Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup

saling tolong-menolong dan berdasar pada rasa bertanggung jawab, saling

jamin-menjamin dan tanggung-menanggung dalam hidup bermasyarakat.

Islam juga mengajarkan kepada kita agar selalu menegakkan kepada kita agar

selalu menegakkan nilai-nilai keadilan dalam hidup bermasyarakat.1

Pemahaman terhadap fiqh muamalah sangatlah penting bagi

kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena fiqh muamalah merupakan

aturan yang menjadi penggerak kehidupan manusia. Fiqh muamalah sebagai

hasil dari pengolahan potensi insani dalam meraih sebanyak mungkin nilai-

nilai (Illahiyat) yang merupakan kedisiplinan ilmu yang tidak mudah

dipahami. Fiqh muamalah merupakan aturan yang menjadi pengarah dan

penggerak kehidupan manusia.

Fiqh muamalah menjadi salah satu unsur perekayasaan hingga dapat

diaplikasikan dalam segala situasi dan kondisi tatanan kehidupan manusia

sendiri. Peternakan merupakan salah satu profesi yang lazim dilakukan oleh

masyarakat perdesaan bahkan masyarakat kota sekalipun baik baik dikelola

dengan cara sendirian maupun dipercayakan kepada orang lain dengan

perjanjian dari hasil keuntungan yang diperoleh.2

1
Muhammad dan Sholihul Hadi, Pegadaian Syariah (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003),
hlm. 2.
2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 7-8.

1
Dalam bagi hasil terdapat ketetapan akad, ketetapan akad yang

dibahas ini adalah menetapkan upah atau bagi hasil antara pemilik modal

dengan pengelola. Adapun bagi hasil menurut hukum islam salah satunya

adalah Mudharabah. Mudharabah merupakan sebuah perjanjian diantara

paling sedikit dua pihak dimana pemilik modal mempercayakan sejumlah

dana kepada pengelola untuk menjalanka aktivitas atau usaha.3

Sistem bagi hasil merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian

atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha

tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang didapat

antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil adalah bentuk return

(perolehan aktivitas usaha) dari kontrak investasi dari waktu ke waktu, tidak

pasti dan tidak tetap pada bank Islam. Mudharabah merupakan bentuk kerja

sama antara dua atau lebuh pihak dimana pemilik modal (shahibul mal)

mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati di awal bersama.4

Bagi hasil antara pemilik modal dengan pihak yang menjalankan

usaha yang produktif (Mudharabah) sudah di praktikkan sejak zaman Nabi

Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam. Bahkan hal tersebut sudah

dilakukan oleh masyarakat Arab sejak sebelum Islam, lalu keuntungannya

dibagi antara pemilik modal dengan pengusaha sesuai dengan perjanjiannya,

karena akad kerja sama yang dilakukan masyarakat sebelum Islam ini

3
Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syari’ah (Yogyakarta: Teras,2011),hlm.115-
116.
4
Zaenal Arifin, Akad Mudharabah Penyaluran Dana Dengan Prinsip Bagi Hasil (Jawa
Barat: CV. Adanu Abimata, 2021), hlm. 12.

2
terbebas dari unsur kejahatan, maka Islam megadopsi kebiasaan tersebut dan

para ahli hukum Islam pun sepakat atas kaebsahan Mudharabah karena di

tinjau dari segi kebutuhan dan manfaat serta keselarasannya dengan ajaran

dan tujuan syariah.5

Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak

ditentukan kesepakatan dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (at-

