Anda di halaman 1dari 19

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hukum Perbankan Syariah di Indonesia Dr. Syauqi Mubarak Seff, MA


Dr. Hj. Amelia Rahmaniah, M.H

AKAD JUAL BELI DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH

OLEH
MUHAMMAD SYAM’ANI : 220221040084

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
TAHUN 2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga
terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan
orang lain. Hubungan antara manusia satu dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan,
harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan.
Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim
disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan fitrah
yang sudah ditakdirkan oleh Allah, karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia
mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang universal memberikan aturan yang
cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. Dalam pembahasan
fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan
karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. 1
Fiqh Muamalah merupakan cabang ilmu yang mengatur tata kehidupan hubungan
antara manusia dengan manusia lainnya. Dalam konteks masalah muamalah selalu berkaitan
dengan berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Pembahasan muamalah terutama di bidang
ekonomi sering kali ditemui dalam sebuah perjanjian atau akad. Akad menjadi penentu halal
atau haramnya suatu transaksi dalam kehidupan sosial masyarakat. Tanpa adanya akad yang
jelas, maka hak kepemilikan atau tujuan transaksi menjadi rusak atau batal. Kedudukan akad
dalam setiap transaksi menjadi penting demi tercapainya kemaslahatan sosial masyarakat.2
Dalam dunia bisnis, akad memiliki peranan sangat penting karena keberlangsungan
kegiatan bisnis ke depan akan tergantung seberapa Bai’k dan rinci akad yang dibuat untuk
menjaga dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad. Akad
merupakan perjanjian yang mengikat hubungan kedua pihak itu sekarang dan yang akan
datang. Pemilihan akad akan mencerminkan seberapa besar risiko dan keuntungan bagi kedua
pihak, terutama bagi pihak pemodal maupun pihak yang mengelola bisnis atau antara pembeli
dengan penjual. 3
Guna menunjang pemahaman tentang akad jual beli maka pada makalah ini penulis
akan memberikan sedikit banyak pemahaman mengenai pandangan fiqh mu’amalah tentang

1
‘5_Akad Bank Syariah_Nurul Ichsan’, 50 (2016).
2
Shovia Indah Firdiyanti, ‘PROBLEMATIKA AKAD MU’AWADLAH: KAJIAN HUKUM ISLAM PEMBERIAN
CASHBACK PADA TRANSAKSI JUAL-BELI ONLINE’, 08.02.
3
Eka Nuraini Rachmawati, ‘AKAD JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN PRAKTIKNYA DI PASAR MODAL
INDONESIA’.
akad-akad berkaitan jual beli, klasifikasi dan macam-macamnya, juga akad jual beli yang biasa
digunakan dalam transaksi perbankan syariah.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian akad secara umum?
b. Bagaimana konsep akad syariah dalam jual beli?
c. Bagimana praktik akad dalam perbankan syariah?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai akad.
b. Untuk mengetahui konsep akad jual beli dalam islam.
c. Untuk mengetahui praktik akad dalam perbankan syariah.
PEMBAHASAN
A. Definisi akad
Dalam bahasa Arab, akad berasal dari kata ‘aqada yang berarti mengikat.
Maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya tersambung dan menjadi seutas tali
yang satu.4
Sedangkan akad dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perjanjian,
perikatan, atau kontrak. 5 Perjanjian berarti suatu peristiwa yang mana seseorang
berjanji kepada orang lain atau pihak lain (perorangan maupun badan hukum) atau
suatu peristiwa yang mana dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan suatu
hal. 6
Menurut Wahbah Zuhaili, akad adalah kesepakatan dua kehendak untuk
menimbulkan akibat hukum, Baik menimbulkan kewajiban, memindahkan,
mengalihkan maupun menghentikannya. 7 Sedangkan Ibnu Abidin mendefinisikan akad
dengan pertalian antara ijab dan kabul, sesuai dengan kehendak syariah, yang
berpengaruh pada objek perikatan.8
Akad atau kontrak berkaitan dengan barang/harta benda (mâl), hak pemanfaatan
harta benda, dan transfer kepemilikan atas barang/hak atas pemanfaatan harta benda
dari satu pihak ke pihak lain. Mâl atau harta benda dalam fikih muamalah dibagi dua,
yakni: yang dapat dipindahkan dan yang tidak dapat dipindahkan, dapat diganti dan
tidak dapat diganti, yang pasti ‘ayn dan yang tidak pasti (dayn). ‘Ayn berupa aset riil
sedangkan dayn berupa aset keuangan, seperti uang, emas, valuta asing, saham, dan
sukuk.
Kepemilikan harta dapat dibedakan tiga, yaitu: kepemilikan aset (milk al- ‘ayn),
kepemilikan utang (milk al-dayn), serta kepemilikan hak pemanfaatan atas barang
(milk al-manfa’at). Apabila seseorang mendapatkan kepemilikan atas ‘ayn (aset riil),
maka ia juga mendapat kepemilikan atas manfaat. Milk al-’ayn bersifat pasti dan tidak
terkait waktu, yang berarti jika seseorang mendapat kepemilikan atas aset melalui
pembelian, asetnya tersebut tunduk pada kebijaksanaannya.9

