Anda di halaman 1dari 30

WAKALAH

(Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah Kontemporer)

Dosen Pembimbing:

Oleh: Nurmasyithah (201008027)

Abstrak

Islam memberikan peluang bagi umatnya untuk melakukan kreasi di bidang ekonomi
atau muamalah agar bisa memudahkan umatnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembolehan kreasi tersebut tidak lepas begitu saja, tetapi tetap merujuk pada aturan-aturan
umum yang telah digariskan. Apabila perilaku manusia melanggar aturan umum, maka hal
tersebut tidak dibolehkan dalam Islam. Kreasi manusia bidang muamalah banyak ditemukan
dalam lembaga keuangan. Wakalah adalah salah satu bentuk akad yang mana dapat
membantu seseorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang
tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah
direncanakan. Wakalah dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan seseorang kepada
orang lain dengan menjalankan amanat tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsep akad wakalah berdasarkan tinjauan Fiqih Muamalah, fatwa DSN, HES,
dan untuk mengetahui aplikasi akad wakalah yang dilakukan di Lembaga Keuangan Syariah.
Jenis penelitian dengan studi pustaka yaitu suatu bentuk metodologi pengumpulan data dan
informasi dengan menelusuri buku-buku dan beberapa literarture terkait. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa implementasi akad wakalah pada lembaga keuangan syariah dalam
pelaksanaannya terjadi beberapa ketidaksesuaian yang berakibat tidak terlaksananya sesuai
ketentuan yang semestinya, sehingga hal ini mengindikasikan adanya aturan yang dilanggar.

Kata Kunci: Wakalah, Lembaga Keuangan Syariah


BAB I

PENDAHULUAN

Islam adalah suatu pandangan hidup yang mengatur semua sisi kehidupan manusia,
jadi tidak ada satupun aspek kehidupan manusia yang terlepas dari ajaran Islam, termasuk
aspek ekonomi. Dengan demikian, Islam juga mengatur tentang transaksi yang akan
dilakukan baik di lembaga keuangan maupun non lembaga keuangan. Dengan konsep bahwa
agama Islam bukan agama yang mempersulit urusan manusia tetapi Islam adalah agama yang
selalu punya jalan keluar pada setiap kesulitan yang dihadapi oleh umatya. Salah satunya
dalam bidang ekonomi atau muamalah yang mana Islam memberikan suatu prinsip selama
tidak ada dalil yang mengharamkan, maka persoalan muamalah itu dibolehkan. Dengan
konsep ini, memberikan peluang bagi manusia untuk berkreasi demi memudahkan segala
urusan bisnisnya, termasuk dalam bertransaksi antara pihak lembaga keuangan dengan
nasabahnya.

Makalah ini akan membahas mengenai akad wakalah (perwakilan), yang semuanya itu sudah
ada dan diatur dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat
oleh ulama terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukum wakalah, sumber-sumber hukum
wakalah, dan bagaimana seharusnya wakalah diaplikasikan dalam kehidupan kita.
Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Hukum wakalah adalah
boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama
wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan. Namun, pembolehan akad wakalah ini tidak
serta merta tanpa ada aturan yang mesti diikuti oleh kedua belah pihak yang berakad. Ulama
telah merumuskan tentang atauran-aturan tersebut dan mesti ditaati oleh pihak-pihak yang
akan menerapkannya termasuk lembaga keuangan syariah.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif. Untuk memperoleh
informasi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan persoalan penelitian, yaitu dengan menelaah buku-
buku atau sumber lainnya tentang topik penelitian.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakalah
Secara etimologi wakalah berarti menyerahkan, mewakilkan dan menjaga.1
Wakalah dari sudut bahasa fuqaha merupakan penyerahan tugas kepada orang lain
untuk mengendalikan urusan-urusan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Wakalah dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan seseorang kepada orang
lain dengan menjalankan amanat tertentu. 2 Dari pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa yang dimaksud akad wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang
lain untuk mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang
mewakilkan masih hidup.
Wakalah memiliki beberapa makna yang berbeda menurut pandangan para ulama,
berikut ini adalah masing-masing pandangan dari para ulama yaitu:3
1) Menurut Hasbi As Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan yang
pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak
(bertasharruf).
2) Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
3) Menurut Ulama Malikiyah, Wakalah adalah penggantian oleh seseorang terhadap
orang lain di dalam haknya di mana ia melakukan tindakan hukum seperti
tindakannya, tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang terjadi setelah
kematian.
4) Menurut Ulama Hanafiyah, Wakalah adalah penempatan seseorang terhadap orang
lain di tempat dirinya dalam suatu tasarruf yang dibolehkan dan tertentu, dengan
ketentuan bahwa orang yang mewakilkan orang yang memiliki hak tasarruf.
5) Menurut Ulama Syafi’iyah, Wakalah adalah penyerahan oleh seseorang kepada
orang lain terhadap sesuatu yang ia berhak mengerjakannya dan sesuatu itu bisa
digantikan, untuk dikerjakannya pada masa hidupnya.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) NO.10/DSN-MUI/IV/2000 wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu

1
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta:Kencana, 2012), h. 300
2
Ismail. Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 194
3
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 417
pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.4 Akad wakalah pada
hakikatya adalah akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan
orang lain atau mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan
meminta orang lain untuk melaksanakannya.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) pasal 20 ayat 19
mendefinisikan wakalah sebagai “Pemberian kuasa kepada pihak lain untuk
mengerjakan sesuatu.” Kuasa dalam konteks ini kuasa untuk menjalankan kewajiban
dan juga kuasa untuk menerima hak. Kuasa untuk menjalankan kewajiban misalnya
seseorang mewakilkam kepada orang lain untuk membayar hutang. Sementara kuasa
untuk menerima hak seperti mewakilkan untuk menerima pembayaran hutang.
Seorang wakil sepenuhnya menjalankan dan kewenangan dan tanggung jawab orang
yang diwakilinya. Artinya, perwakilan dalam wakalah mencakup penerimaan hak dan
kewajiban.
Penerima kuasa (wakil) boleh menerima komisi (al-ujur) dan boleh tidak
menerima komisi (hanya mengharapkan ridho Allah/ tolong menolong). Tetapi bila
ada komisi atau upah maka akadnya seperti akad ijarah/ sewa menyewa. Wakalah
dengan imbalan disebut dengan wakalah bil-ujrah, bersifat mengikat dan tidak boleh
dibatalkan secara sepihak.5

Berdasarkan definisi-definsi di atas, dapat disimpulkan bahwa al-wakalah ialah


penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, dan
perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup. Wakalah diisyaratkan
dalam Islam karena manusia memerlukannya dan karena tidak semua manusia
memiliki kemampuan untuk menekuni dan menguasai segala urusannya. Untuk itu, ia
memerlukan pendelegasian kuasa atau wewenang kepada orang lain atas nama
dirinya.

B. Dasar Hukum Wakalah


Dasar hukum Islam, seseorang diperkenankan untuk mewakilkan atau
mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain atas nama pemberi kuasa
atau yang mewakilkan sepanjang kegiatan yang diwakilkan di perkenankan oleh
agama.

