Anda di halaman 1dari 24

MODUL PEMBELAJARAN

NAMA :m.qodri azizi


NIM : 220966125
PRODI :HKI
KELAS :1b
SEMESTER :I

A. Deskripsi singkat
akhlak tasawuf merupakan mata kuliah yang di dalamnya membahas tentang
konsep dasar akhlak dan perbedaannya dengan konsep etika dan moral yang
selama ini di pahami masyarakat. Selain itu juga menjelaskan terkait konsep
tasawuf.
B. Relevansi
1. Dengan MK akhlak tasawuf yang membahas tentang akhlak dan tasawuf di
harapkan mahasiswa memiliki akhlak yang terpuji.mahasiswa juga di harapkan
memahami tasawuf sehingga mampu meneladani konsep tasawuf dalam
kehidupan sehari-hari
C. Capaian pembelajaran MK
1. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan konsep akhlak, etika ,dan moral
menurut sumber dan cakupannya.
2. Mahasiswa mampu menjelskan akhlak dan tasawuf.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan asal usul da latar belakang tasawuf

1. Uraian materi
A. Syaikh abdul qodir al jailani

1. Biografi

Al-Jailani mempunyai nama asli yaitu Abu Muhammad Muhyiddin Abdul


Qadir Al-Jailani, beliau lahir di Naif di kawasan Jilan atau Kailan pada bulan
Ramadhan di tahun 471 H. Sementara ada yang berpendapat bahwa al-Jailani lahir
pada tahun 470 H/1077 M dan meninggal pada tanggal 11 Rabi’ul Akhir tahun 561
H/1166 M di usia 91 tahun di daerah Bab Al-Ajaz, Baghdad.1 Sepengamatan
penulis, pendapat yang terakhirlah yang banyak diikuti oleh para pengamat biografi
al-Jailani. Kemudian beliau juga mempunyai nasab yang panjang sampai bertemu
dengan Rasulullah saw.

Berikut silsilah nasab beliau, nama ayah al-Jailani Abi Shalih Musa Junkai
Dausat bin Abdillah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin
Musa bin Abdillah bin Musa al-Juni bin Abdullah Mahdhi bin Hasan
Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.3 Dan dari ibu bernama Fatimah
binti Abdillah bin Mahmud bin Abi al-Atha bin Kamaluddin bin Abi Abdillah
Alauddin bin Ali Ridha bin Musa alKazim bin Ja’far al-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Zain al-Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib.4
Silsilah kedua orang tuanya bersambung kepada baginda Rasulullah saw, dan
banyak yang menyebutkan sebagai silsilah rantai emas.234 Sebagaimana
kesepakatan itu dirangkum oleh cucu al-Jailani yaitu Muhammad Fadil,
sekaligus penyunting tafsir Al-Jailani.5

2. Latar Belakang Pendidikan

Di usia delapan belas tahun, beliau merantau ke Baghdad pada tahun 488
H abad ke-5 H dimana kota itu merupakan pusat peradaban dan pengetahuan
Islam yang paling maju. Al-Jailani terobsesi menuntut ilmu ke Baghdad
karena merupakan tempat Imam bin Hambal, seorang sosok yang sangat
dikagumi oleh penduduk Jilan. Pada saat bersamaan tahun tersebut al-Ghazali
meninggalkan pengajaran di madrasah al-Nizamiyah kemudian

1
Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany(Kairo: Dar ar-Rayyan li a
tTurats, tt), h.
2
. Bisa dilihat dalam kitab Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, Ka iro: Mathba’ah a lMishriyah
h.19 dan dalam kitab al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq,Vol. II, Beirut: Dar al-I hya a tTurats
al-‘Arab, 1996, h. 17 3 Ibid, bisa dilihat dalam kitab Futuhul Ghoib, maktabah wa matba’ah
mushtofa al-Yabi,tt h. 3 dan kitab Tafsir
Al-Jailani, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, 2014, h. 5
3
Abdul Qadir Al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar,Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah, h.3
4
Abdul al-Razaq al-Kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani : al-Imam al-Zahid al-Qudwah
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), h. 88
5
Muhammad Fadil Al-Jailani, Nahr al-Qadiriyah(Istanbul: Markaz Al-Jailani li al-Buhuts al-
Ilmiyah, 2009), cet. 1 h. 67
mengasingkan diri di Syam, Baghdad. Sejauh pemandangan penulis, Al-
Jailani hidup sezaman dengan alGhazali, namun tidak ditemukan bahwa al-
Jailani berguru kepada al-Ghazali. Selain itu ada beberapa Ulama yang hidup
sezaman al-Jailani seperti imam Ibnu al-Jauzy, Ibnu Qudamah, Syaikh Abu
Umar ibn Shalah, Umar Khayam, al-

Qusyairi, Az-Zuzani.6

Selain itu beliau juga belajar berbagai disiplin ilmu dibidang fikih berguru
kepada Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali dan Abu al-Khithab Mahfudz
bin Ahmad al-Khalwadzani al-Hambali. Bidang ilmu sastra berguru kepada
Abu

Zakariya Yahya al-Tibrizi. Bidang ilmu Hadis berguru kepada Abu Ghain
alBaqilani, Ibnu Khunais, Abu Hanaim al-Rasi, Abu Bakar al-Tamara dan
Abu

Muhammad Al-Sirraj. Bidang tafsir dan Ilmu Al-Qur’an berguru kepada


Abu alWafa Ali bin Aqil, Abu alKhitab Mahfudz al-Khalwadzani, Abu
Ghanaim, Abdul al-Rahman bin Ahmad bin Yusuf, Abu al-Barakat
Hibbatullah al-Mubarak dan lain-lain.7 Sedangkan al-Jailani belajar sufisme
kepada Hammad bin Muslim alDibbas sebagaimana juga diafirmasi oleh Ibnu
al-Immad. Terkait ketekunan yang luar biasa ini, Ibnu Taimiyyah menyatakan
bahwa al-Jailani dan gurunya Hammad bin Muslim al-Dibbas adalah ahli
istiqamah.8

Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, beliau mulai


melancarkan dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun.
Abu Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya.
Kian hari, murid - muridnya bertambah banyak. Karena itulah, madrasahnya

6
Abdul al-Razaq al-Kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, h.99
7
Ibid, h.102
8
Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Abdul Qadir Al-Jailani (Yogyakarta: STIQ a n-Nur, 2010),
cet.1. h.67
diperluas dan pembangunannya selesai pada tahun 528 H dimana pada saat itu
beliau berumur 33 tahun. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan
sungguh-sungguh dalam mengajarkan Islam. Sepeninggal al-Jailani para putra
dan muridnya mendirikan suatu thariqah, untuk menyuburkan spiritualitas
Islam di kalangan dunia, dan menamakan tarekat Qadiriyah yang sampai
sekarang masih ada.9 Tarekat qadiriyah selalu taat dengan prinsip syariatnya
dan paling kredibel dari segi sanadnya, sehingga paling banyak diikuti oleh
umat Islam sedunia. Berkaitan dengan tarekat ini, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Tarekat beliau adalah tarekat yang dibenarkan oleh Syara’.10 Sebagai penguat
Martin menyebutkan, tarekat Qadiriyah muncul setelah beberapa generasi
kemudian, meskipun demikian akan sangat mungkin al-Jailani mempunyai
ajaran yang khusus yang tidak disebarkan, kecuali kepada murid-murid
terdekatnya saja. Sebagaimana tarekat yang lain tarekat tersebut ajarannya
lebih cenderung kepada pengembangan diri dalam mendekatkan diri kepada
Sang pencipta melalui beberapa tahapan-tahapan pembersihan hati. Karakter
tarekat ini lebih kalem daripada tarekat yang lain. Kalem dalam arti orang-
orang yang menganut tarekat tersebut kebanyakan lebih halus dan teratur
ajarannya. Berbeda dengan tarekat Syadiliyah yang lebih menggunakan dunia
sebagai alat untuk pengembangan diri dalam mendekatkan diri dengan Sang
Pencipta.

3. KONSEP PEMIKIRAN TASAWUF

Tasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam Islam oleh orientalis.


Terdapat berbagai kemungkinan mengenai asal-usul istilah tasawuf ini. Ada
yang mengatakan berasal dari kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid
Madinah, tempat Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada para
sahabatnya seperti Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari dan lain

9
Abdul al-Razaq al-kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, h.127
10
Abdul Qadir Al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h. 28
sebagainya. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu
domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria.
Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya
seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah.
Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti
hikmah.

Menurut Al-Jailani dalam kitab Sir al-Asrar, Al-Jailani menguraikan


makna sufi dan tasawufnya sesuai dengan huruf-hurufnya “Tasawuf”.11

Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu
merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di
sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang
dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan
perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat
batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat
yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari
taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan
utamanya, yakni Allah al-Haq12

Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan
bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-
qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati
dari sifatsifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak
makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta
harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya
adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras)
sampai pada tingkatan takut.13

11
Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h.76
12
Ibid, h.77
13
Ibid
Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan
menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan
asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan
dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.14

Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan
hening yang ada pada jiwa kekasih Allah.

Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta
sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala
tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya.15 Sebagaimana dalam
hadits qudsi,

Allah berkata: “Hamba-Ku yang beriman selalu mendekatkan diri dengan


mengerjakan amalan-amalan yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya,
dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya,
dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan
menjadi tangannya, dengannya ia bekerja dan menjadi kakinya, dengannya
ia berjalan. Tak diragukan lagi, beginilah fana’16

Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam


kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-
sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri
dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah
demikian, maka kefana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya
dan keridhaan-Nya.17

Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan


Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi,

14
Ibid, h. 78
15
Ibid
16
Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib (Maktabah wa Matba’ah Mustofa: Mesir, 1973), h. 15
17
Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h.79
sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada
dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak
menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam
sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang
hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah
melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk
menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak
disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal
shalihnya.18

Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk


maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan
sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf
secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk
melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya,
pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan
fana’20

Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan
menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap
hidup mengasingkan diri dalam arti membenci dunia meski ia menolak untuk
menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan
mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai
permasalahan ini alJailani juga berkata dalam kitab futuhul ghoib:

“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki


dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan
kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah

18
Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu (Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1976), 25 20 Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib, h. 13
dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang
saleh19

Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya,


setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak
ub ahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia
memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu
akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan
akhirat nanti. Dan dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga
bagi orang-orang

kafir.”22

Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat


yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani
merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan
gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam
keseimbangan akhirat.

Beliau berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara praktis-


aplikatif. Al-Jailani meniscayakan syariat sebagai syarat mutlak untuk meraih
keselamatan di dunia dan akhirat, dan kunci penting untuk sampai pada
kedekatan dengan Nya.

Beliau juga mengungkapkan bahwa ma’rifat harus dilalui dengan mujahadah

dan pembersihan diri (tazkiyah al-nafs).20

Orang-orang ma’rifat menurut al-Jailani memiliki keikhlasan sempurna


dalam ibadahnya dengan memberikan sifat ketuhanan dan pengabdian kepada
-Nya sesuai dengan hak-Nya. Disini hak nafsu menjadi benar karena telah buta
kepada dunia, akhirat, dan segala sesuatu selain Allah SWT. Maka dengan

19
Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib Penyingkap Keghaiban (Titah Surga: Yogyakarta,
2015), h.129 22 Ibid, h.128
20
Abdul Qadir al-Jailani,Fath ar-Rabbani ( Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 2010), h. 52
kualitas tersebut, para arifin memiliki perbedaan mendasar dengan manusia
lain. Manusia

lain seperti gambar tanpa ruh, sedangkan mereka ruh itu sendiri, manusia
pada umumnya dzahir, sedang mereka adalah batinya, manusia lain ibarat
bangunan fisik (mabani) sedangkan mereka adalah arti (ma’ani), manusia lain
sebagai wujud kasar (jahr) sedangkan mereka halus (sirr). Mereka adalah
pembela para Nabi, beramal dengan amal para Nabi. Dan inilah makna kalimat
bahwa ulama merupakan pewaris para Nabi.21

Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi


oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia
sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at
di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana batang pohon,
thariqah adalah cabangcabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan
haqiqah adalah buahnya”22 Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus
melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.

B. Abu Yazid Al-Bustomi 1. Biografi

Abû Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun:
188261 H/874-947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa
bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya
bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam
dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.23

Keluarga Abû Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi


ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon
kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika

21
Ibid, h. 50.
22
Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, h.62
23
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Cet. II,
93.
dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau
menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.

Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang
pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti
kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat
Luqman yang berbunyi: “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua
orang tuamu” ayat ini sanagat menggetarkan hati Abû Yazid. Ia kemudian
berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini
menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan
Allah.24

2. Latar Belakang Pendidikan

Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu


puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang
gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid,
ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu
Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam perjalanan kehidupan
Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di
syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali

Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang
yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun
tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.

Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil
kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke
masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan
pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab hanafi.

24
M. Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Ujungpandang: Identitas, 1994), 73
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya
kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf. Abu Yazid adalah orang
yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fanâ’ dan al-Baqâ’ dalam
tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia
sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar.
Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan
kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.25

Abû Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan
pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara,
maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti
suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari’at.

Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada
garis-garis syara’ tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu,
terdapat pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian
yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapanucapan yang
berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktuwaktu dapat berpadu
dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulûl atau Perpaduan. Abu Yazid
meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia
73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai
sekarang.

