Anda di halaman 1dari 21

HADITS TENTANG MEMPERMUDAH KHITBAH

A. Pendahuluan

Dalam proses membina rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilalui

hingga diakhiri dengan proses pernikahan (ijab kabul). Salah satu proses tersebut

adalah proses meminang atau melamar. Melamar atau meminang merupakan langkah

awal untuk menggapai tujuan pernikahan dalam Islam. Pihak lelaki akan datang

melamar pihak wanita baik sendiri maupun bersama keluarganya dan membuat

kesepakatan bersama tentang rencana pernikahan baik nikah secara resmi

maupun nikah siri. Dalam Islam meminang seorang wanita dan mengikatnya dalam

hubungan disebut dengan khitbah sedangkan dalam istilah adat disebut

bertunangan. Dalam konteks ini, makalah ini akan mengetengahkan hadits-hadits yang

berkaitan dengan anjuran mempermudah proses khitbah atau lamaran.

Kata khitbah adalah transliterasi dari bahasa arab yang artinya adalah

meminang atau melamar. Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata

kerja). Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk

dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan

ialah pernyataan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang

perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai maupun

secara langsung tanpa perantara.1 Adapun salah satu tujuan disyariatkannya khitbah

1 M. Dahlan R, Fikih Munakahat (Yogyakarta: Deepublish, 2015) hlm. 10

1
adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya. 2

Sedangkan Sayyid Sabiq mengungkapkan bahawa meminang adalah seorang laki-laki

meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang

sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.3

Dari pengertian-pengertian diatas, khitbah dapat dimaknai sebagai ungkapan

seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk dijadikan istri yang menemani

dalam kehidupannya dengan tata cara yang biasa berlaku sesuai dengan kaidah yang

berlaku di lingkungan tempat tinggalnya serta tidak melanggar aturan agamanya.

Meminang adalah gerbang masuk bagi perkawinan. Sebelum terjadi ijab kabul,

meminang adalah pengantarnya. Pengantar tersebut berupa proses permintaan

persetujuan pihak wanita untuk menjadi pendamping hidup pihak laki-laki atau

sebaliknya. Namun, wanita yang telah dikhitbah tidaklah menjadi halal seketika.

Wanita tersebut tetaplah merupakan orang asing atau mahram yang tidak boleh

disentuh atau diperlakukan seperti suami-istri. Oleh karena itu, setiap ada pertemuan

antara laki-laki dan wanita yang telah melaksanakan khitbah, maka harus didampingi

mahram atau orang ketiga.

2 Syamsudin Ramdhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia (Bogor: Ide
Pustaka, 2004), hlm. 49
3 Sayyid Sabiq, Fikih al Sunnahi, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah (Jakarta: Pena Abadi Aksara,
2006), Juz 2, hlm. 505

2
B. Teks Hadits

‫ة ع اعع ن‬ ‫ن ل اهعي بعا ا‬


‫ة‬
‫م ا‬ ‫سععا ا‬ ‫نأ ا‬ ‫ب‬ ‫حد داثنَا ا اب ب ن‬
‫ل ا‬ ‫سععي بد داقا ا‬ ‫ن ا‬ ‫حد داثنَا ا قنت اي بب ا ن‬
‫ةب ب ن‬ ‫ا‬
‫ة‬‫شعع ا‬‫عائ ع ا‬ ‫ن ا‬ ‫ن ع نبرواة ا ع اعع ب‬ ‫سل اي بم د ع ا ب‬ ‫ن ن‬ ‫ن بب ع‬‫وا ا‬ ‫ف ا‬
‫ص ب‬‫ن ا‬ ‫ن ازي بد د ع ا ب‬ ‫بب ع‬
‫ن‬ ‫معع ن‬‫ي ن ب‬: ‫م‬‫ه ع ال اي بععهع واسععل د ا‬ ‫ل اللعع ن‬ ‫صعع د‬‫ل اللهع ا‬ ‫سوب ن‬ ‫ل ار ن‬ ‫ اقا ا‬:‫ت‬ ‫قا ال ا ب‬
‫ال ب ا‬
(‫)رواه أحمد‬.‫داقعاها‬ ‫ص ا‬‫سي بنر ا‬ ‫خط بب ات عاهاوات ا ع‬ ‫سي بنر ع‬ ‫مبرأةع ت ا ع‬ ‫ا‬
C. Makna Mufrodat

