Anda di halaman 1dari 11

Ayat Dan Hadist Tentang Wakalah, Wadi’ah, Dan Ariyah

Kelompok 5 :

1. Indra Saputra /2223130012


2. Rahmi Nur Azizah /2223130020

A. Wakalah

1. Pengertian Wakalah

Wakalah merupakan isim mashdar yang secara etimologis bermakna taukil, yaitu
menyerahkan/mewakilkan dan menjaga. Secara terminologis, wakalah ialah mewakilkan
yang dilakukan orang yang punya hak tasharruf kepada orang yang juga memiliki tasharruf
tentang sesuatu yang boleh diwakilkan. Definisi wakalah tercantum dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.126/DSN-MUI/VII/2019 tentang Akad
Wakalah Bi Al-Istitsmar, wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam fatwa tersebut, muwakkil adalah pihak
yang memberikan kuasa, baik berupa orang maupun badan hukum atau bukan badan hukum.
Sedangkan yang dimaksud wakil adalah pihak yang menerima kuasa, baik berupa orang
maupun badan hukum atau bukan badan hukum.

Beberapa pendapat ulama tentang definisi wakalah meliputi :

 Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan


dirinya kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya
dimana tindakan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, karena
tindakan setelah mati sudah berbentuk wasiat.
 Ulama Hanafiyah mengungkapkan bahwa wakalah adalah seseorang yang
mempercayakan orang lain untuk menjadi ganti dirinya dalam bertindak pada bidang-
bidang tertentu yang boleh diwakilkan.
 Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wakalah adalah suatu ungkapan yang
mengandung pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain supaya orang lain
itu melaksanakan apa yang boleh dikuasakan atas nama pemberi kuasa.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wakalah adalah Akad yang
memberikan kuasa dari seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu tindakan atau
pekerjaan tertentu.
2. Dasar Hukum Wakalah
 Surah Al-Kahfi ayat 19

‫َو َك ٰذ ِلَك َبَع ْثٰن ُهْم ِلَيَتَس ۤا َء ُلْو ا َبْيَنُهْۗم َقاَل َقۤا ِٕىٌل ِّم ْنُهْم َك ْم َلِبْثُتْۗم َقاُلْو ا َلِبْثَنا َيْو ًم ا َاْو َبْع َض َيْو ٍۗم َقاُلْو ا َر ُّبُك ْم‬
‫َاْع َلُم ِبَم ا َلِبْثُتْۗم َفاْبَع ُثْٓو ا َاَح َد ُك ْم ِبَو ِر ِقُك ْم ٰه ِذ ٖٓه ِاَلى اْلَم ِد ْيَنِة َفْلَيْنُظْر َاُّيَهٓا َاْز ٰك ى َطَع اًم ا َفْلَيْأِتُك ْم ِبِر ْز ٍق‬
‫۝‬١٩ ‫ِّم ْنُه َو ْلَيَتَلَّطْف َو اَل ُيْش ِعَر َّن ِبُك ْم َاَح ًدا‬
Artinya : ‘Demikianlah, Kami membangunkan mereka agar saling bertanya di antara
mereka (sendiri). Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa lama kamu
berada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.”
Mereka (yang lain lagi) berkata, “Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di
sini). Maka, utuslah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini. Hendaklah dia melihat manakah makanan yang lebih baik, lalu membawa
sebagian makanan itu untukmu. Hendaklah pula dia berlaku lemah lembut dan jangan
sekali-kali memberitahukan keadaanmu kepada siapapun.”

Tafsir : Pada kalimat fa ib’atsu ahadakum bi wariqikum... ini menggambarkan perginya


salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak atas nama rekan-rekannya sebagai wakil
mereka dalam memilih dan membeli makanan. Ayat ini menekankan bolehnya akad wakalah,
perwakilan dalam transaksi atau jual beli, yaitu menunjuk seseorang untuk mewakili
melakukan transaksi tertentu.

