Anda di halaman 1dari 27

17

BAB II
TEORI AKAD DALAM ISLAM

A. Pengertian Akad dan Dasar Hukumnya
Kata akad berasal dari kata bahasa Arab - yang berarti, membangun
atau mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran, menyatukan
1
. Bisa juga
berarti kontrak (perjanjian yang tercacat).
2
Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq
akad berarti ikatan atau kesepakatan.
3

Secara etimologi akad adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara
nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.
4

Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu
secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua
orang, seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum di
atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat
ulama Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah.
5
Pengertian akad secara khusus
adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara
syara pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
6
Pengertian akad

1
Louis Maluf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-Alam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 518
2
A. Warson Al Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Yogayakarta: Ponpes Al
Munawir, 1984, hlm. 1023.
3
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, jilid 3, Beirut: Dar Al-Fikr, Cet. Ke-3, 1983, hlm.127
4
Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989, hlm. 80
5
Dikutib dalam, Rachmad SyafeI, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. Ke-2,
2004, hlm. 43.
6
Al-Kamal Ibnu al-Humam, Fath al-Qodir, Juz. 5, hlm. 74

18
secara khusus lainnya adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul
berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya.
7

Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya ijab dan qabul. Ijab-
qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlaan
dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari
suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara. Oleh karena itu, dalam Islam tidak
semua kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama
kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridlaan dan syariat Islam.
8

Dalam al-Quran, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan
perjanjian, yaitu al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Pengertian akad secara
bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah
menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya
pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang
satu.
9
kata al-aqdu terdapat dalam surat al- Maidah ayat 1, bahwa manusia
diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-
aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata.
10

Sedangkan istilah al-ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau
overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau
tidak untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain
11
. Istilah
ini terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yaitu sebenarnya siapa yang menepati

7
Rachmad SyafeI, op. cit., hlm. 44.
8
Ibid., hlm. 45
9
Ghufron A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 75
10
Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh
Darus Badrulzaman et al., Cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 247-248
11
Ibid, hlm. 248

19
janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertaqwa.
12


B. Syarat dan Rukun Akad
1. Syarat-syarat akad
Ada beberapa syarat yang berkaitan dengan akad,
13
yaitu:
a. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya
akad secara syara. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal.
Syarat ini terbagi atas dua bagian:
14

1). Syarat Obyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan obyek
akad. Obyek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam
akad jual-beli, obyeknya adalah barang yang yang diperjualbelikan dan
harganya. Dalam akad gadai obyeknya adalah barang gadai dan utang
yang diperolehnya, dan lain sebagainya. Agar sesuatu akad dipandang sah,
obyeknya harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a). Telah ada pada waktu akad diadakan.
Barang yang belum wujuh tidak dapat menjadi obyek akad menurut
pendapat kebanyakan Fuqaha sebab hukum dan akibat akad tidka
mungkin bergantung pada sesuatu yang belum wujuh. Oleh kerena itu,
akad salam (pesan barang dengan pembayaran harga atau sebagian atau

12
Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2000, hlm. 46.
13
Rahmat Syafei, op. cit.., hlm. 64-66
14
Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, cet. Ke-2, 2004,
hlm. 78-82.

20
seluruhnya lebih dulu), dipandang sebagai pengecualian dari ketentuan
umum tersebut. Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab Hambali
memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum wujuh dalam
berbagai macam bentuknya, selagi dapat terpelihara tidak akan terjadi
persengketaan di kemudian hari. Masalahnya adalah sudah atau belum
wujuhnya obyek akad itu, tetapi apakah akan mudah menimbulkan
sengketa atau tidak.
b). Dapat menerima hukum akad.
Para Fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima hukum
akad tidak dapat menjadi obyek akad. Dalam jual misalnya, barang yang
diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang
mengadakan akad jual-beli. Minuman keras bukan benda bernilai bagi
kaum muslimin, maka tidak memenuhi syarat menjadi obyek akad jual
beli antara para pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam.
c). Dapat diketahui dan diketahui.
Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak
yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak mesti semua satuan yang akan
menjadi obyek akad, tetapi dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai
dengan urfI yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak
bertentangan dengan ketentuan agama.




