Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab dan qabul berdasarkan
ketentuan syara yang berdampak pada objeknya, semua perikatan (transaksi)
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh menyimpang dan sejalan
dengan kehendak syariat, tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain,
transaksi batang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh
seseorang.
Secara lughawi, makna al-aqd adalah perikatan, perjanjian, pertalian,
permufakatan (al-ittifaq). Sedangkan secara istillahi, akad di definisikan dengan
redaksi yang berbeda-beda, di antaranya akad adalah pertalian ijab dan kabul dari
pihak-pihak yang menyatakan kehendak, sesuai dengan peraturan syariat.
Definisi lain adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang
dibenarkan oleh syarak dengan menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada
objeknya.
Definisi- definisi tersebut mengisaratkan bahwa, pertama, akad merupakan
keterikatan atau pertemuan ijab dan kabul yang berpengaruh terhadap munculnya
akibat hukum baru. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dari kedua belah
pihak, ketiga, dilihat dari tujuan dilangsungkannya akad, ia bertujuan untuk
melahirkan akibat hukum baru.
Namun sebelum kita membahas lebih jauh perlu kiranya kita ketahui lebih
lanjut tentang pengertian ijab dan kabul terlebih dahulu. KH. Ahmad Azhar
Basyir, MA, dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Muamalat,
mengatakan ijab adalah peryataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya.
Misalnya, dalam akad jual beli, pihak pertama menyatakan, aku jual
sepeda ini kepadamu dengan harga sekian, tunai, dan pihak kedua menyatakan
menerima, aku beli sepeda ini dengan harga tunai. Dapat pula pihak pertama
adalah pembelinya yang mengatakan. aku beli sepedamu dengan harga sekian,
tunai, dan pihak kedua menyatakan menerima, aku jual sepedaku kepadamu

1
dengan harga sekian tunai. Peryataan pihak pertama itu disebut ijab dan
peryataan pihak kedua disebut kabul.
Adapun maksud diadakanya ijab dan kabul, untuk menunjukkan adanya
suka rela timbal-balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang
bersangkutan. Dan dapat kita simpulkan bersama bahwa akad terjadi diantara dua
pihak dengan sukarela. Dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara
timbal balik. Maka dari itu sudah jelas pihak yang menjalin ikatan perlu
memperhatikan terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada
pihak yang terlangar haknya. Disinilah pentingnya batasan-batasan yang
menjamin tidak terlangarnya hak antar pihak yang sedang melaksanakan akad.
Dasar hukum dilakukannya akad dalam al-Quran adalah :







Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu " (QS. Al
Maidah : 1).
Tapi, mungkin karena belum mempunyai banyak pemahaman yang
mendalam tentang hukum-hukum syariat. Maka, masih banyak seseorang yang
melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan syarak dan salah satunya adalah
pada masalah perikatan (akad) pada transksi. Sehingga, penulis akan sedikit
memaparkan tentang akad jual beli yang sesuai dengan syariat islam.
berdasarkan latar belakang diatas maka kami merumuskan masalah sebagai
beriku.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian d atas selanjutnya penulis akan memaparakan tentang
shigat akad maka dari itu di dalam penulisan makalah ini dirumuskan dalam
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan sighot akad?
2. Bagaiman metode sighat akad ?
3. Bagaimanakah tujuan sighat akad ?

2
C. Tujuan Penulisan
Pemaparan dan penulisan ini bertujuan untuk menjawab berbagai rumusan
masalan di atas diantaranya :
1. Untuk mengetahui tentang shigat akad.
2. Untuk mengetahui metode atau cara dalam shigat akad.
3. Untuk mengetahui kedudukan dan tujuan shigat akad.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sighat Akad