Tarodhim) oleh masing-masing pihak tanpa adanya paksaan. Adapun

pendapatan yang dibagikan adalah pendapatan yang sebenarnya telah

diterima (cash basis) sedangkan pendapatan yang masih dalam pengakuan

(actual basis) tidak dibenarkan untuk di bagi antara shahibul mal dan

mudharib.6

Dalam hukum Islam penerapan bagi hasil harus memperhatikan

prinsip at Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama antara

anggota masyarakat untuk kebaikan, serta menghindari peinsip al Iktinaz,

yaitu menahan uang (dana) membiarkannya menganggur sebagaimana

dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

‫ي‬ َّ ‫ ٰ َٓعِئ َر ٱهَّلل ِ َواَل‬C‫وا َش‬


َ ‫د‬Cۡ Cَ‫ َرا َم َواَل ۡٱله‬C‫ ۡه َر ۡٱل َح‬C ‫ٱلش‬ ْ ُّ‫وا اَل تُ ِحل‬C ْ Cُ‫ين َءا َمن‬ َ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
ٓ
‫ ٰ َو ٗن ۚا‬C ‫ض‬
ۡ ‫اٗل ِّمن َّربِّ ِهمۡ َو ِر‬C ‫ض‬ َ C‫ت ۡٱل َح َرا َم يَ ۡبتَ ُغ‬
ۡ َ‫ون ف‬C َ ‫ين ۡٱلبَ ۡي‬ َ ‫َواَل ۡٱلقَ ٰلَِئ َد َوٓاَل َءٓا ِّم‬
‫ص ُّدو ُكمۡ َع ِن ۡٱل َم ۡس ِج ِد‬ َ ‫ان قَ ۡو ٍم َأن‬ ُ ََٔ‫وا َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكمۡ َش‍ن‬ ْ ۚ ‫ٱصطَا ُد‬ ۡ َ‫َوِإ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬
‫وا َعلَى ٱِإۡل ۡث ِم‬ ْ ُ‫اون‬C ۖ
َ C‫ َو ٰى َواَل تَ َع‬C‫وا َعلَى ۡٱلبِرِّ َوٱلتَّ ۡق‬ ْ ُ‫اون‬َ ‫وا َوتَ َع‬ ْ ۘ ‫ۡٱل َح َر ِام َأن تَ ۡعتَ ُد‬
Cِ ‫وا ٱهَّلل ۖ َ ِإ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬
‫ب‬ ْ ُ‫َو ۡٱلع ُۡد ٰ َو ۚ ِن َوٱتَّق‬
5
Ade Nuryana, “Penerapan Akad Mudharabah Pada Hewan Ternak Sapi Dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat di Desa Lalundu Ditinjau Dalam Hukum Islam” jurnal
Universitas Muhammadiyah Palu Vol. 15, No. 01 (2020): hlm. 35.
6
Zaenal Arifin, Akad Mudharabah Penyaluran Dana Dengan Prinsip Bagi Hasil, hlm.
13.

3
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-
bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya,
dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. al-Ma’idah:
2)7

Dalam Mudharabah pemilik modal tidak diberikan peran dalam

menjalankan suatu usaha. Konsekuensinya Mudharabah merupakan

perjanjian dimana yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah suatu bagian

tertentu dari keuntungan atau kerugian modal yang telah mereka biayai.

Berikut segi-segi penting dari mudharabah, yaitu:

1. Pembagian keuntungan di antara dua pihak tentu saja harus secara

proporsional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang

pasti kepada shahibul mal (pemilik modal).

2. Shahibul mal tidak bertanggung jawab atas kerugian-kerugian diluar

modal yang telah diberikannya.

3. Mudharib (pengelola) tidak turut menanggung kerugian, kecuali kerugian

waktu dan tenaganya.8

7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Alma’arif, 1987),
hlm. 97-98.
8
Nur Wahid, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pemeliharaan Hewan
Kambing (Studi Kasus di Desa Argosari Kecematan Ayah Kabupaten Kebumen)” (Skripsi,
Fakultas Syariah IAIN Purwokerto, 2016), hlm. 7.

4
Pada prinsipnya bahwa dalam Mudharabah pihak yang bekerja yang

tidak menanamkan modalnya dalam usaha, maka tidak bertanggung jawab

atas adanya kerugian, hal yang sama dijelaskan dalam Kitab al-Qirad dari

Muwatta Imam Maliki. Demikian juga dikatakan oleh Imam Syafi’i

bahwasanya kontrak yang dibuat antara pemilik modal dengan orang yang

menjalankan usaha tersebut harus membagi keuntungan berdasarkan proporsi

yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pihak yang menjalankan usaha

tersebut tidak harus bertanggungjawab atas kerugian.9

Dalam pembagian keuntungan seperti yang kita ketahui, keuntungan

akan dibagikan dikalangan rekanan dalam usaha berdasarkan bagian-bagian

yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Bagian keuntungan setiap pihak

harus ditetapkan sesuai bagian atau persentase. Wajib membagi keuntungan

kepada pihak yang memperoleh modal melalui Mudharabah dan kepada

pemilik modal ditetapkan dengan suatu ukuran keuntungan yang sederhana,

misalnya seperdua, sepertiga, atau seperempat. Apabila satu jumlah tertentu

ditetapkan, misalnya untuk salah satu pihak memperoleh 100 dirham diluar

keuntungan, atau kurang dari itu, atau lebih dari itu, dan sisanya untuk pihak

lain, hal seperti ini tidak sah dan perjanjian Mudharabah tersebut akan

dibatalkan.10

9
Ibid.,
10
Niken Pratna Paramita, “Analisis Ekonomi Islam Terhadap Sistem Bagi Hasil
Pemeliharaan Kambing Pada Masyarakat Muslim (Studi Kasus di Desa Merbuh Kecamatan
Singorojo)” (Skripsi Fakultas Syariah dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang, 2019), hlm. 5.

5
Akad Mudharabah dinyatakan batal atau berakhir dalam hal-hal

sebagai berikut: 11

1. Modal usaha habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh

pengelola.