3. Konsep Pemikiran Tasawuf 1. Konsep Tasawuf Fana Dan Baqa’

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fanâ’ dan Baqâ’. Secara
harfiah fanâ’ berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka
sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fanâ’an yang artinya
kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.26

25
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 2002), Vol. II, Cet. I,
82.
26
Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel Di
Aceh Abad 17, (Jakarta: Mizan, 1999), Cet. I, 47-48.
Sedangkan Dari segi bahasa kata fanâ’ berasal dari kata bahasa Arab
yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam
istilah tasawuf, fanâ’ adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang
luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W. 378 H/988 M)
mendefinisikannya

“hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan
dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepantingan ketika berbuat sesuatu”

Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus
menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan
bersatu dengan tuhan.

Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqâ’, yang berarti


to live and survive (hidup dan terus hidup), Adapun baqâ’, berasal dari kata
baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah
tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan
dengan Sufi, maka sebutan baq’ biasanya digunakan dengan proposisi: baqâ’
bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.

Dalam kamus al-Kautsar, baqâ’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga
berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan
kepadanya

Dalam tasawuf, fanâ’ dan baqâ’ beriringan, sebagaiamana dinyatakan


oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanâ’lah
yang tiada, dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fanâ’ dari dirinya dan
baqâ’ dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.

2. Konsep Ittihad

Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahadạ -yattahidu yang ̣
artinya (dua benda) menjadi satu , yang dalam istilah Para Sufi adalah satu
tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan
tuhan. Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami
seorang sufi setelah ia melalui tahapan fanâ’ dan baqâ’. Dalam tahapan
ittihâd, ̣ seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang
dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya.27

Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut; Apabila


Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi
akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq)̣
Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain,
ia merupakan pengalamn afektif (hal wa dzauqan)̣ ; pluralitas menghilang
darinya secara bersama-sama.

Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan Murni (al-fardaniyyat


almahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung.
Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap
dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi
akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah
meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan nalar

Salah satu dari mereka berkata: “aku adalah tuhan”, sedang yang lain
menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang
ketiga berkata: “Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan”. Apabila
pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fanâ’) atau bahkan
ketiadaan dari ketiadaan (fanâ’ al-fanâ’).

Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan
ketidaksadarannya (fanâ’), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan
demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya,
berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai
penyatuan (ittihâd) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam
bahasa kenyataan (al-haqîqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid),

27
M. Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, 101
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan
ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis).28

C. Rabi’ah Al-Adawiyah 1. Biografi

Rabi‟ah al-Adawiyah lahir di sebuah keluarga yang serba kekurangan.


Ayahnya bernama Ismail al-Adawiyah al-Qishiyyah, beliau merupakan
seorang ayah dari 3 orang putrinya dan suami dari istrinya yang sedang
mengandung Rabi‟ah al-Adawiyah kala itu. Beliau merupakan seorang yang
pekerja keras serta taat beragama. Meskipun hidup dengan serba kekurangan
beliau tidak pernah merasa berat akan dunianya dan tidak pernah terbesit rasa
tamak untuk mengejar kenikmatan dunia. Sebaliknya beliau selalu merasa
cukup dan sangat bersyukur kepada Allah dengan apa yang telah didapatnya
serta selalu beristigfar kepada Allah.29

Rabi’ah lahir di sebuah perkampungan dekat dengan kota Basrah pada


tahun 99H atau sekitar 717M ada pula yang mengatakan 714M karena
gelapnya kehidupan kedua orangtua beliau saat beliau dilahirkan.

Beliau juga wafat di kota tersebut pada tahun 185H atau sekitar 801.
Nama panjang beliau adalah Rabi‟ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah
al-Qaisiyah.

Walaupun Rabi‟ah lahir dan tumbuh di keluarga yang serba kekurangan


di sebuah rumah yang terpencil padahal Basrah merupakan kota yang amat
kaya pada masa itu, tetapi beliau sangat beriman dan bertaqwa dan juga
memiliki banyak karya. Ayahnya sejak kecil mengajarkan beliau tentang
qanaah, wara’ dan juga pelajaran agama Islam lainnya. Pada akhirnya
rohaniah beliau berkembang dengan pesat sehingga beliau gemar membaca

28
Harun Nasution, Tasawuf…., 42-43
29
Siti Rihanah, Skripsi: “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-
158H/801M)” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), 11.
juga menghafalkan al-Qur‟an, tidak hanya itu, beliau juga mendalami dan
memahami makna alQur‟an dengan imam dan keyakinan yang mendalam.30