 Hadist

)‫َع ْن َج اِبٍر رض َأَّن الَّنِبُّي ص م َنَحَر َثاَل ًثا َو ِس َتْيِن َو َأَم َر َع ِلَّيارض َأْن َيْذ َبَح اْلَباِقي (رواه مسلم‬
Artinya : “Dari Jabir Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Saw. menyembelih kurban sebanyak
63 ekor hewan dan Ali Radhiyallahu Anhu disuruh menyembelih binatang kurban yang
belum disembelih." (HR Muslim)

Tafsir : Dalam hadis ini Nabi Saw memerintahkan Ali untuk menyembelih binatang
kurban yang belum disembelih. Dapat diartikan perintah tersebut sebagai wakil atau
perwakilan. Karena akad wakalah merupakan perjanjian yang dilakukan oleh seseorang untuk
mewakilkan dirinya kepada orang lain dalam melakukan suatu tindakan.

3. Rukun dan Syarat Wakalah


Rukun wakalah :
 Al-Muwakkil ( Orang yang memberi kuasa)
 Al-Wakil ( Orang yang diberi kuasa)
 Al-Taukil ( Objek akad, yaitu perkara yang dikuasakan)
 Sighat ( Ijab dan Qabul)

Syarat wakalah :

 Pekerjaan atau tugas yang akan diwakilkan haruslah yang dapat dikuasakan atau
dijalankan oleh orang lain. Oleh karena itu, tidak diizinkan untuk mewakilkan aktivitas-
aktivitas ibadah seperti shalat, puasa, dan membaca Al-Quran.
 Pekerjaan yang akan diwakilkan haruslah dimiliki oleh pemberi kuasa pada saat akad
wakalah terjadi. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan mewakilkan untuk menjual sesuatu
yang belum dimiliki.
 Pekerjaan yang diwakilkan haruslah jelas dan terdefinisi dengan baik. Oleh karena itu,
tidak valid untuk mewakilkan sesuatu yang masih samar. Misalnya, “Aku menjadikan
kamu sabagai wakilku untuk menikahi salah satu anakku”.
 Pekerjaan wakalah harus diungkapkan dengan kata-kata yang menyiratkan tindakan
perwakilan dan dilakukan dengan kesepakatan dan kerelaan dari pemberi kuasa.
Contohnya, “Saya mempecayakan tugas ini kepada kamu untuk melaksanakan
pekerjaan ini,” dan diterima oleh penerima kuasa. Dalam pernyataan penerimaan
(qabul), arti dari pernyataan tersebut haruslah jelas. Jika penerima kuasa tidak
menyatakan secara terang-terangan, namun perjanjian itu diterima, maka tetap dianggap
sah.

4. Jenis-Jenis Wakalah

a. Al-wakalah al-khosshoh, adalah proses pendelegasian wewenang untuk menggantikan


sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Spesifikasinya pun telah jelas. Contoh
wakalah jenis ini adalah membeli Honda tipe X atau menjadi advokat untuk
menyelesaikan kasus tertentu.
b. Al-wakalah al-ammah, adalah proses pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa
adanya spesifikasi. Contoh wakalah jenis ini misalnya, “Belikanlah aku mobil apa saja
yang menurutmu bagus dan hemat bahan bakar.”
c. Al-wakalah al-muqoyyadoh adalah akad wewenang dan tindakan si wakil dibatasi
dengan syarat-syarat tertentu. Contoh wakalah jenis ini misalnya, “Juallah mobilku
dengan harga Rp100 juta jika kontan dan Rp150 juta jika kredit.”
d. Al-wakalah mutlaqoh, adalah akad wakalah tentang wewenang dan wakil yang tidak
dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu. Contoh wakalah jenis ini misalnya, “Juallah
mobil ini,” tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.