‫ن‬‫م ن‬ ‫ين ب‬ = Keberkahan

‫سي بنر‬‫تا ع‬ = Memudahkan, meringankan

‫خط بب ات عاها‬
‫ع‬ = Khitbah, lamaran, pinangan, pertunangan

‫داقعاها‬
‫ص ا‬
‫ا‬ = Sedekah, dalam hadits ini bermakna mahar

D. Makna Sempurna

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id; telah mengabarkan kepada kami

Ibnu Lahi’ah, dari Usamah bin Zaid, dari Shafwan bin Sulaim, dari Urwah, dari

Aisyah berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: "Wanita yang

berbarakah adalah yang memudahkan dalam khitbahnya dan meringankan

maharnya." (HR.Imam Ahmad dalam Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal Jilid 6

Bab Hadits Sayyidah Aisyah)

E. Takhrij Hadits

3
Menurut Mahmud al-Thahhan: Takhrij adalah (usaha) menunjukkan letak asal

haditst pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya telah dicantumkan sanad

haditst tersebut (secara lengkap), serta menjelaskan kualitas haditst tersebut jika

kolekter memandang perlu.4 Menurut Nawir Yuslem: Hakekat takhrij adalah

penelusuran atau pencaraian haditst pada berbagai kitab haditst sebagai sumbernya

yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanad Haditst. 5

Menurut M. Syuhudi Ismail: Takhrij Haditst adalah penelusuran atau pencaraian

Haditst pada berbagai kitab sumber asli dari haditst yang bersangkutan, yang didalam

sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad haditst yang bersangkutan. 6

Dari defenisi-defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa takhrij haditst adalah usaha

menemukan matan dan sanad haditst secara lengkap dari sumber-sumbernya yang asli

yang dari situ akan bisa diketahui kualitas suatu haditst baik secara lansung karena

sudah disebutkan oleh kolektornya maupun melalui penelitian selanjutnya.

Adapun takhrij hadits yang akan dijelaskan dalam pembahasan ini yaitu:

1. Sanad Hadits

Sanad secara bahasa berasal dari kata sanad yang berarti penggabungan

sesuatu ke sesuatu yang lain, karena didalamnya tersusun banyak nama yang

tergabung dalam satu rentetan jalan.7 Sanad disebut juga dengan Thariq (Jalan),

karena sanad merupakan jalan yang menyampaikan periwayat kepada matan al-

4 Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasatu al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1978),
hlm 10
5 Nawir Yuslem, Ulumul Haditst, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997), hlm. 395
6 M. Syuhudi Ismail, Metodalogi Penelitian Haditst Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 43
7 Ahmad Abdul Khozin, Pengantar Ulumul Hadits (Cirebon, 2011), hlm. 12

4
hadits. Ketika membahas masalah sanad maka tidak akan luput dari istilah

Musnid, Musnad dan Isnad, karena istilah-istilah tersebut sangat berkaitan erat

dengan sanad.

Sanad mengandung dua bagian penting, yaitu nama-nama periwayat dan

lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing

periwayat dalam meriwayatkan hadits. Para ulama hadits berpendapat akan

pentingnya kedudukan sanad dalam riwayat hadits. Oleh karena itu, suatu berita

yang dinyatakan sebagai hadits Nabi oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad

sama sekali, dinyatakan sebagai hadits palsu (maudlu’).8

Hadits tentang mempermudah khitbah ini diriwayatkan melalui beberapa

jalur sanad antara lain:

a. Ahmad bin Hanbal

Bernama lengkap Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad

ibn Idris ibn ‘Abdillah al-Syaibani al-Marwazi. Dia lahir pada bulan Rabi’ al-

Awal tahun 164 H di Bagdad. Ada juga yang berpendapat di Marwin dan wafat

pada hari Jum’at bulan Rajab 241 H.9 Dia adalah seorang muhaddis sekaligus

mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1 juta hadits dan pernah berguru kepada

al-Syafi‘i. Dialah penyusun kitab Musnad Ahmad.10

8 2 Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: Teras dan TH
Press, 2009), hlm. 99-100
9 Abu Ishaq al-Syairazi, Tabaqat al-Fuqaha’ (Bairut: Dar al-Raid al-‘Arabi, 1970), hlm. 91.
10 Abu al-‘Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bakar ibn Khalkan, Wafayat al-A‘yan wa Anba’
Abna’ al-Zaman, Juz. 1 (Bairut: Dar Sadir, 1900), hlm. 63.

