Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

WADI’AH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu :

Dr. Qomarul Huda, M.Ag

Disusun oleh :

1. Putri Rahmawati (1860403223111)


2. Dwiki Mukhammad Hikam (1860403223123)
3. Tiara Putri Anjani (1860403223128)

ASY2A
PRODI AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
A. PENDAHULUAN
Wadi’ah menjadi salah satu kegiatan yang hampir pasti pernah dilakukan
oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-harinya untuk memenuhi hajat
hidup dan kebutuhannya. Dalam kehidupan ekonomi dan bisnis, seseorang juga
rupanya sangat sulit untuk lepas melakukan titip-menitip barang atau sesuatu kepada
orang lain. Dalam praktik ekonomi syariah saat ini, akad wadi’ah setidaknya
digunakan dalam produk-produk seperti penitipan uang dalam bentuk giro, tabungan,
SWBI (Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia), pasar uang antarbank syariah, dan lain-
lain. Wadi’ah menjadi akad alternatif dalam produk-produk perbankan syariah
sampai saat ini.
Akad wadi’ah adalaha amanah, kepercayaan yang diserahkan seseorang
kepada orang yang dipercaya mampu menjaganya. Dalam kehidupan ekonomi dan
bisnis, akad wadi’ah seringkali terjadi dan dilakukan oleh siapapun yang tidak
mampu menjaga harta kekayaannya dengan dirinya sendiri. Begitu juga mereka yang
sering melakukan perjalanan ke suatu tempat yang jauh dan meninggalkan tempat
tinggalnya sehingga dia pun membutuhkan orang lain untuk menjaga harta atau
kekayaannya tersebut.1
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Wadi’ah
Secara bahasa, wadi'ah bisa diartikan dengan meninggalkan atau titipan.
Sedangkan secara istilah, wadi'ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak
(pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga.
Menurut Hanafiyyah, wadi'ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang
lain atas suatu barang yang dimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal
atas dengan isyarat (dilalah). Misalnya, "Aku titipkan barang ini kepada engkau",
kemudian pihak lain menerima dengan jelas. Atau seseorang datang dengan
membawa baju, kemudian baju itu diletakkan diatas tangan orang lain, dan ia
berkata, "Aku titipkan baju ini kepada engkau". Si penerima hanya diam dan
menerima baju tersebut. Menurut Syafiyah dan Malikiyah, wadi'ah adalah adalah
pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang secara
khusus dimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu.

1
M. Pudjhardo, Fiqih Muamalah Ekonomi Syariah (Malang: UB Press, 2019), Hal.130

1
Menurut Zuhaili (1989), wadi'ah adalah pemberian mandat untuk menjaga
sebuah barang yang dimiliki atau barang yang secara khusus dimiliki seseorang,
dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, diperbolehkan menitipkan kulit bangkai yang
telah disucikan, atau juga seekor anjing yang telah dilatih untuk berburu atau
berjaga-jaga. Tidak boleh menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin,
karena ini termasuk dalam kategori harta yang sia-sia (tidak ada ke khususan untuk
dimiliki), yang bertentangan dengan prinsip wadi'ah.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa wadi'ah adalah transaksi
pemberian mandat dari seseorang yang menitipkan suatu benda kepada orang lain
untuk dijaga sebagaimana mestinya. Dalam bisnis modern wadi'ah berkaitan
dengan penitipan modal pada perbankan baik berupa tabungan dan giro. 2
2. Dasar Hukum Wadi’ah
ِ َّ ‫ضا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِى اؤْ ت ُ ِمنَ ا َ َمانَت َهٗ َو ْليَت‬
‫ق‬ ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ ُ ‫ض ٌة فَا ِْن ا َ ِمنَ بَ ْع‬ َ ‫سف ٍَر َّولَ ْم ت َِجد ُْوا كَاتِبًا فَ ِر ٰهنٌ َّم ْقب ُْو‬ َ ‫َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم َع ٰلى‬
ُ ٰ ‫ش َهاد َ ۗة َ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْم َها فَ ِا َّن ٗ ٓٗه ٰاثِ ٌم قَ ْلبُهٗ ۗ َو‬
‫ّللا بِ َما ت َ ْع َم ُل ْونَ َع ِل ْي ٌم‬ َّ ‫ّللا َربَّهٗ ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُمواال‬
َٰ
“Jika kamu dalam perjalaan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembuyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembuyikan,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan ( Al-Baqarah: 283 ).
ُ ‫ّللا ِن ِع َّما َي ِع‬
ۗ ‫ظ ُك ْم ِب ٖه‬ ِ َّ‫ت ا ٰ ِٓٗلى ا َ ْه ِل َه ۙا َواِذَا َحك َْمت ُ ْم َبيْنَ الن‬
َ ٰ ‫اس ا َ ْن تَحْ ُك ُم ْوا ِب ْال َعدْ ِل ۗ ا َِّن‬ َ ْ ‫ّللا َيأ ْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن تُ َؤد ُّوا‬
ِ ‫اَل ٰم ٰن‬ َ ٰ ‫ا َِّن‬
ِ ‫س ِم ْيعً ۢا َب‬
‫صي ًْر ا‬ َ ٰ ‫ا َِّن‬
َ َ‫ّللا َكان‬
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi
maha melihat (An-Nisa: 58).

