Anda di halaman 1dari 10

KAFALAH, HIWALAH, SHULH, HAJR, DAN WAKALAH

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Tugas


matakuliah Fikih 2
Dibina oleh : Suhendi Abiraja, S. Ag

Disusun Oleh :
SANTI SUSANTI

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SHALAHUDDIN AL-AYUBI
(STAISA)
TANGERANG
2016

Kafalah (Jaminan)
Kafalah ialah jaminan iaitu tanggungjawab ke atas hak orang lain atau seseorang yang
mempunyai tanggungjawab tertentu untuk diambil tindakan atau mendapatkan sesuatu
barang ganti kepada pihak yang berhak. Secara keseluruhannya bermaksud
kesanggupan tanggungjawab seseorang penjamin untuk bertanggungjawab terhadap
oranglain(siberhutang).
Definisi: Perjanjian antara penjamin dan pihak yang menerima jaminan di mana
penjamin menerima tanggungjawab untuk menjelaskan hutang atau membayar ganti
rugi jika sekirannya pihak yang berhutang atau berjanji untuk melaksanankan sesuatu
kerja itu gagal menunaikan tanggungjawabnya.

Penjamin diminta menandatangani surat perjanjian sebagai bukti kesanggupan.

Kafalah menggabungkan tanggungjawab antara orang yang menjamin dengan


orang yang berhutang

Islam menggalakkan supaya saling tanggung menanggung antara satu sama lain.

Hutang yang dijamin itu hendaklah yang sah dan wajib dibayar.

Hiwalah (Pengalihan Hutang)

Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut


sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Altahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari
tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan
muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
:
Sedangkan

pengertian

Hiwalah

secara

istilah,

para

Ulama

berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:


Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah.

Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada
yang lain yang punya tanggung jawab pula.
2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah
adalah:

Pemindahan

utang

dari

tanggung

jawab

seseorang

menjadi

tanggung jawab orang lain.


3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah
adalah:


Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang
kepada yang lain.
4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud
Hiwalah adalah:

Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang
menjadi beban orang lain.

5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:



Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi
beban yang menerima pemindahan.
6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:

Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
7.

Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah

pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal


alaih.
8. Idris Ahmad, Hiwalah adalah Semacam akad (ijab qobul)
pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada
orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang
memindahkan.
Shulh (Berdamai)
Secara bahasa, kata al- shulhu ( ) Berarti artinya:
Memutus pertengkaran / perselisihan.
Secara istilah(Syara) ulama mendefinisikan shulhu sebagai
berikut:
1.

Menurut Taqiy al- Din Abu Bakar Ibnu Muhammad al- Husaini

Artinya: Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang


bertengkar (berselisih)
2.

Hasby Ash- Siddiqie dalam bukunya Pengantar Fiqih Muamalah

berpendapat bahwa yang dimaksud al- Shulh adalah:










Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk
melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang perselisihan.
3.

Sayyid Sabiq berpenddapat bahwa yang dimaksud dengan al

Shulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara


dua orang yang berlawanan.[3]
Dari beberapa definisi di atas maka dapat di simpulkan bahwa
Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang
berselisihan, bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam
mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat di harapkan
akan berakhir perselisihan. Dengan kata lain, sebagai mana yang di
ungkapkan

oleh

Wahbah

Zulhaily

shulhu

adalah

akad

untuk

mengakhiri semua bentuk pertengkaran atau perselisihan


B.

Dasar Hukum al- Shulh

Perdamaian (al- shulh) disyariatkan oleh Allah SWT. Sebagaimana


yang tertuang dalam Al- Quran:


















Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat
(Qs. Al Hujurat : 10).




Perdamaian itu lebih baik (Al- Nisa:128)
Disamping

firman-

firman

Allah,

Rasulullah

SAW.

Juga

menganjurkan untuk melaksanakan perdamaian dalam salah satu


hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Tirmizi dari Umar Bin
Auf Al- Muzanni Rasulullah Saw. Bersabda:



()
















Mendamaikan dua muslim ( yang berselisih) itu hukumnya boleh
kecuali perdamaina yang mengarah kepada upaya mengharamkan
yang halal dan menghalalkan yang haram. (HR. Ibnu Hibban dan
Turmudzi).

