Anda di halaman 1dari 75

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KERJASAMA PERTANIAN

DI DESA BEDINGIN KECAMATAN SAMBIT KABUPATEN


PONOROGO

SKRIPSI

Oleh :

ELGA FALIDIA NAVIRI


NIM: 210214302

Pembimbing:
NISWATUL HIDAYATI, M.HI.
NIP : 198110172015032002

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2018
ABSTRAK

Naviri, Elga Falidia. 2018. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kerjasama Pertanian
Di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo. Skripsi.
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing Niswatul Hidayati,
M.HI.

Kata kunci : kerjasama, mud}a>rabah, bagi hasil

Dalam kehidupan manusia interaksi muamalah ditemukan berbagai jenis


kerjasama untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satunya adalah praktek kerjasama
permodalan pertanian dengan akad mud}a>rabah dengan pembayarannya
menggunakan hasil pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten
Ponorogo. Mud}a>rabah adalah bentuk kerjasama yang dilakukan dua orang atau
lebih dimana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola.
Dalam kerjasama pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten
Ponorogo pembayaran dilakukan pada saat panen dengan kerugian hanya
ditanggung oleh salah satu pihak yaitu petani. Selain itu hasil dari pertanian harus
dijual kepada pemilik modal guna untuk menjadi jaminan jika terjadi gagal panen.
Karena dasar itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang praktek
pelaksanaan kerjasama permodalan pertanian di Desa Bedingin.
Penelitian ini merumuskan masalah dan tujuannya hendak mengetahui (1)
Bagaimana perhitungan bagi hasil di Desa Bedingin Kecamatan Sambit
Kabupaten Ponorogo, (2) Tinjauan Hukum Islam terhadap penanggungan kerugian
di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) untuk
mencapai tujuan tersebut penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu
tata cara penelitian dengan menggunakan pengamatan atau wawancara.
Dari adanya penelitian tersebut penulis menyimpulkan bahwa 1) perhitungan bagi
hasil telah sesuai dengan ketentuan prinsip mud}a>rabah karena dalam pembagian bagi
hasil sesuai dengan proporsi yang telah disepakati oleh para pihak diawal
kerjasama 2) penanggungan kerugian dalam kerjasama pertanian tersebut belum
sesuai dengan hukum Islam karena syarat perjanjian mengenai penanggungan
kerugian masih dibebankan kepada salah satu pihak yaitu mud}a>rib maka dalam
penanggungan kerugian tidak sesuai dengan muamalah dalam Islam.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup

dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosisal, dalam hidupnya manusia

memerlukan adanya manusia lain yang bersama-sama hidup dalam

masyarakat. Manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya

orang lain. Dalam konteks ini terjadilah pergaulan antar manusia dalam

rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan individu

maupun sosial. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan

dalam hubungannya dengan orang lain disebut muamalah.1 Aturan yang

terkait dengan persoalan muamalah dalam arti sempit dikenal dengan fiqh

muamalah, yaitu hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia

dalam persoalan-persoalan keduniaan. Dalam praktiknya, ajaran tentang

muamalah ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran aqidah dan akhlak. Islam

memberikan perhatian yang besar terhadap masalah muamalah. Karena,

tujuan dari ekonomi Islam adalah untuk mengkaji kesejahteraan manusia.2

Ruang lingkup muamalah ada dua macam, yaitu muamalah adabiyah

dan muamalah madiyah. Muamalah Adabiyah adalah muamalah yang

mengkaji dari segi subjeknya, yaitu aktivitas manusia sebagai pelaku,

1
Muhamad, Metodologi Penelitian Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonosia, 2003),
42.
Neneng Nurhasanah, Mud}a>rabah dalam Teori dan Praktik (Bandung: PT Refika Aditama,
2

2015), 1.
1
2

contohnya saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak

dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu

yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran

harta dalam hidup bermasyarakat. Muamalah madiyah adalah jual beli (al-

ba’i al-tija>rah), gadai (al-rahn), pemindahan hutang (hiwa>lah), perkongsian,

(al-syirkah), perseroan dan tenaga (al- Mud}a>rabah), dan lain-lain. Kegiatan

ekonomi sebagai salah satu aspek hukum dalam muamalah merupakan tabiat

manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.3 Dengan demikian dalam

ajaran muamalah dalam Islam yang objeknya harta tidak hanya dibahas

masalah hukumnya, tetapi dimulai dari hal yang paling mendasar sampai

pada tatanan praktisnya, seperti mengimplementasikan akad mud}a>rabah

dalam hubungan kerjasama di bidang ekonomi.

Mud}a>rabah adalah akad kerjasama usaha di antara dua pihak dimana

pihak pertama (shahibul ma>l) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak

lain menjadi pengelola. Secara mud}a>rabah, keuntungan usaha dibagi menurut

kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.4 Menurut para fuqaha

mud}a>rabah adalah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah

satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan

dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan seperti setengah atau

sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.5 Melakukan mud}a>rabah

adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang

3
Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 195.
4
Neneng Nurhasanah, Teori dan Praktik, 68.
5
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), 135.
3

diriwayakan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a. bahwasanya Rasulullah

bersabda:

ِ‫ِت َوَالَ ِلَلبَيْع‬ َّ ‫ُط ْالب ُِر ِِبال‬


ِ ‫َّش ِِعي ِْر ِلَلبَ ْي‬ ُ َ‫َضةُ َو ََخَل‬ ْ ‫ث فِ ْي ِه َّن ْال َب َر َكةُ ْال َب ْي ُع ِإلَى ا َ َج ٍل‬
َ ‫وال ُمَقَا ََر‬ ٌ َ‫ثَال‬

Artinya: “Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan,
memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan
untuk dijual.” 6

Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila

memberi modal kepada seseorang dia mensyaratkan: “harta jangan digunakan

untuk membeli binatang, jangan bawa ke laut, dan jangan dibawa

menyeberangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan

itu, maka kamu harus bertanggung jawab atas hartaku.”

Secara ekplisit, Al-Qur’an tidak menyebutkan mud}a>rabah sebagai satu

bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam Islam. Kerjasama dalam

permodalan (mud}a>rabah) diberlakakukan pada zaman Rasulullah saw dan

beliau merestuinya.7 Kerjasama permodalan (mud}a>rabah) disyariatkan oleh

firman Allah dalam Al-Qur’an:

َّ ‫ض ِل‬
‫ّللا‬ ِ ‫َوآَخ َُرونَ يَض ِْرِبُونَ فِي ْاْل َ َْر‬
ْ َ‫ض يَ ْبتَغُونَ ِم ْن ف‬
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia

Allah” (QS. Muzammil : 20)8

6
Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy Ibnu Majah, Sunan Ibnu
Majah, Juz 3, Beirut: Darul-Fikr, 1992, hlm. 768.
7
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
141.
8
Al-Qur’an, 29:20
4

Hukum mud}a>rabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan

keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mud}a>rabah

juga tergantung pada keadaan. Ketetapan hukum Islam berkaitan dengan

muamalah sebagian merupakan penetapan dan penegasan kembali atas

praktik-praktik yang telah berlangsung pada masa sebelum Islam.

Karena mud}a>rabah merupakan kegiatan yang bermanfaat dan

menguntungkan sesuai dengan ajaran pokok syariah, maka tetap

dipertahankan dalam ekonomi Islam.9

Di dalam mud}a>rabah, pemodal menyerahkan modal kepada pengelola

untuk usaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada pemodal dan pengelola

dengan presentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih. Pengelola

tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal dari

pemodal kembali 100%. Jika modal telah kembali, barulah dibagi keuntungan

sesuai presentase yang disepakati. Di dalam mud}a>rabah kedua belah pihak

selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk

rugi. Jika terjadi kerugian, maka pemodal kehilangan/berkurang modalnya,

dan pengelola tidak mendapatkan apa-apa. Jika terjadi kerugian, maka

pemodal tidak boleh menuntut pengelola apabila pengelola telah benar-benar

bekerja dengan jujur sesuai kesepakatan.10

9
Dian Fitriana, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Antara Pemilik dan Pengelola
Sapi di Desa Tanjung Gunung Kecamatan Badegan Kabupaten Ponorogo,” Skripsi (Ponorogo:
IAIN Ponorogo, 2010), 5.
10
Said Yai, ”Produk Al- Mud}a>rabah (Bagi Hasil) Dalam Islam Sebagai Solusi
Perekonomian Islam,” dalam https://pengusahamuslim.com/3833-al-mudharabah-bagi-hasil-
sebagai-solusi-perekonomian-islam.html/, (diakses pada tanggal 11 Mei 2018, jam 18.20).
5

Di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten sebagian

masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Dalam sektor pertanian

yang lebih dominan dikarenakan permintaan padi setiap tahunnya meningkat

dan menjadi komoditas pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar. Dalam hal

ini, masyarakat Desa Bedingin ada yang menggunakan modal sendiri, tetapi

banyak juga yang bekerjasama dengan pemodal dalam mendapatkan modal

untuk melakukan kegiatan bertani. Pemodal disini bersifat perorangan yaitu

dari warga masyarakat yang mempunyai modal untuk diberikan kepada

masyarakat Desa Bedingin yang membutuhkan modal. Kerjasama yang

dilakukan oleh pemodal dengan petani di Desa Bedingin yang membutuhkan

modal menggunakan akad mud}a>rabah. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa

pemodal menyerahkan sejumlah modal kepada masyarakat Desa Bedingin

sebagai modal untuk memulai kegiatan pertanian.

Akad yang dilakukan oleh pemodal dan petani masyarakat Desa

Bedingin dengan perjanjian kedua belah pihak, yang biasanya keuntungan

dibagi sesuai nisbah bagi hasil yang telah disepakati, yaitu 25% untuk

pemodal dan 75% untuk petani. Selain itu juga ada perjanjian lain yang

dijadikan syarat untuk petani dalam mendapatkan modal, yaitu dengan

menjual hasil pertanian kepada pemodal dengan harga sedikit dibawah

pasaran. Jika petani tidak menjual hasil panennya kepada pemodal maka,

pemodal tidak akan memberikan modal kepada petani Desa Bedingin, serta

tahun selanjutnya petani juga tidak akan pernah mendapatkan modal

pertanian. Biasanya, dalam sistem kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat


6

Desa Bedingin adalah dengan memberikan sejumlah uang dari pemodal

kepada petani untuk menggarap sawah. Pengembalian modal dilakukan pada

saat panen.11

Namun apabila hasil pertanian gagal panen atau tidak mendapatkan

hasil maksimal maka petani harus mengembalikan modal dengan menambah

perkiraan nisbah bagi hasil yang telah di sepakati. Praktik kerjasama seperti

ini cukup memberatkan para petani, karena tidak ada kebebasan dalam

menentukan hak untuk pengembalian modal dan bagi hasil. Praktik kerjasama

seperti ini sudah berjalan beberapa tahun terakhir yaitu sekitar 5 tahunan yang

dilakukan oleh masyarakat Desa Bedingin. Hal ini dilakukan karena para

petani terkadang mengalami kesulitan dana untuk menggarap sawah karena

semakin meningkatnya harga kebutuhan seperti obat-obatan dan bibit

pertanian. Hal ini lah yang menyebabkan masyarakat melakukan kerjasama

dengan pemilik modal untuk usaha pertanian mereka.

Menurut penulis dalam praktik tersebut ada ketidakadilan yang terjadi,

karena dalam kerjasama ini pihak yang lebih diuntungkan adalah pemilik

modal saja, dimana pemilik modal memberi persyaratan-persyaratan yang

harus dipenuhi oleh masyarakat petani dalam kerjasama yang dilakukan oleh

kedua belah pihak. Dan kerugian hanya di tanggung oleh satu pihak saja yaitu

pengelola modal (petani).

