A. Deskripsi singkat
akhlak tasawuf merupakan mata kuliah yang di dalamnya membahas tentang
konsep dasar akhlak dan perbedaannya dengan konsep etika dan moral yang
selama ini di pahami masyarakat. Selain itu juga menjelaskan terkait konsep
tasawuf.
B. Relevansi
1. Dengan MK akhlak tasawuf yang membahas tentang akhlak dan tasawuf di
harapkan mahasiswa memiliki akhlak yang terpuji.mahasiswa juga di harapkan
memahami tasawuf sehingga mampu meneladani konsep tasawuf dalam
kehidupan sehari-hari
C. Capaian pembelajaran MK
1. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan konsep akhlak, etika ,dan moral
menurut sumber dan cakupannya.
2. Mahasiswa mampu menjelskan akhlak dan tasawuf.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan asal usul da latar belakang tasawuf
1. Uraian materi
A. Syaikh abdul qodir al jailani
1. Biografi
Berikut silsilah nasab beliau, nama ayah al-Jailani Abi Shalih Musa Junkai
Dausat bin Abdillah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin
Musa bin Abdillah bin Musa al-Juni bin Abdullah Mahdhi bin Hasan
Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.3 Dan dari ibu bernama Fatimah
binti Abdillah bin Mahmud bin Abi al-Atha bin Kamaluddin bin Abi Abdillah
Alauddin bin Ali Ridha bin Musa alKazim bin Ja’far al-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Zain al-Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib.4
Silsilah kedua orang tuanya bersambung kepada baginda Rasulullah saw, dan
banyak yang menyebutkan sebagai silsilah rantai emas.234 Sebagaimana
kesepakatan itu dirangkum oleh cucu al-Jailani yaitu Muhammad Fadil,
sekaligus penyunting tafsir Al-Jailani.5
Di usia delapan belas tahun, beliau merantau ke Baghdad pada tahun 488
H abad ke-5 H dimana kota itu merupakan pusat peradaban dan pengetahuan
Islam yang paling maju. Al-Jailani terobsesi menuntut ilmu ke Baghdad
karena merupakan tempat Imam bin Hambal, seorang sosok yang sangat
dikagumi oleh penduduk Jilan. Pada saat bersamaan tahun tersebut al-Ghazali
meninggalkan pengajaran di madrasah al-Nizamiyah kemudian
1
Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany(Kairo: Dar ar-Rayyan li a
tTurats, tt), h.
2
. Bisa dilihat dalam kitab Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, Ka iro: Mathba’ah a lMishriyah
h.19 dan dalam kitab al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq,Vol. II, Beirut: Dar al-I hya a tTurats
al-‘Arab, 1996, h. 17 3 Ibid, bisa dilihat dalam kitab Futuhul Ghoib, maktabah wa matba’ah
mushtofa al-Yabi,tt h. 3 dan kitab Tafsir
Al-Jailani, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, 2014, h. 5
3
Abdul Qadir Al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar,Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah, h.3
4
Abdul al-Razaq al-Kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani : al-Imam al-Zahid al-Qudwah
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), h. 88
5
Muhammad Fadil Al-Jailani, Nahr al-Qadiriyah(Istanbul: Markaz Al-Jailani li al-Buhuts al-
Ilmiyah, 2009), cet. 1 h. 67
mengasingkan diri di Syam, Baghdad. Sejauh pemandangan penulis, Al-
Jailani hidup sezaman dengan alGhazali, namun tidak ditemukan bahwa al-
Jailani berguru kepada al-Ghazali. Selain itu ada beberapa Ulama yang hidup
sezaman al-Jailani seperti imam Ibnu al-Jauzy, Ibnu Qudamah, Syaikh Abu
Umar ibn Shalah, Umar Khayam, al-
Qusyairi, Az-Zuzani.6
Selain itu beliau juga belajar berbagai disiplin ilmu dibidang fikih berguru
kepada Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali dan Abu al-Khithab Mahfudz
bin Ahmad al-Khalwadzani al-Hambali. Bidang ilmu sastra berguru kepada
Abu
Zakariya Yahya al-Tibrizi. Bidang ilmu Hadis berguru kepada Abu Ghain
alBaqilani, Ibnu Khunais, Abu Hanaim al-Rasi, Abu Bakar al-Tamara dan
Abu
6
Abdul al-Razaq al-Kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, h.99
7
Ibid, h.102
8
Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Abdul Qadir Al-Jailani (Yogyakarta: STIQ a n-Nur, 2010),
cet.1. h.67
diperluas dan pembangunannya selesai pada tahun 528 H dimana pada saat itu
beliau berumur 33 tahun. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan
sungguh-sungguh dalam mengajarkan Islam. Sepeninggal al-Jailani para putra
dan muridnya mendirikan suatu thariqah, untuk menyuburkan spiritualitas
Islam di kalangan dunia, dan menamakan tarekat Qadiriyah yang sampai
sekarang masih ada.9 Tarekat qadiriyah selalu taat dengan prinsip syariatnya
dan paling kredibel dari segi sanadnya, sehingga paling banyak diikuti oleh
umat Islam sedunia. Berkaitan dengan tarekat ini, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Tarekat beliau adalah tarekat yang dibenarkan oleh Syara’.10 Sebagai penguat
Martin menyebutkan, tarekat Qadiriyah muncul setelah beberapa generasi
kemudian, meskipun demikian akan sangat mungkin al-Jailani mempunyai
ajaran yang khusus yang tidak disebarkan, kecuali kepada murid-murid
