Anda di halaman 1dari 2

[21/5 21:07] Saputra LXXVI: ‫قواعد المانع والمقتضى‬

1. ‫اذا زال المانع عاد الممنوع‬

"Apabila inhibitor hilang maka yang tercegah kembali semula”

‫ المانع‬secara etimologi adalah sesuatu yang mencegah kepada sesuatu yang lain. Sementara secara
terminologi adalah sesuatu yang keberadaanya meniscayakan tiadanya sesuatu yang lain.

Contoh:

Hutang yang wajib bagi orang mati dapat mencegah ahli warisnya untuk mendapatkan warisan. Namun
apabila hutangnya telah dilunasi maka sang ahli waris dapat memperoleh haknya.

[21/5 21:10] Saputra LXXVI: 1. ‫لياجوز لحاد ان ياتصرف فى ملك غيره بل اذنه‬

“Seseorang tak boleh menggunakan harta orang lain tanpa ada ijin”

Penggunaan harta orang lain terbagi menjadi dua bagian :

· Tashorruf Bil Fi’li : Mengghosab milik orang lain.

· Tashorruf Bil Qouli : Mengakadi harta oang lain akan tetapi masih belum diserahkan.

[21/5 21:15] Saputra LXXVI: 1. ‫اذا زال المانع عاد الممنوع‬

"Apabila inhibitor hilang maka yang tercegah kembali semula”

‫ المانع‬secara etimologi adalah sesuatu yang mencegah kepada sesuatu yang lain. Sementara secara
terminologi adalah sesuatu yang keberadaanya meniscayakan tiadanya sesuatu yang lain.

Contoh:

Hutang yang wajib bagi orang mati dapat mencegah ahli warisnya untuk mendapatkan warisan. Namun
apabila hutangnya telah dilunasi maka sang ahli waris dapat memperoleh haknya.

[21/5 21:20] Saputra LXXVI: 3. ‫ل ياجوز لحاد أن ياصرف في ملك غيره بل إذنه‬

“tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”

Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang
atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual

[22/5 06:42] Saputra LXXVI: Kaidah 1


a. Teks dan arti Kaidah

‫ك انللغنيلر بلللـَا إنذنلله‬


‫ف لفي لمنل ل‬ ‫للـَا يالزجـَوزز للـَأ للحاـَدد ألنن يالتل ل‬
‫صـَرر ل‬

Tidak dibolehkan bagi siapapun untuk melakukan tindakan hukum terhadap benda/hak milik orang lain
tanpa izin pemilik

b. Maksud dan penjelasan Kaidah

Maksud dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan atau tidak halal bagi siapapun juga untuk melakukan
tasarruf (tindakan hukum, seperti melakukan akad jual beli dan lainnya) terhadap benda/hak milik orang
lain tanpa izin pemiliknya; baik tasarruf fi’li (perbuatan), seperti memakai benda milik orang lain; atau
tasarruf qawli (perkataan), seperti melakukan akad jual beli benda orang lain atau menyewakan benda
orang lain atau milik teman yang berserikat dengannya, selam semua tasarruf tersebut tanpa mendapat
izin terlebih dahulu atau restu yang didapat belakangan. Sehingga juka benda yang dipakai tanpa izin itu
rusak, maka ia harus bertanggung jawab.

Karena milik orang lain adalah sesuatu yang terjaga kehormatannya. Kehormatan ini tidak boleh dirusak
dengan melakukan tasarruf tanpa izin pemiliknya; baik izin yang jelas (langsung) atau tidak langsung. Izin
yang jelas atau langsung adalah seperti seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual
rumahnya. Sedangkan izin tidak langsung seperti seorang gembala menyembelih kambing majikannya
yang hampir mati.

Adapun sesuatu yang senilai dengan posisi izin adalah perwakilan, perwakilan dan wasiat. Maka tasarruf
terhadap harta/hak orang lain tanpa izin atau tanpa sifat yang memperbolehkannya adalah haram
menurut syariat Islamdan tasarruf itu batal secara hukum.

c. Aplikasi kaidah

Diantara contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh mamalah adalah bahwasannya masing-masing anggota
perseroan/perserikatan milik bersama dianggap sebagai orang lain berkaitan dengan hak milik perseroan
tersebut. Oleh karena itu, masing-masing anggota bukanlah wakil dari temannya, sehingga tidak boleh
men-tasarruf-kan bagian temannya kecuali telah mendapatkan izin dari teman kongsinya. Apalagi orang
lain yang tidak punya bagian hak suatu benda dalam perkongsian; oleh karena jika ada orang yang
menjual atau menyewakan benda milik orang lain, maka jual beli dan sewa itu tidak sah.

Adapun contoh men-tasarruf-kan hak orang lain adalah seperti seseorang yang mengaku sebagai wali
anak yatim agar ia bisa men-tasarruf-kan harta anak yatim tersebut. Atau mengaku sebagai wali calon
pengatin perempuan agar punya hak menikahkan.

Sedangkan contoh aplikasi kaidah ini dalam bidang perbankan syariah sebagaimana yang difatwakan
oleh DSN adalah tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah dibidang Pasar
Modal.

Anda mungkin juga menyukai