Anda di halaman 1dari 7

1.

Qawaid fiqiah adalah kaida-kaidah dasar yang dipergunakan oleh ahli fiqih sebagai patokan
biasanya bersifat umum dan bersifat ringkas, berbentuk undang-undang yang berisi hukum-
hukum syara’ yang umum untuk menjawab peristiwa hukum.

perbedaan dengan dawabith fiqiah, perbedaan terletak pada ruang lingkup, qawaid fiqiah
memiliki ruang lingkup yang jauh lebih kuas karena membahas kaidah-kadiah yang berlaku
secara umum berlaku pada banyak masalahg fiqih , sedangkan dawabith fiqiah memiliki ruang
lingkup yang sempit hanya pada 1 masalah fiqih seperti sewa-menyewa dll.

perbedaan dengan qawaid ushuliah, terletak pada ushul fiqh merupakan kaidah yang
dipergunakan ulama untuk menggali hukum syara agar tidak terjadi kesalahan penerapan atas
hukum tersebut, berbeda dengan qawaid fiqh yang menerapkan hukum syara sebagai fondasi
untuk menjawab permasalahan hukum yang muncul.

Sumber yang dijadikan dasar hukum qawaid fiqiah tentu saja adalah nash al-quran dan hadits,
namun juga ijma dari ahli qawaid fiqiah dalam membahas suatu permasalahan, banyak sekali
kaidah fiqih jumlahnya ratusan bahkan ribuan namun semua terkategori pada 5 kaidah dasar.
Sangat dianjurkan ulama modern menggunakan kaidah fiqih dalam menjawab permasalahan
modern, dengan menggunakan kaidah fiqih maka hukum islam akan senantiasa terjaga
kebenarannya karena tetap sejalan dengan nash, namun dilain pihak tetap bisa berkembang
karena kaidah fiqiah akan bisa diterapkan kepada semua permasalahan hukum yang bermunculan
demi mencari tahu boleh atau tidaknya suatu permasalahan baru yang mucul.

2. ‫( ? مبقاصدها األمور‬Umuru Bimaqasidiha) ‫( ألمور‬Umuru bermakna perbuatan atau tingkah


dalam hal ini termasuk ucapan dan pula perbuatan ), ‫( مبقاصدها‬Bimaqasidiha bermakna
Niatnya), Maksud dari kaidah dasar ini suatu perbuatan dari seseorang tergantung dari niatnya,
pentingnya niat ini bisa dilihat dalam Al-Quran dan Hadits

Dasar nash dari kaidah ini terdapat dalam An-Nissa ayat 114, dimana keridhaan Allah SWT akan
diturunkan kepada sesorang yang berbuat baik dengan niat yang tulus iklas beribadah kepada
Allah, baginya pahala besar akan menantinya. Menjelaskana pentingnya niat yang tulus dalam
perbuatan, agar menjadi ibadah dihadapan Allah SWT

Dalam hadits Ibnu Majjah, Rasulullah SAW bersabda:Manusia hanya akan dibangkitkan sesuai
dengan Niatnya, Dari Al-Quran dan hadits tersebut dapat terlihat sangat pentingnya niat dalam
setiap perbuatan. perbuatan baru bisa dianggap baik oleh Allah SWT jika memang dalam hati
Niat melakukan perbuatan tersebut adalah ibadah dan membantu orang lain.

suatu perbuatan hukum dalam ekonomi tergantung dari niat seseorang ambil contoh seseorang
mengatakan menghibahkan mobil ke orang lain dengan biaya 100 juta, secara akad bukan
merupakan Hibah karena jelas niat dari orang tersebut bukan hibah namun jual beli mobil.
peentingnya akad ini juga bisa dilihat dalam transaksi dimana tidak ada bukti tertulis atas
kesepakatan seseorang, seperti pada jual beli secara umum maupun jual beli online dimana tidak
ada pihak yang bertemu. Transaksi jenis ini tetaplah sah menurut islam jika dilihat kehendak
kaidah ini. Dimana penjual dan pembeli memang berniat untuk melakukan transaksi jual beli,
tidak diperlukan bukti tertulis atas suatu akad agar sah perjajian, isyarat saja atau klik beli di
transaksi online merupakan bukti cukup untuk membuktikan niat sesorang dalam trasnaksi jual
beli.

