Anda di halaman 1dari 12

BIOGRAFI AL-JUNAID, AL QUSYAIRI, RABI’AH AL-ADAWIYAH

DAN AL-GHAZALI SERTA PEMIKIRANNYA DALAM TASAWUF

PENDAHULUAN
Di era ini, sejarah dari para ulama-ulama besar perlahan-lahan mulai
dilupakan. Padahal, dari mereka lah dunia kita bisa berkembang dan bisa lebih maju
dari sebelum-sebelumnya. Terutama dalam ilmu-ilmu populer seperti Ilmu Kalam,
Madzhab-madzhab Fiqh, Tasawuf, dan lain-lain. Terkait tasawuf, penulis akan
menorehkan biografi dari beberapa tokoh-tokoh ternama beserta pemikirannya
dalam Tasawuf.

PEMBAHASAN

1. AL-JUNAID
Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-
Khazzaz al—Nahawandi al-Baghdadi al-Syafi’i atau yang biasa dikenal
dengan Al-Junaid al-Baghdadi merupakan ulama sufi yang paling menonjol
namanya di kalangan ahli-ahli sufi.1 Al-Junaid pertama kali memperoleh
pendidikan agama dari pamannya yang bernama Sarri Al-Saqati, seorang
pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan
dagangannya di kota Baghdad. Sarri al-Saqati juga dikenal sebagai seorang
sufi yang tawadhu’ dan luas ilmunya. Dari pamannya juga lah Al-Junaid
mempelajari ilmu-ilmu tasawuf. Akhirnya, beliau menjadi tokoh paling
terkemuka dari madzhab Tasawuf, bahkan mendapatkan gelar sebagai
Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).2 Beliau belajar hukum-hukum
Islam madzhab Imam Syafi’i, kemudian mempelajari ilmu fiqh kepada Abu
Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Syafi’i.

1
Oman Faturahman, Ithaf al-Dhaki Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara
(Jakarta: Penerbit Mizan, 2010) hal. 256
2
Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muh. Hasyim Assegaf, (Jakarta:
Lentera, 2001) hal. 127
Al-Junaid dikenal sebagai tokoh sufi yang sangat menekankan
pentingnya keselarasan antara praktik dan doktrin tasawuf dengan kaidah-
kaidah syariat. Beliau berpendapat bahwa ajaran Tasawuf tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.3
Adapun pemikiran Al-Junaid mengenai Tasawuf yakni:
 Tasawuf adalah bahwa engkau bersama Allah tanpa
penghubung.4
 Al-Junaid membagi definisi tasawuf ke dalam empat bagian,
yaitu: 1. Tasawuf Mengenal Allah, yang mana hubungan
antara kita dengan-Nya tidak ada perantara. 2. Tasawuf
adalah melakukan semua akhlak baik menurut sunnah
Rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk. 3. Tasawuf
adalah melepaskan hawa nafsu menurut kehendak
Allah. 4. Tasawuf adalah merasa tidak memiliki apapun,
juga tidak dimiliki oleh siapapun kecuali Allah SWT.
 Menurut Al-Junaid, tasawuf juga berarti pengabdian kepada
Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa
yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah,
maka ia adalah sufi.
 Zuhud menurut Al-Junaid bukanlah meninggalkan
kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu
mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap
Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk
mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri, dan
keluarganya. Letak zuhudnya, jika ia memperoleh rezeki
lebih dari cukup, maka ia tak segan memberi kepada mereka
yang lebih membutuhkan.

3
Oman Faturahman, Ithaf al-Dhaki ……………………. hal. 256
4
www.ahmedelkariem.blogspot.com
 Dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret
manusia. Dalam artian, menyesuaikan dengan kehidupan
yang kita jalani di dunia.
 Al-Junaid berkata bahwa seorang sufi tidak seharusnya
hanya berdiam diri di masjid dan berdzikir saja, tanpa
bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang
kehidupannya ia harus menggantungkan diri pada orang lain.
Sifat itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia adalah
seorang sufi, namun ia harus tetap bekerja keras untuk
menopang kehidupannya. Jika sudah mendapatkan hasil, ia
diharapkan mau membelajakannya di jalan Allah SWT.