5. Masa Berakhirnya Wakalah

 Bila salah satu dari pihak yang terlibat dalam wakalah meninggal dunia atau mengalami
kondisi ketidakseimbangan mental (gila).
 Jika maksud yang dijadikan dasar wakalah sudah berhasil dicapai atau jika niat dari
pekerjaan yang diwakilkan telah dihentikan.
 Wakalah bisa berakhir saat salah satu dari pihak yang menerima kuasa memutuskan
untuk menghentikan kesepakatan tersebut. Juga, berakhir saat pihak yang memberi
kuasa kehilangan kontrol atau haknya terhadap objek yang diwakilkan.
 Apabila aktivitas atau pekerjaan yang menjadi fokus wakalah dihentikan oleh kedua
pihak yang terlibat.
 Jika pemberi kuasa membatalkan perjanjian wakalah terhadap penerima kuasa, asalkan
penerima kuasa mengetahuinya tentang pembatalan tersebut.
 Jika penerima kuasa memilih untuk mundur dari tanggung jawabnya dengan
sepengetahuan pemberi kuasa.
 Wakalah dapat dicabut jika pemberi kuasa kehilangan hak kepemilikan atas barang
yang diberikan.

B. Wadi’ah
1. Pengertian Wadi’ah

Secara Etimologi al-Wadiah berarti titipan murni (amanah). ). Kata al-wadi’ah berasal
dari kata wada’a ( wada’a – yada’u – wad’aan ) berarti membiarkan atau meninggalkan
sesuatu yang dititipkan. Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah
karena Allah menyebut Wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Quran. Wadi’ah
menurut pasal 20 (17) kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES 2009) adalah penitipan
dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga
dana tersebut. Sedangkan secara terminologi ada beberapa pendapat dari para ulama, di
antaranya:
a. Hanafiah: al-Wadiah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk dipeliharakan
kepada orang lain.

b. Malikiah: al-Wadiah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang lain untuk
dipeliharakan.

c. Syafi’iah: al-Wadiah adalah sesuatu harta benda yang disimpan di tempat orang lain
untuk dipeliharakan.

d. Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk memeliharanya tanpa
adanya ganti rugi.

e. Ulama Fiqh Kontemporer: al-Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, wadia’ah merupakan Akad penitipan barang


yang dilakukan dengan tujuan untuk menjaga dan memelihara barang tersebut. Orang yang
menitipkan barang disebut sebagai muwaddi, sedangkan orang yang dititipi barang disebut
sebagai mustauddi. Dalam akad wadiah, mustauddi bertanggung jawab untuk menjaga barang
yang dititipkan dan tidak diperbolehkan menggunakan atau memanfaatkan barang tersebut
tanpa izin dari muwaddi.

2. Dasar Hukum Wadi’ah


 Surah Ali Imran ayat 75

‫َو ِم ْن َأْهِل الكتاب من ِإن َتْأَم ُتُه َيِقَطاِر ُيْؤ ِدِه ِإَلْيَك َو ِم نُهم ِّم ْن ِإن َتْأَم َنُه ِبِد يَناٍر اَّل ُيَؤ ِّد ِه ِإَلْيَك ِإاَّل َم ا‬
‫ُد ْم َت َع َلْيِه َقاُهما َذ ِلَك ِبَأَّنُهْم َقاُلوا َلْيَس َع َلْيَنا ِفي اُأْلِّم ِّييَن َس ِبيل َو َيُقوُلوَن َع َلى ِهَّللا اْلَك ِذَب َو ُهْم‬
‫َيْع َلُم ون‬
Artinya :”Di antara ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya
harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika
kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika
kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran merika mengatakan: "Tidak ada dosa
bagi kami terhadap orang-orang ummi Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal
mereka mengetahui.”
Tafsir : Kesimpulan yang dapat diambil dari ayat di atas, yaitu apabila seseorang hendak
melakukan transaksi penitipan harta, maka ayat tersebut menekankan beberapa ketentuan,
yaitu pertama pilihlah orang yang dapat dipercaya saat menitipkan harta sehingga orang yang
dipercaya tersebut dapat lebih amanah. Kedua, jika perjanjian sudah disepakati, maka
diwajibkan bagi kedua belah pihak untuk bertakwa dengan jalan tidak saling merugikan.

