Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH

Ketentuan-ketentuan Wakalah (Perwakilan)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Kitab Fathu Al-qarib

Dosen Pengampu: Ust. Abd. Salam, S.pd

Oleh:

1. Meivirda Aulia

2. Naila Husna Rohmah

3. Ni’amul Qoimah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ATTANWIR BOJONEGORO

2020
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakalah

Wakalah secara bahasa berarti pemberian kekuasaan. Sedangkan menurut syara’ adalah
pemberian wewenang oleh seseorang atas sesuatu yang boleh dikerjakannya dari hal-hal
yang bisa untuk digantikan kepada orang lain untuk dikerjakan di masa hidupnya (orang
yang memberikan). Dengan batasan yang terakhir ini, maka terkecualikan akad isho’
(memasrahkan urusan untuk dikerjakan saat orang yang memasrahkan telah meninggal).

Mushannif menyatakan kaidah wakalah dalam perkataannya: “Setiap urusan yang bagi
seseorang boleh untuk melakukannya sendiri, maka boleh baginya untuk mewakilkannya
(pada orang lain) atau menerima perwakilan (dari orang lain).” Maka, anak kecil atau
orang gila tidak sah bila menjadi orang yang mewakilkan atau menjadi wakil.

Dari definisi diatas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa yang dimaksud wakalah
adalah penyerahan dari sesorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dimana
perwakilan tersebut berlaku selama yang mewakilkan masih hidup. (Suhendi, 2010: 233).

Syarat muwakkal fih (urusan yang diwakilkan) adalah:

1. Bisa digantikan. Maka, mewakilkan ibadah badaniyah hukumnya tidak sah, kecuali
semisal ibadah haji dan membagi zakat.
2. Muwakkil memiliki wewenangnya. Bila mewakilkan pada orang lain untuk menjual
budak yang akan dimiliki atau menalak perempuan yang akan dinikahi, maka batal
lah wakalah nya.

Wakalah adalah akad jaiz dari kedua belah pihak. Dari hal ini, maka setiap dari kedunya
(muwakkil dan wakil) boleh memfasakh atau membubarkan wakalah kapan pun ia mau.

Selain itu, wakalah bisa menjadi bubar disebabkan salah satu dari keduanya meninggal,
gila, atau epilepsi. Wakil merupakan orang kepercayaan terhadap apa yg ia terima dan
apa yang ia transaksikan. Wakil tidak harus menanggung, kecuali dengan adanya
kecerobohan terhadap apa yang diwakilkan padanya. Termasuk dari kecerobohan adalah
menyerahkan dagangan sebelum menerima harganya.
B. RUKUN DAN SYARAT WAKALAH
Terdapat empat rukun wakalah yaitu : Pihak Pemberi kuasa (muwakkil), Pihak penerima
kuasa (wakil), Obyek yang dikuasakan (taukil) dan Ijab Qabul (sighat). Keempatnya
dijelaskan sebagai berikut:
1. Orang yang mewakilkan (al-Muwakkil)
a. Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk
bertasharruf (pengelolaan) pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu
seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
b. Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga
dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh
seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak
boleh seorang yang gila.
1. Orang yang diwakilkan (al-Wakil)
Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan
amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa.
2. Obyek yang diwakilkan (Taukil).
a. Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang
memberikan kuasa.
b. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sebagainya.
c. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan
diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
3. Ijab qobul (Shighat)
a. Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari
mulai aturan memulai akad wakalah, proses akad, serta aturan yang mengatur
berakhirnya akad wakalah.
b. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima
kuasa
c. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi
kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Dengan akad wakalah secara muthlaq, wakil tidak boleh menjual atau membeli
kecuali dengan tiga syarat;
1. Menjual dengan harga yang sama atau umum, tidak di bawahnya atau dengan rugi
yang sangat. Yaitu kerugian yang tidak pada umumnya.
2. Harga umum tersebut harus dengan pembayaran kontan. Maka wakil tidak boleh
menjual dengan pembayaran kredit walaupun dengan harga yang setara dengan harga
umum.
3. Menggunakan mata uang negara, jika dalam negara tersebut mempunyai dua mata
uang maka penjualan tersebut menggunakan mata uang yang paling laku, dan jika
sama-sama laku, maka menggunakan yang paling bermanfaat bagi muwakkil.
Kemudian jika kedua mata uang tersebut sama-sama bermanfaat maka memilih di
antara keduanya. Tidak boleh menjual dibeli dengan uang receh meskipun setara
dengan jumlah uang tersebut.

Seorang wakil tidak boleh menjual kepada dirinya sendiri dan juga kepada anaknya
yang masih kecil dan belum baligh meskipun muwakkil menjelaskan menjual izinnya
kepada anaknya. Dan ini menurut al- Mutawally. Sedangkan menurut al- Baghowi
qoul yang shohih menyatakan bahwa wakil boleh menjual kepada ayahnya dan yang
di atasnya, dan juga kepada anaknya yang sudah baligh dan sebawahnya selama anak
tersebut tidak safih (bodoh) dan tidak gila. Maka jika muwakkil menjelaskan izinnya
kepada wakil maka penjualan tersebut tetap sah.

Seorang wakil tidak boleh ikrar atas muwakkilnya, jika mewakilkan seseorang dalam
perselisihan maka wakil tidak boleh ikrar atas nama muwakkilnya dan juga tidak
berhak membebaskan hutang milik muwakkil. Begitu pula dengan akad shuluh atas
nama muwakkil, kecuali atas izinnya. Ini tidak ditemukan dalam sebagian kitab
matan. Qoul ashoh menyatakan bahwa menyatakan ikrar itu tidak sah.

Anda mungkin juga menyukai