21
d). Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa obyek akad tidak harus dapat
diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan bahwa obyek tersebut
benar-benar ada dalam kekuasaan yang sah pihak bersangkutan.
2). Syarat subyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan subyek
akad.
Dalam hal ini, subyek akad harus sudah aqil (berkal), tamyiz (dapat
membedakan), mukhtar (bebas dari paksaan). Selain itu, berkaitan dengan
orang yang berakad, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu,
15

a). Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak
(ahliyatul wujub) dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan
melakukan tasarruf (ahjliyatul ada).
b). Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum yang pemiliknya
dapat beratasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat
hukum yang ditimbulkan.
c). Perwakilan (wakalah) adalah pengalihan kewenagan perihal harata dan
perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil
tindalan tertentu dalam hidupnya.
b. Syarat kepastian hukum (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar
aib, dan lain-lain.
16


15
Dikutib dalam, Gemala Dewi, et. al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ed. I, Jakarata:
Kencana, cet. Ke-1, 2005, hlm. 55-58.

22
2. Rukun-Rukun Akad
Rukun-rukun akad
17
adalah sebagai berikut:
a. Orang yang berakad (aqid), contoh: penjual dan pembeli.
Al-aqid adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting
karena tidak akan pernah terjadi akad manakala tidak ada aqid.
b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh: harga atau barang.
(al-Maqud Alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad
yang bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta
benda, seperti barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad
pernikahan, dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan seperti dalam masalah
upah-mengupah dan lain-lain.
18

c. Shighat, yaitu ijab dan qobul.
Sighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua belah pihak yang berakad,
yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu
akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan.
19

1). Akad dengan ucapan (lafadz) adalah sighat akad yang paling banyak
digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan paling mudah
dipahami.
Dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa penyampaian akad dengan metode
apapun harus disertai dengan keridlaan dan memahamkan para aqid akan
maksud akad yang diinginkan.

16
Rahmat Syafei, op. cit., hlm. 65-66.
17
Ibid, hlm. 45
18
Ibid., hlm. 58.
19
Ibid., hlm. 46-51.

23
2). Akad dengan perbuatan adalah akad yang dilakukan dengan suatu
perbuatan tertentu, dan perbuatan itu sudah maklum adanya. Sebagaimana
contoh penjual memberikan barang dan pembeli menyerahkan sejumlah
uang, dan keduanya tidak mengucapkan sepatah katapun. Akad semacam
ini sering terjadi pada masa sekarang ini.namun menurut pendapat imam
Syafii, akad dengan cara semacam ini tidak dibolehkan. Jadi tidak cukup
dengan serah-serahan saja tanpa ada kata sebagai ijab dan qabul.
20

3). Akad dengan isyarat adalah akad yang dilakukan oleh orang yang tuna
wicara dan mempunyai keterbatan dalam hal kemampuan tulis-menulis.
Namun apabila dia mampu untuk menulis, maka dianjurkan agar
menggunakan tulisan agar terdapat kepastian hukum dalam perbuatannya
yang mengharuskan adanya akad.
4). Akad dengan tulisan adalah akad yang dilakukan oleh Aqid dengan bentuk
tulisan yang jelas, tampak, dapat dipahami oleh para pihak, baik dia
mampu berbicara, menulis dan sebagainya, karena akad semacam ini
dibolehkan. Namun demikian menurut ulama syafiiyyah dan hanabilah
tidak membolehkannya apabila orang yang berakad hadir pada waktu akad
berlangsung.
21

C. Macam-macam akad
Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang didasarkan
atas sudut pandang masing-masing, yaitu:


20
Ibn Al-Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 128
21
Pendapat ulama Syafiiyyah dan Hanabilah ini dikutib oleh Rachmat SyafeI dalam
bukunya Fiqih Muamalah. Lihat, Rachmat SyafeI, op.cit, hlm. 51.

24
1. Berdasarkan ketentuan syara
a. Akad sahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan
oleh syara. Akad yang memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah
disebutkan di atas, maka akad tersebut masuk dalam kategori akad sahih.
b. Akad ghairu sahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya.
Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak hukum atau tidak sah.
Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan antara akad fasid dan akad
batal, dimana ulama jumhur tidak membedakannya. Akad batal adalah akad
yang tidak memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad
yang dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasid adalah akad
yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara, seperti menjual
narkoba, miras dan lain-lain.
2. Berdasarkan penamaannya, dibagi menjadi:
a. Akad yang sudah diberi nama oleh syara, seperti jual-beli, hibah, gadai, dam
lain-lain.
b. Akad yang belum dinamai oleh syara, tetapi disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
3. Berdasarkan zatnya, dibagi menjadi:
a. Benda yang berwujud (al-ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh indra
kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.
b. Benda tidak berwujud ( ghair al-ain), yaitu benda yang tidak dapat kita indra
dengan indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan, seperti informasi,
lisensi, dan lain sebagainya.