4
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) NO.10/DSNMUI/IV/2000
tentang wakalah
5
Sri Nurhayati-Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), h. 254
a. Al-Qur’an
- Salah satu dibolehkannya wakalah adalah firman Allah berkenaan dengan
kisah Ashabul al-Kahfi, dalam QS. Al-Kahfi [18] :19

‫ض‬ ۗ َ َ‫ٰه ْم لِيَتَ َساۤءَلُْوا َبْيَن ُه ۗ ْم ق‬


َ ‫ال قَاۤ ِٕى ٌل ِّمْن ُه ْم َك ْم لَبِثْتُ ْم قَالُْوا لَبِْثنَا َي ْو ًم ا اَْو َب ْع‬
ِ
َ ‫َو َك ٰذل‬
ُ ‫ك َب َع ْثن‬
‫َي ْو ۗ ٍم قَ الُْوا َربُّ ُك ْم اَ ْعلَ ُم مِب َ ا لَبِثْتُ ۗ ْم فَ ْاب َع ُث ْٓوا اَ َح َد ُك ْم بِ َو ِرقِ ُك ْم ٰه ِذ ٖٓه اِىَل الْ َم ِد ْينَ ِة َف ْلَيْنظُ ْر‬

‫ف َواَل يُ ْشعَِر َّن بِ ُك ْم اَ َح ًدا‬


ْ َّ‫اَيُّ َهٓا اَْز ٰكى طَ َع ًاما َف ْليَأْتِ ُك ْم بِ ِر ْز ٍق ِّمْنهُ َولْيََتلَط‬
Artinya: “Dan demikianlah kami bangunkan mereka agar di antara mereka
saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa
lama kamu berada (di sini)?” Mereka menjawab, Tuhanmu lebih mengetahui
berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah
dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa
makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lemah-lembut dan
janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 19)
Dari ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Allah telah
mensyari’atkan wakalah karena manusia akan membutuhkannya. Sebab tidak
semua manusia mempunyai kemampuan untuk menekuni segera urusannya
sendiri, sehingga tetap membutuhkan kepada pendelegasian mandat kepada
orang lain untuk melakukan sebagai wakil darinya.

- Dalam menyelesaikan persengketaan dalam rumah tangga juga di anjurkan


untuk menunjuk wakil dari kedua belah pihak sebagaimana firman Allah
dalam surat An-Nisa [4]: 35

‫اق َبْينِ ِه َم ا فَ ْاب َع ُث ْوا َح َك ًم ا ِّم ْن اَ ْهلِهٖ َو َح َك ًم ا ِّم ْن اَ ْهلِ َه ا ۚ اِ ْن يُِّريْ َدآ‬
َ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِش َق‬

‫صاَل ًحا يُّ َوفِّ ِق ال ٰلّهُ َبْيَن ُه َما ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َعلِْي ًما َخبِْيًرا‬ِ
ْ‫ا‬
Artinya : “Dan jika kalian khawatirkan terjadi persengketaan di antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga wanita. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. An-Nisa
[4]: 35)

- Dan Allah menceritakan tentang Yusuf bahwa beliau berkata kepada raja (QS.
Yusuf [12] :55)

ٌ ‫ضاِيِّنْ َح ِفْي‬
‫ظ َعلِْي ٌم‬ ِ ۚ ‫اج َع ْليِن ْ َع ٰلى َخَزاۤ ِٕى ِن ااْل َْر‬
ْ ‫ال‬
َ َ‫ق‬
Artinya: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), karena
sesungguhnya aku adalah perang yang pandai menjadi dan berpengetahuan.
(QS. Yusuf [12] :55).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Yusuf menyatakan siap untuk
menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga urusan ekonomi negeri Mesir.

- Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283

‫ضا َف ْلُي َؤ ِّد الَّ ِذى ْاؤمُتِ َن اََما َنتَهٗ َولْيَت َِّق ال ٰلّهَ َربَّ ٗه‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬
ِ ِ
ُ ‫فَا ْن اَم َن َب ْع‬
“Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah …”

b. As-Sunnah
- Al-Hadis Malik dalam Muwaththa:
Terdapat beberapa hadis yang membolehkan pelaksanaan akad
wakalah berikut, yang di anggap relevan dengan hukum wakalah:

ً‫ث اَبَ َارافِ ٍع َم ْولَ هُ َو َر ُجال‬


َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َب َع‬
َ َّ ‫اَ َّن النَّيِب‬, ‫َو َع ْن ُس لَْي َما َن بْ َن يَ َس ا ٍر‬
‫ َو ُه َو بِالْ َم ِد ْينَ ِة َقْب َل اَ ْن خَي ُْر َج‬,‫ت احْلَا ِر ِث‬
َ ‫ َفَز َّو َجاهُ َمْي ُم ْونَةَ بِْن‬,‫صا ِر‬
ِ
َ ْ‫م َن األَن‬

Artinya :“Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi saw, mengutuskan Abu
Rafi, hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar,
lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti harits dan
pada saat itu (Nabi saw) di Madinah sebelum keluar (ke Mieqat Dzil
Khulaifah).”
(HR. Malik dalam Muwaththa’).6
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada
orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar utang,
mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurus unta,
membagi kandang hewan, dan lain-lainnya.

- Al-Hadis HR. Bukhari

ِ ِ ِ ِ َّ ‫َع ْن عُ ْر َوةَ بْ ِن اَيِب ْ اْجلَ ْع ِد اْلبَا ِرقِ ْي أ‬


َ ‫صلَى اهلل َعلَْيه َو َسلَّ َم أ َْعطَاهُ د ْينَ ًارا ليَ ْش رَت‬
‫ي‬ َ َّ ‫َن النَّيِب‬
،‫اع إِ ْح َدامُهَا بِ ِد ْينَا ٍر َو َج اءَهُ بِ ِد ْينَا ٍر َو َش ٍاة‬ ِ ْ َ‫ ف‬،ً‫بِ ِه لَ هُ َش اة‬
َ َ‫ َفب‬, ِ ‫اش َتَرى لَ هُ بِ ه َش اَتنْي‬
.ِ ‫اب لََربِ َح فِْيه‬ ِِ ِ ِ
َ ‫ َو َكا َن لَ ِوا ْشَتَرى التَُّر‬،‫فَ َد َعالَهُ بالَْبَر َكة يِف ْ َبْيعه‬
Artinya: “Dari Urwah bin Abil Ja’d Al-Bariqie: Bahwa Nabi Saw (pernah)
memberikan uang satu dinar kepadanya agar di belikan seekor kambing untuk
beliau, lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia
jual satu ekor dengan harga satu dinar. Ia pulang membawa satu dinar dan
satu ekor kambing. Nabi Saw, mendoakannya dengan keberkatan dalam jual
belinya. Seandainya Urwah membeli tanah pun, ia pasti beruntung.”
(HR. Bukhari).
c. Ijma’
Para ulama pun sepakat dengan ijma, bahwa wakalah diperbolehkan. Mereka
bahkan ada yang cenderung mensunnahkan dengan alasan bahwa hal tersebut
merupakan jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa.
Tolong menolong di serukan oleh al-Qur’an dan di sunnahkan Rasulullah SAW.