2. Salah satu dari orang yang berakad meninggal dunia. Jika pemilik modal

yang wafat, menurut Jumhur ulama, akad tersebut batal, karena akad

Mudharabah sama dengan Wakalah yang batal disebabkan wafatnya orang

yang mewakilkan, dan akad Mudaharabah tidak dapat diwakilkan.

3. Salah seorang yang berakad menjadi gila. Karena orang gila tidak cakap

bertindak hukum.

Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang kerjasama ini

adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala sebagai berikut:

‫ة‬Cٞ Cَ‫فَ ۥهُ َوثُلُثَ ۥهُ َوطَٓاِئف‬C‫ص‬ ۡ ِ‫ ِل َون‬C‫و ُم َأ ۡدنَ ٰى ِمن ثُلُثَ ِي ٱلَّ ۡي‬CCُ‫ك تَق‬ َ َّ‫۞ِإ َّن َرب ََّك يَ ۡعلَ ُم َأن‬
ۖۡ‫اب َعلَ ۡي ُكم‬
َ َ‫ار َعلِ َم َأن لَّن تُ ۡحصُوهُ فَت‬ َ ۚ َ‫ك َوٱهَّلل ُ يُقَ ِّد ُر ٱلَّ ۡي َل َوٱلنَّه‬َ ۚ ‫ين َم َع‬ َ ‫ِّم َن ٱلَّ ِذ‬
َ ‫ض ٰى َو َءا َخر‬
‫ُون‬ َ ‫ون ِمن ُكم َّم ۡر‬ ُ ‫ان َعلِ َم َأن َسيَ ُك‬ ِ ۚ ‫وا َما تَيَس ََّر ِم َن ۡٱلقُ ۡر َء‬ ْ ‫فَ ۡٱق َر ُء‬
‫ون فِي‬C َ Cُ‫ُون يُ ٰقَتِل‬
َ ‫ ر‬C‫ ِل ٱهَّلل ِ َو َءا َخ‬C ‫ض‬ ۡ َ‫ون ِمن ف‬C َ C‫ض يَ ۡبتَ ُغ‬ ِ ‫ُون فِي ٱَأۡل ۡر‬ َ ‫ ِرب‬C ‫ض‬ ۡ َ‫ي‬
َ‫وة‬CC ْ ُ‫لَ ٰوةَ َو َءات‬CC‫ٱلص‬
ٰ ‫وا ٱل َّز َك‬CC َّ ‫وا‬CC ْ ‫ ۚهُ َوَأقِي ُم‬CC‫ َر ِم ۡن‬CC‫وا َما تَيَ َّس‬ ْ ‫ٱق َر ُء‬CC ۡ َ‫يل ٱهَّلل ۖ ِ ف‬
ِ ِ‫ب‬C ‫َس‬
‫ َد‬C‫ ُدوهُ ِعن‬C‫ ٖر تَ ِج‬C‫ ُكم ِّم ۡن َخ ۡي‬C‫وا َأِلنفُ ِس‬ ۚ
ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ قَ ۡرضًا َح َس ٗنا َو َما تُقَ ِّد ُم‬ ْ ‫َوَأ ۡق ِرض‬
‫َّحي ۢ ُم‬ ٞ ُ‫ُوا ٱهَّلل ۖ َ ِإ َّن ٱهَّلل َ َغف‬
ِ ‫ور ر‬ ْ ‫ٱستَ ۡغفِر‬ۡ ‫ٱهَّلل ِ هُ َو َخ ۡي ٗرا َوَأ ۡعظَ َم َأ ۡج ٗر ۚا َو‬
Terjemahnya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu
berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula)
segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah
menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui
bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu,
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang

11
Ahmad Dahlan Rosyidin, lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah (Yogyakarta:
Global Pustaka Utama, 2004),hlm.37-38.

6
yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain
lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari al-Quran dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah
pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu
perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya
di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada
Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S. al-Muzammil : 20).12

Salah satu bentuk dari muamalah tersebut adalah sistem bagi hasil

(Pemelihara Hewan Kambing Antara Pemilik Hewan Dengan Pengelola Yang

Pembagian Hasilnya Menurut Perjanjian Yang Telah Disepakati Bersama) di

Desa Kartiasa Kecamatan Sambas. Dalam penelitian ini pada kasus bagi hasil

hewan kambing yang terjadi di desa Kartiasa Kecamatan Sambas. Bagi hasil

ini dilakukan oleh pemilik hewan kambing dengan pengelola di desa Kartiasa

Kecamatan Sambas disebut dengan istilah buruh. 13

Ada beberapa penyebab yang mengharuskan pemilik hewan kambing

untuk melaku kan bagi hasil dari pada memelihara sendiri sendiri yaitu

pemilik hewan kambing mempunyai banyak kambing sehingga tidak sanggup

untuk memelihara kambing tersebut dan juga karena ingin memberikan

lapangan pekerjaan kepada orang lain serta memberikan contoh kepada

masyarakat bahwa bekerjasama adalah hal yang sangat baik dalam

menstabilkan perekonomian. Jenis kambing yang dipelihara bukan kambing

local akan tetapi kambing tersebut merupakan kambing kacang yang berasal

12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 518.
13
Nur Wahid, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pemeliharaan Hewan
Kambing (Studi Kasus di Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen)”, hlm. 8.