Karena titipan termasuk amanat, maka hukum titipan itu berbeda-beda atau
tergantung kepada situasi, yakni:

2
Mahmudatus Sa’diyah, Fiqih Muamalah II Teori dan Praktik (Jepara: Unisnu Press, 2019), Hal. 13-14

2
a. Wajib atas orang islam untuk menerima titipan itu, apabila ada seseorang
muslim yang sangant terpaksa demi memelihara hartanya, catatan tidak ada
orang lain yang mampu memelihara hartanya
itu selain dia.
b. Sunnah apa atas orang Islam untuk memerima titipan bila dia diminta
menjaga atau memelihara barang itu, karena hal demikian termasuk sikap
tolong menolong dalam kebaikan yang
diperintahkan Allah.
c. Makruh menerima titipan, jika jika pihak yang dititipi itu adalah orang yang
tidak mampu memelihara barang titipan tersebut.
Imam Maliki berpendapat bahwa menerima barang titipan itu tidak wajib dalam
semua keadaan. Sebagian ulama ada yang berpendapat tentang wajibnya menerima
barang titipan, jika pemilik barang itu mendapatkan orang yang bisa dititipi, ulama
tersebut juga berpendapat orang yang dititipi itu juga tidak menerima upah atas
pemeliharaannya. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan barang,
seperti tempat tinggal atau biaya, menjadi tanggungan pemiliknya.3
3. Rukun Dan Syarat Wadi’ah
a. Rukun wadi’ah
Rukun wadi‘ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang
menyebabkan terjadinya Akad Wadi‘ah yaitu :
a) Muwaddi ( orang yang menitipkan ).
b) Wadii’ ( orang yang dititipi barang ).
c) Wadi’ah ( barang yang dititipkan ).
d) Shigot ( Ijab dan qobul ).
b. Syarat al-wadi’ah.
Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan yang harus
dipenuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada
Muwaddi’, wadii’ dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang
sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus
berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata. 4
4. Macam-Macam Wadi’ah

3
Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah (Banjarmasin: IAIN Antasari Press,2014), hal. 122-123
4
Ibid, hal. 123-124

3
Secara umum terdapat dua jenis wadi'ah diantaranya sebagai berikut:
a) Wadi'ah Yad al-Amanah (Trustee Depository)
1) Wadi'ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut. Harta atau barang
yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima
titipan.
2) Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh
memanfaatkannya.
3) Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan
biaya kepada yang menitipkan.
4) Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerimaan titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini
adalah jasa penitipan atau safe deposit box.
Dengan konsep al-wadi'ah yad al-amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima
titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.

b) Wadi'ah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)


Wadi'ah jenis ini memiliki karakteristik berikut ini.
1) Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang
menerima titipan.
2) Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi
penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
3) Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan
4) Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung
berdasarkan persentase yang telah ditetapkan, Adapun pada bank syariah,
pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak
ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak
sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
5) Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan mana- jemen
bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah
titipan.