2. AL-QUSYAIRI

Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn


Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad. Beliau mendapatkan beberapa
gelar, diantaranya An-Naisaburi, yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur
yang merupakan ibu kota terbesar negara Islam pada zaman pertengahan, di
samping kota Balkh-Harrat dan Marw. Gelar kedua, yakni, al-Qusyairi yang
merupakan sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah
sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut. Ketiga, al-Istiwa,
yakni orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah
Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah
pesisiran Naisabur. Keempat, As-Syafi’i, sebuah penisbatan nama pada
madzhab Syafi’i. Kelima, beberapa gelar kehormatan, seperti al-Imam, al-
Ustadz, asy-Syaikh, Zainul Islam, dan al-Jami’ baina Syari’ati wa al-
Haqiqah. Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas
kedudukan beliau yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan
di dunia Islam.5

5
Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi
Ustmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 142
Al-Qusyairi lahir di Astawa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376
H/986 M dan meninggal dunia pada hari Ahad pagi, tanggal 16 Rabi’ul
Akhir tahun 465 H/1073 M. Beliau mempunyai garis keturunan dari pihak
ibu yang berporos pada marga Sulami, paman dari pihak ibu. Beliau
mempunyai istri bernama Fatimah, putri guru sejatinya yakni al-Daqaq.
Fatimah adalah seorang wanita yang berilmu, beradab, dan termasuk ahli
zuhud yang diperhitungkan di zamannya. Dari Fatimah, beliau memiliki 6
orang putra dan 1 orang putri.6

Adapun al-Qusyairi adalah orang yang pandai menunggang kuda.


Tak hanya kuda, senjata pun dengan tangkas dimainkannya. Dalam
pengajaran, beliau memakai sistem majelis imla’ dan majelis tadzkir.
Majelis ini diadakan di Baghdad pada tahun 432 H/1040 M. Al-Qusyairi
juga mengarang buku-buku yang berisi masalah tasawuf dan ilmu-ilmu
Islam, antara lain: Ahkam al-Syar’i, Al-Arba’un fi al-Hadist, Balaghah al-
Maqashid fi al-Tasawuf, dan lain-lain.7

Pemikiran al-Qusyairi berkaitan dengan tasawuf antara lain:

 Menolak sufi Syatahi yang mengucapkan ungkapan-


ungkapan yang mengesankan terjadinya persatuan antara
sifat-sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan.8
 Mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap para sufi yang
pada masanya mempunyai kegemaran untuk
mempergunakan pakaian-pakaian orang miskin, tetapi
perilakunya bertolak belakang dengan pakaian yang mereka
kenakan.9
 Berpendapat bahwa hal adalah sesuatu yang dirasakan
manusia seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu,

6
Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…….. hal. 143
7
Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…….. hal. 145
8
Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah, terj. Muhammad Luqman
Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) hal. 57
9
Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah……. hal. 62
gelisah, takut, dan lain-lain, merupakan suatu pemberian
atau karunia, sedangkan maqam diperoleh dari hasil usaha.
Hal datang dari yang ada dengan sendirinya, sementara
maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus
menerus. Pemilik maqam memungkinkan menduduki
maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering
mengalami naik-turun atau berubah-ubah. 10
 Beberapa maqam yang dikemukakan oleh al-Qusyairi:
Tobat, sebagai tempat pendakian orang-orang yang mendaki
dan maqam pertama bagi sufi pemula. Kata tobat menurut
bahasa artinya “kembali”, maka tobat artinya kembali dari
sesuatu yang di cela dalam syari’at menuju sesuatu yang
dipuji dalam syari’at.
Wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat.
Khalwah dan Uzlah, khalwah merupakan sifat ahli sufi,
sedangkan uzlah adalah bagian dari tanda bahwa seseorang
bersambung dengan Allah SWT.11
 Fana’ dipakai untuk memunjukkan keguguran sifat tercela,
sedangkan Baqa’ untuk menandakan sifat-sifat terpuji.12
 Berpendapat bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu.
Jadi, setiap ilmu adalah ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah
ilmu. Setiap orang yang berma’rifat kepada Allah, adalah
arif (orang bijak yang banyak pengetahuannya). Dan seorang
yang arif adalah orang yang alim.13