Sighat adalah ijab dan qobul, yang diambil dari kata aujuba yang artinya
meletakkan dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qobul yaitu orang
yang menerima milik. Shigat akad ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan
penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan yang
keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian
ijab qabul dalam dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu kadang tidak berhadapan.
Shighat adalah ungkapan orang yang melakukan akad untuk menunjukkan
keinginan dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang
tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang
menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan. Dengan
definisi tersebut dapat digarisbawahi bahwa pada normalnya, shighat atau ijab
qabul harus diungkapkan dengan ucapan, tetapi jika tidak bisa melakukannya
dengan ucapan, dapat menggunakan ungkapan lainnya seperti isyarat dan tulisan.
Ijab dan qabul dapat dilakukan dengan empat cara yaitu sebagai berikut:
1) Lisan atau perkataan, ialah para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam
bentuk perkataan secara jelas. Misalnya, perkataan ijab diungkapkan dengan
pernyataan saya jual buku ini dengan harga Rp 10.000, dan pihak lainnya
menyatakan qabul dengan pernyataan saya beli buku ini dengan harga Rp
10.000.
2) tulisan, adakalanya suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat
dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam
melakukan perikatan.
3) Isyarat. Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang
cacatpun boleh melakukan suatu perikatan (akad). Apabila cacatnya adalah

4
tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan para
pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman yang sama.
4) Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini
perikatan dapat dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan,
tertulis, ataupun isyarat.
Pengertian akad dalam Kamus Besar bahasa Indonesia
adalah janji,perjanjian,kontrak. Lafat akad, berasal dari lafad arab al-aqd yang
berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan al-ittifaq. Secara terminology
fiqih, akad didefinisikan dengan:


















Artinya:
Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (perkataan menerima
ikatan) sesuai kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.
Macam-Macam Akad
Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara, maka akad dibagi dua, yaitu:
akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang
ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang
sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam,
yaitu:
Akad yang Nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang
untuk melaksanakannya.
Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu
bertindak atas kehendak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melakukan dan melaksanakan. Akad tersebut seperti akad yang dilakukan oleh
anak kecil yang menjelang akil baligh (mumayyiz). Contoh: si A memberikan
uang sebesar Rp 500.000 kepada si B untuk membelikan seekor kambing.
Ternyata uang Rp. 500.000 itu dapat membeli dua ekor kambing dan oleh si B
langsung dibelikan dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dengan dua ekor

5
kambing itu amat bergantung pada si A, karena si B diperintah hanya untuk
membeli seekor kambing. Jika disetujui si A, maka sah akad itu, dan jika tidak
disetujui maka tidak sah. Menurut Madzhab Syafi,I dan Madzhab Hanbali, bahwa
jual beli yang muakaf itu tidak sah.
Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan
tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian Ulama Hanafiyah membagi
akad yang tidak shahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan akad
yang fasad. Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu
rukunnyaatau ada larangan langsung dari syara.
Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas atau terdapat unsur tipuan, seperti
menjual ikan yang masih dilautan atau salah satu pihak yang berakad tidak cukup
bertindak hukum. Sedangkan akad fasid menurut mereka adalah suatu akad pada
dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya,
menjual rumah atau kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis atau bentuk
rumah yang dijual atau tidak disebutkan brand kendaraan yang dijual, sehingga
menimbulkan perselisihan antara penjual dengan pembeli, jual beli seperti ini
menurut ulama hanafiyah, adalah fasid.

Pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat, maksutnya


adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak
dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara. Misalnya,
kesepakatan untuk melaksanakan transaksi riba, menipu orang lain, atau
merampok kekayaan orang lain. Seperti firman Alloh :









Menurut Mustafa az-Zarqa, dalam pandangan syara suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak
yang sama-sama menginginkan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau
kenginginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam
hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam
suatu pernyataan. Pernyataan itulah yang disebut dengan ijab dan Kabul.menurut

6
ulama Hanafiyah ijab ialah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan
keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, sedangkan qabul adalah orang
yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan
atas ucapan orang pertama.
Biasanya pernyataan itu dilakukan lebih dahulu oleh pihak pertama,
kemudian baru oleh pihak kedua seperti akad nikah. Namun, dalam masalah
muamalah, pernyataan itu boleh datang lebih dahulu dari pihak kedua, seperti
akad (transaksi) jual-beli. Pernyataan itu boleh dilakukan oleh pembeli lebih
dahulu, umpamanya: saya telah membeli barang ini dengan harga sekian
kemudian oleh penjual dikatakan: saya telah menjual harga ini dengan harga
sekian.
Jika akad telah berlangsung, segala rukun dan syaratnya dipenuhi, maka
konsekuensinya; penjual memindahkan barang kepada pembeli dan pembelipun
memindahkan miliknya kepada penjual, sesuai dengan harga yang disepakati,
setelah itu masing-masing mereka halal menggunakan barang yang pemiliknya
dipindahkan tadi dijalan yang dapat dibenarkan syariat.