َّ ‫ َوَت َع َاونُ ْوا َعلَى الْرِب ِّ َو‬ 


ۖ ‫الت ْق ٰو ۖى َواَل َت َع َاونُ ْوا َعلَى ااْلِ مْثِ َوالْعُ ْد َو ِان‬

Firman Allah SWT:

6
Mardani. Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015,) h. 236
Artinya: “Dan, tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan janganlah kamu tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) dosa dan
permusuhan.” (Al-Ma’idah [5] :2)

C. Pemahaman ulama terkait Wakalah


 Pendapat Ibnu Qudamah, bahwa umat (ulama) telah sepakat bahwa secara
garis besar wakalah itu hukumnya boleh; dan karena hajat (kebutuhan) orang
pun mendorong untuk melakukan wakalah. Tidak setiap orang bisa melakukan
langsung apa yang ia butuhkan. Dengan demikian, ada kebutuhan terhadap
wakalah tersebut.
 Pendapat Ibnu Qudamah bahwa akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik
dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan
hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi’
untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberikan imbalan. Nabi
pernah juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan
beliau memberikan imbalan kepada mereka.”
 Pendapat Imam Syaukani:. “Hadis Busr bin Sa’id tersebut menunjukkan pula
bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan niat tabarru’ boleh menerima
imbalan.”
 Pendapat Tim Penyusun Ensiklopedi Fiqh Islam Kuwait bahwa Wakalah
dengan upah (imbalan) hukumnya sama dengan hukum ijarah. Wakil berhak
mendapatkan upah dengan menyerahkan obyek yang diwakilkan kepada yang
mewakilkan jika obyek tersebut bisa diserahterimakan, maka ia berhak
mendapatkan upah.

D. Fatwa DSN-MUI Tentang Akad Wakalah Pada Perbankan Syariah


Sebagai lembaga yang mengawasi produk-produk syariah yang dikeluarkan
oleh lembaga-lembaga keuangan syariah maka DSN-MUI telah mengeluarkan
fatwanya yang berkaitan dengan akad Wakalah. Adapun fatwa tersebut adalah:7
Dewan Syari’ah Nasional setelah:
Menimbang:

7
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI,
Ciputat: CV Gaung Persada, 2006, h.62-67
a. bahwa dalam rangka mencapai suatu tujuan sering diperlukan pihak lain untuk
mewakilinya melalui akad wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan;
b. bahwa praktek wakalah pada LKS dilakukan sebagai salah satu bentuk pelayanan
jasa perbankan kepada nasabah;
c. bahwa agar praktek wakalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang wakalah untuk dijadikan pedoman oleh
LKS.

Mengingat:
1. Firman Allah QS. al-Kahfi [18]: 19:
2. Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 55
3. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
4. Firman Allah QS. al-Ma’idah 5:2
5. Hadis-hadis Nabi, antara lain: HR. Malik dalam al-Muwaththa’) (HR. Bukhari dari
Abu Hurairah
6. Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
7. Umat Islam ijma’ atas kebolehkan wakalah, bahkan memandangnya sebagai
sunnah, karena hal itu termasuk jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan
dan taqwa, yang oleh al-Qur'an dan hadis.
8. Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”

Penjelasan Fatwa no. 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah


Secara bahasa, wakalah bermakna ‘at tafwidl’ yakni penyerahan, pedelegasian
atau pemberian mandat, juga bisa bermakna ‘al hifdzu’ yakni memelihara. Secara
istilah, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain
dalam hal-hal yang diwakilkan.
Dalam praktek perbankan, wakalah lazim diaplikasikan untuk produk transfer
uang. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai muwakil, yakni pihak yang
mewakilkan pekerjaan transfer uang kepada pihak yang dituju, sedangkan bank
bertindak sebagai pihak wakil dari nasabah. Taukilnya berupa transfer uang. Untuk
transaksi transfer tersebut, biasanya nasabah akan membayarkan uang sebagai fee.
Dasar Hukum (Adillah Al-Ahkam)
Wakalah merupakan produk layanan pembiayaan bank syariah yang
diperbolehkan, dengan mengacu pada dalil-dalil sebagai berikut:
1. QS. Al Kahfi : 19. merujuk pada diperbolehkannya konsep wakalah. Dalam ayat ini
terdapat lafadz ‘fab’atsu ahadakum biwariqikum yang bermakna ‘maka suruhlah
salah seorang diantara kamu pergi kekota dengan membawa uang perakmu ini’.
Lafadz ini yang dijadikan istidlal atas keabsahan praktek wakalah. Dalam ayat ini
diceritakan, salah seorang dari mereka menjadi wakil untuk membeli makanan yang
terbaik guna memenuhi kebutuhan mereka atas rasa lapar dan dahaga.
2. QS. Yusuf : 55. merupakan dalil lain diperbolehkannya akad wakalah. Ayat ini
selain mengakui keabsahan akad wakalah, juga mengindikasikan dua sikap mendasar
yang harus ada dalam konsep wakalah. Sikap itu adalah kemampuan menjaga,
memelihara, dan dapat dipercaya dalam menjalankan pekerjaan yang diwakilkan,
selain itu juga harus memiliki pengetahuan dan kompetensi atas pekerjaan yag
didelegasikan.
3. QS. Al-Baqarah : 283. merujuk pada posisi wakil sebagai pihak penerima amanah
atas sesuatu yang diwakilkan. Pihak wakil harus menunaikan segala sesuatu yang
diamanahkan oleh muwakkil, tanpa ada sesuatu yang ditambahi atau dikurangi.
Muwakkil sangat percaya kepada wakil. Sehingga dengan sebaik mungkin wakil harus
menjalankan apa yang diwakilkan oleh pihak muwakkil. Misalnya, dalam transfer
uang bank merupakan wakil dari nasabah untuk melakukan transfer atas sejumlah
uang yang diwakilkan. Pihak bank tidak bisa mengurangi jumlah itu, tetapi ia harus
amanah dan menjalankkan sesuatu sesuai dengan yang diwakilkan.
4. QS. Al Maidah : 2. merujuk pada perintah Allah kepada hambanya untuk saling
tolong menolong dalam hal kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta melarang
tolong menolong dalam kebatilan. Relevansinya dengan akad wakalah, jika dipercaya
dan memiliki kompetensi untuk menjalankan sesuatu yang diwakilkan maka hal
tersebut harus diterima, karena hal tersebut merupakan wujud pertolongan terhadap
orang lain, sepanjang tidak mengarah pada sesuatu yang batil.
5. Hadis riwayat imam Malik dalam kita Al Muwatta’ ini mengungkap mengungkap
praktek wakalah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadis ini jelas
sekali bahwa Rasulullah SAW pernah mewakilkan kepada Abu Rafi’ untuk
mengganti posisi beliau dalam menerima perkawinan dengan Maimunah binti Harits.
Dengan demikian praktek wakalah benar adanya dan mendapatkan legalitas dari
Syara’.
6. Hadis Riwayat Tirmidzi merujuk pada kebebasan untuk melakukan transaksi dan
diperbolehkanya menetapkan bebrapa syarat dalam transaksi. Berdasarkan hadis ini,
terdapat kebebasan untuk melakukan transaksi ataupun menetapkan beberapa syarat
dalam transaksi, sepanjang syarat tersebut tidak bertentangan dengan syar’i. seperti
syarat tersebut menyebabkan adanya unsur riba ataupun gharar. Dalam konteks akad
wakalah, kedua pihak diberikan kebebasan untuk menentukan syarat-syarat sepanjang
tidak melanggar koridor yang telah disebutkan.
7. Kesepakan ulama merupakan dalil lain diperbolehkannya akad wakalah. Mereka
bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut
termasuk jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan takwa.
8. Kaidah fiqih yang di kutip merujuk pada prinsip bahwa boleh melakukan sesuatu
sepanjang tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan, bahaya), dan mampu
mendatangkan maslahat.