25
D. Obyek Akad (Mahal al- aqd)
Obyek akad adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan padanya
akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad dapat berupa benda yang
berwujud seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud, seperti manfaat.
Adapun syarat-syarat obyek akad adalah:
1. Obyek perikatan telah ada sebelum akad dilangsungkan
2. Obyek perikatan dibenarkan oleh syariah
3. Obyek akad harus jelas dan dikenali
4. Obyek dapat diserah terimakan
E. Tujuan Akad (Maudlu al-aqd)
Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang
melakukan perbuatan dalam keadaan sehat akal dan bebas menentukan pilihan
(tidak dipaksa) pasti memiliki tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan
perbuatan itu. Oleh Karen aitu, tujuan akad menduduki peranan penting untuk
menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua
berkaitan dengan hubungan niat dan perkataan dalam akad. Bahkan perbuatan-
perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan haramnya dari tujuan yang
mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya, tidur siang, apabila motifnya
adalah agar pada malam harinya tahan tidak tidur untuk bermain judi, maka tidur
siang itu menjadi haram.
22

Masalahnya adalah, jika suatu tindakan tidak mempunyai tujuan yang jelas,
apakah tindakan tersebut tidak mempunyai akaibat hukum? Misalnya, seseorang

22
Ahmad Azar Basyir, op. cit., hlm. 96-97.

26
berjanji akan memberikan sesuatu kepada orang lain, apakah janji itu mempunyai
akibat hukum, dengan pengertian orang itu dapat dituntut untuk memenuhi
janjinya?. Dalam masalah seperti ini, pendapat Fuqaha bermacam-macam, ada
yang mengatakan mempunyai akibat hukum, seperti Ibnu Syubrumah yang
mengartakan bahwa semua janji mempunyai akibat hukum, orang yang berjanji
dapat dipaksa untuk memenuhinya. Menurut pendapat kebanyakan Fuqaha, janji
yang tidak jelas tujuannya itu tidak mempunyai akibat hukum duniawi, meskipun
akan diperhitungkan di hadapan Allah di akhirat kelak.
23

Hal tersebut berbeda dengan janji yang tujuannya jelas. Misalnya, apabila
seseorang menyuruh orang lain untuk memberikan suatu barang kepada
seseorang, dengan ketentuan apabila orang yang menerima barang tidak mau
membayar harganya, oaring yang menyurh itu bejanji akan membayarnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan akad memperoleh peran
yang amat penting, apalagi dalam hal muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang
jelas, secara otomatis tidak ada yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad
tersebut. Sehingga akad tersebut dipandang tidak sah dan tidak memiliki
konsekuensi hukum. Dari sini, diperlukan adanya syarat-sayarat tujuan akad
sebagai berikut:
24

1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yag
bersangkutan tanpa akad yang diadakan.. tujuannya hendaknya baru ada pada
saat akad diadakan.

23
Ibid.
24
Ibid., hlm. 99-100.

27
2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
Misalnya akad untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil
manfaatnya. Jika belum ada lima tahun rumah itu telah hancur maka akadnya
menjadi rusak karena hilamgnya tujuan yang hendak dicpai.
3. Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara. Jadi tidak boleh melakukan akad
dengan tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad untuk
melakukan patungan uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.

F. Tinjauan Umum Tentang Waralaba (Franchise)
1. Pengertian Waralaba (Franchise)
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Gunawan Widjaja, beliau menyebutkan
ada beberapa pengertian waralaba yang diambil dari pendapat berbagai pakar, di
antaranya
25
:
Menurut PH Collin dalam law dictionary mendefinisikan waralaba sebagai
sebuah lisensi untuk menjual dengan menggunakan sebuah nama dari sebuah
perusahaan dan sebagai timbal balik atas ini adalah dengan membayar royalty
26
.
Dan waralaba sebagai satu tindakan menjual sebuah lisensi untuk diperdagangkan
sebagai sebuah waralaba. Definisi tersebut menekankan pada pentingnya peran
nama dagang dalam pemberian waralaba dengan imbalan royalty.

25
Gunawan Widjaja, Waralaba, , Jakarta: PT. Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 2003, hlm.7, 9,
dan 10.
26
Menurut kamus Oxford, royalty adalah sebuah pembayaran yang diberikan kepada seorang
penulis, pengarang lagu dan lain sebagainya setelah sesuatu proyek telah selasai dikerjakan. Lihat
AS Hornby, Oxford Advanced Learners dictionary,, edisi ke- 5, New York: Oxford University
Press, 1995, hlm. 1025