B. Metode (Uslub) Shighat Akad atau Ijab dan qabul


Uslub-uslub shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan berbagai cara,
Para ulama fiqih menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu:
1) Dengan Lafadz (Ucapan/Lisan)
Shighat dengan ucapan adalah sighat akad yang paling banyak digunakan
orang. Sebab paling mudah digunakan dan mudah dipahami. Tentu saja kedua
belah pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta menunjukkan
keridhaannya.
Ucapan merupakan alat utama untuk mengungkapkan maksud batin yang
tersembunyi, yang paling banyak dipakai dalam akad karena kemudahannya, juga
karena kekuatan dalalah dan faktor kejelasannya. Dengan kata-kata, maksud batin
yang tersembunyi lebih mudah diungkapkan dengan jelas dan lebih mudah
difahami, daripada menggunakan isyarat dan tulisan. Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa ucapan tersebut dapat menggunakan bahasa apa saja yang
dimengerti oleh kedua pihak yang berakad.

7
2) Dengan cara tulisan (Kitabah)
Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara
ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak, dan dapat
dipahami oleh keduanya. Atas dasar inilah para fukaha membentuk kaidah:





Tulisan itu sama dengan ucapan.

Adapun mengenai ijab-qabul dengan tulisan, para ulama berpendapat


bahwa orang normal pun boleh melakukan ijab-qabulnya dengan tulisan. Karena
kaidah fiqh menyatakan, "Tulisan sama kedudukannya dengan ucapan. (
")Dan jika seseorang bisu tetapi bisa menulis, maka harus diutamakan ia
melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sebelum ia melakukannya dengan isyarat.
Syaratnya, tulisan tersebut harus memenuhi dua kriteria:
Tulisan tersebut harus tahan lama, artinya tidak boleh tulisan tersebut
digoreskan pada media air atau udara; dan Tulisan tersebut diyakini dibuat oleh
yang bersangkutan, dengan dibubuhi tanda tangan.
3) Isyarat
Bagi orang-orang tertentu, akad atau ijab dan qabul, tidak dapat
dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak
dapat melakukan ijab qabul dengan lisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai
tulis baca tidak dapat melakukan ijab qabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan
demikian, Kabul atau Akad dilakukan dengan isyarat.maka dibuatlah kaidah
sebagai berikut:














isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah

Madzhab Syafi'iyah dan Hanafiah hanya membolehkan ijab-qabul


dilakukan dengan isyarat bagi orang yang tidak bisa berbicara (karena bisu atau

8
karena sebab lainnya). Jika orang yang dapat berbicara melakukan ijab-qabul
dengan isyarat, maka dianggap tidak sah, karena isyarat dianggap kurang
meyakinkan. Sementara, Malikiyah dan Hanabilah menganggap sah ijab-qabulnya
orang normal yang dilakukan dengan isyarat, Asal isyaratnya dapat dimengerti.
4) Akad dengan perbuatan (tanpa isyarat, tulisan, dan ucapan)
Dalam akad, terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan
perbuatan yang menunjukkan saling meridhai, misalnya penjual memberikan
barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini sangat umum terjadi di zaman
sekarang.
Contoh ijab jenis ini dalam jual beli, pembeli mengambil barang yang
dijual lantas memberikan uang sesuai harganya kepada penjual, kemudian penjual
menerima uang tersebut. Penjual dan pembeli keduanya tidak mengucapkan kata-
kata apapun, juga tanpa ada isyarat ataupun tulisan.
Mengenai jual-beli, sewa-menyewa, gadai, atau hal lainnya selain
pernikahan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan ijab-qabul
yang seperti itu, sebagian tidak. Dianatara perbedaan pendapat ulama sebagai
berikut :
1. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan akad dengan perbuatan
terhadap barang-barang yang sudah sangat diketahui secara umum oleh
manusia. Jika belum diketahui secara umum, akad seperti itu dianggap batal.
2. Madzhab Imam Maliki dan pendapat awal Imam Ahmad membolehkan akad
dengan perbuatan jika jelas menunjukkan kerelaan, baik barang tersebut
diketahui secara umum atau tidak, kecuali dalam pernikahan.
3. Ulama Syafiiyah (qaul qadim), Syiah, dan Zhahiriyyah berpendapat bahwa
akad dengan perbuatan tidak dibenarkan karena tidak ada petunjuk yang kuat
terhadap akad tersebut. Selain itu, keridhaan adalah sesuatu yang samar, yang
tidak dapat diketahui, kecuali dengan ucapan. Hanya saja, golangan ini
membolehkan ucapan, baik secara sharih atau kinayah. Sedangkan pendapat
imam Syafii pada generasi belakangan seperti Imam Nawawi, membolehkan
jual-beli seperti ini. Karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat
sebagian besar umat islam. Dengan demikian, adat kebiasaan yang berlaku
dalam suatu masyarakat yang membawa maslahat, dapat dibenarkan sebagai

9
landasan dalam menetabkan suatu hukum. Contoh ijab dan qabul dalam
bentuk perbuatan adalah seperti yang terjadi dipasar swalayan. Seseorang
mengambil barang, sesudah membayar harganya kepada kasir sesuai dengan
harga yang tercantum pada barang tersebut.
Adapun dalam hal pernikahan, para ulama sepakat akan tidak sahnya akad
nikah yang dilakukan dengan ijab-qabul seperti ini. Alasannya, pernikahan adalah
hal yang riskan yang perlu dijaga kesuciannya, karena berhubungan dengan nasib
manusia (khususnya wanita dan anak). Karena itu perlu kehati-hatian. Jadi, tidak
bisa dianggap sebagai ijab-qabul yang sah seperti contoh ini, wali memegang
tangan anaknya (catin perempuan), lantas ia memegangkan tangan catin laki-laki
kepada catin perempuan, kemudian ia melepaskan pegangannya..

C. Rukun dan Syarat Shigat Akad menurut beberapa Ulama


Adapun rukun dalam sighat akad menurut jumhur (mayoritas) fuqaha,
ialah sebagai berikut:
1) pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqd).
2) pihak-pihak yang berakad (al-mutaaqidain).
Jika dikatakan kata aqid, maka perhatian langsung tertuju kepada
penjual dan pembeli karena keduanya mempunyai andil dalam terjadinya
pemilikan dengan harga.
3) objek akad (al-maqudalaih).
Maqud alaih, yaitu harta yang akan dipindahkan dari tangan salah
seorang yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang berharga.
Ketahuilah bahwa uang selalu menjadi harga dan barang sebagai
penggantinya, misal huruf ba dalam ucapan bituka hadza ad-dinar
biasyrati aqlamali (saya jual kepadaMu uang dinar ini dengan sepuluh
pena), maka uang dinar disini menjadi harga dan sepuluh pena menjadi
penggantinya.Namun jika harga dan yang dihargakan adalah barang, misal
huruf ba (dengan) dan yang dijual yang diucapkan sebagai berikut
bituka hadza atstsauba biaqiba(saya jual baju ini dengan sebuah tas),
maka baju adalah harganya sedangkan tas pengganti harga tersebut.

