruang dan waktu.
Dalam Critique of Pure Reason, dia menyusun dan menunjukkan
pembenaran prinsip-prinsip tentang pengambilan keputusan objektif dari
sebuah realitas, sedangkan dalam Critique of Practical Reason, dia
menyajikan pembenaran rasional terhadap pengambilan keputusan secara
etika.
Karyanya yg ketiga tidak terlalu terkenal yaitu Critique of Judgement
yang berisi ide dan tujuan keindahan.
Dalam bukunya yg pertama Kant membahas pembenaran terhadap
pertanyaan metafisika sebagai pertanyaan yg sah. Menurutnya telah terjadi
penurunan reputasi terhadap metafisika akibat perseteruan kaum rasionalis
(Leibniz) dan kaum empiris (Hume).
Kaum rasionalis menyatakan bahwa mengatakan bahwa pengambilan
keputusan metafisika (prinsip fundamental semua ilmu pengetahuan) dapat
diketahui hanya melalui proses berpikir intelektual.
Para filsuf empiris, di lain pihak, menyatakan pikiran manusia itu
seperti kertas kosong, tabula rasa, menanti untuk ditulisi melalui
pembelajaran dari pengalaman.
Ide cemerlang Kant muncul dari pertanyaan Kondisi awal seperti apakah
yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran melalui pengalaman
hidup?
Ia membuat argumentasi bahwa agar manusia mampu
menginterpretasikan data dunia luar utk diolah menjadi sebuah informasi, di
pikirannya harus sudah ada struktur kondisi tertentu.
Dia menjelaskan ada landasan untuk pengambilan keputusan sebagai
kondisi awal pikiran manusia. Ia menyebutnya sbg Categories (Kategori).
Kategori itu adalah:
1. Substansi (substance)
2. Sebab-akibat (cause effect)
3. Timbal Balik (reciprocity)
4. Keperluan (necessity)
5. Kemungkinan (possibility)
6. Keberadaan (exsistence)
7. Totalitas (totality)
8. Kesatuan (unity)
9. Keberagaman (prurality)
10. Keterbatasan (limitation)
11. Kenyataan (reality)
12. Negosiasi (negotiation)
Kedua belas kategori ini hanya dapat diterapkan dalam kerangka ruang
dan waktu tertentu.
Jadi ia menyatakan bahwa Kategori dan Ruang-Waktu adalah konsep
dasar yg digunakan pikiran manusia untuk berproses dan belajar mengalami
fenomena alam. Konsep dasar Kategori dalam Ruang-Waktu oleh Kant
disebut Bentuk Intuitif (form of Intuition).

Idealisme
Suatu aliran yg mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat
dipahami kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata
idea, yakni sesuatu yg hadir dalam jiwa.
Idealisme mempunyai argumentasi epistemologi tersendiri. Oleh
karena itu tokoh-tokoh teisme yg mengajarkan bahwa materi bergantung
kepada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan
argumen epistemologi yg digunakan oleh idealisme.
Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yg
menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa, ide-ide
dan pikiran atau yg sejenis dengan itu.
Aliran ini merupakan aliran yg sangat penting dalam perkembangan
sejarah pemikiran manusia.
Mula-mula dan filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yg murni
dari Plato, yg menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan yg
sebenarnya. Adapun alam nyata yg menempati ruang itu hanyalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yg
menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yg berada
dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham
idealisme hilang sama sekali. Dimasa abad pertengahan malahan satu-
satunya pendapat yg disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme
ini.
Pada zaman Aufklarung para filsuf yg mengakui aliran serba-dua,
seperti Descartes dan Spinoza, yg mengenal dua pokok yg bersifat
keruhanian dan kebendaan maupun keduanya, mengakui bahwa unsur
keruhanian lebih penting dari pada kebendaan.
Selain itu segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada
penganut idealisme yg paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak
memiliki dalil-dalil filsafat yg mendalam.
Puncak zaman idealisme pada masa abad 18 dan 19, yaitu saat
Jerman sedang memiliki pengaruh besar di Eropa.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Plato, B. Spinoza, Leibniz, Berkeley,
Immanuel Kant, J. Fichte, F. Schelling, dan G. Hegel.

Renaissance
Dalam periodisasi sejarah filsafat Barat, istilah renaissance digunakan
untuk menandai masa-masa antara abad ke 13 dan akhir abad ke 15. Istilah
Renaisance sendiri berasal dari bahasa Perancis yg berarti kebangkitan
kembali.
Oleh sejarawan istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan
berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya Eropa. Ciri filsafat
Renaissance ada pada filsafat modern, yaitu menghidupkan kembali
rasionalisme Yunani.
Berbeda dgn abad sebelumnya, yakni abad pertengahan yg lebih
menitik beratkan pada aspek ajaran agama Kristen dimana gereja menjadi
simbol kejayaan dan kekuasaan dlm segala aspek kehidupan termasuk dalam
pemikiran.
Orientasi pemikiran abad ini lebih bersifat teosentris ketimbang filosofis
murni. Tak heran jika segala sesuatu dikembalikan pada Tuhan.
Situasi periode renaissance justru berbeda dgn abad pertengahan yg memiliki
semangat kebebasan.
Spirit kebebasan inilah yg pernah terjadi di jaman sebelumnya tetapi
hilang akibat sistem teokrasi yg membelenggu kebebasan.
Beberapa tokoh pemikir era ini adalah Dante Alighieri (1265-1321) dari
Italia. Ia merupakan tokoh kritis yg berani menentang otoritas gereja saat itu.
Paus Bonaface VII yg berkuasa saat itu ditentang akibat ambisi politiknya yg
besar. Tetapi bukan berarti ia benci terhadap agama Kristen.

Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist.
Kata exist itu sendiri berasal dari kata ex = keluar, dan sister = berdiri. Jadi,
eksistensi berarti berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensi
tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme
lebih sulit ketimbang eksistensi.
Adalah suatu filsafat yg menolak pemutlakan akal dan budi dan
menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk
memahami manusia yg berada di dalam dunia, yakni manusia yg berada
pada situasi yg khusus dan unik.
Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah suatu filsafat
keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan
terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yg abstrak tentang kebenaran.
Metode yg digunakan adalah metode eksistensial.
Metode in isebenarnya bermacal-macam, namun pada dasarnya
metode-metode eksistensial itu dipengaruhi oleh Kiergkegaard (1813-1855),
bapak eksistensialisme.
Pemikiran dan metode Kierkegaard merupakan reaksi yg terutama
tertuju kepada rasionalisme idealistis Hegel yg dianggapnya telah mati dan
tidak berguna lagi.
Pada umumnya pemikir-pemikir eksistensialis mengakui bahwa ada
kebenaran ilmiah yg objektif, tetapi bagi mereka kebenaran ilmiah yg objektif
tidak begitu penting. Mereka berpendapat bahwa yg paling penting adalah
kebenaran subjektif .
Kierkegaard menyatakan bahwa “kebenaran adalah subjektivitas”.
Tentu saja itu tidak berarti setiap keyakinan subjektif adalah kebenaran. Akan
tetapi, para filsuf eksistensialis menegaskan bahwa kebenaran haruslah
senantiasa bersifat personal dan tidak semata-mata proporsional.
Pemikir eksistensialis pada umumnya sependapat bahwa tidak
seorangpun dapat meraih kebenaran hanya dengan menjadi penonton atau
hanya dengan melakukan observasi, selain harus berperan dalam kehidupan
itu sendiri.
Hal itu yg menjadi titik berangkat metode eksistensial. Kebenaran
hanya dapat ditemukan di dalam yg konkrit dan bukan dalam yg abstrak.
Kebenaran hanya dapat dijumpai didalam eksistensial dan bukan secara
rasional.
Secara umum dapat dikatakan bahwa metode eksistensial merupakan
kebalikan dari metode ilmiah tradisional dalam hal sbb. Mereka yg
menggunakan metode ilmiah tradisional mengkonsentrasikan pandangan
pada apa yang sedang berada di dalam suatu tabung percobaan.
Adapun para pemikir eksistensialis-dengan metode eksistensial
mereka- mengkonsentrasikan pandangan mereka pada manusia yg berada di
luar tabung percobaan.
Dengan demikian subjektivitas lebih berguna dari pada objektivitas,
dan nilai lebih perlu dari pada fakta. Memang harus diakui bahwa justru inilah
yg terlupakan dalam metode lain yg lebih dikenal selama itu, yg terlalu
memutlakkan objektivitas.
Umat manusia masa kini patut berterima kasih pada filsuf-filsuf
eksistensialis yg dengan berani telah menyampaikan koreki yg amat
dibutuhkan terhadap metode-metode yg begitu memutlakkan objektivitas.
Kebenaran tidak selamanya bersifat objektif ilmiah.
Tokoh-tokoh aliran ini: Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, S.
Kierkegaard, Friedrich Nietsche, Karl Jaspers (1883- 1969) Martin Heidegger
(1889 -1976), Gabriel Marcel (1889-1973), Ren Le Senne dan M. Merlau-
Ponty (1908-1961)

Positivisme
Auguste Comte ( 1798-1857 ) ia memiliki peranan yang sangat penting
dalam aliran ini. Istilah “positivisme” ia populerkan. Ia menjelaskan
perkembangan pemikiran manusia dalam kerangka tiga tahap.
Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa dalam alam
dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi.
Kedua, tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan
melalui hukum-hukum umum tentang alam.
Ketiga, tahap positif.Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan
secara ilmiah.

Fenomenologi
Secara harafiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau
faham yg menganggap bahwa fenomena (gejala) adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suka melihat gejala.
Dia berbeda dgn seorang ahli ilmu positif yg mengumpulkan data, mencari
korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Fenomenalisme bergerak dibidang yg pasti. Hal yg menampakkan
dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yg langsung.
Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at
things”.
Tokoh terpentingnya adalah Edmund Husserl 1859 – 1938. Ia selalu
berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-
konsep, atau teori umum. “Kembali kepada benda-benda itu sendiri”
merupakan inti dari pendekatan yg dipakai untuk mendeskripsikan realitas
menurut apa adanya.
Fenomenologi bersumber dari pembedaan yg dilakukan oleh Immanuel
Kant antara noumenal (alam yg sesungguhnya) dan phenomenal (yang tal
tampak/terlihat). Dan juga merupakan pengembangan dari phenomenology of
spirit-nya Hegel.
Dalam mengembangkan fenomenologi-nya Hussrel menyadari betapa
sulitnya membiarkan benda-benda itu sendiri mengungkapkan hakikat dirinya
yg murni, sesuai dengan realitas yg sesungguhnya. Menurut Hussrel, itu
karena fenomena atau objek dalam hubungan dengan kesadaran tidak
secara langsung menampakkan hakikat dirinya. Hakikat fenomena yg
sesungguhnya berada dibalik yg menampakkan diri itu.
Pengamatan pertama (first look) belum sanggup membuat fenomena
itu mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu diperlukan pengamatan kedua
(Second Look) yang disebut sebagai pengamatan intuitif
Pengamatan Intuitif itu harus melewati 3 tahap reduksi atau tiga tahap
penyaringan. Ketiga tahap penyaringan itu adalah reduksi fenomenologis,
reduksi eidetis, reduksi transendental.
Lewat ketiga tahap ini Hussrel berharap akan sanggup membuat fenomen itu
mengungkapkan hakikat dirinya dengan semurni mungkin.
Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemologi, psikologi,
antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).
Tokoh tokohnya: Edmund Husserl, Maz Scheller, Hartman, Martin
Heidegger, Maurice Merleau-Ponti, Jean Paul Sartre, dan Soren Kierkegaard.

Intuisionalisme
Intuisionalisme adalah suatu aliran yg menganggap bahwa intuisi
(naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi
termasuk salah satu kegiatan berpikir yg tidak di dasarkan pada penalaran.
Jadi intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola
berpikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan.
Tokoh-tokoh nya adalah: Plotinos (205-270) dan Henri Bergson (1859 – 1994)

Tomisme
Nama aliran ini disandarkan kepada Thomas Aquinas, salah seorang
tokoh intelektual termasyhur skolastik Barat yg hidup pada th 1225- 1274. ada
yg berpendapat bahwa Thomas hanya menyesuaikan Aristoteles dengan
ajaran Katholik.
Hal ini tidaklah betul. Ia memang menyerap ajaran Aristoteles tetapi ia
menyususn sistem yg berlainan dgn sistem Aristoteles. Filsafat dan Teologi
adalah dua hal yg banyak dikaji dan ditelaahnya. Bagi Thomas kedua disiplin
ilmu itu tidak bisa dipisahkan dan malah saling berkait dan mempengaruhi.

Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” atau
tindakan.”Isme” disini sama artinya dgn isme-isme lainnya yaitu aliran atau
faham. Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran yg menekankan bahwa
pemikiran itu menuruti tindakan.
Kriteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori
atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu
hasil.
Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it work (apabila teori itu dapat
diaplikasikan).
Pada awal perkembangannya, prgamatisme lebih merupakan suatu
usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat
dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia.
Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya
berkembang menjadi suatu metode untuk memecahkan berbagai perdebatan
filosofis-metafisik yg tiada henti-hentinya, yg hampir mewarnai seluruh
perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.
Pragmatisme telah menmbawa perubahan yg besar thd budaya
Amerika dari lewat abad 19 hingga kini. Falsafah ini telah dipengaruhi oleh
Charles Darwin dengan teori evolusinya dan Albert Einstein dengan teori
relativitasnya.
Falsafah ini cenderung kepada falsafah epistemologi dan aksiologi dan
sedikit perhatian terhadap metafisik. Falsafah ini merupakan falsafah di
antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai nihilisme dan
irasionalisme. Ide tradisional telah mengatakan bumi ini tetap dan manusia
mengetahui hakiki mengenai bumi dan perkara-perkara nilai murni,
sementara nihilisme dan irasionalisme adalah menolak semua dugaan dan
ketentuan.
Karena metode yg dipakai sangat populer untuk dipakai dalam
mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, dan menyangkut
pengalaman manusia sendiri, filsafat ini pun segera populer. Filsafat yg
berkembang di Amerika pd abad 19 ini sekaligus menjadi filsafat khas
Amerika dgn tokoh-tokohnya: Charles Sander Pierce, William James, dan
John Dewey.
Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal
yg penting. Pertama, ide atau keyakinan yg mendasari keputusan yg harus
diambil untuk melakukan tindakan umum. Kedua, tujuan dari tindakan itu
sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yg ingin di
realisasikan. Untuk merealisasikan ide dan keyakinan itu, manusia mengambil
keputusan yg berisi: akan dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi dari
ide atau keyakinan tadi.
Dalam hal ini pragmatisme tidak lain adalah suatu metode untuk
menentukan konsekuensi praktis dari suatu ide atau tindakan. Itu berarti
pragmatisme bukan suatu sistem filosofis yg siap pakai yg sekaligus
memberikan jawaban terakhir atas masalah-masalah filosofis.
Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi praktis dari
masalah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-
masalah itu.
Aliran pragmatisme ini beranggapan bahwa segala sesuatu kebenaran
ialah apa yg membuktikan dirinya sebagai yg benar dengan memperhatikan
kegunaannya secara praktis.

Filsafat Analitik:
Verifikasi dan Klarifikasi
Dalam berfilsafat aliran ini berprinsip bahwa jangan katakan jika hal itu
tidak dapat dikatakan. “Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku”.
Soal-soal filsafati seyogyanya dipecahkan melalui analisis bahasa, untuk
mendapatkan atau tidak mendapatkan makna di balik bahasa yg digunakan.
Hanya dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna,
karena pernyataan itu bersifat faktual.
Pencetus aliran ini adalah Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Belakangan, tepat th 1960 berkembang aliran strukturalisme yg menyelidiki
pola-pola dasar yg tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa, agama-agama,
sistem-sistem dan karya-karya kesusastraan.
Filsafat analitik adalah suatu aliran yg berasal dari suatu kelompok
filsuf yang menyebut diri Lingkaran Wina. Filsafat analitik filsafat Wina itu
berkembang hingga keluar Jerman. Pada umumnya filsuf analitik menolak
metafisika karena mereka berpendapat bahwa metafisika tidak dapat
“dipertanggungjawabkan” secara ilmiah.
Metode yg digunakan oleh para filsuf berbeda-beda satu sama lain.
Hampir setiap tokoh memiliki metode sendiri. Ada dua metode kontemporer
yg memiliki pengaruh yg cukup besar. Metode yg pertama ialah metode
verifikasi atau konfirmasi (verification and confirmation) dan yg kedua adalah
metode klatifikasi (clarification).

Metode Verifikasi atau Konfirmasi


Lingkaran Wina (Vienna Circle) th 1920 an dan gerakan Positivisme
Logis (Logical Positivism) menampilkan seorang pemikir terkenal yg bernama
A.Y Ayer (1910-1970). Ia dalam bukunya yg berjudul Languange, Truth and
Logic (1936) berupaya mengeliminasi metafisika sebagaimana terungkap
lewat judul bab pertama buku tersebut “The Elimination of Methaphysic”.
Adapun eliminasi itu didasarkan pada prinsip verifikasinya, yaitu agar
suatu pernyataan (statement) benar-benar penuh arti, pernyataan itu haruslah
dapat diverifikasi (synthetic) oleh salah satu atau lebih dari kelima panca
indra.

Metode Kalrifikasi.
Wittgenstein yakin bahwa segala teka-teki dan kekacauan filsafat akan
dapat diatasi oleh analisis bahasa. Ia menyatakan bahwa apabila suatu
pertanyaan dapat diajukan, pertanyaan itu pun seyogyanya dapat di jawab.
Akan tetapi kenyataannya tidak semua pertanyaan yg diajukan itu benar-
benar bermakna. Agar tidak terperangkap ke dalam persoalan filsafat yg tidak
berarti, yg bersumber dari pertanyaan-pertanyaan yg tidak bermakna itu,
harus ditemukan peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language
game) yg di gunakan lewat ungkapan bahasa sehari-hari.
Berbeda dgn Ayer, bagi Wittgenstein, hal yg penting bukanlah
bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti/bermakna, tetapi kita
harus mendengarkan apa arti yg terkandung dalam suatu ungkapan bahasa
itu. Untuk mendengar apa arti yg terkandung dalam suatu ungkapan bahasa
itu, kita harus menganalisa…
Bentuk-bentuk hidup (form of live) hingga ke dasar terdalam dari setiap
permainan bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa arti ditentukan oleh
bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat analisis bahasa,
seseorang akan dapat membuat jelas (Clarify) arti bahasa sebagaimana yg
dimaksud oleh orang yg menggunakan bahasa itu.
Apabila disimak lebih dalam seluruh ajaran Wittgenstein, akan terlihat
jelas bahwa filsafatnya tidak lain hanya menawarkan suatu metode yg sering
disebut metode analisis bahasa.
Metode ini bersifat netral tanpa pengandaian filsafati, epistemologis,
atau metafisik. Analisis bahasa itu di dasarkan semata-mata pada penelitian
bahasa secara logis tanpa mendeduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya
hanya membuat jelas (clarify) apa yg dikatakan lewat suatu ungkapan
bahasa. Metode ini disebut juga metode klarifikasi.

Strukturalisme
Adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia
ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yg mempunyai
logika independen yg menarik, berkaitan dgn maksud, keinginan, maupun
tujuan manusia.
Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah
ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa.
Kesemuanya adalah subjek manusia individual atau human agent dan
menentukan apa yg akan dilakukan manusia pada semua keadaan.
Srukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy-Sttrauss,
Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam
pandangan Levy Sttrauss tentang pikiran primitif yg menampakkan dirinya
dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasa.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang
mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan
mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan
aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang
tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-
unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan
melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara
unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)

Ikhtisar Sejarah Filsafat


Ikhtisar Sejarah Filsafat
A. Filsafat India
B. Filsafat Cina
C. Filsafat Barat
Filsafat India
1. Zaman Weda
2. Zaman Skeptisisme
3. Zaman Puranis
4. Zaman Muslim
5. Zaman Modern

A. Filsafat India
1. Zaman Weda
• Bangsa Arya masuk India, sekitar th 1500 SM. Literatur mereka
disebut Weda, yg terdiri dr Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan
Upanisad. Samhita memuat Rigweda (kumpulan puji-pujian),
Samaweda (himne-himne liturgis), Yajurweda (rumus-rumus kurban),
dan Atharwaweda ( rumus-rumus magis). Upanisad adalah yg
terpenting utk filsafat yang merupakan sumber yg kaya utk inspirasi.
• Suatu yang menonjol dlm Upanisad adalah ajaran tentang hubungan
Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dr kenyataan "diri"
manusia. Brahman adalah segi obyektif, makrokosmos, alam semesta.
Upanisad mengajarkan bahwa Atman dan Brahman memang sama
dan bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia
menyadari identitas Atman dan Brahman.
2. Zaman Skeptisisme
• Muncul suatu reaksi pada sekita th 600SM thd ritualisme imam-imam
dan juga dalam hubunganya dgn kurban. Para rahib mengajarkan
suatu metafisika yg tidak sampai ke hati org biasa.
• Muncul Siddharta Gautama yg memberi pedoman praktis utk mencapai
keselamatan.
• Reaksi lainnya adalah Jainisme dr Mahawira Jina.
• Muncul juga penyembahan ekslusive kepada Siwa dan Wisnu, dua
bentuk agama yg lebih menarik daripada ritualisme dan spekulasi dari
para imam dan para rahib.
• Muncul dalam Hinduisme enam sekolah ortodoks (disebut "ortodoks"
krn Budha dan Jainisme dianggap bidah). Keenam sekolah ini adalah
Sadharsana, yaitu: Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Purwa-
Mimamsa, dan Ynana (Uttara-Mimamsa). Yg terpenting dr sekolah-
sekolah tsb adalah Samkhya dan Yoga.
3. Zaman Puranis
• Setelah th 300, Budhisme mulai lenyap dr India. Bergeser dan menjadi
penting di negara2 tetangga India. Pemikiran India dlm "abad
pertengahannya"-nya dikuasai oleh spekulasi teologis, teurtama
mengenai inkarnasi dewa2. Cerita2 tsb terdapat dlm dua epos besar,
Mahabarata dan Ramayana.
4. Zaman Muslim
• Ada dua nama yg menonjol dlm zaman ini yaitu pengarang syair Kabir
dan guru Nanak.
• Kabir mencoba utk memperkembangkan suatu agama universal.
• Guru Nanak adalah pendiri aliran Sikh yang mencoba menyerasikan
Islam dan Hindu.
5. Zaman Modern
Adalah zaman Inggris berpengaruh di India, mulai 1757. Nilai2 klasik India
mulai berkembang kembali. Nama-nama terpenting di zaman ini adalah Raja
Ram Mohan Roy (1772-1833) yg mengajarkan monoteisme berdasarkan
Upanisad dan suatu moral berdasarkan Kotbah di Bukit dr Injil. Vivekananda
(1863-1902) yg mengajarkan bhw semua agama benar dan agama Hindu yg
paling cocok di India. Gandi (1869-1948) dan Rabindranath Tagore (1861-
1941) sang pengatang sair san pemikir religius yg membuka pintu utk ide-ide
dr luar.
Radhakrisnan (1888-1975) guru besar filsafat di Calcuta dan Oxford, presiden
India, wkl pada PBB dan Unesco, mengusulkan pembongkaran batas-batas
ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindu-kristiani, yg berguna
sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Pemikir2 lain tidak begitu
optimis dg pemikiran ini. Menurut mereka pebedaan antara corak berpikir
Rimur dan Barat terlalu besar utk mengadakan suatu interaksi dalam arti
"saling melengkapi". Filsafat Barat terlalu duniawi, rasional dan positivisme,
sedang timur terlalu intuisi dan mistik.

B. Filsafat Cina
Filsafat Cina
Pemikiran filsafat Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan
filsafat Barat. Filsafat Cina lebih pragmatis: selalu diajarkan bagaimana
manusia harus bertindak supaya ada keseimbangan antara dunia dan surga.

1. Zaman Klasik
Sama halnya dgn di Yunani, zaman klasik terletak antara 600-200SM.
Menurut tradisi di zaman ini dibedakan 100 sekolah filsafat, seratus aliran yg
semua mempunyai ajaran yg berbeda. Namun dalam pluriformitas ini
sekurang-kurangnya kelihatan sejumlah konsep yg dipentingkan secara
umum. Konsep2 spt: tao ('jalan'), te ('keutamaan' atau 'seni hidup'), yen
('perikemanusiaan'), i ('keadilan'), ti'en ('surga') dan yin-yang (harmoni kedua
prinsip induk, prinsip aktif laki-laki dan prinsip aktif perempuan).
Sekolah-sekolah terpenting dalam zaman klasik diuraikan sbb:

A. Konfusianisme
Konfusius (bentuk latin dr nama "Kong-Fu-tse" yg berarti 'guru dr suku Kung')
hidup antara 551-497SM. Ia mengajarkan bhw Tao ('jalan', sebagai prinsip
utama dr kenyataan) adalah "jalam manusia". Artinya: manusia sendirilah yg
dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Kebaikan
hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (yen). Merupakan suatu model
yg berlaku utk semua orang.

B. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh guru Lao Tse ('guru tua') yang hidup sekitar th
550SM. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan "jalan
manusia" melainkan " jalan alam"-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao
Tse adalah prinsip kenyataan obyektif, substansi abadi yg bersifat tunggal,
mutlak, dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih metafisika, sedangkan ajaran
konfusius lebih etika. Puncak metafisik Taoisme adalah kesadaran bahwa kita
tidak tau apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India
(ajaran neti, na-itu: 'tidak begitu') dan dalam filsafat barat (dimana kesadaran
ini disebut docta ignorantia, 'ketidaktahuan yg berilmu').

C. Moisme
Didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400SM. MoTse mengajarkan bahwa yg
terpenting adalah 'cinta universal", kemakmuran utk semua orang, dan
perjuangan bersama-sama utk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme
sangat pragmatis, langsung terarah kepada yg berguna. Segala sesuatu yg
tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat
kemakmuran umum tidak sukar dimengerti. Mao Tse juga melawan musik
sebagai sesuatu yg tidak berguna. Etika Mao mengenal suatu prinsip yg
antara lain dlm Kristen disebut "kaidah emas": setiap org harus
memperlakukan negara-negara asing seperti tanah airnya sendiri, keluarga-
keluarga lain seperti keluarga sendiri, orang lain seperti dirinya sendiri.
Perintah ini cukup utk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.