28
Kemudian dalam Dictionary Of Marketing Terms oleh Betsy-Ann Toffler dan
Jane Imber, waralaba diartikan sebagai lisensi yang diberikan oleh sebuah
perusahaan (franchisor) kepada seseorang atau perusahaan untuk menjalankan
outlet penjualan retail, makanan, atau obat-obatan di mana penerima lisensi
(franchisee) setuju untuk menggunakan nama Franchisor; produk; pelayanan-
pelayanan, promosi, penjualan, distribusi, dan cara-cara periklanan; serta hal-hal
lain yang merupakan pendukung dari perusahaan. Dalam pengertian ini dijelaskan
bahwa waralaba melibatkan suatu kewajiban untuk menggunakan suatu sistem
dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak
untuk mempergunakan merk dagang.
Kamus Oxford disebutkan bahwa waralaba atau franchse adalah perizinan
yang resmi untuk menjual barang-barang atau jasa perusahaan di sutau area
tertentu, dan sebagai timbal balik diberikan kepada pemberi izin tadi sejumlah
uang atau bagian dari keuntungan.
27

Dalam Peraturan Pemerintah RI no. 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997
tentang waralaba dikatakan, bahwa waralaba adalah perikatan di mana salah satu
pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau
jasa.
28

Dari berbagai pengertian di atas, penulis lebih condong pada pernyataan
tentang waralaba yang diberikan oleh sang penulis buku waralaba, yaitu Gunawan

27
AS Hornby, Ibid, hlm. 469
28
Gunawan Widjaja, op.cit. hlm.13

29
Widjaja. Beliau menyatakan bahawa waralaba merupakan salah satu cara
pengusaha untuk mengembangkan usahanya, dimana pengusaha tersebut
menawarkan kelebihan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya kepada pihak
lain untuk menjalankan usahanya. Dalam kontek ini, penerima waralaba
diwajibkan untuk mematuhi sistem pelaksanaan operasional dari pemberi lisensi.
Pernyataan yang dinyatakan Gunawan di atas, menurut penulis, tidak berbelit-
belit, dan mudah dipahami, serta sifatnya sudah menjadi rangkuman dan
representasi dari beberapa pengertian waralaba yang telah beliau sebutkan di
muka.
2. Dasar Hukum Waralaba
Di Indonesia, pengaturan waralaba dapat kita jumpai di dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor: 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang waralaba, dan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.
29

3. Waralaba Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Franchise atau waralaba bukanlah suatu industri yang baru dikenal, meskipun
legalitas yuridisnya baru dikenal di Indonesia pada tahun 1997 dengan
dikeluarkannya peraturan pemerintah RI No. 16 tahun 1997 tentang waralaba, dan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor:

29
Ibid., hlm. 75.

30
259/MPP/Kep/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
30

Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik, karena baik
pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban untuk
memenuhi prestasi tertentu.
31

Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian
dirumuskan
32
:
Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, dengan adanya perjanjian,
maka satu orang atau lebih yang mengadakan perjanjian tertentu telah terikat satu
sama lain dalam koridor atau batas-batas yang dimaksud dalam isi perjanjian itu.
Selain itu, dengan adanya perikatan tadi, timbul hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh kedua belah pihak..Masalah-masalah yang berkaitan dengan
adanya wan-prestasi atas pelaksanaan hak dan kewajiban menjadi konsekuensi
bersama dan diatur berdasarkan isi perjanjian dan atau dengan suatu tatanan
hukum yang ada.
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya. Dalam ilmu hukum
ada dua unsur pokok, yaitu unsur subeyktif, adalah yang menyangkut subyek
(pihak) yang mengadakan perjanjian, dan unsur obyektif, adalah unsur yang
berhubungan dengan langsung dengan obyek perjanjian.
33


30
Ibid., hlm. 1.
31
Ibid, hlm. 77.
32
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, cet. Ke-25, 1992, hlm.282.
33
Gunawan Widjaja, loc. cit.

31
Unsur subyektif menyangkut adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para
pihak yang berjanji, dan kecakapan dari para pihak yang melaksanakan perjanjian.
Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan obyek yang diperjanjikan, dan
obyek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan oleh hukum. Tidak
terpenuhinya salah satu unsur di atas menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan
perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan
(jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum
(tidak terpenuhinya unsur obyektif).
34

b. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam suatu perjanjian ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
35

1). Adanya perizinan secara bebas dari orang-orang atau para pihak yang
mengadakan atau melangsungkan perjanjian. Kesepakatan ini tertuang
dalam shigat akad (perjanjian) yang terdiri dari ijab dan qabul.
Pada dasarnya kesepakatan secara bebas dianggap terjadi pada saat
perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa
kesepakatan terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan.
Dalam kitab undang-undang juga menyatakan bahwa kekhilafan itu sendiri
tidak mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian yang telah terjadi,
kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat dari kebendaan yang
menjadi pokok persetujuan.
Cara orang dalam menunjukkan sikap ijab dan qabul di atas dapat diketahui
dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan.

