Disusun oleh :
1. Riza Ristanti 1817301075
2. Rizal Azis Setiawan 1817301076
3. Siti Nur Faizah 1817301077
4. Siti Nur Fajriati 1817301078
KELAS 7 – HES B
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
2021
PENDAHULUAN
Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat,
damai, tunduk, pasrah dan berserah diri. Objek penyerahan diri ini adalah pencipta seluruh
alam semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian islam berarti penyerahan diri kepada
Allah SWT. Tegasnya agama disisi Allah ialah penyerahan diri yang sesungguhnya kepada
Allah. Jadi walaupun seseorang mengaku beragama islam, kalau dia tidak menyerah yang
sesungguhya kepada Allah, belumlah dia islam, sebab dia belum menyerah atau tunduk.
Penyerahan diri inilah yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan hidup bagi
manusia. Selanjutnya, islam memandang bahwa manusia didunia hanyalah sebagian kecil
dari perjalanan kehidupan manusia, karena setelah kehidupan didunia ini masih ada lagi
kehidupan akhirat yang kekal abadi, namun demikian, nasib seseorang diakhir nanti sangat
bergantung pada apa yang dikerjakannya didunia. Keduanya merupakan suatu rangkaian
keilmuan yang tentunya mencakup segi ibadah dan mu’amalah. Seperti halnya tentang segi
penetapan hukum. Dalam al-qur’an ada ketentuan yang tidak dicampuri oleh akal manusia,
terutama dalam bagian ibadah mahdloh, namun adapula yang bisa dicampuri oleh
pemikiran (ijtihad) manusia, terutama dalam bagian mu’amalat. Dalam kasus-kasus
tertentumanusia diberi kewenangan untuk menyelesaikan sendiri (hukum) masalah yang
dihadapinya.
Sistem ekonomi islam tidak terlepas dari seluruh sistem ajaran islam secara integral
dan komprehensif. Sehingga prinsip-prinsip dasar ekonomi islam mengacu pada saripati
ajaran islam. Kesesuaian sistem tersebut dengan fitrah manusia tidak ditinggalkan dan
dengan keselarasan inilah terjadi benturanbenturan dalam pelaksanaanya. Kebebasan
berekonomi terkendali menjadi ciri dan prinsip sistem ekonomi islam, kebebasan memiliki
unsur produksi dalam menjalankan roda perekonomian merupakan bagian penting dengan
tidak merugikan kepentingan kolektif.
PEMBAHASAN
ط بِ ُك ْم ۖ فَلَ َّما ٓ َءات َْوهُ َم ْو ِثقَ ُه ْم قَا َل ٱللَّهُ ََلَ ٰى َما ٓ َّ ون َم ْوثِقًا ِمنَ ٱللَّ ِه لَت َأْتُنَّنِى بِ ِهۦٓ ِإ
َ َّل أَن يُ َحا ِ ُ قَا َل لَ ْن أ ُ ْر ِسلَهُۥ َمعَ ُك ْم َحت َّ ٰى تُؤْ ت
نَقُو ُل َو ِكيل
Artinya: “Ya’qub berkata: “aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi)
bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas
nama Allah, bahwa kamu pasti sksn membawanya kepadaku kembali.” (QS. Yusuf:
66)
Pada ayat lain Allah juga berfirman :
1
Atang Abd.Hakim, Fiqh Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 277.
Artinya : “Dan barang siapa yang dapat mengembalikannya piala raja, maka ia
akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta, dan aku yang menjamin
terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72)
2
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012) hlm
217-218
1. Sanggup untuk menyerahkan tanggungannya (utang), adakalanya dengan
dirinya atau penggantinya. Dan syarat ini khusus menurut Abu Hanifah,
maka tidak sah kafalah utang dari mayat yang bangkrut dan tidak
meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya, karena dia adalah utang
yang gugur, maka tidak sah menjaminnya, seperti jatuhnya tanggungan
dengan kebebasan dank arena tanggungan mayit hilang karena mati.
Menurut dua sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad as
Syabani, dan Jumhur Fuqaha sah menjamin utang dari mayit yang bangkrut
dank arena utang si mayit adalah utang yang tetap ada, maka sah
menjaminnya seperti kalau dia mundur melunasi utangnya karena tidak
sanggup. Dan atas adanya utang-utang ini sesungguhnya kalau tabarru’
seseorang dalam melunasinya maka boleh bagi pemilik utang menerimanya.
begitu juga kalau dijaminnya ketika masih hidup, kemudian mati, tidaklah
lepas tanggungan penjamin, dari apa yang menunjukan bahwa dia tidak lepas
dari tanggungan orang yang dijminnya.
2. Yang terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin. Maka apabila
penjamin berkata, “saya menjamin salah seorang dari manusia”, tidak sah
kafalahnya, karena manusia tidak mengenalnya, dan syarat ini adalah untuk
mengenal yang berutang (makful’anhu).
