Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Di masa ini, semakin banyak perbankan yang menyediakan produk-
produk perbankan yang berbasis syariah. Perbankan syariah adalah suatu
sistem perbankan yang pelaksanaanya berdasarkan hukum islam (syariah).
Pemebentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama islam
untuk meminjam atau menggunakan pinjaman dengan menggunaka bunga
pinjaman didalam nya karena didalamya mengandung riba. Serta adanya
larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha kategri dalam terlarang
(haram), Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin hilangnya
hal-hal tesebut dalam mekanismenya.
Berdasarkan prinsip pengembangan produk bank syariah, maka
dapat diketahui bahwa produk bank syariah sanagt bervariasi. Tergantung
pada prinsip-prinsip yang akan dijadikan rujukan dalam pengembangan
produk. Diantara prinsip-prinsip dalam pengembangan produk adalah
antara lain seperti wadi’ah (titipan).

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wadi’ah ?
2. Apa saja pembagian dalam wadi’ah ?
3. Bagaimana contoh kasus wadi’ah dalam kehidupan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian wadi’ah
Barang titipan dalam bahasa fiqih dikenal dengan al-wadi'ah Menurut
bahasa, al wadi’ah adalah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya agar
dijaga (Ma wudi’a inda ghaira malikihi la yahfadzah). Dari segi bahasa wadi’ah
adalah menerima, seperti seseorang berkata, “auda’ tuhu”, artinya aku
menerima harta tersebut darinya (Qobiltu Minhu Dzalika Al-Mal Liyakuna
Qodi’ah “indi”). Secara bahasa, al-wadi’ah memiliki makna yaitu memberikan
harta untuk dijaga dan pada penerimaanya (I’th’u al-mal liyahfadzahu wa fi
qabulihi). Disamping itu, ulama menjelaskan al-wadi’ah secara etimologi adalah
perwakilan dalam pemeliharaan harta dan sesuatu yang disimpan di tempat
orang lain yang bukan pemiliknya agar dipelihara.
Secara terminlogi, ada dua definisi yang dikemukakan pakar fiqh. Pertama,
menurut ulama Hanafi, wadi’ah adalah mengikut sertakan orang lain dalam
memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas,, melalui tindakan, maupun
melalui isyarat. Kedua, menurut ulama Maliki, Syafi’i, dan Hambali (jumhur
ulama) wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu
dengan cara tertentu.1
Al-wadi’ah adalah titipan dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu atau
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendaki. Selain itu, wadi’ah dapat juga diartikan akaq seseorang kepada

1
Sarip Muslim, Akuntansi Keuangan Syariah:Teori dan Praktik, (Bandung:CV. Pustaka
Setia,2015),319
pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut
kebiasaan). Dari pengertian ini, maka si penerima titipan tidak wajib
menggantinya, tetapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalainya, maka
ia wajib menggantinya. Didalam wadiah sendiri terdapat unsur amanah,
kepercayaan (trusty) didalamnya.2
Wadi’ah menurut penjelasan pasal 3 peraturan Bank Indonesia nomor
9/19/PBI/2017, adalah transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik dana
kepada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang
menyimpan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.
Para ulama fiqh sepakat bahwa al-wadi’ah disyaratkan dan hukum
menerimaanya adalah sunnah. Dasar hukum terbentuknya wadi’ah ini telah
dijelakan di dalam al-qura’an dan Hadit . Dalam surat An-nisa ayat 58 allah
SWT. berfirman:

ۚ ‫اِس أ َ ْن تَْحْ َُك ُْموا َبِ ْالَعَ ْْد ِل‬ ِ ‫َّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت إِلَ ٰى أ َ ْه ِل َها َوإَِذَا ََحَك َْْمُت ُ ْم َبَْيَْنَ الَّن‬ َّ ‫إِ َّن‬

‫ْيرا‬
ً ‫ص‬ ِ َ‫س ِْمْيَعًا َب‬ ُ ‫ا َِّن هللا نِ َِع َّْما يَ َِع‬
َّ ‫ظ َُك ْم َبِ ِه ۗ إِ َّن‬
َ َ‫َّللاَ َكان‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (Q.S Al-Nisa:58)
Ayat ini secara tegas memerintahkan untuk menunaikan setiap amanat
termasuk didalamnya menjaga titipan orang lain (wadi’ah). Dasar hukum lainya
adalah surat Al-Baqarah ayat 283:
…ۗ ُ‫َّللاَ َرَبَّه‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫ضا فَ ْلْي َُؤ ِد الَّذِي اؤْ ت ُ ِْمَنَ أ َ َما َنُتَهُ َو ْلْيَُت‬ ُ ‫…فَإ ِ ْن أ َ ِمَنَ َبَ َْع‬
ً ‫ض َُك ْم َبَ َْع‬
Artinya : “...Maka jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)

2
Nurul Huda dan Muhammad Haikal, Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta:Kencana,2010),87-88.
dan hendaklah ia bertakwa kepada allah tuhannya...” (Q.S Al-Baqarah
:283)
Kata ‫ فَ ْلْي َُؤ ِد‬yang berasal dari wada’a berarti titipan atau pendepositoan. Kata
inilah yang menjadikan dasar hukum adannya tabungan wadiah yang berlaku di
dunia ekonomi islam. Selain itu, landasan hukum wadi’ah yang bersumber dari
hadits sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah yaitu:

)‫أ َ ِد اْل َمانَةَ ِإلَى َم َْن ائُْت َ َْمَّنَكَ َوالَ تَ ُخ َْن َم َْن خَانَكَ (رواه أَبو داود والُترمذى والْحاكم‬
Artinya :“Serahkanlah amanah orang yang mempercayai engkau, dan
jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianati engkau.” (H.R. Abu
Daud, at-Tirmizi dan al-Hakim).
Adapun landasan wadi’ah berdasarkan ijma’ adalah diperbolehkan, baik
menitipkan barang taupun menerima titipan.hal ini sesuai dengan tuntutan dalam
kehidupan manusia yang tidak bisa menjaga seluruh harta miliknya. Pada saat
tertentu ia membutuhkan rang lain untuk menitipkan hartanya.3
Rukun akad titipan (wadi’ah) baik yad al-amanah ataupun yad al-dhamanah
yang harus dipenuhi dalam transaksi meliputi:
1. Pelaku akad, yaitu penitip (mudi’/muwaddi’) dan pihak yang menyimpan
(muda’/mustawda’)
2. Objek akad, yaitu barang yang dititipkan barang yang disimpan atau
dititipkan (wadi’ah)
3. Ijab kabul (sighat) 4
Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah disebutkan
di atas, yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang
menitipkandan syarat orang yang dititipi.
1. Syarat-Syarat Untuk Benda Yang Dititipkan
Syarat-syarat benda yang dititipkan sebagai berikut:
a) Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk
disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti

3
Sarip Muslim, Akuntansi Keuangan Syariah:Teori dan Praktik, 324.
4
Mia lasmi Wardiyah, Pengantar perbankan Syariah, (Bandung:CV. Pustaka
Setia,2019),179.
burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah
tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat
ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah.
b) Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan
harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai
mal, walaupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk
berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak
memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka
wadi’ah tidak sah.
2. Syarat- Syarat Sighat
Sighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat adalah ijab harus
dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas
(sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah
menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus disertai dengan niat.
Contoh lafal yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada Anda”.
Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah). Seseorang mengatakan,
“Berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab: “Saya berikan
mobil ini kepada Anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan
wadi’ah (titipan). Dalam konteks ini arti yang paling dekat adalah
“titipan”. Contoh ijab dengan perbuatan: Seseorang menaruh sepeda
motor di hadapan seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apa pun.
Perbuatan tersebut menunjukan penitipan (wadi’ah). Demikian pula
qabul kadangkadang dengan lafal yang tegas (sharih), seperti: “Saya
terima” dan adakalanya dengan dilalah (penunjukan), misalnya sikap
diam ketika barang ditaruh di hadapannya.
3. Syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)
a) Berakal, dengan demikian, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan
anak yang belum berakal.
b) Baligh, syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian
menurut Syafi’iyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak
yang belum baligh masih di bawah umur. Tetapi menurut Hanafiah
baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya sah
apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari
walinya atau washiy-nya.
4. Syarat orang yang dititipi (Al-Muda’)
Syarat orang yang dititipi (muda’) adalah sebagai berikut :
a) Berakal, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di
bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah
kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak
mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
b) Baligh, syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi,
Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang
dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz. Malikiyyah
mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat
mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.5
B. Pembagian wadi’ah
Secara umum wadi’ah dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Wadi’ah yad al-amanah
Merupakan akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima
titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang
dittitpkan dan bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang
titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaina penerima
titipan.6
Wadiah yad al-amanah memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan
digunakan oleh penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang
bertugas dan berkewajiban menjaga barang yang di titipkan
tanpa boleh dimanfaatkannya.

5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta:Amzah,2010), 458-459.
6
Buchari Alma, Manajemen Bisnis Syariah, (Bandung: C.V Alfabeta,2009),9-10.
c. Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk
membebankan biaya kepada penitipnya.
d. Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh
dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang
memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe
deposit box.

Skema wadi’ah yad al-amanah

Keterangan : Dengan konsep wadi’ah yad Amanah, pihak yang


menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang
atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya
sesuai kelaziman.
2. Wadi’ah yad al-dhamanah
Adalah titipan terhadap barang yang dapat dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh penerima titipan. Sehingga pihak penerima titipan
bertanggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang sebagai akibat
dari penggunaan atas suatu barang, seperti risiko kerusakan dan
sebagainya. Tentu saja penerima titipan wajib menegmbalikan barang
yang dititipkan pada saat diminta oleh pihak yang menitipkan,7
Wadiah yad al-dhamanah memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat
dimanfaatkan oleh orang yang menerima titipan.