E. Ming Chia
Ming Chia atau "sekolah nama-nama" menyibukkan diri dgn analisis istilah2
dan perkataan2. Ming Chia disebut "sekolah dialektik" dapay dibandingkan
dgn aliran sofismendan filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai
analisis dan kritik yg mempertajamkan perhatian utk pemakaian bahasa yg
tepat, dan yg memperkembangkan logika dan tata bahasa. Selakn itu dalam
Ming Chia juga terdapat khayalan ttg hal2 seperti "eksistensi", "relativitas",
"kausalitas", "ruang" dan "waktu".

F. Fa Chia
Adalah "sekolah hukum" cukup berada dari semua aliran klasik lain. Sekolah
hukum tidak berpikir tentang manusia, surag atau dunia, melaknkan tentang
soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik
tidak harus dimulai dari contoh baik yg diberikan oleh kaisar atau pembesar2
lain, melainkan dr suatu sistem undang2 yang keras sekali.
Keenam sekolah klasik tsb kadang-kadang dikatakan bhw mereka berasal
dari ke-enam golongan masyarakat Cina.
1. Konfusianisme berasal dr kaum ilmuwan
2. Taoisme dari rahib-rahib
3. Yin-yang dari okultisme (ahli-ahli magi)
4. Moisme dari kasta ksatrya
5. Ming Chia dari para pendebat
6. Fa Chia dari ahli-ahli politik

2. Zaman Neo-taoisme dan Budhisme


• Bersama dgn perkembangan Buddhisme di China, konsep Tao
mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dgn Nirwana dr ajaran
Budha, yaitu "transendensi di seberang segala nama dan konsep","di
seberang adanya".

3. Zaman Neo-konfusianisme
• Dari tahun 1000 Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat
terpenting. Budhisme ternyata memuat unsur2 yg bertentangan dgn
corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup
keluarga, dan kemakmuran material, yg merupakan nilai-nilai
tradisional di Cina sama sekali dilalaikan, bahkan disangkal, dalam
Budhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dialami sebagai sesuatu
yang sama sekali asing.

4. Zaman Modern
• Dimulai di Cina sekitar th 1900. Filsafat dlm periode ini memperlihatkan
tiga tendensi. Pada permulaan abad 20, pengaruh filsafat Barat cukup
besar. Byk tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dlm bahasa
Cina. Aliran filsafat Barat yg paling populer di Cina adalah
pragmatisme, suatu jenis filsafat yg lahir di AS.
• Setelah pengaruh Barat ini, mulailah suatu reaksi, yaitu
kecenderungan utk kembali ke tradisi-tradisi pribumi. Akhirnya,
terutama sejak th 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin,
dan Mao Tse Tung.
• Ada tiga tema yg selanjang sejarah dipentingkan dlm filsafat Cina:
harmoni, toleransi, dan perikemanusiaan.
• Harmoni. Antara manusia dan sesama, antara manusia dgn alam,
antara manusia dan surga. Selalu dicari keseimbangan, diantara dua
ekstrim.
• Toleransi. Kelihatan dlm keterbukaan terhadap pendapat2 pribadi,
suatu sikap perdamaian yg memungkinkan pluriformitas yg luar biasa,
jg dlm bidang agama.
• Perikemanusiaan. Karena selalu manusialah yg merupakan pusat
filsafat Cina, manusia yg pada hakikatnya baik dan yg harus mencari
kebahagiaannya di duna ini dgn memperkembangkan dirinya sendiri
dlm interaksi dgn alam dan dgn sesama.

C. Filsafat Barat
1. Zaman Kuno (a. permulaan)
• Dimulai dr Milete /Miletus di Asia kecil sekitar th 600 SM. Pada waktu
itu Miletus merupakan kota penting dimana banyak jalir perdagangan
bertemu dari Mesir, Itali, Yunani dan Asia. Juga banyak ide bertemu di
sini, sehingga Milete menjadi pusat intelektual.
• Pemikir-pemikir besar Milete lebih menyibukkan diri dgn filsafat Alam.
Mereka mencari suatu unsur induk (arche) yang dapat dianggap
sebagai asal segala sesuatu. Menurut Thales (600 SM), air lah yg
merupakan unsur induk ini. Menurut Anaximander (610-540 SM),
segala sesuatu berasal dr "yg tak terbatas", dana menuru
Anaximenes (585-525 SM) udaralah yg merupakan unsur induk
segala sesuatu.
• Pythagoras (500SM), yg mengajar di Italia selatan, adalah org
pertama yg menamai diri "filsuf". Ia memimpin suatu sekolah filsafat yg
kelihatannya merupakan suatu biara di bawah perlindungan dewa
Apollo. Ajaran filsafatnya mengatakan antara lain bhw segala sesuatu
terdiri dari "bilangan-bilangan": struktur dasar kenyataan adalah
ritme (rhythm)
• Dua nama lain yg penting dari periode ini adalah Herakleitos (500SM)
dan Parmenides (515-440SM). Herakleitos mengajarkan bhw segala
sesuatu mengalir (panta rhei); segala sesuatu berubah terus-menerus
spt air dlm sungai. Parmenides mengatakan bhw kenyataan justru
tidak berubah. Segala sesuatu yg betul-betul ada, itu kenyataan
mutlak yg abadi dan tak terbagikan.
1. Zaman Kuno (b. Puncak Zaman Klasik)
• Puncak filsafat Yunani dicapai pada Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Sokrates (470-400 SM), guru Plato, mengajarkan bhw akal budi harus
menjadi norma terpenting dlm tindakan kita. Sokrates sendiri tidak
menulis apa-apa. Pikirannya hanya dot diketahui melalui tulisan-
tulisan dr banyak pemikir Yunani lain, terutama melalui Plato.
• Plato (428-348SM) menggambarkan Sokrates sebagai seorang alim
yg mengajarkan bagaimana manusia dapat menjadi berbahagia berkat
pengetahuan ttg apa yg baik. Plato bersama Aristoteles menentukan
sebagian besar dr seluruh sejaran filsafat Barat selama lebih dr dua
ribu tahun. Dunia yg kelihatan menurut Plato hanya merupakan
bayangan dr dunia yg sungguh-sungguh, yaitu ide2 yg abadi. Jiwa
manusia berasal dari dunia ide-ide. Jiwa di dunia ini terkurung dlm
tubuh. Keadaan ini berarti keterasingan. Jiwa rindu utk kembali ke
"surga ide-ide". Kalau jiwa "mengetahui" sesuatu, pengetahuan ini
bersifat "ingatan". Jiwa pernah berdiam dlm kebenaran dunia ide-ide,
dan oleh karena itu pengetahuan mungkin sebagai "mengingat".
• Filsafat Plato merupakan perdamaian ajaran Parmenides dan ajaran
Herakleitos. Dlm dunia ide-ide segala sesuatu abadi, dalam dunia yang
kelihatan, dunia kita yg tidak sempurna, segala sesuatu mengalami
perubahan. Filsafat Plato meliputi logika, epistemologi, antropologi,
teologi, etika, politik, ontologi, filsafat alam, dan estetika.
• Aristoteles ( 384-322SM), guru Alexander Agung dan murid Plato.
Tetapi byk hal yg ia tidak setuju dengan Plato. Ide-ide menurut
Aristoteles tidak terletak di dalam suatu surga di atas dunia ini,
melainkan di dalam benda-benda itu sendiri. Setiap benda terdiri dari
dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi (hyle) dan bentuk (morfe).
Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dgn ide-ide dari Plato. Tetapi pd
Aristoteles ide-ide ini tidak dapat dipikirkan lepas dari materi. Materi
tanpa bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk "bertindak" dalm materi. Filsafat
Aristoteles angat sistematis dan memberi sumbangan besar thd ilmu
pengetahuan meliputi Logika, etika, politik, metafisika, psikologi, dan
ilmu alam.
1. Zaman Kuno (c. Hellenisme)
• Alexander Agung mendirikan kerajaan raksasa, dr India Barat sampai
Yunani dan Mesir. Kebudayaan Yunani yg membanjiri kerajaan ini
disebut Hellenisme (dr kata Hellas 'Yunani'). Helenisme yang masih
berlangsung selama kerajaan Romawi mempunyai pusat intelektualnya
di tiga kota besar: Athena, Alexandria ( Mesir), dan Antiokhia (Siria).
Tiga aliran filsafat menonjol dalm Zaman Hellenisme, yaitu Stoisisme,
Epikurisme, dan Neo-platonisme.
• Stoisisme (diajarkan a.l oleh Zeno dr Kition, 333-262SM) terutama
terkenal krn etikanya. Etika Stoisisme mengajarkan bahwa manusia
menjadi berbahagia kalau ia bertindang sesuai akal budinya.
Kebahagiaan itu sama dgn keutamaan. Kalau manusia bertindak
secara rasional, kalau ia tidak dikuasai lagi oleh perasaan-
perasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yg oleh
Stoisisme disebut apatheia.
• Epikurisme (dari Epikuros, 341-270 SM) juga terkenal karena etikanya.
Epikurisme mengajarkan bahwa manusia harus mencari kesenangan
sedapat mungkin. Kesenangan itu baik, asal selalu sekadarnya:"kita
harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki
kita." Manusia harus bijaksana. Ia harus puas dgn menikmati hal-hal
kecil yg sederhana. Dgn cara ini ia akan mencapai kebebasan batin.
• Neo-platonisme. Seorang filsuf Mesir, Plotinos (205-270 M),
mengajarkan suatu filsafat yg sebagian besar berdasarkan Plato dan
yg kelihatan sebagai suatu agama. Neo-platonisme ini mengatakan
bhw seluruh kenyataan merupakan suatu proses emanasi
(pancaran,percikan) yg berasal dr Yang Esa dan yang kembali ke
Yang Esa, berkat eros, kerinduan untuk kembali ke asal ilahi dr segala
sesuatu.

2. Zaman Patristik dan Skolastik


• Pada akhir Zaman Kuno dan selama Abad Pertengahan dilsafat Barat
dikuasai oleh pemikiran Kristiani. Filsafat Kristiani ini mencapai dua kali
periode keemasa, yaitu dalm Patristik dan Skolastik. Juga sejumlah
pemikir Islam dan Yahudi berperan besar dalam filsafat Abad
Pertengahan, terutama dlm periode yg mempersiapkan Skolastik, yaitu
sekitar 900 dan 1200.
a. Zaman Patristik
• Patristik (Latin: Patres 'Bapa-bapa Gereja') dibagi atas Ptristik Yunani
(atau Patristik Timur) dan Patristik Latin ( Patristik Barat).
• Tokoh-tokoh Patristik Yunani yaitu: Clemens (Alexandria 150-215),
Origenes ( 185-254), Gregorius (Nazianze 330-390), Basilus (330-
379), Gregorius (Nizza 335-394), Dionysios Areopagita (1500).
• Tokoh-tokoh Patristik Latin yaitu Hilarus (315-367), Ambrosius (339-
397), Hieronymus (347-420), dan Augustinus (354-430)
• Ajaran filsafati-teologis dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh
Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai
dgn pikiran-pikiran dalam dari manusia. Mereka berhasil membela
ajaran Kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir. Tulisan2
Bapa-bapa Gereja merupakan suatu sumber yg kaya dan luas yg
sekarang masih tetap memberi inspirasi baru.
b. Zaman Skolastik
• Sekitar 1000 tahun peranan Plotinos diambil alih oleh Aristoteles.
Aristoteles menjadi terkenal kembali melalui beberapa filsuf Islam dan
Yahudi, terutama melalui Avicenna (Ibn Sina, 989-1037), Averroes
(Ibn Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204).
• Pengaruh Aristoteles lama kelamaan begiru besar sehingga ia disebut
Sang Filsuf, sedangkan Averroes, yang terkenal sebagai filsuf yg
menafsirkan Aristoteles, disebut Sang Komentator.
• Pertemuan pemikiran Aristoteles dgn iman Kristen menghasilkan
banyak filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dr kedua ordo
baru yg lahir dlm Abad Pertengahan, yaitu Dominikan dan
Fransiskan. Filsafat mereka disebut "Skolastik" (Latin: scholasticus
'guru') karena dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-
sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yg
tetap dan bersifat internasional.
• Tokoh-tokoh dari skolastik antara lain
Albertus Magnus,O.P (1200-1280)
Thomas Aquino, O.P (1225-1274)
Bonaventura O.F.M (1217-1274)
Yohanes Duns Scotus, O.F.M (1266-1308).
*O.P., standing for Ordinis Praedicatorum, meaning of the Order of
Preachers, after their names. more commonly known after the 15th century as
the Dominican Order or Dominicans, is a Roman Catholic religious order
founded by the Spanish priest Saint Dominic de Guzman in France, and
approved by Pope Honorius III (1216–27) on 22 December 1216.
**OFM. Order of Friars Minor, commonly called simply the "Franciscans"
• Tema-tema pokok dr ajaran mereka: hubungan antara iman dan akal
budi, adanya dan hakikat Tuhan, antropologis, etika, dan politik. Ajaran
Skolastik yang sangat bagus diungkapkan dalam puisi Dante Alighieri
(1265-1321)

3. Zaman Modern (a. Renaisans)


• Jembatan antara Abad Pertengahan dan Zaman Modern, periode
antara 1400-1600 disebut "Renaisance" (zaman "kelahiran kembali".
Kebudayaan klasik dihidipkan kembali. Kesusastraan, seni dan filsafat
mencari inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi.
• Tokoh-tokohnya :
N. Macchiavelli (1469-1527)
Th. Hobbes (1588-1679)
Th. Moore ( 1478-1535)
Francis Bacon (1561-1626)
• Pembaharuan terpenting pada filsafat renaisans adalah
"antroposentrisme"-nya. Pusat perhatian pemikiran tidak lagi
kosmos,seperti dalam zaman kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad
Pertengahan, melainkan manusia yg menjadi titik fokus dr kenyataan.

3. Zaman Modern (b. Zaman Barok)


• Tokoh-tokohnya:
R. Descartes (1596-1650)
B. Spinosa (1632-1677)
G. Leibniz (1646-1710)
• Filsuf-filsuf ini menekankan kemungkinan-kemungkinan akal budi
(rasio) manusia. Mereka semua hali dalam bidang matematika, mereka
semua menyusun sistem dan filsafat dengan menggunakan metode
matematika.

3. Zaman Modern (c. Zaman Enlightenment)


• Abad ke 18 memperlihatkan perkembangan baru lagi. Setelah
reformasi, setelah renaisans, dan setelah rasionalisme dr zaman
Barok, manusia sekarang dianggap "dewasa". Periode ini dlm sejarah
Barat disebut Zaman Pencerahan atau Fajar Budi (Enlightenment) dlm
bhs inggris. Aufklarung dlm bhs Jerman.
Tokoh-tokohnya di Inggris:
J. Locke (1632-1704)
G. Berkeley (1684-1753)
D. Hume (1711-1776)
Di Perancis J.J. Rousseau (1712-1778)
Di Jerman Immanuel Kant (1724-1804), yg menciptakan sintesis rasionalisme
dan empirisme yg dianggap filsuf terpenting zaman modern.
3. Zaman Modern (d. Zaman Romantik)
Tokoh-tokoh dr Jerman :
J. Fichte (1762-1814)
F. Schelling (1775-1854)
G. Hegel (1770-1831)
• Aliran yg diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut idealisme. Dengan
"idealisme" disini dimaksudkan bahwa mereka memprioritaskan ide-
ide, berlawanan dengan materialisme yg memprioritaskan dunia
material. Yg terpenting dr para idealis ini adalh Hegel.
• Banyak aliran filsafat dr abad kesembilan belas dan kedua puluh harus
dianggap sebagai lanjutan dari filsafat Hegel. Atau justru sebagai
reaksi thd filsafat Hegel.

D. Masa Kini
• Dalam abad ke 17 dan 18, sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-
aliran yg besar, yg mempertahankan diri lama dalam wilayah-wilayah
yg luas, yaitu rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Dibandingkan
dgn itu, filsafat Barat dalam abad 19 dan 20 kelihatan terpecah-pecah.
Macam-macam aliran baru muncul, dan aliran-aliran ini sering terikat
pada hanya satu negara atau satu lingkungan bahasa.
• Di bawah ini hanya disebut aliran-aliran yg paling berpengaruh , yaitu
positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme,
neokantianisme, neotomisme, dan fenomenologi.

a. Positivisme
• Positivisme mulai pada filsuf A.Comte (1798-1857). Comte (sosiolog
pertama) mengatakan bahwa pemikiran setiap manusia, pemikiran
setiap ilmu, dan pemikiran suku bangsa manusia pada umumnya
melewati tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap
positif-ilmiah.
• Positivisme (lawan dr khayalan metafisi) menjadi populer di Inggris
pada filsuf-filsuf spt: J Stuart Mill (1806-1873) dan H. Spenser (1820-
1903).
• Dkm abad 20 positivisme diperbaharui dlm neo-positivisme, suatu
aliran yg asalnya di Wina. Oleh karena itu, filsuf-filsuf dr aliran ini
disebut anggota dr Lingkaran Wina.
b. Marxisme.
Marxime mengajarkan, sebagai materialisme dialektis, bahwa
kenyataan kita akhirnya hanya terdiri dari materi, yg berkembang melalui
suatu proses dialektis (yaitu ritme tesis-antitesis-sintesis).
Tokoh-tokoh materialisme dialektis:
K. Marx (1818-1883)
F. Angels (1820-1895)
Marxisme lebih dr suatu sistem filsafati. Filsafat. Kata Marx, hanya
memberi interpretasi-interpretasi dr dunia dan sejarah. Yang dibutuhkan
bukan interpretasi, melainkan perubahan. Filsafat harus menjadi praksis:
merumuskan suatu ideologi, suatu strategi utk mengubah dunia.
c. Eksistensialisme.
• Eksistensialisme dipersiapkan dalam abad ke 19 oleh S. Kiekegaard
(1813-1855) dan F. Nietzsche (1844-1900). Dalam abad ke 20
eksistensialisme menjadi aliran filsafat yg sangat penting. Filsuf-filsuf
paling besar dr eksistensialisme dlm abad ini adalah
K. Jaspers (1883-1969)
M. Heidegger (1889-1976)
J.P. Satre (1905-1980)
G. Marcel (1889-1973)
M. Marleau-Ponty (1908-1961)
• Eksistensialisme merupakan nama utk macam-macam jenis filsafat.
Semua jenis ini mempunyai inti yg sama, yaitu keyakinan filsafat harus
berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia yg konkret, dan tidak
pada hakikat (esensi) manusia pada umumnya. Nama eksistensialisme
memang hanya disenangi oleh J.P Satre. Filsuf2 lain dr aliran ini lebih
senang disebut "filsuf-eksistensi"
d. Fenomenologi
• Eksistensialisme berhubungan erat dgn fenomenologi. Fenomenologi
lebih suatu filsafati dr pd suatu ajaran. Metode fenomenologi berasal dr
E. Husserl (1859-1938) dan kemudian diperkembangkan oleh antara
lain M. Scheler (1874-1928) dan M. Marleau-Ponty). Fenomenologi
mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dgn
menggunakan intusi. Kenyataan tidak harus di dekati dengan
argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori-teori umum. Setiap
benda mempunyai hakikatnya, dan hakikat ini berbicara kepada kita
kalau kita membuka diri untuknya. Metode fenomenologi telah
membuktikan manfaatnya utk epistemologi, psikologi, antropologi, studi
agama-agama, dan etika.
e. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yg lahir di Amerika Serikat
sekitar th 1900. Tokoh-tokoh terpenting dr aliran in adalah:
C. S. Pierce (1893-1914)
W. James (1842-1920)
J. Dewey (1859-1914)
Pragmatisme mengajarkan bahw ide-ide tdk benar / salah, melainkan
bhw ide-ide dijadikan benar oleh suatu tindakan tertentu. Seperti kita
mengenal sebatang pohon dr buah-buahnya. Kalau semua akibat dr suatu
teori itu baik, lalu kita boleh menarik kesimpulan bahwa teori itu baik, krn teori
itu berguna. Menurut pragmatisme, "Apa itu", melainkan "Apa gunanya" atau
"Untuk apa".
f. Neo-kantisme dan neo-tomisme
Sejumlah aliran filsafat dr periode2 terdahulu mengalami suatu kelahiran
kembali dlm masa sekarang, yaitu Skolastik, filsafat Kant, dan filsafat Hegel.
Yang terpenting dr filsafat-filsafat "neo" ini adalah neo-kantisme dan no-
tomisme.
Neo-kantisme
Berkembang di Jerman. Filsafat dalm aliran ini dianggap sebagai
epistemologi dan kritik ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokohnya:
E. Cassirer (1874-1945)
H. Rickert ( 1863-1936)
H. Vaihinger (1852-1933)
Neo-Tomisme
Berkembang di dunia Katholik di banyak negara di Eropa dan di
Amerika. Neo-tomisme mula-mula agak konservatif, tetapi berkat dialognya
dgn filsfat Kant, denga eksistensialisme dan ilmu modern, menjadi suatu
aliran yang penting dan berpengaruh.
Tokoh-tokohnya
J. Marechal S. J (1878-1944)
A. Sertillanges. O.P (1863-1948)
J. Maritain (1882-1973)
g. Aliran-aliran Baru
Sekarang ini ada dua aliran filsafat yg mempunyai peranan besar,
tetapi yg belum dpt dianggap sebagai aliran yg membuat sejarah, karena
mereka masih baru. Kedua aliran ini adalah filsafat analitis dan
strukturalisme.
Filsafat analitis merupakan aliran terpenting di Inggris dan Amerika
Serikat sejak sekitar th 1950. Filsafat analitis (analitic philosophy / linguistic
philosophy) menyibukkan diri dgn analisis bahasa dan analisis konsep-
konsep.
Analisis ini dianggap sebagai "terapi": menurut filsuf-filsuf analitis
banyak soal falsafi (dan juga soal teologis dan ilmiah) dapat "sembuh" kalau,
berkat analisis bahasa, bisa ditunjukkan bahw soal-soal ini hanya diciptakan
oleh pemakaian yg tidak sehat dr bahasa. Filsafat analitis sangat dipengaruhi
oleh L. Wittgenstein.
Strukturalisme
Berkembang diPerancis, lebih-lebih sejak tahun 1960. Strukturalisme
merupakan suatu sekolah dlm filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi
agama, ekonomi, dan politikologi.
Strukturalisme menyelidiki patterns (pola-pola dasar yg tetap) dlm bahasa-
bahasa, agama-agama, sistem-sistem, ekonomi dam politik, dan dalam
karya-karya kesusastraan.
Tokoh-tokohnya
Cl. Levi Strauss
J. Lacan
M. Foucault

Filsafat Jaman Yunani (Jaman Keemasan)

SOCRATES ( 470 – 399 SM)


 Full name Socrates (Σωκράτης)
 Born c. 469 / 470 BC
 Died 399 BC (age approx. 71)
 Era Ancient philosophy
 Region Western Philosophy
 School Classical Greek
 Main interests Epistemology, ethics
 Tidak percaya pada demokrasi
 Lahir di Athena, Yunani
 Generasi pertama dari tiga filsafat besar Yunani, yaitu Socrates, Plato dan
Aristoteles.
 Peran Socrates dalam mendobrak pengetahuan meniru Ibunya seorang
bidan, yang membantu melahirkan seorang bayi. Ia bidan (bayi)
pengetahuan.
 Pemikiran:
 Mengarahkan kepada manusia sebagai objek filsafatnya.
 Menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah, dan keduanya
tak dapat dipisahkan, dan keterkaitan kedua hal itulah banyak
nikai dihasilkan.
 Metode dialektika = dialog antara dua pendirian yang
bertentangan.
 Metode nya bukan dgn menjelaskan tetapi dgn mengajukan
pertanyaan, menunjukkan kesalahan logika dari jawaban, serta
menanyakan lebih jauh lagi.
 Mencurahkan perhatian dengan sungguh-sungguh pada
perkembangan metodologi atau model utk mencapai kebenaran.
 Doktrin nya “kebijakan adalah pengetahuan” , dasar pemikiran
politiknya terhadap negara.
 Terdapat prinsip-prinsip moralitas yang tidak berubah dan
universal yang terdapat pada hukum-hukum dan tradisi-tradisi
yang beragam di pelabagi belahan dunia ini.
 Tidak percaya pada kuil dari dewa-dewa.
 Ia percaya gaya tunggal dan transenden yang ada di balik
pergerakan alam ini.
Pandangan yang ia bawa tersebut akhirnya membuatnya dipenjara dengan
tuduhan merusak akhlak pemuda-pemuda Athena.
Pengadilan dan cobaan yang dialaminya di gambarkan dalam catatan
Apology oleh Plato, Sedang percakapannya dgn para siswanya ketika ia
dipenjara digambarkan dalam Phaedo, juga oleh Plato.
Ia dinyatakan bersalah dan di vonis mati dengan minum racun. Ia
menerimanya dengan tenang. Ia mengatakan bahwa kalau ia melarikan diri
berarti ajarannya salah. Ia lebih baik dihukum mati, tetapi ajaran kebenaran
yang disampaikan tetap hidup.
Tidak pernah menulis buah pikirannya. Kebanyakan diketahui melalui
murid2nya yaitu Plato, Xenophone dll.
Hidup ditengah-tengah keruntuhan imperium Athena.

 Ia menyakinkan Athena bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, ada
kebenaran umum yg dapat dipegang semua orang. Sebagian
kebenaran memang relatif tapi tidak semuanya. Ajaran ini menentang
ajaran relativisme para sofis.
 Ia ingin menegakkan sains dan agama.
 Kebenaran obyektif tidak tergantung pada saya atau kita. Untuk
membuktikan hal itu ia menggunakan metode dialektika.
 Sokrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis. Jika
hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan maka hipotesis itu diganti
dengan hipotesis yang lain.
 Sering terjadi percakapan itu berakhir dgn aporia
 Tidak sedikit dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap
berguna.
 Definisi itulah yang di pakai untuk melawan kaum sofis.
 Menurutnya segala sesuatu yang terjadi di alam adalah karena adanya
“akal yang mengatur” yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang
mengatur itu adalah Tuhan yang pemurah. Dia bukan benda, hanya
wujud yang rohani semata-mata.