7
dari jawa, kambing tersebut sangat sulit dalam perawatannya karena harus

menyesuaikan daerah terlebih dahulu.

Dari sebab-sebab itu lah akhirnya pemilik hewan kambing melakukan

bagi hasil, karena hewan kambing yang di pelihara terlalu banyak dan tidak

bisa di pelihara olehnya sendiri. Untuk melakukan bagi hasil pemilik hewan

kambing dan pengelola melakukan perjanjian terlebih dahulu dimana dalam

perjanjian tersebut hanya ditentukan kapan dimulai pemeliharaan oleh si

pengelola tanpa adanya perjanjian batas waktu perawatan atau pengambilan

hewan kambing tersebut. Setelah terjadi kesepakatan mulai lah si pengelola

melakukan tugasnya yaitu dari membuat kandang, merawat, dan

mengkawinkannya. 14

Sedangkan pemilik hewan kambing hanya melihat keadaan hewan

kambingnya dan menunggu hasil dari ternaknya, sehingga dalam perjanjian

bagi hasil pemeliharaan hewan kambing hanya secara lisan saja. Biasanya

masyarakat desa kartiasa Kecamatan Sambas Kabupaten Sambas melakukan

bagi hasil pada keluarga terdekat dan tetangga setempat, karena pada umum

nya sudah saling mengenal satu sama lain dan prosesnya tidak terlalu sulit,

karena tidak membutuhkan syarat-syarat administratif. Apabila terjadi

perselisihan, maka pihak yang dirugikan tidak dapat menunjukan bukti-bukti

perjanjian yang telah disepakati bersama.

Antara pemilik kambing dan pemelihara menyepakati bagi hasil

dengan mengambil anak kambing yang lahir secara selang-seling, dimana jika
14
Elinda, “Pelaksanaan Mudharabah Pemeliharaan Kambing (Studi Kasus di Kecamatan
Padang Sidipuan Angkola Julu)” (Skripsi Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padang
Sidipuan, 2018), hlm. 10.

8
anak kambing pertama yang lahir maka kambing tersebut menjadi bagian

untuk pemelihara, sedangkan anak kambing yang lahir kedua maka anak

kambing tersebut menjadi hak milik pemilik kambing. Namun dalam

perjanjian tersebut apabila anak kambing yang lahir lebih dari seekor, maka

pemelihara tetap mendapat seekor anak kambing, untuk anak yang lain tetap

menjadi hak milik pemelihara.

Perselisihan-perselisihan terjadi, karena salah satu pihak (baik pemilik

hewan kambing atau pemelihara) pemelihara berhenti tanpa memberitahu

pemilik modal. Dimana dalam perjanjian pemilik hewan mempersilahkan

bagi si pemelihara untuk merawat kambing tersebut sampai nanti beranak

pinak yaitu anak kambing pertama setelah perawatan akan menjadi hak milik

untuk si pemelihara dan anak kambing kedua akan menjadi hak milik si

pemilik kambing dan begitu juga seterusnya. Pada anak kambing pertama dan

kedua perjanjian tetap berlaku sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati

bersama.

Setelah anak kambing yang ketiga sudah menjadi hak miliknya si

pemelihara. Namun seiring berjalannya waktu si pemelihara sudah mulai

tidak mengurus kambing-kambing tersebut sehingga kambing-kambing

tersebut perkeliaran di lingkungan masyarakat setempat dan masyarakat

sangat merasa terganggu oleh kambing-kambing tersebut, karena membuat

kerusakan pada tanaman-tanaman masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan

masyarakat setempat di desa Kartiasa Kecamatan Sambas marah kepada

pemilik hewan kambing,

9
Praktek bagi hasil seperti ini jelas ada salah satu pihak yang dirugikan,

tidak hanya satu pihak bahkan juga menyebabkan kerugian bagi masyarakat

setempat (Desa Kartiasa Kecamatan Sambas), dimana si pemelihara sudah

mendapat imbalan sesuai dengan perjanjian awal yaitu mengganti dengan

seekor anak kambing secara selang seling. Namun si pemelihara tidak

mengurus kambing-kambing tersebut setelah lahir anak kambing yang ketiga,

pemilik modal tidak tahu apa yang menyebabkan si pemelihara berhenti

mengurus kambing tanpa memberitahu pemilik modal.