3. ‫ابلشك اليزول ليقن‬, (Al Yaqinu La yuzalu Bi al Syak), ‫( ليقن‬Memiliki makna Keyakinan ) ‫ليزول‬
(la yuzalu memiliki makna Tidak bisa dikalahkan ) ‫( ابلشك‬memiliki makna keraguan.
Kaidah ini memiliki makna sesuatu hal yang sudah menjadi suatu keyakinan yang mantap
ataupun kuat tidak akan bisa dikalahkan oleh sebuah keraguan yang muncul kemudian sebagai
kontradiksinya.

Dasar nash kaidah ini bisa dilihat di Al-Quran an-Naml ayat 14 yang memiliki makna, dan
mereka mengingkari dikarenakan kezalimian dan kesombongan padahal hati mereka meyakini
kebenaranya . Maka perhatikanlah bagaimana akibat bagi orang yang berbuat kerusakan. Ayat
ini menjelaskan kerugian yang dapat ditimbulkan atas keraguan atas sesuatu yang sebenarnya
telah diyakini di dalam hati.

Dasar hadits kaidah ini bisa dilihat dalam Hadits imam Muslim dari Abi Said al-Hudri, hadits
mengenai shalat , apabila salah satu dari dirimu meragukan dalam shalatnya, telah 3 atau 4
rakaat maka hendaklah buang keraguan tersebut dan meneruskan shalatnya dengan sesuai
keyakinannya. Hadits ini memperkuat kaidah ini dimana keraguan tidak bisa mengalahkan
keyakinan. jika seseorang yakin shalatnya sudah 4 rakaat padahal sebenarnya masih 3, shalat
tersebut tetaplah sah jika orang tersebut meyakini bahwa dia telah shalat 4 rakaat.

Contoh penerapan kaidah ini bisa dipergunakan dalam hal pembayaran hutang, Seorang debitur
yang yakin memiliki hutang kepada debitur namun meragukan apakah sudah membayar hutang
tersebut,baginya masih harus membayar hutang tersebut sampai ada pernyataan dari debitur
bahwa hutang sudah dibayar, dalam hal ini tidak perlu dibayar kembali hutang tersebut.

4. ‫ يزال الضرر‬, (Al Dhararu Zuyan), ‫( الضرر‬Dhararu memiliki makna kemudharatan atau
bahaya ) ‫( يزال‬Yuzalu memiliki makna dihilangkan ) bahwa manusia harus dijauhkan
dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia
menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.

Q.S Al-A’raf/7: 56)

‫ب ِّم َن ا ْل ُم ْح ِس ِن ْي َن‬ ِ ِ َ ‫ض بع َد ِاصاَل ِحها و ْادعوه َخوفً َّاو‬ ِ ِ


ٌ ‫ط َم ًعاۗا َّن َر ْح َم َت اهلل َق ِر ْي‬ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ْ َ ِ ‫ َواَل تُ ْفس ُد ْوا فى ااْلَ ْر‬.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S Al-A’raf/7: 56)

(HR.Imam Malik)[2]
‫ق اهللُ َعلَ ْي ِه‬
َّ ‫ش‬ َّ ‫ش‬
َ ‫ق‬ َ ‫ضَّرهُ اهللُ َو َم ْن‬
َ ‫ض َّر‬ ِ َ‫ضرر وال‬
َ ‫ض َر َار َم ْن‬ َ َ َ َ َ‫ ال‬.
“Tidak boleh memudharatkan dan di mudaratkan, barang siapa yang memudharatkan, maka Allah akan
memudharatkannya, dan barang siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan
menyusahkannya.” (HR.Imam Malik)[2]

memilih Pemimpin, harus difikirkan kemudharatan memilih pemimpin yang tidak seagama

5. Masyaqoh ‫لب الت َّْي ِس ُر‬


ُ ‫ش َّقةُ تَ ْج‬
َ ‫ال َْم‬
(kesulitan akan menimbulkan kemudahan)

Q.S. al-Baqarah [2]: 286.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

‫إِ َّن الدِّيْ َن يُ ْس ٌر‬


Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)

contoh dari penerapan kaidah ini terdapat pada fatwa meningitis MUI, dahulu terdapat
penyebaran penyakin meningitis yan merajalela, karena itu bagi jamaah haji diwajibkan
melakukan vaksin meningitis demi menjaga diri nyawa mereka (maqasid syariah dharuriyah ),
padahal vaksin yang ada tidak halal karena mengandung babi, oleh MUI vaksin tersebut
dihalalkan sampai ada nya vaksin baru yang halal. Saat ini fatwa tersebut tidak berlaku karena
sudah ada vaksin meningitis yang halal, sehingga dasar pembenar sudah tidak ada.