10
Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah……. hal. 64
11
Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah……. hal. 65
12
Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah……. hal. 67
13
Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah……. hal. 68
3. RABI’AH AL-ADAWIYAH

Nama aslinya adalah Rabi’ah Al Adawiyah binti Ismail al Adawiyah


al Bashriyah. Orang tuanya memberi nama Rabi’ah karena beliau
merupakan anak ke-empat dari empat bersaudara. Beliau diperkirakan lahir
pada tahun 95 H/713 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak)
dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M.14

Menurut riwayatnya Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang hamba


yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya, ia beribadah,
bertaubat, dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan
menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam
berbagai doa yang dipanjatkannya, ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat
materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya
ingin berada dekat dengan Tuhan.15

Ia terkenal sebagai wanita yang cerdas dan taat kepada perintah


Tuhannya. Ia selalu menghabiskan malamnya untuk bermunajat kepada
Tuhan. Ia juga dikenal sebagai penyair yang selalu membuat syair-syair
tentang cintanya kepada Tuhan. Adapun salah satu syairnya yang terkenal
adalah, “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan
karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingat-
Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir
sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu, pujian untuk kesemuanya.”16

Pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah yang berkaitan dengan tasawuf


antara lain:

14
Widad El Sakkakini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1999) hal. 22
15
Widad El Sakkakini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah…… hal.
24
16
Imam Al-Ghazali, Tarbiyah Cinta, Terj. Yon Machmudi dan Soraya Dimyathi, (Jakarta:
Qultum Media, 2014) hal. 114
 Konsep cintanya kepada Allah. Menurutnya, cinta adalah
jalan keabadian untuk untuk menuju Allah. Dan dengan
jalan cinta itu, Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha kepada
amalan-amalan baiknya. Pemikiran tasawufnya mengenai
mahabbah ini, berdasarkan atas aliran Asketisisme yang
menjauhi hal-hal dunia demi meraih pahala akhirat dan
memelihara diri dari azab neraka.17
 Konsep Zuhud. Pada konsep zuhudnya, ia mengubah
konsep zuhud yang biasanya didasarkan oleh khauf (takut)
berubah menjadi mahabbah (cinta). Ia menjalani hidup
dengan kemiskinan dan pengingkaran diri (nafsu) hingga
akhir hayatnya. Ia meninggalkan sesuatu yang dapat
memalingkannya dari Allah.18
 Taubat. Menurutnya, taubat adalah suatu jenjang dan hal
sekaligus. Karena taubat merupakan ciri abadi kaum
beriman. Syarat taubat adalah al-Shidqu (jujur) dan al-
Inabah (kembali ke jalan Tuhan). Sebab, permohonan
ampunan tanpa bersikap tegas mencabut diri dari perbuatan
dosa adalah taubatnya orang-orang pendusta dan hal itu
merupakan cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang
munafik. Rabi’ah mengatakan bahwa dosa itu menyakitkan,
sebab dosa mampu memisahkan jiwa dengan Yang Dicinta,
yaitu Tuhan. Dosa juga membangkitkan rasa benci, karena
dengan itu akan menyebabkan dirinya terpisah dengan
Tuhan.
 Sabar. Menurutnya, sabar adalah sikap menahan diri
terhadap sesuatu yang tidak disukai, atau menanggung
sesuatu yang tidak disukai dengan bentuk keridhaan atau

17
Sururin, Rabiah Al-Adawiyah Hubb Al-Ilahi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
hal. 37
Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi: Perjalanan Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah,
18

(Surabaya: t.p, 1933) hal. 161


penerimaan, serta menanggung rintangan dalam Dzat Allah.
Ia bersabar atas apa yang terjadi karena itu adalah kehendak
Allah SWT. 19