34
Ibid.
35
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, cet. Ke-19, 1984, hlm. 134.

32
a). Akad (perjanjian) dengan ucapan (lafadz) adalah sighat akad yang paling
banyak digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan paling
mudah dipahami. Dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa penyampaian
akad dengan metode apapun harus disertai dengan keridlaan dan
memahamkan para aqid akan maksud akad yang diinginkan.
b). Akad dengan perbuatan adalah akad yang dilakukan dengan suatu
perbuatan tertentu, dan perbuatan itu sudah maklum adanya.
Sebagaimana contoh penjual memberikan barang dan pembeli
menyerahkan sejumlah uang, dan keduanya tidak mengucapkan sepatah
katapun. Akad semacam ini sering terjadi pada masa sekarang ini.
Namun menurut pendapat imam Syafii, akad dengan cara semacam ini
tidak dibolehkan. Jadi tidak cukup dengan serah-serahan saja tanpa ada
kata sebagai ijab dan qabul.
36
Dalam bisnis akad berupa perbuatan ini
dapat dicontohkan dengan melakukan segala tindakan bisnis itu sendiri,
yang meliputi proses produksi, distribusi, dan pelaporan.
c). Akad dengan isyarat adalah akad yang dilakukan oleh orang yang tuna
wicara dan mempunyai keterbatasan dalam hal kemampuan tulis-
menulis. Namun apabila dia mampu untuk menulis, maka dianjurkan
agar menggunakan tulisan agar terdapat kepastian hukum dalam
perbuatannya yang mengharuskan adanya akad.
d). Akad dengan tulisan adalah akad yang dilakukan oleh Aqid dengan
bentuk tulisan yang jelas, tampak, dapat dipahami oleh para pihak, baik

36
Ibn al-Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz 2, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 128.

33
dia mampu berbicara, menulis dan sebagainya, karena akad semacam ini
dibolehkan. Namun demikian menurut ulama Syafiiyyah dan Hanabilah
tidak membolehkannya apabila orang yang berakad hadir pada waktu
akad berlangsung.
37

2). Adanya kecakapan (ahliyyah) untuk membuat perjanjian dari para pihak
yang berjanji.
Adanya kecakapan untuk bertindak (ahliyyatul ada) merupakan syarat
subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak.
Ketetapan ini dalam ilmu hukum dapat dibedakan lagi ke dalam:
a). Kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang-perorang (Pasal 1329
sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Kitab undang-undang perdata menyatakan bahwa pada prinsipnya
semua orang dianggap cakap (ahli) untuk melakukan tindakan hukum,
kecuali mereka yang masih berada di bawah umur, yang di bawah
pengampuan dan mereka yang dinyatakan pailit (pasal 1330 kitab
Undang-Undang Hukum perdata).
b). Kecakapan dalam hubungan dengan pemberian kuasa. Dalam hal ini,
yang harus diperhatikan adalah kecakapan bertindak dalam hukum,
tidak hanya dari pihak yang memberi kuasa, melainkan juga dari pihak
yang menerima kuasa secara bersama-sama. Sebetulnya syarat ini erat
kaitannya dengan syarat nomor satu, dan hampir tidak bisa dilepaskan
satu sama lain ketika kita berbicara masalah hukum. Namun demikian,

37
Pendapat ulama Syafiiyyah dan Hanabilah ini dikutib oleh Rachmat Syafei dalam
bukunya Fiqih Muamalah. Lihat, Rachmat SyafeI, op.cit, hlm. 51.

34
keduanya harus dipisah untuk membedakan bahwa yang satu
berhubungan dengan orang yang dianggap sudah layak untuk masuk dan
bertindak dalam wilayah hukum dan yang kedua lebih kepada
kecakapannya dalam pemberian kuasa.
c). Kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan perwakilan.
Dalam hal perwalian (dan atau pengampuan), maka harus diperhatikan
kewenangan bertindak yang diberikan oleh hukum dan atau peraturan
yang termuat dan berlaku dalam aturan dan atau kesepakan perusahaan
atau badan lainnya. Dengan demikian, ketentuan ini menjadi penting,
sehingga baik pemberi waralaba maupun penerimanya harus
memastikan apakah lawan bisnisnya itu sudah memenuhi syarat untuk
bertindak dalam hukum atau belum.
3). Adanya suatu hal/obyek tertentu yang diperjanjian.
Hal ini adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya perjanjian karena
kalau tidak ada obyek yang dituju maka berarti perjanjian itu adalah kosong.
Tidak ada hak dan kewajiban yang akan dilaksanakan (ketentuan ini diatur
oleh kitab undang-undang hukum perdata pasal 1334).
Sesuai dengan rumusan pasal 7 ayat 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 juli 1997, dikatakan
bahwa:
38

Perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba
sekurang-kurangnya memuat klausal mengenai:

38
Dikutip dalam, Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba, ed. 1, Jakarta: PT. Grafindo
Persada, cet. Ke-2, 2004,, hlm. 81-101.