6. Al aadah Muhakamah, (kebiasaan adalah hukum),

contoh L/C syariah, pengaturan di Indonesia tidaklah spesifik oleh karena itu demi mengisi
kekosongongan hukum dieprgunakan hukum kebiasaan Internasional UCP yang merupakan
dasar pembetukan kontrak yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Internasional. Penggunaan
UCP pada L/C syariah diperbolehkan selama Isi UCp tidak melanggar hukum islam dan
keberadaannya memang diakui sebagai kebiasaan dalam hukum.
Al-quran Surat an-Nisa ayat 19 :

" Dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut (menurut kebiasaan yang sudah diketahui)".

Hadits

"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja
yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara
yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)

‫ لْ َم ْع ُر ْو ُف بَنْي َ جُت َّ ِار اَك لْ َمرْش ُ ْو ِط بَيْهَن ُ ْم‬Turunan “Sesuatu yang telah dikenal di antara
pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
7. Kaidah Turunan Maksud dari Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy la
li alfadz wal mabaniy) Memiliki arti "Yang diperhitungkan dalam akad adalah maksudnya
atau tujuannya bukan kata-kata dan bentuknya"

(REDAKSI AKAD )yaitu yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan
maknanya, bukan lafazh dan susunan redaksinya. Kaidah ini masih tercakup dalam kaidah
sebelumnya (perkara-perkara itu tergantung kepada maksudnya), karena akad termasuk dari
perkara-perkara yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu dianggap termasuk bagian dari
kaidah sebelumnya.

Dasar Ulama membolehkan redaksi akad terdapat pada Al-baqarah ayat 228 dan 231,
yang kira-kira memiki makna "...dan suami2 berhak merujukinya dalam masa menanti , jika
mereka (para suami menghendaki ishlah (Bertujuan baik))" ".....janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kedudharatan".....Ayat ini menjelaskan bahwa rujuk diperbolehkan
Allah jika berniat (bertujuan baik bukan kepad orang yang bertujuan bruk (dlilar))

 Kami katakana bahwa akad termasuk perkara yang dilakukan oleh manusia, yang mana
konsekuensi hukum pada perkara-perkara ini adalah maksud dari pelakunya. Demikian juga
dengan hukum pada akad-akad yang hanya berupa lafazh, artinya konsekuensinya secara mutlak
terletak pada makna yang dimungkinkannya. Adapun hal itu berdampak pada maksud dan makna
sebenarnya yang dimaksud oleh dua orang yang melakukan akad, seperti lafazh-lafazh yang
digunakan dalam pernyatan akad, karena makna yang dimaksud dari lafazh-lafazh yang
digunakan adalah makna sebenarnya yang dimaksud.
Cabang kaidah serta contoh aplikasinya
Pemebrian dengan syarat diganti (dibayar) termasuk akad bai’(jual-beli). Apabila ada
seoarang berkata kepada orang lain,”saya beriakan kuda ini dengan ganti seratus dinar.” Lalu
pihak yang lain mengatakan. ”saya terima,” maka akan seperti ini menjadi akan bai’(jaul-beli),
sekalipun shighatnya dengan lafazh hibah (memberi)

8. Kaidah Al-Ashlu Fil Asyyaa-i al-Ibaahah (Segala sesuatu pada dasarnya Mubah)


Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah
adalah halal dan mubah. Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas
oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash
yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum
asalnya yaitu mubah.
Dasar pemikiran disandarkan kepada al-Baqarah ayat 29 yang memiliki arti ".....“Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….”
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah
nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya. Dia hanya
mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu
sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan
wilayah halal sangatlah luas.
Berkenaan dengan hal ini Rasulullah saw bersabda,

“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya
adalah haram; sedang apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan (diperkenankan). Oleh
karena itu terimalah perkenan dari Allah itu, karena Allah tidak akan pernah lupa sama
sekali.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat (surat Maryam ayat 64): “Dan tidaklah
Tuhanmu lupa.” (HR. Al-Hakim).

Penerapan kaidah ini sangatlah luas terutama di Indonesia, Fatwa2 yang dikeluarkan oleh DSN
MUI 90 persen menggunakan kaidah ini.

