Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

WADIAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Fiqh Muamalah Kontemporer

Dosen Pengampu : Ust. M. Harsono

Disusun Oleh :

1. Alfina Damayanti (201914329311)


2. Dhian Karmila Putri (201914329316)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI


AGAMA ISLAM ATTANWIR BOJONEGORO

OKTOBER 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak khususnya kepada


Dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah Kontemporer Ustad M. Harsono.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat banyak kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, Kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan apabila banyak kesalahan
pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Bojonegoro, 01 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadiah
B. Landasan Hukum Wadiah
C. Macam-macam Wadiah
D. Rukun dan Syarat Wadiah
E. Hukum Menerima Benda Titipan
F. Berakhirnya Akad Wadiah
G. Aplikasi Wadiah dalam Perbankan Syariah

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (akad,
transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini langsung
melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya
perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi
penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan
hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam
diri masing-masing, sebelum orang terjun dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul karimah dan
pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga
menyatu dalam diri prilaku (pelaksana) muamalah itu.
Dan sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantaranya
adalah akad wadi’ah. Pengertian wadi’ah secara singkat adalah penitipan,
yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda
untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan).
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini yakni sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2. Apa saja landasan hukum wadi’ah?
3. Apa saja macam-macam wadi’ah?
4. Apa saja rukun dan syarat wadi’ah?
5. Apa saja hukum menerima benda titipan?
6. Apa saja yang membuat berakhirnya akad wadi’ah?
7. Apa saja aplikasi wadi’ah dalam perbankan syariah?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini yakni sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian wadi’ah
2. Untuk mengetahui dan memahami landasan hukum wadi’ah
3. Untuk mengetahui dan memahami macam-macam wadi’ah
4. Untuk mengetahui dan memahami rukun dan syarat wadi’ah
5. Untuk mengetahui dan memahami hukum menerima benda titipan
6. Untuk mengetahui dan memahami berakhirnya akad wadi’ah
7. Untuk mengetahui dan memahami aplikasi wadi’ah dalam perbankan
syariah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadiah
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal
dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Dalam bahasa Indonesia wadi’ah berarti “titipan”. Akad wadi’ah
merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesama
manusia.1
Secara bahasa al-wad’ artinya meninggalkan. Dan al-wadi’ah
secara bahasa artinya adalah sesuatu yang diletakkan di tempat orang lain
untuk dijaga.
Adapun dalam definisi syara’, kata wadi’ah disebutkan untuk
penitipan dan untuk benda yang dititipkan. Dan yang lebih rajih, wadi’ah
adalah akad, hanya saja kata yang lebih benar untuk akad penitipan ini
adalah al-iidaa’ (penitipan), bukan wadi’ah (barang titipan).
Definisi wadi’ah menurut sejumlah ulama pensyarah dalam
Mazhab Hanafi adalah pemberian kewenangan dari seseorang kepada
orang lain untuk menjaga hartanya, baik disampaikan secara terang-
terangan dengan ucapan maupun dengan secara tidak langsung (dilaalah).
Para ulama Mazhab Syafi’i dan Maliki mendefinisikan akad
wadi’ah sebagai pewakilan untuk menjaga sesuatu yang dimiliki penitip
atau benda terhormat yang dimiliki khusus oleh penitip, dengan cara
tertentu.
Orang yang titip disebut muwaddi’, dan orang yang dititipi disebut
muwadda’ atau wadii’.2
B. Landasan Hukum Wadiah

1
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 85.
2
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 556-557.
1. Al-Qur’an
Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak lain, baik individu
maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
si penitip menghendaki. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-
Baqarah (2) ayat 283.