11
Suharjito, Hasil wawancara, 28 April 2018.
7

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis

skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kerjasama

Pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan pokok

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perhitungan bagi hasil dalam kerjasama pertanian di Desa

Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penanggungan kerugian dalam

kerjasama pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten

Ponorogo?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perhitungan bagi hasil terhadap akad kerjasama

pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penanggungan kerugian

terhadap akad kerjasama pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit

Kabupaten Ponorogo

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti

dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam hukum Islam yang

berkaitan dengan bidang mu’amalah dan khususnya yang berkaitan

dengan mud}a>rabah (kerjasama) serta dapat memberikan pemahaman


8

kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa muamalah dalam mempelajari

praktik kerjasama dalam bidang pertanian yang sesuai dengan syariat

Islam.

2. Secara Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai pedoman dalam

melakukan aktivitas perekonomian khususnya dalam hal kerjasama

pemberian modal dalam pertanian di Desa Bedingin Kecamatan

Sambit Kabupaten Ponorogo.

b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan pemahaman studi

Islam dalam bidang mu’amalah bagi mahasiswa syariah umumnya dan

khususnya bagi mahasiswa jurusan mu'amalah.

E. Telaah Pustaka

Pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran

hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang pernah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga diharapkan tidak ada

pengulangan materi penelitian secara mutlak.

Pertama, Skripsi yang sudah ada berkaitan dengan pelaksanaan bagi

hasil penggarapan sawah adalah penelitian dari Muh. Ashar Arman dengan

judul “Sistem Bagi Hasil Penggarapan Sawah Di Desa Julubori Kecamatan

Pallangga Menurut Hukum Islam” tahun 2013. Dalam skripsi ini dibahas

tentang penggarapan sawah dengan sistem bagi hasil menurut hukum adat.

Dalam skripsi ini kerjasama yang dilakukan oleh pemilik tanah dan pengelola

adalah dengan sistem bagi hasil. Sistem pelaksanaan bagi hasil yang
9

diterapkan dalam penelitian ini dikenal dengan istilah Bageanna dimana

pemilik sawah menyerahkan lahan tersebut kepada penggarap untuk di kelola.

Pemilik tanah mendapatkan satu bagian dan penggarap mendapat dua bagian

dengan syarat penggarap menanggung bibit, obat-obatan dan hal-hal yang

dibutuhkan dalam lahan tersebut. Dalam skripsi ini pelaksanaan bagi hasil

dilaksanakan setelah panen dan dilakukan secara adil sesuai dengan

kesepakatan. Pelaksanaan sistem bagi hasil yang dipraktekkan masyarakat

adalah salah satu bentuk kerjasama yang menguntungkan, maka

diperbolehkan oleh syara’ karena telah dikenal dalam ajaran Islam dengan

istilah muza}ra’ah serta sudah dipraktekkan oleh Rasululloh saw.12

Kedua, Jurnal dari penelitian Unggul Priyadi dan Jannahar Saddam Ash

Shidiqie dengan judul “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Pertanian Lahan

Sawah Studi di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Yogyakarta” tahun

2015. Dalam penelitian ini dibahas tentang bagi hasil yang dilakukan oleh

pemilik sawah dengan buruh tani, tetapi pemilik sawah tidak ingin terlibat

dalam penggarapan sawah. Perjanjian bagi hasil lahan sawah didalam

penelitian ini secara umum dilakukan dengan lisan dan jangka waktu

perjanjian tidak ditetapkan secara jelas. Timbangan bagi hasil yang digunakan

secara umum adalah maro (setengah untuk penggarap dan setengah untuk

12
Muh. Ashar Arman, Sistem Bagi Hasil Penggarapan Sawah Di Desa Julubori Kecamatan
Pallangga Menurut Hukum Islam Skripsi UIN Alauddin Makassar, 2013.
10

pemilik sawah) dengan seluruh biaya produksi ditanggung sepenuhnya oleh

penggarap dan hasil panen langsung dibagi dua.13

Ketiga skripsi dari penelitian Supriani dengan judul “Pelaksanaan

Sistem Kerjasama di Bidang Pertanian (Muza}ra’ah) Menurut Prespektif

Ekonomi Islam (studi kasus kecamatan Lubuk dalam kabupaten Siak) tahun

2012. Dalam skripsi ini dibahas tentang muza}ra’ah dengan sistem akad yang

dilakukan secara tidak tertulis. Dan dalam skripsi ini dijelaskan bahwa yang

menjadi objek adalah berupa lahan yang dimiliki oleh pemodal serta

pengelola mendapat kewenangan menggarap lahan tersebut, kemudian dalam

akad tidak disebutkan batasan waktu penggarapan pertanian. Serta dalam

skripsi ini dijelaskan bahwa adanya beberapa petani yang tidak jujur terhadap

hasil panen yang dihasilkannya. Dalam hal ini hal tersebut melanggar

perjanjian dan merugikan pemilik lahan. Dalam kerjasama ini mengandung

unsur gharar dan tidak ada kejelasan pembagian bagi hasil antara kedua belah

pihak 14

Berdasarkan uraian dari beberapa hasil penelitian terdahulu maka dapat

diketahui bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti memiliki

perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian yang akan dibahas

oleh peneliti adalah membahas mengenai akad kerjasama pertanian dengan

akad mud}a>rabah dengan objek yang digunakan adalah berupa uang yang akan

13
Unggul Priyadi, Jannahar Saddam,Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Pertanian Lahan
Sawah Studi di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Yogyakarta, Jurnal Millah, Vol. XV. No
1, 2015.
14
Supriani, Pelaksanaan Sistem Kerjasama di Bidang Pertanian (Muzara’ah) Menurut
Prespektif Ekonomi Islam (studi kasus kecamatan Lubuk dalam kabupaten Siak), Skripsi UIN
Sultan Syarif Kasim Riau, 2012.
11

digunakan oleh pengelola. Dalam skripsi yang akan penulis teliti juga ada

perbedaan masalah dengan penelitian terdahulu yaitu, dengan

menanggungkan kerugian terhadap satu pihak saja dengan presentase yang

ditentukan oleh pihak pemodal saja. Selain itu, penulis juga akan meneliti

proses akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak serta pembagian nisbah

bagi hasil yang ditentukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam atau tidak.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam kajian obyek penelitian,

serta memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian yang peneliti

harapkan, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Dan Pendekatan Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian lapangan

(field reserch), yakni suatu penelitian yang dilakukan pada suatu

kejadian yang benar-benar terjadi. Dalam hal ini realitas hidup yang ada

di lapangan menjadi unsur terpenting dalam kajian yang dilakukan.

Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperlajari secara intensif

latar belakang keadaan dan posisi saat ini15

b. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu tata cara penelitian

dengan menggunakan pengamatan atau wawancara. Metode penelitian

15
Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Muamalah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2010), 6.
12

dengan pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang lebih

menenkankan pada aspek proses suatu tindakan dilihat secara

menyeluruh dan memiliki karakteristik alami sebagai sumber data

langsung. Semua penelitian bersifat alamiah, oleh karena itu semua

peneliti harus berbekal teori. Dalam penelitian kualitatif peneliti harus

mampu mengorganisasikan semua teori yang dibaca.16 Sedangkan

pembahasannya secara deduktif, yaitu analisa data untuk memperoleh

sebuah kesimpulan dimulai dari pertanyaan umum menuju pertanyaan

khusus dengan menggunakan penalaran.17

2. Lokasi Penelitian

Untuk melakukan penelitian, lokasi yang diambil oleh peneliti dalam

penulisan terkait skripsi yaitu, penelitian dilakukan di Desa Bedingin

Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo. Karena, di Desa Bedingin adalah

salah satu wilayah yang melakukan kerjasama permodalan antara seorang

pemodal dan petani yang menurut peneliti masih banyak masalah yang

perlu diteliti.

3. Data Dan Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian ini diambilkan dari informasi

yang didapat dari beberapa informan, yaitu:

a. Petani, adalah yang memerlukan modal dan yang akan mengelola

modal dari pemodal.

16
Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung:
ALFABETA, 2017), 213.
17
Muhaji Neon, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Bayu Indra Grafindo, 1999),
17.
13

b. Pemilik Modal, yang memberikan modal kepada para petani yang

membutuhkan modal untuk mengelola sawah.

c. Warga sekitar yang memahami masalah bagi hasil antara pemilik

modal dan para petani

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan

data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak

akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah sebagi berikut:

a. Teknik Wawancara

Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk

bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat

dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam proses

wawancara ini, penulis akan bertanya langsung dengan pihak yang

bersangkutan yaitu pemodal dan pengelola di Desa Bedingin

Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.

b. Teknik Observasi

Observasi atau pengamatan secara langsung yaitu

melakukan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian.

Karena teknik pengamatan ini memungkinkan melihat dan


14

mengamati sendiri kemudian mencacat kejadian sebagaimana yang

terjadi pada keadaan yang sebenarnya.18

5. Teknik Pengolahan Data

a. Editing, yaitu pemeriksaan semua data yang diperoleh terutama

dari segala kelengkapan, keterbatasan, kejelasan makna, kesesuaian

dan keselarasan antara yang satu dengan yang lain, relevansi dan

keseragaman satuan atau kelompok data. Pada tahap ini dilakukan

pemeriksaan data yang diperoleh dari proses pengumpulan data

berupa observasi dan wawancara yang akan disesuaikan dengan

rumusan masalah yang dibahas yang berkaitan dengan praktik

kerjasama permodalan pertanian yang dilakukan oleh warga Desa

Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo dan juga nisbah

bagi hasil yang dilakukan.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data-data yang

direncanakan sebelumnya, kerangka tersebut dibuat berdasarkan

data yang diperoleh dan relevan dengan sistematika pertanyaan-

pertanyaanya dalam perumusan masalah.19 Pada tahap ini

dilakukan pengelompokan data yang telah diperoleh yang

berkaitan dengan praktik kerjasama permodalan pertanian yang

dilakukan oleh warga Desa Bedingin Kecamatan Sambit

Kabupaten Ponorogo dan juga nisbah bagi hasil yang dilakukan.

18
Lexy J. Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif. cet, ke-XXIII (Bandung: Raja
Resdakarya, 2007), 174.
19
Aji Damanuri, Penelitian Muamalah, 61.
15

c. Penemuan Hasil Riset, yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap

hasil pengorganisasian riset dengan menggunakan kaidah-kaidah

dan dalil-dalil yang sesuai, sehingga diperoleh suatu kesimpulan

sebagai pemecahan dari rumusan yang ada.20 Pada tahap ini

dilakukan analisa antara yang data telah diperoleh dari lapangan

praktik kerjasama permodalan pertanian yang dilakukan oleh

warga Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo dan

juga nisbah bagi hasil yang dilakukan.

6. Analisis Data

Teknik Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini

dengan menggunakan metode induktif. Metode induktif yaitu suatu

penelitian yang berangkat dari kasus-kasus bersifat khusus berdasarkan

pengalaman nyata (ucapan atau perilaku subyek penelitian atau situasi

lapangan penelitian) untuk kemudian kita rumuskan menjadi model,

konsep, teori, prinsip, proposisi, atau definisi yang bersifat umum.

7. Keabsahan Data

Dalam penelitian ini akan menggunakan teknik pengecekan data

dengan teknik triangulasi yaitu penelitian akan menguji kredibilitas

dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa

sumber. Teknik ini salah satunya dappat dicapai dengan

membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

G. Sistematika Pembahasan

20
Bambang Sungono, Methodologi Penelitian Hukum Suatu Pengatar (Jakarta: PT Praja
Grafindo Persada, 2002), 129.
16

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka penulis

mengelompokkan menjadi lima bab, dan masing-masing bab menjadi

beberapa sub bab. Semuanya itu merupakan suatu pembahasan yang utuh,

yang saling berkaitan dengan yang lainnya, sistematika pembahasan tersebut

adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pola dasar dari keseluruhan laporan penelitian.