E. Rukun dan Syarat Wakalah


Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab
merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul
adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait
dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama tidak
sependirian dengan pandangan tersebut.
Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:8
Rukun wakalah

1). Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)

- Seseoarang yang mewakilkan/pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk


bertasharruf (bertindak) pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena
itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
- Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain
juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.
Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal
serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’i
8
Helmi Karim, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h..24-26
anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau
mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab
Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah
mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat
baginya.
2). Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
- Penerima kuasa perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang
mengatur proses akad wakalah, Sehingga cakap hukum menjadi salah satu
syarat bagi pihak yang diwakilkan.
- Seseorang yang menerima kuasa perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa.
3). Objek yang diwakilkan.
- Obyek haruslah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual
beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan
pihak yang memberikan kuasa.
- Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu
hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
- Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang
akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
4). Shighat
- Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima
kuasa, dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan
yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
- Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa
- Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Syarat Wakalah
Perwakilan tidak sah kecuali apabila syarat-syarat yang menjadi sahnya
wakalah terpenuhi. Diantara syarat-syarat ini ada yang berkaitan dengan muwakil, ada
yang berkaitan dengan wakil, dan ada pula yang berkaitan dengan muwakkal fih
(sesuatu yang diwakilkan).

1). Syarat Muwakil, Disyaratkan agar muwakil adalah orang yang memiliki kekuasaan
untuk bertindak dalam apa yang diwakilkannya. Apabila muwakil tidak memiliki
otoritas untuk bertindak, seperti orang gila, dan anak kecil yang belum mumayis,
maka penunjukan wakil olehnya tidak sah.

2). Syarat wakil, Wakil yang disyaratkan adalah orang yang berakal. Apabila dia
adalah orang gila, orang idiot, atau anak kecil yang belum mumayis maka penunjukan
sebagai wakil gagal.

3). Syarat muwakkal fih, Disyaratkan agar muwakkal fih adalah sesuatu yang
diketahui oleh wakil.

F. Ketentuan Wakalah
Dalam tataran teknis wakalah diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf c poin
pertama PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib
menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya yang
meliputi melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad wakalah.

Hak dan Kewajiban dalam Wakalah


KUH Perdata Bab XVI pasal 1792
Hak dan Kewajiban
a. Kewajiban penerima kuasa:
(1). Wajib melaksanakan kuasanya dan bertanggungjawab atas segala biaya dan
kerugian yang timbul,
(2). Bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dalam
menjalankan kuasanya,
(3). Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukannya,
(4). Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam
melaksanakan kuasanya.
b. Hak penerima kuasa: Penerima kuasa berhak menahan kepunyaan pemberi kuasa
yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat
dituntutnya.
Hak dan Kewajiban
a. Kewajiban pemberi kuasa:
(1). Wajib mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk
melaksanakan kuasanya,
(2). Memberi ganti rugi atas kerugian-kerugian yang dialami penerima kuasa sewaktu
menjalankan tugasnya,
(3). Memberikan upah kepada penerima kuasa atas jasanya.
b. Hak pemberi kuasa:
(1). Menerima laporan mengenai kegiatan-kegiatan penerima kuasa,
(2). Menggugat penerima kuasa yang telah melakukan penyelewengan dan dapat pula
mengajukan tuntutannya.

Bentuk-bentuk Wakalah
Adapun bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi
pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah:
(1). Wakalah Muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu.
Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. Maka
melakukan perbuatan hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)
(2). Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil
dalam pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas. Maka
melakukan perbuatan hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)
(3). Al-Wakalah Al-Aamah yaitu bentuk wakalah antara yang luas dan yang terbatas.
Sedangkan KUHPer pasal 1795 dan 1796 Pemberian kuasa dapat dilakukan
secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara
umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang
dirumuskan secara umumhanya meliputi tindakan- tindakan yang menyangkut
pengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk
membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata
yang tegas.

Perbedaan Wakalah
Wakalah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wakalah disertai upah atau
imbalan wakalatu bi-ujrin, dan wakalah tanpa upah wakalatu bighoiri ujrin. Kedua
jenis wakalah ini diperbolehkan, namun dalam wakalah jenis pertama berlaku
ketentuan ijarah. Artinya penerima wewenang, pemeliharaan berkewajiban
mengerjakan pekerjaan yang dilimpahkan sampai selesai. Sedangkan dalam wakalah
jenis kedua berlaku hukum kebiasaan al-urf . artinya imbalan kalau ada, disesuaikan
dengan adat kebiasaan dan tidak diberlakukan akad ijarah.
Dua jenis wakalah yang penulis paparkan diatas tergantung dengan apa yang
di wakilkan, kepada siapa mewakilkan, dan dalam kondisi apa praktek perwakilan
tersebut dilakukan. Jika wakalah yang dilakukan tanggung jawabnya berat,
pengrjaannya sulit, memrlukan biaya, menyita waktu, dan lain sebagainya, maka
wakil layak mendapatkan ujrah sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Tetapi jika
praktek wakalahnya tidak berat sebagaimana tadi sudah disampaikan, seperti, dirumah
tangga, dengan masyarakat, teman, maka bentuk wakalah ini memakai ketentuan urf.

Nilai yang terkandung dalam Wakalah.


Nilai yang terkandung dalam wakalah ialah Al-muawanat (pertolongan) dan
al-musyarakat (kerjasama), pihak pertama yang sebenarnya memiliki kemampuan
untuk menerjakan sesuatu oleh dirinya sendiri karena ada sebab tertentu ia tidak
sempat atau tidak bisa mengerjakannya, dan oleh karenanya, ia mendelegasikan pihak
lain untuk mengerjakanpekerjaan itu. Disini terjadi proses sling membantu dan
kerjasama antar para pihak yang terkait. Ini adalah nilai kemanusiaan yang akan
mengangkat harkat martabat manusia, dan secara ekonomi merupakan sarana untuk
meningkatkan tarap hidup. Orang yang menerima pelimpahan wewenang dapat
berdiri sejajar dengan pemberi wewenang karena ia bertindak untuk dan atas nama
pemberi wewenang. Dalam al-wakalat bi al-ujrat, penerima pelimpahan wewenang
memperoleh imbalan ujrat, sedangkan pemberi wewenang terbantu sebagian
pekerjaannya.
Sesuai dengan apa yang diterangkan diatas, begitu sempurnanya hukum
Islam, sehingga perkara sekecil apapun telah ditentukan secara perinci dan jelas,
dalam hal ini penulis menginterpretasikan nilai yang terkandung dalam wakalah yaitu
menanamkan kesadaran kepada setiap individu bahwa kita bukan sekedar makhluk
Tuhan, makhluk Pribadi tetapi juga makhluk Sosial. Sebagai makhluk sosial yang
tidak mungkin bisa hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Suatu contoh tukang
cukur rambut yang pandai merapihkan rambut orang lain, tetapi jikalau rambutnya
ingin dirapihkan maka dia harus mewakilkan kepada orang lain.
Praktek Wakalah tanpa disadari setiap individu pasti pernah melakukannya,
entah dia sebagai wakil atau muakil. Kehidupan rumah tangga sangat erat dengan
praktek wakalah, suami kepada istri dan sebaliknya juga ayah, ibu kepada anak dan
sebaliknya. Praktek wakalah yang penulis utarakan itu tidak seperti praktek wakalah
di perbankan yang harus memakai akad, karena praktek wakalah tersebut memakai
urf.