Sehingga pada saat itu pemilik modal sangat kesulitan untuk

mengurus kambing-kambing yang ada. Di sisi lain si pemilik kambing merasa

dirugikan karena harus mengganti kerugian kepada masyarakat setempat

(Desa Kartiasa Kecamatan Sambas). Dan tidak lama kemudian pemilik modal

mencoba untuk mendatangi rumah pemelihara untuk menanyakan mengenai

berhentinya si pemelihara agar tidak menyebabkan perselisihan-perselisihan

yang berjangka panjang antara pemelihara dan pemilik modal.

Setelah pemilik modal berkunjung ke rumah pemelihara, pada saat itu

pemelihara tidak ada di rumah karena si pemelihara sudah berangkat ke

negara Malaysia satu bulan yang lalu untuk bekerja di sana. Pada saat itu

pemilik modal hanya menemui istri dan anak pemelihara, dan pemelihara pun

menanyakan permasalahan apa yang menyebabkan pemelihara berhenti

dalam memelihara kambing-kambing pemilik modal.

Menurut keterangan dari istri pemelihara bahwa sebenarnya

pemelihara tidak pernah ada niat untuk berhenti, namun dikarenakan oleh

10
krisisnya perekonomian pemelihara yang membuat pemelihara untuk mencari

pekerjaan lain yang memiliki upah harian atau mingguan, pada saat itu

pemelihara bekerja sebagai kuli bangunan selama dua bulan. Istri pemelihara

juga menerangkan memelihara kambing dengan jumlah yang banyak

bukanlah hal yang mudah.

Sedangkan untuk menunggu lahirnya anak kambing lumayan cukup

lama dan jika sudah melahirkan untuk menunggu pertumbuhan kambing

tersebut sehingga bisa dijual juga cukup lama. Jadi pemelihara terpaksa

berhenti karena sangat sulitnya untuk mendapatkan penghasilan sehari-hari

untuk keperluan rumah tangga.

Permasalahan ini perlu penyelesaian agar kedua belah pihak tidak ada

yang dirugikan. Karena memperhatikan pentingnya kepastian hukum

mengenai akad peliharaan hewan kambing dalam masyarakat Islam,

khususnya di Desa Kartiasa Kecamatan Sambas peneliti merasa tertarik untuk

meneliti lebih lanjut mengenai akad bagi hasil pemeliharaan hewan kambing

di Desa Kartiasa Kecamatan Sambas. Peneliti melakukan penelitian dengan

judul “Praktik akad mudharabah pada pemeliharaan hewan kambing di

tinjau dari hukum islam (studi kasus di desa kartiasa kecamatan

sambas)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang di uraikan di atas, maka peneliti

mendapatkan beberapa rumusan masalah diantaranya:

11
1. Bagaimana akad Mudharabah pemeliharaan hewan kambing di Desa

Kartiasa Kecamatan Sambas ?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemeliharaan kambing di

Desa Kartiasa Kecamatan Sambas dengan sistem Mudharabah ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui serta mendeskripsikan praktek bagi hasil dalam

pemeliharaan hewan kambing di Desa Kartiasa Kecematan Sambas.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap akad bagi hasil

pemeliharaan hewan kambing di Desa Kartiasa Kecematan Sambas.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna untuk

pengembangan ilmu pengetahuan dalam arti membangun,

memperkuat ,menyempurnakan teori yang telah ada dan memberikan

sumbangsih terhadap Ilmu Hukum Ekonomi Syari’ah khususnya kajian

hukum muamalah berhubungan dengan masalah yang ada dalam proses bagi

hasil sehingga dapat di jadikan bahan bacaan, referensi dan acuan bagi

penelitian-penelitian berikutnya. Ada dua jenis manfaat penelitian dan

penggunaannya. Kedua jenis manfaat penelitian inilah yang perlu kalian

cantumkan dalam setiap melakukan penyusunan skripsi. Adapun jenis

manfaat penelitian tersebut yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis atau akademis merupakan manfaat penelitian bagi

pengembangan ilmu. Sehingga manfaat teoritis ini dapat mengembangkan

12
ilmu yang diteliti dari segi teoritis. Teori yang digunakan tentunya

berdasarkan peneliti atau penulis sebelumnya.15

Manfaat teoritis ini berfungsi untuk menjelaskan apabila teori yang

digunakan masih relevan untuk penelitian penulis, relevan secara umum,

atau tidak sama sekali. Namun dapat juga untuk memperkuat atau

mengugurkan teori tersebut setelah mengetahui hasil penelitian.16

2. Manfaat Praktis

Penelitian dilakukan karena adanya masalah yang ingin

diselesaikan atau dipecahkan. Manfaat praktis menjelaskan manfaat yang

berguna untuk memecahkan masalah secara praktis. Tujuan manfaat

praktis ini juga dapat diarahkan untuk lebih dari satu subjek. Misalnya

manfaat untuk mahasiswa yang mengerjakan topik skripsi serupa, civitas

akademika yang melakukan penelitian yang sama, dan lain-lain. Subjek ini

deisesuaikan dengan penelitian peneliti.17

D. Tinjauan Pustaka

Dalam rangka membantu memecahkan masalah sesuai dengan

penjelasan tentang penerapan akad Mudharabah pada pemeliharaan hewan

diatas, maka peneliti ingin mencari dan menalaah referensi literature atau

penelitian terdahulu mengenai bagi hasil yang terdapat unsur spekulasi,

15
Ana Widiawati, “Manfaat Penelititan, Fungsi Jenis dan Contoh”,
penerbitbukudeepublish.com, Juli 2022, diakses 4 September 2022
16
Ibid.
17
Ibid.