terdekatnya saja. Sebagaimana tarekat yang lain tarekat tersebut ajarannya
lebih cenderung kepada pengembangan diri dalam mendekatkan diri kepada
Sang pencipta melalui beberapa tahapan-tahapan pembersihan hati. Karakter
tarekat ini lebih kalem daripada tarekat yang lain. Kalem dalam arti orang-
orang yang menganut tarekat tersebut kebanyakan lebih halus dan teratur
ajarannya. Berbeda dengan tarekat Syadiliyah yang lebih menggunakan dunia
sebagai alat untuk pengembangan diri dalam mendekatkan diri dengan Sang
Pencipta.
9
Abdul al-Razaq al-kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, h.127
10
Abdul Qadir Al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h. 28
sebagainya. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu
domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria.
Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya
seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah.
Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti
hikmah.
Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu
merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di
sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang
dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan
perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat
batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat
yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari
taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan
utamanya, yakni Allah al-Haq12
Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan
bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-
qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati
dari sifatsifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak
makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta
harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya
adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras)
sampai pada tingkatan takut.13
11
Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h.76
12
Ibid, h.77
13
Ibid
Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan
menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan
asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan
dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.14
Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan
hening yang ada pada jiwa kekasih Allah.
Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta
sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala
tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya.15 Sebagaimana dalam
hadits qudsi,
14
Ibid, h. 78
15
Ibid
16
Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib (Maktabah wa Matba’ah Mustofa: Mesir, 1973), h. 15
17
Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h.79
sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada
dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak
menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam
sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang
hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah
melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk
menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak
disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal
shalihnya.18
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan
menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap
hidup mengasingkan diri dalam arti membenci dunia meski ia menolak untuk
menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan
mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai
permasalahan ini alJailani juga berkata dalam kitab futuhul ghoib:
18
Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu (Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1976), 25 20 Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib, h. 13
dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang
saleh19
kafir.”22
19
Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib Penyingkap Keghaiban (Titah Surga: Yogyakarta,
2015), h.129 22 Ibid, h.128
20
Abdul Qadir al-Jailani,Fath ar-Rabbani ( Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 2010), h. 52
kualitas tersebut, para arifin memiliki perbedaan mendasar dengan manusia
lain. Manusia
lain seperti gambar tanpa ruh, sedangkan mereka ruh itu sendiri, manusia
pada umumnya dzahir, sedang mereka adalah batinya, manusia lain ibarat
bangunan fisik (mabani) sedangkan mereka adalah arti (ma’ani), manusia lain
sebagai wujud kasar (jahr) sedangkan mereka halus (sirr). Mereka adalah
pembela para Nabi, beramal dengan amal para Nabi. Dan inilah makna kalimat
bahwa ulama merupakan pewaris para Nabi.21
Abû Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun:
188261 H/874-947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa
bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya
bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam
dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.23
21
Ibid, h. 50.