G. Konsep Akad Wakalah di Lembaga Keuangan Syariah


Akad Wakalah bil Ujrah
Setiap produk yang menggunakan akad wakalah, senantiasa mengacu pada
ketentuan wakalah dalam Fatwa Nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 dengan penambahan
secara spesifik sesuai produk yang difatwakan. Mayoritas akad wakalah yang
digunakan dalam kegiatan lembaga keuangan syariah adalah akad wakalah bil ujrah.
Penulis hanya menemukan akad wakalah (tanpa ujrah) dalam fatwa tentang
murabahah.
Seperti dalam fatwa tentang asuransi syariah yang menempatkan perusahaan
asuransi syariah sebagai wakil dari peserta asuransi dalam mengelola dana premi serta
pengurusan dokumen saat ada klaim dari peserta asuransi yang terkena musibah.
Karena wakil telah melakukan sesuatu untuk kepentingan pemberi
kuasa/nasabah/konsumen maka ia berhak mendapatkan ujrah atau imbalan.
Pada praktik anjak piutang yang menggunakan akad wakalah, perusahaan
pembiayaan syariah berkedudukan sebagai penerima kuasa. Selaku wakil atau
penerima kuasa, hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan antara lain: 1) menagih
piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada pihak yang berhutang (muwakkal
’alaih); 2) dapat memperoleh upah (ujrah) atas jasa penagihan piutang pengalih
piutang (muwakkil) dalam hal diperjanjikan; 3) meminta jaminan dari pengalih
piutang (muwakkil) (with recourse) atau tidak meminta jaminan dari pengalih piutang
(muwakkil) (without recourse); dan 4) membayar atau melunasi hutang pihak yang
berhutang (muwakkal ’alaih) kepada pengalih piutang (muwakkil), sedangkan hak
dan kewajiban pengalih piutang (muwakkil) antara lain: a. memperoleh pelunasan
piutang dari Perusahaan Pembiayaan selaku wakil; b. membayar upah (ujrah) atas jasa
pemindahan piutang sesuai yang diperjanjikan; c. dapat menyediakan jaminan kepada
Perusahaan Pembiayaan selaku wakil dalam hal diperjanjikan; dan d. memberitahukan
kepada pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih) mengenai transaksi pemindahan
piutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil.
Akad wakalah dibuat dalam rangka mewakilkan atau menguasakan suatu
perbuatan kepada pihak lain, baik dengan adanya imbalan (ujrah) maupun tanpa
imbalan. Hal-hal yang diwakilkan dalam Fatwa DSN tentang wakalah dipersyaratkan
harus diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, tidak bertentangan dengan
syari’ah Islam, serta dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.
Dalam perbankan syariah, akad wakalah bil ujrah merupakan suatu akad dimana
setelah terjadinya akad terdapat suatu imbalan (fee) dari nasabah kepada pihak Bank
sebagai tanda balas jasa. Hal ini sesuai dengan peraturan perbankan syari’ah dan
menyatakan tentang akad wakalah bil ujrah yang terdapat dalam UU No.21 tahun
2008. Sebagaimana sesuai yang ditetapkan dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No. 34/DSNMUI/IX/2002, wakalah bil ujrah adalah suatu akad perwakilan atau
pemberian kuasa dari nasabah kepada pihak Bank yang mana dalam pelaksanaannya
terdapat upah sebagai tanda balas jasa kepada pihak Bank karena telah mewakili suatu
pekerjaan jasa tertentu dari nasabah. Dalam penerapannya, penggunaan akad wakalah
dalam produk jasa perbankan syari’ah, antara lain transfer, kliring, inkaso dan latter of
credit.
1. Kiriman Uang (Transfer)
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad
Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai
Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan
perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada
rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (jika transfer dari
rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan
sejumlah dana kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses
dalam transfer uang yaitu:9
- Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-
Muwakkil kepada Al-wakil, dan Al-wakil memberikan uangnya secara
langsung kepada nasabah yang dituju.
- Transfer Uang
9
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 214
Melalui Cabang Suatu Bank Dalam proses ini Al-Muwakkil
memberikan uangnnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil,
namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang di
kirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang di tuju
tersebut.
- Transfer Melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk
mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari Al-
Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil. Dalam model ini, nasabah Al-
Muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan
kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju
sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat
ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer
sendiri melalui mesin ATM.
2. Kliring
Kliring adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar
peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Kliring merupakan jasa
perbankan yang diberikan dalam rangka penagihan warkat antarbank yang berasal
dari wilayah kliring yang sama. Warkat yang dapat dilakukan dalam transaksi
kliring antara lain: cek, bilyet giro, dan surat berharga lainnya. Biasanya proses
kliring memakan waktu satu hari pada umumnya. Warkat merupakan alat
pembayaran nontunai yang diperhitungkan atas beban nasabah dan/atau untuk
keuntungan rekening nasabah bank.10

3. Inkaso
Inkaso adalah pemberian kuasa pada bank oleh perusahaan atau perorangan
untuk menagihkan, atau memintakan persetujuan pembayaran (akseptasi) atau
menyerahkan begitu saja kepada pihak yang bersangkutan (tertarik) di tempat lain
(dalam atau luar negeri) atas surat-surat berharga, dalam rupiah atau valuta asing
seperti wesel, cek, kwintansi, surat askep (promissory notes), dan lain-lain.
Inkaso merupakan jasa penagihan yang diberikan oleh bank terhadap warkat
kliring dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berada di luar
10
Ibid, h. 215
wilayah kliring. Warkat yang diinkasokan sama halnya dengan warkat kliring
antara lalin: cek, bilyet giro, dan warkat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Hasil inkaso atau tagihan yang dilakukan oleh bank dengan menggunakan jasa
inkaso memakan waktu kurang lebih lima hari kerja.11
Bentuk wakalah dalam inkaso adalah adanya pemberian otoritas oleh pihak
tertentu kepada pihak bank untuk melakukan penagihan. Artinya bank mewakili
pihak yang memberikan perwakilan kepadanya.
4. Letter Of Credit
Letter of credit (L/C) adalah surat pernyataan akan membayar kepada yang
diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir / Eksportir dengan pemenuhan
persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah L/C syariah dalam
pelaksanaannya dapat menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh,
Murabahah, Salam/ Istishna, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah, Ijarah.
Bagi L/C yang menggunakan akad Wakalah tugas wewenang dan tanggung jawab
bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap yang dilakukan harus
mengatas namakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan
tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan
bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui
bersama antara nasabah dengan bank.12
Mengenai Latter of Creadit Impor Syari’ah telah diatur dalam fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 34/DSN-MUI/IX/2002, dengan menggunakan akad
wakalah bil ujrah. Dan tentang Latter of Creadit Ekspor Syari’ah yang
menggunakan akad wakalah diatur dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.
35/DSN-MUI/IX/2002. Adapun proses latter of credit diawali dengan transaksi
jual-beli dengan syarat cara pembayaran menggunakan latter of credit. Kemudian
pihak pembeli mengajukan aplikasi latter of credit kepada Bank devisa di
Negaranya. Setelah itu bank penerbit melakukan pengiriman surat latter of credit
kepada beneficiary (penerima) Bank koresponden yang ada di Negara penjual.
Setelah itu Bank koresponden (advising bank) sebagai Bank yang meneruskan
akan memberikan informasi kepada Nasabah bahwa latter of credit telah dibuka.
Setelah penjual menerima latter of credit barang akan dikirim kepada pembeli.
Adapun dokumen asli akan diserahkan kepada advising bank sedangkan pembeli

11
Ismail, op.cit., h. 197-198
12
Imam Mustofa, op.cit., h. 216
akan meneriman dokumen salinan, setelah dokumen diperiksa pihak advising
bank akan melakukan proses pembayaran. Dokumen yang sudah diterima advising
bank kemudian akan dikirim ke issuing bank (bank pembuka L/C) kemudian
issuing bank akan membayar kepada pihak advising bank. Setelah dinotifikasi
oleh issuing bank pihak pembuka latter of credit akan membayar semua kewajiban
kepada advising bank. Fungsi latter of credit dalam perdagangan internasional
yaitu merupakan sebuah kontrak yang dapat menyelesaikan transaksi perdagangan
internasional, memberikan pengamanan bagi pihak yang terlibat dalam transaksi,
merupakan suatu instrumen yang berhubungan dengan dokumen-dokumen bukan
atas barang atau jasa, membantu issuing bank memberikan fasilitas pembiayaan
kepada importir serta menjamin dan memperlancarpembayaran dari importir
dengan melalui jasa perbankan.

Akad Murabahah bil Wakalah

Murabahah bil wakalah adalah jual beli dengan sistem wakalah. Dalam jual
beli sistem ini, pihak penjual mewakilkan pembeliannya kepada nasabah. Dengan
demikian, akad pertama adalah akad wakalah setelah akad wakalah berakhir
yang ditandai dengan penyerahan barang dari nasabah ke Lembaga Keuangan
Syariah, kemudian pihak lembaga memberikan akad murabahah.

Dengan begitu, aktivitas ini terdiri dari dua janji (kesepakatan), yaitu janji
dari nasabah (pemberi amanah) untuk membeli barang, dan janji dari bank untuk
menjual barang dengan cara murabahah, atau dengan menambahkan keuntungan
terhadap harga pertama.13
Sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No:04/DSNMUI/IV/2000 Pasal 1 Ayat 9: “jika bank hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank” Sesuai dengan
ketentuan Fatwa DSN MUI, akad murabahah bil wakalah dapat dilakukan dengan
syarat jika barang yang dibeli oleh nasabah sepenuhnya sudah menjadi milik
lembaga keuangan syariah, kemudian setelah barang tersebut dimiliki lembaga

13
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu terjemahan Indonesia Jilid 5 (Jakarta:Gema
Insani Darul Fikir, 2011), 366
keuangan syariah, maka akad murabahah dapat dilakukan.14
Akad murabahah bil wakalah adalah jual beli dimana lembaga keuangan
syariah mewakilkan pembelian produk kepada nasabah. Setelah produk tersebut
didapatkan oleh nasabah, kemudian nasabah memberikannya kepada pihak
lembaga keuangan syariah. Setelah barang tersebut dimiliki pihak lembaga dan
harga dari barang tersebut jelas, maka pihak lembaga menentukan margin yang
didapatkan serta jangka waktu pengembalian yang akan disepakati oleh pihak
lembaga keuangan syariah dan nasabah.15

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, peran bank selaku ba’i
salam pembiayaan murabahah lebih tepat digambarkan sebagai pembiayaan dan
bukan penjual barang, karena bank tidak memegang barang, tidak pula mengambil
resiko atasnya. Kerja bank (ba’i) hampir semuanya hanya terkait dengan penanganan
dokumen-dokumen. Kontrak murabahah umumnya ditanda tangani sebelum ba’i
mendapatkan barang yang dipesan oleh musytari, dalam kontak tersebut musytari lah
yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan
pengiriman barang, rasio laba, dan spesifikasi yang benar. Musytari sendirilah yang
menanggung semua tanggung jawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan
dari pelanggaran hukum tersebut. Ba’i tidak berkeinginan memikul tanggungjawab
yang terkait dengan barang, karena itu segala resiko yang terkait dengannya yang
secara teoritis harus ditanggung ba’i, secara efektif telah terhindar. Musytari
menyelesaikan kerugian tersebut bukan dengan ba’i akan tetapi dengan pihak
supplier.

H. Praktik Akad Murabahah bil Wakalah Di Perbankan Syari’ah


Konstruksi hukum pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah tertuang
sebagaimana dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah. Ketentuan tersebut diantaranya: Bank dengan nasabah harus
melakukan akad murabahah yang bebas riba; barang yang diperjual belikan tidak
diharamkan oleh syariat Islam; Bank membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya; dan Bank membeli barang
yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus bebas riba.
14
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.
15
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001). 22.
Konstruksi hukum pembiayaan murabahah untuk penyaluran
pembiayaan yang dilakukan dengan akad wakalah dalam bermurabahah kepada
nasabah untuk membeli barang berdasarkan Fatwa DSNMUI nomor: 04/DSN
MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000 tentang Murabahah pada Ketetapan Pertama
Ayat 9 dinyatakan: "jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan sesudah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank."
Pada kenyataannya, tidak ada keseragaman dalam praktek pembiayaan
murabahah di berbagai bank syariah di Indonesia. Tipe penerapan murabahah dapat
dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:16
1) Tipe pertama, penerapan murabahah adalah tipe yang konsisten terhadap fikih
muamalah. Dalam tipe ini, bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh
nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli dan secara
prinsip dimiliki oleh bank, kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan
ditambah margin keuntungan yang disepakati. Pembelian dapat dilakukan secara
tunai (cash) atau tangguh, baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu
tertentu.
2) Tipe kedua mirip dengan tipe pertama akan tetapi perpindahan kepemilikan
langsung dari supplier kepada nasabah dan pembayaran dilakukan oleh bank
langsung kepada penjual pertama atau supplier. Nasabah selaku pembeli akhir
menerima barang setelah sebelumnya melakukan akad pembiayaan murabahah
dengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash) atau tangguh baik
berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.
3) Tipe ketiga, Bank syariah melakukan perjanjian murabahah dengan nasabah dan
pada saat yang sama mewakilkan kepada nasabah dengan akad wakalah.
Kemudian, nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkannya. Dana kemudian
dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangani tanda terima uang.
Tanda terima ini yang menjadi dasar bagi bank bahwa nasabah telah menerima
dana dari bank. Tipe ketiga ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank
mewakilkan kepada nasabah dan akad pembiayaan murabahah dibuat sebelum
barang secara prinsip telah menjadi milik bank.