9. Kaidah ‫درء^ ا^لم^فاسد^ م^قدم^ ع^لى^ جل^ب ال^مص^ال^ح‬


(Menolak Kemafsadatan Didahulukan Daripada Meraih Kemaslahatan)
ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama kita dihadapkan kepada pilihan
menolak kemafsadatan atau meraih kemashlahatan, maka yang harus didahulukan adalah
menolak kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti kita juga meraih
kemaslahatan. Sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemashlahatan
di dunia dan akhirat
Landasan Al-quran Hadits al-An’am ayat 108 dengan arti:" Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan."
Hadits

Ayat ini melarang perbuatan mencela sembahan orang kafir , mencela agama lain memilki manfaat
karena akan berakibat merendahkan agama dan sesembahan mereka, namun tatkala mashlahat itu
berdampak menimbulkan mafsadat dimana mereka akan mencela dan memaki Allah, maka Allah
pun melarang mencela sesembahan mereka, karena terdapat mafsadat atas perbuatan tersebut.

Contoh penerapan : Jika bercampur antara daging yang halal dan yang haram dan tidak dapat
dipisahkan antara keduanya, maka semuanya tidak boleh dimakan, karena menolak mafsadah
makan daging haram lebih dikedepankan daripada mashlahat daging yang halal

Terdapat pula di fatwa2 MUI seperti fatwa Syariah card (kartu kredit syariah ) Fatwa Nomor
54/DSN-MUI/ X/2006 tentang Syariah Card. Salah satu kaidah yang digunakan adalah
menghilangkan mafsadah, karena daripada mempergunakan kartu kredit konvensional yang sudah
pasti riba, alangkah baiknya diciptakan kartu kredit yang menggunakan prinsip syariah.

10. Kaidah ‫ق ا ْل َغ ْي ِر‬


َّ ‫ض ِط َرا ُر الَ يُ ْب ِط ُل َح‬
ْ ‫ا ِال‬

  Keterpaksaan itu tidak boleh membatalkan hak orang lain

Keterpaksaan  yang menimpa pada diri seseorang tidak dapat menjadi alasan hapusnya
dosa dan menjadi sebab dimaafkan dari suatu hukuman atas pelanggaran hak orang lain atau
dengan kata lain ,keterpaksaan ini tidak boleh sampai membatalkan hak orang lain. Oleh
karenanya manakala seseorang dalam keadaan terpaksa sampai melanggar hak atau membatalkan
hak orang lain, ia wajib mengembalikan atau mengganti hak tersebut kepada pemiliknya.seperti
seseorang yang dalam keadaan kelaparan, kemudian untuk menghilangkan kelaparan tersebut, ia
mengambil makanan orang lain. Karena tindakam ini, maka ia wajib mengganti atau
mengembalikan makanan orang lain yang telah dimakan itu

Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah beberapa nash firman Allâh Azza
wa Jalla dan sabda Nabi yang menjelaskan tentang haramnya mengambil harta  seorang
Muslim dengan cara yang batil. Meskipun dalam keadaan darurat, perbuatan yang dilakukan
tetap merugikan orang lain,karena itu harus tetap ada ganti rugi gabi yang dirugikan.
Di antaranya firman Allâh Azza wa Jalla :
‫ض ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط ِل إِاَّل أَنْ تَ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً عَنْ ت ََرا‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu.  [An-Nisâ’/4:29]
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu riwayat Muslim. mengenai larangan memakan harta orang
muslim lainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ْ ‫سلِ ِم َعلَى ا ْل ُم‬


ُ ‫سلِ ِم َح َرا ٌم َد ُمهُ َو َمالُهُ َو ِع ْر‬
ُ ‫ضه‬ ْ ‫ ُك ُّل ا ْل ُم‬ 
Setiap orang Muslim terhadap Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya

Contoh Penrapan, seseorang di kapal yang dikhawatirkan tenggelam, membuang barang kargo
orang lain demi mengurangi berat kapal dan menyelamatkan kapal dari tenggelam. Orang yang
barangnya dibuang tersebut memilki hak untuk menuntut penggantian dari perbuatan membuang
barangnya tersebut.

11. Kaidah la yunkaru TAGOYYURUL AHKAM , TAGOYYURUL Zamani(Tidak bisa


dipungkiri, perubahan hukum tergantung pada perubahan zaman (waktu)) B

Kaidah ini membahas mengenai elastisitas hukum islam itu sendiri yang senantiasa berubah
mengikuti perkembangan zaman. yang berubah bukanlah hukum islam nash karena akan
selamanya sama, namun wadahnya atau kondisi penerapannya yang akan berubah, Jika
dianalogikan bisa menggunakan air dalam botol bening dan botol berwarna, yang berubah adalah
wadah dan kondisi bukan hukum (air) itu sendiri.

Contoh perubahan dalam kaitanya dengan kondisi zaman, bisa dilihat dalam praktik jual beli.

Anda mungkin juga menyukai