Abstrak
Karl Marx, mempunyai rumusan dasar tentang agama yang apabila disebutkan
menimbulkan kontroversi. Menyebut agama sebagai alienasi dan candu, bukan berarti ia
tidak mempunyai alasan untuk menyebutnya begitu. Pernyataannya yang menuai
kontroversi tersebut berani ia sampaikan karena apa yang dilihatnya adalah hal yang nyata
adanya. Dimana saat itu Gereja memimpin pemerintahan, namun kekuasaan Gereja itu
dieksploitasi oleh golongan orang-orang borjuis untuk kepentingan mereka sendiri. Tak
diragukan, hal ini sangat merugikan masyarakat yang kebanyakan pada waktu itu menjadi
buruh dan ‘tunduk’ terhadap agama yang telah mengajarkan mereka akan cinta kasih,
memaafkan satu sama lain, dan memberikan pipi kanan setelah ditampar pipi kiri.
Mengangkat hal ini dalam pemerintahan, Marx berharap gagasannya dimengerti
masyarakat dan masyarakat akan memperoleh pencerahan dan kebahagiaan baru.
Kata Kunci: Agama, Alienasi, Candu
PENDAHULUAN
Tak ayal, berbagai ragam agama telah mewarnai sejarah manusia. Eksistensi
agama yang terlihat dalam hidup seorang Karl Marx, benar-benar membuatnya
berpikir; “Apakah manusia masih membutuhkan agama?”. Karena apa yang
dilihatnya bukanlah kebanyakan dari unsur-unsur kebaikan melainkan sebaliknya.
Agama yang dikenalnya waktu itu adalah agama yang digunakan untuk menindas
masyarakat tak berdosa, bermain politik dan kekuasaan, serta mengintimidasi kaum
minoritas seperti perempuan, kaum miskin, dan kaum berkulit hitam. Marx juga
berpikir apakah agama hanya menghambat manusia untuk merealisasikan
kemanusiaannya sebagai manusia? Bukannya agama hanya menidurkan manusia
untuk menerima kondisinya apa adanya dan menyerahkan takdirnya kepada Yang
Lain? Maka dari itu, Karl Marx menyatakan bahwa agama adalah alienasi dan
candu. Bagaimanakah pemikiran Karl Marx hingga sampai pada pernyataan itu?
1|Sosiologi Agama
BIOGRAFI KARL MARX
1
Yohanes Bahari, Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya, Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan Humaniora Vol. 1 April 2010, hal. 1
2
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme dan Penolakan Kapitalisme, (Surabaya:
NUANSA, 2008), hal. 23-24
3
M. Misbah, Agama dan Alienasi Manusia: Refleksi Atas Kritik Karl Marx terhadap
Agama, Jurnal Komunika Vol. 9 No. 2 Desember 2015, hal. 197
4
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 29
2|Sosiologi Agama
radikal terhadap agama Kristen yang dicetuskan David Friedrich dalam Das Leben
Jesu yang menyatakan bahwa kaum Kristen awal telah mengubah Injil dengan
tradisi-tradisi setempat mereka. Bruno Bauer awalnya menjadi pemimpin dari
Hegelian Kanan, lalu beralih ke Hegelian Kiri.5 Setelah mendapat gelar doktor
dalam falsafah dan disertasinya mengenai filsafat Epicurus, Marx pindah ke Bonn
lagi dengan harapan akan mendapat kesempatan menjadi dosen. Di Bonn, Marx
bertemu kembali dengan Bruno yang sebelumnya menjadi asisten professor.