Apakah ia dalam kelapangan atau termasuk orang-orang yang
bersegera mengqadha utangnya, atau berhak membuat pengakuan atau tidak.
Dan tidak disyaratkan hadirnya orang yang berutang, maka boleh kafalah
terhadap orang yang tidak hadir atau orang yang masih dalam tahanan,
karena dalam keadaan seperti ini sangat dibutuhkan adanya kafalah.
Menurut madzhab Syafi’I tidak disyaratkan untuk mengetahui orang yang
akan dijamin diqiyaskan dengan ridhanya, yang mana ridhanya juga tidak
merupakan syarat dalam kafalah. Karena mengerjakan pekerjaan itu untuk
orang yang berhak (pantas menerimanya) atau tidak.
c. Syarat-syarat Orang yang Berpiutang (Makful Lahu)
1. Diketahui identitas dirinya, tidak boleh memberikan jaminan terhadap orang
yang tidak diketahui identitasnya, karena hal tersebut tidak mencerminkan
tujuan utama dari kafalah (jaminan), yaitu memberikan rasa saling
mempercayai diantara pihak-pihak yang terkait. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang terkuat dalam madzhab Syafi’I, karena orang-orang yang
berpiutang biasanya memiliki cara-cara tersendiri dalam menagih hutangnya,
ada yang kasar dan adapula yang lemah lembut. Sedangkan madzhab Maliki
dan Hambali membolehkan jaminan terhadap orang yang tidak diketahui
identitasnya, misalnya “saya jamin utang si zaid terhadap siapa saja”.
2. Orang yang berpiutang hadir di tempat akad. Menurut pendapat Abu Hanifah
dan Muhammad, ini merupakan syarat untuk diterimanya akad kafalah.
Kalau ada seseorang.
3. Berakal sehat.
4. Makful lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau tanggung ajawab)
kepada makful’anhu.
d. Syarat-syarat Barang yang Akan Dijadikan Barang Jaminan (Makful Bih)
menurut fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional)
1. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang,
benda, maupun pekerjaan.
2. Bisa dilaksanakan oleh penjamin
3. Harus merupakan pitang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
4. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
5. Tidak bertentangan dengan syari’ah (yang tidak diharamkan)
E. Ketentuan Akad Kafalah
Fatwa Tentang Kafalah Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No.
11/DSNMUI/IV/2000 Tentang KAFALAH ini adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum Kafalah
a. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b. Dikenal oleh penjamin.
2. Pihak orang yang berpiutang (Makfuul Lahu)
a. Diketahui identitasnya.
b. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c. Berakal sehat.
3. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang,
benda, maupun pekerjaan.
b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidakmungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
4. Arus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
5. Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan). Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.3
F. Berakhirnya Akad Kafalah
Akad Kafalah berakhir apabila:
1. Hutang telah lunas, baik makful ‘anhu maupun kafil
2. Makful lahu menghapus piutangnya kepada makful ‘anhu
3. Apabila salah satu ingkar umpanya melakukan wanprestasi agar kafil
membayar hutangnya kepada makful lahu
4. Batas tanggal berakhirnya masa klaim bank garansi telah melampaui tanpa ada
klaim dari penerima bank garansi
5. Taerjadinya cacat hokum
6. Adanya pernyataan dari penerima garansi tentang pelepas hak klaim atas bank
garansi yang bersangkutan
7. Dikembangkannya bank garansi asli kepada kafili atau bank garansi tersebut
hlang.4
G. Implementasi Akad Kafalah di Lembaga Keuangan Syariah
3
Rezki Syahri Rakhmadi, KONSEP DAN PENERAPAN SISTEM JAMINAN PADA LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH, Madani Syari’ah Vol. 2, Agustus 2019. Hlm. 10
4
Siswanro, Fiqih Muamalah II Kafalah (Samarinda:2015). hlm 13.
bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang
dibiayai mengalami kesulitan.. kedua, kahalah bi al-taslim. Jenis kafalah ini bisa
dilakukan untuk menjamin pengembalian barang yang disewa ada waktu masa sewa
berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan bank untuk kepentingan
nasabahnya dalam bentuk kerja sama perusahaan penyewaan (leasing comanpy).
Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposit/tabungan dan bank dapat
membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu. Ketiga, kafalah al-munjazah,
yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi jangka waktu dan untuk jangka waktu dan
untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Salah bentuk kafalah ini adalah jaminan
dalam bentuk performance bonds (jaminan prestasi).
Produk al-kafalah yang diberikan oleh bank syariah dalam bentuk garansi.