22
Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h.62
23
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Cet. II,
93.
dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau
menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang
pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti
kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat
Luqman yang berbunyi: “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua
orang tuamu” ayat ini sanagat menggetarkan hati Abû Yazid. Ia kemudian
berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini
menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan
Allah.24
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang
yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun
tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil
kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke
masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan
pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab hanafi.
24
M. Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Ujungpandang: Identitas, 1994), 73
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya
kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf. Abu Yazid adalah orang
yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fanâ’ dan al-Baqâ’ dalam
tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia
sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar.
Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan
kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.25
Abû Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan
pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara,
maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti
suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari’at.
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada
garis-garis syara’ tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu,
terdapat pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian
yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapanucapan yang
berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktuwaktu dapat berpadu
dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulûl atau Perpaduan. Abu Yazid
meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia
73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai
sekarang.
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fanâ’ dan Baqâ’. Secara
harfiah fanâ’ berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka
sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fanâ’an yang artinya
kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.26
25
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 2002), Vol. II, Cet. I,
82.
26
Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel Di
Aceh Abad 17, (Jakarta: Mizan, 1999), Cet. I, 47-48.
Sedangkan Dari segi bahasa kata fanâ’ berasal dari kata bahasa Arab
yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam
istilah tasawuf, fanâ’ adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang
luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W. 378 H/988 M)
mendefinisikannya
“hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan
dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepantingan ketika berbuat sesuatu”
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus
menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan
bersatu dengan tuhan.
Dalam kamus al-Kautsar, baqâ’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga
berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan
kepadanya
2. Konsep Ittihad
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahadạ -yattahidu yang ̣
artinya (dua benda) menjadi satu , yang dalam istilah Para Sufi adalah satu
tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan
tuhan. Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami
seorang sufi setelah ia melalui tahapan fanâ’ dan baqâ’. Dalam tahapan
ittihâd, ̣ seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang
dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya.27
Salah satu dari mereka berkata: “aku adalah tuhan”, sedang yang lain
menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang
ketiga berkata: “Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan”. Apabila
pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fanâ’) atau bahkan
ketiadaan dari ketiadaan (fanâ’ al-fanâ’).
Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan
ketidaksadarannya (fanâ’), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan
demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya,
berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai
penyatuan (ittihâd) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam
bahasa kenyataan (al-haqîqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid),
27
M. Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, 101
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan
ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis).28
Beliau juga wafat di kota tersebut pada tahun 185H atau sekitar 801.
Nama panjang beliau adalah Rabi‟ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah
al-Qaisiyah.
28
Harun Nasution, Tasawuf…., 42-43
29
Siti Rihanah, Skripsi: “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-
158H/801M)” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), 11.
juga menghafalkan al-Qur‟an, tidak hanya itu, beliau juga mendalami dan
memahami makna alQur‟an dengan imam dan keyakinan yang mendalam.30
30
Siti Rihanah, Skripsi: “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah, 14
31
Ibid, 14-15
sangat dimuliakan oleh semua pelaku sufi besar pada masanya, dan otoritas
kesufiannya tidak diragukan lagi di kalangan sahabat-sahabatnya.”32
32
Ibid, 15
33
Ibid, 16-17
34
Fikri Mahzumi, “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Miyah 11, no. 2 (2015): 71.
keterpaksaan. Pada sumber-sumber lainnya juga menambahkan bahwasannya
cinta merupakan sebuah bentuk penyesuaian, patuh terhadap perintah
tuhanNya, dan menjauhkan diri dari apa yang dilarangNya.35
35
Ibid, 72
36
Kamaruddin Mustamin, “Konsep Mahabbah Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Farabi 17, no. 1 (2020):
69.