4
Ibnu Manzhur, Lisan al’Arab (Cairo: Dar Ma’arif, 1119 H), jilid 3, h. 296
5
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi II, h. 15
6
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 14, (Jakarta: Intermasa, 1992), h. 1.
7
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV, (Damaskus: Dar al-Fikr), h. 81
8
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Jilid II (Damaskus: Dar al-Tsaqafah wa al-Turats), h. 255
9
Rachmawati.
Islam memandang kegiatan akad dan pemilikan harta dengan cara jual beli
sebagai perbuatan yang mulia sebab kegiatan ini bisa dijadikan salah satu sarana untuk
beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT, selama kegiatan-kegiatan ini
dilandasi dengan perintah-perintah-Nya. Prinsip yang harus dijalankan dalam kegiatan
berdagang atau mencari nafkah lainnya, seperti yang diperintahkan dalam QS. al-
Baqarah ayat 188 yang artinya: “Jangan mencarinya dengan jalan yang bathil”, QS. al-
Munâfiqûn ayat 9: “Jangan lupa berdzikir atau mengingat Allah”, QS. al-Nûr ayat 37:
“Jangan lupa untuk mengeluarkan zakat dan sedekah dari sebagian harta yang
diperolehnya”, dan QS. al-Hasyr ayat 7: “Jangan memusatkan harta kekayaan hanya
kepada sekelompok orang saja”. 10
Dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fiqh muamalah membagi lagi akad
menjadi dua bagian, yakni akad tabarru‟ dan akad tijarah.
1. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ (tabarru’at) merupakan akad-akad kebajikan yang seolah harus
kosong dari pamrih materi ataupun keuntungan lainnya yang bersifat profan. 11
Maksudnya adalah untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan
ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari “return” ataupun
motif. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra‟,
Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad. Atau dalam redaksi lain akad tabarru‟
(gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit
transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis
untuk mencari keuntungan komersil. 12
2. Akad Tijari
Yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan di
mana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori
ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna‟dan ijarah muntahiya bittamlik serta
Mudharabah dan Musyarakah. Atau dalam redaksi lain akad tijari (conpensational
contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad
ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, karena itu bersifat komersial. 13
B. Konsep akad dalam jual beli Dalam Islam

10
Iskandar Mirza, ‘KEABSAHAN AKAD JUAL BELI MULTI LEVEL MARKETING DALAM PERSPEKTIF TEORI
HUKUM PERJANJIAN SYARI‘AH (NAZHÂRIYYAT AL-‘UQÛD)’, Asy-Syari’ah, 18.2 (2015)
<https://doi.org/10.15575/as.v18i2.663>.
11
Aziz Uswa, ‘TABARRU’ AND MU’ÂWAḌAH CONTRACTS’, Journal of Comprehensive Science, 1.2 (2022), 44–54.
12
Haqiqi Rafsanjani, ‘AKAD TABARRU’ DALAM TRANSAKSI BISNIS’, 1, 2016.
13
Rafsanjani.
a. Rukun akad jual beli
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari: 1) Shighat al-
’aqd, 2) aqid, dan 3) ma’qud alaih. Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa rukun
akad itu adalah ijab dan qabūl. Ijab dan qabūl dinamakan shighat al-‘aqd atau ucapan
yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. Adapun menurut ulama
jumhur ijab adalah apa yang muncul dari orang yang mempunyai hak dan memberikan
hak kepemilikannya, meskipun munculnya itu belakangan. Sedangkan qabūl adalah apa
yang muncul dari orang yang akan memiliki barang yang dibelinya, meskipun
munculnya diawal. 14
b. Syarat akad jual beli
Ulama fikih telah menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi
dalam suatu akad yaitu:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap untuk bertindak
hukum/mukallaf, atau apabila obyek akad merupakan kepunyaan orang yang
tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka yang berhak bertindak adalah
walinya.
2. Objek akad tersebut diakui oleh syariat. Benda yang menjadi objek adalah
bukan barang najis, akan tetapi bermanfaat, bisa diserah terimakan, kepunyaan
orang yang menjualnya atau orang yang menjualnya dikuasakan untuk
menjualnya.
3. Akad tersebut tidak dilarang oleh nash syariat.
4. Akad itu bermanfaat.
5. Ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya kabul.
6. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis, yaitu suatu keadaan yang
menggambarkan suatu transaksi.
7. Tujuan akad jelas dan diakui oleh syariat. 15

14
H. M. Hanafiah, ‘AKAD JUAL BELI DALAM TRADISI PASAR TERAPUNG MASYARAKAT BANJAR’, Al-Tahrir:
Jurnal Pemikiran Islam, 15.1 (2015), 201–17 <https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v15i1.170>.
15
Muhammad Yunus, Fahmi Fatwa Rosyadi Satria Hamdani, and Gusti Khairina Shofia, ‘TINJAUAN FIKIH MUAMALAH
TERHADAP AKAD JUAL BELI DALAM TRANSAKSI ONLINE PADA APLIKASI GO-FOOD’, Amwaluna: Jurnal
Ekonomi dan Keuangan Syariah, 2.1 (2018), 135–46 <https://doi.org/10.29313/amwaluna.v2i1.3363>.
c. Macam-macam akad jual beli
Akad jual beli yang dilakukan dalam kegiatan ekonomi syariah terdiri dari
berbagai macam. Berikut macam-macam akad jual beli yang sesuai dengan syariat
Islam.
1. Istishna’
Menurut Fatwa DSN No. 06/DSN MUI/IV/2000 tentang jual beli
istishna’, Bai’ istishna’ merupakan kontrak penjualan antara
mustasni’(pembeli) dan sani’ (suplier) dimana pihak suplier menerima pesanan
dari pembeli menurut spesifikasi tertentu. Pihak suplier berusaha melaluiorang
lain untuk membeli atau membuat barang dan menyampaikannyakepada
pemesan. Pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan atauditangguhkan
hingga waktu tertentu. Pada dasarnya, Bai’ istishna’ merupakan transaksi jual
beli cicilan pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan
jual beli murabahah dimana barang diserahkan di muka, sedangkan uangnya
dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang diserahkan dibelakang,
walaupun uangnya juga sama-sama dibayar secara cicilan. 16
2. Murabahah
Menurut Abdullah Saeed Murabahah adalah suatu jenis penjualan
dengan pembayaran tunda dengan suatu transaksi perdagangan murni.
Penjualan model ini diangap sah oleh para ulama walaupun tidak didukung oleh
Al Qur’an dan Hadis. Bank-bank syari’ah menggunakan kontrak murabahah
dalam aktifitas pembiayaan mereka. Pembiayaan semacam ini sekarang telah
mencapai lebih dari tujuh lima persen dari total pembiayaan yang dilakukan
oleh bank-bank syari’ah. Syafi’I Antonio menambahkan bahwa murabahah
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang
yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. 17
Dengan memperhatikan dari pengertian-pengertian yang dikemukakan
oleh para cendikiawan di atas, dapat dipahami bahwa murabahah adalah

16
Moh. Mukhsinin Syu’aibi and Ifdlolul Maghfur, ‘IMPLEMENTASI JUAL BELI AKAD ISTISHNA’ DIKONVEKSI
DUTA COLLECTION’S YAYASAN DARUT TAQWA SENGONAGUNG’, MALIA (TERAKREDITASI), 11.1 (2019), 139–
50 <https://doi.org/10.35891/ml.v11i1.1794>.
17
Qi Mangku Bahjatulloh, ‘EKONOMI SYARIAH Kajian Pembiayaan Murabahah Antara Teori dan Praktek’, Muqtasid:
Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, 2.2 (2011), 281 <https://doi.org/10.18326/muqtasid.v2i2.281-303>.
menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai margin (keuntungan).
3. Salam
Jual beli salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas
dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan
dikemudikan hari yang disifatkan dalam pertanggung jawaban, dengan ucapan
menyerahkan, “Saya menyerahkan kepada engkau dua puluh perak terhadap
dua puluh bambu yang sifatnya begini-begini. Sedangkan, menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan
jual beli yang pembiayaannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.
Dalam transaksi ini pembayarannya dilaksanakan ketika akad berlangsung dan
penyerahan barang dilaksanakan di akhir sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati oleh penjual dan pembeli. 18
4. Bai’ al-Wafa
Akad Bai’ al-Wafa adalah akad yang sering digunakan masyarakat dan
Lembaga keuangan.19 Akad Bai’ al-Wafa adalah akad jual beli yang dilakukan
oleh dua pihak yang salah satunya menjual barang kepada pihak lain dengan
syarat bahwa barang yang telah dijual dapat dibeli kembali oleh pihak pertama
dengan harga pertama pula.20
Bai’ al-wafa’ merupakan jual beli yang secara kesuluruhan teorinya
sama dengan jual beli pada umumnya, yang membedakan hanya di dalam Bai’
al-wafa’ penjual dan pembeli sepakat untuk objek yang diperjualbelikan
tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang telah
disepakati tiba. Apabila waktu yang telah disepakati tiba, dan penjual belum
dapat membeli kembali objeknya maka kedua pihak dapat membuat
kesepakatan baru untuk dapat dijual kembali pada waktu yang telah ditentukan
atau untuk dimiliki secara mutlak selamanya oleh pembeli. Kesepakatan harga
dapat tetap dengan harga yang sebelumnya, atau dapat bisa juga harganya
dinaikkan sesuai dengan harga pasaran. Apabila dilihat dari segi ekonomi

18
Abdul Haris Simal, ‘PELAKSANAAN JUAL BELI DENGAN MENGGUNAKAN AKAD AS-SALAM DITINJAU DARI
PRINSIP TABADUL AL-MANAFI’, 1, 2019.
19
Siti Nur Shoimah, Dyah Ochtorina Susanti, and Rahmadi Indra Tektona, ‘The Characteristics Of Murabahah Akad With
Ba’i Al-Wafa’ System’, 2021 <https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/105270> [accessed 8 March 2023].
20
‫ حدة البار‬,‫فاطمة أوالصديق‬, and 2019 ,’‫ ‘دراسة مقــارنة بين القانون الجزائري والشريعة اإلسالمية‬,‫ مؤطر قيش‬/ ‫< فاتح‬http://www.univ-
adrar.dz/:8080/xmlui/handle/123456789/1850>.
praktik Bai’ al-wafa’ jarang dilakukan karena nominal yang terlalu besar
sehingga banyak orang tidak dapat dengan mudah percaya dengan orang lain
apabila sebelumnya tidak ada hubungan kekerabatan atau persaudaraan,
sedangkan secara sosial Bai’ al-wafa’ merupakan praktik jual beli yang
menguntungkan kedua belah pihak yang bertransaksi dengan alasan pembeli
juga tetap mendapatkan keuntungan dari objek yang menjadi barang dalam jual
beli dengan cara mengolah atau memanfaatkan objek seperti contoh, jika
objeknya sawah, maka pembeli dapat menggarap sawah tersebut dengan
keuntungan sepenuhnya dan dengan tidak membagi keuntungan kepada pihak
penjual, karena objek tersebut mutlak milik pembeli selama masa jual beli
berlangsung. Praktik Bai’ al-wafa’ merupakan praktik sosial dengan unsur
tolong menolong antar sesama manusia. 21
Menurut pendapat Madzhab Hanafi hukum Bai’ al-Wafa adalah boleh.
Hal ini berdasarkan istihsan urf dan juga karena didalam jual beli tersebut
terdapat “ijab dan qobul” sehingga dianggap selayaknya jual beli pada umunya.
Sedangkan ulama Madzhab Syafi‟i tidak melegalkan jual beli tersebut dengan
alasan adanya tenggang waktu dan syarat pengembalian objek jual beli
(bertentangan dengan tujuan jual beli yang seharusnya kepemilikan barang
bersifat permanen), jual beli seperti ini tidak ada dizaman Rasulullah dan
merupakan rekayasa hukum. 22
5. Bai’ Muzayadah
Bai’ Muzayadah atau Lelang menurut pengertian transaksi mua’amalat
kontemporer dikenal sebagai bentuk penjualan barang di depan umum kepada
penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada
penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah kemudian
semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga
tertinggi.23

21
Muslim Muslim, Saveta Choirunnisa, and Diah Dwi Wulandari, ‘PANDANGAN PENGURUS MUI PROVINSI
LAMPUNG PERIODE 2016-2021 TERHADAP BAI AL-WAFA’’, ASAS, 13.1 (2021), 44–60
<https://doi.org/10.24042/asas.v13i1.9330>.
22
Lestari Dian, ‘ANALISIS PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN SYAFI’I TENTANG BAI AL-WAFA’ (unpublished
Undergraduate, UIN Raden Intan Lampung, 2021) <http://repository.radenintan.ac.id/16275/> [accessed 8 March 2023].
23
Ade Irawan and others, ‘PELELANGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA KONSTRUKSI DALAM PERSPEKTIF
ISLAM’, Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 2 (2022).
Proses Bai’ Muzayadah juga didefinisikan sebagai proses seseorang
yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli dalam menentukan jumlah
harga dari suatu komoditas atau layanan berdasarkan prinsif saling rida antar
keduanya. 24
Pada prinsipnya, syariah Islam membolehkan jual beli barang/ jasa yang
halal dengan cara lelang yang dalam fiqih disebut sebagai akad Bai’
Muzayadah. Dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Nabi saw.
ketika didatangi oleh seorang sahabat dari kalangan anshar meminta sedekah
kepadanya. Lalu Nabi bertanya: “Apakah di rumahmu ada suatu aset/barang?”
Ia menjawab ya ada, sebuah hils (kain usang) yang kami pakai sebagai selimut
sekaligus alas dan sebuah qi‟b (cangkir besar dari kayu) yang kami pakai
minum air. Lalu beliau menyuruhnya mengambil kedua barang tersebut. Ketika
ia menyerahkannya kepada Nabi, beliau mengambilnya lalu menawarkannya:
“Siapakah yang berminat membeli kedua barang ini?” Lalu seseorang menawar
keduanya dengan harga satu dirham. Maka beliau mulai meningkatkan
penawarannya: “Siapakah yang mau menambahkannya lagi dengan satu
dirham?” lalu berkatalah penawar lain: “Saya membelinya dengan harga dua
dirham” Kemudian Nabi menyerahkan barang tersebut kepadanya dan
memberikan dua dirham hasil lelang kepada sahabat anshar tadi.(HR.Abu
Dawud, An-Nasa‟i dan Ibnu Majah).25
6. Bai’ ‘inah
Menurut az-Zuhailî, disebut sebagai ’înah karena pembeli (kedua)
menerima suatu objek berbentuk ayn yang merupakan uang dan bukan barang.
Perbedaan harga diantara yang pertama serta kedua adalah bunga terselubung
serta bersifat riba bagi pemilik barang yang diperjual belikan. Oleh sebab itu,
transaksi ini merupakan hilah ribawi yakni rekayasa atau hilah untuk meminjam
uang yang mengandung riba. 26 Lalu ‘Abdullah al-Mushlih dan Shalâh ash-
Shâwî menyatakan bahwa Bai’ al-’înah merupakan jual beli manipulatif untuk

24
Norleyza Jailani and others, ‘Mapping E-Auction Sharia Compliant Requirements to User Interface Design’, International
Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 10.3 (2020), 1058
<https://doi.org/10.18517/ijaseit.10.3.10266>.
25
Alwan Sobari, ‘Larangan Menjual Barang Yang Sudah Dijual’, Tawshiyah: Jurnal Sosial Keagaman Dan Pendidikan Islam,
12.2 (2017), 1–17 <https://doi.org/10.32923/taw.v12i2.1178>.
26
Wahbah az Zuhailî, Financial Transaction in Islamic Jurisprudence, trans. oleh Mahmoud A. el Gamal, vol. 1 (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2001).
digunakan sebagai alasan peminjaman uang yang dibayar berlebih atau dengan
kata lain adanya tambahan dari pokok pinjaman, yakni dengan cara menjual
barang dengan pembayaran kredit, lalu membelinya kembali secara tunai
dengan harga lebih murah.27
Contoh kasus dengan mekanisme transaksi Bai’ al-’înah misalkan Andi
menjual TV kepada Budi dengan harga 4 juta secara kredit, setelah itu Andi
membeli TVnya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah yakni
seharga 3 juta dari Budi. Andi memperoleh TVnya kembali dari Budi, dan Budi
menerima uang tunai senilai 3 juta, tetapi Budi masih memiliki utang yang harus
dibayarkan di masa depan kepada Andi sebesar 4 juta. Dari contoh kasus ini,
kondisi riil yang terjadi adalah bahwa Andi meminjamkan uang 3 juta kepada
Budi dan Budi harus mengembalikan pinjaman tersebut dengan adanya
tambahan sebesar 1 juta dari pokok pinjaman, sehingga Budi harus membayar
utangnya senilai 4 juta. Adapun TV yang menjadi objek transaksi, hanyalah
sebagai alat dalam rekayasa hukum untuk melegalkan praktik riba. Dalam
transaksi di atas, jual beli yang terjadi tidaklah benar-benar ingin dilakukan dan
dimaksudkan untuk mendapatkan barang, sebab Andi tidak benar-benar ingin
menjual TV-nya, dan Budipun tidak berniat ingin membeli TV dari Andi, tetapi
kondisi yang sebenarnya adalah Budi ingin meminjam uang 3 juta dari Andi
dan Andi ingin bisa meminjamkan uang 3 juta kepada Budi dengan adanya
tambahan keuntungan (bunga) sebesar 1 juta.28
Terjadi perbedaan pendapat berkaitan dengan hukum Bai’al-‘inah, di
mana mazhab Maliki, Hanbali dan Hanafiyah tidak membolehkan Bai’ al-‘inah,
sedangkan mazhab Syafi’i, Zahiri dan beberapa ulama Hanafiyah
menganggapnya makruh.29
Saat ini, Bay al-Inah tidak diterima di beberapa negara seperti negara-
negara Timur Tengah karena dianggap sebagai bagian dari transaksi berbasis
bunga. Beberapa ulama mempertanyakan keabsahan Inah karena mengandung
unsur riba yang menyimpang dari tujuan syariat yang sebenarnya. Masalah lain

27
’Abdullah al Mushlih dan Shalâh ash Shâwî, Mâ Lâ Yasa’ at-Tajir Jahluh (Mesir: Dâr alIslâm, 2008).
28
Parman Komarudin and Muhammad Syarif Hidayatullah, ‘Analisis Qiyās Transaksi Tawarruq dengan Bai al-’Īnah’,
NUKHBATUL ’ULUM: Jurnal Bidang Kajian Islam, 7.1 (2021), 59–79 <https://doi.org/10.36701/nukhbah.v7i1.317>.
29
NIM 1120310008 MUHAMMAD ACHID NURSEHA, ‘HILAH BAI AL-‘INAH DALAM FATWA DEWAN SYARI’AH
NASIONAL NOMOR: 31/DSN-MUI/VI/2002 TENTANG PENGALIHAN UTANG’ (unpublished masters, UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA, 2014) <https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15099/> [accessed 8 March 2023].
yang muncul adalah untuk mencegah penggabungan dua penjualan objek yang
sama antara rekanan yang sama. Masalahnya di sini adalah bahwa perbedaan
waktu dan harga adalah cara mensintesis pinjaman dengan bunga. Inilah konsep
bay al-inah dan dilarang oleh mayoritas ulama Islam yang meyakini bahwa
selisih keuntungan merupakan riba yang diharamkan30
7. Bai’ Tawarruq
Bai’ tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan beberapa
pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama
dengan cara pembayaran tunda (kredit), kemudian pembeli pertama menjual
kembali barang tersebut kepada pembeli lain dengan tunai. Bai’ tawarruq terjadi
ketika seseorang dalam keadaan dhoruroh memerlukan uang tunai (likuiditas),
kemudian membeli barang dari pihak I dengan cara cicilan (credit) dan tempo
waktu kredit telah ditentukan. Kemudian ia menjual kembali barang tersebut
kepada pihak III dengan harga lebih rendah secara tunai (cash). 31
Dalam perbankan syariah, Tawarruq didefinisikan sebagai “proses
dimana seorang nasabah yang membutuhkan likuiditas, membeli suatu barang
dari bank dengan pembayaran cicilan yang ditangguhkan, kemudian menjual
barang tersebut dan menggunakan uang yang diperolehnya untuk kebutuhan
pribadinya.32
Di era modern, istilah ini mengalami pembagian dengan adanya praktik
yang dilakukan di bank syariah yang disebut dengan Bai’ al-tawarruq almasrafy
dan yang dilakukan di luar bank syariah yang disebut dengan Bai’ al-tawarruq
al-fiqhi. Dua jenis akad Bai’ al-tawarruq ini tampak sama praktiknya dengan
Bai’ al‘inah, akan tetapi mempunyai perbedaan dengan terlibatnya pihak ketiga
dalam praktik Bai’ al-tawarruq, di mana hal ini tidak ada di Bai’ al-‘inah. Pro
kontra Ulama terhadap hukum Bai’ al-tawarruq sudah ada sejak era klasik,
mayoritas Ulama tiga mazhab (Hanafi, Maliki dan Syafi’i) melarang adanya
praktik Bai’ al-tawarruq dengan alasan hailah dan mengarah ke riba, hanya
mazhab Hanbali yang dimotori oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim yang
memperbolehkan akad tersebut dengan argumentasi Bai’ al-tawarruq berbeda

30
Siti Salwani Razali, ‘Revisiting the Principles of Gharar (Uncertainty) in Islamic Banking Financing Instruments with
Special Reference to Bay Al-Inah and Bay Al- Dayn Towards a New Modified Model’, 2.1 (2012).
31
Asep Dadan Suganda, ‘ANALISIS TEORI BAI TAWARRUQ DALAM MUAMALAH MALIYAH’, ISLAMICONOMIC:
Jurnal Ekonomi Islam, 6.1 (2016) <https://doi.org/10.32678/ijei.v6i1.6>.
32
Essia Ries Ahmed and Sofri Yahaya, ‘Shubuhat on Matter of Baialinah and Tawarruq’.
dengan akad Bai’ al-‘inah yang dilarang. Sementara itu, Ulama kontemporer
beda pendapat dalam menghukum Bai’ al-tawarruq al-masrafy. Mengacu pada
hasil keputusan muktamar dan konferensi di Sharjah Uni Emirat Arab, Bahrain
dan Arab Saudi pada tahun 1423 H. terdapat dua kubu yang berseberangan
dalam merumuskan hukum Bai’ al-tawarruq al-masrafy. Kubu pertama, mazhab
mayoritas mengharamkan transaksi keuangan menggunakan akad ini di bank
syariah karena mengandung unsur riba, hailah dan termasuk dari bentuk Bai’
al-‘inah. Sedangkan kubu kedua, mazhab minoritas cenderung
memperbolehkannya dengan alasan darurat dan kebutuhan yang mendesak serta
pemenuhan likuiditas. 33

d. Bentuk - bentuk Jual Beli yang dilarang


Setiap transaksi jual beli yang memberi peluang terjadinya
persengketaan, karena barang yang dijual tidak transparan, atau ada unsur
penipuan yang dapat membangkitkan permusuhan antara bdua pihak
bertransaksi, atau salah satu pihak menipu pihak lain, dilarang oleh Nabi
Muhammad SAW, sebagai antisipasi terhadap munculnya kerusakan yang lebih
besar.34

C. Praktik Akad Jual Beli Dalam Transaksi Perbankan Syariah


Salah satu akad yang digunakan oleh perbankan syariah adalah akad
Murabahah. Murabahah merupakan salah satu produk perbankan syariah yang banyak
diminati masyarakat. Karenanya akad ini menjadi alternatif yang mudah dan tepat
untuk berbagai pembiayaan atau pinjaman di perbankan konvensional yang tentunya
sarat dengan riba. Banyak ulama fiqh dan juga berbagai lembaga nasional dan
internasional yang membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga Ilmu Hukum
Nasional, DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad
murabahah, sebagaimana tertuang dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa

33
Robbani, S. (2021). DIFERENSIASI AL-TAWARRUQ AL-MASRAFI DAN AL-TAWARRUQ AL-FIQHI MENURUT
HUKUM EKONOMI SYARIAH. At-Tuhfah: Jurnal Studi Keislaman, 10(1), 76-88.
34
Daharmi Astuti, ‘Persepsi Masyarakat Terhadap Akad Jual Beli Online Perspektif Ekonomi Syariah’, Syarikat: Jurnal
Rumpun Ekonomi Syariah, 1.1 (2018), 13–26 <https://doi.org/10.25299/syarikat.2018.vol1(1).2625>.
DSN ini merupakan payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan
akad murabahah.35
Murabahah adalah jenis jual beli murni dengan pembayaran yang ditangguhkan.
Meskipun Al-Qur'an dan Hadits tidak memberikan penjelasan yang jelas, namun para
mazahib menganggap model jual beli ini sah-sah saja. Dalam pembiayaannya, bank
syariah menggunakan akad murabahah sebagai landasan melakukan transaksi. 36
Secara konsep, murabahah hanya melibatkan dua pihak yaitu penjual dan
pembeli. Dalam aplikasinya di perbankan syariah, murabahah melibatkan tiga pihak,
yaitu nasabah sebagai pembeli, bank sebagai penjual dan suplier sebagai pemasok
barang kepada bank atas permintaan nasabah. Akan tetapi dalam realitanya, murabahah
lebih banyak teraplikasi dengan konsep murabahah bil wakalah. Artinya bank
memberikan wewenang kepada nasabah untuk melakukan jual beli terhadap barang
kebutuhan nasabah dengan melakukan perjanjian wakalah (perwakilan), yang pada
akhirnya nasabah hanya menyerahkan kwitansi pembelian barang sebagai bukti bahwa
murabahah yang ditanda tangani akadnya bisa berjalan sesuai dengan prosedurnya. 37
Dalam implementasinya, nasabah yang mengajukan pembiayan untuk
pembelian barang konsumtif diberikan surat kuasa berupa wakalah atau pendelegasian
wewenang untuk membeli sendiri barang kebutuhannya kepada suplier, kemudian bank
memberikan pembiayaan dengan mentransfer ke rekening nasabah. Setelah membeli
barang, kemudian nasabah menyerahkan kwitansi sebagai bukti pembelian kepada bank
dan sebagai bukti bahwa nasabah benar-benar telah membeli barang sesuai akad,
setelah itu bank menjual lagi kepada nasabah dengan margin tertentu.38

35
Atina Shofawati, ‘Murabahah Financing in Islamic Banking: Case Study in Indonesia’, 2014.
36
Issam Tlemsani, Farhi Marir, and Munir Majdalawieh, ‘Screening of Murabaha Business Process through Quran and Hadith:
A Text Mining Analysis’, Journal of Islamic Accounting and Business Research, 11.9 (2020), 1889–1905
<https://doi.org/10.1108/JIABR-05-2020-0159>.
37
Afrida, Y. (2016). Analisis pembiayaan Murabahah di perbankan syariah. Jebi (jurnal ekonomi dan bisnis islam), 1(2).
38
Afrida, Y.
KESIMPULAN

Akad jual beli adalah suatu kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dalam agama
Islam, aktivitas perdagangan yang dilakukan tanpa adanya akad, maka kegiatan jual beli
dianggap tidak sah.

Dalam agama Islam, rukun akad jual beli adalah suatu hal yang wajib terpenuhi
sebelum Anda melakukan proses transaksi untuk menentukan tingkat keabsahannya. Berikut
adalah beberapa contoh dari rukun dalam kegiatan jual beli.

1. Penjual dan Pembeli


Dalam akad, harus ada penjual dan pembeli agar aktivitas perdagangan bisa
dilakukan secara sah. Selain itu, akan lebih Bai’k jika akad dilakukan tatap muka secara
langsung untuk mencegah rasa ketidakpuasan atau salah paham yang bisa muncul.
2. Objek
Objek akad dapat berbentuk barang ataupun jasa yang bisa diterima nilainya
dan terjamin halal. Misalnya, akad jual beli rumah, baju dan makanan.
3. Pengucapan
Pengucapan akad berisikan tentang pernyataan bahwa penjual menyetujui
kesepakatan dari pembeli dan bersedia untuk memberikan barang yang dijual untuk
ditukar dengan alat transaksi seperti uang atau harta lain.

Setiap transaksi jual beli yang memberi peluang terjadinya persengketaan, karena
barang yang dijual tidak transparan, atau ada unsur penipuan yang dapat membangkitkan
permusuhan antara bdua pihak bertransaksi, atau salah satu pihak menipu pihak lain, dilarang
oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai antisipasi terhadap munculnya kerusakan yang lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA

‘5_Akad Bank Syariah_Nurul Ichsan’, 50 (2016)

Ahmed, Essia Ries, and Sofri Yahaya, ‘Shubuhat on Matter of Bai’alinah and Tawarruq’

Astuti, Daharmi, ‘Persepsi Masyarakat Terhadap Akad Jual Beli Online Perspektif Ekonomi
Syariah’, Syarikat: Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, 1.1 (2018), 13–26
<https://doi.org/10.25299/syarikat.2018.vol1(1).2625>

Bahjatulloh, Qi Mangku, ‘EKONOMI SYARIAH Kajian Pembiayaan Murabahah Antara


Teori dan Praktek’, Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, 2.2 (2011), 281
<https://doi.org/10.18326/muqtasid.v2i2.281-303>

Dian, Lestari, ‘ANALISIS PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN SYAFI’I TENTANG


BAI’ AL-WAFA’ (unpublished Undergraduate, UIN Raden Intan Lampung, 2021)
<http://repository.radenintan.ac.id/16275/> [accessed 8 March 2023]

Firdiyanti, Shovia Indah, ‘PROBLEMATIKA AKAD MU’AWADLAH: KAJIAN HUKUM


ISLAM PEMBERIAN CASHBACK PADA TRANSAKSI JUAL-BELI ONLINE’,
08.02

Hanafiah, H. M., ‘AKAD JUAL BELI DALAM TRADISI PASAR TERAPUNG


MASYARAKAT BANJAR’, Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 15.1 (2015), 201–17
<https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v15i1.170>

Irawan, Ade, Surya Adinata, Chitra Hermawan, Dwi VistiRurianti, and Joko Triyanto,
‘PELELANGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA KONSTRUKSI DALAM
PERSPEKTIF ISLAM’, Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 2 (2022)

Jailani, Norleyza, Mohammed Al-Aaidroos, Muriati Mukhtar, Marini Abu Bakar, and Amirah
Ismail, ‘Mapping E-Auction Sharia Compliant Requirements to User Interface Design’,
International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology,
10.3 (2020), 1058 <https://doi.org/10.18517/ijaseit.10.3.10266>

Komarudin, Parman, and Muhammad Syarif Hidayatullah, ‘Analisis Qiyās Transaksi


Tawarruq dengan Bai’ al-’Īnah’, NUKHBATUL ’ULUM: Jurnal Bidang Kajian Islam,
7.1 (2021), 59–79 <https://doi.org/10.36701/nukhbah.v7i1.317>

Mirza, Iskandar, ‘KEABSAHAN AKAD JUAL BELI MULTI LEVEL MARKETING


DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM PERJANJIAN SYARI‘AH
(NAZHÂRIYYAT AL-‘UQÛD)’, Asy-Syari’ah, 18.2 (2015)
<https://doi.org/10.15575/as.v18i2.663>

Moh. Mukhsinin Syu’aibi and Ifdlolul Maghfur, ‘IMPLEMENTASI JUAL BELI AKAD
ISTISHNA’ DIKONVEKSI DUTA COLLECTION’S YAYASAN DARUT TAQWA
SENGONAGUNG’, MALIA (TERAKREDITASI), 11.1 (2019), 139–50
<https://doi.org/10.35891/ml.v11i1.1794>

MUHAMMAD ACHID NURSEHA, NIM 1120310008, ‘HILAH BAI’ AL-‘INAH DALAM


FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NOMOR: 31/DSN-MUI/VI/2002
TENTANG PENGALIHAN UTANG’ (unpublished masters, UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA, 2014) <https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15099/>
[accessed 8 March 2023]

Muslim, Muslim, Saveta Choirunnisa, and Diah Dwi Wulandari, ‘PANDANGAN


PENGURUS MUI PROVINSI LAMPUNG PERIODE 2016-2021 TERHADAP BAI’
AL-WAFA’’, ASAS, 13.1 (2021), 44–60 <https://doi.org/10.24042/asas.v13i1.9330>

Rachmawati, Eka Nuraini, ‘AKAD JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN
PRAKTIKNYA DI PASAR MODAL INDONESIA’

Rafsanjani, Haqiqi, ‘AKAD TABARRU’ DALAM TRANSAKSI BISNIS’, 1, 2016

Razali, Siti Salwani, ‘Revisiting the Principles of Gharar (Uncertainty) in Islamic Banking
Financing Instruments with Special Reference to Bay Al-Inah and Bay Al- Dayn
Towards a New Modified Model’, 2.1 (2012)

Shofawati, Atina, ‘Murabahah Financing in Islamic Banking: Case Study in Indonesia’, 2014
Shoimah, Siti Nur, Dyah Ochtorina Susanti, and Rahmadi Indra Tektona, ‘The Characteristics
Of Murabahah Akad With Ba’i Al-Wafa’ System’, 2021
<https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/105270> [accessed 8 March
2023]

Simal, Abdul Haris, ‘PELAKSANAAN JUAL BELI DENGAN MENGGUNAKAN AKAD


AS-SALAM DITINJAU DARI PRINSIP TABADUL AL-MANAFI’, 1, 2019

Sobari, Alwan, ‘Larangan Menjual Barang Yang Sudah Dijual’, Tawshiyah: Jurnal Sosial
Keagaman Dan Pendidikan Islam, 12.2 (2017), 1–17
<https://doi.org/10.32923/taw.v12i2.1178>

Suganda, Asep Dadan, ‘ANALISIS TEORI BAI’ TAWARRUQ DALAM MUAMALAH


MALIYAH’, ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam, 6.1 (2016)
<https://doi.org/10.32678/ijei.v6i1.6>

Tlemsani, Issam, Farhi Marir, and Munir Majdalawieh, ‘Screening of Murabaha Business
Process through Quran and Hadith: A Text Mining Analysis’, Journal of Islamic
Accounting and Business Research, 11.9 (2020), 1889–1905
<https://doi.org/10.1108/JIABR-05-2020-0159>

Uswa, Aziz, ‘TABARRU’ AND MU’ÂWAḌAH CONTRACTS’, Journal of Comprehensive


Science, 1.2 (2022), 44–54

Yunus, Muhammad, Fahmi Fatwa Rosyadi Satria Hamdani, and Gusti Khairina Shofia,
‘TINJAUAN FIKIH MUAMALAH TERHADAP AKAD JUAL BELI DALAM
TRANSAKSI ONLINE PADA APLIKASI GO-FOOD’, Amwaluna: Jurnal Ekonomi
dan Keuangan Syariah, 2.1 (2018), 135–46
<https://doi.org/10.29313/amwaluna.v2i1.3363>

Robbani, S. (2021). DIFERENSIASI AL-TAWARRUQ AL-MASRAFI DAN AL-


TAWARRUQ AL-FIQHI MENURUT HUKUM EKONOMI SYARIAH. At-Tuhfah:
Jurnal Studi Keislaman, 10(1), 76-88.

Afrida, Y. (2016). Analisis pembiayaan Murabahah di perbankan syariah. Jebi (jurnal


ekonomi dan bisnis islam),1(2).
‫ حدة البار‬,‫ فاطمة‬,‫أوالصديق‬, and 2019 ,’‫ ‘دراسة مقــارنة بين القانون الجزائري والشريعة اإلسالمية‬,‫ مؤطر قيش‬/ ‫فاتح‬
<http://www.univ-adrar.dz/:8080/xmlui/handle/123456789/1850>

Manzhur, Ibnu. Lisan al’Arab. Cairo: Dar Ma’arif, 1119 H


Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. 14. Jakarta: Intermasa, 1992
Zuhaili, Wahbah . Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 1405 H
Abidin, Ibnu. Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar. Damaskus: Dar al-Tsaqafah
wa al-Turats, 1421 H
az Zuhailî, Wahbah. Financial Transaction in Islamic Jurisprudence, trans. oleh Mahmoud
A. el Gamal. Damaskus: Dâr al-Fikr 2001
al Mushlih, ’Abdullah dan Shalâh ash Shâwî. Mâ Lâ Yasa’ at-Tajir Jahluh. Mesir: Dâr
alIslâm 2008

Anda mungkin juga menyukai