Dimulai dengan latar belakang masalah untuk mendiskripsikan

alasan penelitian dilakukan. Dilanjutkan dengan rumusan masalah

yang berguna membantu peneliti mengarahkan focus kajian yang

dilakukan. Kemudian tujuan penelitian dan manfaat penelitian

untuk mengetahui dapat atau tidaknya penelitian ini menghasilkan

temuan. Selanjutnya telaah pustaka untuk menentukan posisi

penelitian dan untuk membedakan penelitian ini dengan

penelitian yang terdahulu. Kemudian metode penelitian dan

sistematika pembahasan dalam penelitian ini

BAB II : TINJAUAN UMUM AKAD KERJASAMA (Mud}a>rabah)

Bab ini memuat mengenai landasan teori yang membahas dan

menjelaskan terkait dengan teori penemuan hukum dari segi

pengertian mud}a>rabah, rukun dan syarat mud}a>rabah, dasar hukum

mud}a>rabah, hal-hal yang dapat membatalkan mud}a>rabah, dan

konsep bagi hasil dalam mud}a>rabah.

BAB III : PRAKTIK KERJASAMA PERTANIAN DI DESA


17

BEDINGIN KECAMATAN SAMBIT KABUPATEN

PONOROGO

Dalam Bab ini akan dipaparkan mengenai temuan penelitian yang

membahas tentang letak geografis Desa Badingin. Gambaran

umum objek penelitian, praktik kerjasama sekaligus nisbah bagi

hasil yang diterapkan pada praktik kerjasama pertanian.

BAB IV :TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KERJASAMA

PERTANIAN DI DESA BEDINGIN KECAMATAN SAMBIT

KABUPATEN PONOROGO

Bab ini berfungsi menganalisis bagaimana tinjauan hukum Islam

terhadap praktik pembagian bagi hasil dalam kerjasama pertanian

di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo antara

pemodal dan petani, dan juga penanggungan kerugian.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab paling akhir dari pembahasan skripsi

analisis yang berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan,

saran-saran dan juga penutup


BAB II
TINJAUAN UMUM AKAD MUD}A>RABAH

A. Pengertian mud}a>rabah

Mud}a>rabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak

zaman Nabi, bahkan dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya

Islam. Ketika Nabi Muhammad Saw. berprofesi sebagai pedagang, ia

melakukan akad mud}a>rabah dengan Khadijah. 1Mud}a>rabah berasal dari

kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau

berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakan kakinya

dalam menjalankan usaha. Mud}a>rabah merupakan bahasa Irak, sedangkan

Bahasa penduduk Hijaz menyebut dengan istilah qirad}2

Menurut bahasa, mud}a>rabah atau qirad} menurut beberapa ulama

yaitu, menurut para fuqaha, mud}a>rabah ialah akad antara dua pihak saling

menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain

untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari

keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang

telah ditentukan. Kajian tentang mud}a>rabah tidak terlepas dengan

masalah perdagangan. Oleh karena itu, mud}a>rabah berhubungan dengan

qirad} yang berarti menyerahkan modal kepada seseorang untuk

diperdagangkan dan keuntungan dibagi sesuai dengan perjanjian ketika

1
Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 204.
2
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
141.

18
19

akad terjadi. Karena kedekatan arti antara mud}a>rabah dengan qirad}, maka

dalam fikih, mud}a>rabah disebut juga qirad}.3

Menurut Hanafiyah, mud}a>rabah adalah memandang tujuan dua

pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba) karena harta

diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.

Maka mud}a>rabah atau qirad} ialah akad antara pemilik modal (harta)

dengan pengelola harta tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan

diperoleh kedua belah pihak sesuai dengan jumlah kesepakatan.4

Secara istilah, para ulama’ mengartikan mud}a>rabah dengan redaksi

yang berbeda. Akan tetapi, substansinya sama, yaitu suatu bentuk

kerjasama antara pemilik modal (shahibul ma<l) dan pengelola modal

(mud}a>rib) dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama.

Mud}a>rabah adalah penyerahan harta dari pemilik modal kepada pihak

pengelola untuk digolangkan, keuntungan dibagi bersama sesuai dengan

kesepakatan yang telah disepakati, sedangkan kerugian hanya ditanggung

oleh pemilik modal. Pengelola tidak menanggung kerugian material

karena dia telah menanggung kerugian lain berupa waktu dan tenaga.5

Muhammad Umer Chapra, seorang pakar ekonomi dari Pakistan

mengartikan mud}a>rabah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana salah

satu mitra disebut shahibul ma<l atau rubbul ma<l (penyedia dana) yang

3
Saipudin Shidiq, Fikih Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), 254.
4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008),138.
5
Neneng Nurhasanah, Mud}a>rabah (Bandung: PT Refika Aditama, 2015), 67.
20

menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif,

sedangkan mitra lain disebut mud}a>rib yang menyediakan keahlian usaha

dan manjemen untuk menjalankan perdagangan atau jasa dengan tujuan

mendapatkan laba.6

Dalam Ensklopedia Fiqh Umar, pengertian mud}a>rabah dirumuskan

dengan kalimat berikut: “Mud}a>rabah yaitu persekutuan antara dua orang

dimana modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lain, sedangkan

untungnya akan dibagi diantara mereka berdua sesuai kesepakatan,

sementara kerugian ditanggung sendiri oleh pihak pemodal”.7

Mud}a>rabah merupakan suatu bentuk kontrak kerjasama yang lahir

sejak zaman Rasulullah SAW sejak zaman jahiliyah. Dan Islam

menerimanya dalam bentuk bagi hasil dan investasi.8 Dari pengertian

sederhana tersebut dapat dipahami bahwa kerjasama ini adalah modal di

satu pihak dan tenaga dipihak lain. Pekerja dalam hal ini bukan orang

upahan tetapi adalah mitra kerja karena yang diterimanya itu bukan jumlah

tertentu dan pasti sebagaimana yang berlaku dalam upah mengupah, tetapi

bagi hasil dari apa yang diperoleh dalam usaha.9

B. Dasar Hukum mud}a>rabah

6
Neneng Nurhasanah, 69.
7
Ibid., 68.
8
Zaenudin A. Naufal, Fikih Muamalah Klasik dan KontemporerI (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), 141.
9
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2003), 245.
21

Sebelum Islam datang, mud}a>rabah telah dilaksanakan oleh

masyarakat saat itu. Jenis muamalah ini telah dikenal pada masa

jahiliyah. Kemudian, Islam menetapkan (membolehkan) mud}a>rabah ini

karena terdapat maslahah di dalamnya.10 Dasar hukumnya adalah sebuah

hadits yang diriwayakan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a. bahwasanya

Rasulullah bersabda:

ِ‫ت َوالَ ِللبَيْع‬ َّ ‫ط ْالب ُِر بِال‬


ِ ‫ش ِعي ِْر ِللبَ ْي‬ ُ َ‫ضةُ َو َخل‬ ْ ‫ث فِ ْي ِه َّن ْالبَ َر َكةُ ْالبَ ْي ُع إِلَى ا َ َج ٍل‬
َ ‫وال ُمقَا َر‬ ٌ َ‫ثَال‬

Artinya: “Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan,
memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga,
bukan untuk dijual.”11

Secara eksplisit, Al-Qur’an tidak menyebutkan mud}a>rabah sebagai

satu bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam Islam. Secara umum,

beberapa ayat menyiratkan kebolehannya dan para ulama menjadikan

beberapa ayat tersebut sebagai dasar hukum mud}a>rabah.12 Ayat-ayat

tersebut terdapat dalam Firman Allah QS. Al-Maidah {[5]: 1:

            

            

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan


bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut kehendaknya.”

10
Nurhasanah, Mud}a>rabah ,70.
11
Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy Ibnu Majah, Sunan Ibnu
Majah, Juz 3, Beirut: Darul-Fikr, 1992, hlm. 768.
12
Nurhasanah, Mud}a>rabah ,71.
22

Sementara itu, Wahbah al-Zuhayli< menjelaskan bahwa yang

menjadi dasar Al-Qur’an mengenai akad mud}a>rabah ini adalah QS. Al-

Muzzammil [73]:20:

َّ ‫ض ِل‬
ِ‫ّللا‬ ِ ‫َوآخ َُرونَ َيض ِْربُونَ ِفي ْاْل َ ْر‬
ْ َ‫ض َي ْبتَغُونَ ِم ْن ف‬

“Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari sebagian karunia

Allah” (QS. Muzammil : 20)13

Mud}a>rabah menurut Ibn Hajr telah ada sejak zaman Rasulullah,

beliau telah mengikutinya, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Nabi

Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Nabi Muhammad telah

mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik

Khadijah ra. yang kemudian menjadi istri beliau.14

Mud}a>rabah diqiyaskan kepada al-musya<qah (menyuruh seseorang

untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan

ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat

mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau

bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya

mud}a>rabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan golongan di

atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi

kebutuhan mereka.15

13
Al-Qur’an 29:20
14
Sohari Sahri dan Ru’fah Abdullah, Fiqh Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 191.
15
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 226.
23

C. Rukun dan Syarat mud}a>rabah

Rukun mud}a>rabah adalah pemodal, pengelola, modal, nisbah

keuntungan, dan shighat atau akad.

1. Pemodal dan Pengelola

a. Pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah

secara hukum

b. Keduanya harus mampu bertindak sebagai wakil dan kafil dari

masing-masing pihak

c. Shighat yang dilakukan bisa secara ekplisit dan implisit yang

menunjukan tujuan akad

d. Sah sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan dalam penawaran,

dan akad bisa dilakukan secara lisan atau verbal, secara tertulis

mauupun ditandatangani.16

2. Modal

Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana

kepada pengelola untuk tujuan menginvestasikannya dalam aktivitas

mud}a>rabah. Untuk itu, modal disyaratkan harus:

a. Dinyatakan dengan jelas jumlah dan jenisnya (yaitu mata uang).

Apabila modal berbentuk barang, maka barang tersebut harus

dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar (atau

sejenisnya)

16
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjain dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 175.
24

b. Harus berbentuk tunai bukan piutang (namun sebagian ulama

membolehkan modal mud}a>rabah berbentuk aset perdagangan,

misalnya inventory)

c. Harus diserahkan kepada mud}a>rib untuk memungkinkannya

melakukan usaha.17

3. Keuntungan

Adalah keuntungan yang didapat sebagai kelebihan dari modal.

Keuntungan adalah tujuan akhir mud}a>rabah. Keuntungan

dipersyaratkan sebagai berikut:

a. Harus dibagi untuk kedua belah pihak

b. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam presentase dari

keuntungan yang mungkin dihasilkan nantinya

c. Rasio presentase (nisbah) harus dicapai melalui negosiasi dan

dituangkan dalam kontrak

d. Waktu pembagian keuntungan dilakukan setelah mud}a>rib

mengembalikan seluruh (atau sebagian) modal kepada shahibul

ma<l.18

Adapun syarat-syarat mud}a>rabah adalah sebagai berikut:

1. Bagi pihak yang berakad, harus cakap bertindak hukum dan cakap

diangkat sebagai wakil (bagi mud}a>rib)

17
Djamil, Penerapan Hukum Perjanjain, 175.
18
Ibid., 176.
25

2. Yang terkait dengan modal, disyaratkan berbentuk uang, jelas

jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhnya kepada mud}a>rabah

3. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian

keuntungan harus jelas dan diambil dari keuntungan, misalnya ½

4. Untuk syarat akad mengikuti syarat sebuah akad pada umumnya,

yaitu harus jelas shigatnya dan ada kesesuaian antara ijab dan

qabulnya.19

D. Hal-hal yang membatalkan mud}a>rabah

Mud}a>rabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:

1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mud}a>rabah. Jika

salah satu syarat mud}a>rabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah

dipegang oleh pengelola (mud}a>rib) dan sudah diperdagangkan, maka

pengelola (mud}a>rib) mendapat sebagian keuntungan sebagai upah.

2. Pengelola (mud}a>rib) dengan sengaja meninggalkan tugasnya atau

pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan

akad.