10
Sedangkan menurut ulama hanafiyah bahwa rukun akad itu hanya satu,
yaitu sighat al-aqd (ijab dan qabul), sedangkan pihak-pihak yang berakad dan
obyek akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk syarat-
syarat akad, karena, menurut mereka, yang dikatakan rukun itu adalah suatu
esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang berakad
dan obyek akad berada diluar esensi akad.
Syarat-syarat umum sighat akad
Para ulama fiqih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi
dalam suatu akad, syarat-syarat umum suatu akad yaitu:
1) Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut
hukum (mukallaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya.
2) Akad itu tidak dilarang oleh syara. Atas dasar ini, seorang wali (pemelihara
anak kecil), tidak dibenarkan menghibahkan harta anak kecil tersebut.
Seharusnya harta anak kecil tersebut dikembangkan, dipelihara, dan tanpa
diserahkan pada seseorang tanpa ada imbalan (hibah). Maka akad itu batal
menurut syara.
3) Akad hendaklah keduanya ada persesuaian makna (bukan harus lafadlnya).
Misalnya: Saya jual barang ini kepadamu dengan harga Rp 500,- lalu si
pembeli setuju membelinya dengan harga tersebut atau malah bisa kurang atau
penjual berkata: Aku jual barang ini dengan harga Rp 1000,- secara kontan,
Lalu pihak pembeli setuju dengan cara angsuran, maka akad jual beli semacam
ini tidak sah hukumnya, karena ada perselisihan maknanya.
4) Akad itu sendiri tidak harus bergantung dengan adanya suatu peristiwa
(kejadian). Misalnya: Jika ayahku wafat, maka benar-benar aku jual barang
ini kepadamu. Akad yang demikian ini tidaklah sah.
5) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis atau tempat tanpa ada pemisah
yang merusaknya.
Menurut Mustafa al-Zarqa, majlis itu berbentuk tempat dilangsungkan
akad dan dapat juga berbentuk keadaan selama proses berlangsung akad,
sekalipun tidak pada satu tempat. Berkenaan dengan masalah ini timbul perbedaan
pendapat para ulama, tentang ijab, apakah harus dijawab dengan qabul, menurut
jumhur ulama fikih selain Syafii, tidak mengharuskan qabul segera dilaksanakan

11
setelah ijab. Sebab, pihak penerima memerlukan waktu untuk berfikir dan
meneliti segala persoalan yang berkaitan dengan transaksi (obyek akad).
Bahkan ulama mazhab Maliki, bila pihak penerima meminta tenggang
waktu untuk mengucapkan Kabul, maka permintaan itu harus dipenuhi.
Sedangkan menurut ulama mazhab syafiI , qabul disyaratkan segara
dilaksanakan setelah ijab. Bila terjadi sesuatu kegiatan lain pada saat ijab dan
qabul itu, maka trnsaksi menjad batal. Hal ini berarti, bahwa ijab harus segera
diucapkan (dijawab) dengan qabul.
Ijab tetap utuh sampai terjadi qabul. Umpamanya, dua orang pedagang
dari dua daerah yang berbeda, melakukan transaksi dagang dengan surat (tulisan).
pembeli barang melakukan ijabnya melalui surat yang memerlukan waktu
beberapa hari. Sebelum surat itu sampai kepada penjual, pembeli telah wafat atau
hilang ingatan (gila). Transaksi seperti ini menjadi batal, sebab salah satu pihak
telah meninggal atau gila (tidak bias lagi bertindak atas nama hukum).
Tujuan itu harus jelas dan diakui oleh syara. Umpamanya: masalah jual-
beli, jelas tujuannya untuk memindahkan hak milik penjual kepada pembeli
dengan imbalan. Begitu juga akad-akad lainnya. Bentuk lain yang tidak diakui
oleh syara adalah menjual anggur kepada pabrik penggelola minuman keras.
Syarat barang yang dapat diakadkan:
Bersih barangnya. Kepada hadits jabir, bahwasanya dia mendengar rasulullah
bersabda:














Sesungguhnya Alloh mengharamkan menjual belikan khamar, bangkai babi,
patung-patung.
Termasuk segala bentuk barang yang najis. Menurut hanafi dan mazhab
Zhahiri mengkecualikan barang yang ada manfaatnya, hal itu dinilai halal untuk
dijual, untuk itu mereka menggatakan: Diperbolehkan seseorang menjual
kotoran-kotoran/tinja dan sampah-sampah yang mengandung najis oleh karena
sangat dibutuhkan guna diperlukan dalam berkebun. Barang-barang tersebut dapat