4
6) Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi'ah karena pada
prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil
setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat
lain yang dipersamakan.
Dengan konsep alwadi'ah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak
bank dalam hal ini mendapatkan hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan
insentif kepada penitip dalam bentuk bonus. 5
5. Aplikasi Wadi’ah Dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Wadi'ah sebagai salah satu instrumen pengganti dari instrumen tabungan
dengan prinsip bunga telah diimplementasikan di beberapa lembaga keuangan
syariah. Wadi'ah ini digunakan sebagai produk lembaga keuangan syariah dalam
rangka mengumpulkan atau merekrut modal dari masyarakat yang untuk
selanjutnya diinvestasikan lagi oleh lembaga keuangan syariah.
Di antara lembaga keuangan syariah yang mengimplementasikan wadi'ah
tersebut adalah perbankan Syariah, Baitul Mal wa Tamwil dan USPS (Unit Simpan
Pinjam Syariah).
a. Implementasi Wadi'ah di Perbankan Syariah

Wadi'ah dalam konteks perbankan berarti akad penitipan uang dari pihak
yang mempunyai uang (nasabah) kepada bank sebagai pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
uang itu. Menurut PBI, wadi’ah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik
dana atau barang pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang
menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.

Wadiah yang diimplementasikan di perbankan syariah adalah wadi’ah yad


adh-dhamanah, di mana pihak bank dapat mengambil manfaat dan memberdayakan
titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dari dana titipan akan menjadi
milik bank. Apabila bank mengalami kerugian dalam investasinya, maka kerugian
itu pun ditanggung sepenuhnya oleh bank. Sebagai imbalan bagi si penitip, nasabah
akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Namun demikian, pihak

5
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,cet.1,(Jakarta: Gema Insani,2001), Hal.148-
150

5
bank (wadi') yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk
memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan
dalam akad dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal persentase secara
advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No: 01/DSN-
MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan wadi'ah
ialah:
1) Bersifat titipan,
2) Titipan bisa diambil kapan saja (on call),
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam ('athiya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan
berdasarkan wadi'ah adalah:
1) Bersifat simpanan,
2) Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
('athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank (lihat Fatwa DSN No.
02/DSN-MUI/IV/2000.)
b. Implementasi Wadi'ah di Baitul Mal wa Tamwil
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang
isinya berintikan bayt al-mal wa tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-
usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi
pengusaha kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan kegiatan ekonominya. Dari pengertian ini maka tampak bahwa dasar
pemikiran pendirian BMT adalah untuk menumbuhkan kegiatan menabung,
terutama pada anggota BMT dan pengusaha yang menjadi nasabah BMT itu
sendiri.
Akad yang digunakan BMT untuk merealisasi tujuan tersebut adalah akad
wadiah. Wadiah di BMT diartikan dengan akad penitipan uang dari pihak yang
mempunyai uang (anggota atau nasabah) kepada BMT sebagai pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
uang itu. Wadi'ah yang digunakan di BMT pada umumnya adalah wadi'ah yad al-
dhamânah, yaitu akad penitipan uang di mana BMT dengan atau tanpa izin penitip