Namun hal itu tak berlangsung lama ketika Bruno dipecat akibat bukunya yang
berisikan kritik terhadap Injil Sinoptik-yaitu Injil Matius, Injil Markus, dan Injil
Lukas. Karena simpatinya terhadap Bruno, ia pun meninggalkan Bonn dan bekerja
untuk majalah yang terbit di Cologne, Paris. Tak berselang lama, majalah itu
dilarang terbit oleh pemerintah Prussia karena berisikan serangan-serangan Marx
terhadap pemerintah. Marx berpindah lagi ke Paris dan mempelajari sosialisme,
kemudian menikah dengan Jenny von Westpalen. Di Paris jugalah Marx bertemu
dengan sahabat karib seumur hidupnya bernama Friedrich Engels.6 Dengan Engels,
ia berkolaborasi dalam kelompok diskusi Young Hegellians, kelompok yang
mengkaji kritis pemikiran Hegel.7
5
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 32
6
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 31-33
7
Jon Elster, An Introduction to Karl Marx, (New York, Cambridge University Press, 1986),
hal. 7
8
Yohanes Bahari, Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup, hal. 3
3|Sosiologi Agama
Mengingat pemerintahan waktu itu diduduki oleh Gereja, yang juga
digunakan sebagai alat politik untuk melakukan eksploitasi dan penindasan
terhadap kelompok lain dan masyarakat tentunya, maka inilah yang dirasakan oleh
Karl Marx hingga membuat ia berpikir bahwa agama hanyalah candu bagi manusia
untuk membuat manusia seakan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam
agama yang nyatanya tidak. Hal ini juga mendorong Marx dan pemikir lain untuk
mengkritik keberagamaan formal yang cenderung akomodatif terhadap
kepentingan penguasa dan berusaha untuk menyusun kembali teologi baru yang
lebih humanis, yang bisa dijadikan landasan etis untuk meningkatkan kualitas
kemanusiaan manusia.9
9
M. Misbah, Agama dan Alienasi Manusia (Refleksi Atas Kritik Karl Marx terhadap
Agama), Jurnal Komunika, Vol. 9 No. 2 Desember 2015, hal. 201
10
M. Misbah, Agama dan Alienasi Manusia, hal. 199
11
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 35
4|Sosiologi Agama
maupun teologi Kristen sama-sama mengalienasi kesadaran manusia, karena
menundukkan manusia di bawah entitas suci yang diciptakannya. Manusia
menciptakan agama, tetapi agama tidak pernah membuat kehidupan manusia lebih
manusiawi. Meskipun begitu, agama tetap saja menarik bagi masyarakat karena
didasari oleh kebutuhan emosionalnya yang jauh dari kebahagiaan. Jadi, agama
tidak lebih dari halusinasi sesaat. Manusia tidak akan pernah mendapatkan
kebahagiaan yang hakiki jika masih dalam ilusi keagamaan.12
Hegel juga berpendapat bahwa sejarah itu ditentukan oleh ide-ide manusia
atau kesadaran sendiri, atau Jiwa Dunia yang ia samakan dengan Tuhan. Marx
menentang hal ini dan menurutnya manusialah yang membentuk agama bukan
agama yang membentuk manusia.13
12
M. Misbah, Agama dan Alienasi Manusia, hal. 199
13
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 30-31
14
M. Misbah, Agama dan Alienasi Manusia, hal. 200
15
Allen W. Wood, Karl Marx 2nd Edition: Arguments of The Philosophers, (UK:
Routledge, 2004) hal. 46
5|Sosiologi Agama
tenaganya lebih murah dari semestinya. Mereka tidak bisa menikmati apa yang
mereka hasilkan. Mereka ‘terasing’ dari lingkungan tempat mereka bekerja. Marx
menganggap gereja telah gagal dalam menghadapi kehancuran sosial yang terjadi.