5
Di antara gurunya adalah Qutaibah bin Sa‘id, Bisyr ibn al-Mufaddal,

Isma‘il ibn ‘Ilyah, Sufyan ibn ‘Uyainah, Yahya ibn Sa‘id al-Qattan, Muhammad

ibn Ja‘far, Isma‘il ibn Ibrahim dan lainnya sedangkan muridnya antara lain al-

Bukhari, Muslim, Abu Daud al-Sijistani. ‘Abdullah al-Kharibi menilainya afdal

zamanih. Al-‘Abbas al-‘Anbari hujjah. Qutaibah berkata: Ahmad imam al-

dunya. Al-‘Ijl mengatakan: Ahmad tsiqah tsabit fi al-hadits. Abu Zur‘ah

mengatakan bahwa Ahmad menghafal 1 juta hadits. Ibn Sa‘ad mengatakan

Ahmad tsiqah tsabit shaduq katsir al-hadits.11

b. Qutaibah bin Said

Nama lengkapnya Qutaibah bin Sa‘id bin Jamil bin Turaif bin ‘Abdullah

al-Saqafi. Negeri semasa hidupnya yakni di Himsh, wafat pada tahun 240 H.

Adapun nama gurunya Malik, al-Lais, Ibnu Lahi‘ah, Rusydin bin Sa’d, Daud

bin ‘Abd al- Rahman al-‘Attar, dan lain-lain. Dan murid-muridnya: Ibnu Majah,

al-Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, Abi Bakr bin Abi Syaibah dan lain-lain. Ibnu

Mu‘in, Abu Hatim, Ahmad bin Siyar dan al-Nasa’i menilainya tsiqah dan

shaduq. al-Hakim menilainya tsiqah ma’mun.12

Dengan demikian Qutaibah bin Sa‘id benar pernah mengambil riwayat dari

‘Abdullah bin Lahi‘ah selaku gurunya dan memiliki murid yakni Ahmad bin

11 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. I (Cet. I; al-Hindi: Dairah al-Ma’arif, 1326 H), h. 62-65. Al-Baji, al-Ta‘dil wa al-Tajrih, Juz. I, h.
320. Ibn Hibban, al-Siqhat, Juz. VIII, h. 18. Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi al-
Tamimi, Juz. II (Cet. I; Bairut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1271 H./1952 M.), hlm. 68. Selanjutnya disebut
Ibn Abi Hatim.
12 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. 8, hlm. 321-322

6
Hanbal. Oleh karena itu periwayatan ini diyakini bertemu secara langsung

dengan di tandai sighat yang digunakan adalah haddatsana. Ini menunjukkan

kalau al-tahammul wa alada nya adalah al-sima’ dan beliau tidak sendiri saat

mendengarnya, d tandai dengan dhamir jamak (na). Para ulama menilainya

tsiqah dan shaduq.

c. Abdullah bin Lahi’ah

Nama lengkapnya yaitu ‘Abdullah bin Lahi’ah bin ‘Uqbah bin Fur‘an bin

Rabi‘ah bin Sauban al-Qadi al-Imam al-‘Allamah. Lahir pada tahun 96 H dan

wafat pada tahun 174 H, menuntut ilmu di waktu kecil, dan bertemu sahabat-

sahabat tua (kibar al-sahabah) di Mesir, Mekah, dan Madinah.

Gurunya yakni: Ja’far bin Rabiah, Darraj Abi al-Samhah, Aqil bin Khalid,

‘Amr bin Jabir al-Hadrami, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. Murid-muridnya:

Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah, ‘Amr bin al-Haris, al-Auza‘i, Syu’bah, al-Sauri,

al-Lais bin Sa’d, Qutaibah bin Sa‘id, Muhammad bin Ramh, Muhammad bin

al-Haris, Sadrah, dan lain-lain.13

Ahmad bin Hanbal menilainya sebagai orang yang mutqin, dhabit dan

banyak haditsnya, Ahmad bin Salih menilainya sahih al-hadits, Abdullah bin

Lahi‘ah adalah salah satu ulama di Mesir, hanya saja ia meriwayatkan hadits

hadits-hadits munkar sehingga banyak yang tidak menjadikan hujjah hadits-

13 Syamsuddin Abu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu ‘Usman Ibnu Qaimaz al-Zahabi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, Juz. 8, hlm. 12-13

7
hadits yang diriwayatkan olehnya.14 Bahkan al-Nasa’i memasukkannya sebagai

perawi yang dha’if.15

Dengan demikian ‘Abdullah bin Lahi‘ah memiliki guru Usamah bin Zaid

dan murid Qutaibah bin Sa‘id, begitupun sebaliknya. Sighat yang digunakan

adalah haddatsana. Ini menunjukkan kalau al-tahammul wa al-adanya adalah

al-sima’ dan beliau tidak sendiri saat mendengarnya, ditandai dengan dhamir

jamak (na). Adapun kualitasnya Abdullah bin Lahi‘ah dinilai dha’if.