Sejak kecil Rabi’ah tidak pernah menuntut banyak terhadap kedua


orangtuanya, karena beliau memahami betul kondisi ekonomi
keluarganya.Oleh karena itu beliau tidak pernah bergantung kepada orang lain
dan selalu menggantungkan harapan kepada dirinya sendiri. Sehingga ketika
kedua orangtua Rabi‟ah wafat, beliau tidak merasa asing ataupun tertekan
dengan keadaan hidup yang serba kekurangan dan penderitaan hidup. Beliau
tidak pernah lelah dan malu untuk bekerja dari pagi hari sampai dengan sore
hari demi keberlangsungan hidupnya. Rabi’ah dan ketiga saudarinya
meneruskan pekerjaan ayahnya yaitu menyebrangi orang-orang di sungai
Dijlah, sejak saat itulah beliau dikenal dengan panggilan Rabi‟ah
alAdawiyah31

2. Latar Belakang Pendidikan

Rabi‟ah al-Adawiyah merupakan seorang sufi wanita berasal dari Basrah


yang pertama kalinya mengenalkan konsep “Mahabbah” di bidang tasawuf.
Beliau merupakan salah satu sufi yang tidak mengikuti sufi lainnya, jadi jelas
beliau tidak seperti para sufi umumnya. Bahkan diriwayatkan bahwa beliau
tidak pernah belajar atau menuntut ilmu dari seorang Syeikh ataupun guru
spiritual lainnya. Akan tetapi beliau mencari secara otodidak didasari
pengalamannya langsung kepada Allah. Beliau juga tidak pernah secara
langsung menuliskan atau membukukan tentang ajarannya sendiri, akan tetapi
ajarannya tersebut mulai dikenal melalui para muridnya yang dituliskan
selang beberapa lama setelah beliau wafat. Seorang penyai „Attar menuliskan
bahwa “ Posisi Rabi‟ah sangat unik, sebab dalam kaitannya dengan tuhan dan
pengetahuannya mengenai ilmuilmu ketuhanan tidak ada bandingannya. Dia

30
Siti Rihanah, Skripsi: “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah, 14
31
Ibid, 14-15
sangat dimuliakan oleh semua pelaku sufi besar pada masanya, dan otoritas
kesufiannya tidak diragukan lagi di kalangan sahabat-sahabatnya.”32

Meskipun Ismail ayah Rabi‟ah tidak pernah memberikan pendidikan


yang layak terhadapnya dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang sangat
terbatas, akan tetapi ayahnya sering mengajaknya Rabi‟ah untuk pergi ke
mushollah dan mengajarkan Rabi‟ah ilmu-ilmu agama yang ia miliki. Beliau
menanamkan akhlak yang terpuji kepada anak-anaknya, hingga akhirnya
Rabi‟ah memiliki hati yang bersih dan suci. Ajaran dari ayahnya inilah yang
menjadi bekal Rabi‟ah hingga menjadi salah satu tokoh sufi yang terkenal.
Cinta kepada tuhan atau yang dikenal sebagai “Mahabbah” merupakan puncak
dari tasawuf Rabi‟ah alAdawiyah. Banyak pula syair-syair sufistik gubahan
beliau yang mengandung makna tentang cinta kepada tuhan. Syair-syair inilah
yang di dalam kehidupan sufistik para sufi lainnya seperti Jalaluddin al-Rumi,
al-Hallaj, Ibnu al-Farij dan masih banyak lagi.33

3. Konsep Pemikiran Tasawuf

Secara etimologi al-Hubb diartikan sebagai “mayl al-thab’i ila al-syay’


al-ladzadz” artinya adalah “kecenderunga terhadap sesuatu yang melezatkan”.
Sedangkan secara terminologi Islam al-Hubb atau cinta itu dibagi menjadi dua
kategori: pertama, cinta sejati atau “al-hubb al-haqiqi” istilah cinta yang ini
adalah cinta yang ditunjukkan kepada sang pencipta. Kedua, cinta profan
“alhubb al-danasi” sedangkan istilah cinta ini ditunjukkan kepada selain
pencipta (makhlukNya).34

Menurut kutipan al-Kalabadzi yang merupakan tokoh teosofi al-Junayd


mengatakan bahwa cinta adalah sebuah “kencenderungan hati”. Dimana
kecenderungan hati yang dimaksudkan adalah kecenderungan kepada Allah
dan segala sesuatu yang berhubungan denganNya tanpa adanya rasa

32
Ibid, 15
33
Ibid, 16-17
34
Fikri Mahzumi, “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Miyah 11, no. 2 (2015): 71.
keterpaksaan. Pada sumber-sumber lainnya juga menambahkan bahwasannya
cinta merupakan sebuah bentuk penyesuaian, patuh terhadap perintah
tuhanNya, dan menjauhkan diri dari apa yang dilarangNya.35