35
a). Nama, alamat, dan tempat kedudukan perusahaan masing-masing pihak.
b). Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang
menandatangani perjanjian.
c). Nama dan jenis hak kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha
misalya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara
distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek
waralaba.
d). Hak dan kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas yang
diberikan kepada penerima waralaba.
e). Wilayah pemasaran.
f). Jangka waktu perjanjian dan tata cara prpanjangan perjanjian serta syarat-
syarat perpanjagan perjanjian.
g). Cara penyelesaian perselisian.
h). Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang dapat mengakibatkan
pemutusan perjanjian atau berakhirnya perjanjian.
i). Ganti rugi dalam hal terjadinya pemutusan perjanjian.
j). Tata cara penbayaran imbalan.
k). Penggunaan barang atau bahan hasil produksi dalam negeri yang
dihasilkan dan dipasok oleh pengusaha kecil.
l). Pembianaan, bimbingan, dan pelatihan kepada penerima waralaba.
m). Pilihan hukum.
4). Adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh
para pihak.

36
Hal-hal yang berkaitan dengan obyek dan tujuan yang akan dicapai dalam
perjanjian (waralaba) haruslah sesuatu hal yang diperkenankan oleh hukum.
Jadi tidak boleh melakukan suatu perjanjian yang melanggar norma-norma
dan atau hukum yang berlaku (ketentuan ini diatur dalam pasal 1335 sampai
pasal 1337 Kitab undang-undang hukum perdata).
c. Hal-hal yang merusak dan membatalkan perjanjian
Seperti yang telah dijelaskan terdahulu bahwa hal-hal yang dapat
membatalkan perjanjian adalah tidak terpenuhinya syarat-syarat baik itu
subyektif maupun obyektif. Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif seperti
tidak terjadinya kesepakatan antara para pihak dan tidak adanya kecakapan para
pihak dalam melakukan tindakan hukum, maka menyebabkan perjanjian
menjadi tidak sah, atau dapat dibatalkan karena cacat hukum. Demikian juga
jika tidak terpenuhinya syarat obyektif, seperti tidak adanya isi perjanjian atau
perjanjian yang tidak dibenarkan oleh hukum, maka perjanjian tersebut menjadi
batal demi hukum.
Di samping itu, adanya tindakan yang melanggar atau tidak sesuai dengan isi
perjanjian, serta tidak terpenuhinya dan atau tidak dilaksanakannya hak dan
kewajiban oleh salah satu atau para pihak, maka akan mengancam terhadap
bubarnya atau permintaan pembatalan perjanjian. Suatu tindakan yang tiada
memenuhi atau gagal dalam perjajian ini untuk melaksanakan kontra prestasi
merupakan suatu pelanggaran terhadap perjanjian (wanprestasi atau breach of
contract).
39


39
Ibid, hlm. 95.

37
G. Srirkah Mudlarabah Sebagai Format Dasar Waralaba
1. Pengertian Syirkah Mudlarabah
Sebelum membahas tentang syirkah mudlarabah, di sini penulis akan sedikit
menyinggung tentang syirkah itu sendiri, karena syirkah mudlarabah adalah salah
satu macam dari bentuk syirkah, dan akan disebutkan secara sekilas macam-
macam bentuk syirkah selain syrikah mudlarabah.
Kata Syirkah berasal dari kata bahasa arab - yang berarti
persekutuan atau perseroan.
40
Sedangkan Wahbah al-Zuhaili mengartikannya
dengan bercampur, atau bercampurnya salah satu harta dari dua harta dengan
harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
41

Sedangkan pengertian syirkah menurut istilah adalah ketetapan hak pada
sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur
(diketahui).
42

Syirkah dibagi menjadi dua macam, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-
uqud. Syirkatul amlak adalah adanya dua orang atau lebih yang memiliki barang
tanpa adanya akad. Syirkah jenis ini ada dua macam, yaitu syirkah ijbar (paksaan)
yaitu pejanjian yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan
didasarkan atas perbuatan keduanya, sperti dua orang yang mewariskan sesuatu,
maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka, dan syirkah ikhtiyar (pilihan),
yaitu perjanjian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang
bersekutu. Sebagai contoh adalah ada dua orang yang membeli atau memberi atau

40
A. Warson Al Munawir, op. cit, hlm. 706.
41
Wahbah Al-Zuhaili, op. cit., hlm. 792.
42
Pengertian ini adalah pengertian yang diberikan oleh ulama Syafiiyyah. Lihat, Muhammad
al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz. Ke- 3, hlm. 364.