4. AL-GHAZALI

Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad


al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i. lahir di Thus, pada tahun 450 H/1058 M dan
meninggal di Thus pula pada tanggal 14 Jumadal Akhir 505 H/1111 M. Beliau
adalah filosof dan teolog muslim Persia terkemuka yang dikenal sebagai
Algazel di dunia Barat abad Pertengahan, serta mendapat gelar sebagai Hujjatul
Islam (bukti kebenaran Islam) karena memiliki daya ingat yang kuat dan bijak
berhujjah serta digelari Zain ad-Din (perhiasan agama). Beliau juga dikenal
sebagai tokoh sufi pada abad ke-5. Ia menempuh dua masa kehidupan yang
berbeda. Pertama, ketika ia dalam kondisi penuh semangat dalam menimba
ilmu, mengajar dan penuh gairah dalam kedudukan sebagai guru besar di
Perguruan Nizamiyah yang senantiasa diliputi oleh harta duniawi. Kedua, masa
syakk (ragu) terhadap kebenaran ilmu yang di dapatnya dan terhadap kedudukan
yang dipegangnya. Akhirnya, keraguan itu terobati dengan pengamalan
tasawufnya.20

Sebelum memulai pengembaraannya dalam mencari ilmu, beliau sudah


lebih dulu mempelajari karya sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid
Busthami. Beliau berpetualang ke Naisabur, yang mana disana ia belajar ilmu-
ilmu populer, seperti madzhab-madzhab fiqh, ilmu kalam dan ushul, filsafat,
logika, serta ilmu-ilmu agama lainnya kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, seorang ahli teologi Asy’ariah yang paling terkenal pada masa itu
di sekolah Nizamiyah. Di Nizamiyah inilah ia dia diangkat menjadi dosen pada
usia 25 tahun. Kemudian, setelah gurunya, al-Juwaini wafat, ia pindah ke

19
AJ. Siraaj, A.H Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah: Jenjang Sufisme Rabi’ah
Adawiyah, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003) hal. 59
20
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jilid 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru ven Hoeve) hal. 85
Mu’askar an berhubungan baik dengan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Sultan
Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar di Perguruan
Nizamiyah, Baghdad.21

Al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis.


Dalam masa hidupnya ia banyak menulis buku-buku yang masih bisa dinikmati
sampai sekarang, antara lain: Ihya Ulumuddin, Tahafut Al-Falasifah, Al-
Iqtishad fi al-‘Itiqad, Jawahir al-Qur’an, dan lain-lain.

Adapun pemikiran al-Ghazali berkaitan dengan tasawuf adalah:

 Tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan


yang riil.22
 Ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang
calon sufi. Pertama, tobat. Yang mana, tobat ini mencakup 3
hal, ilmu, sikap, dan tindakan. Tobat harus dilakukan dengan
kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk
tidak mengulangi perbuatan dosa. Kedua, sabar. Al-Ghazali
menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya
nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan
daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat. Jika daya jiwa
yang melahirkan dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi
daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat, maka seseorang
sudah dapat dikategorikan sabar. Ketiga, kefakiran. Yaitu
berusaha utuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan.
Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang membutuhkan
makanan misalnya, harus diteliti dengan seksama apakah halal,
haram, atau syubhat. Jika haram atau syubhat, maka itu harus
ditolak, meskipun ia sangat membutuhkannya. Keempat,

21
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlaq Tasawuf: Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-Tokoh Sufi), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013) hal 164-165
22
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf…………. hal. 165
zuhud. Calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan
hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Kelima, tawakal.
Sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan
kemahakuasaan Allah. Jadi, manusia harus berserah diri kepada
Tuhannya dengan sepenuh hati. Dalam penyerahan diri kepada
Allah SWT, seorang sufi merasa dirinya tiada lagi. Tingkat
tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat.
Keenam, ma’rifat. Yaitu, mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada.
Pengethuan diperoleh dari ma’rifat lebih bermutu daripada
pengetahuan yang diperoleh akal. Ma’rifat inilah yang kemudian
menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan).23
 Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu
sebagai kaum awam, kaum pilihan, dan kaum ahli debat. Kaum
awam, cara berpikirnya sangat sederhana. Mereka tidak dapat
menangkap hakikat-hakikat. Mempunyai sifat lekas percaya dan
menurut. Maka, golongan ini harus diberi nasihat dan petunjuk.
Kaum pilihan, akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
Maka harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-
hikmah. Sedangkan kaum debat, harus dihadapi dengan sikap
mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).24
 Menurut al-Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir para sufi,
sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Jalan menuju
kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia menjelaskan,
“Seandainya anda memandang ke arah ilmu, niscaya anda
melihatnya begitu lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena
kemanfaatannya. Anda pun niscaya mendapatkannya sebagai
sarana menuju akhirat serta kebahagiannya dan juga sebagai

23
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jilid 2………. hal. 27-28
24
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012) hal. 137
jalan mendekatkan diri kepada Allah.” Jadi, asal kebahagiaan di
dunia dan di akhirat adalah ilmu.25
 Segala sesuatu memiliki rasa bahagia, nikmat, dan kepuasan.
Rasa nikmat akan diperoleh bila ia melakukan semua yang
diperintahkan oleh tabiatnya. Tabiat segala sesuatu adalah
semua yang tercipta untuknya. Kenikmatan hati hanya dirasakan
ketika mengetahui Allah, sebab ia diciptakan untuk melakukan
hal itu. Semua yang tidak diketahui manusia, ketika ia
mengetahuinya, ia akan senang. Begitu juga mereka yang telah
sampai pada ma’rifah Allah, pun merasa senang dan tak sabar
untuk menyaksikan-Nya. Karena kenikmatan hati adalah
ma’rifat. Setiap kali ma’rifat bertambah besar, maka nikmatnya
pun akan bertambah besar pula.26

PENUTUP

Kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis, yakni, bahwa kebanyakan dari
tokoh-tokoh tersebut berpandangan sama dalam pemikiran tasawuf. Contohnya
dalam jenjang maqamat yang harus dilalui oleh calon sufi, seperti taubat, sabar,
ma’rifah, zuhud, dan mahabbah. Dari pemikiran tasawuf mereka, kita dapat
mengetahui bagaimana tokoh-tokoh tersebut mengambil sudut pandang mengenai
seorang sufi dan bagaimana pula seorang sufi menjalani jenjang maqamat mereka.

25
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf…….. hal. 182-183
26
Al-Ghazali, Samudera Pemikiran al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002) hal.
118-119
DAFTAR PUSTAKA

Faturahman, Oman. Ithaf al-Dhaki Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim


Nusantara. 2010. Jakarta: Penerbit Mizan

Syekh Fadhlullah Haeri. Belajar Mudah Tasawuf. Diterjemahkan oleh Muhammad


Hasyim. 2001. Jakarta: Lentera

al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman: Suatu Pengantar
tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal
ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung: Pustaka

Imam al-Qusyairi an-Naisabury. Risalah al-Qusyairiyah. Diterjemahkan oleh


Muhammad Luqman Hakiem. 2000. Surabaya: Risalah Gusti

Widad El Sakkakini. Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah.


1999. Surabaya: Risalah Gusti

Imam Al-Ghazali. Tarbiyah Cinta. Diterjemahkan oleh Yon Machmudi dan Soraya
Dimyathi. 2014. Jakarta: Qultum Media

Sururin. Rabi’ah al-Adawiyah Hubb Al-Ilahi. 2002. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Abdul Mun’im Qandil. Figur Wanita Sufi: Perjalanan Hidup Rabi’ah Al-
Adawiyah. 1933. Surabaya: t.p

AJ. Siraaj dan A.H Mahmoud. Perawan Suci dari Basrah: Jenjang Sufisme Rabi’ah
Adawiyyah. 2003. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru

Tim Penyusun. 2002. Ensiklopedi Islam Jilid 2, 4, 5. Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve

Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlaq Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-Tokoh
Sufi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras

Al-Ghazali. 2002. Samudera Pemikiran al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Sufi

Anda mungkin juga menyukai