Contoh

menghalalkan

yang

haram

seperti

berdamai

untuk

menghalalkan riba. Contoh mengharamkan yang halal berdamai


untuk mengharamkan jual beli yang sah.
Hajr (Pengampuan)
Al-Hajr berarti larangan dan penyempitan/pembatasan. Istilah hukum perdata
berarti pengampuan. Al-Hajr dalam fikih Islam ditemui dalam pembahasan tindakan
kecakapan melakukan tindakan hukum bagi seseorang. Al-Hajr maksudnya seseorang
dilarang melakukan tindakan hukum. Berkenaan dengan al-Hajr para ulama membuat
definisi. Ulama mazhab Hanafi membuat definisi:
a.

Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak secara hukum

terhadap hartanya. Apabila seseorang yang berstatus dibawah pengampuan melakukan


tindakan hukum terhadap hartanya, seperti jual-beli atau hibah, maka tindakannya tidak
sah.
b.

Larangan khusus yang berhubungan dengan pribadi tertentu dalam tindakan

hukum tertentu pula.


Berdasarkan definisi kedua ini, apabila orang yang berada dalam pengampuan
melakukan suatu tindakan yang bersifat ucapan atau pernyataan, maka akad yang
dilakukannya itu tidak sah, kecuali ia mendapat izin dari walinya (pengampunya).
Selama yang bersangkutan masih berstatus pengampuan, segala kegiatan atau tindakan
yang berakibat merugikan harta benda, maka kegiatan itu harus diambil dari hartanya,
dan jika tidak punya harta, diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, walaupun
bagaimana hukuman fisik tidak boleh dilakukan kepada orang yang berada dalam
pengampuan. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan:
Status hukum yang diberikan syara kepada seseorang sehingga dia dilarang
melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya atau melakukan suatu
tindakan pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya
Mereka berpendapat, bahwa penentuan seseorang benar dibawah pengampuan
didasarkan kepada ketentuan syara. Orang yang dilarang melakukan tindakan hukum
diluar batas kemampuannya adalah anak kecil, orang gila, orang dungu, dan orang jatuh
pailit. Mereka semua dilarang melakukan tindakan secara hukum seperti jual-beli atau
pemindahan hak milik lainnya. Apabila melakukan hal itu, maka tindakannya tidak

berlaku dengan sendirinya. Namun, sebagai akibat dari tindakan hukum yang mereka
lakukan, mereka harus mendapat izin dari walinya. Sedangkan orang yang dilarang
memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga hartanya adalah orang sakit yang
diduga keras penyakitnya tidak akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu berakhir
dengan kematian.
Segala bentuk jual-beli dari orang seperti ini tidak dilarang. Tindakan
pemindahan hak secara sukarela seperti hibah, wasiat dan sedekah hanya dibolehkan
sampai sepertiga hartanya. Selebihnya tidak dapat dibenarkan.
Ulama Mazhab Syafii dan Hambali mendefinisikan al-Hajr dengan:
Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan tindakan
hukum yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila dan orang dungu, atau muncul
dari hakim, seperti larangan bagi seseorang pedagang untuk menjual barangnya
melebihi harga pasar
Sementara dalam Buku Fiqh Muamalah yang ditulis Nasrun Haroen (2000)
menjelaskan mengenai Al Hajr atau Pengampuan, sebagai berikut :
Secara etimologi, al-hajr berarti larangan, penyempitan dan pembatasan. Hajara
alaihi hajran, artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Dalam alQuran, kata al-Hajr juga digunakan dalam arti akal, karena akal dapat menghambat
seseorang melakukan perbuatan yang berakibat buruk.
Secara terminologi, dijumpai beberapa definisi al-Hajr yang dikemukakan para
ulama fiqh. Akan tetapi, pada dasarnya, definisi-definisi itu secara substansial adalah
sama. Di kalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat dua definisi, yaitu:
Pertama,
Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak hukum
terhadap hartanya.
Apabila seseorang yang berstatus di bawah pengampuan melakukan tindakan
hukum dalam bentuk perkataan yang berakibat kepada hartanya, seperti jual beli atau
hibah, maka tindakannya itu tidak dapat dilaksanakan, serta segala akibat akad itu tidak
berlaku, karena akadnya sendiri tidak sah.
Kedua,
Larangan khusus yang berkaitan dengan pribadi tertentu dalam tindakan
hukum tertentu pula.