d. Usamah bin Zaid

Nama lengkapnya yaitu Usamah bin Zaid bin Aslam al-Qurasyi al-‘Adawi,

Abu Zaid al-Madani, adalah saudara ‘Abdullah bin Zaid bin Aslam, ‘Abd al-

Rahman bin Zaid bin Aslam.16 Wafat pada tahun 153 H, semasa hidupnya ia

tinggal di Negeri Madinah.

Gurunya adalah ayahnya yaitu Zaid bin Aslam, Salim bin ‘Abdullah bin

‘Umar, Safwan bin Salim, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Siddiq,

Nafi’, dan lain-lain. Dan murid-muridnya: Ishaq bin Ibrahim al-Hanini, Asbagh

bin al-Farj al-Misri, Zaid bin al-Habbab al-‘Akli, Said bin bin al-Hakam bin

Abi Maryam, ‘Abdullah bin Lahi‘ah, ‘Abdullah bin Wahab, Muhammad bin al-

Hasan bin Zabalah al-Makhzumi, dan lain-lain.17

14 Muhammad bin Ahmad Al-Zahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala, Juz VIII (Bairut: Muassasah al-Risalah,
1993), hlm. 11
15 Al-Nasai, Al-Du‘afa wa al-Matrukin, Juz I (Bairut: Dar al-Ma‘rifah,1986), hlm. 203
16 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. 2, hlm. 334.
17 Ibid

8
Menurut Yahya bin Ma’in, Usamah bin Zaid dinilai tsiqah salih, al-Ajli

menilainya tsiqah. ‘Usman al-Darimi menilainya laisa bihi ba’s. Sementara,

menurut ibn Hibban mengatakan ia disebutkan dalam kitab al-Siqat. Ibnu Hajar

al-Asqalani menilainya shaduq sedangkan al-Nasa’i menilainya laisa bil

qawiy.18 Penilaian Usamah bin Zaid Menurut ‘Abdullah bin Ahmad dari

bapaknya berkata: Aku khawatir dia tidak kuat dalam periwayatan hadits. Salih

bin Ahmad bin Hanbal berkata dari bapaknya: munkar al-hadits dan da’if.

Ahmad bin Hanbal menambahkan ia dha’if karena buruk hafalannya. 19 Yahya

bin Ma’in berkata: Usamah, Abdullah, dan ‘Abdurrahman adalah anak-anak

Zaid bin Aslam, dan mereka tidak memiliki hadits. Murrah berkata bahwa ia

dha’if demikian juga menurut Ibnu Ma‘in.20 Abu Hatim berkata bahwa dia

menulis hadtis, tapi haditsnya tidak dijadikan hujjah.

Dengan demikian hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid

dipertanyakan kualitasnya, sebab dengan memakai kaidah ‫الجرح مقدم علي التعديل‬

(Jarh di dahulukan atas Ta’dil, disebabkan al-jarh dijelaskan, sedangkan al-

ta‘dil tidak dijelaskan, meskipun jumlah al-mu‘addil (orang yang menilainya

adil) lebih banyak, karena orang yang menilai cacat lebih banyak

pengetahuannya terhadap perawi yang dinilai dibanding orang yang menilainya

adil. kemudian kecacatan dari Usamah bin Zaid dijelaskan oleh Ahmad bin

Hanbal dan juga Yahya bin Ma’in.

18 Ibid, hlm. 334-336


19 Muhammad Bin Ahmad Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqh al-Rijal, Juz I (Bairut: Dar Al-Ma’rifah,
t.th), hlm. 174
20 Ibid

9
Usamah bin Zaid benar pernah mengambil riwayat dari Safwan bin Salim

selaku gurunya dan memiliki murid yakni ‘Abdullah bin Lahi‘ah. Sighat al-

tahammul wa al-ada yang digunakan adalah ‘an. Walaupun menggunakan ‘an

hadis ini tetap dinilai bersambung berdasarkan penelitian terhadap adanya

hubungan guru murid. Adapun kualitasnya Usamah bin Zaid dinilai dha’if.