7
Trisadini P. Usanti dan Abdul Shomad, Transaksi Bank Syariah,(Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2013), 37.
b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan
tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun
demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk
memberikan hasil pemanfaatan kepada penitip.
c. Produk perbankan yang sesuai dengan ini adalah giro dan
tabungan.
d. Jika bank konvensional memberikan jasa giro sebagai
imbalan yang dihitung berdasarkan presentase yang telah
ditetapkan, pada bank syariah, pemberian bonus (semacam
jasa giro) tidak bleh disebutkan dalam kontrak atau janji
dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai
tanda terima kasih dari pihak bank.
e. Jumlah pemberian bonus merupakan kewenangan
manajemen syariah karena pada penekanannya dalam akad
ini adalah titipan.
f. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah
karena mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil
setiap saat. Perbedaanya tabungan tidak dapat ditarik dengan
cek atau alat lain yang dipersamakan.8
Skema wadi’ah yad ad-dhamanah

8
Sarip Muslim, Akuntansi Keuangan Syariah:Teori dan Praktik, 326.
Keterangan : Dengan konsep wadi’ah yad ad-dhamanah, pihak
yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan
uang atau barang yang dititipkan. Tentunya pihak bank dalam hal
ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat
memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Ada beberapa ketentuan wadi’ah yad ad-dhamanah, antara lain
sebagai berikut:
1. Penyimpan memiliki hak untuk menginvestasikan aset yang
dititpkan.
2. Penitip memiliki hak untuk mengetahui cara asetnya di
investasikan.
3. Penyimpan menjamin hanya nilai pokok jika modal
berkurang karena merugi atau terdepresiasi.
4. Setiap keuntungan yang diperoleh penyimpan dapat
dibagikan sebagai hibah atau hadiah (bonus). Hal itu berarti
bahwa penyimpan (bank) tidak memiliki kewajiban
mengikat untuk memabgikan keuntungan yang diperolehnya
5. Penitip tidak meiliki hak suara.
C. Contoh kasus wadi’ah
1. Contoh rekening giro wadi’ah
Tn. Ridho memiliki rekening giro wadiah di Bank Muamalat
sungailiat dengan sald rata-rata pada bulan Mei 2008 adlaah
Rp1.000.000, bonus yang diberikan Bank Muamalat Bandung
kepada nasabah adalah 30% dengan sald rata-rata minimal Rp
500.000, diasumsikan total dana giro adiah di Bank Muamalat
Bandung adalah Rp 500.000.000 pendapatan Bank Muamalat
Bandung dari penggunaan giro wadi’ah adalah Rp 20.000.000.9

Makam bonus yang akan didapat:

9
Herry sutanto dan Khaerul Umam, Manajemen Pemasaran Bank Syariah,(Bandung:CV.
Pustaka Setia,2013),180.
Bonus yang diterima Tn. Ridho
= Rp 1.000.000 x RP 20.000.000 x 30%
Rp 500.000.000 (sebelum dipotong pajak)

=Rp 12.000

\
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut bahasa, al wadi’ah adalah sesuatu yang ditempatkan bukan
pada pemiliknya agar dijaga (Ma wudi’a inda ghaira malikihi la
yahfadzah). Secara terminlogi, ada dua definisi yang dikemukakan
pakar fiqh. Pertama, menurut ulama Hanafi, wadi’ah adalah mengikut
sertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan
yang jelas,, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut
ulama Maliki, Syafi’i, dan Hambali (jumhur ulama) wadi’ah adalah
mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu. Sehingga al-wadi’ah adalah titipan dari suatu pihak ke pihak
lain, baik individu atau badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Para ulama fiqh
sepakat bahwa al-wadi’ah disyaratkan dan hukum menerimaanya adalah
sunnah.
Rukun akad titipan (wadi’ah) baik yad al-amanah ataupun yad al-
dhamanah yang harus dipenuhi dalam transaksi meliputi: pelaku akad
terdiri dari penitip (mudi’/muwaddi’) dan pihak yang menyimpan
(muda’/mustawda’), Objek akad (wadi’ah) dan Ijab kabul (sighat).
Secara umum wadi’ah dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad al-dhamanah. Wadi’ah yad al-
amanah merupakan akad penitipan barang atau uang dimana pihak
penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang
yang dittitpkan dan bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan
barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaina
penerima titipan. Sedangkan wadi’ah yad al-dhamanah adalah titipan
terhadap barang yang dapat dipergunakan atau dimanfaatkan oleh
penerima titipan.
DAFTAR PUSTAKA

Muslim, Sarip. Akuntansi Keuangan Syariah:Teori dan Praktik. Bandung:CV.


Pustaka Setia,2015.

Nurul Huda dan Muhammad Haikal. Lembaga Keuangan Syariah.


Jakarta:Kencana,2010.

Herry sutanto dan Khaerul Umam, Manajemen Pemasaran Bank Syariah.


Bandung:CV. Pustaka Setia,2013.

Trisadini P. Usanti dan Abdul Shomad. Transaksi Bank Syariah. Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2013.

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqih Muamalah. Jakarta:Amzah,2010.

Alma, Buchari. Manajemen Bisnis Syariah. Bandung: C.V Alfabeta,2009.

Wardiyah, Mia lasmi. Pengantar perbankan Syariah. Bandung:CV. Pustaka


Setia,2019.

Anda mungkin juga menyukai