3. Apabila pelaksana atau pemilik modal (shahibul ma<l) meninggal

dunia, maka mud}a>rabah menjadi batal.20

Menurut Zuhayli<, pada prinsipnya, kontrak kerjasama dalam

permodalan (mud}a>rabah) akan berhenti jika salah satu pihak

menghentikan kontrak, atau meninggal atau modal yang ditanamkan

19
Nurhasanah, Mud}a>rabah, 76.
20
Suhendi, Muamalah, 143.
26

mengalami kerugian di tangan pengelola modal (mud}a>rib). Akad

kerjasama dalam permodalan (mud}a>rabah) juga akan batal ketika pemilik

modal (shahibul ma<l) murtad, begitu juga dengan pengelola modal

(mud}a>rib).21

Di sisi lain, Zuhayli< mengatakan mud}a>rabah akan dikatakan fasid

jika terdapat salah satu syarat yang tidak terpenuhi, diantara bentuk

mud}a>rabah fasid, misalnya seseorang yang memiliki alat perburuan

sebagai pemilik modal (shahibul ma<l) menawarkan kepada orang lain

sebagai pengelola modal (mud}a>rib) untuk berburu bersama-sama,

kemudian keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. Akad

mud}a>rabah ini fasid, mud}a>rib tidak berhak mendapat keuntungan dari

perburuan, keuntungan ini semuanya milik shahibul ma<l, mud}a>rib hanya

berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Suhendi, kerjasama dalam

permodalan (mud}a>rabah) menjadi batal apabila ada perkara-perkara

seperti, tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mud}a>rabah,

pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola

modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan

tujuan akad, dan apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia

atau salah satu seorang pemilik modal meninggal dunia, mud}a>rabah

menjadi batal.22

21
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2017), 148.
22
Ibid., 149.
27

E. Prinsip-Prinsip mud}a>rabah

1. Prinsip berbagi keuntungan di antara pihak-pihak yang melakukan

akad mud}a>rabah

Dalam akad mud}a>rabah, laba bersih harus dibagi antara shahibul ma<l

dan mud}a>rib berdasarkan suatu proporsi yang adil sebagaimana telah

disepakati sebelumnya dan secara eksplisit telah disebutkan dalam

perjanjian mud}a>rabah. Pembagian laba tidak boleh dilakukan sebelum

kerugian yang ada ditutupi dan ekuitas shahibul ma<l sepenuhnya

dikembalikan. Semua kerugian yang terjadi dalam perjalanan bisnis

harus ditutup dengan laba sebelum hal itu ditutup dengan ekuitas

shahibul ma<l. Adapun kerugian bersih harus ditanggung shahibul ma<l,

sementara bentuk kerugian mud}a>rib adalah hilangnya waktu, tenaga,

dan usahanya. 23

2. Prinsip berbagi kerugian di antara pihak-pihak yang berakad

Dalam mud}a>rabah, asas keseimbangan dan keadilan terletak pada

pembagian kerugian di antara pihak-pihak yang berakad. Kerugian

finansial seluruhnya dibebankan kepada pihak pemilik modal, kecuali

terbukti ada kelalaian, kesalahan atau kecurangan yang dilakukan

mud}a>rib.

3. Prinsip kejelasan

Dalam mud}a>rabah, masalah jumlah modal yang akan diberikan

shahibul ma<l, presentase keuntungan yang akan dibagikan, syarat-

23
Neneng, Teori dan Praktik, 78.
28

syarat yang akan dikehendaki masing-masing pihak, dan jangka waktu

perjanjiannya harus disebutkan dengan tegas dan jelas. Kejelasan

merupakan prinsip yang harus ada dalam akad ini, untuk itu bentuk

perjanjian tertulis harus dilaksanakan dalam akad mud}a>rabah.24

4. Prinsip kepercayaan dan amanah

Masalah kepercayaan, terutama dari pihak pemilik modal merupakan

unsur penentu terjadinya akad mud}a>rabah. Jika tidak ada kepercayaan

dari shahibul ma<l maka transaksi mud}a>rabah tidak akan terjadi.

Kepercayaan ini juga harus diimbangi dengan sikap amanah dari pihak

mud}a>rib (pengelola).25

5. Prinsip kehati-hatian

Sikap hati-hati merupakan prinsip yang penting dan mendasar dalam

akad mud}a>rabah. Jika sikap hati-hati tidak dilakukan oleh pihak

pemilik modal, maka dia bisa tertipu dan mengalami kerugian

finansial. Jika sikap hati-hati tidak dimiliki oleh pengelola, maka

usahanya akan mengalami kerugian, disamping akan kehilangan

keuntungn finansial, kerugian waktu dan tenaga. Dan juga akan

kehilangan kepercayaan.

F. Hak dan Kewajiban Pengelola

1. Hak pengelola

24
Ibid., 80.
25
Ibid.
29

Pengelola memiliki beberapa hak dalam akad mud}a>rabah, yakni

nafkah dan keuntungan keuntungan yang disepakati dalam akad.

2. Kewenangan pengelola

Mengenai kewenangan pengelola modal menurut Zuhayli<, jika akad

mud}a>rabah berupa mud}a>rabah muthalaqah maka mud}a>rib memiliki

kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis apa saja. Karena maksud

dari mud}a>rabah adalah mendapatkan keuntungan yang tidak akan

didapatkan tanpa melakukan transaksi bisnis. Pengelola modal

diperbolehkan menitipkan aset mud}a>rabah kepada pihak lain, karena

hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun demikian,

ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mud}a>rib, dia tidak boleh

melakukan hutang atas aset mud}a>rabah tanpa izin dari shahibul ma<l.

Pengelola juga tidak boleh membeli aset dengan cara berutang

walaupun mendapatkan izin dari shahibul ma<l. Jika mud}a>rib

melakukannya dia harus menanggung beban hutang itu. Pengelola

(mud}a>rib) tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mud}a>rabah

kepada orang lain dengan akad mud}a>rabah, melakukan akad syirkah,

dicampuri dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali

mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul ma<l.26

G. Berakhirnya Akad Mud}a>rabah

Menurut, Zuhayli< (1989:872) pada prinsipnya kontrak kerjasama

dalam permodalan mud}a>rabah akan berhenti jika salah satu pihak

26
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah, 144.
30

mengehentikan kontrak, modal yang ditanamkan mengalami kerugian

ditangan pengelola modal (mud}a>rib) atau salah satu pihak meninggal

dunia. Akad kerjasama dalam permodalan (mud}a>rabah) juga akan batal

ketika pemilik modal murtad begitu juga dengan pengelola modal

(mud}a>rib).27

Menurut Imam Ma<lik bahwa apabila perdagangan itu kegiatan

telah dimulai oleh pekerja maka akad itu bersifat mengikat kedua belah

pihak dan tidak dibenarkan dibatalkan secara sepihak oleh masing-masing

yang berakad, karena jelas merugikan dan membawa madharat pada pihak

lain. Namun Imam Abu Hani<fah, Imam Shaf<i’I dan Imam Ahmad bin

Hambali menyatakan bahwa akad itu tidak bersifat mengikat, sekalipun

pekerjaan telah dimulai karena pekerja disini melakukan tindakan hukum

pada milik orang lain seizinnya. Oleh sebab itu, masing-masing pihak

dapat saja membatalkan akad tersebut seperti halnya dalam akad wadi<’ah

(barang titipan). Namun walaupun bagaimana jika terjadi pembatalan

maka harus diberitahukan pembatalan itu kepada pihak lain. Dilihat dari

segi etika memang harus demikian, agar hubungan tetap dapat terpelihara

dengan baik.28

H. Pengertian Bagi Hasil dan Nisbah

1. Pengertian Bagi Hasil

27
Naufal Zaenudin, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), 148.
28
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), 173
31

Secara umum, sistem bagi hasil ada yang disebut dengan

mud}a>rabah. Bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam

perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara shahibul ma<l

dan mud}a>rib. Bagi hasil adalah keuntungan atau hasil yang diperoleh

dari pengelolaan dana. Pembagian keuntungan tidak boleh dilakukan

sebelum kerugian yang ada ditutupi dengan ekuitas shahibul ma<l

sepenuhnya dikembalikan.29

Landasan hukum yang digunakan dalam bagi hasil mud}a>rabah

yakni berdasarkan Al-Qur’an yang terdapat dalam firman Allah yang

ada di dalam Surat An-Nisa ayat 29:

         

             

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”30

Dalam praktik akad bagi hasil harus dikerjakan berdasarkan

ketentuan-ketentuan hukum Islam.

2. Pengertian Nisbah

29
Neneng, Mudharabah, 78.
30
Al-Qur’an 4:29
32

Nisbah adalah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk

presentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai

nominal rupiah tertentu. Nisbah keuntungan merupakan rukun yang

khas dalam akad mud}a>rabah. Salah satu akad yang menggunakan bagi

hasil dalam memperoleh keuntungan adalah akad mud}a>rabah. Sistem

bagi hasil sangat memperhatikan keseimbangan dan keadilan antara

pihak-pihak yang bertransaksi yang tidak ada dalam sistem bunga.

Inilah yang mengecam praktik riba. Nisbah adalah rasio bagi hasil

yang akan diterima oleh tiap-tiap pihak yang melakukan akad

kerjasama yaitu shahibul ma<l dan muda>rib. Nisbah keuntungan inilah

yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak

mengenai cara pembagian keuntungan.31

Nisbah tertuang di dalam akad yang telah disepakati kedua belah

pihak.32 Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian

keuntungan, yaitu:

a. Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah

untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja

b. Harus dipresentasekan keuntungan untuk pemodal dan pengelola

dengan presentase keuntungan bebas sesuai dengan kesepakatan

antara kedua belah pihak misalnya, 40% untuk pemodal dan 60%

untuk pengelola

31
Nur Wahid, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pemeliharaan Hewan
Kambing,” Skripsi (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2016), 4.
32
Nurhasanah, Teori dan Praktik, 138.
33

c. Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak.33

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang diambil oleh penulis

dalam permasalahan yang ada dalam skripsi ini, maka teori yang

cenderung dalam masalah ini ada dalam pengertian mud}a>rabah menurut

Fiqh Umar.

Menurut Fiqh Umar, dijelaskan bahwa kerugian ditanggung oleh

salah satu pihak, yaitu oleh pemilik modal. Sedangkan dalam skripsi ini

masalah yang diambil oleh penulis adalah mengenani kerugian dalam

kerjasama pertanian ini ditanggung oleh salah satu pihak yaitu, pengelola

modal (mud}a>rib). Seharusnya kerugian yang terjadi dalam akad mud}a>rabah

harus ditanggung oleh kedua belah pihak dan tidak ada yang merasa

dirugikan dalam akad tersebut.

Dalam hal ini madhhab Hana<fi dan Hambali sependapat bahwa

pengelola modal tidak berkewajiban mengganti jika terdapat kerugian

karena perniagaan. Mud}a>rabah adalah suatu perniagaan yang

menghendaki adanya modal sebagai amanat yang tidak ada jaminan

padanya selama pihak pengelola tidak melakukan kelalaian. Apabila

pengelola modal melakukan kelalaian maka ia bertanggung jawab atas

kerugian yang dialami dalam arti ia wajib mengganti jika terdapat hal

yang merugikan pihak pemilik modal.34

33
Said Yai, ”Produk Al-Mudharabah (Bagi Hasil) Dalam Islam Sebagai Solusi
Perekonomian Islam,” dalam https://pengusahamuslim.com/3833-al-mudharabah-bagi-hasil-
sebagai-solusi-perekonomian-islam.html/, (diakses pada tanggal 11 Mei 2018, jam 18.20).
34
Abdurrahman Al Jaziry, Fiqih Empat Madzhab Jilid IV (Semarang: As-Syifa, 1994), 81.
34

Namun, dalam akad yang dilakukan oleh pengelola dan pemilik

modal dalam akad mud}a>rabah ini syarat dan ketentuan melakukan

perjanjian hanya dibuat oleh salah satu pihak yaitu pemilik modal,

sedangkan pengelola modal harus mengikuti persyaratan yang diajukan

oleh pemilik modal dalam perjanjian peminjaman modal untuk mengelola

pertanian tersebut.
BAB III

PRAKTIK KERJASAMA PERTANIAN DI DESA BEDINGIN

KECAMATAN SAMBIT KABUPATEN PONOROGO

A. Keadaan Geografis Desa Bedingin di Kecamatan Sambit Kabupaten

Ponorogo

Bedingin adalah sebuah Desa yang secara administratif berada di

dalam Kecamatan Sambit, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur,

Indonesia. Desa ini merupakan daerah yang berada di wilayah selatan kota

Ponorogo. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai

petani baik yang memiliki lahan sendiri maupun hanya bekerja sebagai

buruh tani. Beberapa anggota masyarakat bekerja dibidang jasa dan

pedagang. Ada juga sebagian masyarakat bekerja sebagai pengusaha

genteng dan pekerja genteng (kuli). Desa Bedingin memiliki 2 Dukuh

yakni, Dukuh Krajan dan Dukuh Kambangrejo yang terbagi lagi menjadi

17 Rukun Tetangga dengan luas wilayah 200,092 Ha, serta dalam wilayah

Desa Bedingin terdapat 2110 penduduk yaitu 1057 penduduk laki-laki dan

1053 penduduk perempuan.

Mayoritas Penduduk Desa Bedingin bergelut dalam bidang

pertanian. Luas tanah sawah Desa Bedingin adalah 58,81 Ha. Hasil dari

diperoleh dari sawah adalah berupa Padi, Jagung, Kedelai, dan Kacang

Hijau. Selain pertanian di Desa Bedingin juga banyak yang memiliki

usaha membuat genteng dan pedagang

35
36

Dalam hal pendidikan rata-rata penduduk Desa Bedingin sampai

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA),

dan beberapa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sebagian warga

berpendapat bahwa sekolah tinggi tidaklah penting.Karena, bagi mereka

sekolah tinggi ataupun tidak hasilnya akan sama, sama-sama susah

mencari pekerjaan.1

Desa Bedingin berbatasan langsung sebelah barat dengan Desa

Kwajon masuk dalam lingkup Kecamatan Bungkal, utara dengan Desa

Bancangan, selatan dengan Desa Wringinanom, timur berbatasan dengan

Desa Nglewan. Sebagian wilayah Desa Bedingin berupa sawah.2

B. Bentuk akad kerjasama pertanian yang dilakukan di Desa Bedingin

Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo

Perjanjian dalam kerjasama permodalan pertanian merupakan suatu

perbuatan yang disepakati oleh dua pihak atau lebih yaitu antara pemilik

modal dan petani. Satu pihak (pemilik modal) berjanji akan memberi

modal dan pihak yang lain (petani) berjanji akan mengelola modal tersebut

untuk kebutuhan pertanian. Dalam kerjasama ini salah satu pihak

menghendaki modal untuk bertani karena petani membutuhkan modal

tersebut dan pihak lain yaitu pemilik modal mengharapkan keuntungan

dari kerjasama yang dilakukan tersebut. Alasan terjadinya kerjasama

tersebut dinyatakan sebagai berikut:

1
Lamidi, Hasil wawancara 30 September 2018.
2
Profil Desa Bedingin 2018.
37

“Petani yang mengalami minim modal, jadi pemodal menawari kerjasama


(bukan hutang) yang awalnya mereka hanya meminta (meminjam) bibit
pertanian, namun lambat laun pemilik modal menawarkan peminjaman
modal kepada petani.” 3

Perjanjian antara pemilik modal dan masyarakat Desa Bedingin,

biasanya masyarakat (petani) mendatangi pemilik modal untuk mengambil

modal, yang sebelumnya antara kedua belah pihak sudah melakukan

perjanjian. Petani terlebih dahulu diberi kejelasan tentang persyaratan dan

ketentuan dalam kerjasama, kemudian pemilik modal akan memberikan

modal sesuati dengan permintaan oleh petani. Seperti yang dikatakan salah

satu petani di Desa Bedingin.

“Awalnya, kami hanya mengambil bibit pertanian saja, tapi pada


akhirnya kami ditawari kerjasama dengan diberikan modal untuk
menggarap sawah. Kami datang ke mas Hari untuk pada saat kita butuh
modal tersebut, jika petani mengalami kerugian, maka petani juga harus
mengembalikan modal serta perkiraan keuntungan kepada pemilik
modal.4

Alasan dari terjadinya kerjasama tersebut petani mengalami

minim modal. Karena terkadang waktu penggarapan sawah petani juga

menggunakan modalnya sendiri untuk biaya sekolah ataupun yang

lainnya, jadi mereka memilih melakukan kerjasama tersebut.

Hasil pertanian yang telah dipanen oleh petani harus dijual kepada

pemilik modal ketentuan tersebut bersifat wajib karena dengan demikian

pemilik modal akan mendapat keuntungan yang lebih besar. Apabila

petani tidak menjual kepada pemilik modal maka tahun berikutnya pemilik

3
Kepala Desa, Hasil Wawancara 3 Oktober 2018
4
Suradi, Hasil wawancara, 1 Oktober 2018.
38

modal tidak akan memberi modal kepada petani. Karena hal tersebut

sudah menjadi syarat dan ketentuan dalam kerjasama tersebut. Tetapi,

hasil panen dari petani tersebut dibeli dengan harga yang tidak sesuai

dengan harga pasar. Apabila hasil panen tidak dijual kepada pemilik

modal, maka tahun berikutnya petani tidak bisa mendapatkan pinjaman

modal dari pemilik modal tersebut. Jadi, mereka tetap menjual hasil

panen mereka kepada pemilik modal, walau terkadang tidak seluruhnya

mereka menjual kepada pemilik modal.5

“Biasanya hasil panennya dibeli dengan harga dibawah pasaran,


seandainya dipasaran harga Rp. 6000/kg disana dibeli dengan harga Rp.
4000/kg. Tetapi kami tidak berani menjual kepedagang lain karena jika
menjual kepada pedagang lain, lain waktu tidak akan bisa mendapat
modal, semua itu sudah menjadi ketentuan dari mas Hari”

Memang jika dilihat selisih tidak terlalu besar, namun bagi orang

desa khususnya petani uang Rp.2000 begitu berarti. Karena untuk

mendapatkan hasil tersebut mereka harus banting tulang demi

mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Namun, menurut Mbah

Jemingan kerjasama ini dapat memberi sedikit bantuan dalam mengelola

sawah bagi mereka yang kekurangan modal. Karena, terkadang saat para

petani membutuhkan modal untuk memulai mengelola sawah mereka tidak

mempunyai uang cukup untuk membeli benih, pupuk, dan membayar

pekerja sawah mereka.

Kerja sama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bedingin antara

pemilik modal dan petani dengan menggunakan akad mud}a>rabah tetapi

5
Tulus, Hasil wawancara 2 Oktiber 2018
39

para pihak tidak mengetahui ketentuan kerjasama tersebut yang sesuai

dengan hukum Islam. Mereka, hanya melakukan kerjasama tersebut

sesuai adat dan kebiasaan yang mereka lakukan tanpa tau pedoman dan

aturan yang sesungguhnya.

Kerjasama yang dilakukan antara pemilik modal dengan petani,

aturan dan syaratnya ditetapkan oleh pemilik modal, namun petani

bersedia karena untuk mendapatkan pinjaman modal untuk melakukan

kegiatan bertani dan mengelola sawah. Pemilik modal juga menjelaskan

bahwa modal harus dikembalikan pada saat musim panen tiba. Karena

pada saat panen itulah petani harus menjual hasil pertanian kepada

pemilik modal dengan harga sedikit lebih murah dari penjual lainnya.

Keuntungan yang didapat harus dibagi oleh kedua belah pihak.6 Berkaitan

dengan perjanjian yang dilakukan oleh pemilik modal dengan petani,

maka perjanjian antara kedua belah pihak dilakukan secara lisan dan tidak

ada perjanjian tertulis serta tidak ada saksi. Karena, perjanjian yang

dilakukan oleh pemilik modal dengan para petani sudah terbiasa

melakukan perjanjian tanpa adanya saksi. Kedua belah pihak hanya

menanamkan asas kepercayaan. Dan pada akhirnya terjadilah kesepakatan

tersebut dan berlaku hingga saat ini.

“Perjanjian dalam kerjasama ini dilakukan hanya secara lisan saja”


“Apabila terjadi pelanggaran atau wansprestasi, maka masalah tersebut
tidak dapat di selesaikan secara hukum, karena tidak adanya bukti
dokumen yang benar serta tidak adanya saksi yang mengetahui perjanjian
tersebut. Jadi, jika suatu saat terjadi suatu masalah atau melanggar

6
Ibid.,
40

perjanjian para pihak hanya bisa menyelesaikan masalah dengan cara


kekeluargaan dengan cara musyawarah.”7

Dalam kerjasama tersebut jika terjadi masalah maka tidak dapat

diselesaikan dengan jalur hukum, karena tidak adanya bukti yang nyata

dalam kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun,

seharusnya menurut Islam jika seseorang melakukan kerjasama dan

perjanjian harus dilakukan secara tertulis dan harus ada saksi yang

menyaksikan perjanjian tersebut, tapi pada kenyataannya kerjasama

hanya dilakukan secara lisan saja. Semua yang telah dilaksanakan oleh

masyarakat Desa Bedingin sudah berjalan sejak awal kerjasama tersebut

dilaksanakan dan pihak pengelola modal harus mengikuti aturan yang

telah ditetapkan hanya secara lisan tanpa adanya aturan tertulis.

Kewajiban para pihak disesuaikan dengan adat kebiasaan yang

berlaku di daerah dimana mud}a>rabah tersebut dilakukan. Disini,

perjanjian antara kedua belah pihak tentang kewajiban petani sebagai

peminjam modal harus didasarkan pada kebiasaan yang berlaku, tentunya

tidak bertentangan dengan aturan Islam, karena kebiasaan yang

bertentangan dengan aturan Islam dapat menyebabkan tidak sahnya akad

mud}a>rabah yang dilakukan.

Asasnya adalah bahwa dalam akad, para pihak wajib

melaksanakan semua ketetapannya. Namun, perjanjian itu telah

ditetapkan sedemikian rupa dan pihak petani tidak mempunyai pilihan

7
Suharjito, Hasil wawancara, 1 Oktober 2018.
41

lain kecuali menerimanya. Pihak petani tidak dapat bernegosiasi terhadap

ketentuan yang telah di tetapkan oleh pemodal.

“Kami tida berminat untuk melakukan kerjasama dengan lembaga


keuangan atau sejenisnya, karena tidak punya jaminan yang digunakan
untuk kerjasama, kalua di sini kan tidak memakai jaminan”

Alasan petani tidak tertarik dengan lembaga keuangan seperti

bank dikarenakan mereka tidak berani memberikan barang jaminan,

karena mereka takut menghadapi masalah apabila terjadi gagal panen.8

Akad kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bedingin

pada dasarnya sesuai dengan Syariat Islam, karena saling menguntungkan.

Pihak petani merasa terbantu dengan adanya pemberian modal yang

diberikan pemilik modal, namun pihak petani hanya keberatan jika harus

menanggung kerugian. Dalam akad mud}a>rabah kerugian yang terjadi

harus ditanggung oleh kedua belah pihak agar tidak ada yang merasa

dirugikan. Pada perjanjian seperti yang dilakukan masyarakat Desa

Bedingin seharusnya dilakukan secara tertulis, karena jika terjadi adanya

penyelewengan dan kecurangan dari salah satu pihak maka dokumen

tersebut dapat menjadi bukti yang konkrit untuk menyelesaikan masalah

yang terjadi.

“Apakah tidak diupayakan agar perjanjian tersebut dilakukan sesuai


ketentuan yang sebenarnya?”
“Sudah menjadi kebiasaan, namun akan diusahakan dilakukan sesuai
dengan ketentuan perjanjian yang sesungguhnya”9

8
Kepala Desa, Hasil Wawancara 3 oktober 2018.
9
Ibid.
42

Kurangnya pemahaman warga mengenai hal tersebut, maka

perjanjian yang dilakukan hanya mengacu pada asas kepercayaan tanpa

memikirkan jika kedepannya terjadi sesuatu hal. Sudah menjadi adat dan

kebiasaan jika melakukan sesuatu tidak dilandasi dengan aturan. Jika

dalam kerjasama dengan akad mud}a>rabah tersebut dilakukan sesuai

dengan ketentuan hukum Islam, maka tidak akan ada pihak yang merasa

dirugikan dalam kerjasama yang dilakukan masayarakat Desa Bedingin

Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo tersebut. Namun, akan

diusahakan dan dibuatkan aturan yang sesuai dengan hukum Islam.

C. Pembagian nisbah bagi hasil yang dilakukan kedua belah pihak atas

kerjasama pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten

Ponorogo.

Bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam

perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara shahibul ma<l dan

mud}a>rib. Bagi hasil yang digunakan dalam kerja sama yang dilakukan

oleh masyarakat dalam perjanjian ini adalah mud}a>rabah, dalam akad

mud}a>rabah tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan. Untuk

perolehan keuntungan didapat dari presentase yang telah di tetapkan oleh

pemilik modal (shahibul ma<l).

Mekanisme perhitungan pendapatan keuntungan dihitung sesuai

dengan hasil panen yang terjual. Masa panen ada 3 tahap dalam sekali

periode penanaman, 2 kali panen padi dan 1 kali panen kedelai, jagung,

atau kacang hijau.


43

“Presentase yang ditentukan dalam perhitungan bagi hasil dalam


kerjasama ini 75% untuk petani dan 25% untuk pemilik modal. Pembagian
keuntungan biasanya dibagi pada saat panen tiba”10

Bagi hasil tersebut didapat dari hasil yang telah dikurangi jumlah

modal yang dipinjam petani kepada pemilik modal. Pembagian hasil

panen dilakukan setelah dikurangi jumlah modal atau setelah

pengembalian modal yang dipinjamkan dengan ketentuan hasil panen

tersebut. Hasil panen setelah dikurangi modal awal lalu, kemudian jumlah

tersebut dibagi dengan persentase yang telah ditentukan, maka akan

didapat hasil keuntungan untuk masing-masing pihak.

Persentase tersebut di dapat dari perjanjian awal yang telah

ditetapkan oleh pemilik modal dan telah disepakati oleh kedua belah

pihak. Namun, pada kenyataannya dari ketentuan yang telah disepakati

pada dasarnya memberatkan pihak petani. Selain pembagian bagi hasil

dengan presentase yang lumayan besar, petani juga harus menjual hasil

panen kepada pemilik modal dengan harga yang sedikit dibawah harga

normal pedagang lainnya. Bukan hanya itu saja, jika terjadi kerugian

maka petani harus menanggungnya sendiri.

Telah dijelaskan oleh salah satu pelaksana kerjasama ini yaitu

pemilik modal, perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh pihak pemilik

modal dan petani dilakukan secara lisan tanpa adanya bukti dokumen.

Dengan adanya kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak

kerjasama tersebut dilaksanakan untuk membantu pihak petani yang

10
Kastam, Hasil Wawancara 2 Oktober 2018
44

kekurangan modal atau yang memang membutuhkan modal untuk

penggarapan sawah.

“Tidak ada ketentuan secara tertulis, ketentuan bagi hasil hanya


diucapkan saat kerjasama sudah dilakukan, Saling percaya satu sama lain
saja”11

Dalam kerjasama ini yang dilakukan oleh para pihak unsur

terpenting dalam transaksi bagi hasil mud}a>rabah ini yaitu saling percaya.

Jadi pemilik modal memberi kepercayaan penuh kepada petani dalam

melakukan kerjasama tersebut. Apabila ada kecurangan yang dilakukan

oleh petani, maka pemilik modal untuk selanjutnya tidak akan melakukan

kerjasama lagi kepada mereka yang melakukan kecurangan. Ketetapan

mengenai syarat dan ketentuan kerjasama seperti bagi hasil tidak ada

aturan secara tertulis yang disepakati para pihak. Ketentuan tersebut

hanya diberitahukan pada saat akad mud}a>rabah sudah dilakukan.

“Dalam kerjasama ini tidak ada jaminan yang diberikan, karena pihak

sana juga tidak meminta jaminan mbak.”

Pemilik modal tidak meminta jaminan dari pengelola modal

(petani). Pemilik modal hanya memberi ketentuan dan syarat tertentu

kepada petani. Dalam perjanjian ini bagi hasil keuntungan yang didapat

masing-masing pihak disepakati oleh kedua belah pihak. Baik itu dari

pihak pemilik modal maupun pihak petani. Walaupun pada dasarnya

ketetapan tersebut dibuat oleh pihak pemilik modal saja. 12

11
Hari, Hasil wawancara 1 Oktober 2018
12
Kepala Desa, Hasil Wawancara 3 Oktober 2018
45

D. Penanggungan Kerugian Dalam Kerjasama Pertanian di Desa Bedingin

Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo

Dalam kerjasama dalam Islam, penanggungan kerugian pada

dasarnya di bebankan pada pihak shahibul ma<l jika tidak ada bukti

kecurangan atau kelalain dari pihak mud}a>rib.13 Namun, dalam kerjasama

di Desa Bedingin ini kerugian hanya di bebankan oleh satu pihak yaitu

petani. Kerjasama yang telah dilakukan masyarakat Desa Bedingin pada

dasarnya saling menguntungkan karena pemilik modal dapat membantu

petani mendapatkan modal dalam mengelola sawah. Namun, sebenarnya

petani merasa terbebani dengan perjanjian yang pemilik modal berikan,

yaitu pihak petani harus menanggung kerugian yang suatu saat bisa

terjadi. Karena, dalam mengelola sawah terkadang hasil panen tidak

sesuai dengan apa yang diinginkan oleh petani atau bisa jadi petani

mengalami gagal panen. Seharusnya, kerugian ditanggung oleh kedua

belah pihak supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.14

“Apabila kita gagal panen, kita harus membayar perkiraan keuntungan


untuk pemodal karena itu sudah menjadi ketentuan, Sebenarnya, kami
keberatan, namun kita tetap melaksanakan kerjasama untuk mendapat
modal untuk menggarap sawah”15

Para petani keberatan mengenai penanggungan kerugian yang

hanya dibebankan pada satu pihak saja. Selain membayar modal awal jika

13
Nurhasanah, Mudharabah, 80.

14
Jemingan, Hasil wawancara 2 Oktober 2018
15
Suhaji, Hasil wawancara 4 Oktober 2018.
46

terjadi gagal panen petani juga harus rela memberi perkiraan bagi hasil

dari keuntungan yang harus didapatkan oleh pemilik modal. Karena dalam

kerjasama ini, pihak pemodal tidak ingin rugi dan pemodal hanya

mengharapkan keuntungan yang besar. Seharusnya, jika petani gagal

panen karena faktor alam pemodal tidak perlu meminta ganti rugi untuk

pengganti keuntungan pihak pemodal.

“Kerugiannya hanya kita (petani) yang menanggungnya, tapi seharusnya,


kerugian ditanggung sama-sama, sudah pernah melakukan negosiasi akan
hal tersebut agar kita (petani) tidak merasa keberatan, namun ditolak”16

Disini, petani tidak bisa meminta keringanan atas penanggungan

kerugian yang diberikan oleh pemodal. Jika mengacu pada hukum Islam

dan akad mud}a>rabah kerugian pada dasarnnya ditanggung oleh pemodal,

namun jika berprinsip asas keadilan maka kerugian harusnya ditanggung

oleh kedua belah pihak. Jadi, tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas

masalah yang terjadi dalam kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat

Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.

16
Basuki, Hasil Wawancara 5 Oktober 2018
47
BAB IV

ANALISIS PRAKTEK PELAKSANAAN KERJASAMA PERTANIAN

DI DESA BEDINGIN KECAMATAN SAMBIT KABUPATEN

PONOROGO

A. Analisis Pelaksanaan Praktik Perhitungan Bagi Hasil Dalam

Kerjasama Pertanian Di Desa Bedingin Kecamatan Sambit

Kabupaten Ponorogo

Pelaksanaan praktik perjanjian kerjasama permodalan di Desa

Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo antara pemodal dan

petani tersebut berlandaskan asas kerelaan dari masing-masing pihak.

Pihak pemodal tidak memaksa petani dengan ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan oleh pemodal untuk melakukan kerjasama ini. Akan tetapi

yang menjadi permasalahan di sini adalah syarat yang ditetapkan oleh

pemodal dan harus dipenuhi oleh petani salah satunya dalam perhitungan

bagi hasil.

Konsep bagi hasil berlandaskan pada beberapa prinsip dasar. Ciri

utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung

bersama baik oleh pihak pemilik modal maupun pengusaha.1 Prinsip

pembagian keuntungan dan penentuan bagi hasil dalam akad mud}a>rabah

adalah laba bersih harus dibagi antara shahibul ma<l dengan mud}a>rib

berdasarkan proporsi yang adil sebagaimana yang telah disepakati

1
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 49.
47
sebelumnya dalam perjanjian mud}a>rabah.2 Bagi hasil dilaksanakan dengan

didahului sebuah perjanjian, sehingga ia pun harus memenuhi rukun dan

syarat-syaratnya. Adapun mengenai rukun sama dengan jenis perjanjian

yang lain yaitu:

1. Para pihak (subyek hukum)

2. Obyek tertentu

3. Ijab dan qabul melalui pengucapan lafaz

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, meliputi syarat yang

menyangkut obyek perjanjian. Bahwa para pihak yang mengadakan

perjanjian bagi hasil harus sama-sama dewasa (baligh), sehat akalnya, dan

wenang melakukan tindakan.3

Dalam akad mud}a>rabah laba bersih harus dibagi antara shahibul

ma<l dan mud}a>rib berdasarkan suatu proporsi yang adil sebagaimana telah

disepakati sebelumnya dan secara ekplisit telah disebutkan dalam

perjanjian mud}a>rabah.4

Besar kecilnya pembagian keuntungan tergantung dari hasil panen

yang didapat oleh petani. Apakah hasil panen yang didapat hasilnya bagus

ataupun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan petani, maka

pembagian tergantung dengan perolehan hasil panen. Jika hasil panen

sedikit maka keuntungan yang didapat petani semakin sedikit. Karena

hasil yang didapat harus dijual kepada pemilik modal, dan pemilik modal

2
Nurhasanah, Mudharabah, 78.
3
Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian, 104.
4
Neneng Nurhasanah, Mudarabah dalam Teori dan Praktek , (Bandung: PT Refika
Aditama, 2015), 78.
akan memberi harga dibawah harga pasar, dan kemungkinan jika hasil

panen buruk maka harga akan semakin turun. Disini petani akan

merasakan kerugian, rugi biaya dan tenaga.

Dalam perhitungan bagi hasil telah ditentukan oleh pihak

pemodal, tetapi semua pihak telah menyepakati ketentuan tersebut.

Karena, bagi petani adanya modal dari pemilik modal dapat membantu

petani mengelola sawah. Sebelum adanya kerjasama tersebut, petani tidak

menggarap sawah apabila petani tidak ada modal.

Namun, jika melihat dari syarat dan rukun dalam akad mud}a>rabah

presentase perhitungan bagi hasil seharusnya ditentukan dan disepakti

oleh kedua belah pihak bukan hanya satu pihak saja. Kerjasama dalam

Islam pada dasarnya berlandaskan dengan asas keadilan, namun jika

dilihat dari persyaratan yang telah ditetapkan dalam kerjasama di Desa

Bedingin ini, belum ada keadilan yang diterapkan, karena pada dasarnya

pemilik modal hanya mengharapkan keuntungan yang besar tanpa

memikirkan pihak petani. Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa larangan

memakan harta sesama dengan cara yang bathil itu dilarang, seperti

dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29:

         

             

 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”5

Berdasarkan ayat tersebut, Allah melarang hamba-Nya yang

mukmin memakan harta sesama dengan cara yang batil dan cara-cara

mencari keuntungan dengan cara riba. Secara umum, dapat dinyatakan

bahwa memakan harta dengan jalan batil adalah bertentangan dengan

ketentuan umum. Maka, dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa dalam

melaksanakan kegiatan muamalah tidak diperbolehkan merugikan salah

satu pihak. Salah satu kegiatan muamalah yang tidak boleh dilakukan

dengan cara yang batil adalah kerjasama mud}a>rabah. Dalam kegiatan akad

mud}a>rabah dalam pembagian bagi hasil kedua belah pihak harus dilakukan

secara adil.

Dalam prinsip mud}a>rabah asas kepercayaan adalah unsur penentu

dalam akad kerjasama. Pemilik modal memberi kepercayaan penuh

terhadap petani dalam mengelola modal serta percaya kepada para petani

yang mengelola modal akan menjual hasil panen kepadanya (pemilik

modal). Maka, dengan adanya asas kepercayaan tersebut petani juga harus

mengimbangi dengan sikap amanah. Dalam kerjasama saling percaya

adalah salah satu kunci utama dalam melaksanakan kegiatan yang

dilakukan. Dengan demikian kerjasama dapat terjalin dengan baik dan

tidak ada perselisihan antara satu sama lain.

5
Al-Qur’an 4:29
Menurut pemodal, alasan menetapkan syarat bahwa petani harus

menjual kepada pemodal dengan harga di bawah harga pasaran adalah

sebagai jaminan ketika petani mengalami gagal panen. Alasan lain dari

pemodal adalah agar pemodal bisa mendapatkan keuntungan yang besar.

Mengenai syarat yang ditentukan dalam kontrak, menurut petani syarat

tersebut memberatkan bagi pihak petani, akan tetapi kerjasama ini

dilakukan karena tidak adanya pilihan lain bagi mereka untuk

mendapatkan modal. Karena apabila syarat tersebut tidak diberikan maka

petani akan memperoleh keuntungan yang lebih besar.6

Antara pemilik modal dan petani di sini sama-sama memiliki

keuntungan tersendiri, akan tetapi pemilik modal memiliki keuntungan

yang lebih besar daripada petani. Petani melakukan kerjasama tersebut

dikarenakan tidak ada pilihan lagi bagi petani yang kekurangan modal

untuk melakukan kerjasama tersebut walaupun petani hanya memperoleh

keuntungan yang sedikit dalam kerjasama yang dilakukan. Namun, dalam

kerjasama pertanian di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten

Ponorogo memberatkan salah satu pihak yaitu petani karena syarat yang

ditentukan oleh pemilik modal.

Karena, dalam sebuah akad kerjasama sangat diperlukan unsur

keridhaan yang dapat mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi pihak

yang berakad. Kerjasama dengan akad mud}a>rabah harus sesuai dengan

prinsip-prinsip yang telah ditetapkan seperti keuntungan harus ditentukan

6
Hari, Hasil wawancara 1 Oktober 2018
secara adil, pembagian kerugian antara kedua belah pihak, melakukan

perjanjian dengan syarat yang jelas dan presentase keuntungan yang jelas,

dan adanya kepercayaan antara pemodal dan petani. Dengan

diberlakukannya prinsip mud}a>rabah maka kerjasama yang dilakukan akan

terjalin dengan baik. Kerjasama di Desa Bedingin Kecamatan Sambit

Kabupaten Ponorogo pada dasarnya sudah memenuhi prinsip yang ada

dalam akad mud}a>rabah.

Prinsip yang telah dipenuhi dalam kerjasama yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Bedingin salah satunya adalah berbagi keuntungan,

pembagian keuntungan telah diterapkan dalam kerjasama permodalan

dalam pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bedingin. Pemilik

modal dan petani telah menyepakati pembagian keuntungan dengan

presentase yang telah dijelaskan diatas yaitu 75% untuk petani dan 25%

untuk pemilik modal. Pembagian keuntungan dibagi pada saat hasil panen

tiba dikurangi dengan modal yang dipinjam oleh petani. Dalam pembagian

yang dilakukan antara pemilik modal dan petani telah sesuai dengan

prinsip mud}a>rabah.

Prinsip yang kedua yang dilakukan adalah amanah, saling percaya

adalah menjadi modal utama dalam kerjasama yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Bedingin. Pemilik modal dan petani melakukan

perjanjian hanya secara lisan tanpa ada perjanjian secara tertulis. Bagi

pemilik modal dengan rasa percaya yang diberikan kepada para petani

telah cukup untuk menjadi jaminan dalam kerjasama pertanian tersebut.


Tetapi, dalam perjanjian atau kerjasama antara para pihak seharusnya

dilakukan secara tertulis agar suatu saat jika terjadi suatu masalah

dokumen perjanjian dapat menjadi bukti. Perjanjian harus dilakukan secara

tertulis tersebut dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an

surat Al-Baqarah ayat 282:

          

           

            

              

           

         

            

            

           

            

             

      

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 7

Dari penjelasan ayat di atas penulis menyimpulkan bahwa dalam

setiap akad kerjasama perjanjian seharusnya pihak yang melakukan akad

melakukan kerjasama dengan cara tertulis. Karena jika suatu saat dalam

perjanjian tersebut ada masalah atau kesalahpahaman maka dokumen

tersebut dapat dijadikan bukti dalam penyelesaian akad kerjasama yang

dilakukan.

Apabila dalam akad kerjasama pertanian tersebut rukun dan syarat

perjanjian bagi hasil telah terpenuhi maka perjanjian tersebut akan

mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dilaksanakan dengan

7
Al-Qur’an, 2: 282
itikad baik oleh para pihak.8 Dalam kerjasama yang dilakukan di Desa

Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo rukun dan syaratnya

telah diterapkan, walaupun pada kenyataannya kerjasama tersebut belum

seluruhnya sesuai ketentuan hukum Islam, karena mungkin belum ada

pemahaman yang lebih dari pihak-pihak yang melakukan kerjasama. Dan

dalam kerjasama tersebut masih dilakukan secara lisan.

Disisi lain, menurut pemodal sebagai pihak yang memberikan

modal berpendapat bahwa praktik kerjasama dalam permodalan pertanian

adalah hal yang lazim. Karena, ketika akan dilakukan akad kerjasama

kedua belah pihak setuju dengan semua ketentuan yang telah ditentukan,

dan ini menunjukkan kerelaan masing-masing pihak dan pada artinya

dalam akad kerjasama permodalan pertanian yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Bedingin ini tidak ada paksaan.9 Dari hasil penelitian

yang dilakukan peneliti mendapatkan beberapa poin besar yang menjadi

bahan untuk dianalisis dengan menggunakan Tinjauan Hukum Islam

terhadap praktik perhitungan bagi hasil dalam kerjasama pertanian yang

dilakukan di Desa Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.

Kerjasama pertanian yang telah dilakukan sejak sekitar 5 tahun belakangan

ini dalam pembagian hasil keuntungan dari kerjasama tersebut sesuai

dengan prinsip mud}a>rabah yaitu pembagian sesuai dengan ketetapan yang

telah disepakati kedua belah pihak. Masyarakat pun tidak merasa

8
Anshori, Perjanjian Islam, 105.
9
Hari, Hasil wawancara 1 Oktober 2018
keberatan atas pembagian dan ketentuan nisbah bagi hasil yang telah

ditentukan pihak shahibul ma<l.

Nisbah bagi hasil yang ditentukan pihak shahibul ma<l telah sesuai

dengan ketentuan yang ada yaitu dengan presentase 75% : 25%. Para

ulama telah menetapkan syarat yang harus dilakukan dalam pelaksanaan

pembagian nisbah bagi hasil, dan ketentuan yang telah disepakati kedua

belah pihak sudah sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan, yaitu:

1. Adanya pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk

bagi hasil keuntungan, bukan untuk pinjaman saja

2. Keuntungan di presentasekan sesuai kesepakatan yaitu untuk pemilik

modal 25% dan pengelola (petani) 75%

3. Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak saja.

Selain ketentuan dari para ulama diatas, dalam Al-Qur’an juga

telah dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 29 bahwa:

         

             

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”10

10
Al-Qur’an 4:29
Dengan perbandingan 75% : 25% dalam hal ini telah disepakati

dan diterima oleh kedua belah pihak yaitu pihak pemilik modal dan petani.

Dari bagi hasil tersebut harus diberikan kepada kedua belah pihak setiap

setelah panen. Bagi hasil yang dilakukan dalam kerjasama yang dilakukan

oleh masyarakat Desa Bedingin telah dilakukan dengan baik dan benar,

karena kerjasama pertanian tersebut telah sesuai dengan asas

keseimbangan dan asas keadilan yang tidak merugikan salah satu pihak.

Jadi bagi hasil yang dilakukan dalam kerjasama pertanian di Desa

Bedingin Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo sudah dilaksanakan

sesuai dengan Hukum Islam, karena kerjasama dilakukan oleh masyarakat

Desa Bedingin telah sesuai dengan syarat dalam pembagian keuntungan

yang telah di tetapkan oleh para ulama dan presentase bagi hasil yang telah

ditetapkan telah disepakati bersama dan tidak ada unsur paksaan dan unsur

keberatan dari kedua belah pihak.

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penanggungan Kerugian Dalam

Kerjasama Pertanian Di Desa Bedingin Kecamatan Sambit

Kabupaten Ponorogo

Dalam kerjasama apapun pada dasarnya tidak selalu untung,

namun ada juga yang mengalami kerugian, baik karena kesalahan dari

pihak pelaksana kerjasama maupun karena faktor alam. Seperti dalam

kerjasama pertanian yang dilaksanakan di Desa Bedingin Kecamatan

Sambit Kabupaten Ponorogo.


Didalam praktik kerjasama pertanian tidak jauh dari yang

namanya suatu permasalahan. Contohnya, hama dan bisa juga mengalami

gagal panen. Dalam hal ini petani bisa rugi besar, karena petani harus tetap

membayar modal kepada pemodal serta membayar kerugian dengan cara

petani tetap memberikan hasil perkiraan keuntungan yang didapat pada

saat panen walaupun itu murni bukan kesalahan dari pihak petani.11

Dalam kerjasama dengan akad mud}a>rabah keuntungan dan kerugian harus

ditanggung oleh kedua belah pihak.

Ketika petani mengalami gagal panen pada dasarnya mereka sudah

mengalami rugi. Petani tidak mendapatkan hasil dari mengelola sawah

namun petani masih harus mengembalikan modal penuh kepada pemodal

serta perkiraan keuntungan yang didapat dari hasil panen. Pada dasarnya

kerugian sudah dialami oleh petani, namun kenyataannya petani harus

menanggung kerugian dua kali, karena petani harus memberikan perkiraan

hasil keuntungan yang diperoleh kepada pemodal. Petani merasa keberatan

dengan adanya syarat dalam penanggungan kerugian yang dibebankan

kepada mereka.

Mengenani keharusan petani memenuhi syarat yang ditentukan

oleh pemodal yaitu petani harus menanggung kerugian serta menjual

panen kepada pemodal dengan harga lebih murah dari pedagang lain,

maka dalam kerjasama ini pada dasarnya memberatkan salah satu pihak.

Namun, pemodal dan petani sama-sama tetap sepakat untuk bekerja sama

11
Kepala Desa, Hasil Wawancara 3 Oktober 2018
bahwa pemilik modal menyediakan modal untuk penggarapan sawah.

Dalam kerjasama permodalan pertanian tersebut pemilik modal

memberikan syarat bahwa hasil panen harus dijual kepada pemilik modal

dengan harga yang diberikan adalah dibawah harga dari pedagang lainnya.

Pemilik modal seharusnya membeli hasil panen dari petani dengan harga

sama dari harga pasaran agar dalam kerjasama tersebut semua pihak tidak

merasa dirugikan.

Apabila petani menjual hasil panen kepada penjual lain dan

diketahui oleh pihak pemilik modal, maka pemilik modal akan meminta

petani untuk mengembalikan modal yang telah dipinjamkan. Jika petani

melakukan hal tersebut, maka petani pada tahun berikutnya ataupun saat

petani akan memulai kegiatan pertanian maka pemilik modal tidak akan

memberi kepercayaan lagi untuk memberi modal kepada petani.

Seharusnya, jika pemilik modal memberi modal dengan niat membantu

petani, maka pemilik modal seharusnya masih bisa memberit bantuan

modal kepada petani dengan kesempatan dan kesepakatan dengan cara

melakukan perjanjian tertulis agar tidak terjadi kecurangan.

Dalam perjanjian mud}a>rabah syarat-syarat perjanjian dalam

pembagian keuntungan harus dijelaskan secara terperinci. Di sisi lain

dalam perkara kerugian, wakil terbebas dari pertanggungjawaban. Karena,

dalam persoalan mud}a>rabah dia hanya menjadi orang yang diberi

kepercayaan.12

12
Abraham L. Udovitchi, Kerjasama Syari’ah (Kediri: Qubah, 2008), 254.
Penanggungan kerugian dalam kerjasama pertanian di Desa

Bedingin Kecamatan sambit Kabupaten Ponorogo, kerugian hanya

ditanggung oleh salah satu pihak yaitu petani. Apabila rugi, seharusnya hal

tersebut ditanggung oleh pemilik modal.13 Dalam prinsip mud}a>rabah

kerugian bersih harus ditanggung shahibul ma<l.14 Dalam kerjasama di

Desa Bedingin kerugian ditanggung oleh pihak petani, yaitu dengan cara

petani memberi perkiraan keuntungan yang didapat dalam pengelolaan

sawah. Jika menganut dalam prinsip keadilan, harusnya kerugian

ditanggung oleh kedua belah pihak.

Kerjasama pertanian yang dilakukan di Desa Bedingin mengenai

penanggungan kerugian belum sesuai dengan akad mud}a>rabah. Karena,

dalam akad mud}a>rabah penanggungan kerugian pada dasarnya harus

ditanggung oleh pihak shahibul ma<l jika kesalahan bukan kelalaian dari

pihak petani. Dalam pelaksanaan akad mud}a>rabah pada dasarnya kedua

belah pihak belum paham dan mengerti mengenai akad kerjasama dalam

Islam dengan benar. Jadi pelaksanaannya akad mud}a>rabah ini semata-

mata hanya untuk mendapatkan keuntungan tanpa tahu aturan yang

sebenarnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Imam madhhab dan Fiqh

Umar yaitu:

Dalam Fiqh Umar telah dijelaskan bahwa kerugian ditanggung

sendiri oleh pihak pemodal. Dan menurut madhhab Hana<fi dan Hambali

13
Rachmat, Fiqih Muamalah, 224.
14
Nurhasanah, Mudharabah, 79.
sependapat bahwa pengelola modal tidak berkewajiban mengganti jika

terdapat kerugian karena perniagaan.

Dalam sebuah perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pemilik

modal dan pengelola modal pada dasarnya masih belum sesuai dengan

hukum Islam, karena syarat dan ketentuan hanya ditentukan oleh salah

satu pihak dan dirasa syarat mengenai penanggungan kerugian tersebut

memberatkan salah satu pihak, karena dalam penanggungan kerugian

hanya pihak petani saja yang menanggungnya. Dalam sebuah perjanjian

kerugian seharusnya ditanggung bersama-sama dan dalam kerjasama

harusnya tidak ada unsur tekanan. Dengan melihat salah satu hadits:

ْ‫الْمْسْلْمْونْْعْنْدْْشْرْوْطْهم‬
”Orang-orang Islam itu berada pada syarat-syarat mereka”15

Dalam prinsip mud}a>rabah dijelaskan bahwa, dalam penanggungan

kerugian dibebankan kepada pemilik modal. Kerugian pada dasarnya harus

ditanggung oleh pemilik modal, kecuali kesalahan merupakan kelalaian

dari pihak petani. Agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan jika

menganut asas keadilan maka jika lebih baik kerugian pada dasarnya

ditanggung oleh kedua belah pihak agar tidak ada pihak yang merasa

dirugikan. Karena, dalam mud}a>rabah asas keadilan harus diberikan kepada

para pihak yang melakukan kerjasama.

15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah Alih Bahasa: H. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-
Ma’arif, 1997), 131.
Kontrak kerjasama pertanian bisa dikatakan berakhir apabila modal

yang ditanamkan mengalami kerugian ditangan pengelola. Karena,

kerugian yang terjadi mengakibatkan tidak adanya pembagian nisbah bagi

hasil antara kedua belah pihak. Maka, kerjasama tersebut dapat dinyatakan

selesai oleh kedua belah pihak pemilik modal dan petani. Apabila

kerjasama tersebut dibatalkan oleh satu pihak maka tidak dibenarkan

dalam Islam, karena dapat merugikan dan membawa mudharat pada pihak

lain. Jika terjadi pembatalan maka harus diberitahukan kepada pihak lain.

Penanggungan kerugian yang dilakukan oleh masyarakat Desa

Bedingin dalam kerjasama pertanian belum sesuai dengan Hukum Islam.

Karena, penanggungan kerugian yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa

Bedingin berlawanan dengan pendapat para ulama seperti mud}a>rabah

menurut Fiqh Umar yaitu, sementara kerugian ditanggung sendiri oleh

pihak pemodal. Selain itu madhhab Hana<fi dan Hambali sependapat

bahwa pengelola modal tidak berkewajiban mengganti jika terdapat

kerugiaan karena perniagaan. Jika menganut dalam asas keadilan maka

lebih baik kerugian yang terjadi dalam kerjasama di atas lebih baik

kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak agar tidak ada yang merasa

dirugikan.

Dengan demikian dalam kerjasama pertanian yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Bedingin secara tidak langsung bisa menjadi batal

dengan adanya dalil yang mengatakan bahwa kerugian harus ditanggung

oleh pihak pemilik modal. Namun, dalam kenyataannya dalam kerjasama


pertanian di Desa Bedingin kerugian ditanggung oleh petani, yang berarti

disini petani mendapatkan beban yang berat karena harus menanggung

kerugian secara sepihak, dalam hal ini berarti penanggungan kerugian

yang dilakukan oleh masayarakta Desa Bedingin berlawanan dengan

pendapat para ulama yang telah dijelaskan diatas. Jadi, dalam penjelasan di

atas kerjasama pertanian di Desa Bedingin belum sesuai dengan Hukum

Islam karena tidak ada keselarasan antara dalil dan pelaksanaan kerjasama

tersebut. Namun, seharusnya dalam penanggungan kerugian demi

menghindari ketidakadilan dan mudharat diantara kedua belah pihak maka

lebih baik kerugian ditanggung secara bersama antara pemilik modal dan

petani.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan pembahasan serta pengujian hipotesis dapat

diambil kesimpulan:

1. Perhitungan bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bedingin

Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo presentase yang ditetapkan

sudah sesuai dengan pendapat para ulama yaitu, adanya

pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil

keuntungan dan keuntungan yang dibagi oleh kedua belah pihak

dipresentasekan sesuai dengan kesepakatan awal dengan presentase

25% untuk pemilik modal dan 75% untuk pengelola setelah hasil

panen dikurangi modal awal. Dalam kerjasama tersebut menganut

pada prinsip-prinsip mud}a>rabah yaitu, prinsip berbagi keuntungan,

prinsip berbagi kerugian, prinsip kejelasan, prinsip kepercayaan dan

kehati-hatian.

2. Dalam kerjasama pertanian yang dilaksanakan di Desa Bedingin

Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo tidak selalu mengalami

untung namun terkadang juga mengalami kerugian. Penanggungan

kerugian yang diterapkan dalam kerjasama di Desa Bedingin

ditanggung oleh pihak petani dengan cara membayar kerugian dengan

perkiraan keuntungan yang didapat oleh pihak pemodal. Jika

mengacu pada pendapat para ahli dan hukum Islam kerugian pada

62
dasarnya ditanggung pemilik modal atau kedua belah pihak. Jadi,

kerjasama ini belum sesuai dengan Hukum Islam, karena dalam

pelaksanaannya tidak sesuai dengan pendapat para ulama yaitu

bahwa kerugian ditanggung oleh pihak pemilik modal jika kerugian

bukan murni kesalahan dari petani.

B. Saran

1. Seharusnya dalam kerjasama dilakukan tidak hanya secara lisan,

namun harus ada perjanjian secara tertulis agar menjadi bukti yang

autentik jika suatu saat terjadi wanprestasi. Dalam Islam pun

disarankan apabila melakukan perjanjian seharusnya dilakukan secara

tertulis. Apabila suatu saat jika terjadi kesalah pahaman antara pihak

pemodal dan petani maka dokumen perjanjian tersebut dapat menjadi

bukti dalam penyelesaian masalah.

2. Pemodal tidak hanya mementingkan keuntungan untuk diri sendiri dan

tidak hanya membebankan kerugian terhadap petani saja. Seharusnya

kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak.

63
63
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Saebani, Afiffudin. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:


Pustaka Setia, 2009.

A.Karim, Adiwarman. Bank Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2006.

Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy Ibnu Majah,


Sunan Ibnu Majah, Juz 3, Beirut: Darul-Fikr, 1992

Al Jaziry, Abdurrahman. Fiqih Empat Madzhab Jilid IV. Semarang: As-


Syifa. 1994.
Al-Qur’an, Muzammil, 20.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada. 2012.

Damanuri, Aji. Metodologi Penelitian Muamalah. Ponorogo: STAIN Po


PRESS, 2010.

Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di


Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Fitriana, Dian. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Antara


Pemilik dan Pengelola Sapi di Desa Tanjung Gunung Kecamatan
Badegan Kabupaten Ponorogo. Skripsi. Ponorogo: IAIN Ponorogo,
2010.

Ghofur Anshori, Abdul. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2010.

Hasan, Ali. Manajemen Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2009.

Hasan, Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Raja


Grafindo Persada. 2004.

Hendi, Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,


2008.

L. Udovitchi, Abraham. Kerjasama Syari’ah. Kediri: Qubah. 2008.

Moloeng, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. cet, ke-XXIII


Bandung: Raja Resdakarya, 2007.
Muhamad. Metodologi Penelitian Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta:
Ekonosia, 2003.

Naufal, Zaenudin. Fikih Muamalah Klasik dan KontemporerI. Bogor: Ghalia


Indonesia, 2012.

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia


Indonesia, 2012.

Neon, Muhaji. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra


Grafindo, 1999.

Nurhasanah, Neneng. Mudharabah dalam Teori dan Praktik. Bandung: PT


Refika Aditama, 2015.

Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,


1986.

Rahmawati, Wahyu. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kerjasama


Mencari Ikan di Kabupaten Ponorogo, Skripsi IAIN Ponorogo, 2017.

Ru’fah Abdullah, Sohari Sahri. Fiqh Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.


2011.

R. SJahdeni, Sutan. Perbankan Islam. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.


2007.

Sa’diyah, Mahmudatus. “mud}a>rabah dalam fiqih dan perbankan syariah”


304.

Shidiq, Saipudin. Fikih Kontemporer, Jakarta: Kencana. 2016.

Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Bandung: ALFABETA, 2017.

Sungono, Bambang. Methodologi Penelitian Hukum Suatu Pengatar.


Jakarta: PT Praja Grafindo Persada, 2002.

Syafe’I, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2001.

Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003

Yai, Said. ”Produk Al-Mudharabah (Bagi Hasil) Dalam Islam Sebagai


Solusi Perekonomian Islam,” dalam
https://pengusahamuslim.com/3833-al-mudharabah-bagi-hasil-
sebagai-solusi-perekonomian-islam.html/.

Zaenudin, Naufal. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia


Indonesia, 2012.

Anda mungkin juga menyukai