12
dimanfaatkan sebagai bahan bakar perapian dan juga dapat digunakan sebagai
pupuk tanaman.
Dapat dirmanfaatkan. Maka jual beli serangga, ular, tikus tidak boleh
kecuali untuk dimanfaatkan, Misalnya juga: Jual beli anjing yang bukan anjing
terdidik tidak boleh, karena rasulullah mencegahnya. Anjing-anjing yang dapat
dijinakkan seperti untuk penjagaan, anjing penjaga tanaman, menurut abu hanifa
boleh diperjual belikan. Menurut an nakhai: yang diperbolehkan hanya
memperjual belikan anjing berburu.
Mampu menyerahkan barang yang dijual. Tidak boleh menjual barang
yang tidak mampu diserahkan seperti menjual burung yang sedang terbang dan
tidak diketahui kembali ketempatnya. Sekalipun burung itu dapat kembali pada
waktumalampun jual beli tidak sah, menurut sebagian besar ulama, kecuali lebah.
Karena rasullah melarangmenjual barang yang bukan miliknya.
Munurut mazhab hanafi, jual beli itu sah, karena dapat dihitung untuk diterima,
kecuali lebah.
Berakhirnya Akad
Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
1. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang
waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat.
3. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau
syaratnya tidak terpenuhi.
1. Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
2. Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
3. Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
Salah satu pihak berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini para ulama
fiqih menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya
salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad akan berakhir dengan wafatnya
salah satu pihak yang melaksanakan akad, di antaranya akad sewa menyewa, al-
rahn, al-kafalah, al-syirkah, al-wakalah, dan al-muzaraah. Akad juga akn berakhir

13
dalam baI al-fudhulu (suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung
pada persetujuan orang lain) apabila tidak mendapat persetujuan dari pemilik
modal.
Syarat pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan Kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimiliki sesuai dengan aturan syara. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan
ketetapan syara, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai
penggantian (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini disyaratkan antara lain:
1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika
dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.

D. Tujuan Sighat Akad


Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar
aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak , maka akad batal atau dikembalikan.
dampak asli dalam pelaksaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakan suatu
akad seperti pemindahan kepemilikan dalam jual-beli, hibah, wakaf, upah dan
lain-lain.
Secara umum Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar
akad, baik dari segi hukum maupun hasil. Adanya ikatan yang kuat antara dua
orang atau lebih dalam bertransaksi, Tidak dapat sembarangan dalam
membatalkan suatu ikatan perjanjian. Akad merupakan payung hukum didalam
kepemilikan sesuatu, sehingga orang lain tidak dapat menggugat atau milikinya.

14
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sighat adalah ijab dan qobul, yang diambil dari kata aujuba yang artinya
meletakkan dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qobul yaitu orang
yang menerima milik.
Shighat adalah ungkapan orang yang melakukan akad untuk menunjukkan
keinginan dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang
tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang
menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan
Para ulama fiqih menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad,
yaitu: Dengan Lafadz (Ucapan/Lisan), Shighat dengan ucapan adalah sighat akad
yang paling banyak digunakan orang. Sebab paling mudah digunakan dan mudah
dipahami, Dengan cara tulisan (Kitabah), Dibolehkan akad dengan tulisan, baik
bagi orang yang mampu berbicara ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut
harus jelas, tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya, Dengan Isyarat (tanpa
tulisan maupun ucapan), dan tanpa perbuatan yang tidak menggunakan isyarat,
tulisan, maupun ucapan namun harus menunjukan tanda keridhaan bagi yang
berakad.
Secara umum Segala sesuatu yang mengiringi akad, baik dari segi hukum
maupun hasil Adanya ikatan yang kuat melalui shigat akad antara dua orang atau
lebih dalam bertransaksi, Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu
ikatan perjanjian. Akad merupakan payung hukum didalam kepemilikan sesuatu,
sehingga orang lain tidak dapat menggugat atau milikinya.

15
16

Anda mungkin juga menyukai