Sedangkan Harun Nasution menyatakan definisi mahabbah di dalam


terminologi sufisme adalah sebagai berikut:

a. Mengosongkan hati dari segala-sesuatu kecuali dari Tuhan.

b. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan


kepadaNya.

c. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi36

Dari pengertian-pengertian mahabbah secara terminologi di atas, dapat


ditarik kesimpulan terdapat tiga unsur pembangun mahabbah yaitu: pertama,
Ridha. Unsur ini dapat diartikan sebagai ketaatan kepada sang pencipta tanpa
adanya penyangkalan seorang hamba kepada penciptanya. Maksudnya adalah
seorang hamba selalu menerima dan berpasrah diri terhadap kehendak dan
keputusan Allah atau yang disebut sebagai “qada dan qadr” secara lapang dada
dan bahagia. Kedua, al-Syawq. Atau rasa rindu yang terbakar di diri seorang
hamba yang ingin bertemu dengan penciptanya. Ketiga, al-Uns. Merupakan
keintiman atau keadaan seorang hamba yang merasa sangat dekat dengan sang
pencipta dan merasakan adanya kehadiran Allah tanpa adanya penghalang.37

35
Ibid, 72
36
Kamaruddin Mustamin, “Konsep Mahabbah Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Farabi 17, no. 1 (2020):
69.
37
Fikri Mahzumi, “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah, 73
2. Latihan
a. Siapakah nama asli syeh abdul qodir al jailan ?
b. Di usia berapakah syeh abdul qodir pergi merantau ke bagdad?
c. Termasuk tokoh apakah syeh abdul qodir al jailani?
d. Siapakah nama ayah syeh abul qodir al jailani?
e. Siapakah nasab syeh abdu qodir al jailani dari sang ibu?
f. Mulai usia berapakh syeh abdull qodir al jailani berdakwah?
g. Kepada siapakah beliau belaja ilmu fiqih?
h. Siapakah salah satu guru ilmu fiqih beliau?
i. Kepada siapakah beliau belajar ilmu tasawwuf?
j. Apakah pengertian tasawwuf menurut syeh abdul qodir al jailani?
k. Siapakah itu abu yazid?
l. Apakah pengertian ilmu tasawwuf menurut abu yazid?
m. Apakah yang di sebut fana?
n. Jelaskan al hubb secara etimologi?
o. Sebutkan definisi mahabbah di dalam terminologi sufisme menurut harun
nasuiton!

3. Rangkuman
a. Al-Jailani mempunyai nama asli yaitu Abu Muhammad Muhyiddin Abdul
Qadir Al-Jailani, beliau lahir di Naif di kawasan Jilan atau Kailan pada
bulan Ramadhan di tahun 471 H. Sementara ada yang berpendapat bahwa
al-Jailani lahir pada tahun 470 H/1077 M dan meninggal pada tanggal 11
Rabi’ul Akhir tahun 561 H/1166 M di usia 91 tahun di daerah Bab Al-Ajaz,
Baghdad
b. Berikut silsilah nasab beliau, nama ayah al-Jailani Abi Shalih Musa Junkai
Dausat bin Abdillah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin
Musa bin Abdillah bin Musa al-Juni bin Abdullah Mahdhi bin Hasan
Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dan dari ibu bernama Fatimah
binti Abdillah bin Mahmud bin Abi al-Atha bin Kamaluddin bin Abi
Abdillah Alauddin bin Ali Ridha bin Musa alKazim bin Ja’far al-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Zain al-Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib.
c. Di usia delapan belas tahun, beliau merantau ke Baghdad pada tahun 488 H
abad ke-5 H dimana kota itu merupakan pusat peradaban dan pengetahuan
Islam yang paling maju. Pada saat bersamaan tahun tersebut al-Ghazali
meninggalkan pengajaran di madrasah al-Nizamiyah kemudian
mengasingkan diri di Syam, Baghdad.
d. Selain itu beliau juga belajar berbagai disiplin ilmu dibidang fikih berguru
kepada Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali dan Abu al-Khithab Mahfudz
bin Ahmad al-Khalwadzani al-Hambali. Bidang ilmu sastra berguru kepada
Abu Zakariya Yahya al-Tibrizi. Bidang ilmu Hadis berguru kepada Abu
Ghain al-Baqilani, Ibnu Khunais, Abu Hanaim al-Rasi, Abu Bakar al-
Tamara dan Abu Muhammad Al-Sirraj. Bidang tafsir dan Ilmu Al-Qur’an
berguru kepada Abu al-Wafa Ali bin Aqil, Abu alKhitab Mahfudz al-
Khalwadzani, Abu Ghanaim, Abdul al-Rahman bin Ahmad bin Yusuf, Abu
al-Barakat Hibbatullah al-Mubarak dan lain-lain.
e. Sedangkan al-Jailani belajar sufisme kepada Hammad bin Muslim al-
Dibbas sebagaimana juga diafirmasi oleh Ibnu al-Immad. Setelah al-Jailani
menamatkan pendidikannya di Baghdad, beliau mulai melancarkan
dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun.
f. Menurut Al-Jailani dalam kitab Sir al-Asrar, Al-Jailani menguraikan makna
sufi dan tasawufnya sesuai dengan huruf-hurufnya “Tasawuf” :
g. Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu
merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat
di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin.
h. Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan
bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’
al-qalb dan shafa as-sirr.
i. Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan
hening yang ada pada jiwa kekasih Allah.
j. Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam
kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-
sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah.
k. Abû Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188-
261 H/874-947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin
Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya
bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk
Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.
l. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu
puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia
terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah
seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan
ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja
ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam
perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di
gurun-gurun pasir di syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang
sedikit sekali
m. Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya
kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
n. Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fanâ’ dan Baqâ’. Secara
harfiah fanâ’ berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi,
maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fanâ’an yang
artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
Sedangkan Dari segi bahasa kata fanâ’ berasal dari kata bahasa Arab yakni
faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah
tasawuf, fanâ’ adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur.
o. Dalam kamus al-Kautsar, baqâ’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga
berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan
kepadanya
p. Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittaḥada-yattaḥidu yang artinya
(dua benda) menjadi satu , yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan
dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.
Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang
sufi setelah ia melalui tahapan fanâ’ dan baqâ’. Dalam tahapan ittiḥâd,
seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai
menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya.
q. Rabi‟ah al-Adawiyah lahir di sebuah keluarga yang serba kekurangan.
Ayahnya bernama Ismail al-Adawiyah al-Qishiyyah, beliau merupakan
seorang ayah dari 3 orang putrinya dan suami dari istrinya yang sedang
mengandung Rabi‟ah al-Adawiyah kala itu.
r. Rabi’ah lahir di sebuah perkampungan dekat dengan kota Basrah pada tahun
99H atau sekitar 717M ada pula yang mengatakan 714M karena gelapnya
kehidupan kedua orangtua beliau saat beliau dilahirkan.
s. Beliau juga wafat di kota tersebut pada tahun 185H atau sekitar 801. Nama
panjang beliau adalah Rabi‟ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-
Qaisiyah.
t. Rabi‟ah al-Adawiyah merupakan seorang sufi wanita berasal dari Basrah
yang pertama kalinya mengenalkan konsep “Mahabbah” di bidang tasawuf.
Beliau merupakan salah satu sufi yang tidak mengikuti sufi lainnya, jadi
jelas beliau tidak seperti para sufi umumnya. Bahkan diriwayatkan bahwa
beliau tidak pernah belajar atau menuntut ilmu dari seorang Syeikh ataupun
guru spiritual lainnya. Akan tetapi beliau mencari secara otodidak didasari
pengalamannya langsung kepada Allah
u. Beliau juga tidak pernah secara langsung menuliskan atau membukukan
tentang ajarannya sendiri, akan tetapi ajarannya tersebut mulai dikenal
melalui para muridnya yang dituliskan selang beberapa lama setelah beliau
wafat.
v. Meskipun Ismail ayah Rabi‟ah tidak pernah memberikan pendidikan yang
layak terhadapnya dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang sangat
terbatas, akan tetapi ayahnya sering mengajaknya Rabi‟ah untuk pergi ke
mushollah dan mengajarkan Rabi‟ah ilmu-ilmu agama yang ia miliki.
Beliau menanamkan akhlak yang terpuji kepada anak-anaknya, hingga
akhirnya Rabi‟ah memiliki hati yang bersih dan suci.
w. Secara etimologi al-Hubb diartikan sebagai “mayl al-thab’i ila al-syay’ al-
ladzadz” artinya adalah “kecenderungan terhadap sesuatu yang
melezatkan”. Sedangkan secara terminologi Islam al-Hubb atau cinta itu
dibagi menjadi dua kategori: pertama, cinta sejati atau “al-hubb al-haqiqi”
istilah cinta yang ini adalah cinta yang ditunjukkan kepada sang pencipta.
Kedua, cinta profan “al-hubb al-danasi” sedangkan istilah cinta ini
ditunjukkan kepada selain pencipta (makhlukNya)
x. Menurut kutipan al-Kalabadzi yang merupakan tokoh teosofi al-Junayd
mengatakan bahwa cinta adalah sebuah “kencenderungan hati”. Dimana
kecenderungan hati yang dimaksudkan adalah kecenderungan kepada Allah
dan segala sesuatu yang berhubungan denganNya tanpa adanya rasa
keterpaksaan. Pada sumber-sumber lainnya juga menambahkan
bahwasannya cinta merupakan sebuah bentuk penyesuaian, patuh terhadap
perintah tuhanNya, dan menjauhkan diri dari apa yang dilarangNya.

4. Pustaka

Al-Kaylani, Abdul al-Raziq, al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani : al-Imam


al-Zahid alQudwah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.

Al-Jailani, Abdul Qadir, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany,


Kairo: Dar arRayyan li at-Turats, tt.

Al-Jailani, Abdul Qadir, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. I,


Beirut: Dar al-Ihya atTurats al-‘Arab, 1996.

Al-Jailani, Abdul Qadir, Futuhul Ghoib Penyingkap Keghaiban (Titah


Surga: Yogyakarta, 2015).

Al-Jailani, Abdul Qadir, Futuhul Ghoib, Maktabah wa Matba’ah Mushtofa


al-Yabi, tt.
Al-Jailani, Abdul Qadir, Sirr al-Asrar, wa Madhhar al-Anwar, Kairo:
Mathba’ah alMishriyah.

Al-Jailani, Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, Dar al-Kotob Al-Ilmiyah:Beirut,


2014.

Masduki, Anis, Metode Tafsir Sufistik Abdul Qadir Al-Jailani, Yogyakarta:


STIQ an-Nur. 2010), cet.1.

Madkur, Ibrahim, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj, wa Tathbiquhu, Kairo:


Dar al-Ma’arif, 1976.

Redaksi, “Tasawuf, Mutiara Yang Mulai di Ingat Lagi,” Ulumul Qur’an 1,


1989.

Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka


Setia, 2004. Cet. II.

Emang, Ruddin. Akhlaq Tasawuf. Ujungpandang: Identitas, 1994.

Fathurrahman, Oman. Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud Kasus


Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Jakarta: Mizan, 1999. Cet. I.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press,


2002. Vol. II. Cet. I.

Mahzumi, Fikri. “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah.” Miyah 11, no.
2 (2015).

Mustamin, Kamaruddin. “Konsep Mahabbah Rabi‟ah Al-Adawiyah.”


Farabi 17, no. 1 (2020).

Rihanah,Siti. 2011. “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah


(99H/717M158H/801M)” Skripsi: Adab dan Humaniora, Sejarah dan
Peradaban Islam, Jakarta.
5. Tugas lembar kerja
Buatlah rangkuman dari penjelasan materi pada kegiatan belajar 1 ! (biografi,
latar belakang pendidikan dan konsep pemikiran tokoh tasawuf)

6. Test formative atau kunci jawaban latihan


Jawablah pertanyaan berikut dengan benar!
a. siapakah ulama yang hidup di zaman imam ghazali........(imam ibnu aljauzi,
ibnu qudamah syekh abu umar ibn salah umar khayan)
b. apa dawuh syekh abdul qodir al jailani mengenai dunia di kitab fathul
qorib.....(kuasai dunia, jangan di kuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan di
miliki dunia. Settirlah dunia, jangan di perbudak olehnya.)
c. apa pengertian orang orang makrifat menurut al jailani.......(yaitu memiliki
keikhlasan sempurna dalam ibadahnya dengan memberikan siffat ketuhanan
dan pengabdian kepadanya sesuai dengan haknya)
d. siapakah nama lengkap abu yazid al bustami.....(abu yazid taifur bin isa bin
adam bin surusyan)
e. sebelum abu yazid membuktikan seorang shufi ia terlebih dahulu menjadi
seorang.........(ahli faqih dalam madzhab hanafi)
f. apakah ajaran ilmu tasawuf terpenting abu yazid.....(fana’dan baqa’)
g. apakah yang di sebut ittihad secara bahasa....(berasal dari kata ittahada
yattahidu yang artinya 2 benda menjadi satu)
h. siapakah rabiah al adawiyah.....(beliau merupakan seorang ahli shufi wanita
yang lahir di perkampungan dekat dengan kota basrah pada tahun 99h atau
sekitar 717 masehi)
i. jelaskan secara etimologi al huq......(di artikan sebagai kecenderungan
terhadap sesuatu yang melezatkan)

7. umpan balik/tindak lanjut

Anda mungkin juga menyukai