PLATO (427 – 347 SM)


Full name Plato (Πλάτων)
Born c. 428–427 BC[Athens
Died c. 348–347 BC (age approx 80)Athens
Era Ancient philosophy
Region Western Philosophy
School Platonism
Main interests Rhetoric, Art, Literature, Epistemology, Justice, Virtue, Politics,
Education, Family, Militarism
Notable ideas Platonic realism
Lahir di Athena 427 SM. Murid sekaligus sahabat diskusi Socrates. Guru
Aristoteles.
Ayahnya bernama Ariston, bangsawan keturunan Raja Kodrus, raja terakhir
Athena. Ibunya Periktione. Nama Plato sebenarnya Aristokles. Karena dahi
dan bahunya lebar ia dijuluki Plato.
Karyanya lebih dari 36 buku , yang paling terkenal adalah “Republic” (Yun:
Politeia,”negeri”)
Dalam bukumnya ia menguraikan garis besar pandangannya pada keadaan
“ideal”
Sumbangan Plato yang terpenting adalah gagasannya mengenai ide. Dunia
fana ini tak lain adalah bayangan dari dunia ideal. Di dunia semuanya sangat
sempurna.
Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang
saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual.
Salah satu perumpamaan Plato yang terkenal adalah digua

Perumpamaan Gua Plato terdapat di bukunya yang terpenting dan berjudul


Politeia ("negeri") yaitu pada buku VII ayat 514a-520a. Perumpamaan ini
merupakan pemikiran dasar dan fondasi daripada filsafat Plato.

Ringkasannya adalah sebagai berikut:


 "Maka adalah sebuah gua, di mana ada beberapa tawanan yang diikat
menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana
seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa
melihat ke depan saja.
 Akan tetapi mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding
belakang gua. Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang
berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar
gua yang berjalan berlalu lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-
bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam
gua.
 Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa
keluar. Ia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. Akan tetapi
api membuat matanya silau, ia lebih suka melihat bayangannya. Lama
kelamaan ia bisa melihat api dan lalu ia mulai terbiasa dan melihat
orang-orang yang lalu lalang.
 Kemudian ia keluar dan melihat matahari (simbol daripada kebenaran),
yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat, sungai,
padang dan sebagainya.
 Lalu ia dipaksa kembali ke gua lagi dan hal pertama yang akan
dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. Akan tetapi
kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu ilusi
mereka. Akhirnya mereka bukannya terima kasih tetapi akan sangat
marah dan membunuhnya."
Di Athena ia mendirikan sekolah dgn nama Akademia, memimpin sekolah itu
selama 40 thn dan dan masih berjalan lebih dari 900 tahun. Ia memberikan
pengajaran dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat terutama bagi orang-
orang yang akan menjadi politikus.

Ia rajin menulis dan hampir semua tulisannya berupa dialog.


Republik terbaca luas selama berabad-abad. Tetapi harus dicatat, sistem
politik yang dianjurkan didalamnya belum pernah secara nyata dipraktekkan
sebagai model pemerintahan dimanapun.

ARISTOTELES
Full name Ἀριστοτέλης, Aristotélēs
Born 384 BC Stageira, Chalcidice
Died 322 BC (age 61 or 62) Euboea
Era Ancient philosophy
Region Western philosophy
School Peripatetic school,Aristotelianism
Main interests Physics, Metaphysics, Poetry, Theatre, Music, Rhetoric,
Politics, Government, Ethics, Biology, Zoology
Notable ideas Golden mean, Reason, Logic, Syllogism, Passion
Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun
Aristoteles pergi ke Athena belajar di Akademi Plato. Dia menetap di sana
selama dua puluh tahun hingga tak lama Plato meninggal dunia.
Dari ayahnya, Aristoteles mungkin memperoleh dorongan minat di bidang
biologi dan “pengetahuan praktis”. Di bawah asuhan Plato dia menanamkan
minat dalam hal spekulasi filosofis.
Pada tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Macedonia, menjadi guru
seorang anak raja umur tiga belas tahun yang kemudian dalam sejarah
terkenal dengan Alexander Yang Agung. Aristoteles mendidik si Alexander
muda dalam beberapa tahun.
Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik tahta kerajaan, Aristoteles kembali
ke Athena dan di situ dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum. Dia berada di
Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier
penaklukan militer Alexander.
Alexander tidak minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati
menyediakan dana buat Aristoteles untuk melakukan penyelidikan-
penyelidikan.
Walau begitu, pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya.
Aristoteles menolak secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si
penakluk Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan
menghianat, Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles.
Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga
punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orang-orang
Athena.
Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Macedonia memegang
tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada
dewa.
Aristoteles, teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, lari
meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua
kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof.
Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322
SM pada umur 62 tahun.
Hasil murni karya Aristoteles jumlahnya mencengangkan. 47 karyanya masih
tetap bertahan. Daftar kuno mencatat tidak kurang dari 170 puluh buku hasil
ciptaannya.
Bahkan bukan sekedar banyaknya jumlah judul buku saja yang
mengagumkan, melainkan luas daya jangkauan peradaban yang menjadi
bahan renungannya juga tak kurang hebatnya.
Kerja ilmiahnya betul-betul merupakan ensiklopedi ilmu untuk jamannya.
Aristoteles menulis tentang astronomi, zoologi, embryologi, geografi, geologi,
fisika, anatomi, physiologi, dan hampir tiap karyanya dikenal di masa Yunani
purba.
Hasil karya ilmiahnya, merupakan, sebagiannya, kumpulan ilmu pengetahuan
yang diperolehnya dari para asisten yang spesial digaji untuk menghimpun
data-data untuknya, sedangkan sebagian lagi merupakan hasil dari
serentetan pengamatannya sendiri.
Dia filosof orisinal, dia penyumbang utama dalam tiap bidang penting falsafah
spekulatif, dia menulis tentang etika dan metafisika, psikologi, ekonomi,
teologi, politik, retorika, keindahan, pendidikan, puisi, adat-istiadat orang
terbelakang dan konstitusi Athena.
Mungkin sekali, yang paling penting dari sekian banyak hasil karyanya adalah
penyelidikannya tentang teori logika, dan Aristoteles dipandang selaku pendiri
cabang filosofi yang penting ini.
Hal ini sebetulnya berkat sifat logis dari cara berfikir Aristoteles yang
memungkinkannya mampu mempersembahkan begitu banyak bidang ilmu.
Dia punya bakat mengatur cara berfikir, merumuskan kaidah dan jenis-
jenisnya yang kemudian jadi dasar berpikir di banyak bidang ilmu
pengetahuan.
Aristoteles tak pernah kejeblos ke dalam rawa-rawa mistik ataupun ekstrim.
Aristoteles senantiasa bersiteguh mengutarakan pendapat-pendapat praktis.
Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari sungguh
mendalam. Di jaman dulu dan jaman pertengahan, hasil karyanya
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani,
Jerman dan Inggris.
Penulis-penulis Yunani yang muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof
Byzantium mempelajari karyanya dan menaruh kekaguman yang sangat.
Buah pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-
abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd
(Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba
merumuskan suatu perpaduan antara teologi Islam dengan rasionalismenya
Aristoteles.
Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil
mencapai sintesa dengan Yudaisme.
Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa
Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini
masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh
demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles.
Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata
sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan
dengan garis hukum alam. Dan dia percaya kerendahan martabat wanita
ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu saja –mencerminkan pandangan yang
berlaku pada jaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran
Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya,
“Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,” dan kalimat
“Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia
pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-
anak mudanya.”
Istilah-istilah ciptaan aristoteles masih dipakai samapai sekarang:
Informasi, relasi, energi, kuantitas, kualitas, individu, substansi, materi,
esensi, dsb.
Ahli filsafat terbesar di dunia sepanjang zaman, bapak peradaban barat,
bapak eksiklopedi, bapak ilmu pengetahuan, atau guru(nya) para ilmuwan
adalah berbagai julukan yang diberikan pada ilmuan ini.
Berbagai termuannya seperti logika yang disebut juga ilmu mantic yaitu
pengetahuan tentang cara berpikir dengan baik, benar, dan sehat, membuat
namanya begitu dikenal oleh setiap orang di seluruh dunia yang pernah
mengecap penididkan.
Pria inilah orang pertama di dunia yang dapat membuktikan bahwa bumi
bulat. Pembuktian yang dilakukaknya dengan jalan melihat gerhana.
Sepuluh jenis kata yang dikenal orang saat ini seperti. Kata kerja, kata benda,
kata sifat dan sebagainya merupakan pembagian kata hasil pemikirannya.
Dia jugalah yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial.
Ayahnya yang bernama Nicomachus, seorang dokter di sitana Amyntas III,
raja Mecedonia, kakek Alexander Agung. Meninggal ketika Aristoteles berusia
15 tahun. Karenanya, ia kemudia dipelihara oleh proxenus, pamannya-
saudara dari ayahnya, pada usia 17 tahun ia masuk akademi milik plato di
Athena. Dari situlah ia kemudian menjadi murid plato selama 20 tahun
Filsafat Abad Pertengahan
Apabila dunia filsafat kita bagi menjadi beberapa fase, setidaknya ada empat
fase filsafat. Filsafat Klasik (Yunani), Filsafat Abad Pertengahan, Filsafat
Modern, dan Filsafat Postmodern (Postmo).
Di antara empat fase ini, filsafat abad pertengahan kiranya memiliki
karakteristik yang khas dibanding fase-fase lainnya. Karena, pada fase inilah,
tradisi berpikir (filsafat) bersentuhan langsung dengan tradisi beragama
(teologi).
Filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi:
– Masa Patristik
– Masa Skolastik
Masa Skolastik Islam
Masa Skolastik Kristen:
– Masa Skolastik Awal (Abad 9 – 12)
– Masa Skolastik Keemasan (Abad 12 -13)
– Masa Skolastik Akhir (Th 1300 – 1450 )

1. MASA PATRISTIK
Patristik adalah para pujangga gereja dan tokoh tokoh gereja yang
sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Mereka
mencurahkan perhatian pada pengembangan teologi, tapi tidak
menghindarkan diri dari wilayah kefilsafatan.
Mereka berpendapat bahwa setelah Allah memberikan wahyu kepada
manusia, maka mempelajari filsafat Yunani yang non-Kristen dan non-Yahudi
adalah sia-sia bahkan berbahaya yang mengancam kemurniaan iman
krisriani.
• Bapak Gereja terpenting pada masa itu antara lain

– Tertullianus (160-222),
– Justinus,
– Clemens dari Alexandria (150-251), masa patristik Awal
– Origenes (185-254),
– Gregorius dari Nazianza (330-390),
– Basilus Agung (330-379),
– Gregorius dari Nyssa (335-394), masa patristik Yunani
– Dionysius Areopagita,
– Johanes Damascenus,
– Ambrosius,
– Hyeronimus, dan masa keemasan patristik Latin
– Agustinus (354-430).

Masa keemasan patristik Yunani didorong oleh Edic Milan yang dikeluarkan
Kaisar Constatinus Agung tahin 313 yang menjamin kebebasan beragama
bagi umat Kristen.

Agustinus
Adalah seorang pujangga gereja dan filsuf besar. Setelah melewati
kehidupan masa muda yang hedonistis, Agustinus kemudian memeluk agama
Kristen dan menciptakan sebuah tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh
besar pada abad pertengahan.
Karyanya yang terpenting adalah Confessiones (pengakuan-pengakuan) dan
De Civitate Dei (tentang kota Allah).
Agustinus menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan
kebenaran). Menurut Agustinus skeptisisme itu sebetulnya merupakan bukti
bahwa ada kebenaran. Orang ragu-ragu itu sebenarnya bukti bahwa dia tidak
ragu-ragu tehadap satu hal yaitu bahwa ia ragu-ragu. Orang yang ragu-ragu
itu sebetulnya berpikir, dan siapa yang harus berpikir harus ada. Aku ragu-
ragu maka aku berpikir, aku berpikir maka aku berada.
Agustinus menerima penafsiran atas kitab Kejadian, yang
menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan
pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya.
(konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinas)
“Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan
bagi keselamatan mereka”.
Menurut Agustinus penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu,
namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan
tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya. Waktu menjadi ada, dan tindakan
kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia.
Istilah ex-nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam
materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti “tidak terjadi
dari sesuatu yang sudah ada”. Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh
Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah
ketergantungan dunia kepada Tuhan.

2. Masa Skolastik
Sebutan skolastik mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad
pertengahan yang di usahakan oleh sekolah-sekolah, dan ilmu tersebut
terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah itu. Sifat filsafat skolastik
adalah pengetahuan yang digali dari buku-buku diberi tekanan berat. Jagad
raya memang di pelajari, akan tetapi bukan dengan penelitian-nya, melainkan
dengan menanyakan kepada pendapat para filsuf yunani tentang jagad raya
itu.
• Sejak pemerintahan Karel Agung (742-814), keadaan mulai pulih,
Kegiatan intelektual mulai bersemi kembali. Ilmu pengetahuan,
kesenian, dan filsafat mendapat angin segar.

Masa Skolastik mencapai puncak kejayaannya pada abad XIII. Di
masa ini filsafat dikaitkan dengan teologi, tetapi sudah menemukan
tingkat kemandirian tertentu. Patut diberi catatan khusus tentang
penyebaran karya-karya filsafat Yunani, karena inilah faktor terpenting
bagi perkembangan intelektual dan filsafat.
• Masuknya filsafat Aristoteles ke barat dimungkinkan lewat filsuf-filsuf
arab yaitu Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), dan Ibnu Rusyd (1126-
1198) alias Averroes. Avicenna berusaha menggabungkan filsafat
Aristoteles dan Neoplatonisme sedangkan Averroes merupakan
pengagum Aristoteles dan menulis komentar tentang pemikiran-
pemikiran Aristotelian. Sebab itu ia dijuluki Sang Komentator.
• Kehadiran karya-karya Aristoteles itu memberikan nuansa baru. Orang
yang berhadapan dengan karya-karya nonkristen. Tugas filsafat dan
teologi adalah mendamaikan alam pikiran baru itu dengan ajaran
Kristen, khususnya alam pemikiran Agustinus yang mendominasi
masa-masa sebelumnya.
• Ada yang mengatakan juga bahwa skolastik itu filsafat yang
berdasarkan atas agama atau kepercayaan.
• Masa skolastik terbagi dapat juga dibagi dalam 2 tahapan
– (1) masa skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas
Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan
– (2) masa skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh
perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).

Tokoh-tokoh terpenting pada masa skolastik adalah


1. Boethius (480-524)
2. Johanes Scotus Eriugena (810-877),
3. Anselmus dari Canterbury (1033-1109),
4. Petrus Abelardus (1079-1142),
5. Ibn Sina (980-1037) org Arab,nama latin Avicenna.
6. Ibn Rushd (1126-1198)org Arab, nama latin Averroes
7. Moses Maimodes (1135-1204) org Yahudi
8. Bonaventura (1221-1274)
9. Siger dari Brabant (1240-1281)
10. Albertus Agung (1205-1280)
11. Thomas Aquinas (1225-1274); -yang paling terkenal-
12. Johanes Duns Scotus (1226-1308),
13. Wlliam dari Ockham (1285-1349),
14. John Wycliffe (1320 – 1384)
15. Nicholaus Cusanus (1401-1464).

Boethius
Adalah seorang menteri pada pemerintahan Raja Theodorik Agung di
Italia. Namun, ia dijebloskan ke penjara karena dianggap sebagai komplotan.
Dipenjara ia menulis buku yang berjudul De Consolatione Philosophiae.

Johanes Scotus Eurigena


Mengajar di sekolah istana yang didirikan oleh Karel Agung. Anselmus
adalah seorang uskup yang terkenal dengan semboyan Credo Ut Intelligam
(saya percaya agar saya mengerti). Artinya, dengan percaya orang akan
mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang Allah.

Anselmus dari Canterbury (1033-1109)


Anselmus menulis beberapa karya yang penting baik dalam bidang
teologia maupun dalam bidang filsafat. Karya teologinya yang terpenting
adalah "Monologion". Dalam bukunya ini Anselmus memberikan bukti-bukti
tentang adanya Allah dengan tiga cara, sebagai berikut:
1. Yang baik secara relatif mengandaikan adanya yang baik secara
mutlak. Yang baik secara mutlak itu disebut Allah.
2. Fakta bahwa semua hal berada dalam hal yang sama dan karena itu
harus ada sesuatu penyebab mulai dari segala yang ada ini. Penyebab
itu disebut Allah.
Fakta adanya berbagai tingkat kesempurnaan. Hal itu mengandaikan adanya
kesempurnaan yang mutlak yang disebut Allah
Karyanya yang lain adalah: "Clur Deus Homo" (Mengapa Allah Menjadi
Manusia). Di sini Anselmus berusaha untuk membuktikan perlunya Kristus
menjadi manusia dan kematian Kristus harus diakui oleh akal budi.
Ia berpendapat bahwa Tuhan Allah sendiri turun dari surga dan
menjelma dalam Anak-Nya, Yesus Kristus, supaya hukuman manusia
ditanggung-Nya sendiri dan Ia dapat membayar hutang dosa ganti kita.
Dengan jalan itu baik keadilan, rahmat dan kasih Allah dipenuhi dan
disempurnakan.
Mengenai hubungan iman dan pengetahuan dirumuskannya sebagai
berikut: "Credo ut intelligam" (Aku percaya untuk mengerti) atau "Fides
quaerens intellectum" (Iman berusaha untuk mengerti).
Orang harus mulai percaya akan penyataan Tuhan Allah yang
diajarkan oleh gereja dan sesudah itu baru berusaha menjelaskan
kepercayaan itu sehingga diakui selaku kebenaran oleh akal manusia.

Petrus Abelardus
Mempunyai jasa besar dalam etika dan logika. Dia ikut memberikan
pendapat yang sangat berharga menyangkut perdebatan di masa itu tentang
Universalia (konsep-konsep umum), antara kelompok penganut Realisme dan
Nominalisme.

Ibn Sina (Avicenna)


Berusaha menggabungkan filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme. Dia
menganut ajaran manansi plotinos, dan mengatakan Allah menyelenggarakan
dunia secara tidak langsung melalui intelek aktif yang berasl dari intelek
pertama.

Ibn Rushd (Averroes) i


Ia dijuluki Sang Komentator. Dia mengajarkan monopsikisme yaitu
pandangan bahwa jiwa adalah milik bersama umat manusia.

Bonaventura
Adalah biarawan ordo Fransiskan yang menjadi professor di Paris, dan
pernah dipercaya memimpin ordo tersebut.

Siger
Dari Brabant adalah mahaguru di fakultas sastra diparis.

Albertus Agung
Adalah seorang biarawan ordo Dominikan, dan pernah menjadi
mahaguru di sejumlah Universitas di Jerman dan Paris.

Thomas Aquinas
Sangat terpengaruh oleh filsafat Aristoteles.
Orang Katolik terima Thomas Aquinas sebagai Bapak gereja.
Orang protestan banyak menolak argumen-argumen Thomas yang terlalu
terpengaruh oleh Aristoteles sehingga kadang-kadang menyimpang dari
exegese yang sehat dari Alkitab.
Thomas Aquinas dijuluki pangeran masa skolastik. Ia adalah seorang
biarawan ordo Dominikan, mengajar di Paris, Jerman, dan Italia.
Thomas Aquinas berpendapat bahwa filsafat harus mengabdi
teologi, waktu itu dikenal ungkapan Philosophia Est Ancilla Theologiae.
Manusia dapat mengenal Allah dengan menggunakan rasio. Tetapi,
pengenalan itu hanya melalui ciptaan-ciptaan.
Thomas membuktikan adanya Allah melalui rangkaian argumentasi
dalam Summa Teologica yang dikenal dengan Quinqae Viae (Lima Jalan)
yaitu.
• Gejala adanya perubahan atau gerak
• Gejala sebab dan akibat
• Gejala kontingensi
• Adanya hierarki kesempurnaan
• Finalitas dunia
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa merupakan forma dan tubuh
merupakan materinya. Keduannya tidak dapat dipisahkan dan merupakan
satu substansi.

Johanes Duns Scotus


Adalah seorang biarawan ordo Fransiskan. Ia mengikuti ajaran
Aristoteles dan Bonaventura.

William Ockham
Adalah seorang biarawan ordo Fransiskan. Ia dianggap pemikir
bermasalah di gereja, di bidang filsafat ajarannya bercorak empiristis.

Nicholaus Cusanus
Adalah Uskup dan Kardinal. Meskipun dipercaya mampu memangku
tugas kegerejaan, Nicholaus dikenal sebagai ilmuwan.

Para Scholastic Islam kemudian terpengaruh filsafatnya Aristoteles


diantaranya adalah Ibnu Rusyd, ia mengenalkan kepada orang-orang barat
yang belum mengenal filsafat Aristoteles.
Para ahli fikir Islam (Scholastik Islam) yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-
Gazali, Ibnu Rusyd dll. Mereka itulah yang memberi sumbagan sangat besar
bagi para filosof eropa yang menganggap bahwa filsafat Aristoteles, Plato,
dan Al-Quran adalah benar. Namun dalam kenyataannya bangsa eropa tidak
mengakui atas peranan ahli fikir Islam yang mengantarkan kemoderenan
bangsa barat.
Al-Ghazali / 1050-1111 M (Tahafutut al-Falasifah)
• Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-
Syafi'i (lahir 1058 di Thus, Propinsi Khurasan, Persia (Iran), wafat
1111, Thus) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang
dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
• Pokok pemikiran dari al-Ghozali adalah tentang Tahafutu al-falasifah
(kerancuan berfilsafat) dimana al-Ghazali menyerang para filosof-
filosof Islam berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga
diantaranya, menutur al-Ghazali menyebabkan mereka telah kufur,
yaitu tentang : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan
jasmani.
Suhrawardi / 1158-1191 M (Isyraqiyah / Illuminatif)
• Pokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia
berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur
(Al-Haq) yaitu Tuhan itu sendiri. Yang kemudian memancar menjadi
Nuur al-Awwal, kemudian memancar lagi mejadi Nuur kedua, dan
seterusnya hingga yang paling bawah (Nur yang semakin tipis)
memancar menjadi Alam (karena semakin gelap suatu benda maka ia
semakin padat).
• Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari Ilmu dan atau
kebenaran adalah Allah, alam dan Wahyu bisa dijadikan sebagai
perantara (ilmu) oleh manusia untuk mengetahui keberadaan Allah.
Sehingga keduanya, antara Alam dan Wahyu adalah sama-sama
sebagai ilmu.
Ibnu Khaldun (1332 M-1406 M)
• Abdurrohman Ibn Khaldun (1332 M-1406 M), lahir di Tunisia, adalah
sosok pemikir muslim legendaris. Khaldun membuat karya tentang
pola sejarah dalam bukunya yang terkenal: Muqaddimah, yang
dilengkapi dengan kitab Al-I'bar yang berisi hasil penelitian mengenai
sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu
Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip
mengenai timbul dan runtuhnya negara dan bangsa-bangsa.
• Dalam mempertautkan sejarah dengan filsafat, Ibnu Khaldun
tampaknya ingin mengatakan bahwa sejarah memberikan kekuatan
intuisi dan inspirasi kepada filsafat, sedangkan filsafat menawarkan
kekuatan logika kepada sejarah. Dengan begitu, seorang sejarawan
akan mampu memperoleh hasil yang relatif valid dari proses penelitian
sejarahnya, dengan dasar logika kritis.
• Dasar sejarah filsafatnya adalah :
1)    Hukum sebab akibat yang menyatakan bawa semua peristiwa,
termasuk peristiwa sejarah, berkaitan satu sama lain dalam suatu
rangkaian hubungan sebab akibat.
2)    Bahwa kebenaran bukti sejarah tidak hanya tergantung kepada
kejujuran pembawa cerita saja akan tetapi juga kepada tabiat zaman.
Karena hal ini para cendekiawan memberinya gelar dan titel
berdasarkan tugas dan karyanya serta keaktifannya di bidang ilmiah
Al-Kindi (806-873 M)
• Al-Kindi Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn
Imran ibn Ismail al-Ash‘ats bin Qais al-Kindi. Ia seorang filosof muslim
yang pertama. Kindah adalah salah satu suku Arab yang besar pra-
Islam. Kakeknya Al-Ash’ats ibn Qais, memeluk Islam dan dianggap
sebagai salah seorang sahabat Nabi SAW. Al-Ash’ats bersama
beberapa perintis muslim pergi ke kufah, tempat ia dan keturunannya
mukim. Ayahnya adalah Ishaq al-Sabbah menjadi gubernur Kufah
selama kekhalifahan Abbasiyah al-Mahdi dan al-Basyid. Kemungkinan
besar al-Kindi lahir pada tahun 185 H / 801 M.
• Menurut al-Kindi filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari
kebudayaan Islam, oleh karena itu para sejarawan Arab awal
menyebutnya “filosof Arab”. Menurutnya batasan filsafat yang ia
tuangkan dalam risalahnya tentang filsafat awal adalah “filsafat” adalah
pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu dalam batas-batas
kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori ialah
mencapai kebenaran dan dalam prakteknya ialah menyesuaikan
dengan kebenaran.
• Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Relevansi agama dan
filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan
sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan Kenabian.
Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M)
• Nama lengkapnya adalah abu bakar muhammad ibn zakaria ibn yahya
al-razi. Di barat dikenal dengan Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran
pada 1 Sya’ban 251 H (865 M.
• Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama
(penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi,
dan hubungan jiwa dan materi.
Al-Farabi (870-950 M)
• Al-Farabi Nama lengkapnya Abu Nash al-Farabi, lahir pada tahun 258
H / 870 M di Farab, meninggal pada tahun 339 H / 950 M. Sejarah
mencatatnya sebagai pembangun agung sistem filsafat, dimana ia
telah membaktikan diri untuk berfikir dan merenung, menjauh dari
kegiatan politik, gangguan dan kekisruhan masyarakat.
• Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat,
metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa
(akal), dan teori kenabian.
• Al-Farabi adalah seorang yang logis baik dalam pemikiran, pernyataan,
argumentasi, diskosi, keterangan dan penalarannya. Unsur-unsur
penting filsafatnya adalah :
• 1)    Logika
• 2)    Kesatuan filsafat
• 3)    Teori sepuluh kecerdasan
• 4)    Teori tentang akal
• 5)    Teori tentang kenabian
• 6)    Penafsiran atas al-Qur’an.
Ibnu Maskawih (932-1020 M)
• Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub
Ibn Miskawih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932 M) dan wafat
di Asfahan pada 9 safar 421 H (16 Februari 1030 M).
• Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : filsafat akhlaq, dam
filsafat jiwa.
• Ibnu Shina (980-1037 M)
• Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat
adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia
(sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan).
• Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā
(Persia ‫ ابوعلى سينا‬Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : ‫أبو علي الحسين بن‬
‫)عبد هللا بن سينا‬. Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat
Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan
meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).
• Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika,
filsafat emanasi, filsafat jiwa (akal), dan teori kenabian.