13
gharar atau menyimpang dari tujuan dan prinsip jual beli menurut kajian

muamalah Hukum Ekonomi Syariah.

Pertama Skripsi Niken Pratna Paramita yang berjudul “Analisis

Ekonomi Islam Terhadap Sistem Bagi Hasil Pemeliharaan Kambing Pada

Masyarakat Muslim (Studi Kasus di Desa Merbuh Kecamatan Singorojo)”.

Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola

pemeliharaan kambing masyarakat muslim dan untuk mengetahui sistem bagi

hasil dalam pemeliharaan kambing masyarakat muslim di Desa Merbuh

Kecamatan Singorojo. Di dalam skripsi Niken Pratna Paramita membahas

tentang sistem bagi hasil dalam pemeliharaan hewan ternak kambing dimana

seorang peternak kambing yang mengusahakan kambing yang bertujuan agar

menghasilkan anakan, dengan mengupayakan pola pemeliharaan yang

ditekankan pada produktivitas perkembangbiakan kambing.18

Dalam penelitian tersebut seorang pemilik modal yang melakukan

praktek bagi hasil dengan seorang pengelola dalam melaksanakan

pemeliharaan kambing. Kesepakatan dalam perjanjian bagi hasil ini adalah

dengan cara membagi anak kambing yang lahir, jika anak kambing yang

dilahirkan dua ekor maka satu menjadi bagian pemilik modal dan satu

menjadi milik pengelola. Pembagian keuntungan yang diterapkan oleh

Masyarakat Desa Merbuh Kecamatan Singorojo yaitu dengan cara adat yang

18
Niken Pratna Paramita, “Analisis Ekonomi Islam Terhadap Sistem Bagi Hasil
Pemeliharaan Kambing Pada Masyarakat Muslim (Studi Kasus di Desa Merbuh Kecamatan
Singorojo)” (Skripsi Fakultas Syariah dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang, 2019), hlm.16.

14
berkembang di Desa tersebut, yaitu dengan model paron (setengah-setengah

keuntungan bisa 60/40 atau 50/50 sesuai kesepakatan.19

Dalam kesimpulan penelitian Niken Pratna Paramita menjelaskan

sistem pembagian hasil hewan pemeliharaan kambing masyarakat muslim di

Desa Merbuh Kecamatan Singorojo dilakukan sesuai dengan kesepakatan

bersama yang dilakukan 60% : 40% atau 50% : 50% (antara pemodal dan

pemelihara) pemodal memberikan modal pembelian kambing dan pemelihara

bertanggung jawab pemelihara kambing sampai dijual. Bagi hasil dilakukan

setelah kambing di jual , dari bagi hasil ini mampu meningkatkan

kesejahteraan dengan tambahan pendapat Rp 500.000 – Rp 750.00 dari

kambing yang dijual, sehingga mampu menambah pendapatan masyarakat

dan mengurangi angka kemiskinan.20

Di dalam penelitian tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian

peneliti dimana dalam penelitian peneliti sistem bagi hasil yang diterapkan

yaitu dengan mambagi 1 ekor anak kambing yang lahir secara selang seling,

sedangkan dalam penelitian Niken Pratna Paramita sistem bagi hasil yang

diterapkan dengan cara membagi anak kambing yang lahir secara bersamaan

yang akan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal. Namun di dalam penelitian

tersebut juga memiliki persamaan dengan penelitian peneliti yaitu berkaitan

dengan pemeliharaan hewan kambing dengan sistem bagi hasil.

19
Niken Pratna Paramita, “Analisis Ekonomi Islam Terhadap Sistem Bagi Hasil
Pemeliharaan Kambing Pada Masyarakat Muslim (Studi Kasus di Desa Merbuh Kecamatan
Singorojo)”, hlm. 17.
20
Ibid., hlm. 102.

15
Kedua Skripsi Nur Wahid yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Akad Bagi Hasil Pemeliharaan Hewan Kambing di Desa Argosari

Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen”. Di dalam skripsi nya membahas

mengenai akad bagi hasil pemeliharaan hewan kambing di Desa Argosari

Kecematan Ayah Kabupaten Kebumen.21

Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui serta

mendiskripsikan praktek bagi hasil dalam pemeliharaan hewan kambing di

Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen dan untuk mengetahui

pandangan hukum Islam terhadap akad bagi hasil pemeliharaan hewan

kambing di Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen.