16
Lathif, A. (2013). Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di
Indonesia. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 12, 7475.
Tipe ketiga ini merupakan tipe yang paling banyak dipraktekkan oleh bank
syariah. Praktik ini dikenal dengan akad murabahah bil wakalah. Murabahah
didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/2000 tentang
Ketentuan Umum Akad Murabahah dalam Bank Syariah. Fatwa tersebut telah
merumuskan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan akad murabahah, akan tetapi
dalam pelaksanaannya terdapat beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan fatwa
tersebut. Diantaranya:

Ketentuan pertama: Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
Terhadap ketentuan pertama ini, Bank dalam proses pembiayaan murabahah
selalu disertai dengan akad wakalah, tidak menggunakan akad murabahah murni. Hal
ini bertentangan dengan Pasal yang tercantum dalam Fatwa DSN di atas. Pasal
tersebut secara jelas menyatakan “bank membeli”. Maksudnya, bank bertindak secara
aktif atau pasif untuk membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Jika dirunut
lebih jauh, model pembiayaan murabahah seperti ini terjadi ketidaksesuaian. Pihak
bank tidak pernah membelikan atau menyediakan barang yang dibutuhkan nasabah
secara langsung. Proses penyediaan barang tersebut memang tidak harus dilakukan
sendiri oleh bank, akan tetapi dalam konsep muamalah, proses membeli barang ini
dapat dilakukan oleh seorang wakil dengan menggunakan akad wakalah. Implikasi
yang terjadi dari proses membeli ini baik secara langsung maupun diwakilkan, adalah
barang tersebut secara prinsip menjadi milik pihak yang membeli. Apabila pembelian
dilakukan dengan cara mewakilkan dengan akad wakalah, maka barang menjadi milik
pihak yang mewakilkan. Wakil bertindak untuk dan atas nama yang mewakilkan
(muwakil). Hal inilah yang terkadang tidak terjadi dalam proses pembiayaan
murabahah dengan akad wakalah tersebut. Bank tidak pernah memiliki barang
kebutuhan nasabah. Seharusnya nasabah sebagai wakil dari bank membeli barang
untuk dan atas nama Bank Syariah, dengan demikian implikasi “bank membeli”
terpenuhi. Apabila dalam pembelian, bank tidak mewakilkan kepada nasabah, maka
secara otomatis pembelian barang tersebut atas nama bank. Hal inilah yang akan
memenuhi substansi dari jual beli murabahah. Praktek yang kebanyakan terjadi di
Bank Syariah adalah bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang, dan
barang tersebut langsung atas nama nasabah. Kondisi ini tidak sesuai dengan
pedoman yang ada dalam fatwa DSN Nomor 04/DSNMUI/IV/2000 tentang
Murabahah. Sehingga ketentuan Sah dan bebas riba tidak terpenuhi, karena
kepemilikan objek barang tidak jelas.

Ketentuan kedua: bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian.
Ketentuan ini menunjukkan seharusnya bank bertindak aktif membelikan
barang yang dibutuhkan nasabah. Penyampaian semua hal yang berkaitan dengan
pembelian tersebut dapat dilakukan apabila bank melakukan pembelian barang
langsung ke penjual atau supplier. Praktek yang terjadi di Bank Syariah, bank
mewakilkan pembelian barang kepada nasabah dengan menggunakan akad wakalah
sehingga bank tidak bisa menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan barang
apabila ternyata nasabah sendiri yang melakukan pembelian. Sehingga ketentuan
tersebut tidak terlaksana di dalam proses pembiayaan murabahah.