Bagaimana tidak? Marx menyaksikan perempuan-perempuan yang dipekerjakan
untuk menarik tali-tali kapal sepanjang pinggiran kanal, anak-anak yang bekerja di
pabrik tekstil selama 12-15 jam sehari, manusia-manusia tak berdosa yang mati
bergelimpangan karena TBC dan lain-lain. Gereja yang selama ini selalu
menyerukan mereka untuk mencintai dan mengasihi sesama, patuh kepada
peraturan gereja, hanya menjadikan mereka terkekang dan terasing dari diri mereka
sendiri. Hidup mereka di kontrol oleh gereja dan tidak mendapatkan hak untuk
bebas bertindak.16 Diketahui setelahnya, kaum borjuis ternyata memperalat gereja
untuk menindas masyarakat Kristen yang mana ini mencoreng nama baik gereja.
Tak dapat dipungkiri, bahwa ada banyak sekali pejabat-pejabat tinggi gereja yang
menyalahgunakan jabatannya untuk bertindak semena-mena terhadap masyarakat
sampai mereka terasing dari lingkungannya.17 Rakyat tidak dapat berbuat dan
bertindak apa-apa, karena apa yang telah ditanamkan dari ajaran gereja dalam Injil;
“Melawan kejahatan, memaafkan tujuh puluh kali tujuh kali, memberikan pipi
kanan setelah ditampar pipi kiri,” mau tidak mau harus mereka laksanakan.18 Inilah
yang dimaksud Marx dengan agama yang mengalienasikan manusia.
16
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 34
17
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 77-78
18
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 79
19
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 93
6|Sosiologi Agama
hidup padahal tidak. Yang mana, hal ini dimanfaatkan para penguasa untuk
menggerus dan menikmati hasil kerja masyarakat pada waktu itu.
ANALISIS
Pendapat Karl Marx tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena apa yang
dilihatnya adalah hal yang nyata, meskipun agama yang disinggung dan dimaksud
Marx disini adalah Kristen. Ia mengkritik orang-orang dibalik pemerintahan Gereja
yang semena-mena terhadap masyarakat termasuk dirinya. Marx merasa gelisah
ketika melihat manusia dikekang kebebasannya dan dirampas kebahagiaannya,
padahal agama sendiri mengajarkan akan hal itu. Yang sebenarnya bukan hanya
masyarakat tersebut, tetapi Marx juga ikut merasakan penderitaan yang mereka
alami. Masyarakat diasingkan dari diri mereka sendiri dan menjadikan agama
sebagai ‘penawar’ dari rasa sakit mereka. Marx melihat bahwa masyarakat
terbohongi oleh semua janji-janji agama yang menjanjikan akan kebahagiaan di
akhirat dengan cara menaati aturan agama. Mengapa tidak bisa bahagia di dunia
jika di akhirat saja bisa? Hal ini semakin mendorong Marx untuk berpikir lebih
dalam. Ia merasa harus mengubah semuanya dan membuat teologi modern yang
menjunjung kualitas kemanusiaan manusia. Sampai akhirnya tercetuslah teologi
kebebasan yang membebaskan manusia dari keterpurukannya.
PENUTUP
20
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme, hal. 75
7|Sosiologi Agama
sehingga terbentuklah pernyataan itu. Melihat kejadian yang dialaminya sendiri dan
orang lain, melihat kekuasaan yang digunakan secara semena-mena, melihat agama
yang hanya menjadi ilusi bagi manusia, melihat agama yang memaksa manusia
untuk berbuat baik meskipun ditindas habis.
REFERENSI
Bahari, Yohanes. Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya. 2010. Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan Humaniora Vol. 1 April
Hashem, O. Agama Marxis: Asal-usul Ateisme dan Penolakan Kapitalisme. 2008.
(Surabaya: NUANSA)
Misbah, M. Agama dan Alienasi Manusia: Refleksi Atas Kritik Karl Marx terhadap Agama.
2015. Jurnal Komunika Vol. 9 No. 2 Desember
Elster, Jon. An Introduction to Karl Marx. 1986. (New York, Cambridge University Press)
W. Wood, Allen. Karl Marx 2nd Edition: Arguments of The Philosophers. 2004. (UK:
Routledge)
8|Sosiologi Agama