38
berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang
diberi, dan yang diberi wasiat bersekutu di antara keduanya. Sedangkan syirkah
Uqud adalah bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk
bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syirkah jenis ini juga ada beberapa
macam.
43
Menurut pendapat ulama Hanabilah, syirkah uqud terbagi menjadi
lima, yaitu:
a). Syirkah inan, yaitu persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk
berdagang secara bersama-sama, dan membagi laba atau kerugian bersama-
sama.
b). Syirkah mufawidlah, yaitu transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat
dengan syarat memilki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan keuntungan,
pengolahan, serta agama yang dianut.
c). Syirkah abdan, yaitu persekutuan antara dua orang untuk menerima suatu
pekerjaan yang akan dikerjakan secara bersam-sama, kemudian keuntungan
dibagi antara keduanya dengan menetapkan persyaratan tertentu
d). Syirkah wujuh, yaitu bersekutunya dua pemimpin dalm pandangan masyarkat
tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan dan akan menjualnya
secara kontan, kemudian keuntungan yang akan diperoleh dibagi di antara
mereka dengan syarat tertentu.

43
Sebenarnya pembagian syirkah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Namun
demikian, penulis hanya menyebutkan pembagian syirkah uqd menurut pendapat ulama
hanabilah, karena hanya pembagian menurut pendapat Hanabilah saja yang menyebutkan adanya
syirkah mudlarabah, yaitu bahasan dalam skripsi ini. Namun demikian, para ulama lain sepakat
bahwa syirkah mudlarabah boleh dilaksanakan sebagai bentuk usaha, dan mereka berbeda
pendapat tentang bentuk syirkah uqud lainnya. Untuk lebih jelasnya, lihat penjelasan Wahbah al-
Zuhaili dalam, Wahabah Al-Zuhaili, op. cit., hlm. 795.

39
e). Syirkah mudlarabah, yaitu bentuk perikatan yang akan penulis bahas secara
lebih dalam, karena bentuk inilah yang berhubungan dengan pokok bahasan.
Mudlarabah berasal dari kata - yang berarti
berdagang, atau memperdagangkan.
44
Menurut istilah, mudlarabah diartikan
sebagai satu istilah terhadap akad dari pemilik harta (malik) yang memberikan
hartanya kepada seorang penguasaha (amil) untuk diputar (dijadikan modal
usaha), dengan pembagian keuntungan sesuai dengan perjanjian yang sudah
disepakati.
45

Mudlarabah atau qiradl adalah termasuk jenis dari syirkah. Istilah
mudlarabah digunakan oleh bangsa Irak, sedangkan istilah qiradl dipakai oleh
orang-orang Hijaz. Qiradl adalah sama dengan qoth, karena pemilik harta
mengambil hartanya untuk diserahkan kepada pengusaha (amil) untuk
digunakan sebagai modal usaha, dan membagi keuntungan di antara keduanya,
atau diambil dari makna Muqaradlah, yaitu karena persamaan dalam hak
mengambil keuntungan, atau karena harta berasal dari pemiliknya (malik) dan
usaha atau kerjanya dilakukan oleh amil.
46

Ahli Irak menyebut qiradl dengan istilah mudlarabah karena masing-
masing aqid memiliki bagian dalam memperoleh keuntungan, dan amil
melakukan perjalanan (safar) dalam menjalankan bisnisnya, dan istilah safar
disamakan sengan Dlarban fi al-ardl (melakukan perjalanan di bumi).
47


44
A. Warson al- Munawir, op. cit, hlm. 816
45
Diambil dari kutipan Wahbah Al-Zuhli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, lihat
selengkapnya dalam Wahbah Al-Zuhaili, op. cit, hlm. 836.
46
Ibid.
47
Ibid, lihat juga pendapat yang dikemukakan oleh al-Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-
Sunnah. Al- Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 212.