َ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذى اْؤ تُ ِمن‬ ُ ‫ضةٌ ۖ فَِٕا ْن َٔا ِمنَ بَ ْع‬ َ ْ‫َان َّم ْقبُو‬ ٌ ‫َوِٕا ْن ُك ْنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره‬
‫ق هّٰللا َ َربَّهُ ۗ َوالَ تَ ْكتُ ُموا ال َّشها َ َدةَ ۚ َو َم ْن يَّ ْكتُ ْمهَا فَاِنَّ ٓهُ ٰاثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ َعلِ ْي ٌم‬
ِ َّ‫َٔا َمانَتَهُ َو ْليَت‬

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak


secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
Maksud dari ayat tersebut dijelaskan bahwa amanah adalah
kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi,
bahwa sesuatu yang dititipkan kepadanya itu akan ditanya, dipelihara
sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkannya meminta
kembali, maka ia akan menerimanya utuh sebagaimana adanya tanpa
keberatan dari yang dititipi.
Juga al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 58, yang berbunyi:

‫اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل ۗ اِ َّن هّٰللا َ نِ ِع َّما‬ ٓ ‫ا َّن هّٰللا ئْام ُر ُكم اَ ْن تَُؤ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِهَا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
ِ ْ ُ َ َ ِ
‫هّٰللا‬
ِ َ‫يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِ َّن َ َكانَ َس ِم ْيعًا ب‬
‫ص ْيرًا‬

Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkan dengan adil.
Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa wadi’ah merupakan
amanah yang ada ditangan orang yang dititipi yang harus dijaga dan
dipelihara, dan apabila diminta oleh pemiliknya maka ia wajib
mengembalikannya.
2. Hadist
Disamping dalam Al-Qur’an, dasar hukum wadi’ah juga terdapat
dalam hadist Nabi

َ َ‫ َٔا ِّد أَاْل َمانَةَ اِلَى َم ِن اءْ تَ َمن‬:‫صلَّى هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ‫ك َوال‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
َ ِ ‫ض َي ُ َع ْنهُ قَا َل َرسُوْ ُل‬ ِ ‫ع َْن َٔابِ ْى هُ َر ْي َرةَ َر‬
)‫ (رواه الترمذى ؤابو داود وحسنة وصححه الحاكم‬.َ‫تَ ُخ ْن َم ْن خَ انَك‬

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW telah bersabda,


“Bayarkanlah pertaruh itu kepada orang yang mempercayai engkau
dan jangan sekali-kali engkau berkhianat meskipun terhadap orang
yang telah berkhianat”. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud dan
menshahihkan Al-Hakim).3
Hadist tersebut menjelaskan bahwa amanah harus diberikan
kepada orang yang mempercayakannya. Dengan demikian, amanah
tersebut adalah titipan atau wadi’ah yang harus dikembalikan kepada
pemiliknya. Di samping Al-Qur’an dan sunnah, umat Islam dari
dahulu sampai sekarang telah biasa melakukan penitipan barang
kepada orang lain, tanpa adanya pengingkaran dari umat Islam yang
lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa umat Islam sepakat
diperbolehkannya akad wadi’ah ini.
Kewajiban orang yang dititipi untuk menjaganya demi
pemiliknya. Karena, dari pihak pemilik, akad wadi’ah adalah
permintaan untuk menjaga dan penyerahan sesuatu sebagai amanah.
Adapun dari pihak yang dititipi adalah komitmen untuk menjaga,
sehingga wajib menjaganya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
3
Sarip Muslim, Akuntansi Keuangan Syariah Teori & Praktik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015),
324.
‫ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َعلَى ُشرُوْ ِط ِه ْم‬

Artinya: “Orang-orang muslim harus menunaikan syarat-syarat


yang mereka sepakati”.4
3. Ijma’
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan
ijma’(konsensus) terhadap legitimasi wadi’ah karena kebutuhan
manusia terhadap hal ini jelas. Pada dasarnya penerima simpanan
adalah “yad al amanah” (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung
jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan
selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang
bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor
diluar batas kemampuan).
Tetapi dalam perekonomian modern, si penerima simpanan
tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi
mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya
ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian
mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan
mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan
lagi yad al amanah tetapi yad adh dhamamah (tangan penanggung)
yang bertanggung jawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang
terjadi pada barang tersebut.
C. Macam-macam Wadiah
Macam-macam wadi’ah ada dua macam, meliputi :
1. Wadiah yad Amanah
Wadi’ah yad Amanah adalah suatu akad penitipan dimana
pihak penerima titipan tidak diperkenankan atau tidak diperbolehkan
menggunakan barang titipan tersebut dan tidak bertanggung jawab atas
kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan oleh
kelalaian penerima titipan.5

4
Wahbah az-Zuhaili, op.cit., 558.
Dengan ini, pihak yang menyimpan barang titipan tidak boleh
menggunakan atau memanfaatkan barang titipan tersebut, melainkan
hanya menjaga barang titipan tersebut. Selain itu, barang yang
dititipkan tersebut tidak boleh dicampuradukkan dengan barang lain,
melainkan harus dipisahkan dengan barang lain. Karena menggunakan
prinsip yad amanah, maka akad titipan seperti ini disebut wadi’ah yad
amanah.6
Wadi’ah yad amanah memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan
digunakan oleh penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang
bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan
tanpa boleh memanfaatkannya.
c. Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk
membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d. Barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerima titipan.7
2. Wadiah yad Dhamanah
Wadi’ah yad dhamanah adalah suatu akad penitipan barang
dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang
dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dan harus bertanggung
jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang titipan tersebut.
Dengan demikian, wadi’ah yad dhamanah ialah suatu akad penitipan
barang apabila pihak penerima titipan meskipun tanpa izin dari pemilik
barang titipan boleh memanfaatkan barang titipan tersebut dan apabila
barang tersebut rusak atau hilang setelah dipakai atau dimanfaatkan
oleh pihak penerima barang titipan tersebut, maka pihak penerima

5
Djoko Muljono, Buku Pintar Akuntansi Perbankan & Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta:
Andi, 2015), 57.
6
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 43.
7
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012),
283.
titipan tersebut harus mengganti serta membayar biaya ganti rugi dari
barang yang dimanfaatkan tersebut.8
Dalam hal ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip
dengan aset pihak yang menyimpan barang titipan tersebut dan
kemudian digunakan untuk tujuan produktif mencari keuntungan.
Pihak yang menerima barang titipan tersebut berhak atas keuntungan
yang diperoleh dan pemanfaatan barang titipan tersebut dan
bertanggung jawab penuh atas kerugian yang mungkin timbul akibat
penggunaan barang titipan tersebut.9
Wadi’ah yad dhamanah memiliki karakteristik, sebagai berikut:
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan
oleh orang yang menerima titipan.
b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut
tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada
keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat
kepada orang yang menitipkan barang tersebut.10
D. Rukun dan Syarat Wadiah
1. Rukun Akad Wadiah
Rukun wadi’ah antara lain, yaitu :
a. Muwaddi’ / Orang yang menitipkan
b. Mustauda’ / Orang yang menerima titipan
c. Obyek wadi’ah / Barang yang dititipkan
d. Ijab dan qabul
Rukun akad wadi’ah menurut para ulama Mazhab Hanafi
adalah ijab dan qabul, yaitu penitip berkata kepada orang lain,
sedangkan menurut jumhur ulama, rukun akad wadi’ah ada empat
yaitu dua orang yang melakukan akad (orang yang titip dan orang yang
dititipi), sesuatu yang dititipkan dan sighah (ijab dan qabul). Qabul
dari orang yang dititipi bisa berupa lafal misalnya, saya menerimanya.
8
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Halim, 2007), 36.
9
Ascarya, op. cit., 44.
10
Mardani, op. cit., 284.
Bisa juga suatu tindakan yang menunjukkan hal itu, seperti ada orang
meletakkan harta di tempat orang lain, lalu orang itu diam saja, maka
diamnya orang kedua tersebut menempati posisi qabul, sebagaimana
dalam jual beli muathah.11
2. Syarat-syarat Akad Wadiah
Dalam akad wadi’ah memiliki dua syarat, yaitu:
a. Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
b. Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan
akad-akad yang berkaitan dengan harta. Jika seseorang yang balig
dan berakal menerima titipan dari anak kecil atau orang gila maka
dia harus menjamin barang tersebut meskipun bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya.12
Menurut para ulama Hanafi, dua orang yang melakukan akad
wadi’ah disyaratkan harus berakal, sehingga tidak sah penitipan anak
kecil yang tidak berakal dan orang gila. Sebagaimana tidak sah juga
menerima titipan dari orang gila dan anak kecil yang tidak berakal.
Tidak disyaratkan sifat balig dalam hal ini, sehingga sah
penitipan dari anak kecil yang dibolehkan untuk berjualan, karena
penitipan ini termasuk yang diperlukan oleh seorang penjual.
Sebagaimana sah juga penitipan kepada anak kecil yang telah
diperbolehkan melakukan jual beli, karena ia termasuk yang bisa
melakukan penjagaan.
Adapun anak kecil yang mahjuur (dihalangi untuk
membelanjakan harta), maka tidak sah menerima titipan darinya,
karena umumnya anak kecil tersebut tidak mampu menjaga harta.
Menurut jumhur ulama, dalam akad wadi’ah disyaratkan pula
hal-hal yang disyaratkan dalam wakalah, seperti balig, berakal, dan
bisa mengatur pembelanjaan harta.