Di dalam penelitian tersebut seorang pemilik kambing di Desa

Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen memiliki ternak kambing

dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga menyebabkan kesulitan untuk

memelihara kambing tersebut. Dari itu sang pemilik mencoba melakukan

sistem bagi hasil dengan seorang buruh yang merupakan warga setempat atau

tetangganya.

Dalam penelitian tersebut pemilik modal menyerahkan semua

kambingnya kepada pengelelola untuk di pelihara, mulai dari merawatnya,

memberi makan dan mengawinkan sampai kambing tersebut beranak pinak.

Dalam perjanjian tersebut si pengelola tidak akan mendapat upah kecuali dari

hasil penjualan kambing atau anak kambing yang telah lahir.

21
Nur Wahid, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pemeliharaan Hewan
Kambing (Studi Kasus di Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen)”, hlm. 12.

16
Dalam kesimpulan penelitiannya menyimpulkan bahwa, praktek akad

pemeliharaan hewan kambing dengan pemelihara telah memenuhi rukun dan

sayrat dalam bagi hasil Mudharabah. Walaupun tidak memastikan batas

waktu pemeliharaan dan segala bentuk perawatan. Karena bisa saja ketika

batas waktu tidak ditentukan, pemilik akan mempermainkan si pemelihara.22

Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam penelitian tersebut adalah

dengan membagi anak kambing yang lahir secara selang seling, anak

kambing yang dibagikan yakni seluruh anak yang lahir, namun apabila induk

kambing akan dijual sebelum melahirkan maka pemelihara akan diberikan

uang sesuai harga seekor anak kambing sebagai ganti atau upah.23

Sedangkan di dalam penelitian peneliti sistem bagi hasil yang

diterapkan adalah dengan mambagi 1 ekor anak kambing yang lahir secara

bergantian. Persamaan antara penelitian peneliti dengan penelitian Nur Wahid

adalah sisem bagi hasil yang cara pembagian hasilnya dengan membagi anak

kambing yang lahir secara selang seling, hanya saja didalam penelitian Nur

Wahid lebih fokus pada permasalahan yang disebabkan oleh pemilik

kambing, dimana pemilik kambing melakukan penjualan induk kambing yang

tidak lama lagi akan melahirkan dengan alasan karena ada keperluan

mendesak dan pemelihara hanya diberi imbalan sebesar Rp. 100.000 saja.24

22
Nur Wahid, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pemeliharaan Hewan
Kambing (Studi Kasus di Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen)”, hlm. 12
23
Ibid.
24
Nur Wahid, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pemeliharaan Hewan
Kambing (Studi Kasus di Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen)”, hlm. 13.

17
Ketiga Elinda dalam skripsinya yang berjudul “Pelaksanaan

Mudharabah Pemeliharaan Kambing Studi Kasus di Kecematan Padang

Sidipuan Angkola Julu”. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui pelaksanaan Mudharabah pemeliharaan kambing di Kecamatan

Padangsidimpuan Angkola Julu, dan mengetahui apakah sistem Mudharabah

pemeliharaan kambing di Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sesuai

ketentuan Mudharabah dalam hukum Islam.

Di dalam penelitian tersebut seorang pemiliki modal melakukan suatu

kesepakatan dengan seorang pengelola terkait untuk melakukan kerjasama

atau sistem bagi hasil dalam pemeliharaan kambing di Kecamatan

Padangsidipuan Angkola Julu. Di dalam penelitian tersebut sistem bagi hasil

ini cara yang mereka gunakan tidak dengan membayar dari hasil penjualan

kambing, atau upah dari pemilik kambing sebagai upah dan bentuk

keuntungan tang disepakati.

Di dalam penelitian sistem bagi hasil yang diterapkan yaitu dengan

membagi kambing dengan perhitungan membagi anak kambing yang lahir

secara bergantian, apabila anak kambing pertama lahir maka kambing

tersebut seluruhnya menjadi milik si pemilik modal, dan apabila kambing

melahirkan untuk yang kedua kalinya maka anak kambing tersebut dibagi

dua, yaitu kambing betina akan menjadi milik pemelihara, dan jantan untuk

pemilik modal.25

25
Elinda, “Pelaksanaan Mudharabah Pemeliharaan Kambing (Studi Kasus di Kecamatan
Padang Sidipuan Angkola Julu)”, hlm. 10.

18
Apabila terjadi kerugian maka semuanya akan ditanggung oleh

pemelihara, seperti apabila ada kambing terkena penyakit dan apabila ada

salah satu dari kambing pemilik kambing mati tanpa kelalaian dari

pemelihara, maka pemilik modal akan meminta sebagian uang apabila

kambing yang sudah menjadi mikik pemelihara dijual.