Garansi bank adalah sejumlah uang yang disimpan oleh bank sebagai jaminan bagi
seseorang atau nasabah yang akan menjadi persyaratan untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu. Penyimpanan uang dimaksut, maka pihak bank mendapatkan
jasa sebagai pertanggungan terhadap nasabah yang melakukan pekerjaan.5
5
M. Nur Yasin, Hukum Ekonomi Islam, sebagai mana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah
Kontemporer (jakarta:Rajawali Pers,2016), h.228
Transaksi yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah adalah:
1. Bank garansi dengan segala variasinya; dan
2. Letter of credit dengan segala jenis dan variasinya.
3. Kartu kredit
I. Aplikasi Kafalah dalam Perbankan
Akad kafalah adalah jaminan yang di berikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ke tiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau di tanggung
(makful ‘anhu). Diantara bentuk transaksi perbankan yang dapat menggunakan akad
kafalah adalah bank garansi. Secara teknis pihak bank dalam hal ini memberikan
jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja atau perjanjian yang
telah disepakati antara nasabah dengan pihak ketiga. Pihak bank sebagai lembaga
yang memberikan jaminan akan memperoleh manfaat berupa peningkatan
pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa penjaminan
yang diberikan.
Peranan kafalah pada dasarnya adalah untuk meningkatkan hubungan
mu’amalah sesama umat muslim pada khususnya dan umuat manusia pada
umumnya yang didalamnya terkandung unsur tolong menolong. Memberikan
penjaminan merupakan salah satu bentuk tolong menolong. Kemudian pada era
moderen sekarang berkembanglah peranan kafalah, bukan hanya berperan sebagai
bentuk usaha untuk mengingkatkan hubungan mu’amalah umat manusia, tetapi
sekarang peranan kafalah adalah untuk memberikan kemudahan dan kelancaran
bagi pelaku usaha dalam pengembangan usahanya. Peranan kafalah secara umum
adalah untuk memperlancar transaksi atau kerjasama bagi pihak-pihak yang akan
melakukan suatu transaksi maupun kerjasama yang bernilai besar dan mengandung
risiko. Selain itu peranan kafalah adalah untuk meningkatkan produktifitas
perbankan dan produktifitas pengusaha. Secara khusus peranan kafalah bagi para
pihak adalah:
a. Bagi pihak yang dijamin selaku nasabah bank; Artinya bahwa dengan
diberikannya kafalah oleh bank, maka nasabah bisa mendapatkan atau
mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena biasanya pemilik proyek
menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang mereka
miliki.
b. Pihak terjamin ( pemillik proyek ) biasa disebut sebagai pihak ketiga, Artinya
bahwa dengan adanya kafalah yang diberikan oleh bank maka pemilik proyek
akan mendapat suatu jaminan bahwa proyeknya yang akan dikerjakan oleh si
nasabah bank tadi akan diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
Karena kafalah merupakan pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah
cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya.
c. Pihak yang menjamin hal ini adalah pihak bank, Artinya bahwa dengan adanya
kafalah yang diterbitkan oleh bank maka pihak bank akan memperoleh fee atau
imbalan yang diperhitungkan dari nilai risiko yang ditanggung oleh bank atas
kafalah yang telah diberikan, selain itu juga penjamin akan memperoleh pahala
karena melakukan penjaminan bagi orang lain Karena penjaminan ini
merupakan suatu sifat kebajikan.
6
ibid
KESIMPULAN
Kafalah, yaitu: kesanggupan untuk memenuhi hak yang menjadi kewajiban orang
lain, kesanggupan mendatangkan barang yang ditanggung dan kesanggupan menghadirkan
orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kafalah adalah salah satu fasilitas
perbankan syari’ah yang merupakan jaminan dari si penjamin, baik berupa jaminan diri
maupun barang untuk membebaskan kewajiban yang di tanggug pihak lain.
Dengan adanya kafalah pihak yan dijamin atau disebut juga degan makful ‘anhu
dapat menyelesaikan proyek atau usaha bisnisnya dengan ditanggung pekerjaannya dan
bisa selesai dengan tepat waktu dengan jamian piha ketiga yang menjamin pengerjaannya.
Skema kafalah, Transaksi yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah adalah: 1.
Bank garansi dengan segala variasinya; 2. Letter of credit dengan segala jenis dan
variasinya, dan 3. Kartu kredit.
Akad kafalah adalah jaminan yang di berikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ke tiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau di tanggung (makful ‘anhu). Diantara
bentuk transaksi perbankan yang dapat menggunakan akad kafalah adalah bank garansi.
Secara teknis pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya
sehubungan dengan kontrak kerja atau perjanjian yang telah disepakati antara nasabah
dengan pihak ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
Yasin, M. Nur. Hukum Ekonomi Islam, sebagai mana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih
Mu’amalah Kontemporer. akarta:Rajawali Pers,2016.
Hakim, Atang Abd. Fiqh Perbankan Syariah. Bandung: PT Refika Aditama, 2011.