40
Berdasarkan penjelasan di atas maka sah-sah saja jika penulis
menggunakan istilah syirkah mudlarabah, karena ada keterkaitan di antara
keduanya, dan yang satu merupan bagian dari yang lain. Wahbah Al-Zuhaili
juga menamakan salah satu bahasan dalam kitabnya dengan menyebut syirkah
mudlarabah.
48

2. Dasar Hukum Syirkah Mudlarabah
Para imam madzhab sepakat atas kebolehan melakukan bisnis sistem
mudlarabah, dan ini diisyaratkan oleh Quran, hadits dan ijma ulama serta qiyas.
Allah SWT berfiman dalm Al-Quran surat Al-Muzzammil ayat 20:


Artinya: Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah. (QS. Al-Muzzammil: 20).
49


Kemudian Allah menegaskan kembali dalam surat Shad ayat 24 yang berbunyi:



Artinya: Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat dlalim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dam beramal salih dan amat sedikitlah
mereka ini.(QS. Shad: 24)
50



Dalam hal ini Nabi juga bersabda dalam hadis qudsi
51
:

48
Ibid.
49
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, Surabaya: CV. Karya Utama, 2000, hlm.
990
50
Ibid, hlm. 735-736
51
Ibn al-Hajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram, Semarang: Hasyim Putra, t.th, hlm. 186

41
:
)
(
Artinya: Dari Abu Hurairah nabi Muhammad SAW, bahwa nabi bersabda:
sesungguhnya Allah SWT berfiman: Aku adalah yang ketiga pada dua
orag yang berserikat, selama salah seorang dari meeka tidak
mengkhianati temannya. Aku akan keluar dari persekutuan mereka
apabila salah seorang diantaranya berkhianat. (HR Abu Daud, dan
dibenarkan oleh Hakim).

3. Rukun dan Syarat Syirkah Mudlarabah
a). Rukun-rukun syirkah mudlarabah
52

Rukun syirkah mudlarabah menurut ulama Hanafiyah yaitu ijab dan qobul
dari orang yang mempunyai ahliyyah al'-aqd (kecakapan untuk melakukan
akad). Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun akad terbagi menjadi tiga,
yaitu, orang yang berakad, modal (maqud alaih), dan sighat. Adapun
mengenai penjelasan masing-masing, dapat dilihat pada penjelasan tentang
akad di atas.
b). Syarat-syarat syirkah mudlarabah
53

1). Hendaknya modal berupa uang sepertodinar, dirham, atau sejenisnya.
2). Hendaknya modal itu diketahui jumlahnya, sehingga jelas dalam hal
pembagian keuntungan.
3). Hendaknya keuntungan antara amil dan pemilik modal diketahui dengan
nisbah, seperti setengah, sepertiga dan lain sebagainya.
4). Hendaknya bisnis yang dijalankan (syirkah mudlarabah) secara mutlak.

52
Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 213
53
Ibid.

42
4. Hal-Hal Yang Membatalkan Syirkah Mudlarabah
54

a). Hilangnya salah satu syarat sah perjanjian
b). Amil melakukan sesuatu hal yang tidak sesuatu dengan akad sehingga
merugukan usaha, dan disebabkan sepenuhnya oleh amil.
c). Meninggalnya salah satu pihak yang berakad.
Seperti halnya perjanjian waralaba, bahwa hal-hal yang dapat membatalkan
perjanjian adalah tidak terpenuhinya syarat-syarat baik itu subyektif maupun
obyektif. Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif, seperti tidak terjadinya
kesepakatan antara para pihak dan tidak adanya kecakapan para pihak dalam
melakukan tindakan hukum, maka menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah,
atau dapat dibatalkan karena cacat hukum. Demikian juga jika tidak terpenuhinya
syarat obyektif, seperti tidak adanya isi perjanjian atau perjanjian yang tidak
dibenarkan oleh hukum, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.
Adanya tindakan yang melanggar atau tidak sesuai dengan isi perjanjian, serta
tidak terpenuhinya dan atau tidak dilaksanakannya hak dan kewajiban oleh salah
satu atau para pihak, maka akan mengancam terhadap bubarnya atau permintaan
pembatalan perjanjian. Suatu tindakan yang tiada memenuhi atau gagal dalam
perjajian ini untuk melaksanakan kontra prestasi merupakan suatu pelanggaran
terhadap perjanjian (wanprestasi atau breach of contract).
55

Dari istilah-istilah di atas (waralaba dan syirkah mudlarabah) dapat
disimpulkan bahwa antara waralaba dan syirkah mudlarabah memiliki dasar
hukum masing-masing, dan memilki karakteristik masing-masing. Namun

54
Ibid, hlm. 215
55
Gunawan Widjaja, waralaba, op. cit.,hlm. 95.

43
demikian, apabila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan oleh
franchisor dan franchisee dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya
merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama
56
(syirkah mudlarabah).
Dikatakan sebagai bentuk pengembangan dari kerjasama, sebab adanya
perjanjian franchise itu maka secara antara pemberi lisensi/pemilik hak franchise
(franchisor) dan penerima hak franchise (franchisee) terbentuk hubungan kerja
sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Maka
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bisnis dengan sistem franchise adalah
boleh, sebagaimana dibolehkannya syirkah mudlarabah.
57



56
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-3, 2004, hlm.
169
57
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai