A. Pendahuluan
Dalam proses membina rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilalui
hingga diakhiri dengan proses pernikahan (ijab kabul). Salah satu proses tersebut
adalah proses meminang atau melamar. Melamar atau meminang merupakan langkah
awal untuk menggapai tujuan pernikahan dalam Islam. Pihak lelaki akan datang
melamar pihak wanita baik sendiri maupun bersama keluarganya dan membuat
maupun nikah siri. Dalam Islam meminang seorang wanita dan mengikatnya dalam
bertunangan. Dalam konteks ini, makalah ini akan mengetengahkan hadits-hadits yang
Kata khitbah adalah transliterasi dari bahasa arab yang artinya adalah
meminang atau melamar. Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata
kerja). Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk
dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan
ialah pernyataan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang
secara langsung tanpa perantara.1 Adapun salah satu tujuan disyariatkannya khitbah
1
adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya. 2
meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang
seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk dijadikan istri yang menemani
dalam kehidupannya dengan tata cara yang biasa berlaku sesuai dengan kaidah yang
Meminang adalah gerbang masuk bagi perkawinan. Sebelum terjadi ijab kabul,
persetujuan pihak wanita untuk menjadi pendamping hidup pihak laki-laki atau
sebaliknya. Namun, wanita yang telah dikhitbah tidaklah menjadi halal seketika.
Wanita tersebut tetaplah merupakan orang asing atau mahram yang tidak boleh
disentuh atau diperlakukan seperti suami-istri. Oleh karena itu, setiap ada pertemuan
antara laki-laki dan wanita yang telah melaksanakan khitbah, maka harus didampingi
2 Syamsudin Ramdhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia (Bogor: Ide
Pustaka, 2004), hlm. 49
3 Sayyid Sabiq, Fikih al Sunnahi, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah (Jakarta: Pena Abadi Aksara,
2006), Juz 2, hlm. 505
2
B. Teks Hadits
خط بب ات عاها
ع = Khitbah, lamaran, pinangan, pertunangan
داقعاها
ص ا
ا = Sedekah, dalam hadits ini bermakna mahar
D. Makna Sempurna
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id; telah mengabarkan kepada kami
Ibnu Lahi’ah, dari Usamah bin Zaid, dari Shafwan bin Sulaim, dari Urwah, dari
maharnya." (HR.Imam Ahmad dalam Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal Jilid 6
E. Takhrij Hadits
3
Menurut Mahmud al-Thahhan: Takhrij adalah (usaha) menunjukkan letak asal
haditst pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya telah dicantumkan sanad
haditst tersebut (secara lengkap), serta menjelaskan kualitas haditst tersebut jika
penelusuran atau pencaraian haditst pada berbagai kitab haditst sebagai sumbernya
yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanad Haditst. 5
Haditst pada berbagai kitab sumber asli dari haditst yang bersangkutan, yang didalam
sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad haditst yang bersangkutan. 6
Dari defenisi-defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa takhrij haditst adalah usaha
menemukan matan dan sanad haditst secara lengkap dari sumber-sumbernya yang asli
yang dari situ akan bisa diketahui kualitas suatu haditst baik secara lansung karena
Adapun takhrij hadits yang akan dijelaskan dalam pembahasan ini yaitu:
1. Sanad Hadits
Sanad secara bahasa berasal dari kata sanad yang berarti penggabungan
sesuatu ke sesuatu yang lain, karena didalamnya tersusun banyak nama yang
tergabung dalam satu rentetan jalan.7 Sanad disebut juga dengan Thariq (Jalan),
karena sanad merupakan jalan yang menyampaikan periwayat kepada matan al-
4 Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasatu al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1978),
hlm 10
5 Nawir Yuslem, Ulumul Haditst, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997), hlm. 395
6 M. Syuhudi Ismail, Metodalogi Penelitian Haditst Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 43
7 Ahmad Abdul Khozin, Pengantar Ulumul Hadits (Cirebon, 2011), hlm. 12
4
hadits. Ketika membahas masalah sanad maka tidak akan luput dari istilah
Musnid, Musnad dan Isnad, karena istilah-istilah tersebut sangat berkaitan erat
dengan sanad.
pentingnya kedudukan sanad dalam riwayat hadits. Oleh karena itu, suatu berita
yang dinyatakan sebagai hadits Nabi oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad
Bernama lengkap Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad
ibn Idris ibn ‘Abdillah al-Syaibani al-Marwazi. Dia lahir pada bulan Rabi’ al-
Awal tahun 164 H di Bagdad. Ada juga yang berpendapat di Marwin dan wafat
pada hari Jum’at bulan Rajab 241 H.9 Dia adalah seorang muhaddis sekaligus
mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1 juta hadits dan pernah berguru kepada
8 2 Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: Teras dan TH
Press, 2009), hlm. 99-100
9 Abu Ishaq al-Syairazi, Tabaqat al-Fuqaha’ (Bairut: Dar al-Raid al-‘Arabi, 1970), hlm. 91.
10 Abu al-‘Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bakar ibn Khalkan, Wafayat al-A‘yan wa Anba’
Abna’ al-Zaman, Juz. 1 (Bairut: Dar Sadir, 1900), hlm. 63.
5
Di antara gurunya adalah Qutaibah bin Sa‘id, Bisyr ibn al-Mufaddal,
Isma‘il ibn ‘Ilyah, Sufyan ibn ‘Uyainah, Yahya ibn Sa‘id al-Qattan, Muhammad
ibn Ja‘far, Isma‘il ibn Ibrahim dan lainnya sedangkan muridnya antara lain al-
Nama lengkapnya Qutaibah bin Sa‘id bin Jamil bin Turaif bin ‘Abdullah
al-Saqafi. Negeri semasa hidupnya yakni di Himsh, wafat pada tahun 240 H.
Adapun nama gurunya Malik, al-Lais, Ibnu Lahi‘ah, Rusydin bin Sa’d, Daud
bin ‘Abd al- Rahman al-‘Attar, dan lain-lain. Dan murid-muridnya: Ibnu Majah,
al-Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, Abi Bakr bin Abi Syaibah dan lain-lain. Ibnu
Mu‘in, Abu Hatim, Ahmad bin Siyar dan al-Nasa’i menilainya tsiqah dan
Dengan demikian Qutaibah bin Sa‘id benar pernah mengambil riwayat dari
‘Abdullah bin Lahi‘ah selaku gurunya dan memiliki murid yakni Ahmad bin
11 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. I (Cet. I; al-Hindi: Dairah al-Ma’arif, 1326 H), h. 62-65. Al-Baji, al-Ta‘dil wa al-Tajrih, Juz. I, h.
320. Ibn Hibban, al-Siqhat, Juz. VIII, h. 18. Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi al-
Tamimi, Juz. II (Cet. I; Bairut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1271 H./1952 M.), hlm. 68. Selanjutnya disebut
Ibn Abi Hatim.
12 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. 8, hlm. 321-322
6
Hanbal. Oleh karena itu periwayatan ini diyakini bertemu secara langsung
kalau al-tahammul wa alada nya adalah al-sima’ dan beliau tidak sendiri saat
Nama lengkapnya yaitu ‘Abdullah bin Lahi’ah bin ‘Uqbah bin Fur‘an bin
Rabi‘ah bin Sauban al-Qadi al-Imam al-‘Allamah. Lahir pada tahun 96 H dan
wafat pada tahun 174 H, menuntut ilmu di waktu kecil, dan bertemu sahabat-
Gurunya yakni: Ja’far bin Rabiah, Darraj Abi al-Samhah, Aqil bin Khalid,
‘Amr bin Jabir al-Hadrami, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. Murid-muridnya:
Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah, ‘Amr bin al-Haris, al-Auza‘i, Syu’bah, al-Sauri,
al-Lais bin Sa’d, Qutaibah bin Sa‘id, Muhammad bin Ramh, Muhammad bin
Ahmad bin Hanbal menilainya sebagai orang yang mutqin, dhabit dan
banyak haditsnya, Ahmad bin Salih menilainya sahih al-hadits, Abdullah bin
Lahi‘ah adalah salah satu ulama di Mesir, hanya saja ia meriwayatkan hadits
13 Syamsuddin Abu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu ‘Usman Ibnu Qaimaz al-Zahabi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, Juz. 8, hlm. 12-13
7
hadits yang diriwayatkan olehnya.14 Bahkan al-Nasa’i memasukkannya sebagai
Dengan demikian ‘Abdullah bin Lahi‘ah memiliki guru Usamah bin Zaid
dan murid Qutaibah bin Sa‘id, begitupun sebaliknya. Sighat yang digunakan
al-sima’ dan beliau tidak sendiri saat mendengarnya, ditandai dengan dhamir
Nama lengkapnya yaitu Usamah bin Zaid bin Aslam al-Qurasyi al-‘Adawi,
Abu Zaid al-Madani, adalah saudara ‘Abdullah bin Zaid bin Aslam, ‘Abd al-
Rahman bin Zaid bin Aslam.16 Wafat pada tahun 153 H, semasa hidupnya ia
Gurunya adalah ayahnya yaitu Zaid bin Aslam, Salim bin ‘Abdullah bin
‘Umar, Safwan bin Salim, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Siddiq,
Nafi’, dan lain-lain. Dan murid-muridnya: Ishaq bin Ibrahim al-Hanini, Asbagh
bin al-Farj al-Misri, Zaid bin al-Habbab al-‘Akli, Said bin bin al-Hakam bin
Abi Maryam, ‘Abdullah bin Lahi‘ah, ‘Abdullah bin Wahab, Muhammad bin al-
14 Muhammad bin Ahmad Al-Zahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala, Juz VIII (Bairut: Muassasah al-Risalah,
1993), hlm. 11
15 Al-Nasai, Al-Du‘afa wa al-Matrukin, Juz I (Bairut: Dar al-Ma‘rifah,1986), hlm. 203
16 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. 2, hlm. 334.
17 Ibid
8
Menurut Yahya bin Ma’in, Usamah bin Zaid dinilai tsiqah salih, al-Ajli
menurut ibn Hibban mengatakan ia disebutkan dalam kitab al-Siqat. Ibnu Hajar
qawiy.18 Penilaian Usamah bin Zaid Menurut ‘Abdullah bin Ahmad dari
bapaknya berkata: Aku khawatir dia tidak kuat dalam periwayatan hadits. Salih
bin Ahmad bin Hanbal berkata dari bapaknya: munkar al-hadits dan da’if.
Zaid bin Aslam, dan mereka tidak memiliki hadits. Murrah berkata bahwa ia
dha’if demikian juga menurut Ibnu Ma‘in.20 Abu Hatim berkata bahwa dia
dipertanyakan kualitasnya, sebab dengan memakai kaidah الجرح مقدم علي التعديل
adil) lebih banyak, karena orang yang menilai cacat lebih banyak
adil. kemudian kecacatan dari Usamah bin Zaid dijelaskan oleh Ahmad bin
9
Usamah bin Zaid benar pernah mengambil riwayat dari Safwan bin Salim
selaku gurunya dan memiliki murid yakni ‘Abdullah bin Lahi‘ah. Sighat al-
hubungan guru murid. Adapun kualitasnya Usamah bin Zaid dinilai dha’if.
Lahi’ah dengan Usamah bin Zaid, ada yang menilai baik, dan adapula yang
menilai buruk, tetapi penilain buruk memiliki alasan, maka dua perawi ini
Nama lengkapnya yaitu Safwan bin Salim al-Madani Abu ‘Abdullah, Abu
Safwan bin Salim wafat pada tahun 124 H. Ia merupakan budak Humaid bin
Abdi al-Rahman bin ‘Auf, kemudian menurut yang lain Safwan wafat pada
Gurunya: Anas bin Malik, Jabir bin ‘Abdullah, Hamzah bin ‘Abdullah bin
‘Umar, Hamid bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, ‘Urwah bin al-Zubair, ‘Ata’ bin
21 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-
Tahzib, Juz. 13, hlm. 184.
22 Ahmad bin Yahya bin Ahmad bin ‘Umairah Abu Ja’far al-Dahi, Tarikh Rijal al-Andalusi, Juz I.
(Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arbi, 1967), hlm. 469
23 Ibid, hlm. 190
10
bin Zaid bin Aslam, Usamah bin Zaid al-Laisi, Ishaq bin Ibrahim bin Sa‘id al-
Madani, Musa bin ‘Uqbah, Yazid bin Abi Habib, dan lain-lain.24
ahli ibadah. ‘Ali bin al-Madani, Ahmad bin Hanbal, al-Ajli dan al-Nasai
menilainya tsiqah.25
Dengan demikian Safwan bin Salim benar pernah mengambil riwayat dari
‘Urwah bin al-Zubair selaku gurunya dan memiliki murid yakni Usamah bin
Nama lengkapnya yaitu ‘Urwah bin al-Zubair bin al-‘Awam bin Khuwailid
bin Asad bin ‘Abd al-‘Izzi bin Qushay al-Asadi Abu ‘Abdullah al-Madani. 26
ibunya Asma’ binti Abi Bakr, bibinya ‘Aisyah, ‘Ali bin Abi Talib, dan lain-lain.
Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali, Safwan bin Salim dan
24 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Op.Cit, hlm.
184-186.
25 Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Juz V. (Kairo:
Dar al-Hadits, 1427H./2006M), h 365.
26 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Op.Cit, hlm.
184-186.
11
lain-lain.27 al-‘Ajali dan Ibnu Hajar menilainnya tsiqah dan menurut Ibn Hibban
dari ‘Aisyah binti Abu Bakr selaku gurunya dan memiliki murid yakni Safwan
penelitian terhadap adanya hubungan guru murid. Para ulama juga menilainya
tsiqah.
Mukminin, wafat pada tahun 58 H dan digelar dengan Ummu ‘Abdullah, dan
ibunya bernama Rumana binti ‘Amir ‘Uwaimar bin ‘Abdullah bin ‘Attab bin
Azinah bin Sabi’ bin Dahman bin al-Haris bin Ganam bin Malik bin Kananah,
dan disebutkan selain dari pada itu tentang nasabnya, dan para ahli sepakat
bahwa ‘Aisyah merupakan keturunan Bani Ganam bin Malik bin Kananah.
Meriwayatkan hadis dari nabi saw. Sa’d bin Abi Waqqash, Fatimah al-
Zahra’ binti Rasul saw. dan lain-lain. Muridnya antara lain: Ibrahim bin Yazid
al-Taimi secara mursal, Ibrahim bin Yazid al-Nakh‘i secara mursal juga, Ishaq
bin Talhah bin ‘Ubaidillah, anak saudara perempuannya yaitu ‘Urwah bin al-
27 Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Op.Cit, hlm.
163-164
28 Ibid, Juz. 35, hlm. 223-227
12
Sighat al-tahammul wa al-ada yang digunakan adalah ‘an. Walaupun
2. Matan Hadits
dinilai cacat oleh kritikus hadits yaitu ‘Abdullah bin Lahi‘ah dan Usamah bin
Zaid. Kritikus hadits menilainya cacat dengan bahasa yang berbeda seperti laisa bi
Demikian walaupun salah satu sanadnya dinilai dha’if oleh ulama akan
tetapi dari segi matan hadis ini tidak bertentang dengan hadis yang lebih sahih
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang berkaitan dengan
kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd
Rasulullah saw pun memandangi wanita dari atas hingga ke bawah lalu
beliau menunduk. Dan ketika wanita itu melihat, bahwa beliau belum
13
laki dari sahabat beliau berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda
apakah ada sesuatu?" Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya
bersabda: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-
cincin besi." Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, "Tidak,
demi Allah wahai Rasulullah, meskipun cincin emas aku tak punya, tetapi
yang ada hanyalah kainku ini." Sahl berkata, "Tidaklah kain yang ia punyai
itu kecuali hanya setengahnya." Maka Rasulullah saw pun bertanya: "Apa
yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu mengenakannya,
kamu juga tak memperoleh apa-apa." Lalu laki-laki itu pun duduk agak lama
dan kemudian beranjak. Rasulullah saw melihatnya dan beliau pun langsung
itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Ia sambil menghitungnya.
14
Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan mahar apa yang
F. Fiqhul Hadits
1. Status Hadits
Musnad Ahmad. Hadits ini tidak memiliki musyahid dan mutabi’. Oleh karena itu,
hadits ini termasuk hadits gharib yakni hadits yang pada periwayatan tingkat
sahabat dan tabi’in hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Pada level sahabat
hanya satu yakni Aisyah binti Abu bakar dan pada level tabi’in juga ada satu nama
2. Asbabul Wurud
Hadits diatas (riwayat Imam Ahmad) tidak ditemukan asbabul wurud-nya. Akan
tetapi, hadits yang bermakna sama yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori memiliki
asbabul wurud. Dalam kitab al-Bayan Ta’rif fi Asbabul Wurud al-Hadits asy-Syarif
dalam mengenai kisah tentang mahar yang makna haditsnya adalah mahar yang
menikahkan seorang laki-laki tanpa mahar. Lalu, laki-laki tersebut ikut serta dalam
29 Muhammad Ibn Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. 6 (Cet. II; Bairut: Dar
Ibnu Katsir, 1987/1407) hlm. 192.