6
uang dapat memanfaatkan uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang
diperoleh dalam penggunaan uang titipan jadi hak BMT. Namun demikian, pihak
BMT yang telah menggunakan uang titipan tersebut, tidak dilarang untuk
memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan
dalam akad dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal persentase secara
advance.
Dalam mengimplementasikan wadi'ah di BMT dalam bentuk tabungan,
mesti memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) BMT bertindak sebagai penerima uang titipan dan nasabah bertindak sebagai
pemilik uang titipan.
2) Uang titipan disetor penuh kepada BMT dan dinyatakan dalam jumlah
nominal.
3) Uang titipan dapat diambil setiap saat.
4) Tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada
nasabah.
5) BMT menjamin pengembalian uang titipan nasabah.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa anggota BMT atau pengusah yang
menitipkan uang di BMT bertindak sebagai muwaddi' atau rab al-mál dan BMT itu
sendiri bertindak sebagai wadi'.
c. Implementasi Wadi’ah di Unit Simpan Pinjam Syariah
Sebagaimana yang berlaku di semua lembaga keuangan bahwa jenis usaha
lembaga keuangan itu terdiri dari dua jenis, yaitu usaha penghimpunan dana dan
usaha penyaluran dana. Demikian pula yang terjadi di unit simpan pinjam syariah
menerapkan kedua jenis usaha tersebut. Usaha penghimpunan dana dilakukan
dalam rangka mengumpulkan dan menambah modal, sedangkan usaha penyaluran
dana dilakukan dalam rangka mengembangkan modal yang terkumpul.
Salah satu produk yang ditawarkan oleh unit simpan pinjam syariah dalam
jenis usaha penghimpunan dana adalah simpanan. Simpanan yang dimaksud di sini
adalah simpanan dana yang disetor oleh anggota kepada unit simpan pinjam
syariah. Bentuk simpanan itu sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu simpanan pokok,
simpanan wajib, dan jenis simpanan lainnya. Dari jenis simpanan ini dapat
dipahami bahwa unit simpan pinjam syariah mirip seperti jenis simpanan yang

7
biasa digunakan di operasi simpan pinjam. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
pembentukan unit simpan pinjam syariah dimaksudkan sebagai alternatif terhadap
koperasi simpan pinjam yang prinsip operasionalnya menggunakan prinsip bunga.
Simpanan pokok adalah simpanan yang dibayar satu kali yaitu pada waktu
mendaftar sebagai anggota unit simpan pinjam syariah. Simpanan wajib adalah
simpanan yang dibayar oleh semua anggota secara teratur, biasanya dalam jangka
waktu perbulan. Kedua simpanan tersebut-pokok dan wajib-dalam tataran
implementasinya menggunakan akad wadi'ah. Anggota unit simpan pinjam syariah
bertindak sebagai muwaddi' dan institusi unit simpan pinjam syariah bertindak
sebagai wadi'. 6
C. PENUTUP
Wadi'ah adalah transaksi pemberian mandat dari seseorang yang menitipkan
suatu benda kepada orang lain untuk dijaga sebagaimana mestinya. Dalam bisnis
modern wadi'ah berkaitan dengan penitipan modal pada perbankan baik berupa
tabungan dan giro.
Adapun dasar hukum wadi'ah terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 283 dan
QS An-Nisa ayat 58. Hukum wadi'ah dapat menjadi wajib, sunnah dan makruh
tergantung dengan proses yang digunakan. Rukun wadi'ah yaitu dengan adanya
muwaddi', wadi', wadi'ah dan shigot sedangkan syarat wadi'ah adalah harus balig,
berakal dan dewasa, harta yang dititipkan berada dalam kekuasaan dan tangannya
secara nyata.
Dalam perbankan syari’ah akad wadi’ah masih digolongkan menjadi dua
bagian, yakni wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah. Dalam
penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan prinsip wadiah
yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Aplikasi wadi'ah dalam lembaga keuangan
syariah yang mengimplementasikan antara lain adalah perbankan Syariah, Baitul Mal
wa Tamwil dan USPS (Unit Simpan Pinjam Syariah).

6
DR. Yadi Janwari, Fiqih Lembaga Keuangan Syariah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2015), Hal. 7-11

8
D. DAFTAR PUSTAKA
M. Pudjhardo. 2019. Fiqih Muamalah Ekonomi Syariah. Malang: UB Press.
Sa’diyah, Mahmudatus. 2019. Fiqih Muamalah II Teori dan Praktik. Jepara:
Unisnu Press.
Syarqawie, Fithriana. 2014. Fikih Muamalah. Banjarmasin: IAIN Antasari Press.
Antonio, Muhammad Syafi'i. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.
Janwari, DR. Yadi. 2015. Fiqih Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai