Anda di halaman 1dari 17

HADITS RAHN

Disusun Oleh :
MITIA FARINDA

Dosen Pengampu:
Dr. Husni, S.Ag., M.Ag

Mata Kuliah:
HadisIqtishadi

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam


Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe
2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.
Kami sebagai penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Lhoksemawe,18 April 2022

Kelompok 7
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-
kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik
dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap
orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi
kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.

Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam
seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat
interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan
dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.

Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak


bermunculan fenomena ketidakpercayaandiantara manusia,
khususnya dizamankiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta
jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha


pergadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti
terjadinya gadai menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang
belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini.
Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka,
sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai
akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya
dengan batil.
BAB 11

Pembahasan

A. Pengertian Rahn

Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu 1


Dikatakan dalam bahasa Arab:
(‫ ) ال َما ُءالرَّا ِه ُن‬apabila tidak mengalir dan kata (>ٌ‫ )نِ ْع َمةٌ َرا ِهنَة‬bermakna nikmat
yang tidak putus. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna tertahan
dengan dasar firman Allah:

ٌ‫ت َر ِهينَة‬ ‫ُك ُّل َن ْف ٍ مِب‬


ْ َ‫س َا َك َسب‬
Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah
diperbuatnya, (QS. 74:38) kata Rahienah bermakna tertahan.
Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang
tertahan itu tetap ditempatnya.2
Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa’ dan Nun adalah asal kata
yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau
tidak. Dari kata ini adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan 3

Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari’at, dijelaskan para ulama


dengan ungkapan:

Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi


dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya
1
lihatKitabTaudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah Al Bassaamcetakankelimatahun 1423,
Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA 4/460
2
Lisan Al Arab karyaIbnuMandzurpada kata Rahana, dinukildarikitab Al Fiqh Al Muyassarah, QismulMu’amalah, Prof. DR
Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliqdan DR. Muhammad bin
IbrohimAlumusa, cetakanpertamatahun 1425H, Madar Al WathoniLinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
3
Mu’jamMaqaayis Al Lughoh 2/452 dinukiildariAbhaatsHai’atKibaar Al UlamaBilMamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah,
disusunoleh Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’atKibar Al Ulama. Cetakanpertamatahun 1422H 6/102
Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi
(hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut apabila tidak
mampu melunasinya dari orang yang berhutang. 4
memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai
pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak
berhutang tidak mampu melunasinya.
Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan
hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang
dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang
yang berhutang tidak mampu melunasinya.

Hukum Al Rahn
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan
disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum
muslimin.
Dalil Al Qur’an adalah firman Allah:

ِ ِ
َ‫ضا َف ْلُيَؤ ِّدالَّذياْؤ مُتِن‬
ً ‫ض ُك ْمَب ْع‬
ِ
ُ ‫وضةٌفَِإنَْأمنََب ْع‬
ِ
َ ُ‫ىس َف ٍر َولَ ْمتَج ُدوا َكاتبًافَ ِر َهامٌنَْقب‬ ‫ِإ‬
َ َ‫َو نْ ُكْنتُ ْم َعل‬
ِ‫َأما َنتهولْيت َِّقاللَّهربَّهوالتَ ْكتمواالشَّهادةَومْني ْكتمهافَِإنَّهآمِث ٌَق ْلبهواللَّهبِماَتعملُو َنعل‬
َ َ ْ َ ُ َُ ُ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ ُ َُ ََ َ َُ َ َ
‫يم‬ٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
2:283).

4
lihatMughni, IbnuQudamahtahqiq DR. Abdullah bin AbdulmuhsinAlturkidanAbdulfatah Muhammad Al Hulwu,
cetakankeduatahun 1412H, penerbithajar, Kairo, Mesir. 6/443
Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun
tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam
keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya
menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.

Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan


pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A’isyah dalam
pernyataan beliau:

ٍ ‫وديٍِّإ لَىَأجلٍورهَنه ِدر ًع ِام ْنح ِد‬


‫يد‬ ِ ‫َأنَّالنَّبِيَّصلَّىاللَّهعلَي ِهوسلَّما ْشَترىطَعام ِام ْنيه‬
َ ْ ُ ََ َ َ َُ ً َ َ َ َ َ ْ َُ َ
Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang
yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju
besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al
Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih
kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi
menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada
keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al
Dzohiri)5. Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan
tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan
safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui
seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan:
Al Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah l
berfirman:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)


sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan
adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:

َّ ُ‫َّريُ ْش َربُبَِن َف َقتِ ِهِإ َذا َكانَ َم ْر ُهونً َاو َعلَىالَّ ِذ َيي ْر َكُب َويَ ْش َرب‬
ُ‫الن َف َقة‬ ِّ ‫الر ْهُنُي ْر َكبُبَِن َف َقتِ ِهِإ َذا َكانَ َم ْر ُهونً َاولََبنُالد‬
َّ

5
Taudhih Al Ahkam Syarah Bulugh Al Maram 4/460
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila
digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah
apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan
meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512).
WallahuA’lam6 Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu
Hajardan Muhammad Al Amien Al Singqithi 7
Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan),
apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim atau tidak wajib pada
keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para ulama
berselisih dalam dua pendapat.

1. Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat


Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hambaliyah).
Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui
orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas hutang
sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban).
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al
rahn dalam keadaan mukim diatas yang tidak menunjukkan adanya
perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya.

Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak


wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan oertanggungjawaban) dan Al
Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika
sulit melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak
wajib maka demikian juga penggantinya.

2. Wajib dalam keadaan safar


Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini
berdalil dengan firman Allah:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

6
AbhatsHai’atKibarUlama 6/107
7
Al Mughni 6/444 dantaudhih Al Ahkam 4/460
Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) adalah berita
bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :
‫اطل ٌَوِإنْ َكانَ ِماَئةَ َش ْر ٍط‬
ِ ‫يكتابِاللَّ ِه َفهوب‬
َ َُ َ ِ ‫س ِف‬
ٍ َ ُّ‫ُكل‬
َ ‫ش ْرطلَْي‬
Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun
seratus syarat. (HR Al Bukhori).

Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada


dalam Al Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya
dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia
tertolak.

Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud


bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah
setelahnya:

Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,


maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) (QS. 2:283). Demikian juga pada asalnya dalam transaksi
mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan
disini tidak ada larangannya.[13]
Yang rojih adalah pendapat pertama, WallahuA’lam.

Hikmah Pensyariatannya
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang
miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang
seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi
kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan
orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang
kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia
mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan
hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya
dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada
pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn (gadai) untuk
kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi hutangan
(Murtahin) dan masyarakat.

Untuk Raahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi


kebutuhannya. Ini tentunya bias menyelamatkannya dari krisis dan
menghilangkan kegundahan dihatinya serta kadang ia bias berdagang
dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.

Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi tenang


dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’I
dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.

Adapun kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah


memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan
kecintaandan kasih sayingdiantara manusia, karena ini termasuk
tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada manfaat
menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan
melapangkan penguasa.[14]

Rukun Al Rahn (Gadai)


Mayoritas ulama memandang rukun Al rohn (Gadai) ada empay yaitu

1. Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)


2. Al Marhun bihi (hutang)
3. Shighah [15]
4. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang
menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Sedangkan madzhabHanafiyah memandang Al rahn (gadai) hanya
memiliki satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah
transaksi. [16]

Syarat Al Rahn
Disyaratkan dalam Al Rahn sebagai berikut:
1. syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang
bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah
orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan
rusyd (kemampuan mengatur).[17]
2. Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada
dua:

1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat


menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak
mampu melunasinya.[18]
2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang
manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk
menjadikannya sebagai jaminan gadai.[19]
3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan
sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta
sehingga disyaratkan hal ini.[20]
3. Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang
yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. [21]

Kapan Al Rahn (Gadai) menjadi keharusan?


Para ulama berselisih pendapat dalam masalah Al Rahn menjadi
keharusan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima
barang gadainya dalam dua pendapat:

1. Serah terima adalah syarat keharusan terjadinya Al Rahn. Ini


pendapat MadzhabHanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab
Ahmad bin Hambal serta madzhabDzohiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah : ُُ‫ضة‬
َ ‫ فَ ِرهَانٌ َّم ْقبُو‬dalam ayat ini Allah
mensifatkannya dengan dipegang (serah terima) dan Al rahn adalah
transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga butuh
kepada serah terima (Al Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu
adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak
diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang
menggadaikannya meninggal dunia.[22]
2. Al Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi, dengan
demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan
barang gadainya maka dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat
madzhabMalikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah : ُُ‫ضة‬
َ ‫ فَ ِرهَانٌ َّم ْقبُو‬dalam ayat ini Allah
menetapkannya sebagai Al Rahn sebelum dipegang (serah terimakan).
Juga AL Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah
terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli.
Demikian juga menurut imam Malik, serah terima hanyalah menjadi
penyempurna Al rahn dan bukan syarat sahnya.

Syeikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: Adapun firman Allah :


ُُ‫ضة‬
َ ‫ فَ ِرهَانٌ َّم ْقبُو‬itu adalah sifat keumumannya namun hajat menuntut
(keharusannya) tidak dengan serah terima (Al Qabdh).[23]
Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar menyatakan bahwa yang rojih adalah Al
Rahn menjadi keharusan dengan akad transaksi, karena hal itu dapat
merealisasikan faedah Al Rahn berupa pelunasan hutang dengannya
atau dengan nilainya ketika tidak mampu dilunasi dan ayat hanya
menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya jaminan
walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan
mendapatkannya.[24]

Kapan dianggap sah serah terima Al Rahn


Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat
dipindahkan seperti rumah dan tananh, maka disepakati serah
terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada
penghalangnya. Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan,
bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya
dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati
serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung bila barangnya dapat
dihitung serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara
tumpukan maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah
terimanya; ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari
tempat semula dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan
pihak yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.
Hukum-hukum setelah serah terima.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima
yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan
barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban
bila rusak atau hilang, diantaranya:

1. Pemegang barang gadai


Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa
perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
َ ُ‫ىس َف ٍر َول َْمتَ ِج ُدوا َكاتِبًافَ ِر َهانُ َّم ْقب‬
ُ‫وضة‬ ‫ِإ‬
َ َ‫َو ن ُكنتُ ْم َعل‬
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS.
2:283) dan sabda beliau:
ُ‫الد ِّريُ ْش َربُِإ َذا َكانَ َم ْر ُهونً َاو َعلَىالَّ ِذ َيي ْر َك ُب َويَ ْش َر ُبَن َف َقتُه‬
َّ ُ‫الظَّ ْه ُر ُي ْر َكبُِإ َذا َكانَ َم ْر ُهونً َاولََبن‬
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari
hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang
mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih
riwayat Al Tirmidzi).

2. Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai


Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan
Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut
kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang
diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air
susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang
tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah
yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan
sabda Rasululloh SAW :
ُ‫َّريُ ْش َربُِإ َذا َكانَ َم ْر ُهونً َاو َعلَىالَّ ِذ َيي ْر َكُب َويَ ْش َر ُبَن َف َقتُه‬
ِّ ‫الظَّ ْه ُر ُي ْر َكبُِإ َذا َكانَ َم ْر ُهونً َاولََبنُالد‬
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari
hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang
mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih
riwayat Al Tirmidzi).
Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa
biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.

Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga


miliknya kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan
yang memiliki air susu yang diperas (pen)). [25]
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan
pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu
adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa
seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk
mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang
gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu
adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila
barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu
perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras
susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena
sabda Rasululloh:

َّ ُ‫َّريُ ْش َربُبَِن َف َقتِ ِهِإ ذَا َكانَ َم ْر ُهونً َاو َعلَىالَّ ِذ َيي ْر َكُب َويَ ْش َرب‬
ُ‫الن َف َقة‬ ِّ ‫الر ْهُنُي ْر َكبُبَِن َف َقتِ ِهِإ ذَا َكانَ َم ْر ُهونً َاولََبنُالد‬
َّ
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila
digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah
apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan
meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini
madzhabHanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin
mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak
penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:

ُ‫ل َُهغُْن ُم ُه َو َعلَْي ِهغَ َر ُمه‬


Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya
pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim)

Tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan danhewan perah


sesuai nafkahnya kecuali Ahmad dan inilha yang rojih Insya Allah
karena haditsshohih tersebut.[26]
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan
kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan
ushulsyari’at menunjukkan hewan gadai dihormati karena hak Allah
dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang
memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai
tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya
tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga
tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai,
pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah
Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya
dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila
murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya
dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan
dan dua hak.[27]

3. Pertumbuhan barang gadai


Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan
adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung
seperti (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai
dengan kesepakatan ulama dan bila terpisah maka terjadi perbedaan
pendapat ulama disini. Abu hanifah dan imam Ahmad dan yang
menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang
gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan murtahin maka ikut
kepada barang gadai tersebut. Sedangkan imam Syafi’I dan ibnu
Hazm dan yang menyepatinya memandang hal itu bukan ikut barang
gadai dan itu milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu
hazm berbeda dengan Syafi’I dalam kendaraan dan hewan menyusui,
karena Ibnu Hazm berpendapat dalam kendaraan dan hewan yang
menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang
menafkahinya.[28]

4. Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dangan


barang gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin
apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang
yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran
hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya
kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita
barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang
menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan
menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya
ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang
menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu
melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh
tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan
hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik
barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut)
dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya,
maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa
hutangnya.[29]
Demikianlah barang gadai adlah milik orang yang menggadaikannya,
namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada
murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikanpermasalah
hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka
harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi
seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang
gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak
mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang
yang menggadaikan (Al Raahin) untuk menjual sendiri barang
gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan
didahulukan murtahindaalam pembayarannya atas pemilik piutang
lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan
menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya
dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila
tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah
pendapat madzhabSyafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyahmemadang
pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya
dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan
Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang
kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya
bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah
(pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja
sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.[30]
Yang rojih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi
hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang
penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan
itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak
negatipsocial masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila
barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka
selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka
tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang
gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya.

Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti


yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang
menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari
hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan
kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.

Daftar pustaka

(1)Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah Al


Bassaam cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA
4/460

(2)Lisan Al Arab karya Ibnu Mandzur pada kata Rahana, dinukil dari
kitab Al Fiqh Al Muyassarah, QismulMu’amalah, Prof. DR Abdullah bin
Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq
dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun
1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115

(3)Mu’jamMaqaayis Al Lughoh 2/452 dinukiil dari AbhaatsHai’atKibaar


Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, disusun oleh Al
Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama. Cetakan pertama tahun
1422H 6/102

(4)Mughni, Ibnu Qudamahtahqiq DR. Abdullah bin


AbdulmuhsinAlturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan
kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir. 6/443

(5)Taudhih Al Ahkam Syarah Bulugh Al Maram 4/460

(6)AbhatsHai’at Kibar Ulama 6/107

(7)Al Mughni 6/444 dan taudhih Al Ahkam 4/460

Penulis: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.

Anda mungkin juga menyukai