 Hadis

‫ َأَّد اَألَم اَنَة ِإَلى‬: ‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َيا ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬
‫َمِن اْثَتَم َنَك َو اَل َتُح ْن َم ْن َح اَنَك‬
Artinya : “Dari Abi Huraira ia berkata: Rasulullah bersabda: Tunaikanlah amanah
kepada orang yang mempercayakan (menitipkan) kepadamu dan janganlah engkau
berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud dan ia
menghasankannya, dan hadis ini juga di shahihkan oleh hakim)

Tafsir : Hadis tersebut menjelaskan bahwa amanah harus diberikan kepada orang yang
mempercayakannya. Dengan demikian, amanah tersebut adalah titipan atau wadi’ah yang
harus dikembalikan kepada pemiliknya.

3. Rukun Dan Syarat Wadi’ah


Rukun wadiah antara lain :
 Muwaddi’ (orang yang menitipkan)
 Mustauddi’ (orang yang menerima titipan)
 Obyek wadi’ah (barang yang dititipkan)
 Sighat (Ijab dan qabul)

Syarat wadi’ah antara lain :

 Orang yang menitipkan syaratnya baligh, berakal, dapat dipercaya dan syaratsyarat lain
yang berkaitan dengan kesepakatan bersama.
 Orang yang menerima titipan syaratnya baligh, berakal, dapat dipercaya dan syarat-
syarat lain yang berkaitan dengan kesepakatan bersama.
 Barang yang dititipkan syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu
merupakan sesuatu yang berwujud dimiliki oleh orang yang menitipkan, dan dapat
diserahkan ketika perjanjian berlangsung.
 Ijab dan qabul wadi’ah syaratnya pada ijab dan qabul dimengerti oleh kedua belah
pihak. Ijab merupakan ucapan dari penitip dab qabul adalah ucapan dari penerima
titipan.

4. Macam-Macam Wadi’ah

Titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah Yad Amanah dan Wadi’ah Yad Dhamanah.
Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk Yad Amanah “tangan amanah”, yang
kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah “tangan penanggung”.
Akad Wadiah Yad Dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam aplikasi perbankan
syariah dalam produk-produk perdanaan.

a. Wadi’ah yad Amanah

Wadi’ah yad amanah adalah suatu akad penitipan dimana pihak penerima titipan tidak
diperkenankan atau tidak diperbolehkan menggunakan barang titipan tersebut dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan
oleh kelalaian penerima titipan. Dengan ini, pihak yang menyimpan barang titipan tidak
boleh menggunakan atau memanfaatkan barang titipan tersebut, melainkan hanya menjaga
barang titipan tersebut. Selain itu, barang yang dititipkan tersebut tidak boleh
dicampuradukkan dengan barang lain, melainkan harus dipisahkan dengan barang lain.
Karena menggunakan prinsip yad amanah, maka akad titipan seperti ini disebut wadiah yad
amanah

b. Wadi’ah yad Dhamanah

Wadi’ah Yad Dhamanah yaitu suatu akad penitipan barang dimana pihak penerima titipan
dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dan harus
bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang titipan tersebut. Berdasarkan
hal tersebut, pihak yang menitipkan barang tidak perlu mengeluarkan biaya. Semua manfaat
dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi hak penerima
titipan.
C. Ariyah
1. Pengertian Ariyah

Menurut etimologi, ariyah (‫)ا لعارية‬, diambil dari kata (‫ ) عار‬yang berarti datang (ja’a) dan
pergi (dzahaba). Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata al-ta’awur (‫)التعاور‬, yang
sama artinya dengan saling tukar menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam
meminjam. Bisa juga berarti pinjaman, sesuatu yang dipinjam, pergi dan beredar.

Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiah pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa
mengganti. Sedangkan Menurut ulama Syafi'iah dan hanbali pembolehan untuk mengambil
manfaat tanpa mengganti. Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan adanya perbedaan
dalam akibat hukum selanjutnya. Pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada
peminjam, sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain atau pihak
ketiga tanpa melalui pemilik benda. Sedangkan pengertian yang kedua menunjukkan arti
kebolehan dalam mengambil manfaat saja, sehingga peminjam dilarang meminjamkan
terhadap orang lain.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan pinjaman atau ‘ariyah adalah


meminjamkan suatu benda kepada orang lain untuk diambil manfaat atas benda tersebut,
dengan ketentuan dikembalikan setelah selesai digunakan kepada pemiliknya dan pada saat
pengembaliannya, benda tersebut harus dalam keadaan utuh sesuai dengan awal. Jika
digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, maka tidak dapat dikatakan ‘ariyah.

2. Dasar Hukum Ariyah


 Surah An-Nisa ayat 58

‫ٰٓل‬
‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّد وا اَاْلٰم ٰن ِت ِا ى َاْهِلَهۙا َو ِاَذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َاْن َتْح ُك ُم ْو ا ِباْلَع ْد ِل ۗ ِاَّن َهّٰللا‬
‫ِنِعَّم ا َيِع ُظُك ْم ِبٖه ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َسِم ْيًع ۢا َبِص ْيًرا‬

Artinya : “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran
kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat..” (Q.S. An-Nisa (4) : 58)

Tafsir : Ayat ini berbicara tentang menitipkan amanah kepada pemiliknya yang sah dan
mengadili manusia dengan adil. Alasan ayat ini berkaitan dengan ‘Ariyah’ adalah Ariyah
merupakan jenis pinjaman dimana peminjam diperbolehkan menggunakan barang yang
dipinjamnya tanpa membayar imbalan. Peminjam bertanggung jawab untuk merawat barang
tersebut dan mengembalikannya dalam kondisi yang sama. Bila seseorang tidak
mengembalikan waktu peminjamannya atau menunda waktu pengembaliannya, berarti ia
berbuat khianat. Ini berarti ia telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang
agama.

 Hadis

: ‫ َقاَل‬، ‫ َح َّد َثَنا ِإْس َم اِع يُل ْبُن َعَّياٍش َقاَل َح َّد َثِني ُش َر ْح ِبيُل ْبُن ُم ْس ِلٍم‬: ‫َح َّد َثَنا ِهَش اُم ْبُن َع َّم اٍر َقاَل‬
،‫ «اْلَع اِر َيُة ُمَو َّد اٌة‬:‫ َيُقوُل‬، ‫ َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬:‫ َيُقوُل‬،‫َسِم ْع ُت َأَبا ُأَم اَم َة‬
‫»َو اْلِم ْنَح ُة َم ْر ُد وَد ٌة‬
Artinya : “Artinya : Hisyam bin „Amar beliau berkata : Isma‟il bin „Ayyasy beliau berkata :
Syurohbiil bin Muslim menuturkan kepadaku, Beliau berkata “saya mendengar dari abi
umamah” beliau berkata: saya mendengar dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda :
Al-‘Ariyah (pinjaman) itu harus dikembalikan, Al-Minhah (Barang yang diambil
manfaatnya).” (H.R. Abu Daud)

Tafsir : Hadis ini menerangkan bahwa ‘Ariyah’ merupakan suatu bentuk pinjaman yang
diambil manfaatnya dan harus dikembalikan dalam kondisi yang sama.

3. Rukun dan Syarat Ariyah


Rukun Ariyah :
 Mu’ir (orang yang meminjami)
 Musta’ir (orang yang meminjam)
 Mu’ar (barang yang akan dipinjam)
 Sighat (ijab qabul)
Syarat Ariyah :
 Orang yang meminjam itu ialah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum,
karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah.
 Barang yang dipinjam merupakan jenis barang yang tidak habis atau musnah apabila
dimanfaatkan seperti rumah, pakaian, dan kendaraan
 Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.
Artinya, dalam akad atau transaksi „ariyah pihak peminjam harus menerima langsung
barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
 Manfaat barang yang dipinjam itu termasauk manfaat yang mubah atau dibolehkan oleh
‘syara. Misalnya apabila meminjam kendaraan orang lain hendaknya kendaraan itu
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’.

4. Macam-Macam Ariyah

Malikiyah dan Syafi’iyah membagi ‘ariyah pada dua bentuk, yaitu mutlaqah dan
muqayyadah:

a. ‘Ariyah mutlaqah, yaitu pinjam meminjam yang tidak dikaitkan atau dibatasi oleh
waktu dan cara pemanfaatannya. Misalnya, seseorang berkata : “Saya pinjamkan rumah
saya ini kepada anda”, tanpa mengaitkan dengan waktu dan batas pemanfaatan.
Pembagian ini berimplikasi pada bebasnya peminjam untuk memanfaatkan ‘ariyah.
b. ‘Ariyah muqayyadah adalah pinjam-peminjam yang dikaitkan dengan waktu dan cara
pemanfaatan. Misalnya, seseorang berkata: “Saya pinjamkan rumah saya ini kepada
engkau selama 1 bulan dan dimanfaatkan hanya untuk memelihara barang.

5. Masa Berakhir Ariyah


a. Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman
termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh).
b. Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang disepakati
berakhir atau belum.
c. Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah),
taghoyur (akalnya berubah-ubah), maupun karena berada di bawah pengampunan (di
hukum).
d. Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman merupakan izin
pemanfaatan. Izin berakhir karena meninggalnya pemberi izin dan/atau penerimanya.
e. Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman, pihak yang brangkrut tidak boleh mengabaikan
manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberi utang
kepadanya.
KESIMPULAN

Akad wakalah, wadiah, dan ariyah adalah tiga jenis akad dalam fikih muamalat. Berikut
adalah perbedaan antara akad ketiga tersebut:

 Wakalah : Akad yang memberikan kuasa dari seseorang kepada orang lain untuk
melakukan suatu tindakan atau pekerjaan tertentu. Orang yang memberikan kuasa
disebut sebagai muwakkil, sedangkan orang yang menerima kuasa disebut sebagai
wakil. Wakalah dapat digunakan dalam berbagai transaksi, seperti jual beli, sewa-
menyewa, dan pengurusan haji.
 Wadiah : Akad penitipan barang yang dilakukan dengan tujuan untuk menjaga dan
memelihara barang tersebut. Orang yang menitipkan barang disebut sebagai muwaddi,
sedangkan orang yang dititipi barang disebut sebagai mustauddi. Dalam akad wadiah,
mustauddi bertanggung jawab untuk menjaga barang yang dititipkan dan tidak
diperbolehkan menggunakan atau memanfaatkan barang tersebut tanpa izin dari
muwaddi.
 Ariyah : Akad peminjaman barang yang dilakukan dengan tujuan untuk memanfaatkan
barang tersebut. Orang yang meminjam barang disebut mu’ir, sedangkan orang yang
meminjam barang disebut musta’ir. Dalam akad ariyah, musta’ir bertanggung jawab
untuk mengembalikan barang yang dipinjamkan dalam kondisi yang sama seperti saat
dipinjamkan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara akad wakalah, wadiah,
dan ariyah terletak pada tujuan dan penggunaan barang yang ditransaksikan. Wakalah
digunakan untuk melakukan tindakan atau pekerjaan tertentu, wadiah digunakan untuk
menjaga dan memelihara barang, sedangkan ariyah digunakan untuk memanfaatkan barang
yang dipinjamkan.

Anda mungkin juga menyukai