Filsafat Modern dan Renaisans


 Filsafat Renaissance
1. Niccolo Machiavelli (1469 – 1527)
2. Francis Bacon (1561 – 1626)
3. Blaise Pascal (1623 – 1662)
4. Thomas Hobbes (1588 – 1679)
 Filsafat Modern
1. Rene Descartes (1596 – 1650)
2. Baruch de Spinosa (1632 – 1677)
3. Leibniz (1646 – 1716)
4. John Locke (1632 – 1704)
5. David Hume (1711 – 1776)
6. George W. F. Hegel (1770 – 1831)
7. Immanuel Kant (1724 – 1804)
8. Soren Kierkegaard ( 1818 – 1855)
9. Karl Marx ( 1818 – 1883)
10. Friedrich Nietzsche (1844 – 1900)
11. Schopenhauer (1788 – 1860)
12. Edmund Husserl ( 1859 – 1938)

Renaisans
Adalah suatu periode sejarah yang mencapai titik puncaknya kurang
lebih pada tahun 1500. Perkataan "renaisans" berasal dari bahasa Perancis
renaissance yang artinya adalah "Lahir Kembali" atau "Kelahiran Kembali".
Yang dimaksudkan biasanya adalah kelahiran kembali budaya klasik
terutama budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. Namun zaman
sekarang hal ini bisa menyangkut segala hal.
Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni,
pemikiran maupun kesusastraan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan
intelektual abad pertengahan.
Masa Renaissance bukan suatu perpanjangan yang berkembang
secara alami dari abad pertengahan, melainkan sebuah revolusi budaya,
suatu reaksi terhadap kakunya pemikiran serta tradisi Abad pertengahan.
Abad Renaisans (Bahasa Perancis/Bahasa Inggris: Renaissance;
Bahasa Italia: Rinascimento; arti harafiah: kelahiran kembali) adalah sebuah
gerakan kebudayaan antara abad ke-14 hingga abad ke-17, bermula di Italia
pada akhir Abad Pertengahan dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa.
Gerakan ini mencakup kebangkitan pengetahuan berdasarkan sumber-
sumber klasik, tumbuhnya panutan pada Sri Paus dan segala sesuatu yang
anggun, perkembangan gaya perspektif dalam seni lukis, dan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Gerakan Masa Pencerahan memberikan efek yang luar biasa pada
semua usaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tapi mungkin yang
paling terkenal adalah kemajuan dari segi kesenian dan kontribusi dari para
polymath (orang yang memiliki ilmu yang tinggi dalam berbagai macam hal)
seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo, yang menyebabkan
munculnya sebutan “Renaissance Men”.
Renaisans pertama kali diperkenalkan di Eropa Barat, di kawasan
Italia. Hal ini dipicu kekalahan tentara salib dalam perang suci.
Kekalahan tersebut membuat para pemikir dan seniman menyingkir dari
Romawi Timur menuju Eropa Barat.
Mereka menyadari telah dimulainya masa mesiu peledak dan untuk
menguasai teknologi tersebut mereka harus melepaskan diri dari pengaruh
mistisme zaman pertengahan dengan kembali kepada sains zaman klasik
yang sebelumnya dilarang karena dianggap pelanggaran terhadap misi
ketuhanan.

Niccolo Machiavelli
Lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 – meninggal di Florence, Italia, 21
Juni 1527 pada umur 58 tahun) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga
seorang filsuf.
Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori
politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans.
Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito
Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran), awalnya
ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia
Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik di masa itu.
Il Principe, atau Sang Pangeran menguraikan tindakan yang bisa atau perlu
dilakukan seorang seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan
kekuasaan.
Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk,
untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Orang yang melakukan
tindakan seperti ini disebut makiavelis.
Selengkapnya karya-karya Machiavelli dalam bahasa Italia meliputi;
1. Discorso sopra le cose di Pisa (1499),
2. Del modo di trattare i popoli della Valdichiana ribellati (1502),
3. Del modo tenuto dal duca Valentino nell’ ammazzare Vitellozo Vitelli,
4. Oliverotto da Fermo (1502),
5. Discorso sopra la provisione del danaro (1502),
6. Decennale primo (1506 poema in terza rima),
7. Ritratti delle cose dell’Alemagna (1508-1512),
8. Decennale secondo (1509),
9. Ritratti delle cose di Francia (1510),
10. Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (1512-1517),
11. Il Principle (1513),
12. Andria (1517),
13. Mandragola (1518),
14. Della lingua (1514),
15. Clizia (1525),
16. Belfagor arcidiavolo (1515),
17. asino d’oro (1517),
18. Dell’arte della guerra (1519-1520),
19. Discorso sopra il riformare lo stato di Firenze (1520),
20. Sommario delle cose della citta di Lucca (1520),
21. Vita di castruccio Castracani da Lucca (1520),
22. Istorie fiorentine (1520-1525), dan
23. Frammenti storici (1525).

A. Filsafat Politik Baru


Tidak ada filsuf yang menjadi sasaran penilaian yg beragam dan
kontradiktif dibanding Machiavelli. Pada titik ekstrim ia dikecam sebagai guru
penipuan dan penghianatan politik, sebagai inkarnasi dari kekuatan licik dan
brutal dalam dunia politik dan sebagai pengagas totalitarianisme modern. Di
lain pihak ia dipuja sebagai pahlawan Italia yg bersemangat dan
mengabdikan dirinya bagi kebaikan warganya, sebagai demokrat besar, dan
sebagai pemikir yg memberi sumbangsih besar pada kebebasan manusia
dan nasib manusia.
Ia termasyhur karena mesihatnya yg blak-blakan bahwa seorang
penguasa yg ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah
menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta digabung dgn penggunaan
kekejaman dan kekuatan.
Buku The Prince berisi:
Demi suatu keberhasilan seorang pangeran harus mengabaikan
pertimbangan2 moral sepenuhnya dan mengandalkan segala sesuatunya
atas kekuatan dan kelicikan.
Machiavelli menasihatkan sang pangeran agar dapat dukungan
penduduk, karena kalau tidak ia tidak punya sumber dalam menghadapi
kesulitan.
Penguasa baru harus berbuat sesuatu untuk mengamankan
kekuasaannya sekalipun harus berbuat yg tidak menyenangkan warganya.
Untuk merebut sebuah negara si penakluk mesti mengatur langkah
kekejaman sekaligus dan ia tidak perlu memberikan kelonggaran sedikit demi
sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.
Untuk mencapai sukses pangeran harus di kelilingi dengan menteri yg
mampu dan setia. Jauhkan dari penjilat
Dalam Bab 17 buku The Prince, Machiavelli memperbincangkan
apakah seorang pangeran itu lebih baik di benci atau dicintai. Jawabnya ialah
orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi lebih aman
ditakuti dari pada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebab cinta itu
diikat oleh kewajiban yang membuat seorang mementingkan dirinya sendiri,
dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi
takut didorong oleh kecemasan kena hukuman.
Bab 18 berjudul “cara bagaimana seorang pangeran memegang
kepercayaannya.” Ia menuliskan,” seorang penguasa yang cermat tidak harus
memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dgn
kepentingannya…” Dia menambahkan,”karena tidak ada dasar resmi yang
menyalahkan seorang pangeran yg meinta maaf karena ia tidak memenuhi
janjinya,“karena” manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan saat itu, dan bahwa seorang yang
menipu selalu akan menemukan orang yang mengujinkan dirinya ditipu.
The Prince sering dijuluki “buku petunjuk untuk para diktator” Karier
Machiavelli dan pelbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum ia
cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang seorang diktator.
Tetapi, ia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer Italia.
Disamping merindukan seorang pangeran yg kuat yg mampu mengatur
negerinya dan menghalau tentara2 asing yg merusak dan menistai negerinya.
Yang menarik adalah meskipun Machiavelli mengajurkan seorang pangeran
agar melakukan tindakan yg kejam dan bengis, dia sendiri seorang idealis
dan seorang patriot yg tidak mampu mempraktikkan sendiri apa yang ia
usulkan.
Benito Musolini adalah satu dari sedikit pemuka politik yang pernah
memuji Machiavelli di muka umum.
Konon, Napoleon senantiasa tidur dibantal yang dibawahnya terselip
buku The Prince, begitu pula kata orang tentang Hitler dan Stalin.
Masalah sentral menurutnya bukan bagaimana rakyat harus bertingkah
laku; bukan siapa yang mesti berkuasa, tetapi bagaimana sesungguhnya
orang bisa memperoleh kekuasaan.
Teori politik ini diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih
realistis dari pda sebelumnya. Ia secara tepat dapat dianggap salah satu dari
pendiri penting pemikir politik modern.

B. Tujuan Menghalalkan Segala Cara.


Dalam The Prince, Machiavelli membedakan antara kerajaan dan
tirani. Kerajaan merupakan penjelmaan kekuasaan bagi kebaikan umum
rakyat. Sementara tirani, kekuasaan untuk memenuhi kepentingan pribadi
penguasa. Penguasa yg baik adalah “yg tujuannya bukan untuk kepentingan
dirinya sendiri tetapi untuk kebaikan umum, dan bukan demi kepentingan
pengganti-penggantinya tetapi demi tanah air yang menjadi milik semua
orang”.
Demi tujuan yang baik, sebagimana dinyatakan dalam Discourse,
semua cara yang diperlukan bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Machiavelli mengatakan , the end justifies the means (tujuan menghalalkan
segala cara). Seorang penguasa tidak wajib membahas apakah tindakannya
secara moral benar atau etis. Tidak terdapat kejahatan dalam politik,
Hanya kesalahan kecil. Terbebas dari pertimbangan moral, penguasa
bisa mengherahkan seluruh energinya untuk keputusan empiris, Semua cara
tiran secara sah terbuka baginya. Satu-satunya pembatasan adalah bahwa ia
harus menggunakannya untuk tujuan yang benar (kebaikan umum, common
good).
Pemikiran filsafat politik Machiavelli sering memberi imajinasi bagi para
pelaku dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia menjadi sumber justifikasi teoretis
bagi politik kekuasaan dan bagi aksi-aksi politik yg tak bermoral dan keji.
Machiavelli mungkin tidak suka dan ngeri dgn beberapa tindakan
yang dilakukan oleh orang-orang sesudahnya yg mengaku dibimbing oleh
prinsip-prinsipnya. Ia adalah seorang yang jujur dan tulus, bahkan kehidupan
pribadinya secara moral tanpa cacat. Namun dgn mencerikan etika dari
politik, ia secara teoretis ikut melempangkan jalan negara absolut dan
totalitarianisme yg mengabaikan hak asasi manusia.

Francis Bacon (1561 – 1626)


Gelarnya , Viscount St Alban pertama (lahir 22 Januari 1561, wafat 9
April 1626) seorang filsuf, negarawan dan penulis Inggris. Ia juga dikenal
sebagai pendukung Revolusi Sains.
Karya-karyanya membangun dan memopulerkan metodologi induksi
untuk penelitian ilmiah, seringkali disebut metode Baconian atau, secara
sederhana, metode ilmiah.
Dalam masanya, metode-metode tersebut dihubung-hubungkan
dengan trend kepercayaan Hermes dan Alchemy. Walaupun demikian,
kebutuhannya terhadap sebuah prosedur yang terencana untuk meneliti
semua hal yang alami menandai sebuah pembaruan dalam kerangka retoris
dan teoritis untuk ilmu pengetahuan.
Kebanyakan dari kerangka-kerangka penelitian ilmiah ini masih
menjadi dasar lahirnya metodologi yang lebih baik hari ini.
Francis Bacon dianugerahi gelar ksatria (Sir) pada tahun 1603, diangkat
menjadi Baron Verulam di tahun 1618, dan menjadi Viscount St. Alban di
tahun 1621. Gelar kebangsawanan tersebut hilang pada saat kematiannya
karena ia tak punya keturunan . Ia menerima julukan sebagai pencipta esai
Inggris.
Bacon lahir di London tahun 1561, putera pegawai eselon tinggi masa
Ratu Elizabeth. Tatkala menginjak usia dua belas tahun dia masuk belajar di
Trinity College di Cambridge, tetapi baru tiga tahun keluar begitu saja tanpa
menggondol gelar apa pun. Umur dua puluh tiga dia terpilih jadi anggota
Majelis Rendah
Hidup Bacon boros, slebor, dan seenaknya, dia senantiasa dikepung
oleh hutang sana hutang sini (satu kali pernah ditahan karena urusan hutang
tidak bayar) dia bisa atasi hidup secara bebas begitu.
Tetapi, tulisan Bacon terpenting adalah menyangkut falsafah ilmu
pengetahuan. Dia merencanakan suatu kerja besar Instauratio Magna atau
Great Renewal dalam enam bagian.
Bagian pertama dimaksud untuk meninjau kembali keadaan ilmu
pengetahuan kita.
Bagian kedua menjabarkan sistem baru penelaahan ilmu.
Bagian ketiga bersisikan kumpulan data empiris.
Bagian keempat berisi ilustrasi sistem baru ilmiahnya dalam praktek.
Bagian kelima menyuguhkan kesimpulan sementara.
Dan bagian keenam suatu sintesa ilmu pengetahuan yang diperoleh
dari metode barunya.
Taklah mengherankan, skema raksasa ini --mungkin pekerjaan yang paling
ambisius sejak Aristoteles--tak pernah terselesaikan.
Tetapi, buku The Advancement of Learning (1605) dan Novum
Organum (1620) dapat dianggap sebagai penyelesaian kedua bagian dari
kerja raksasanya.
Novum Organum atau New Instrument mungkin buku Bacon
terpenting. Buku ini dasarnya merupakan pernyataan pengukuhan untuk
penerimaan metode empiris tentang penyelidikan.
Praktek bertumpu sepenuhnya pada logika deduktifnya Aristoteles
adalah tak ada guna, merosot, absurd. Karena itu diperlukan metode baru
penelaahan, suatu metode induktif.
Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu titik tempat bertolak dan
mengambil kesimpulan darinya; tetapi ilmu pengetahuan adalah sesuatu
tempat sampai ke tujuan.
Untuk memahami dunia ini, pertama orang mesti "mengamati"nya. Pertama,
kumpulkan fakta-fakta. Kemudian, kata Bacon, ambil kesimpulan dari fakta-
fakta itu dengan cara argumentasi induktif yang logis.
Meskipun para ilmuwan tidak mengikuti metode induktif Bacon dalam
semua segi, tetapi ide umumnya yang diutarakannya penelitian dan
percobaan penting yang ruwet jadi gerak dorong dari metode yang digunakan
oleh mereka sejak itu.
Dalam buku Novum Organum ada doktrin negatif dan doktrin positif.
Doktrin negatif dijelaskan oleh Bacon dgn istilah jenis-jenis idols, yang telah
mendominasi dan menjerumuskan pikiran manusia, yg menghambat ilmu
pengetahuan yg sebenarnya.
(1) Idols of tribe, kekeliruan yg disebabkan oleh kecenderungan yg
melekat pada sifat manusia, cenderung mengukur pandangannya sendiri,
tidak pada realitas yg dilihatnya. Shg manusia mengabaikan objek yang
dilihatnya karena manusia menerapkan ukuran yg tidak ada pada sesuatu itu.
(2) Idols of the cave, kekeliruan karena manusia cenderung prejudice.
(3) Idols of market place, kekeliruan karena manusia terlalu percaya
pada bahasa dan kata-kata.
(4) Idols of Theater, sistem-sistem filsafat masa lalu yg keliru dalam
mempersepsi realitas.
Idols ini menunjukkan bahwa manusia cenderung memercayai pada
pengetahuan yang bersumber dari tradisi atau budaya dan telah diwariskan
secara turun temurun tanpa pikiran yang kritis.
Pengaruh doktrin negatif Bacon ialah ilmu yang mapan benar harus
diawali, dimulai dari dan dikontril oleh observasi yang tidak dikotori oleh
presuposisi yang tertuang dalam keempat idols diatas.
Menurut Bacon ilmuwan tidak seperti laba-laba yang merajut jaringnya
dari fantasinya sendiri; tidak juga seperti semut yang biasanya hanya
mengumpulkan. Tetapi seperti lebah yang mengumpulkan materi dari bunga-
bunga di kebun dan tama, lalu mengolahnya dan mentransformasikan materi
yg dikumpulkan itu dgn kekuatan sendiri.
Buku terakhir Bacon adalah The New Atlantis, sebuah penjelasan
tentang negeri utopis terletak di pulau khayalan di Pasifik. Meskipun pokok
cerita diilhami oleh Utopia Sir Thomas More, keseluruhan pokok masalah
yang terdapat dalam buku Bacon sepenuhnya berbeda.
Dalam buku Bacon, kemakmuran dan keadilan dalam negara idealnya
tergantung pada dan hasil langsung dari hasil pemusatan penyelidikan ilmiah.
Dengan tersirat, tentu saja, Bacon memberitahu. pada pembacanya
bahwa penggunaan intelegensia dalam penyelidikan ilmiah dapat membuat
Eropa makmur dan bahagia seperti halnya penduduk yang hidup di pulau
khayalan itu.

Blaise Pascal
Lahir di Clermont-Ferrand, Perancis, 19 Juni 1623 – meninggal di
Paris, Perancis, 19 Agustus 1662 pada umur 39 tahun) berasal dari Perancis.
Minat utamanya ialah filsafat dan agama, sedangkan hobinya yang lain
adalah matematika dan geometri proyektif.
Bersama dengan Pierre de Fermat menemukan teori tentang
probabilitas.
Pada awalnya minat riset dari Pascal lebih banyak pada bidang ilmu
pengetahuan dan ilmu terapan, di mana dia telah berhasil menciptakan mesin
penghitung yang dikenal pertama kali (kalkulator).
Pascal dikenal sbg orang yg genius yang religius dan filosifis yg tak
tertandingi pd zamannya. Pd th 1646, ketika masih muda, ia terlibat gerakan
pro-Royal yg keras dan para Jansenis, yg sangat terpisah dengan dunia.
Karyanya yg terkenal adalah Pensees, yang terbit setelah ia
meninggal dunia. Inti buku ini berusaha menyingkap pemikiran personalnya
mengenai religiusitasnya yang amat dalam dan penolakan terhadap
rasionalisme filosofis.
Walaupun ia menulis beberapa telaah yg luar biasa mengenai fondasi
matematika, ia tetap menyadari pentingnya topik-topik yg lebih manusiawi yg
sering diabaikan filsuf di jamannya.
Pascal mencemaskan kebosanan, kesia-siaan, dan penderitan
manusia.

Thomas Hobbes (1588-1679)


Dilahirkan di Malmesbury, sebuah kota kecil yang berjarak 25 kilometer
dari London. Ia dilahirkan pada tanggal 15 April 1588.
Ketika Hobbes dilahirkan, armada Spanyol sedang menyerbu Inggris. [Ayah
Hobbes adalah seorang pendeta di Westport, bagian dari Malmesbury.
Ayahnya bermasalah dengan pihak gereja sehingga kabur dari kota
tersebut dan meninggalkan Hobbes untuk diasuh oleh pamannya.
Pada tahun 1603-1608, Hobbes belajar di Magdalen Hall, Oxford pada usia
14 tahun.
Menurut kesaksian pribadi Hobbes, ia tidak menyukai pelajaran fisika
dan logika Aristoteles. Ia lebih suka membaca mengenai eksplorasi terhadap
penemuan tanah-tanah baru serta mempelajari peta-peta bumi dan bintang-
bintang.
Karena itulah, astronomi adalah bidang sains yang mendapat
perhatian dari Hobbes, dan terus digeluti oleh Hobbes. Kemudian pada masa
kemudian, Hobbes juga menyesali karena ia tidak mempelajari matematika
saat menempuh pendidikan di Oxford.
Sebagai penganut empirisme, Hobbes menganggap bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman semata-mata.
Tidak seperti kaum rasionalis, pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai
fungsi mekanis. Pengenalan dengan akal dimulai dengan kata-kata yang
menunjuk pada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya sesuai dengan
kebiasaan saja.
Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka, yaitu sebagai
nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan nama benda pada
dirinya sendiri.
Pengamatan indrawi terjadi karena gerak benda-benda di luar manusia
yang menyebabkan adanya rangsangan terhadap indra manusia.
Rangsangan tersebut diteruskan ke otak, dan dari otak ke jantung. Di dalam
jantung timbullah reaksi tertentu yang merespons pengamatan tersebut.
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya yang
berjudul "Leviathan“. Leviathan adalah nama binatang di dalam mitologi
Timur Tengah yang amat buas.
Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu sistem
negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh
semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat
mengalami ketertiban dan kebahagiaan.
Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat
bahwa seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan
diri atau takut akan kehilangan nyawa.
Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab
pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa
takut mati mereka. Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat
mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat
terjamin.
Karena itu, negara haruslah menekankan rasa takut mati dari warga
negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.
Tulisan-tulisan Hobbes, khususnya "Leviathan", sangat mempengaruhi
seluruh filsafat politik dan filsafat moral di Inggris pada masa-masa
selanjutnya.
Di Eropa Daratan, Hobbes juga membawa pengaruh kuat. Salah satu
filsuf besar yang dipengaruhi Hobbes adalah Baruch Spinoza. Spinoza
dipengaruhi Hobbes di dalam pandangan-pandangan politik dan juga
bagaimana berhubungan dengan Alkitab.
Hobbes juga merupakan salah seorang filsuf, jika bukan yang pertama, yang
amat berpengaruh dalam perdebatan antara kehendak bebas dan
determinisme.
Selain itu, ia juga merupakan salah satu filsuf bahasa yang paling
penting karena ia berpandangan bahwa bahasa bukan hanya digunakan
untuk menjelaskan dunia, tetapi juga untuk menunjukkan perilaku-perilaku
dan juga untuk mengikat janji dan kontrak.
Kemudian Hobbes juga berpengaruh di dalam studi kontraktarianisme.
Kontraktarianisme merupakan bagian dari teori-teori moral dan politik yang
menggunakan ide teori kontrak sosial.
Hobbes merupakan salah satu filsuf kontrak sosial tradisional yang
menggunakan ide kontrak sosial untuk menegaskan peran negara. Di sini,
Hobbes merupakan pionir dari salah satu dari dua argumen moral tentang
kontrak sosial yang ada.
Satu jenis argumen moral tentang kontrak sosial lainnya diberikan oleh
Immanuel Kant. Hobbes pernah menjadi sekretaris dari Bacon

Filsafat Modern
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan
ada beda pendapat.
Rasionalisme ,sumber pengertahuan = rasio
Empirisme, sumber pengetahuan = pengalaman (Batin dan indrawi).
Kritisisme, memadukan kedua pendapat tsb.

1. René Descartes
ʀəˈne deˈkaʀt; lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – meninggal
di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun), juga dikenal
sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, merupakan
seorang filsuf dan matematikawan Perancis.
Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak
Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan
berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf
kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang
sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal
pada Eropa abad ke-17 dan 18.
Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena
pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti,
kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.
Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan
Meditationes de prima Philosophia (1641).
Tokoh rasionalisme ini beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan
ada dalam pikiran. Dalam buku Discours de la méthode ia menegaskan
perlunya metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan,
yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau sesuatu
kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran
itu 100% pasti menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Namun dalam kesangsian itu ternyata ada satu hal yang tidak dapat
diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan
bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari
bahwa aku menyangsikan adanya.
Dengan kata lain, kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku.
Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah
kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.
Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas dan
terpilah-pilah” – “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas
dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi
norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan yang sudah ada
sejak lahir, (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res
extensa,”extention) atau materi, (3) Tuhan (sebagai wujud yang seluruhnya
sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu).
Pikiran = kesadaran. Tidak mengambil ruang ruang dan tidak dapat dibagi-
bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil
tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tidak memiliki kesadaran. Kedua substansi
berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung
kepada apa pun.
Descartes adalah seorang dualis, yang menerapkan pembagian tegas
antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya
sedangkan binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki
badan seperti binatang dan memiliki pikiran seperti malaikat.
Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia
adalah mesin otomat yang sempurna karena dari pikirannya ia memiliki
kecerdasan.
Dalam karyanya yang termasyhur, Discours de la méthode , diajukan 6
bagian penting berikut:
1) Menjelaskan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan menyebutkan akal
sehat (Common-sense) yang pada umumnya dimiliki semua orang. Menurut
Descartes, akal sehat ada yang kurang, ada pula yang lebih banyak
memilikinya, namun yang terpenting adalah penerapannya dalam aktivitas
ilmiah. Metode yang ia coba temukan itu merupakan upaya untuk
mengarahkan nalarnya sendiri secara optimal. Baginya pengetahuan budaya
itu tetap kabur, pengetahuan bahasa memang berguna, puisi itu memang
indah tapi memerlukan bakat. Ia lebih tertarik pada bidang matematika yang
dianggap belum dimanfaatkan secara optimal kemungkinannya yang
cemerlang.
Filsafat bagi Descartes rancu dengan gagasan yang acapkali sering
bertentangan, oleh karena itu perlu dibenahi.
2) Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan
dipergunakan dlm aktivitas ilmiah. Bagi Decartes, sesuatu yang dikerjakan
oleh satu orang lebih sempurna dari pada yang dikerjakan oleh sekelompok
orang secara patungan. Dalam hal ini, Descartes mengajukan 4 langkah atau
aturan yg dapat mendukung metode yg dimaksud sbb:
Pertama, jangan pernah menerima pengetahuan dan informasi
sebagai kebenaran jika anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas
mengenai kebenarannya. Maksudnya, hindari kesimpulan yang tergesa-gesa
sampai anda meneliti sendiri dan dapat menemukan kebenaran yang tidak
dapat diragukan lagi kebenarannya.
Kedua, pilah-pilah tiap kesulitan yang anda rasakan menjadi bagian-
bagian sebanyak mungkin. Kemudian kelompokkan tingkat kesulitan tersebut
mulai yang teringan sampai yang terberat.
Ketiga, pecahkan tingkat kesulitan tersebut dimulai dari tingkat yang
paling ringan, sederhana, dan mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi
sedikit ke kesulitan yang paling berat dan kompleks.
Keempat, buatlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap
mungkin dan tinjau ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa
pasti tidak sesuatu pun yang ketinggalan.
Langkah-langkah Descartes tersebut menggambarkan suatu sikap
skeptis-metodis dalam upaya memperoleh kebenaran yang pasti. Karena
itulah metode filsafat Descartes sering juga disebut metode skeptis, artinya
meragukan segala sesuatu sebelum ditemukan kebenaran yg pasti.

3) Menyebutkan beberapa kaidah mora yang menjadi landasan bagi


penerapan metode sebagai berikut:
a. Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil
berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-
kanak.
b. Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang
paling menyakinkan maupun yang paling meragukan.
c. Berusaha lebih mengubah diri sendiri dari pada merombak
tatanan dunia.

4) Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acap terkecoh oleh indra.


Kita memang membayangkan diri kita tidak bertubuh, namun kita tidak dapat
membayangkan diri kita tidak bereksistensi, karena terbukti kita dapat
menyangsikan kebenaran pendapat lain. Oleh karena itu, kita dapat saja
meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin meragukan diri kita
sendiri yang sedang dalam keadaan ragu-ragu, Cogito ergo sum.

5) Menegaskan perihal dualismen dalam diri manusia yang terdiri atas dua
substansi, yaitu res cogitans (jiwa bernalar), dan res extensa (jasmani yang
meluas). Tubuh (res extansa) diibaratkan dengan mesin, yang tentunya
karena ciptaan Tuhan maka tertata dengan baik. Ketergantungan antara dua
kodrat ialah bahwa jiwa bernalar dan kodrat jasmani, jiwa secara kodrati tidak
mungkin mati bersama dengan tubuh. Jiwa manusia itu abadi.

6) Dia jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan spekulatif dan pengetahuan


praktis. Pengetahuan praktis terkait dengan objek-objek konkret seperti api,
air, udara, planet, dan lain-lain; sedang pengetahuan spekulatif menyangkut
hal-hal yang bersifat filosofis. Berkat kedua pengetahuan inilah manusia
menjadi penguasa alam.

2. Baruch de Spinoza
(24 November 1632 – 21 Februari 1677) (Bahasa Ibrani: ‫)ברוך שפינוזה‬
adalah filsuf keturunan Yahudi-Portugis berbahasa Spanyol yang lahir dan
besar di Belanda. Pikiran-pikirannya berakar dalam tradisi Yudaisme.
Spinoza adalah satu filsuf istimewa yang tidak hanya percaya apa
yang dikatakanya, tetapi juga bertindak sesuai dengannya.Bahkan ia menolak
jabatan filsafat di Heidelberg karena itu merupakan posisi resmi, dan bahwa
hal itu berarti menerima ide-ide dan pembatasan-pembatasan resmi.
Dari segala sisi ia adalah orang yang jujur, terhormat, dan sopan.
Tentu saja hal ini menyebabkan ia diserang hampir oleh setiap orang, bahkan
setelah ia mati
Seperti Descartes Spinoza yakin bahwa dengan mengikuti metode
geometri, kita dapat menghasilkan pengetahuan yang tepat mengenai dunia
nyata. Namun, keyakinannya lebih jauh dari pada Descartes; ia berusaha
untuk menyusun FILSAFAT GEOMETRI.
Pandangan Spinoza mengenai substansi tunggal merupakan
tanggapannya atas pemikiran Descartes tentang masalah substansi dan
hubungan antara jiwa dan tubuh.
Pertama-tama, Spinoza merumuskan pemikirannya tersebut dengan
memberikan pengertian pada 'substansi'. menurutnya, substansi adalah
sesuatu yang berada di dalam dirinya sendiri. Spinoza menyatakan bahwa
keberadaan substansi dalam dirinya sendiri juga berarti substansi memikirkan
dirinya sendiri.
Karya utama Spinoza adalah Ethics. Secara umum, buku Spinoza
tersebut menggunakan metode Cartesian dan berusaha membuat Hipotesis
mengenai kehidupan ini bahwa ada dan hanya satu substansi dengan banyak
sifat yang tak terbatas jumlahnya. Dalam konteks ini manusia dan Tuhan
adalah satu substansi meski berbeda. Inilah yang membuat sebagian orang
bisa menerima tapi tidak sedikit yang mampu memahami pikiran Spinoza
karena memang agak membingungkan.
Spinoza menyuburkan pemakaian pengertian sebab Aristoteles dan
pengertian istimewa yang ditetapkan tentang Tuhan, khsusunya tentang
penyebab didinya atau causa sui.
Para skolastik telah memakai pengertian ini dalam bukti kosmologis dan
dapat diduga Spinoza mereproduksi versi bukti tersebut. Namun demikian
Spinosa memiliki sesuatu yang lain dalam benaknya, dan itu
merupakan determinisme. Yakni, klaim bahwa dari suatu sebab yang telah
ditentukan akibat menyusul secara niscaya. Tetapi determinisme Spinoza
tidak berkaitan langsung dengan ilmu secara khusus namun lebih tepatnya
dengan apa yang barang kali dianggap sebagai nasib.
Karya Ethics Spinoza yang terakhir mengulas masalah emosi. Banyak
komentator yang meninggalkannya, karena tidak menambah kerangka kerja
metafisik yang telaj ditetapkan di buku keduanya.
Spinoza dalam buku tersebut tidak beda pendapat dengan apa yang
disebut dengan apatheia, ketidakpedulian. Diskusi moral dalam buku tersebut
sangat penting dan memberi kontribusi bagi khazanah filsafat.
Karya-karyanya
• Renati Descartes Principiorum Philosophiae, 1663 (Prinsip Filsafat
Descartes)
• Tractatus Theologico-Politicus, 1670 (Traktat Politis-Teologis)
• Tractatus de intellectus emendatione, 1677 (Traktat tentang Perbaikan
Pemahaman)
• Ethica more geometrico demonstrata, 1677 (Etika yang dibuktikan
secara geometris)

3. Gottfried Wilhem Leibniz


Kadangkala dieja sebagai Leibnitz atau Von Leibniz (1 Juli 1646 – 14
November 1716) adalah seorang filsuf Jerman keturunan Sorbia dan berasal
dari Sachsen.
Ia terutama terkenal karena faham Théodicée bahwa manusia hidup
dalam dunia yang sebaik mungkin karena dunia ini diciptakan oleh Tuhan
Yang Sempurna. Faham Théodicée ini menjadi terkenal karena dikritik dalam
buku Candide karangan Voltaire.
Ia menyarankan pengembangan suatu bahasa universal, suatu logika
universal yg di dalamnya semua masalah dapat dipecahkan dgn perhitungan
tanpa pertumpahan darah dan rasional. Ia mempertahankan prinsip dasar
filsafatnya yg disebut dgn “prinsip cukup alasan”. Seperti Spinoza ia
berargumen bahwa tak ada yg terjadi tanpa adanya alasan. Dan semua
alasan adalah alasan-alasan Tuhan dan Tuhan menentukan alam semesta.
Selain seorang filsuf, ia adalah ilmuwan, matematikawan, diplomat, ahli
fisika, sejarawan dan doktor dalam hukum duniawi dan hukum gereja. Ia
dianggap sebagai Jiwa Universalis zamannya dan merupakan salah seorang
filsuf yang paling berpengaruh pada abad ke-17 dan ke-18.
Kontribusinya kepada subyek yang begitu luas tersebar di banyak
jurnal dan puluhan ribu surat serta naskah manuskrip yang belum semuanya
diterbitkan. Sampai sekarang masih belum ada edisi lengkap mengenai
tulisan-tulisan Leibniz dan dengan ini laporan lengkap mengenai prestasinya
belum dapat dilakukan.
L eibniz lahir di Leipzig dan meninggal dunia di Hannover.
Bersama Newton ia dikenal sebagai penemu kalkulus. Baginya filsafat adalah
hobi yang berkesinambungan.
4. John Locke
Lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72
tahun) adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama
dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke
juga dikenal sebagai filsuf negara liberal.
Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai
salah satu figur terpenting di era Pencerahan. Selain itu, Locke menandai
lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes (post-Cartesian), karena
pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan yang
dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu.
Kemudian Locke juga menekankan pentingnya pendekatan empiris
dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Tulisan-tulisan Locke tidak hanya berhubungan dengan filsafat, tetapi
juga tentang pendidikan, ekonomi, teologi, dan medis.
Karya-karya Locke yang terpenting adalah "Esai tentang Pemahaman
Manusia" (Essay Concerning Human Understanding),
Tulisan-Tulisan tentang Toleransi" (Letters of Toleration), dan "Dua
Tulisan tentang Pemerintahan" (Two Treatises of Government).
Melalui Locke, tradisi empirisme di Inggris di mulai dan berkembang ke
penjuru dunia. Filsafat Locke ini belakangan juga di bawa Voltaire ke
Perancis. Filsafat Locke selalu menyarankan bahwa semua pengetahuan
berasal dari indra. Ia juga segera diikuti oleh uskup Irlandia George Berkeley
dan filsuf Skotlandia David Hume.

5. David Hume
Lahir 26 April 1711 – meninggal 25 Agustus 1776 pada umur 65 tahun)
adalah filsuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Walaupun kebanyakan
ketertarikan karya Hume berpusat pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah
dia mendapat pengakuan dan penghormatan. Karyanya The History of
England.
Pada jaman Hume-lah aliran empirisme memuncak. Empirisme
mendasarkan pengetahuan pada pengalaman, bukan rasio. Hume memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman dapat bersifat
lahiriah (yg menyangkut dunia) dan batiniah (menyangkut pribadi manusia).
Dua hal yang dicermati Hume adalah “substansi” dan “kausalitas”.
Hume tidak menerima “substansi”. Sebab yang dialami manusia hanya
kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari
kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan langsung atas
realitas lahiriah, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan.
Contoh: jika tangan kita terbakar api, kita akan mendapatkan kesan panas
dgn segera. Dan setelah itu kita mengingat bahwa tangan terbakar akan
panas., ingatan inilah yang disebut gagasan.
Realitas masuk dalam diri kita melalui kesan. Apa yang dilihat indra
kemudian tersimpan dalam ingatan (memori) itulah kesan. Sementara hasil
ingatan mereproduksi kesan itulan gagasan.
Sama halnya dengan “kausalitas” (hubungan sebab-akibat). Jika gejala
tertentu selalu diikuti oleh gejala lainnya, dengan sendirinya kita cenderung
pada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan gejala sebelumnya.
Misalnya gelas jatuh dari atas meja, gelas itu pecah. Pikiran umum akan
menyimpulkan bahwa jatuh menyebabkan pecah. Menurut Hume kesimpulan
itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan
gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab akibat. Karena
di lain peristiwa gelas jatuh ternyata tidak pecah. Yang disebut kepastian
hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dr
“probable” (berpeluang). Hume lebih suka menyebut “urutan kejadian”

6. George W.F. Hegel.


Dilahirkan di Stuttgart pada 27 Agustus 1770. Di masa kecilnya, ia
lahap membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang
berbagai topik lainnya.
Masa kanak-kanaknya yang rajin membaca sebagian disebabkan oleh
ibunya yang luar biasa progresif yang aktif mengasuh perkembangan
intelektual anak-anaknya.
Keluarga Hegel adalah sebuah keluarga kelas menengah yang mapan
di Stuttgart. Ayahnya seorang pegawai negeri dalam administrasi
pemerintahan di Württemberg. Hegel adalah seorang anak yang sakit-sakitan
dan hampir meninggal dunia karena cacar.
Hegel dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika sebagai
metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang
dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis
(pengiyaan), antitesis (pengingkaran)dan sintesis (kesatuan kontradiksi).
Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empris indrawi.
Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata sehari-hari,
spontan, bukan reflektif, sehingga terkesan abstrak, umum, statis, dan
konseptual.
Pengingkaran adalah konsep pengertian pertama (pengiyaan)
dilawanartikan, sehingga muncul konsep pengertian kedua yang kosong,
formal, tak tentu, dan tak terbatas. Menurut Hegel, dalam konsep kedua
sesungguhnya tersimpan pengertian dari konsep yang pertama.
Konsep pemikiran kedua ini juga diterangkan secara radikal agar
kehilangan ketegasan dan mencair. Kontradiksi merupakan motor dialektika
(jalan menuju kebenaran) maka kontradiksi harus mampu membuat konsep
yang bertahan dan saling mengevaluasi.
Kesatuan kontradiksi menjadi alat untuk melengkapi dua konsep
pengertian yang saling berlawanan agar tercipta konsep baru yang lebih
ideal.
Buku pertamanya The Phenomenology of Spirit. Secara filosofis Hegel
memberi sumbangsih lebih besar melebihi Kant. Ia telah memperkaya suatu
dimensi filsafat baru bagi usaha-usaha pengembangan ilmu filsafat, yakni
tentang sejarahnya.
Hingga kini ide tentang filsafat sejarah semua filsuf belakangan
dikatakan berkiblat padanya.
Hegel menulis tentang System of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan
dan deduksi-deduksi dasar filosofis seperti “ada, menjadi, dan tiada.”

7. Immanuel Kant
Lahir:April 22, 1724 Königsberg, Kerajaan Prussia Meninggal: 12
Februari 1804 (umur 79)
Königsberg, Kerajaan Prussia Aliran/tradisi: Kantianisme, Abad Pencerahan.
Minat utama: Epistemologi, Metafisik, Etika Gagasan penting: Imperatif
kategoris, Idealisme transdental, Proposisi sintetik, Noumenon, Sapere aude,
Hipotesis nebular
Ia mempunyai keteraturan yang luar biasa, sama teraturnya dengan
menghasilkan makalah dan buku. Orang-orang di Konigsberg mencocokan
jam mereka dengan nya sewaktu ia berjalan setiap harinya.
Ia tidak menikah dan tidak pernah sakit keras. Kekecualiannya hanya
ketika ia pertama kali membaca Emile-nya Rousseau, ia tinggal di rumah
beberapa hari untuk membacanya dan orang-orang diseluruh Konigsberg
terlambat mengerjakan segala sesuatu.
Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781.
Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata
lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan
memberikan tiga pertanyaan:
• Apakah yang bisa kuketahui?
• Apakah yang harus kulakukan?
• Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan itu dijawab sebagai berikut:
Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan
panca indria. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah
peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh:
orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi
peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan
jalan.

Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah


yang memutuskan pengharapan manusia.
Ketiga pertanyaan di atas ini bisa digabung dan ditambahkan menjadi
pertanyaan keempat: “Apakah itu manusia?”
Kant membedakan bidang pengalaman dari bidang yang melampaui
pengalaman yang biasa disebut sebagai metafisik. Tuhan, kebebasan,
kekekalan misalnya, bisa dijawab tetapi bukan sebagai masalah
pengetahuan. Sebab semua itu adalah masalah akal budi, khususnya akal
budi praktis, dalil-dalil moralitas. Dalam moralitas Kant menetapkan
kewajiban-kewajiban hukum moral yang bersifat universal atau “imperatif
kategoris”
Persoalan-persoalan pengetahuan dan fondasi ilmu disajikan dalam
bukunya The Critique of Pure Reason (1781). Jika ilmu pengetahuan
terbatas pada dunia fenomena maka diluar dunia fenomena ada ruang bagi
kebebasan dan tempat yang tak terbatas bagi Tuhan. Topik itu dibukukan
dalam The Critique of Practical Reason.
Adapun karya monumental, seperti yg dijelaskan dalam The Critique of
Pure Reason, dimaksudkan untuk menjawab persoalan yang dikemukakan
Hume. Kant berpaya keras untuk menunjukkan bagaimana seseorang dapat
memadukan pandangan yang terbaik dari pihak rasionalis dan empiris.
Namun ia sendiri tidak menyetujui kedua-duanya secara total.
Solusi atas pertanyaan apa yang dapat diketahui oleh akal dan apa
yang tidak dapat diketahuinya terletak pada pengakuannya bahwa ada
perbedaan yang mendasar antara apa yang telah diterima (given) oleh akal
pikiran dalam bentuk informasi yang berserakan dari pengalaman indrawi dan
apa yang disumbangkan oleh akal pikiran sebagai usahanya untuk
menerapkan kerangka pemikiran a priori terhadap bahan material yang
berserakan tadi.
Bagi penganut realime, pengetahuan (knowledge) itu adalah hasil
penampakan dari kerangka struktur paten yang ada sebelumnya. Bagi Kant,
pengetahuan itu bukan seperti yang dipahami kaum realis, baginya
pengetahuan tidak lain adalah produk dan konstruksi akal pikiran manusia,
bukan hasil penampakan.
Dalam kajian filsafatnya Kant menolak pandangan kaum tradisionalis
yang bisa memandang isi dunia secara utuh (knowin thw world as a whole),
Tuhan (God), kebebasan, keabadian jiwa. Bagi Kant, hal-hal tersebut tidak
bisa diketahui dan ia masuk wilayah transenden dan bersifat noumenal

9. Søren Aabye Kierkegaard


Lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di
Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah
seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard
sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-
filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian
dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama
adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya
sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan
sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah
agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan
teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan
dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-
kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi
eksistensial.
Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan
berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-
karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain,
sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh
Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi
seorang pseudo-pengarang.

10. Karl Heinrich Marx


Lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – meninggal di London, 14 Maret
1883 pada umur 64 tahun) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan
teori kemasyarakatan dari Prusia.
Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi.
Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, walaupun begitu ayahnya
cenderung menjadi deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan
beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal
untuk menjadi pengacara. Herschel pun mengganti namanya menjadi
Heinrich. Saudara Herschel, Samuel — seperti juga leluhurnya— adalah rabi
kepala di Trier.
Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh
cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl Marx.
Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakannya di
kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) :” Sejarah dari
berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang
pertentangan kelas.”
Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan
komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari
sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran
proletariat(kaum paling bawah di negara Romawi)

11. Friedrich Wilhelm Nietzsche


Lahir di Röcken dekat Lützen, 15 Oktober 1844 – meninggal di
Weimar, 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun) adalah seorang filsuf Jerman
dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno. Ia merupakan
salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern yang ateistis.
Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau
dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai
"sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra).
Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya
(dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller
Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi
kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah
kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan).
Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma
kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah
filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan
nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan
(Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna
Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph)
dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20, seperti
Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti
Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah
kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan
tragedi hidup.

12. Arthur Schopenhauer


Adalah seorang filsuf Jerman yang melanjutkan tradisi filsafat pasca-
Kant. Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun 1788. Ia menempuh
pendidikan di Jerman, Perancis, dan Inggris Ia mempelajari filsafat di
Universitas Berlin dan mendapat gelar doktor di Universitas Jena pada tahun
1813. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Frankfurt, dan meninggal
dunia di sana pada tahun 1860.
Dalam perkembangan filsafat Schopenhauer, ia dipengaruhi dengan
kuat oleh Kant dan juga pandangan Buddha. Pemikiran Kant nampak di
dalam pandangan Schopenhauer tentang dunia sebagai ide dan kehendak.
Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada bidang
penampakan atau fenomena, sehingga benda-pada-dirinya-sendiri (das Ding
an sich) tidak pernah bisa diketahui manusia. Misalnya, apa yang manusia
ketahui tentang pohon bukanlah pohon itu sendiri, melainkan gagasan orang
itu tentang pohon.
Schopenhauer mengembangkan pemikiran Kant tersebut dengan
menyatakan bahwa benda-pada-dirinya-sendiri itu bisa diketahui, yakni
"kehendak".

13. Edmund Gustav Albrecht Husserl


Lahir di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April 1859 – meninggal
di Freiburg, Jerman, 26 April 1938 pada umur 79 tahun) adalah seorang filsuf
Jerman, yang dikenal sebagai bapak fenomenologi.
Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan
filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai
sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov
(Proßnitz), Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran
Austria).
Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung
dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor
(Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di
Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928.
Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan
menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang
menggunakannya - karena ia keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh
rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak
emasnya, Martin Heidegger.

Postmodernisme

A. Pengertian Postmodernisme

Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti.


1. J. Francois Loytard = pemutusan hubungan pemikiran total dari
segala pola kemodernan.
2. David Griffin = sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari
kemodernan.
3. Anthony Giddens = wajah arif kemodernan yg telah sadar diri.
4. Habernas = satu tahap dari proyek modernisme yg memang belum
selesai.
5. Tony Cliff = suatu teori yg menolak teori.

Istilah Postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de


Onis th 1930an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khsusunya
sastra Perancis dan Amerika Latin. Onis menyebut tahap modernisme awal
antara th 1896 – 1905 dan tahap postmodernisme antara th 1905 – 1914
yang ia sebut “periode intermezzo” atau pertengahan, dan modernitas yg
lebih tinggi kualitasnya.
Th 1947 sejarawan Arnold Toynbee memakai istilah postmodernisme
dalam buku A study of History. Bagi Toynbee pengertian postmodernisme
adalah suatu masa yang ditandai perang, gejolak sosial, revolusi yg
menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan.
Pada tahun yg sama, Rudolf Panwitz menggunakan istilah
postmodern dalam bukunya Die Krisis de Europaischen Kultur. Dalam buku
ini Panwitz menyebut “manusia postmodern” sebagai manusia sehat, kuat,
nasionalis, dan religius yg muncul dari nihilisme Eropa. Dan Postmodernisme
adalah puncak modernisme.
Tahun 1957, Peter Drucker menulis subjudul Laporan tentang Dunia
Pascamodern dalam bukunya The Landmarks of Tomorrow. Drucker
memperkenalkan istilah postmodern untuk menyebut perkembangan baru
dalam bidang ekonomi yang sudah memasuki zaman pasca
indusri/pascakapitalis, dan revolusi gelombang ketiga.
Tahun 1960-an Irving Hole menulis Mass Society and Postmodern
Fiction. Hole menyebut sastra kontemporer/post modern berbeda dgn sastra
modern. Menurutnya sastra postmodern menunjukkan kemerosotan
disebabkan lemahnya para pembaru dan kekuatan penerobosnya. Baginya
sasta postmodern harus meninggalkan model modern-klasik, dan orang
bebas menangkap dan mengapresiasikan kualitas-kualitas khas dari sastra
baru. Kemudian sastra postmodern baru menunjukkan prestasinya yg penting
yaitu saat berhasil menjembatani perbedaan antara kebudayaan elite (High
culture) dengan kebudayaan masa (pop culture).
Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai kian
berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yg saling bertolak
belakang, bersamaan dengan makin terbebasnya daya-daya instingtual dan
kian membumbungnya kesenangan dan keinginan yg akhirnya membawa
logika modernisme ke kutub terjauhnya. Itu terjadi terutama melalui
intensifikasi ketegangan-ketegangan strukturan masyarakat.
Frederic Jameson mengartikan postmodernisme adalah logika
kultural yg membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia
mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dgn kapitalis monopoli, sedang
postmodernisme dgn kapitalisme pasca perang dunia kedua. Menurutnya,
postmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi
dalam jaringan global kapitalisme multinasional kini.
Jean Baudrillard beranggapan bahwa jika modernisme ditandai oleh
eksploi (komoditikasi, mekanisasi, teknologi, dan pasar), maka masyarakat
postmodern ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam), yakni peleburan
segala batas, wilayah dan perbedaan antara budaya universal dan budaya
partikular, penampilan dan kenyataan, dan beberapa posisi biner lainnya.
Kalau modernitas bisa disebut sebagai proses meningkatnya diferensiasi
bidang-bidang kehidupan beserta fragmentasi sosial dan alienasinya,
postmodernitas dapat ditafsirkan sebagai proses de-diferensiasi dan implosi
peleburan segala bidang.
Tahun 1970an di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan
postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya
The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979). Loytard
mengartikan “postmodernisme” sebagai ketidak percayaan terhadap segala
bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala
bentuk pemikiran mentotalisasi spt Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme dan
isme-isme lainnya.
Postmodernisme sambil menolak pemikiran yg totaliter, juga
“menghaluskan kepekaan terhadap kenyataan yg tak terukur.
Pemikiran Loytard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita,
khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yg disebut “narasi besar”
seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya.
Metanarasi itu, menurut Loytard, telah mengalami nasib yg sama dgn narasi2
besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaaan, keunggulan Barat, dll
yg sulit dipercaya.
Dengan kata lain dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi
tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu
sendiri. Maka Nihilisme, anarkisme, dan pruralisme, “permainan bahasa”
pun merajalela. Yang perlu ditunjukkan sekarang adalah kepekaan baru
terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk
totaliterisme.
Dengan pandangan seperti itu Loytard membawa istilah
“postmodernisme” ke dalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu
segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik,
fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentifikasi dengan
“postmodern”.
Oleh sebab itu istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu
pengtahuan memang ambigu; ia menjadi istilah yg memayungi hampir segala
bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda.
Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk
refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika
pada umumnya”

B. Konteks Sosial yg melahirkan: “Penyimpangan” Modernisme


Munculnya pasca-modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme
itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap, dan
progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, karena modernisme berkaitan dgn
bentuk-bentuk kebudayaan yg ditandai dengan rasionalisme, positivisme,
empirisme, industri dan kecanggihan teknologi.
Dgn ciri-cirinya tersebut modernisme menyuguhkan suatu keadaan yg
selalu berubah dan tidak pasti. Modernisme selalu menjanjikan kepada kita
untuk membawa perubahan ke dunia yg lebih mapan dimana urusan materi
atau kebutuhan jasmani akan terpenuhi, tidak akan ada lagi kelaparan atau
kekurangan material, itulah janjinya.
Teknologi akan membawa kita kepada kehidupan serba mudah, cepat
dan lebih baik. John Naisbitt dalam bukunya High Tech High Touch
mengatakan, teknologi tak henti-hentinya menawarkan penyelesaian kilat.
Teknologi berikrar akan membuat kehidupan menjadi lebih baik, membuat
kita lebih pintar, meningkatkan kinerja kita, dan membuat kita bahagia.
Rasionalitas – hasil pencerahan akal budi- akan membantu kita
mengahadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yg tak
berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dlm menghadapi dunia ini.
Barker menjelaskan bahwa akal dapat mendemistifikasi dan
menyingkap dunia, mengalahkan agama, mitos dan takyahul.
Dalam filsafat dan wacana teoretis mengenai modernitas, “akal” dinobatkan
sebagai sumber kemajuan dalam pengetahuan dan masyarakat. Disini tugas
filsafat pencerahan adalah berupaya mencari kebenaran universal, yakni
prinsip-prinsip pengetahuan yg berlaku pada waktu, tempat, dan budaya
manapun. Peran pemikiran pencerahan bagi kemajuan hidup manusia adalah
mendorong perkembangan ilmu-ilmu , pendidikan universal, kebebasan
politik, dan keadilan”.
Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yg menyebabkan
kehidupan manusia kehilangan orientasi (disorientasi). Para pemikir, spt Max
Horkheimer, Adono, dan Herbert Marcuse – yang tergabung dalam Mazhab
Frankfurt, mengkritik bahwa pencerahan bukannya melahirkan kemajuan,
tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi.
Akal mengarah bukan pada pemenuhan kebutuhan material atau
pencerahan filosofis, melainkan pada kontrol dan perusakan. Teori kritis ingin
membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern.
Sisi gelap modernisme menurut Anthony Giddens dalam The
consequences of Modernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya
petaka bagi umat manusia.
Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa.
Kedua, Penindasan oleh yang kuat atas yg lemah.
Ketiga, ketimpangan sosial yg kian parah.
Keempat, kerusakan lingkungan hidup yg kian menghawatirkan.
Produk akhir yg menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh:
Pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kopetisi tiada akhir
akan pertarungan pasar.
Kedua, industrialisme yg menyaratkan inovasi tiada henti untuk
memenangkan persaingan pasar bebas.
Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban tugas
minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yg aman, rukun damai dan
adil.
Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk memiliki dan
menguasai hal-hal material Aturan main utama adl survival of the
fittest, atau dalam skala besar:persingan pasar bebas.
Kelima, militerisme. Kekuasaan yg menekankan dengan ancaman
kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia.
Keenam, bangkitnya kembali Tribalisme, atau mentalitas yg
mengunggulkan suku atau kelompok sendiri.
Thomas Hunt dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution
(1962), mengatakan bahwa pada masa tertentu ilmu normal (normal science)
mendominasi aktivitas ilmiah. Tetapi seiring dengan perkembangan dan
perubahan, ilmu normal tidak dapat lagi menjelaskan perkembangan yg
terjadi. Inilah yg kemudian melahirkan krisis ilmu pengetahuan. Krisis ini
menjadi cikal bakal terjadinya revolusi ilmiah.
Menurut Kuhn revolusi ini pertama-tama menyentuh wilayah
paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi
atau praktik ilmiah konkret.
Krisis metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-
tahapnya sbb:
Tahap 1 , paradigma ilmiah membimbing dan mengarahkan aktivitas
ilmiah dalam masa ilmu normal (normal sicience). Di sini ilmuan
menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai metode ilmiah.
Selama menjalankan aktivitas ini, para ilmuwan menjumpai berbagai
fenomena yg tidak dapat dijelaskan dengan paradigma yg digunakan,
yg dinamakan anomali atau krisis. Anomali adalah suatu keadaan yg
memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara (fenomena) dgn
paradigma yg dipakai.
Tahap 2, Menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan
para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan
dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap 3, para ilmuwan bisa kembali lagi pada caa-cara ilmiah yg lama
sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma
tandingan yg dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing
aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke
paradigma baru inilah yg dinamakan revolusi ilmiah
Skema ke tiga tahap tersebut sbb:
Paradigma 1 Anomali/krisis Paradigma 2
Normal science Krisis Revolusi ilmiah

C. Filsuf Awal Posmodernisme


Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme
sebenarnya dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813 -1855),
yg menentang rekonstruksi-rekonstruksi nasional dan masuk akal yang
menentukan keabsahan kebenaran ilmu.
Kriteria yg berlaku pada dunia modern adalah yg rasional dam
objektif. Kierkegaard justru berpendapat sebaliknya, bahwa kebenaran itu
bersifat subjektif, “truth is subjectivity”. Pendapat tentang “kebenaran
subjektif” ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yg dialami
oleh individu-individu.
Horkheimer dan Adorno mengungkapkan dilema rasionalitas dengan
pernyataan seperi ini: “Akal pencerahan telah mengubah rasionalitas menjadi
irasionalitas dan penipuan karena ia memberangus cara-cara berpikir yang
lain dan mengaku sebagai satu-satunya dasar kebenaran.
Bukan efek pencerahan yang diragukan, tetapi juga klaim terhadap
kebenaran yg bersifat universal pun ditolak. Misalnya Nietzsche tidak ragu-
ragu dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan terhadap adanya
pengetahuan murni tidak dapat diterima karena akal dan kebenaran tak lebih
dari sesuatu yg cocok bagi suatu ras dan spesies tertentu.
Di sini Nietzsche (1844-1900) jelas menolak pengetahuan yg
mengandung kebenaran yg berlaku bagi siapa saja, dimana saja, dan kapan
saja, karena pengetahuan itu bukan persoalan penemuan sejati, melainkan
perkara konstruksi interpretasi-interpretasi tentang dunia yg dianggap benar.
Kebenaran juga bukan merupakan sekumpulan fakta karena yg mungkin
dilakukan hanyalah interpretasi dan dunia bisa diinterpretasikan dalam cara-
cara yg tak terbatas jumlahnya”.
Keraguan Nietzsche untuk mengakui universalitas pengetahuan dapat
kita telusuri ke masa sebelumnya sampai pada kaum skeptis. Kaum skeptis,
misalnya kaum sophis, memang menolak adanya pengetahuan universal.
Bagi mereka, “Man is the measure of all things” (manusia norma dari
segala sesuatu). Baik dan jahat, cantik dan buruk tergantung pada
kebutuhan, kondisi, kepribadian orang tersebut. Tak ada norma umum untuk
menentukan itu. Jadi sering kali fakta dijadikan bukti atas kepastian suatu
pengetahuan, namun Keyakinan kaum skeptis tetap tak tergoyahkan
karena mereka tetap meragukan cara kita tahu bahwa bukti itu benar
dan bukan hanya tipuan. Intinya, secara radikal kaum skeptis menolak
adanya pengetahuan. Demikian juga dgn Nietzche yg menolak akal
pencerahan dan pengetahuan universal.
Lewat tulisan2nya, Nietzsche menaruh perhatian besar terhadap
kebudayaan modernitas. Pandangan Nietzsche terhadap kebudayaan
modern bersifat reduksionis. Modern atau modernitas dipandangnya sebagai
musuh bagi kehidupan dan insting2 semenjak zaman renaisance dan
selanjutnya, dipengaruhi oleh kekuatan2 seperti pencerahan, romantisme,
demikrasi, utilitarianisme, ilmu pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-
kekuatan tsb merupakan suatu domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yg
kian universalistik.
Dampaknya adalah berupa suatu kebudayaan yg kehilangan
keyakinan akan kemampuannya sendiri untuk mencipta dan menilai,
suatu kebudayaan nihilisme Eropa di penghujung abad ini. Neitzsche
melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di mana
tipe-tipe tinggi dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan
sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.
Pembahasan Nietzche yg paling tajam terhadap nihilisme modern
terdapat dalam catatan-catatannya yg sebagian diungkapkan dalam buku
The Will to Power (Kehendak untuk berkuasa, 1901).
Menurut Nietzsche, nihilisme adalah kondisi dimana “nilai-nilai tertinggi
mendevaluasi dirinya sendiri”. Sebagaimana dipaparkan Nietsche dalam
Thus Spake Zarathustra, dalam kaitannya dg kebudayaan Barat, pertama-
tama ini berarti Tuhan telah mati. Singkatnya, nihilisme tak lain adalah
“kondisi postmodern”, yakni berakhirnya segala metanarasi.
Nietzsche memaklumkan situasi ini dg berteriak-teriak: “Tuhan sudah
mati! Kita telah membunuhnya”. Ucapan yg kemudian menjadi termasyhur ini
dipakai Nietzsche untuk mengawali perang melawan setiap bentuk jaminan
kepastian yg sudah mulai pudar. Jaminan kepastian pertama adalah Tuhan
sebagaimana diwariskan oleh Kristen.
Jaminan-jaminan kepastian lannya, menurut Nietzsche adalah model-
model Tuhan seperti ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah,
dan kemajuan. Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian
itu, Nietzsche cukup mengatakan dgn kalimat”Tuhan sudah mati”. Dengan
kata lain, paradigma seluruh krisis adalah “Tuhan sudah mati”.
Dengan memproklamirkan “Tuhan telah mati”, Nietzsche
berpandangan tidak ada kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari
segala makna absolut yg menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri
harus menciptakan dunia dan memberinya nilai, yakni nilai yg tidak
mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral.
Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut,
manusia harus meninggalkannya. Nietzsche mengibaratkan, kalau sampan
kita sudah aus dan tak dapat lagi digunakan untuk berlayar, sampan itu harus
dihancurkan dan diganti dengan sampan yg baru. Menurut Nietzsche, hanya
dengan cara ini kita dapat bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu.

Edmund Husserl (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting


perintis postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology,
Husserls mencoba mengatasi persoalan “subjek-objek” dengan cara
membongkar secara efektif paham tentang “subjek epistemologis” dan “dunia
objektif”. Sejak saat itu, persoalan epistemologi dan juga tentang “ilmu” dan
“keilmiahan” terus menerus dipertanyakan.
Dalam pencarian ini Husserl menemukan fondasi absolut pengetahuan
yg murni, yakni subjektivitas transenden. Subjektivitas transendental, menurut
Husserl, terletak pada Lebenswelt, yakni aliran kehidupan langsung sebelum
terefleksikan, lapisan dasar yg kemudian memunculkan tematisasi dan
teoretisasi ilmiah. Dengan demikian, yang disebut dengan “dunia objektif”
sebetulnya hanyalah penafsiran tertentu saja atas dunia pengalaman hidup
sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi dan mendahului kategori-kategori
objektivistik maupun subjektivistik
Gagasan Husserl tentang “dunia-hidup” tadi menggerogoti klaim-klaim
ilmu dan keilmiahan yg seolah tak tergoyahkan. Metode ilmiah yg
dirancangsebagai hasil dari rasionalitas proyek pencerahan (The
Enlightenment Project) yang dibanggakan dan diharapkan dapat mengatasi
persoalan manusia dan menghantarkannya ke kehidupan yg diidam-idamkan,
terus dilucuti satu per satu sehingga keterbatasan-keterbatasan metode
ilmiah berhasil ditemukan. Penerus-penerus Husserl berhasil menemukan
lebih dari yg terpikirkan olehnya.
Di samping Kierkegaard, Nietzsche, dan Husserl, Martin Heidegger
(1889-1976) juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger
sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia adalah
segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau mahluk yg kerjanya
memikirkan dan merumuskan hal-ikhwal; tetapi manusia adalah dasein, ia
“ada dalam dunia”. Hubungan manusia dgn kenyataan tidak semata-mata
hubungan intelektual, subjek memahami objek.
Kontribusi pemikiran Heidegger bagi postmodernisme adalah langkah
awalnya membongkar tradisi filsafat Barat yang pada dasarnya berpuncak
pada filsafat modern. Universalime, representasionalis me, dualisme, dan
dialektika adalah pilar-pilar filsafat modern yg dirobohkan Heidegger.
Robohnya pilar-pilar itu membuka pintu bagi lahirnya “pemikiran lain”
yg terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan, moral, sejarah, dan
politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapatkan penghargaan tersendiri.
Kalaupun ingin mendapat patokan universal, jalan yg dilalui harus melalui
konsensus.
Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran tp percakapan.
Fokus filsafat Heidegger terletak pada dua tema.
Pertama, Heidegger memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme, yakni
penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan perbedaan antara subjek dan objek.
Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar adalah pencarian terhadap
autentisitas, atau apa yg mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai “kepunyaan
sendiri”, yang dapat dimengerti dg penjelasan tertentu, sebagai keutuhan.
Pencarian terhadap autentisitas ini akan membawa kita ke
dalampersoalan-persoalan abadi tentang hakikat diri dan arti kehidupan.
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum dapat dipahami sebagai
gerakan untuk menuntut agar narasi-narasi universal atau metanaratif
memberi jalan pada lokalitas. Setiap pengetahuan memiliki ruang
kompetensinya sendiri.
Penolakan thd klaim totalitarianisme, menghadikan pencerahan dalam
pemikiran postmodernisme, seperti muncul konsepsi heterogenitas,
perbedaan, budaya lokal, etnis, ras, the Others, kelompok tertindas dan
terpinggirkan , dll.

D. Teoretisi Postmodernisme
1. Fracois Lyotard (1924 – 1998)
2. Michel Foucault (1926 – 1984)
3. Jacques Derrida (1930 – 2004)
4. Richard Rorty ( 1931 – 2007)
5. Jean Baudrillard (1929 – 2007)
6. Frederic Jameson ( 1934)

Jean Francois Lyotard ( 1928-1998).


Teori postmodern semakin jelas setelah Lyotard tahun 1979 menulis
dalam bahasa Inggris dengan judul The Postmodern Condition. Sebagaimana
tokoh-tokoh lain postmodern, Lyotard juga menolak gagasan  tentang narasi
besar atau metanarative. Ia juga dimasukkan sebagai pemikir epistimologi
postmodernis.  
Sejak awal Lyotard menganggap dirinya sebagai postmodernis,
Lyotard juga mengutip Nietzsche, dalam bukunya The Grey
Science (1882),  yang menganggap narasi besar peradaban Barat telah
ambruk saat itu.
Sependapat dengan filsafat pesimistis Frederich Nietzsche, menurut
Lyotard dasar-dasar esensialis dari semua grand narrative  tidak bisa
dipercaya lagi. Secara umum semua narasi adalah permainan bahasa
belaka.   Postmodern menurutnya adalah upaya memerangi totalitas, dan
menghidupkan perbedaan. 
Postmodern menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoretis
yang berbeda-beda. Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata
menjadi alat penguasa, tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap
pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk
bertoleransi.
Inti pandangan Lyotard perihal postmodernism dikarakterisasikan
dengan keunggulan narasi besar. Namun, kebanyakan proyek dari narasi
besar gagal. Dia mencontohkan Nasionalisme Nazi dan Komunisme yang
telah runtuh, Lyotard merasa kini saatnya menciptakan ”perang" atas
perspektif totalistik semacam itu.
Penjelasan pemahaman Lyotard tentang narasi besar berdasarkan
idenya mengenai hubungan antara narasi dan sains, tetapi keduanya
dianggap seperti aliran Wittgenstein sebagai ”permainan bahasa”. Hubungan
sosial dipahami seperti permainan yang memerlukan bahasa untuk bisa ambil
bagian.  ”Permainan bahasa adalah relasi minimum yang diperlukan bagi
keberadaan masyarakat".
Narasi dan sains adalah bentuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
secara luas didefinisikan untuk memasukkan pernyataan-pernyataan denotatif
seperti know how, knowing how to live, how to listen, dan lain-lain..
Sains sebaliknya hanya menerima  pernyataan-pernyataan denotatif. Dalam
arti kata, ia hanya ”nilai kebenaran” yang
menentukan acceptability pernyataan-pernyataan sains.
Tidak sama dengan narasi, sains bukan sebuah arah dan komponen
bagian ikatan sosial. Bahkan ada perbedaan di sana-sini antara narasi dan
sains, tidak bisa dipungkiri, bahwa keduanya adalah permainan bahasa, dan
salah satunya memerlukan yang lain.
Meskipun narasi besar menimbulkan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki,  Lyotard tidak memandang hal itu sesuatu yang jelek. Dengan
kemunduran (the decline) narasi besar, legitimasi menjadi plural, lokal dan
imanen akan selalu menjadi diskursus legitimasi.
Lyotard berharap peran bagi sains postmodern tidak hanya
memfokuskan pada performitifitas determinisme. Melainkan  melakukan apa
yang disebut paralogy, atau meneliti dan menciptakan counterexamples,
dalam arti lain, menciptakan sesuatu yang tidak dapat dipahami
(unintellegible), mendukung suatu argumen berarti mencari sebuah paradoks
dan melegitimasinya dengan aturan baru menurut permainan nalar (the
games of reasoning).
            Paralogy dan counterexamples merupakan key word yang
ditawarkan oleh Lyotard, yaitu Ilmu pengetahuan postmodern tidak menjadi
alat penguasa, tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang
berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi di dalam
kehidupan yang makin multikultur.

Michel Foucault (1926-1984)


Teoritisi yang masuk sebagai pemikir Utama Postmodern adalah
mereka yang dalam pemikirannya selain menentang narasi besar, juga sudah
menggunakan istilah post modern untuk menandai pemikirannya. Salah satu
yang bisa dikatagorikan itu adalah Michel Foucault, teoritisi Perancis yang
merupakan tokoh penting postrukturalis sekaligus juga postmodernis. Dalam
buku The Order of Things (1964-65), Foucault mengakui,  bahwa Nietzsce
adalah pendiri filsafat skeptis  yang unik, yang oleh masyarakat masa kini
disebut postmodernisme.  
Sementara dalam buku yang lain Discipline and Punish, The Birth of
the Prison (1979), Foucault  menganggap kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh
Negara, beberapa kelompok memiliki jenis kekuasaan tertentu. Melalui
wacana (discourse) mereka mengontrol pemikiran, keyakinan dan tindakan
individu lain. Discourse ini menjadi key word yang dibahas dan ditawarkan
dalam pemikiran Foucault. 
Menurutnya masyarakat menjadi subyek-subyek yang diciptakan oleh
sistem dan jaringan kekuasaan yang biasanya tidak disadari sama sekali oleh
sang subyek. Menurut Foucault, kekuasaan menciptakan pengetahuan,
pengetahuan dan kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu
sama lain.  
Metafor utama Foucault adalah bahwa masyarakat itu mirip
“Panoptikon”, suatu penjara dimana semua orang di dalamnya bisa diawasi
terus menerus.  Filsafat Foucault jelas tampak relevan bagi zaman informasi
sekarang ini, dimana pengetahuan dan kekuasaan kedua-duanya sama-sama
belaka.
Dalam tema yang lebih spesifik geneologi kekuasaan, Foucault
mengupas bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung
berdampak pada yang lain. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa
pembentukan bidang ilmu pengetahuan, sebaliknya, pada saat yang sama,
tidak ada ilmu pengetahuan yang  tidak mengisyaratkan dan merupakan
hubungan kekuasaan.
Foucault, dalam "Discipline and Punish, The Birth of The Prison" (1979), di
dalamnya membahas tentang wacana (discourse). Wacana dapat dideteksi
secara sistematis sebagai suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup,
yang dibentuk dalam suatu konteks tertentu, sehingga mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak tertentu. 
Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu
yang menimbulkan efek kuasa. Kekuasaan dalam pandangan Foucault
disalurkan melalui hubungan sosial, dimana katagorisasi perilaku sebagai
baik atau buruk diproduksi, yang pada akhirnya dipakai sebagai pengendali
perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat
langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur,
aturan, tatacara dan sebagainya.
Menurut Foucault masih dalam ”Discipline and Punish, The Birth of
The Prison" (1979), kapitalisme mempunyai kecenderungan mengontrol
negara tetapi dengan cara yang halus, yaitu dengan cara mengontrol
pengetahuan, wacana dan membuat definisi apa-apa yang dianggap baik dan
benar. Misalnya menggunakan etika yang dianggap baik, sistem
pemerintahan yang baik dan sebagainya. Mode baru penaklukan ini adalah,
orang ditetapkan sebagai objek pengetahuan, objek wacana ilmiah.
Dalam hal ini kapitalisme untuk kepentingan kapitalisme itu sendiri
acapkali menggunakan  term demokrasi, seakan memenuhi kebutuhan
untuk  apa yang dianggap terbaik. Namun di lain waktu  kapitalisme bisa anti
demokrasi, sepanjang hal itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Bahkan menurut Foucault, demokrasi kapitalis pada kenyataannya
totalitarian.
Selain The Order of Things, dan Discipline and Punish (1979),
Foucault juga terkenal sebagai penulis yang cukup produktif, bukunya yang
terkenal antara lain The Archaeology of Knowledge and the Discourse on
Language(1969), The Birth of The Clinic (1975),  dan Hystory of
Sexuality (1980)  di samping tulisannya di berbagai Jurnal."
Foucault bersama Lyotard dan Baudrillard (kadang bersama Rorty dan
Derrida) oleh Mirchandani dikatagorikan sebagai pemikir epistimologi
postmodern yang bertentangan, atau berbeda dengan epistimologi modern.
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Foucault, Lyotard,
dan Baudrillard menentang narasi besar dan skeptis terhadap ilmu
pengetahuan modern. 
Foucault mengadopsi pemikiran Nietzsche tentang adanya hubungan
antara kekuasaan dan pengetahuan. Epistimologi postmodern juga mengkritik
representasi penggunaan bahasa yang digunakan untuk menjelaskan ilmu
pengetahuan, seakan bahasa itu bersifat netral.
Postmodern juga keberatan dengan asumsi adanya kebenaran
universal. Sedangkan kalangan sosiologi mengkritik pemikir epistimologi
postmodern  dianggap nihilisme, tidak memberikan solusi, dan malah juga
dikatakan tidak ada ide yang baru.
Perlu diingat, bahwa konsep postmodern sebagian besar bukan produk
para sosiolog, (Lyotard, Derrida, Jameson bukan sosiolog).
Jean Baudrillard  (1929 -         )
Teoritisi postmodern lain dari Eropa yang juga terkenal adalah Jean
Baudrillard. Pemikir kelahiran Reim, Perancis 29 Juli 1929 ini dikenal sebagai
tokoh yang identik dengan postmodernism dan post structuralism. Ia
menuliskan karyanya paling awal pada tahun 1960-an dengan berorientasi
pada modernisme dan kritik terhadap Marxian. 
Hingga tahun 1980-an ia belum menggunakan istilah post modernism.
Baru pada tahun 1983, Baudrillard dalam buku Simulation, melukiskan secara
tegas kehidupan post modern ditandai dengan simulasi. 
Proses simulasi mengarah pada
penciptaan simulacra atau  reproduksi objek dan atau peristiwa. Menurutnya
terjadi kekaburan antara tanda dan realitas, sehingga semakin sukar
mengenali yang asli dengan yang tiruan.  Baudrillard mencontohkan larutnya
TV ke dalam kehidupan, dan larutnya kehidupan ke dalam TV. Antara yang
nyata dengan yang tidak nyata bercampur aduk sulit dibedakan. Akhirnya
simulasilah yang mengambarkan sesuatu yang nyata, yang menjadi utama,
dan berkuasa.
Baudrillard melukiskan kehidupan postmodern ini dengan istilah hiper
reality, dimana media berhenti menjadi cermin realitas, tetapi justru menjadi
realitas itu sendiri. Apa yang ada di media itulah yang diperlakukan sebagai
realitas. Kebohongan dan distorsi yang dijajakan media kepada khalayak
adalah hiper-realitas. Awalan “hiper” berarti lebih nyata ketimbang kenyataan.
Baudrillard menggambarkan runtuhnya sekat antara kenyataan
dengan simulasi. Ini termasuk media dengan kehidupan sosial, sehingga
baginya televisi adalah dunia hiper realitas. Televisi mensimulasikan situasi
kehidupan nyata, sangat kurang merepresentasikan dunia ketimbang
menjalankan dunianya sendiri.
Apa yang nyata disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama
sekali. Kini semakin mustahil untuk membedakan yang nyata dari yang
sekadar tontonan. Dalam kehidupan nyata, kejadian-kejadian nyata semakin
mengambil ciri hiperriil. Warga negara modern tidak akan menjadi masyarakat
unggul, melainkan hanya menjadi konsumen media di dalam dunia tanda-
tanda yang tanpa penanda.
Istilah simulacra dan hyper-reality merupakan keyword dari
pemikiran Baudrillard dalam menggambarkan kehidupan postmodern dengan
peran media massanya. Pemikiran Baudrillard  yang tajam itu kemudian
dalam tradisi postmodern  dikenal sebagai teoritisi radikal.
Komentar-komentarnya pada isu-isu internasional dinilai amat kritis,
yang kadang bertentangan dengan opini umum masyarakat Barat. Misalnya
komenter Baudrillard mengenai Perang Teluk, dan serangan Teroris pada 11
September 2001 di gedung WTC di New York, menunjukkan kekritisannya. 
Untuk kasus WTC di koran Perancis Le Monde dia mengatakan;
"That we have dreamed of this event," that everybody without exception has
dreamt of it, because everybody must dream of the destruction of any power
hegemonic to that degree, — this is unacceptable for Western moral
conscience, but it is still a fact, and one which is justly measured by the
pathetic violence of all those discourses which attempt to erase it. It is almost
they who did it, but we who wanted it. If one does not take that into account,
the event lost all symbolic dimension to become a pure accident, an act
purely arbitrary, the murderous fantasy of a few fanatics, who would need
only to be suppressed. But we know very well that this is not so. Thus all
those delirious, counter-phobic exorcisms: because evil is there, everywhere
as an obscure object of desire. Without this deep complicity, the event would
not have had such repercussions, and without doubt, terrorists know that in
their symbolic strategy they can count on this unavowable complicity."
Selain Simulation, Baudrillard  juga menulis buku For Critique of the
Political Economy of The Sign (1981). Selain itu ia juga menulis buku yang
berjudul America (1988). Buku itu merupakan buah dari kunjungan dan
pengamatan Baudrillard ke negara Paman Sam itu. Dalam buku America,
Baudrillard memandang Amerika sebagai rumah masyarakat konsumen.
Amerika adalah Hiperrealitas dan Simulakrum yang sempurna.
Sedangkan Eropa dianggap sebagai saksi mata suatu trend tetap bekenaan
dengan model Amerika. Bagi Baudrillard tidak ada masa lalu dan tidak ada
kebenaran di Amerika. Ia hidup dalam simulakra yang terus menerus, dalam
tanda sekarang yang tidak berkesudahan. Amerika adalah sebuah dunia
citraan yang sederhana yang kelihatannya diciptakan di layar pikiran. Dimana
kehidupan adalah sinema. Yang asli adalah sesuatu seperti Disneyland dan
televisi.
Menurut Baudrillard (sebagaimana dikutip oleh Umberto Eco dan
Huxtable), dikatakan  bahwa yang tidak riil (unriel), menjadi realitas …yang riil
kini meniru imitasi. Misalnya, Disney World jelas jelas simulasi dan tidak riil,
telah menjadi model bukan hanya untuk kota-kota selebrasi Disney, tetapi
juga untuk banyak komunitas lain di Amerika Serikat. Seaside, Florida,
Kentlands, Maryland, adalah contoh komunitas populer yang mencoba
menyamai kota kecil artificial (ersatz) Amerika yang dibuat oleh Disney World.
Sebenarnya Baudrillard sangat dipengaruhi perpektif Marxian yang
menitik beratkan pada persoalan ekonomi. Hanya saja saat menulis The
Mirror of Production (Baudrillard 1973/1975), Ia mencoba memutuskan
hubungan yang radikal dengan Teori Marx dan Marxian, dengan malah
melakukan kritik terhadap Marx. Menurut Baudrillard Marx dianggap justru
menolong sistem kapitalis, membantu kelicikan para kapitalis. Marx
melakukan kritik radikal tentang ekonomi politik, tetapi  masih dalam bentuk
ekonomi politik.
Baudrillard akhirnya tidak mempercayai Marx, termasuk konsep
revolusi sosialnya. Popularitas pemikiran Baudrillard mengundang banyak
sarjana untuk menulis tentang dirinya. Tercatat nama-nama seperti Mike
Gane, Gary Genosko, Ben Agger, George Ritzer dan masih banyak yang lain.
Sebagian besar tertarik dan terpengaruh pemikiran Baudrillard. Bahkan
Mirchandani (2005) memasukkan pemikiran Baudrillard sebagai teoritisi
epistimologi postmodern bersama Foucault dan Lyotard. Tapi walau demikian
ada pula yang mengkritiknya. Karena Baudrillard menganggap kebenaran itu
tidak ada, lalu sebenarnya  apa yang diperjuangkan oleh Baudrillard?
Bukankah berarti dia bukan teoritisi, sebab teoritisi senantiasa
mencoba mencari kebenaran, bukan sekadar bermain logika provokatif?
Demikian kritikan Mike Gane terhadap Baudrillard dalam buku Baudrillard
Live:  Selected Interviews yang ditulis tahun 1993.
Demikian pula, karena Baudrillard menolak yang nyata (the real),
menolak menggambarkan yang nyata atau merefleksikan yang nyata, maka
dianggap mengembangkan teori anti sosial. Oleh karenanya Douglas Kelner
menganggap kajian Baudrillard sebagai fiksi ilmiah, yang mengantisipasi
masa depan dengan membesar-mbesarkan kecenderungan hari ini, dan
memperingatkan sejak pagi mengenai apa yang bakal terjadi apabila
kecenderungan hari ini berlanjut.