15
perang Khaibar. Ia berpesan menjelang kematiannya supaya wanita yang
tersebut. Hal ini dikuatkan oleh Umar bin Khattab tentang melarang maskawin
alaihi wasallam menikahkan putri-putrinya dengan maskawin yang tidak lebih dari
3. Pembahasan Hadits
penyampaian niat untuk menikah secara ma’ruf, baik itu seorang laki-laki kepada
perempuan ataupun sebaliknya (kisah Nabi saw. yang pernah dilamar oleh seorang
wanita) atau seorang wali dari pihak perempuan yang menyampaikan kepada laki-
laki dalam bentuk ucapan yang jelas maupun kinayah (sindiran) dengan melihat
situasi dan kondisi calon pasangan, apakah termasuk dalam kategori hadits yang
melarang untuk dikhitbah atau tidak. Jika khitbah dilakukan maka boleh keduanya
memberatkan.
16
bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga
peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang
menghendaki lain.30
adalah seorang laki-laki meminta izin kepada seorang wanita yang akan dinikahkan
maka pernikahan itu boleh dilaksanakan, kalau tidak maka wanita itu tidak boleh
dipaksa karena banyak perkawinan yang terpaksa akan berakhir dengan perceraian
Mahar merupakan suatu pemberian yang wajib diberikan calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai wanita berupa harta atau selainnya. 32 Mahar merupakan
milik seorang istri dan tidak seorangpun boleh mengambilnya. Adapun dalil yang
مرعي سيا
هانَ عي سيا د
Artinya:
30 Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan (Cet. I; Jakarta: Belanoor, 2011), hlm. 41
31 Khalid Abdurrahman, Kado Pintar Nikah: Merajut dan Membina Rumah Tangga dari Pra Hingga
Pasca Pernikahan (Cet. I; Semarang: Pustaka Adnan, 2012), hlm. 47-49.
32 Abu Sahla dan Nurul Nazara, ibid, hlm. 90
17
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
pihak pelamar dimaksudkan bahwa mahar yang diberikan kepada calon mempelai
wanita tidak mesti berupa barang mewah sehingga Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bahkan menjadikan ayat al-Quran sebagai mahar. Hal ini menandakan
pernikahan.
Dalam realita yang terjadi dalam masyarakat, memberikan mahar yang mahal
pihak laki-laki sehingga menjadi penghambat pernikahan karena mahar yang sangat
tinggi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila banyak wanita yang memasuki
usia tua karena memilih dan memilah calon pendamping hidupnya berdasarkan mahar
yang diberikan.
18
Umar ra pernah mengatakan:”janganlah kalian meninggikan nilai maskawin,
menambah ketakwaan di akhirat tentunya Nabi shallallahu alaihi wasallam akan lebih
Dalam konsep hadis nabi, mahar bukan merupakan ‚harga‛ dari seorang
perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya,
tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif disesuaikan
menentukan besarnya mahar. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan
bagi para pemuda yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan
akan berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk
ekonomi pihak laki-laki. Adakalanya sejumlah uang dinilai mudah bagi seseorang
namun terlihat berat bagi orang lain karena perbedaan ekonomi tersebut. Oleh karena
itu, meringankan mahar adalah sunnah Nabi karena tujuan pernikahan dalam Islam
warahmah tanpa disertai perasaan dendam bagi laki-laki yang merasa keberatan dengan
19
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishaq al-Syairazi, Tabaqat al-Fuqaha’ (Bairut: Dar al-Raid al-‘Arabi, 1970)
Abu al-‘Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bakar ibn Khalkan, Wafayat al-A‘yan wa
Abu al-Fadl Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani,
Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan (Cet. I; Jakarta: Belanoor, 2011)
Ahmad bin Yahya bin Ahmad bin ‘Umairah Abu Ja’far al-Dahi, Tarikh Rijal al-Andalusi,
Khalid Abdurrahman, Kado Pintar Nikah: Merajut dan Membina Rumah Tangga dari Pra
M. Syuhudi Ismail, Metodalogi Penelitian Haditst Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Ma’arif, 1978)
Muhammad bin Ahmad Al-Zahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala, Juz VIII (Bairut: Muassasah al-
Risalah, 1993)
----------, Mizan al-I’tidal fi Naqh al-Rijal, Juz I (Bairut: Dar Al-Ma’rifah, t.th)
20
Muhammad Ibn Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. 6 (Cet. II;
Sayyid Sabiq, Fikih al Sunnahi, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah (Jakarta: Pena
Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: Teras dan
TH Press, 2009)
Syamsuddin Abu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu ‘Usman Ibnu Qaimaz al-
Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Juz V.
21