Dalam penelitian Elinda menyimpulkan bahwa Praktek pemeliharaan

hewan kambing di Kecematan Padang Sidipuan Angkola Julu dilakukan

secara lisan, dalam pelaksanan bagi hasil hewan kambing, pemelihara

bertanggung jawab penuh terhadap kambing yang di pelihranya. Jika ada

krugian maka kerugian akan dibebankan kepada nya. Karena dalam akad

mereka tidak menyepakati siapa saja yang akan menanggung resiko apabila

terjadi hal-hal yang merugikan kerja sama.26

Antara penelitian tersebut dengan penelitian peneliti memiliki

perbedaan, dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Elinda mencakup

permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh pemilik kambing. Di

mana dalam kesepakatan antara pemilik kambing dan pemelihara adalah

apabila anak kambing pertama lahir maka semua anak kambing tersebut

menjadi milik pemilik modal dana anta kedua lahir maka pemelihara akan

mendapatkan kan kambing betina dan pemilik moda akan mendapat kambing

jantan.

Sedangkan di dalam penelitian peneliti sistem bagi hasil yang

diterapkan adalah dengan mambagi 1 ekor anak kambing yang lahir secara

26
Ibid., hlm. 74.

19
selang seling dan membagi hasil dari penjualan kambing. Persamaan antara

penelitian peneliti dengan penelitian Elinda adalah sisem bagi hasil yang cara

pembagian hasilnya dengan membagi anak kambing yang lahir secara selang

seling.

Keempat dalam jurnal Ade Nuryana yang berjudul “Penerapan Akad

Mudharabah Pada Hewan Ternak Sapi Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup

Masyarakat di Desa Lalundu Di Tinjau Dalam Hukum Islam” yang

mendiskripsikan penerapan akad Mudharabah pada hewan ternak sapi dalam

meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa Lalundu, dan menjelaskan

tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan akad Mudharabah pada hewan

ternak sapi dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa Lalundu.27

Di dalam penelitian tersebut menerangkan seorang pemilik sapi yang

melakukan sebuah perjanjian dengan seorang pemelihara untuk melakukan

kerjasama yaitu pemeliharaan sapi dengan sistem bagi hasil di Desa Lalundu.

Kegiatan ternak sapi yang dilakukan oleh masyarakat Lalundu Kecamatan

Rio Pakava Kabupaten Donggala, pada pelaksanaannya terdapat konsep

kerjasama yang sudah jelas dan dibenarkan oleh Syara selamaw kegiatan

usaha tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.28

Pada konsepnya, dimana antar individu atau kelompok manusia yang

melakukan ternak sapi tersebut terjalin ijab qabul yang menimbulkan akibat

27
Ade Nuryana, “Penerapan Akad Mudharabah Pada Hewan Ternak Sapi Dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat di Desa Lalundu Ditinjau Dalam Hukum Islam” jurnal
Universitas Muhammadiyah Palu Vol. 15, No. 01 (2020): hlm. 36.
28
Ade Nuryana, “Penerapan Akad Mudharabah Pada Hewan Ternak Sapi Dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat di Desa Lalundu Ditinjau Dalam Hukum Islam” jurnal
Universitas Muhammadiyah Palu Vol. 15, No. 01 (2020): hlm. 39

20
hukum dari kegiatannya, yakni pihak pemilik modal meyatakan kehendaknya

dalam menyerahkan modalnya berupa hewan sapi kepada orang yang

menjalankan kegiatan kerjasama ternak sapi.29

Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam kegiatan pemeliharaan hewan

sapi ini yaitu akan membagi anak dari sapi secara adil apanila sapi terebut

melahirkan, atau akan dapat juga berupa bentuk uang hasil dari penjualan sapi

tersebut. Kemudian dari perikatan berikut tersebut menimbulkan akibat

hukum dari perjanjian perikatan terhadap objeknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ade Nuryana memiliki perbedan

dengan penelitian peneliti, dimana penelitian yang dilakukan peneliti lebih

terfokus pada hewan ternak kambing, sedangkan pada penelitian Ade

Nuryana lebih terfokus pada hewan ternak sapi. Persamaan antara penelitian

Ade Nuryana dengan penelitian Peneliti adalah pemeliharaan hewan ternak

dengan sistem bagi hasil (Mudharabah).

Penelitian-penelitian di atas mempunyai kesamaan dengan penelitian yang peneliti


lakukan yaitu tentang pemeliharaan hewan kambing dengan sistem bagi hasil.
Namun dalam penelitian yang peneliti lakukan lebih mengkhususkan sistem bagi
hasil pada pemeliharaan hewan kambing di Desa Kartiasa Kecematan Sambas
yang ditinjau dari hukum Islam, di mana dalam pelaksanaan bagi hasil tersebut
pemelihara berhenti tanpa seizin dengan pemilik modal.

29
Ibid.

21

Anda mungkin juga menyukai