37
Fikri Mahzumi, “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah, 73
2. Latihan
a. Siapakah nama asli syeh abdul qodir al jailan ?
b. Di usia berapakah syeh abdul qodir pergi merantau ke bagdad?
c. Termasuk tokoh apakah syeh abdul qodir al jailani?
d. Siapakah nama ayah syeh abul qodir al jailani?
e. Siapakah nasab syeh abdu qodir al jailani dari sang ibu?
f. Mulai usia berapakh syeh abdull qodir al jailani berdakwah?
g. Kepada siapakah beliau belaja ilmu fiqih?
h. Siapakah salah satu guru ilmu fiqih beliau?
i. Kepada siapakah beliau belajar ilmu tasawwuf?
j. Apakah pengertian tasawwuf menurut syeh abdul qodir al jailani?
k. Siapakah itu abu yazid?
l. Apakah pengertian ilmu tasawwuf menurut abu yazid?
m. Apakah yang di sebut fana?
n. Jelaskan al hubb secara etimologi?
o. Sebutkan definisi mahabbah di dalam terminologi sufisme menurut harun
nasuiton!
3. Rangkuman
a. Al-Jailani mempunyai nama asli yaitu Abu Muhammad Muhyiddin Abdul
Qadir Al-Jailani, beliau lahir di Naif di kawasan Jilan atau Kailan pada
bulan Ramadhan di tahun 471 H. Sementara ada yang berpendapat bahwa
al-Jailani lahir pada tahun 470 H/1077 M dan meninggal pada tanggal 11
Rabi’ul Akhir tahun 561 H/1166 M di usia 91 tahun di daerah Bab Al-Ajaz,
Baghdad
b. Berikut silsilah nasab beliau, nama ayah al-Jailani Abi Shalih Musa Junkai
Dausat bin Abdillah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin
Musa bin Abdillah bin Musa al-Juni bin Abdullah Mahdhi bin Hasan
Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dan dari ibu bernama Fatimah
binti Abdillah bin Mahmud bin Abi al-Atha bin Kamaluddin bin Abi
Abdillah Alauddin bin Ali Ridha bin Musa alKazim bin Ja’far al-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Zain al-Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib.
c. Di usia delapan belas tahun, beliau merantau ke Baghdad pada tahun 488 H
abad ke-5 H dimana kota itu merupakan pusat peradaban dan pengetahuan
Islam yang paling maju. Pada saat bersamaan tahun tersebut al-Ghazali
meninggalkan pengajaran di madrasah al-Nizamiyah kemudian
mengasingkan diri di Syam, Baghdad.
d. Selain itu beliau juga belajar berbagai disiplin ilmu dibidang fikih berguru
kepada Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali dan Abu al-Khithab Mahfudz
bin Ahmad al-Khalwadzani al-Hambali. Bidang ilmu sastra berguru kepada
Abu Zakariya Yahya al-Tibrizi. Bidang ilmu Hadis berguru kepada Abu
Ghain al-Baqilani, Ibnu Khunais, Abu Hanaim al-Rasi, Abu Bakar al-
Tamara dan Abu Muhammad Al-Sirraj. Bidang tafsir dan Ilmu Al-Qur’an
berguru kepada Abu al-Wafa Ali bin Aqil, Abu alKhitab Mahfudz al-
Khalwadzani, Abu Ghanaim, Abdul al-Rahman bin Ahmad bin Yusuf, Abu
al-Barakat Hibbatullah al-Mubarak dan lain-lain.
e. Sedangkan al-Jailani belajar sufisme kepada Hammad bin Muslim al-
Dibbas sebagaimana juga diafirmasi oleh Ibnu al-Immad. Setelah al-Jailani
menamatkan pendidikannya di Baghdad, beliau mulai melancarkan
dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun.
f. Menurut Al-Jailani dalam kitab Sir al-Asrar, Al-Jailani menguraikan makna
sufi dan tasawufnya sesuai dengan huruf-hurufnya “Tasawuf” :
g. Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu
merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat
di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin.
h. Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan
bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’
al-qalb dan shafa as-sirr.
i. Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan
hening yang ada pada jiwa kekasih Allah.
j. Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam
kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-
sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah.
k. Abû Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188-
261 H/874-947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin
Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya
bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk
Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.
l. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu
puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia
terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah
seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan
ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja
ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam
perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di
gurun-gurun pasir di syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang
sedikit sekali
m. Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya
kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
n. Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fanâ’ dan Baqâ’. Secara
harfiah fanâ’ berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi,
maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fanâ’an yang
artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
Sedangkan Dari segi bahasa kata fanâ’ berasal dari kata bahasa Arab yakni
faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah
tasawuf, fanâ’ adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur.
o. Dalam kamus al-Kautsar, baqâ’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga
berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan
kepadanya
p. Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittaḥada-yattaḥidu yang artinya
(dua benda) menjadi satu , yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan
dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.
Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang
sufi setelah ia melalui tahapan fanâ’ dan baqâ’. Dalam tahapan ittiḥâd,
seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai
menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya.
q. Rabi‟ah al-Adawiyah lahir di sebuah keluarga yang serba kekurangan.
Ayahnya bernama Ismail al-Adawiyah al-Qishiyyah, beliau merupakan
seorang ayah dari 3 orang putrinya dan suami dari istrinya yang sedang
mengandung Rabi‟ah al-Adawiyah kala itu.
r. Rabi’ah lahir di sebuah perkampungan dekat dengan kota Basrah pada tahun
99H atau sekitar 717M ada pula yang mengatakan 714M karena gelapnya
kehidupan kedua orangtua beliau saat beliau dilahirkan.
s. Beliau juga wafat di kota tersebut pada tahun 185H atau sekitar 801. Nama
panjang beliau adalah Rabi‟ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-
Qaisiyah.
t. Rabi‟ah al-Adawiyah merupakan seorang sufi wanita berasal dari Basrah
yang pertama kalinya mengenalkan konsep “Mahabbah” di bidang tasawuf.
Beliau merupakan salah satu sufi yang tidak mengikuti sufi lainnya, jadi
jelas beliau tidak seperti para sufi umumnya. Bahkan diriwayatkan bahwa
beliau tidak pernah belajar atau menuntut ilmu dari seorang Syeikh ataupun
guru spiritual lainnya. Akan tetapi beliau mencari secara otodidak didasari
pengalamannya langsung kepada Allah
u. Beliau juga tidak pernah secara langsung menuliskan atau membukukan
tentang ajarannya sendiri, akan tetapi ajarannya tersebut mulai dikenal
melalui para muridnya yang dituliskan selang beberapa lama setelah beliau
wafat.
v. Meskipun Ismail ayah Rabi‟ah tidak pernah memberikan pendidikan yang
layak terhadapnya dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang sangat
terbatas, akan tetapi ayahnya sering mengajaknya Rabi‟ah untuk pergi ke
mushollah dan mengajarkan Rabi‟ah ilmu-ilmu agama yang ia miliki.
Beliau menanamkan akhlak yang terpuji kepada anak-anaknya, hingga
akhirnya Rabi‟ah memiliki hati yang bersih dan suci.
w. Secara etimologi al-Hubb diartikan sebagai “mayl al-thab’i ila al-syay’ al-
ladzadz” artinya adalah “kecenderungan terhadap sesuatu yang
melezatkan”. Sedangkan secara terminologi Islam al-Hubb atau cinta itu
dibagi menjadi dua kategori: pertama, cinta sejati atau “al-hubb al-haqiqi”
istilah cinta yang ini adalah cinta yang ditunjukkan kepada sang pencipta.
Kedua, cinta profan “al-hubb al-danasi” sedangkan istilah cinta ini
ditunjukkan kepada selain pencipta (makhlukNya)
x. Menurut kutipan al-Kalabadzi yang merupakan tokoh teosofi al-Junayd
mengatakan bahwa cinta adalah sebuah “kencenderungan hati”. Dimana
kecenderungan hati yang dimaksudkan adalah kecenderungan kepada Allah
dan segala sesuatu yang berhubungan denganNya tanpa adanya rasa
keterpaksaan. Pada sumber-sumber lainnya juga menambahkan
bahwasannya cinta merupakan sebuah bentuk penyesuaian, patuh terhadap
perintah tuhanNya, dan menjauhkan diri dari apa yang dilarangNya.
4. Pustaka
Mahzumi, Fikri. “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah.” Miyah 11, no.
2 (2015).