Dengan melihat beberapa pendapat para ulama mengenai ‘Abdullah bin

Lahi’ah dengan Usamah bin Zaid, ada yang menilai baik, dan adapula yang

menilai buruk, tetapi penilain buruk memiliki alasan, maka dua perawi ini

bersifat dhaif dari segi sanadnya.

e. Safwan bin Salim

Nama lengkapnya yaitu Safwan bin Salim al-Madani Abu ‘Abdullah, Abu

al-Haris al-Qurasyi al-Zuhri al-Faqih.21 Abu ‘Isa al-Tirmizi berpendapat bahwa

Safwan bin Salim wafat pada tahun 124 H. Ia merupakan budak Humaid bin

Abdi al-Rahman bin ‘Auf, kemudian menurut yang lain Safwan wafat pada

tahun 132 H di Andalusia.22 semasa hidupnya ia tinggal di Negeri Madinah.23

Gurunya: Anas bin Malik, Jabir bin ‘Abdullah, Hamzah bin ‘Abdullah bin

‘Umar, Hamid bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, ‘Urwah bin al-Zubair, ‘Ata’ bin

Yasar, dan lain-lain. Sedangkan murid-muridnya: Ibrahim bin Tahman, Usamah

21 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. 13, hlm. 184.
22 Ahmad bin Yahya bin Ahmad bin ‘Umairah Abu Ja’far al-Dahi, Tarikh Rijal al-Andalusi, Juz I.
(Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arbi, 1967), hlm. 469
23 Ibid, hlm. 190

10
bin Zaid bin Aslam, Usamah bin Zaid al-Laisi, Ishaq bin Ibrahim bin Sa‘id al-

Madani, Musa bin ‘Uqbah, Yazid bin Abi Habib, dan lain-lain.24

Muhammad bin Sa’d menyebutkannya dalam tingkatan ketiga dari

penduduk Madinah, dan dia menilainya s\iqah, banyak meriwayatkan hadis,

ahli ibadah. ‘Ali bin al-Madani, Ahmad bin Hanbal, al-Ajli dan al-Nasai

menilainya tsiqah.25

Dengan demikian Safwan bin Salim benar pernah mengambil riwayat dari

‘Urwah bin al-Zubair selaku gurunya dan memiliki murid yakni Usamah bin

Zaid. Sighat al-tahammul wa al-ada yang digunakan adalah ‘an. Walaupun

menggunakan ‘an hadits ini tetap dinilai bersambung berdasarkan penelitian

terhadap adanya hubungan guru murid. Para ulama menilainya tsiqah.

f. Urwah bin Zubair

Nama lengkapnya yaitu ‘Urwah bin al-Zubair bin al-‘Awam bin Khuwailid

bin Asad bin ‘Abd al-‘Izzi bin Qushay al-Asadi Abu ‘Abdullah al-Madani. 26

Wafat 93 H. ia tinggal di Madinah. Gurunya: ayahnya, saudaranya ‘Abdullah,

ibunya Asma’ binti Abi Bakr, bibinya ‘Aisyah, ‘Ali bin Abi Talib, dan lain-lain.

Yang mengambil hadits darinya: anaknya yaitu ‘Abdullah, ‘Usman, Hisyam,

Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali, Safwan bin Salim dan

24 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Op.Cit, hlm.
184-186.
25 Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Juz V. (Kairo:
Dar al-Hadits, 1427H./2006M), h 365.
26 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Op.Cit, hlm.
184-186.

11
lain-lain.27 al-‘Ajali dan Ibnu Hajar menilainnya tsiqah dan menurut Ibn Hibban

disebut dalam al-Tsiqat.

Dengan demikian ‘Urwah bin al-Zubair benar pernah mengambil riwayat

dari ‘Aisyah binti Abu Bakr selaku gurunya dan memiliki murid yakni Safwan

bin Salim. Sighat al-tahammul wa al-ada yang digunakan adalah ‘an.

Walaupun menggunakan ‘an hadis ini tetap dinilai bersambung berdasarkan

penelitian terhadap adanya hubungan guru murid. Para ulama juga menilainya

tsiqah.

g. Aisyah binti Abu Bakar

Nama lengkapnya yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakr al-Siddiq Ummul

Mukminin, wafat pada tahun 58 H dan digelar dengan Ummu ‘Abdullah, dan

ibunya bernama Rumana binti ‘Amir ‘Uwaimar bin ‘Abdullah bin ‘Attab bin

Azinah bin Sabi’ bin Dahman bin al-Haris bin Ganam bin Malik bin Kananah,

dan disebutkan selain dari pada itu tentang nasabnya, dan para ahli sepakat

bahwa ‘Aisyah merupakan keturunan Bani Ganam bin Malik bin Kananah.