Ketentuan ketiga: bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual
senilai harga beli ditambah keuntungan
Sebelum dilaksanakannya akad murabahah dan akad wakalah, bank Syariah
melakukan proses administrasi, yaitu suatu proses di mana nasabah harus melengkapi
suatu persyaratan tertentu. Setelah semuanya dipenuhi, nasabah mengajukan
permohonan pembiayaan. Jika disetujui maka bank akan mengeluarkan Surat
Keputusan Pembiayaan (SKP) yang dibuat bersamaan dengan akad wakalah sebagai
bentuk perwujudan bahwa bank mewakilkan kepada nasabah untuk mencari barang
yang sesuai dengan kriteria nasabah. Setelah mendapatkan barang yang sesuai,
barulah dibuat akad pembiayaan murabahah dan ditandatangani atas persetujuan
kedua belah pihak (pada tahap ini bank sudah dapat memperkirakan biaya yang
diperlukan untuk pengadaan barang tersebut secara detail). Kemudian, bank akan
mentransfer sejumlah dana yang ditujukan ke rekening nasabah dan akan didebetkan
secara langsung kepada penjual. Dalam hal ini, nota pembelian langsung atas nama
nasabah bukan atas nama bank yang diwakilkan. Bank tidak bisa menjual barang
kepada nasabah apabila tidak bisa membuktikan secara prinsip maupun efektif, bahwa
barang tersebut adalah milik bank sebagai penjual, sehingga ketentuan tersebut tidak
terlaksana dan mengakibatkan tidak sahnya transaksi murabahah ditinjau dari sudut
pandang hukum Islam.
Ketentuan keempat: jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang
secara prinsip menjadi milik bank.
Praktek yang terjadi di kebanyakan Bank Syariah, produk pembiayaannya
menggunakan murabahah bil wakalah dan bukan murabahah murni karena disertai
dengan akad wakalah. Hal ini menyebabkan keraguan atas status kepemilikan barang
karena bank tidak membeli langsung barang yang dibutuhkan nasabah. Akad wakalah
dilakukan sebagai prasyarat dilangsungkannya akad murabahah dalam praktek
perbankan syariah di Indonesia. Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila bank
hendak mewakilkan proses pengadaan barang kepada nasabah, maka pembelian
barang tersebut seharusnya menggunakan nama bank agar barang tersebut secara
prinsip menjadi milik bank. Prosedur pemberian akad wakalah inilah yang
menjadikan bank kurang bijak dan menjadi tidak hati-hati dalam menerapkan akad
wakalah dalam pengadaan atau pembelian barang oleh nasabah. Akibatnya terjadi
penyimpangan yang menyebabkan tidak sahnya akad tersebut secara syariah.
Ketidaksesuaian yang ditemukan di lapangan adalah bank langsung
mengatasnamakan pembelian barang dengan atas nama nasabah. Secara prinsip,
obyek murabahah memiliki spesifikasi yang jelas, mudah diidentifikasi, memiliki
nilai, memiliki bukti legal kepemilikan (akta milik), dapat diperjualbelikan, serta
dapat dipindahkan kepemilikiannya. Pada prakteknya, obyek tersebut langsung
diatasnamakan kepada nasabah, hal tersebut mengakibatkan akad tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan syariah.
Ketentuan lain tentang prinsip pembiayaan murabahah yang dibuat oleh OJK
adalah sebagai berikut “Kepemilikan objek pembiayaan sedapat mungkin dialihkan
secara efektif dari bank sebagai penjual kepada nasabah sebagai pembeli sesuai
kebiasaan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Syariah.
Bank Indonesia secara tegas melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 november 2005 tentang standarisasi akad pengunaan
media wakalah dalam murabahah pada pasal 9 ayat 1 butir d, yaitu dalam hal bank
mewakilkan kepada nasabah. Wakalah untuk membeli barang, maka akad murabahah
harus dilakukan setelah barang secara prinsip telah menjadi milik bank. Dalam
penjelasan PBI tersebut ditegaskan bahwa akad wakalah harus dibuat terpisah dengan
akad murabahah. Lalu ditegaskan yang dimaksud secara prinsip milik bank adalah
adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan
kuitansi pembelian. Konsep kepemilikan objek pembiayaan secara efektif yang
dimaksud adalah saat kedua belah pihak memasuki dan menyepakati kontrak sah jual
beli, tidak diharuskan adanya bukti legal administrasi kepemilikan oleh bank
(penguasaan fisik). Kepemilikan oleh bank dianggap sah hanya cukup dengan bukti
transaksi antara bank dan pemasok (penguasaan konstruktif). Tujuan pokok suatu
akad merupakan suatu hal yang esensial karena akan menentukan sah atau tidaknya
suatu akad. Dalam kaitannya dengan jual beli dengan pembiayaan murabahah ini
maka tujuan akad adalah pemindahan hak milik kebendaan dari pihak bank (bai')
kepada nasabah (musytari').
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa bank tidak memenuhi satu syarat
objek dalam jual beli, yaitu objek akad milik sendiri. Hal tersebut
dapat terjadi karena pada saat bank mewakilkan pembelian barang kepada nasabah,
bank langsung memerintahkan agar pembelian tersebut diatasnamakan nasabah.
Akibatnya syarat bahwa barang harus secara prinsip menjadi milik bank tidak
terpenuhi. Kuitansi pembelian barang juga diatasnamakan nasabah, sehingga bank
tidak menguasai barang secara fisik maupun konstruktif. Sebelum barang diserahkan
kepada pihak bank (muwakil), akad wakalah masih berjalan. Berakhirnya akad
wakalah apabila seorang wakil atau yang mewakili sudah menyelesaikan tugas dari
muwakil yang mewakilkan, amanat yang diberikan oleh muwakil kepada wakil telah
disampaikan kepada penerima amanat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
berakhirnya akad wakalah apabila barang telah diserahkan kepada pihak bank
(muwakil). Kemudian bank menjual kembali barang kepada nasabah sesuai dengan
ketentuan akad pembiayaan murabahah.
Ketentuan tentang murabahah yang telah diatur di dalam Fatwa Dewan Syariah
Nomor.4/ DSN -MUI/2000 tentang Murabahah, dalam pelaksanaannya terjadi
beberapa ketidaksesuaian yang berakibat tidak terlaksananya beberapa ketentuan
tentang murabahah seperti tersebut di atas. Meskipun demikian bank memiliki alasan
kuat untuk langsung mengatasnamakan kepada nasabah barang yang dibeli tersebut.
Untuk melihat dari segi keabsahan dari sisi administrasi dan mengapa harus ada akad
wakalah, beberapa faktor yang mendasari penggunaan akad wakalah di dalam
pembiayaan murabahah dan pengatsanamaan kuitansi pembelian langsung kepada
nasabah, faktor-faktor tersebut adalah:
a. Bank di Indonesia adalah institusi keuangan bukan sebagai rumah dagang. Bank
sebagai institusi keuangan dengan fungsi utama menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat, tidak memiliki stok
barang untuk diperjualbelikan. Sehingga apabila ada calon nasabah datang kepada
bank untuk mencari rumah misalnya, bank tidak memiliki stok rumah yang akan
dijual, walaupun bank bekerjasama dengan pihak pengembang, kesesuaian kriteria
barang dan lain sebagainya adalah hak nasabah untuk menentukan pilihan agar
barang sesuai dengan keinginan nasabah dan tercapai kesyar'i-an proses akad
tersebut dan menimbulkan kemaslahatan.
b. Efisiensi proses administrasi
Maksudnya, apabila bank membeli barang yang dibutuhkan nasabah tanpa
mewakilkan kepada nasabah dengan akad wakalah, dan kemudian barang tersebut
langsung diatasnamakan bank untuk kemudian dijual lagi kepada nasabah. Hal
tersebut dimungkinkan apabila yang diatasnamakan adalah suatu barang yang
mudah dan peralihan hak kepemilikan atau atas namanya. Hal tersebut akan sulit
dilaksanakan apabila objek barang membutuhkan proses admisnistrasi yang
membutuhkan waktu dan biaya, sebagai contoh rumah beserta tanah. Apabila
bank mengatasnamakan pembelian rumah beserta tanah tersebut kepada bank,
setelah itu baru dijual ke nasabah. Akibatnya terjadi dua kali proses peralihan hak
yang berakibat naiknya biaya administrasi, dan akan memberatkan salah salah
satu atau bahkan kedua belah pihak. Setiap transaksi jual beli akan selalu
didasarkan pada pembuatan akta jual beli, jika terjadi dua kali transaksi, hal
tersebut akan menimbulkan beban biaya untuk setiap transaksinya. Kondisi ini
tidak menguntungkan secara finansial bagi bank syariah sebagai institusi
keuangan yang menggunakan prinsip murabahah, sebagai contoh dalam proses
pembiayaan KPR biaya proses akan meningkat dengan adanya dua kali transaksi
jual beli, biaya tersebut meliputi biaya pembuatan akta jual beli, jasa
notaris/PPAT, beban pajak pendapatan dan BPHTB. Peningkatan biaya ini akan
melemahkan daya saing bank syariah bila dibandingkan dengan bank
konvensional, sehingga untuk itu di dalam pembiayaan kepemilikan rumah,
pemahaman jual beli adalah penguasaan kepemilikan secara prinsip atau
penguasaan secara efektif dan bukan diartikan secara harfiah. Akad wakalah
menjadi jembatan dari kondisi yang tidak menguntungkan ini. Akad wakalah
dianggap dapat mengakomodir terpenuhinya syarat prinsip jual beli murabahah,
namun pada saat yang sama dapat mereduksi biaya karena secara formil transaksi
jual beli terjadi hanya satu kali. Argumentasi reduksi biaya dapat dipahami
sebagai suatu strategi persaingan bisnis, agar bank syariah memiliki daya saing.
Sekalipun penggunaan akad wakalah sebagai media perantara dengan tujuan
mereduksi biaya, tetapi dalam pelaksanaannya wajib memperhatikan maksud,
tujuan dan esensi dari akad wakalah itu sendiri. Artinya rukun dan syarat wakalah
harus terpenuhi dalam pengaplikasian akad wakalah tersebut. Sehingga dapat
dipastikan bahwa pelaksanaan akad wakalah dibuat sebelum akad pembiayaan
murabahah dan pembuatan akta jual beli.
c. Memberikan kebebasan kepada nasabah
Penyertaan akad wakalah juga dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
nasabah dalam membeli barang.Nasabah mendapat wewenang dan kebebasan
penuh untuk memilih barang yang mana yang nasabah kehendaki sesuai dengan
kebutuhannya.Selama barang tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Oleh karena itu, bank mewakilkan kepada nasabah dalam proses pengadaan
barang. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia NO:
10/DSNMUI/IV/2000 mengenai Wakalah, telah memberikan penjelasan mengenai
bagaimana seharusnya akad wakalah di implementasikan dalam kegiatan
muamalah dimasyarakat dan dalam aplikasinya di Perbankan Syariah dan
lembaga keuangan syariah. Hal ini akan mendukung perkembangan produk-
produk keuangan Islam yang menggunakan akad Wakalah yang dapat di
implementasikan dalam beberapa produk perbankan seperti, jual beli dan
investasi. Hal ini akan memotivasi perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Akad wakalah merupakan akad pelengkap dalam akad-akad di perbankan syariah
atau lembaga keuangan syariah, wakalah memiliki peranan yang sangat penting
untuk menentukan keberhasilan dan tercapainya prinsip syariah akad itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik . Jakarta: Gema
Insani Press
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional MUI

Ismail. 2011. Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Kamil, Ahmad, M Fauzan. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Karim, Helmi. 2002. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Lathif, A. 2013. Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di
Indonesia. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 12, 7475.

Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta:Kencana

Mardani. 2015. Hukum Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah

Mustofa , Imam. 2016. Fiqh Muamlah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers

Nurhayati , Sri -Wasilah. 2014. Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat

Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu terjemahan Indonesia Jilid 5


Jakarta:Gema Insani Darul Fikir

Anda mungkin juga menyukai