Jacques Derrida (1930-2004).  


Teoritisi post-strukturalis lain yang  sangat terkenal dan juga masuk
dalam pemikir postmodern adalah Jacques Derrida. Ia adalah salah satu
murid Foucault, tak jauh beda dengan gurunya yang ingin menulis sebuah
sejarah kegilaan dengan pembahasan bahasa kewarasan (reason). Kalau
strukturalisme semiotika menganggap individu dikendalikan oleh  struktur
bahasa, maka dekonstruksi Derida menurunkan peran bahasa hanya sekedar
”tulisan” semata, yang tidak memaksa penggunanya. Bahkan institusi sosial-
pun menurut Derida tak lebih hanya sebagai “teks” dan karena itu tak mampu
memaksa orang. Disitulah Derrida melakukan dekonstruksi terhadap bahasa
dan institusi sosial yang kesemuanya hanya diperlakukan sebagai teks.
Istilah dekonstruksi (deconstruction) menjadi key word pemikiran
dari Derrida, yang memperlakukan semua realitas sosial sebagai teks.
Menurut makna, kata mendekonstruksi berarti membongkar bagian-bagian
dari suatu keseluruhan. Diskursus yang dominan di Perancis saat itu adalah
strukturalisme, yang memperoleh sumber dari lingguistik, maka dengan
memberi tekanan pada dekonstruksi memungkinkan Derrida terlibat dalam
dialog dengan strukturalisme. Sekaligus tetap memisahkan diri darinya. 
Derrida melihat bahasa tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang
berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya
sistem bahasa tak memiliki kekuatan memaksa terhadap orang.  Sasaran
kritik yang dibongkar Derrida adalah paham logosentrisme yang telah
mendominasi pemikiran Barat, yaitu pencarian sistem berpikir universal yang
mengungkap apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya.
Menurut Derrida logosentrisme telah menutup ilmu pengetahuan
manusia dan memberangus sejarah sejak era  tulisan Plato. Derrida
mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme.
Sebagaimana ia ingin membebaskan teater dari kediktatoran penulis
skenario, ia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua
penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan.  
Dengan kata lain Derrida ingin melihat kita semua sebagai penulis
yang merdeka. Ia menyimpulkan bahwa masa depan tak perlu ditunggu atau
ditemukan kembali. Maksudnya kita tak akan menemukan masa depan di
masa lalu, dan kita tak boleh berdiam pasif, menunggu nasib kita. Masa
depan harus ditemukan, diciptakan, ditulis dalam apa yang kita kerjakan
sekarang ini
Dengan menghilangkan prasangka logosentrisme Barat dan otoritas
intelektualnya, Derrida meninggalkan kita tanpa jawaban. Menurut Derrida
kita tetap dalam proses pembuatan, tetap dengan permainan dan dengan
perbedaan.
Derrida bersama Rorty oleh Mirchandani dimasukkan sebagai teoritisi
postmodernis yang pemikirannya termasuk bersifat epistimologis, tetapi
bukan yang utama (yang utama adalah Foucault, Baudrillard dan Lyotard).
Dia dianggap ”masuk” dalam epistimologi postmodern karena pemikiran-
pemikiran Derrida mencabar strukturalisme, anti logosentrisme Barat dan
membongkar idiologi palussentrisme.
Pemikiran Derrida bisa diikuti dalam tulisan-tulisan yang cukup banyak
karena termasuk pemikir yang produktif. Bukunya antara lain  Speech and
Phenomena: And Other Essays on Hursel’s Theory of Sign (1973).
Juga Of Gramatology (1976), Writing and Differenece (1978), Dissemination
(1981), Positions (1981), Margin of Philosophy (1982), The Ear of The Other
(1985) dan masih banyak tulisan lainnya mengenai Derrida yang bisa diakses
melalui internet.

Jacques Lacan  (1901-1999).
Teoritisi lain yang juga terkenal sebagai pemikir postmodernis
adalah Jacques Lacan. Ia merupakan salah satu psikoanalisis Prancis yang
memiliki kontribusi pemikiran pada murid dan pengikutnya. Lacan
menganggap dirinya sebagai seorang psikoanalisis struktural, tapi dalam
banyak hal ide-idenya justru mengawali berakhirnya strukturalisme dan
munculnya post-strukturalisme, juga post modernis. 
Pemikiran Lacan ditulis dalam buku Ecrits: A
Selection(1966/1977), Feminine Sexuality (1966/1977), The Four
Fundamental Concept of Psycho-analysis (1973/1977) dan The Ethics of
Psychoanalysis (1982/1992).
Sebagaimana diketahui salah satu prinsip utama strukturalisme adalah
kematian subyek, tapi bagi Lacan sebagai seorang psikoanalisis hal demikian
tidak mudah diterima.  Lacan menerima keyakinan strukturalis bahwa makna
kata ditentukan oleh perbedaan kata, dalam batas tertentu subyek juga
merupakan produk dari struktur tertentu.
Menurutnya subyektivitas manusia tidak abadi dan natural, bahkan
tidak dikonstruksi secara sosial. Lacan seringkali mengklaim bahwa ide-
idenya adalah kembali pada Sigmund Freud. Pendekatan Lacanian telah
memperkenalkan kembali persoalan dan konsep bahwa ilmu sosial secara
keliru telah termarginalkan oleh pembentukan subyektivitas diri, pentingnya
identifikasi yang imajiner. 
Teori-teori Lacan melukiskan tantangan bagi sosiologi modern yang
berdasarkan pada ide agen-agen rasional. Tiga konsep inti pemikiran Lacan
adalah, yang imajiner, yang simbolik dan yang nyata. Tiga hal inilah key
word pemikiran Jacques Lacan. Bagi Lacan, psikoanalisis sangat dikaitkan
dengan ide-ide Saussure tentang bahasa.
Yang imajiner (the imaginary) adalah tatanan ketika individu
memahami dirinya sendiri sebagai hal menyeluruh dan subyek yang lengkap.
Merupakan suatu ranah ketika ego rasional berkembang  melalui suatu
indentifikasi dengan keseluruhan citraan hingga individu memahami dirinya
sendiri. Namun menurut Lacan citraan itu adalah ilusi dan kepalsuan yang
salah.
Sedangkan yang simbolik adalah struktur supra personal dari
determinasi sosial yang sudah ada sebelumnya. Ia adalah ruang budaya dan
bahasa. Kita lahir di dalamnya, dan ia memberikan kita nama, dan
menceritakan apa ras, kelas, jenis kelamin, dan katagori sosial yang lain.
Pada yang imaginer, ego-ego didefinisikan melalui identifikasi mereka.
Pada yang simbolik subjek didefinisikan melalui individualitasnya, perbedaan
mereka dari yang lain (the other). Yang lain adalah tatanan simbolik yang
berada di luar kita dan mendahului kita dan bahkan menggambarkan satu-
satunya tempat di mana subjek muncul.
Jadi ada dua kecenderungan yang melewati ranah makna. Salah
satunya, yang imaginer selalu cenderung membakukan yang simbolik ke
dalam struktur makna yang stabil. Di sisi lain yang simbolik cenderung
mengeluarkan yang imaginer dan membubarkannya ke dalam permainan
yang berbeda tanpa makna.Tiada satupun yang benar-benar muncul karena
ada tatanan yang ketiga, yang disebut Lacan (1986/1992) dengan yang nyata
(the real).
Yang nyata membangun yang simbolik dan yang imajiner. Ia
memaksa yang imaginer mencari ekspresi yang mustahil dalam yang
simbolik, dan ia memaksa yang simbolik menggunakan yang imaginer
sebagai intinya dan secara intrinsik mengkonstruksi elemen yang tidak berarti
itu di sekitar identifikasi yang imajiner.
Dalam anjurannya untuk kembali kepada Freud, Lacan menyatakan
bahwa perbedaan antara yang simbolik, sebagai tatanan bahasa, dan yang
imajiner sebagai sesuatu yang dicitrakan oleh hubungan interpersonal ganda,
telah terdapat dalam pemikiran Freud secara implisit.  
Analisis pasca Freudian justru memusatkan perhatian pada yang
imajiner. Akibatnya praktik psikoanalisis gagal memahami prinsip-prinsip
dasar psikoanalisis, yang terletak pada yang simbolik. Ini menurut Lacan
menyebabkan psikoanalisis di dalam praktiknya, mustahil bisa membedakan
antara yang esensial dengan ciri-ciri bersifat kontingen, sehingga yang terjadi
adalah konservatisme yang menghalangi inovasi, serta ritualistik teknik yang
dipahami secara keliru oleh para praktisinya.
Dikemukakannya segi yang simbolik itu, memungkinkan Lacan
membedakan antara ego yang diciptakan oleh serangkaian identifikasi
imajiner, dan subjek yang dipandang merupakan hasil dari efek bahasa
terhadap manusia.
Ide-ide Lacan berpengaruh besar dalam beberapa bidang kajian,
termasuk sosiologi. Banyak muridnya seperti Yulia Kristeva, Irigay, dan
Cixous sangat dipengaruhi oleh ide-ide Lacanian. Untuk memahami
pemikiran Lacan selain membaca buku-bukunya, juga bisa dibaca tulisan
tentang Lacan dari para teoritisi sosial seperti Mark Bracher (1997),Lacan
Discourse and Social Change: Psychoanalitic Cultural Critism. Atau juga
Russell Grigg, dalam buku Social Theory: A Guide to Central
Thinkers,  dengan editor Peter Beilharz (1999) yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia.

Richard Rorty (1931 -         )


Pemikir postmodern dari Amerika Serikat selain  Fredric Jameson
adalah Richard Rorty. Teoritisi ini dikenal sebagai filosof postmodernis
Amerika Serikat terkemuka. Ia lahir di New York City, 4 Oktober 1931, dia
memperoleh gelar Master dari University of Chicacgo, dan doktor di Yale
University, sekolah yang sama dengan Jameson. Rorty sepakat dengan kritik
Nietzschean  terhadap konsep-konsep metafisik seperti ”kebenaran”, identitas
dan pengetahuan.  
Rorty tidak setuju dengan gagasan bahwa ilmu pengetahuan sebagai
representasi yang akurat, karenanya teori representasi umum menurutnya
perlu ditinggalkan, karenanya ia mengajukan dekonstruksi teori representasi,
khususnya dalam hal citra hakekat cermin. Itulah yang dia tulis
dalam Philosophy and the Mirror of Nature(1979).
Dapat disimpulkan, menurut Rorty :
Tidak ada epistimologi universal yang mungkin ada karena semua
klaim kebenaran dibentuk di dalam diskursus.
Tidak ada akses kepada kepada dunia objek independen yang bebas
dari bahasa dan tidak ada sudut pandang yang digunakan untuk
menilai klaim secara netral.
Tidak ada landasan filosofis unversal bagi pemikiran atau tindakan
manusia.
Seluruh kebenaran terikat pada budaya. Konsep kebenaran tidak
memiliki daya eksplanatoris, hanya sebagai suatu tingkat persetujuan
sosial dari suatu tradisi budaya.
Rorty merekomendasikan agar kita mencampakkan epistimologi,
mengakui kebenaran sebagai bentuk dari penghargaan sosial. 
Bagi Rorty, manusia menggunakan bahasa untuk menordinasikan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Disini rorty menciptakan pandangan
Witthenstenian, bahwa bahasa adalah alat yang digunakan oleh organisme
manusia, dan pemisahan tanda dan bunyi yang diciptakan dengan yang kita
buat akan terbukti menjadi taktik yang bermanfaat untuk memprediksi dan
mengontrol perilakunya di masa datang.
Dalam pandangannya, hubungan antara bahasa dengan seluruh jagad
raya materi, merupakan hubungan kausalitas, dan bukan representasi atau
ekspresi yang memadai. Rorty menurut Mirchandani masuk dalam katagori
pemikir epistimologi postmodern.  

Fredric Jameson (1934-        )


Kalau sebagian besar teoritisi postmodern berasal dari Eropa
(terutama Perancis), maka ada beberapa pemikir postmodern yang berasal
dari Amerika Serikat, salah satunya adalah Fredric Jameson. Dia adalah
teoritisi kelahiran Cleveland, Ohio, dan menyelesaikan program master dan
doktornya di Yale University, artinya dia benar-benar murni lahir dan dididik di
Amerika Serikat. Tahun 1984 Jameson menulis Postmodernism, or the
Cultural Logic of Late Capitalism dalam Jurnal New Left Review 146 (July Aug
1984).  Judul ini jelas menunjukkan pendirian Marxian dari pemikiran
Jameson. 
Menurutnya, kapitalisme yang kini dalam fase “lanjutan” masih terus
menjadi gambaran dominan dalam kehidupan sekarang, tetapi telah
menimbulkan logika kultural baru yaitu postmodernism. Ia istilahkan dalam
sub judul makalahnya dengan Postmodernism as Cultural Dominant.
Jameson menolak klaim yang dibuat kebanyakan pemikir postmodern
(misalnya Lyotard dan Baudrillard) yang menyatakan teori Marxian adalah
narasi besar par-exellence dan karena itu tak mempunyai tempat di dalam
atau tak relevan dengan post-modernitas.
Jameson ingin menyelamatkan teori Marxian, sekaligus berusaha
menunjukkan, teori Marx menawarkan penjelasan teoretis terbaik tentang
postmodernism. 
Menurut Jameson, perubahan struktur ekonomi telah tercermin dalam
perubahan kultural. Ia menghubungkan kultur realis dengan kapitalisme
pasar, kultur modernis dengan kapitalisme monopoli, dan kultur postmodernis
dengan kapitalisme multinasional. Singkatnya, Jameson menyajikan suatu
citra postmodernity di mana manusia terkatung-katung dan tak mampu
memahami sistem kapitalis multinasional.
Pada waktu yang sama tahun 1983, dalam sebuah seminar di Inggris
saat itu, ilmuwan Jerman Juergen Habermas mempertahankan pendapatnya
tentang uncomplete project of modernity. Melalui makalah yang berjudul
Modernity versus posmodernity, and Neo-conservative culture critism,  
Habermas menganggap postmodernism tak lain merupakan proyek
modernisme yang belum selesai (Asley 1990 dalam Crook 2001,
309).  Penilaian Habermas semacam itu amat logis, mengingat dia  pada
dasarnya masuk dalam teoritisi modernisme, karenanya menurut Habermas
postmodern  masih merupakan proyek modernisme juga, yaitu proyek
modernisme yang belum selesai.
    Kembali kepada Fredric Jameson, teoritisi postmodernis dari Amerika
ini tidak hanya menyelamatkan teori Marxis tapi juga berusaha keras
menunjukkan dan menawarkan penjelasan teoritis mengenai postmodernism.
Menurutnya, kerangka kerja Marxis masih sangat diperlukan untuk
memahami kandungan historis yang baru, yang menuntut bukan sebuah
modifikasi atas kerangka kerja Marxis, namun sebuah perluasan atas teori
tersebut.
Menariknya, meskipun Jameson secara umum dipuji untuk
wawasannya dalam kebudayaan postmodernisme, dia sering dikritik,
khususnya justru oleh kaum Marxis, karena dianggap menawarkan analisis
yang tidak mencukupi tentang dasar ekonomi dari dunia baru sekarang ini.
Pada kenyataannya Fredric Jameson memang menghabiskan waktunya yang
sangat sedikit dalam menganalisis dasar ekonomi tersebut, dan lebih
mencurahkan perhatiannya pada logika budaya.
         Jameson menggunakan pemikiran Mandel (1975) atas tiga tahapan
dalam sejarah kapitalisme. Tahap pertama, dianalisis oleh Marx, adalah
kapitalisme pasar dan kemunculan pasar nasional yang disatukan. Tahap
kedua dianalisis oleh Lenin, adalah fase imperialis, dengan kemunculan
jaringan kapitalisme global. Tahap ketiga dilabeli oleh Ernest Mandel (yang
diikuti oleh Jameson) sebagai kapitalisme akhir (late capitalism), melibatkan
”perluasan yang besar atas modal ke dalam wilayah-wilayah yang belum
dikomodifikasikan sampai sekarang ini”. Istilah late capitalism menjadi key
word bagi Jameson dalam mengungkapkan pemikirannya mengenai
postmodernis.
Bagi Jameson, kunci kapitalisme akhir adalah karakter
multinasionalnya, dan kenyataan bahwa  ia telah terus meningkatkan
komodifikasi. Termasuk di dalamnya komodifikasi kebudayaan, bisnis trans-
nasional, pembagian kerja internasional baru, produksi yang berpindah ke
wilayah-wilayah dunia ketiga, pertumbuhan dalam perbankan dan bursa
saham, dan jenis baru inter-relasi dalam media, komputerisasi dan
otomatisasi.
     Pada kapitalisme akhirlah, meluasnya komodifikasi ke seluruh ranah
kehidupan sosial dan pribadi, yang mentransformasikan yang nyata menjadi
citra dan simulacrum.
Secara lebih umum, menurut Jameson, perubahan-perubahan dalam
struktur ekonomi telah tercermin dalam perubahan budaya. Jadi ia
mengasosiasikan kebudayan realis dengan kapitalisme pasar, kebudayaan
modernis dengan model monopoli, dan kebudayaan postmodernis dengan
kapitalisme multinasional. Hal demikian, seperti versi baru dari argumentasi
Marx mengenai superstruktur dasar (base-superstructure), dan banyak
memunculkan kecaman karena Jameson mengambil posisi yang deterministik
semacam ini. 

Produk-produk teknologi informasi (seperti video, kartun, termasuk


komputer) bagi  Jameson dapat dilihat sebagai teks. Dan teks tersebut
menggantikan karya seni, master piece seniman, dan lain-lain. Dengan
datangnya teks tidak lagi ada aturan, tidak ada lagi mahakarya,  atau karya
agung. Sebagai gantinya, segala yang kita tinggalkan adalah teks. Yang
berbeda dengan karya-karya seni, teks tidak memiliki makna yang
mendalam. Mencoba untuk menemukan makna-makna, untuk memberi tema
pada teks, untuk menafsir mereka, hanya mengganggu arus esensial bagi
produk itu sendiri.    
   Apa yang dilakukan Jameson dalam postmodern menurut Mirchandani
(2005) lebih bersifat empiris dibandingkan epistimologi. Jameson bukan
pemikir yang mempersoalkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, tetapi dia
dianggap lebih banyak beroperasi pada fase untuk melakukan perubahan
pemikiran, yaitu menginterogasi kembali keberadaan konsep-konsep teori
sosiologi yang klasik. Dalam hal ini Jameson membela teori Marx.  

ONTOLOGI ILMU

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het
zijn)
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji
oleh panca indera manusia, seperti batu-batuan, binatang, tumbuhan, atau
manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat
bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu
pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni
orientasi terhadap dunia empiris.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles .
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan
dengan kenyataan. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin
memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-
ilmu empiris.
Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang
menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being),
baik berupa wujud fisik maupun metafisik.
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos
(ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Ada beberapa pengertian
dasar mengenai apa itu “ontologi”.
Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang Ada
dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara
khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat abstrak
studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam dirinya
sendiri?”
Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat
yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang
menggunakan katagori-katagori seperti : ada/menjadi, aktualitas/potensialitas,
esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada.

Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba


melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal
tergantung padanya bagii eksistensinya.
Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat
yang melontarkan pertanyaan, apa arti Ada dan Berada dan juga
menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat
dikatakan Ada.
Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang filsafat a)
menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek pencerapan atau
persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah bilangan itu nyata?”
“apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis realitas yang dimiliki
hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran
“ dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut
realitas.
Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa ontologi
mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada”.

Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu
ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hal
yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada
yang berada’.
Oleh sebab itu, orang bisa menggunakan ontologi dengan filsafat pertama
Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun pada
kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika, yakni
teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya
dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.
Beberapa ahli filsafat memang mempunyai pengertian yang berbeda satu
sama lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka
ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu
tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang sama.

Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat


yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering
menggunakan istilah “metafisika universal” dan ”filsafat pertama” sebagai
sinonim ontologi.
Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi “ yang ada dari
eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan
menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.
Ontologi merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling
menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian
lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua
konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya,
pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang
‘ontologi’ selalu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana proses
‘mengada’ ini muncul. Pertanyaannya selalu berangkat dari situasi kongkrit.

Dengan demikian ontologi menanyakan sesuatu yang tidak serba tidak


terkenal. Andaikata memang sesuatu tidak terkenal maka mustahil pernah
akan dapat ditanyakan.
Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak di antara dua kutub, yaitu antara
pengalaman akan kenyataan kongkrit dan prapengertian ‘mengada’ yang
paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub ini saling menjelaskan.
Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dieksplisitkan arti dan
hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga, prapemahaman tentang cakrawala
‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit dan membuatnya
terpahami sungguh-sungguh

A. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan
menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme,
idealisme, naturalisme, atau hylomorphism (Yun. Hylo=matter, Morphe=form,
doktrin bhw objek phisik adalah combinasi dari materi dan bentuk)
hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De
Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya
mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme
dari mental.

B. Metode dalam Ontologi


Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi,
yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.
Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
Abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua
sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar
dari semua realitas.
Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di
bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih
dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari
kebenaran kesimpulan.

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada


sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas
yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris
disusun dengan tata silogistik.
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang
apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan
term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a
posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek,
term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Ontologi menurut Anton Bakker (1992) merupakan ilmu pengetahuan yang
paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala
pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi
berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala sesuatu yang mengada
segenapnya.

Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam
kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang
ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan
keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam
menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan
upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat
manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.

Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:
1. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu
tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas)
tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki
warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang
ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.

Batas-batas Penjelajahan Ilmu

Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada sebuah pertanyaan


dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara
eksplisit menjadi : apakah yang menjadi bidang telaah ilmu ?
Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu
membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris. Secara
sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
pacaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari
objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan
atau manusia itu sendiri.
Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan
empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak
termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi
mengenai objek-objek empiris.
Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima
asumsi yang dikemukakannya. Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga
asumsi yang dasar.
Asumsi pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan
satu sama lain, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya.
Asumsi kedua, ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu . Kegiatan keilmuan bertujuan
mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu.

Asumsi ketiga, ilmu menganggap bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu
kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai suatu hubungan
pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama.
Dalam pengartian ini ilmu mempunyai sifat deterministik. Namunpun demikian
determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat
peluang (probabilistik)

Karakteristik Filsafat Ilmu


Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu sosial dan
ilmu alam , karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas,
maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi ‘filsafat ilmu alam’ dan filsafat ilmu
sosial
Karakteristik ilmu yang paling kuat adalah bahwa cara kerjanya ditentukan
oleh sebuah metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung
menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana
sebuah metode dibangun.
Ilmu yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-
hukumnya mempunyai bahasa-bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa
keseharian yang lain. Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah
bahwa bahasa ilmiah selalu menekankan unsur “bebas nilai”.
Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa ilmu sifatnya tertutup dan
memakai cara kerja sistem sendiri.