Meriwayatkan hadis dari nabi saw. Sa’d bin Abi Waqqash, Fatimah al-

Zahra’ binti Rasul saw. dan lain-lain. Muridnya antara lain: Ibrahim bin Yazid

al-Taimi secara mursal, Ibrahim bin Yazid al-Nakh‘i secara mursal juga, Ishaq

bin Talhah bin ‘Ubaidillah, anak saudara perempuannya yaitu ‘Urwah bin al-

Zubair, dan lain-lain.28

27 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Op.Cit, hlm.
163-164
28 Ibid, Juz. 35, hlm. 223-227

12
Sighat al-tahammul wa al-ada yang digunakan adalah ‘an. Walaupun

menggunakan ‘an hadis ini tetap dinilai bersambung berdasarkan penelitian

terhadap adanya hubungan guru murid.

2. Matan Hadits

Berdasarkan kritik sanad yang dilakukan ditemukan adanya periwayat yang

dinilai cacat oleh kritikus hadits yaitu ‘Abdullah bin Lahi‘ah dan Usamah bin

Zaid. Kritikus hadits menilainya cacat dengan bahasa yang berbeda seperti laisa bi

qawi, dha’if, dan munkar al-hadits.

Demikian walaupun salah satu sanadnya dinilai dha’if oleh ulama akan

tetapi dari segi matan hadis ini tidak bertentang dengan hadis yang lebih sahih

dengan redaksi yang berbeda, akan tetapi dari segi maksud/kandungannya

menunjukkan bahwa Rasulullah memberikan keringanan dalam hal khitbah.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang berkaitan dengan

keringanan mahar yakni:

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan

kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd

bahwasanya, ada seorang wanita mendatangi Rasulullah saw. dan berkata,

"Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku padamu." Lalu

Rasulullah saw pun memandangi wanita dari atas hingga ke bawah lalu

beliau menunduk. Dan ketika wanita itu melihat, bahwa beliau belum

memberikan keputusan akan dirinya, ia pun duduk. Tiba-tiba seorang laki-

13
laki dari sahabat beliau berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda

tidak berhasrat dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya." Lalu beliau

pun bertanya: "Apakah kamu punya sesuatu (untuk dijadikan sebagai

mahar)?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah."

Kemudian beliau bersabda: "Kembalilah kepada keluargamu dan lihatlah

apakah ada sesuatu?" Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya

bersabda: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-

apa?" beliau bersabda: "Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah

cincin besi." Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, "Tidak,

demi Allah wahai Rasulullah, meskipun cincin emas aku tak punya, tetapi

yang ada hanyalah kainku ini." Sahl berkata, "Tidaklah kain yang ia punyai

itu kecuali hanya setengahnya." Maka Rasulullah saw pun bertanya: "Apa

yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu mengenakannya,

maka ia tidak akan memperoleh apa-apa dan bila ia memakainya, maka

kamu juga tak memperoleh apa-apa." Lalu laki-laki itu pun duduk agak lama

dan kemudian beranjak. Rasulullah saw melihatnya dan beliau pun langsung

menyuruh seseorang untuk memanggilkannya. Ia pun dipanggil, dan ketika

datang, beliau bertanya, "Apakah kamu punya hafalan Al Qur`an?" laki-laki

itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Ia sambil menghitungnya.

Beliau bertanya lagi, "Apakah kami benar-benar menghafalnya?" ia

menjawab, "Ya." Akhirnya beliau bersabda: "Kalau begitu, pergilah.

14
Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan mahar apa yang

telah kamu hafal dari Al Qur’an”.29

F. Fiqhul Hadits

1. Status Hadits

Dalam al-Kutub al-Tis’ah hadits diatas hanya terdapat 2 periwayatan dari

Musnad Ahmad. Hadits ini tidak memiliki musyahid dan mutabi’. Oleh karena itu,

hadits ini termasuk hadits gharib yakni hadits yang pada periwayatan tingkat

sahabat dan tabi’in hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Pada level sahabat

hanya satu yakni Aisyah binti Abu bakar dan pada level tabi’in juga ada satu nama

yaitu Urwah bin Zubair.

2. Asbabul Wurud

Hadits diatas (riwayat Imam Ahmad) tidak ditemukan asbabul wurud-nya. Akan

tetapi, hadits yang bermakna sama yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori memiliki

asbabul wurud. Dalam kitab al-Bayan Ta’rif fi Asbabul Wurud al-Hadits asy-Syarif

mengatakan bahwa sebab turunnya hadits tersebut, sebagaimana yang tercantum

dalam mengenai kisah tentang mahar yang makna haditsnya adalah mahar yang

lebih baik adalah yang paling mudah.