Apabila orang yang dalam pengampuan melakukan suatu tindakan hukum yang
bersifat ucapan atau pernyataan, transaksi yang ia lakukan itu tidak sah, kecuali bila ia
mendapatkan izin dari walinya (yang mengampunya). Apabila orang yang dalam status
pengampuan melakukan suatu tindakan mengakibatkan kerugian harta benda, maka
kerugian harta benda, maka kerugian itu harus diganti dengan hartanya, jika ia punya
harta, atau diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, hukuman yang bersifat
fisik tidak boleh dikenakan kepada orang-orang yang berada dalam pengampuan itu.
Ulama Malikiyah mendefinisikan al-Hajr dengan:
Status hukum yang diberikan syara kepada seseorang sehingga ia dilarang
melakukan tindakan hukum diluar batas kemampuannya, atau melakukan seuatu
tindakan pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya.
Mereka

berpendapat

bahwa

penentuan

seseorang

berada

di

bawah

pengampuannya didasarkan kepada ketentuan syara. Orang yang dilarang melakukan


tindakan hukum di luar batas kemampuannya, menurut mereka, adalah anak kecil, orang
dungu, orang yang jatuh pailit, dan sebagainya. Mereka semua dilarang melakukan
tindakan hukum seperti jual-beli, atau melakukan perpindahan hak milik lainnya.
Apabila mereka melakukan suatu tindakan hukum. Maka akibat dari tindakan hukum itu
tidak berlaku dengan sendirinya, sebagaimana yang berlaku bagi orang yang tidak
dalam pengampuan, tetapi akibat hukum tindakan mereka harus mendapat izin dari wali
pengampunya. Sedangkan orang yang dilarang memindahtangankan hak miliknya
melebihi sepertiga hartanya, adalah orang sakit yang diduga keras tidak akan sembuh
lagi, sehingga penyakitnya itu membawa kepada kematiannya (mardh al-maut). Segala
bentuk transaksi jual beli orang seperti ini tidak dilarang. Berkenaan dengan tindakan
pemindahan hak milik secara sukarela, seperti hibah, wasiat, dan sedekah, hanya
diberlakukan dan diperbolehkan sampai sepertiga hartanya.Lebih dari itu tidka
dibenarkan.
Kemudian, ulama Syafiiyah dan Hanabilah, mendefinisikan al-Hajr dengan:
Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan itu
datangnya dari syara seperti larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak
kecil, orang gila, orang dungu, maupun muncul dari hakim, seperti larangan bagi
seseorang pedagang untuk menjual barangnya.

Wakalah (Penyerahan)
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia.
Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah
dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah),
tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan
memberikan kuasa atau mewakilkan. Adapula pengertian-pengertian lain dari Wakalah
yaitu:
a. Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat.
b. Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam
hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang
yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan
sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi
kuasa.

Pandangan Ulama
Wakalah memiliki beberapa makna yang cukup berbeda menurut beberapa
ulama. Berikut adalah pandangan dari para ulama:
a. Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan,
yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam
bertindak (bertasharruf).
b. Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
c. Ulama Malikiyah, Wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya

yang tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab
jika dikaitkan dengan tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
d. Menurut Ulama Syafiiah mengatakan bahwa Wakalah adalah suatu ungkapan
yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain
supaya orang lain itu melaksanakan apa yang boleh dikuasakan atas nama
pemberi kuasa.

Anda mungkin juga menyukai