Ada banyak model dan cara kerja ilmu yagn berkembang sesuai dengan
perkembangan filsafat manusia. Jika kita lihat ada pengertian-pengertian
Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Rasionalitas Kritis, Konstruktivisme.
Masing-masing mempunyai metodologi yang khas tetapi masih dalam
kesatuan ciri khas kerja sebuah ilmu.
Filsafat ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan menggali sebab-musabab
pertama dari gejala ilmu pengetahuan, di antaranya paham tentang
kepastian, kebenaran dan objektivitas.
Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan pada prinsipnya adalah sebuah
penelitian tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu tersebut terjadi dan
berkembang.

Batas-batas Kerja Ilmu


Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan ilmu
maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman
manusia dan dan berhenti di batas pengalaman manusia.
Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia, maka
ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan neraka.
Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat
pembantu untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas
pengalamannya
Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia.
Metode yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya
secara empiris.
Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak cabang ilmu yang
diakibatkan karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah
berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan” dan “modernisme”
sebagai anak kandung dari cara kerja berpikir keilmuan.

Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar tentang


keberadaan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling
ideal.
Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah:
• Atas dasar apakah ”sesuatu” itu dikatakan sebagai ”ada”?
• Jika ”sesuatu” itu dikatakan ”ada”, bagaimana cara
mengelompokkannya?
Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk
membagi entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau
kategori.
Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga
beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan,
kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema.
Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan
IT.

Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah


mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan
ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa
contoh pertanyaan dalam ontologi:
• Apa yang dimaksud dengan ”ada”?
• Apakah ”ada” memiliki sesuatu atau properti?
• Jika ”sesuatu” tersusun atas entitas, maka entitas manakah
yang fundamental?
• Bagaimana properti dari sebuah obyek dapat berhubungan
dengan obyek tersebut?
• Apa ciri yang paling penting dari sebuah obyek?
• Jika ”ada” memiliki tingkatan (level), berapa jumlah level yang
dimiliki oleh sebuah ”ada”?
• Apa yang dimaksud dengan obyek fisik?
• Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik
itu dikatakan sebagai ”ada”?
• Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik
memiliki entitas atau unsur non-fisik?
Konsep ontologi
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5
konsep utama, yaitu:
a. Umum dan tertentu
b. Kesengajaan (substance) dan ketidaksengajaan (accident)
c. Abstrak dan kongkrit
d. Esensi dan eksistensi
e. Determinisme dan indeterminisme

1. Umum (universal) dan Tertentu (particular)


Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu,
misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau
disederhanakan melalui cara-cara tertentu.
Contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing berwarna hijau, maka
kedua kursi ini berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau ”menjadi hijau”.
Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan
waktu.
Contoh, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular), seseorang
tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa menambahkan
sesuatu yang baru pada tiruannya.

2. Substansi (substance) dan Ikutan (accident)


Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek, atau
properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa properti
tersebut, maka obyek tidak ada lagi.
Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak
mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, ”ikutan” adalah
kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna,
tekstur, ukuran, bentuk dsb.

3. Abstrak dan Kongkrit


Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi
”ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis
(permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit).
Kongkrit adalah obyek yang ”ada” pada ruang tertentu dan mempunyai
orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia.

4. Esensi dan eksistensi


Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar
keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek,
jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas.
Eksistensi (existere: tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan
adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera.

5. Determinisme dan indeterminisme


Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk perilaku
manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya.
Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap determinisme. Para
penganut indeterminisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian
merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor kesempatan
(chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan faktor
yang dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan
(necessity) dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan
sesuai asalnya.

Kesimpulan
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal.
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu?
Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan
antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang
mengkaji wujud (being) dalam perspektif ilmu — ontologi ilmu dapat dimaknai
sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil ke-Ilmuan, konsep-
konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam
ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang
merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan
kebenaran.

Epistemologi Ilmu

Pengetahuan dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan


yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah pertanyaan, diharapkan
mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu muncullah masalah,
bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?.
Masalah inilah yang pada ilmu filsafat di sebut dengan epistimologi. Setiap
jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri spesifik atau metode ilmiah mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun.
Ketiga landasan saling memiliki keterkaitan; ontologi ilmu terkait dengan
epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan
seterusnya. (Suriasumantri, 2007:105)

Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para


pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-
satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau
senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap
objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi
indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang
rasional.
Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak
persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal
yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek
pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak
secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius
sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-
kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar
yang sampai sekarang ini masih digunakan.
Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan
indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan
keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah
Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat
terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme.
Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di
Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh
filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di
Inggris. (Hardono, 1997: 35)

Istilah epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Feriere dari Institute of
Metaphysics pada tahun 1854 M dengan tujuan membedakan antara 2
cabang filsafat yaitu epistemologi dengan ontologi. Epistemologi ialah cabang
filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya
pengetahuan (Louis Kattsoff).
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari
dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya
pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya
pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan
sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Dalam Bahasa
Inggris epistemologis disebut sebagai The Theory of Knowledge dan dalam
bahasa Indonesia epistemologi disebut filsafat pengetahuan.

Epistemologi is one the core areas of philosophy. It is concerned with the


nature, sources and limits of knowledge. There is a vast array of view about
those topics, but one virtually universal presupposition is that knowledge is
true belie, but not mere true belief (Concise Routledge Encyclopedia of
Philosophy, Taylor and Francis, 2003)
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi,
logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor.
Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti
silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan
kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.

Jadi epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia


merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang
memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya,
hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar,
apa kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan berupa ilmu.
Begitu luasnya tentang Epistemologi, tetapi dalam kuliah ini akan dibahas
mengenai Epistemologi dalam pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan
ilmiah (ilmu) serta metode-metode apa yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tersebut.
1. PENGETAHUAN
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai ketuhanan, alam manusia dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang
dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, apakah pengetahuan itu
benar-benar benar atau tidak, untuk itu perlu dimengerti apa itu yang benar
dan bagaimana manusia mengetahui kebenaran.
Pengetahuan memiliki tiga fungsi yaitu menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang
akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut dapat dilakukan upaya untuk
megontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak.

Aristoteles membagi kerja dasar intelektual ke dalam [1] memahami obyek,


[2] membentuk dan memilah, [3] menalar dari sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang tidak diketahui. Anasir itu membentuk suatu disiplin yang
ditempuh oleh Aristoteles yang kemudian disebut “Logika”, yang oleh
Aristoteles bertujuan untuk membuat dan menguji inferensi (kesimpulan
keilmuan) (Noeng Muhadjir, 1999:23)
Menurut Encyclopedia of Philosophy, pengetahuan didefinisikan sebagai
kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Menurut Sidi
Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan
mengetahui.
Mengetahui itu hasil kenal, sadar, insaf, mengerti, benar dan pandai.
Pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar maka bukan pengetahuan
tetapi kekeliruan atau kontradiksi. Pengetahuan merupakan hasil suatu
proses atau pengalaman yang sadar.

Pengetahuan (knowledge) merupakan terminologi generik yang mencakup


seluruh hal yang diketahui manusia. Dengan demikian pengetahuan adalah
kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan,
dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta
mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan.
Tujuan manusia mempunyai pengetahuan adalah:
a. Memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidup
b. Mengembangkan arti kehidupan
c. Mempertahankan kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
d. Mencapai tujuan hidup.

Ada beberapa jenis Pengetahuan yaitu:


a. Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk
kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-
dalamnya dan seluas-luasnya.
b. Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja tetapi ingin
mengetahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui kebenarannya,
tetapi masih berkisar pada pengalaman.
c. Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas,
sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan
hakiki sampai diluar dan diatas pengalaman biasa.
d. Pengetahuan agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari
Tuhan lewat para Nabi dan Rasul. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan
wajib diyakini oleh para pemeluk agama.

Pada suatu saat, manusia ingin mengetahui sesuatu tentang dirinya, dunia
sekitarnya, oranglain, yang baik dan yang buruk, yang indah dan jelek, dan
macam-macam lagi. Jika ingin mengetahui sesuatu, tentu ada suatu
dorongan dari dalam diri manusia yang mengajukan pertanyaan yang perlu
jawaban yang memuaskan keingintahuannya. Dorongan itu disebut rasa ingin
mengetahui.
Sesuatu yang diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan yang
memuaskan manusia adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang
tidak benar adalah kekeliruan. Keliru seringkali lebih jelek dari pada tidak
tahu. Pengetahuan yang keliru jika dijadikan tindakan/perbuatan akan
menghasilkan kekeliruan, kesalahan dan malapetaka. Sasaran atau objek
yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada, yang mungkin ada, yang
pernah ada dan sesuatu yang mengadakan. Dengan demikian manusia
dirangsang keingintahuannya oleh alam sekitarnya melalui indranya dan
pengalamannya. Hasil gejala mengetahui adalah manusia mengetahui secara
sadar bahwa dia telah mengetahui.

A. Hakekat Pengetahuan
Ada dua teori yang digunakan untuk mengetahui hakekat Pengetahuan:
1. Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam.
Pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada
dalam alam nyata.
Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-proses
mental/psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan gambaran
subjektif tentang sesuatu yang ada dalam alam menurut pendapat atau
penglihatan orang yang mengalami dan mengetahuinya. Premis pokok adalah
jiwa yang mempunyai kedudukan utama dalam alam semesta

B. Sumber Pengetahuan
Ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
1. Empirisme, menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman (empereikos= pengalaman). Dalam hal ini harus ada 3 hal, yaitu
yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek) dan cara mengetahui
(pengalaman). Tokoh yang terkenal: John Locke (1632 –1704), George
Barkeley (1685 -1753) dan David Hume.
2. Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan
dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh
fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596 –1650, Baruch
Spinoza (1632 –1677) dan GottriedLeibniz (1646 –1716).
3. Intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba
tanpa melalui proses pernalaran tertentu. Henry Bergson menganggap intuisi
merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
4. Wahyu adalah pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui orang-
orang yang terpilih untuk menyampaikannya (Nabi dan Rasul). Melalui wahyu
atau agama, manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang
terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia.
2. METODE ILMIAH
Kata metode berasal bahasa Yunani yaitu kata “methos” yang terdiri dari
unsur kata berarti cara, perjalanan sesudah, dan kata “kovos” berarti cara
perjalanan, arah.
Metode merupakan kajian atau telaah dan penyusunan secara sistematik dari
beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang sistematis yang
menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara
mengetahui sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.
Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-
peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan
pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.

Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia


mengamati sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati
dan dikaji hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan
pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di
luar jangkauan manusia. Karena yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu
mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula.
Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan
fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya. Teori
yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat
dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di
mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.

Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian


dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan sebagaimanapun
meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris
dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu
menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan
secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari
yang tidak.

Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang kebenaran, antara lain sebagai
berikut:
1. The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau
keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
2. The consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak
dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta
atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.
Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang
baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui
benarnya terlebih dahulu.
3. The pragmatic theory of truth. Yang dimaksud dengan teori ini ialah
bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi
manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.

Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah


kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang
telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori
tersebut bagi kehidupan manusia.
Kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran wahyu
2. Kebenaran spekulatif filsafat
3. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
4. Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar,
sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin
benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran
mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar
karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu,
kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan
selalu berubah-rubah dan berkembang.

Menurut kajian epistemologi terdapat beberapa metode untuk memperoleh


pengetahuan, diantaranya adalah :
1. Metode Empirisme
Menurut paham empirisme, metode untuk memperoleh pengetahuan
didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris, yaitu pengalaman yang
bisa dibuktikan tingkat kebenarannya melalui pengamalan indera manusia.
Seperti petanyaan-pertanyaan bagaimana orang tahu es membeku? Jawab
kaum empiris adalah karena saya melihatnya (secara inderawi/panca indera),
maka pengetahuan diperoleh melalui perantaraan indera.

Menurut John Locke (Bapak Empirisme Britania) berkata, waktu manusia


dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan didalam
buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman indera. Akal merupakan
sejenis tempat penampungan, yang secara prinsip menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut.
Proses terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme berdasarkan
pengalaman akibat dari suatu objek yang merangsang alat inderawi,
kemudian menumbuhkan rangsangan saraf yang diteruskan ke otak. Di
dalam otak, sumber rangsangan sebagaimana adanya dan dibentuklah
tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi
ini.
Kesimpulannya adalah metode untuk memperoleh pengetahuan bagi
penganut empirisme adalah berdasarkan pengalaman inderawi atau
pengalaman yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia.

2. Metode Rasionalisme
Berbeda dengan penganut empirisme, karena rasionalisme memandang
bahwa metode untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui akal pikiran.
Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, melainkan
pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk
memperoleh suatu pengetahuan.
Menurut Rene Descartes (Bapak Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu
pengetahuan melalui metode deduktif melalui cahaya yang terang dari akal
budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai :
a. Sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal
kebenaran.
b. Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat
ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan
pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh
kebenaran.

3. Metode Fenomenalisme
Immanuel Kant adalah filsuf Jerman abad XX yang melakukan kembali
metode untuk memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-
kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap pandangan yang bersifat
empiris dan rasionalisme. Menurut Kant, metode untuk memperoleh
pengetahuan tidaklah melalui pengalaman melainkan ditumbuhkan dengan
pengalaman-pengalaman empiris disamping pemikiran akal rasionalisme.
Syarat dasar bagi ilmu pengetahuan adalah bersifat umum dan mutlak serta
memberi pengetahuan yang baru. Menurutnya ada empat macam
pengetahuan :
a. Pengetahuan analisis a priori yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh
analisa terhadap unsur-unsur pengetahuan yang tidak tergantung pada
adanya pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman.

b. Pengetahuan sintesis a priori, yaitu pengetahuan sebagai hasil


penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri yang
mempersatukan dan penggabungan dua hal yang biasanya terpisah.
c. Pengetahuan analitis a posteriori, yaitu pengetahuan yang terjadi sebagai
akibat pengalaman.
d. Pengetahuan sintesis a posteriori yaitu pengetahuan sebagai hasil
keadaan yang mempersatukan dua akibat dari pengalaman yang berbeda.
Pengetahuan tentang gejala (phenomenon) merupakan pengetahuan yang
paling sempurna, karena ia dasarkan pada pengalaman inderawi dan
pemikiran akal.
Kant mengakui dan memakai empirisme dan rasionalisme dalam metode
fenomenologinya untuk memperoleh pengetahuan.

4. Metode Intuisionisme
Metode intuisionisme adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan
melalui intuisi tentang kejadian sesuatu secara nisbi atau pengetahuan yang
ada perantaraannya.
Menurut Henry Bergson, penganut intusionisme, intuisi adalah suatu sarana
untuk mengetahui suatu pengetahuan secara langsung. Metode intuisionisme
adalah metode untuk memperoleh pengetahuan dalam bentuk perbuatan
yang pernah dialami oleh manusia.
Jadi penganut intuisionisme tidak menegaskan nilai pengalaman inderawi
yang bisa menghasilkan pengetahuan darinya. Maka intuisionisme hanya
mengatur bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.

5. Metode Ilmiah
Pada metode ilmiah, untuk memperoleh pengetahuan dilakukan dengan cara
menggabungkan pengalaman dan akal pikiran sebagai pendekatan bersama
dan dibentuk dengan ilmu. Secara sederhana teori ilmiah harus memenuhi 2
syarat utama yaitu harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya dan harus
cocok dengan fakta-fakta empiris
Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan induktif
dimana rasionalisme dan empirisme berdampingan dalam sebuah sistem
dengan mekanisme korektif. Metode ilmiah diawali dengan pengalaman-
pengalaman dan dihubungkan satu sama lain secara sistematis dengan fakta-
fakta yang diamati secara inderawi.
Untuk memperoleh pengetahuan dengan metode ilmiah diajukan semua
penjelasan rasional yang statusnya hanyalah bersifat sementara yang disebut
hipotesis, sebelum teruji kebenarannya secara empiris. Hipotesis, yaitu
dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita
hadapi.

Untuk memperkuat hipotesis dibutuhkan dua bahan-bahan bukti yaitu bahan-


bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan hipotesis tersebut dan
hipotesis itu harus meramalkan bahan-bahan yang dapat diamati yang
memang demikian keadaannya.
Pada metode ilmiah dibutuhkan proses peramalan dengan deduksi. Deduksi
pada hakikatnya bersifat rasionalistis dengan mengambil premis-premis dari
pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Menurut AR Lacey untuk menemukan kebenaran yang pertama kali dilakukan
adalah menemukan kebenaran dari masalah, melakukan pengamatan baik
secara teori dan ekperimen untuk menemukan kebenaran, falsification atau
operasionalism (experimental operation, operation research), konfirmasi
kemungkinan untuk menemukan kebenaran, Metode hipotetico – deduktif,
Induksi dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta

Kerangka berpikir yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada


dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-
faktor yang terkait di dalamnya.
b. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mubgkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan bentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasrakan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya
dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahan.
c. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau
dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya
merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d. d. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e. e. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan itu di tolak atau diterima. Seandainya dalam
pengujian terdapat fakta-fakta yang cukup dan mendukung maka
hipotesis tersebut akan diterima dan sebaliknya jika tidak didukung
fakta yang cukup maka hipotesis tersebut ditolak.
f. Hipotesis yang diterima dianggap menjadi bagian dari pengetahuan
ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah
sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.

3. PENGETAHUAN ILMIAH
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya merupakan usaha
untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu
pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan
seksama dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan untuk
menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui
observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena
dimulai dari fakta, menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran
logik dan netral.

Secara defenitif, logika dapat dipahami sebagai studi tentang metode-metode


dan prinsip-prinsip yang dipergunakan untuk membedakan penalaran yang
lurus dari penalaran yang tidak lurus. Arti lain dari logika itu adalah
pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir lurus. Jadi logika itu
berhubungan dengan kegiatan berpikir, namun bukan sekedar berpikir
sebagaimana merupakan kodrat rasional manusia sendiri, melainkan berpikir
lurus (E. Sumaryono, 1999:71).
Dari defenisi itu jelas bahwa logika itu terkait dengan “jalan berpikir”
[metode], dan memuat sejumlah pengetahuan yang sistematis dan
berdasarkan pada hukum keilmuan sehingga orang dapat berpikir dengan
tepat, teratur dan lurus. Artinya, ber-logika berarti belajar menjadi terampil.
Karena itu kegiatan berlogika adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk
melatih skill berpikir seseorang.

Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan
manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir
pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu
nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya
siklikal.
Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar
mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak
pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir,
demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi
pengetahuan.
Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin
memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam
suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu),
disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan
mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang
diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan
filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya
dapat dibagi ke dalam (1) Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan
pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial); (2) Berfikir sistematis faktual
tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu); (3) Berfikir
radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
Dari ketiga jenis berfikir tersebut, cara berfikir yang sistematis merupakan
cara untuk menghasilkan suatu pengetahuan ilmiah.

KESIMPULAN
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang
memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya,
hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar,
apa kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran,
pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan
kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan.
Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya melalui metode ilmiah
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (sains).

Ilmu pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah


yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana
berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah
menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi
jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang
dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan
pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode
ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam (1)
Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan
eksistensial); (2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu
menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu); (3) Berfikir radikal tentang hakekat
sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
AKSIOLOGI ILMU

A. Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada
pemikiran atau suatu sistem seperti politik,social dan agama.
Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan
sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Yang mendapat perhatian adalah masalah etika/kesusilaan dan dalam etika,
obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar.
Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk,
bermoral atau tidak bermoral dari suatu perbuatan atau perilaku manusia.

Sedangkan pengertian aksiologi menurut Jujun S. Suriasumantri adalah


bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari berbagai pengetahuan- pengetahuan yang diperoleh atau didapat oleh
manusia.
Dari segi bahasa, kata “nilai” semakna dengan kata “axios” dalam bahasa
Yunani, dan “value” dalam bahasa Inggris. Dalam Enciclopedy of Philosophy,
istilah “nilai” atau value dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda abstrak. seperti: baik, menarik,
dan bagus. Yang dalam pengertian yang lebih luas mencakup segala bentuk
kewajiban, kebenaran dan kesucian. Sebagai kata benda asli yang berbeda
dengan fakta.

2. Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda kongkrit. Misalnya, ketika kita
berkata sebuah “nilai” atau nilai-nilai. Pada bentuk ini, ia seringkali dipakai
untuk merujuk pada sesuatu yang bernilai, seperti ungkapan “nilai dia
berapa? atau sebuah sistem nilai. Untuk itu, ia berlawanan dengan apa-apa
yang tidak dianggap baik atau tidak bernilai.
3. Kata “nilai” digunakan sebagai kata kerja. Seperti ungkapan atau ekspresi
menilai, memberi nilai dan dinilai. Pada bentuk ini, nilai sinonim dengan kata
“evaluasi” pada saat hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai.
Dari keterangan di atas, menarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud
dengan “nilai” pada hakikatnya adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Kattsoff mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap nilai :


1. Pendekatan subyektivisme, di mana nilai merupakan reaksi yang
diberikan manusia sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya.
2. Pendekatan obyektivisme logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang
dapat diketahui melalui akal.
3. Pendekatan obyektivisme-metafisik, di mana nilai merupakan unsur
obyektif yang menyusun kenyataan.

B. Teori Nilai dalam Filsafat


Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah
teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak
terlepas dari si ilmuwannya, Seseorang ilmuwan akan dihadapkan pada
kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada
persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, istilah aksiologi diartikan sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yang diperoleh. Secara teori,
aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu:
(1) Moral Conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin ilmu
khusus yaitu “ilmu etika” atau nilai etika.
(2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini melahirkan
konsep teori keindahan atau nilai estetika.
(3) Sosio Political Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini melahirkan
konsep Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.

Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan
masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai
menyangkut sikap manusia untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau
salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian manusia memberikan
konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya.
Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau
paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu
akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara
benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral
sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah
yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus.Karena moral
umum diukur dari sikap manusia pelakunya,timbul pula perbedaan
penafsiran.

Masalah etika atau susila mengakibatkan pula berbagai pendapat tentang


etika tergantung citra dan tujuannya. Ada etika individual dan sosial, ada etika
situasi dan esensial. Dua pertentangan dalam etika modern, yaitu etika yang
memperhatikan faktor psikologi secara nilai kebahagiaan, dan etika situasi
atau historisme yang berpendapat bahwa ukuran baik dan jahat ditentukan
oleh situasi atau keadaan zaman.
Adapun dari sisi estetika, maka titik tekannya adalah pada penilaian subjek
terhadap objek, atau berusaha memilah dan membedakan suatu sikap atau
perbuatan objek. Penilaian ini, kadang objektif dan kadang subjektif
tergantung hasil pandangan yang muncul dari pikiran dan perasaan manusia.
Penilaian menjadi subjektif apabila nilai sangat berperan dalam segala hal.
Mulai dari kesadaran manusia yang melakukan penilaian sampai pada
eksistensinya dalam lingkungan.
Untuk itu, makna dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek pada objek
yang dinilai tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
Artinya, penilaian subjektif akan selalu memperhatikan akal budi manusia,
seperti perasaan dan intelektualitas. Makanya, hasil dari penilaian ini selalu
mengarah pada suka atau tidak sukanya subjek, atau senang dan tidak
senang. Seperti, keindahan sebuah karya seni tidak dikurangi dengan selera
(perasaan) rendah orang yang menilai.
C. Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek
yang melakukan penilaian.
Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu
melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila
subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak
ukur penilaian.
Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan


diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah
satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan
umum ialah terletak pada objektifitasnya.
Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan
kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan
haruslah bebas dalam menentukan topik penelitian. Ketika seorang ilmuan
bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.

D. Nilai

a. Karakteristik Nilai
1) Bersifat abstrak; merupakan kualitas
2) Inheren pada objek
3) Bipolaritas yaitu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
4) Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian,
nilai kekudusan.
Menurut Ensyclopedia of Philosophy : aksiologi disamakan dengan value and
valuation yang terdiri 3 bentuk:
1) Nilai (baik, menarik dan bagus) lebih luas (kewajiban,
kebenaran dan kesucian)
2) Nilai sebagai kata benda konkret
3) Nilai sebagai kata kerja (menilai, memberi nilai, dinilai)
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan atau
pendapatnya:
1) Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
2) Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
3) Nilai berasal dari kepentingan.
4) Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
5) Nilai berasal dari kehendak rasio murni.

b. Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
1) Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan
yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
2) Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
3) Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.

E. Penilaian dalam Aksiologi

Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan
estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan
sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku,
norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat
tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa
Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah
kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-
ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan
moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat,
wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika
tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan
sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar
manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia
lakukan.

Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung
jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun
terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem
filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi.
Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut
pandangan moral dengan kesenangan.
Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan
adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.

Utilitarisme berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan


kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah
ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.
Deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel
Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau
dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik
oleh kehendak manusia.

F. Estetika
Cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi
manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan
mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur
yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang
utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-
mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan
sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita
bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara
umum kita merasaakan kenikmatan.
Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya
dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan
perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai
sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.

Kesimpulan
Aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Jujun S.Suriasumantri mengartika
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.
Sedangkan Aksiologi menurut Bramel, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
pertama, moral conduct, kedua, esthetik expression dan ketiga, socio-politikal
life.
Drs. Prasetya mengatakan bahwa Aksiologi adalah study tentang nilai,
sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan
oleh setiap insan, adapun nilai yang dimaksud, yaitu: nilai jasmani, dan nilai
rohani.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi
malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak
bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi
sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika
dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek
moral.

Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi,


epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu
inti atau hal yang pokok atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar
dari ilmu tersebut.
Contohnya :Membangun Filsafat Teknologi Pendidikan perlu menelusuri dari
aspek : Ontologi eksistensi (keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-lmu
Teknologi Pendidikan. Epistemologi metode yang digunakan untuk
membuktikan kebenaran ilmu-ilmu Teknologi Pendidikan. Aksiologi manfaat
dari ilmu Teknologi Pendidikan. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan
diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi
berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi
manusia.
Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik-
baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi
keilmuwan.

Anda mungkin juga menyukai