Diriwayatkan dari ‘Uqbah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah

menikahkan seorang laki-laki tanpa mahar. Lalu, laki-laki tersebut ikut serta dalam

29 Muhammad Ibn Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. 6 (Cet. II; Bairut: Dar
Ibnu Katsir, 1987/1407) hlm. 192.

15
perang Khaibar. Ia berpesan menjelang kematiannya supaya wanita yang

menikahinya mengambil anak panahnya sebagai pemberian (mahar). Wanita

tersebut mengambilnya dan menjualnya dengan harga seratus dirham. Maka,

muncullah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang mempermudah mahar

tersebut. Hal ini dikuatkan oleh Umar bin Khattab tentang melarang maskawin

(mahar) yang berlebih-lebihan dengan mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu

alaihi wasallam menikahkan putri-putrinya dengan maskawin yang tidak lebih dari

12 uqiyah (sekitar 32,5 juta).

3. Pembahasan Hadits

Dari hadis khitbah di atas, menunjukkan bahwa khitbah merupakan

penyampaian niat untuk menikah secara ma’ruf, baik itu seorang laki-laki kepada

perempuan ataupun sebaliknya (kisah Nabi saw. yang pernah dilamar oleh seorang

wanita) atau seorang wali dari pihak perempuan yang menyampaikan kepada laki-

laki dalam bentuk ucapan yang jelas maupun kinayah (sindiran) dengan melihat

situasi dan kondisi calon pasangan, apakah termasuk dalam kategori hadits yang

melarang untuk dikhitbah atau tidak. Jika khitbah dilakukan maka boleh keduanya

untuk saling melihat apa saja yang memotivasi/mendorong untuk melanjutkan

kejenjang selanjutnya yakni menikah dengan menentukan mahar yang tidak

memberatkan.

Khitbah bukan lagi masa untuk memilih. Meng-khitbah sudah menjadi

komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan, jadi shalat istikharah

sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah

16
bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga

peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang

menghendaki lain.30

Langkah pertama yang harus dilewati untuk melangkah kejenjang perkawinan

adalah seorang laki-laki meminta izin kepada seorang wanita yang akan dinikahkan

atau kepada walinya bahwa ia akan meminangnya kalau ia memberikan jawab/izin

maka pernikahan itu boleh dilaksanakan, kalau tidak maka wanita itu tidak boleh

dipaksa karena banyak perkawinan yang terpaksa akan berakhir dengan perceraian

sehingga Islam menolak pemaksaan kehendak seseorang.31

Setelah izin didapatkan, proses selanjutnya adalah penetapan maskawin/mahar.

Mahar merupakan suatu pemberian yang wajib diberikan calon mempelai laki-laki

kepada calon mempelai wanita berupa harta atau selainnya. 32 Mahar merupakan

milik seorang istri dan tidak seorangpun boleh mengambilnya. Adapun dalil yang

mewajibkan mahar terdapat dalam QS an-Nisa’ ayat 4:


‫ة‬
‫ه فنف افف س‬
‫سععا فاك نل نععوه ن‬ ‫م فففن ن‬
‫شععفيءء م‬ ‫ن ل اك ن فم ا‬
‫عن ا‬ ‫ن ن عفحل اةة فاعإن ط فعب ا‬
‫صد نققات عهع د‬ ‫وااءانتوا ب ٱلنَ م ا‬
‫ساءا ا‬

‫مرعي س‍يا‬
‫هانَ عي س‍يا د‬

Artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan

30 Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan (Cet. I; Jakarta: Belanoor, 2011), hlm. 41
31 Khalid Abdurrahman, Kado Pintar Nikah: Merajut dan Membina Rumah Tangga dari Pra Hingga
Pasca Pernikahan (Cet. I; Semarang: Pustaka Adnan, 2012), hlm. 47-49.
32 Abu Sahla dan Nurul Nazara, ibid, hlm. 90

17
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Keberkahan pernikahan terdapat pada kemudahan proses khitbah ketika

pelamar meminta kepada wali seorang wanita, ia dengan mudah menegaskan

sikapnya terhadap lamaran yang ditujukan padanya dan tidak mendiamkannya

ataupun menangguhkannya dengan syarat, tidak memberatkan pihak pelamar dalam

urusan mahar dan rahimnya mudah melahirkan keturunan. Tidak memberatkan

pihak pelamar dimaksudkan bahwa mahar yang diberikan kepada calon mempelai

wanita tidak mesti berupa barang mewah sehingga Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam bahkan menjadikan ayat al-Quran sebagai mahar. Hal ini menandakan

bahwa dalam urusan pernikahan, Islam memberikan kemudahan dalam urusan

memberikan sesuatu kepada calon mempelai wanita sebagai mahar untuk

pernikahan.

H. Kesimpulan dan Penutup

Dalam realita yang terjadi dalam masyarakat, memberikan mahar yang mahal

terkadang merupakan suatu keharusan. Pihak calon mempelai wanita memberatkan

pihak laki-laki sehingga menjadi penghambat pernikahan karena mahar yang sangat

tinggi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila banyak wanita yang memasuki

usia tua karena memilih dan memilah calon pendamping hidupnya berdasarkan mahar

yang diberikan.

18
Umar ra pernah mengatakan:”janganlah kalian meninggikan nilai maskawin,

andaikata tingginya maskawin dapat menjadikan seseorang mulia di dunia dan

menambah ketakwaan di akhirat tentunya Nabi shallallahu alaihi wasallam akan lebih

dahulu melakukannya dari kalian.”

Dalam konsep hadis nabi, mahar bukan merupakan ‚harga‛ dari seorang

perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya,

tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif disesuaikan

dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Rasulullah shallallahu

alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan di dalam

menentukan besarnya mahar. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan

bagi para pemuda yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan

akan berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk

menjalankannya. Keringanan dalam memberikan mahar tergantung dari kondisi

ekonomi pihak laki-laki. Adakalanya sejumlah uang dinilai mudah bagi seseorang

namun terlihat berat bagi orang lain karena perbedaan ekonomi tersebut. Oleh karena

itu, meringankan mahar adalah sunnah Nabi karena tujuan pernikahan dalam Islam

sesungguhnya adalah untuk membina rumah tangga yang sakinah mawaddah

warahmah tanpa disertai perasaan dendam bagi laki-laki yang merasa keberatan dengan

mahar yang diminta oleh pihak istrinya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq al-Syairazi, Tabaqat al-Fuqaha’ (Bairut: Dar al-Raid al-‘Arabi, 1970)

Abu al-‘Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bakar ibn Khalkan, Wafayat al-A‘yan wa

Anba’ Abna’ al-Zaman, Juz. 1 (Bairut: Dar Sadir, 1900)

Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani,

Tahzib al-Tahzib (al-Hindi: Dairah al-Ma’arif, 1326 H)

Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan (Cet. I; Jakarta: Belanoor, 2011)

Ahmad Abdul Khozin, Pengantar Ulumul Hadits (Cirebon, 2011)

Ahmad bin Yahya bin Ahmad bin ‘Umairah Abu Ja’far al-Dahi, Tarikh Rijal al-Andalusi,

Juz I. (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arbi, 1967)

Al-Nasai, Al-Du‘afa wa al-Matrukin, Juz I (Bairut: Dar al-Ma‘rifah,1986)

Khalid Abdurrahman, Kado Pintar Nikah: Merajut dan Membina Rumah Tangga dari Pra

Hingga Pasca Pernikahan (Cet. I; Semarang: Pustaka Adnan, 2012)

M. Dahlan R, Fikih Munakahat (Yogyakarta: Deepublish, 2015)

M. Syuhudi Ismail, Metodalogi Penelitian Haditst Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasatu al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-

Ma’arif, 1978)

Muhammad bin Ahmad Al-Zahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala, Juz VIII (Bairut: Muassasah al-

Risalah, 1993)

----------, Mizan al-I’tidal fi Naqh al-Rijal, Juz I (Bairut: Dar Al-Ma’rifah, t.th)

20
Muhammad Ibn Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. 6 (Cet. II;

Bairut: Dar Ibnu Katsir, 1987/1407)

Nawir Yuslem, Ulumul Haditst, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997)

Sayyid Sabiq, Fikih al Sunnahi, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah (Jakarta: Pena

Abadi Aksara, 2006)

Syamsudin Ramdhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia

(Bogor: Ide Pustaka, 2004)

Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: Teras dan

TH Press, 2009)

Syamsuddin Abu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu ‘Usman Ibnu Qaimaz al-

Zahabi, al-Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah

Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Juz V.

(Kairo: Dar al-Hadits, 1427 H/2006 M)

21

Anda mungkin juga menyukai