11
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 557.
12
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq (Jakarta: Lentera, 2009), 616.
Dalam akad wadi’ah, sesuatu yang dititipkan disyaratkan dapat
diterima, sehingga jika seseorang menitipkan budak yang sedang
melarikan diri atau burung yang sedang terbang di udara atau harta
yang jatuh di dalam laut, maka orang yang dititipi tidak wajib
memberikan ganti jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada
titipan itu.13
E. Hukum Menerima Benda Titipan
Hukum menerima benda-benda titipan ada empat macam, yaitu sunnah,
wajib, haram, dan makruh, secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:
1. Sunnah, disunnahkan menerima titipan bagi orang yang percaya
kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang
dititipkan kepadanya. Wadi’ah adalah salah satu bentuk tolong-
menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an, tolong-
menolong secara umum hukumnya sunnah. Hal ini dianggap sunnah
menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk
menerima titipan.
2. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang
percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda
tersebut, sementara orang lain tidak ada seorang pun yang dapat
dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
3. Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara
benda-benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima
benda-benda titipan sebab dengan menerima benda titipan, berarti
memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya
benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang
menitipkan.
4. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia
mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu)
pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan
menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan

13
Wahbah az-Zuhaili, op. cit., 557-558.
berkhianat terhadap apa yang menitipkan dengan cara merusak benda-
benda titipan atau menghilangkannya.14
F. Berakhirnya Akad Wadiah
Akad wadi’ah berakhir dengan beberapa hal berikut ini, yaitu :
1. Barang titipan diambil atau dikembalikan kepada pemiliknya. Jika
pemilik barang mengambil barang yang dia titipkan atau orang yang
dititipi menyerahkannya kepada pemiliknya, maka akad wadi’ah pun
berakhir. Karena akad wadi’ah adalah akad tidak mengikat yang
berakhir dengan diambilnya barang titipan oleh pemiliknya, atau
diserahkan oleh orang yang dititipi kepada pemiliknya.
2. Kematian orang yang titip atau orang yang dititipi. Akad wadi’ah ini
berakhir dengan kematian salah satu pihak pelaku akad, karena akad
tersebut berlangsung antara dua pihak yang melakukan akad.
3. Gilanya atau tidak sadarnya salah satu pihak pelaku akad. Hal ini
mengakibatkan berakhirnya akad wadi’ah karena hilangnya kecakapan
untuk membelanjakan harta.
4. Orang yang dititipi dilarang membelanjakan harta (mahjur) karena
kedunguan, atau orang yang dititipi dilarang membelanjakan harta
karena bangkrut. Hal ini adalah dalam rangka menjaga kemaslahatan
keduanya.
5. Berpindahnya kepemilikan benda yang dititipkan kepada orang lain.
Akad wadi’ah ini berakhir dengan berpindahnya kepemilikan benda
yang dititipkan kepada orang lain, baik dengan jual beli, hibah maupun
yang lainnya.15
G. Aplikasi Wadiah dalam Perbankan Syariah
1. Giro Wadiah
Giro wadiah adalah simpanan pihak ketiga pada bank syariah
(perorangan atau badan hukum, dalam mata uang rupiah atau valuta
asing) dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan

14
Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 239-240.
15
Wahbah az-Zuhaili, op. cit., 572.
sewaktu-waktu dengan menggunakan cek, bilyet giro atau pemindah
bukuan.
Dari pengertian di atas, prinsip wadiah yang digunakan adalah
prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai
penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk
menggunakan atau memanfaatkan uang titipannya. Sedangkan bank
syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi disertai hak untuk
mengelola dana titipan. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran
dana ditanggung bank, sedangkan pemilik dana tidak dijanjikan
imbalan dan tidak menanggung kerugian. Namun demikian, bank
diperkenankan untuk memberikan insentif berupa bonus dengan syarat
tidak boleh diperjanjikan di muka.
Karakteristik giro wadiah adalah:
a. Dana giro wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan
komersial
b. Keuntungan dan kerugian dari penyaluran dana wadiah menjadi
hak yang harus ditanggung oleh bank
c. Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-
waktu, sebagian atau seluruhnya
d. Penarikan menggunakan cek, bilyet giro, atau dengan pemindah
bukuan
e. Bank dapat memberikan bonus namun tidak diperjanjikan di muka.
2. Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah adalah titipan pihak ketiga kepada bank
syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat-syarat
tertentu yang disepakati dengan kwitansi, kartu ATM, sarana perintah
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa dalam prinsip
syariah sebenarnya tabungan juga merupakan simpanan sementara
untuk menentukan pilihan apakah untuk konsumsi yang dapat ditarik
setiap saat. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan
ketentuan mengenai tabungan wadiah yaitu:
a. Bersifat sementara
b. Simpanan bisa diambil kapan saja atau berdasarkan kesepakatan
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk
pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Dasar hukum wadi’ah terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah
ayat 283 dan An-Nisa’ ayat 58. Macam-macam wadi’ah ada dua yaitu:
wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
Rukun wadi’ah antara lain, yaitu : Muwaddi’ / Orang yang
menitipkan, Mustauda’ / Orang yang menerima titipan, Obyek wadi’ah /
Barang yang dititipkan, Ijab dan qabul. Dalam akad wadi’ah memiliki dua
syarat, yaitu: Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan
maupun perbuatan, Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk
melakukan akad-akad yang berkaitan dengan harta.
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah di atas banyak sekali kesalahan
dan kekurangan. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.
C.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ru’fah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia

Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani

Ascarya. 2011. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh Islam 5. Jakarta: Gema Insani

Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana


Prenadamedia Group

Mughniyah, M. Jawad. 2009. Fiqh Imam Ja’far Shadiq. Jakarta: Lentera

Muljono, Djoko. 2015. Buku Pintar Akuntansi Perbankan & Lembaga Keuangan
Syariah. Yogyakarta: Andi

Muslim, Sarip. 2015. Akuntansi Keuangan Syariah Teori & Praktik. Bandung:
CV Pustaka Setia

Zulkifli, Sunarto. 2007. Panduan Praktis Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul


Hakim.

Anda mungkin juga menyukai