Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

FIQIH IBADAH DAN MUAMALAH

Tentang

AKAD DAN JUAL BELI

DOSEN PENGAMPU:

Drs.H.JAPERI,MM

Di susun oleh:

1.nisbil laili 2112010014

2. nabila putri syailendra 2112010040

PRODI AKUTANSI SYARIAH A


FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
1444 H /2022 M

KATA PENGANTAR
Syukur Allhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmad dan karunia-nya.Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi Tugas kelompok untuk mata kuliah
FIQIH IBADAH DAN MUAMALAH dengan judul “AKAD DAN JUAL BELI”
Sholawat bersamaan dengan salam juga mari hadiahkan kepada baginda
nabi Muhammad SAW. Sebagaimana karunia-nya dan nikmat yang diberikannya
masi kita rasakan sampai saat ini.Adapun tujuan penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah perpajakan.Kami jauh dari
sempurna,dan ini merupakan Langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya.Oleh karna itu keterbatasan waktu dan kemampuan kami,maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa.
Kami dari kelompok IX mengucapkan terima-kasih kepada Drs.
H.JAPERI,MM Yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengkaji
materi ini.semoga kesedian tersebut mendapatkan berkah dan balasan yang
berlipat ganda dari Allah SWT Aamiin ya rabbil Allamin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BABI PENDAHULUAN………………………………………..…..…………1
A .LATAR BELAKANG…………………………………………………1
B. RUMUSAN MASALAH…………………………..……..….….……1
C. TUJUAN………………………………………………………..…….1
BAB II PENINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN AKAD……………...…….………….…………...….
B. PENGERTIAN JUAL BELI…………..…..…………………….........
PENUTUP……………………………………………….…….………………
KESIMPULAN……………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA………………………………..………….……………
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Dalam dunia bisnis, akad memiliki peranan sangat penting karena


keberlangsungan kegiatan bisnis ke depan akan tergantung seberapa baik dan
rinci akad yang dibuat untuk menjaga dan mengatur hak dan kewajiban kedua
belah pihak yang melakukan akad. Akad merupakan perjanjian yang mengikat
hubungan kedua pihak itu sekarang dan yang akan datang. Pemilihan akad akan
mencerminkan seberapa besar risiko dan keuntungan bagi kedua pihak, terutama
bagi pihak pemodal maupun pihak yang mengelola bisnis atau antara pembeli
dengan penjual.
Ilmu fikih menawarkan berbagai rincian dan penetapan dasar-dasar
perjanjian bisnis sehingga dapat merealisasikan tujuan dan kepentingan yang
berakad. Selain itu ilmu fikih khususnya ilmu fikih muamalah akan memjawab
persoalan serta membuat aturan untuk menjalankan aktivitas bisnis yang sesuai
dengan prinsip syariah serta melahirkan kaidah-kaidah dan pandangan yang
digunakan untuk transaksi bisnis yang baru muncul dan semakin beragam di era
modern. Semakin jelas, cermat serta rinci dalam membuat akad maka semakin
kecil kemungkinan terjadi konflik antar kedua belah pihak yang berakad di masa
yang akan datang karena masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya.
B.RUMUSAN MASALAH

1.dapat mengetahui pengertian akad

2.dapat mengetahui defenisi jual beli

PEMBAHASAN

BAB II

A. Pengertian Transaksi (Akad)

Transaksi (akad) berasal dari bahasa arab Al-aqad yang secara etimologi

berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-itifaq) sebagai suatu istilah

hukum Islam. Ada beberapa defnisi yang berkaitan dengan akad diantaranya:

Pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang

berakibatkan timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh

salah satu pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad

sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak pertama.


Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah

pertemuan ijab yang menyatakan kehendak dari satu pihak dan kabul yang

menyatakan kehendak dari lain.16

Sedangkan, secara terminologi fiqh akad adalah:

“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan

penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada

objek perikatan”

Pencantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariah”

maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh kedua belah

pihak

16
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2010), hlm 58

atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak

syara’ .Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-

Sanhury, akad ialah:

“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan

keridahan kedua belah pihak”1

Pengertian perikatan itu berdasarkan yang tercantum dalam KUHPerdata

Pasal 1233, perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang.2

1 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 50


2 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm 311
Jadi dapat di simpulkan bahwa dari pengertian akad di atas akad adalah

pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang bertujuan

melahirkan akibat hukum terhadap objek. Dari definisi tersebut dapat diperoleh

tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:

a. Pertalian ijab dan kabul

Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan

seseuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau

menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lain (qaabil). Ijab dan kabul ini

harus ada dalam suatu petikatan atau perjanjian.3

b. Dibenaran oleh syara’

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syara’ atau hal-hal

yang diatur oleh Allah SWT dalam al-qur’an dan hadist. Pelaksanaan akad, tujuan

akad, maupun objek akad tidak boleh bertentangan dengan syara’, apabila

bertentangan dengan syara’ akan mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai

contoh, suatu akad yang mengandung riba atau objek perikatan yang tidak halal,

maka mengakibatkan tidak sahnya suatu akad menurut hukum Islam.4

c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya

Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum. Adanya akad akan

menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para

3 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013) hlm 54
4 Gemala Dewi, Ibid, hlm 54
pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para

pihak.5

1. Rukun–rukun Akad

Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja

dibuat oleh dua orang atau lebih, berdasarkan keridhaan masing-masing. Dari hal

tersebut adapun rukun-rukun yang harus di penuhi dalam melaksanakan akad

ialah sebagai berikut:

a. Aqid ialah orang yang berakad, orang yang berakad masing-masing


terdiri dari satu orang atau beberapa orang, pihak-pihak yang melakukan
akad disebut dengan subjek hukum atau yang orang yang melakukan
akad. Dalam hal ini orang yang melakukan akad hendaknya memiliki
kecakapan bertindak da kewenangan.

b. Ma’qud’alaih ialah benda-benda yang diakadkan , seperti benda yang


dijual dalam akad jual beli, akad hibah (pemberian), dan akad gadai.

c. Maudhu’al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.


Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Misalnya, dalam
akad jual beli tujua pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual
kepada

pembeli dengan diberi ganti.

d. Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab adalah permulaan penjelasan
yang keluar dari salah seorang yang berakad sebgai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad. Sedangkan qabul adalah
perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah
adanya ijab.6

5 Gemala Dewi, Ibid, hlm 54


6 Abdul Hanan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 83
2. Syarat-syarat Akad

Syarat-syarat akad pada umumnya harus dipenuhi dalam berbagai macam


dalam akad, diantaranya:7

a. Kedua orang yang melakukan akad cakap dalam bertindak (ahli). Hal ini
sangat berpengaruh dalam akad, tidak sah akad orang yang tidak cakap
bertindak, seperti orang gila.

b. Yang dijadikan objek dapat menerima hukumnya.

c. Tempat akad, adalah tempat bertrasaksi antara kedua belah pihak yang
sedang berakad, yaitu bersatunya kata sepakat di tempat yang sama.

d. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai
hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.

e. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’

f. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila ranh dianggap
sebagai imbangan amanah.

g. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum jadi qabul. Maka bila ornag
yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah
ijabnya.

h. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila sehingga bila seseorang

yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut
batal.

Adapun syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya

wajib dalam sebagian akad. Syarat hukum ini dapat juga disebut syarat idhafi

(tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat umum, seperti syarat adanya

saksi. Sedangkan yang menjadi syarat sah dalam akad adalah segala yang

7 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet ke-9, (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hlm 50
disyaratkam syara’ untuk menjamin dampak keaslian akad. Jika akad tidak

terpenuhi maka akad tersebut rusak. Diantaranya yamg menjadikan akad itu rusak

yaitu, paksaan dan adanya kemudratan. Kemudian syarat dalam pelaksanaan akad

terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Kepemilikan, adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia

bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan

aturan syara’

b. Kekuasaaan, adalah kemampuan seseorang dalam berakad sesuai

dengan ketetapan syara’. Apabila ada yang berperan sebagai

pengganti atau yang mewakili maka barang yang di akadkan harus

ada izin dari pemiliki yang asli, serta barang yang dijadikan tidak

berkaitan dengan kepemilikan orang lain.8

3. Macam-macam Akad

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari

beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi

menjadi dua, yaitu:

a. Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan

syaratsyaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh

akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-

pihak yang berakad, diantaranya:

8 Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), hlm 113
1. Akad Nafiz, adalah akad yang bebas dari faktor yang
menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut dilaksanakan. Dengan
kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan
langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya akad.

2. Akad Maukuf, adalah akad yang tidak dapat secaralangsung


dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah,
seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah
mumayiz.9

b. Akad tidak Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan

syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak

mengikat para pihak yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah ada dua

macam akad yang tidak sahih yaitu:10

1. Akad Batil, adalah akad yang secara syara’ tidak sah pokok dan
sifatnya. Secara pokok yang dimaksud ialah tidak memenuhi
rukun dan syarat sebgaimana yang disebutkan.

2. Akad Fasid, ialah akad yang telah terbentuk dan telah memiliki
wujud syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya
kerena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan akad.

4. Hal-hal Yang Merusak Akad

Adapun hal-hal yang dapat merusak suatu akad yang dilakukan oleh kedua

belah pihak diantaranya:11

9 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 56


10 Abdul Rahman Ghazaly, Ibid, hlm 57
11 Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Kajian
Perundangundangan Indonesia, Fiqh dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm
271
a. Pemaksaan dan keterpaksaan, yaitu akad yang terjadi bukan atas dasar

kesadaran dan keinginan yang sempurna dari salah satu pihak.

Keterpaksaan ini biasanya akibat dari kondisi ekonomi sehingga

menjadi terpaksa tuk melakukan itu.

b. Ghalat (Kesalahan), misalnya kesalahan dalam menjelaskan sifat dan

jenis terhadap objek akad. Misalnya, menyebutkan objeknya emas

padahal yang terjadi sebenarnya adalah perak.

c. Tadlis (Penipuan), terjadi untuk menyembunyikan cacat atau kerusakan

atas suatu barang. Seperti: perbuatan, menyebutkan sifat yang tidak

nyata pada objek akad. Ucapan, berbohong tentang suatu barang

supaya orang tertarik padahal tidak senyatanya.

d. Ghaban, ketidakseimbangan antara sifat dan kenyataanya. Misalnya

menjual barang yang ditawarkan, tetapi pada kenyataanya tidak seperti

itu.

B. Pengertian Jual Beli

Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar

menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan

kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh

syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan
jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan

kedua belah pihak. 12

Jual beli adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada

pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi,

jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual

beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.

Menurut istilah terminologi yang dimaksud dengan jual beli adalah

sebagai berikut:

1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan.

“Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan
syara”.13

2. Menurut Ibnu Qadamah dalam kitab al-mugni:

”Pertukaran Harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah

suatu perjanjian tukar-menukar pada benda atau barang yang mempunyai nilai

secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda

12 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 67


13 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Perss, 2014), hlm 67
dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah

dibenarkan oleh syara’ dan disepakati.14

Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan,

rukun dan hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat

dan rukunya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan syara’. Sedangkan benda

yang dapat mencakup pengertian barang dan uang. Sedangkan sifat benda

tersebut harus dapat bernilai, berharga dan dapat dibenarkan penggunaanya

menurut syara’.

Dari pengertian istilah syara’ terdapat beberapa definisi yang

dikemukakan oleh para ulama mazhab. Menurut ulama Malikiyah pengertian jual

beli ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat

khusus, diantaranya:

a. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukat sesuatu

yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang

mengikat kedua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak

menyerahkan ganti pertukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak

lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang

ditukarkan adalah benda yang berbentuk atau sebagai objek penjualann.

b. Jual beli dalam arti khusus adalah ikatan tukar-menukar sesuatu yang

bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya

tarik, penukarannya bukan mas dan bukan perak dan barang yang sudah

14 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012)
hlm 155
diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.15

Menurut ulama Hanafiah, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Fikri,

menyatakan bahwa jual beli memiliki dua arti, arti khusus dan umum, yaitu:

a. Dalam arti khusus, jual beli adalah tukar menukar benda dengan mata

dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar-menukar

barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus.

b. Dalam arti umum, jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta,

menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang.

Menurut ulama Syafi’iyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut,

jual beli menurut syara’ adalah suatu akad yang mengandung tukar-menukar

harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh

kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.

Menurut ulama Hambali, definisi jual beli sebagai berikut, pengertian jual

beli menurut syara’ adalah tukar-menukar harta dengan harta, atau tukar-menukar

dengan manfaat untuk waktu selamanya.

Dari beberapa definisi yang dikemukan oleh para ulama mazhab tersebut

dapat disimpulkan bahwa:

15 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Perss, 2014), hlm 69


a. Jual beli adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang dilakukan oleh

kedua belah pihak, dimanapihak pertama menyerahkan barang dan

pihak kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang maupun barang.

b. Syafi’iyah dan Hambali mengemukakan bahwa objek jual beli bukan

hanya barang (benda), tetapi manfaat dengan syarat tukar-menukar

berlaku selamanya, bukan untuk sementara. Dengan demikian, ijarah

(sewa-menyewa) tidak termasuk dalam jual beli, karena manfaat yang

digunakan hanya sementara, yaitu selama waktu yang di tetapkan

dalam perjanjian.16

Sedangkan dalam pengertian hukum perdata No. 1457, jual beli adalah

suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

dijanjikan.17

C. Pengertian Jual Beli Ijon

Ijon atau dalam bahasa arab sering disebut dengan nama mukhadlarah,

yaitu memperjualbelikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau atau

belum pantas untuk dipanen. Pengertian Ijon dengan nama lain sering disebut

muhaqalah yaitu, menjual buah-buahan yang masih berada pada sawah, kebun

dan tanah yang belum layak untuk dipanen.18

16 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamlah, Cet ke-3, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm 175
17 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm 356
18 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm, 201
Dari pengertian di atas tampak adanya perbedaan antara menjual buah

atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi hal ini sama tampak wujudnya tetapi

belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud

matangnya atau tidak.

Para ulama Mazhab berpendapat bahwasannya jual beli buah-buahan atau

hasil pertanian yang belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah

satu diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjualbelikan. Hal ini

merujuk pada Hadist Nabi yang disampaikan oleh Anas ra.

َ ‫ نهََي َرسُول هللا صلي هللا عليه و سل َم ع َْن بيَ َع ال ُم َحاقَلةَِ َو ال ُم َحا‬: ‫ع َْن أنُس رضي هللا عنهَ قال‬
‫ض َر ِة َو الم َل‬

‫َم َس ِة َو ال ُمنَابَذةَِ َو ال ُم َزابنَ ِة‬

“Dari Anas ra. Berkata: Rasulullah saw. telah melarang jual beli

muhaqalah, mukhadharah, mulamasa, munabadzha, dan muzabanah. 19 HR.

Bukhari No. 2207)

‫ نهَى ْالبَاِئ َع َو ْال ُمبْتا َ َع‬،‫صلَ ُحهَا‬


َ ‫ى يَبْد ُو‬ ََّ ،‫حديث َع ْب ِد هللاِ ْب ِن ُع َم َر‬
ِ ‫أن َرسُو َل هللاِ نهَى ع َْن ب ْيَ ِع الث َِم‬
َّ ‫ار َحت‬
“Abdullah bin Umar r.a. berkata: Nabi saw. melarang menjual buah di

pohon sehingga terlihat baiknya. Nabi saw. melarang yang jual dan yang

membeli.”.20 (HR. Muslim No. 1533)

Hadits di atas merupakan suatu larangan untuk menjual buah-buahan

sebelum tampak matang, bukti kematangan buah adalah buah yang pada

pohonnya

19 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Bukhari, Juz II, (Daru Sunnah:1403), hal 114
20 Imam Hafiz Shahihnuddin Abu Zakaria Yahya bin Syarif bin Muroi Nabawi, Shahih
Muslim Juz III, (Dahlan: Bandung, 1341), hal 976
itu berwarna kekuning-kuningan atau kemerah-merahan yang ada juga pada

sebagian buah-buahan. Kematangan sebagian buah-buahan di pohonnya

merupakan bukti kemantangan untuk seluruh buah di satu lahan untuk jenis yang

sama. Sedangkan untuk buah lainnya ditandai dengan kelayakannya untuk

dimakan, yang dalam biji-bijian tampak berisi.21

Sedangkan, para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli yang masih

berada pada pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini mereka

menganggap masih ada kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya

perjanjian tertentu sebelum akad. Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk

tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa

terjadi di masyarakat, terutama masyarakat pedesaan.

Hikmah dari larangan ini, bahwa sebelum matang buah-buahan masih

rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah-buahan rusak, maka

pembelilah yang harus menanggungnya, sehingga tidak ada manfaat yang

diperoleh, sehingga penjuak dianggap mengambil harta orang lain (pembeli)

secara batil. Menjual buah-buahan sebelum tampak matang, juga tidak

mendatangkan manfaat, karena memang belum bisa diamnfaatkan.

Disamping itu, hal ini juga bisa menimbulkan pemutusan hubungan dan

perselisihan diantara kedua belah pihak, lalu mengakibatkan permusuhan. Hal ini

tergambar pengaharaman mengambil harta orang lain secara tidak benar,

meskipun ada sedikit gambaran keridhaan dari kedua belah pihak.38

21 Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hlm
113 38 Mardani, Ibid, hlm 114
D. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli merupakan sarana tolong menolong antara sesama mempunyai

landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan

AlQur’an, Hadist dan ijma’. Hukum jual beli pada dasarnya dibolehkan oleh

ajaran

Islam antara lain:22

Al-Qur’an

a. Surat al-Baqarah: 275


ُ
ۚ ‫أح َّل ال ََّّل ْالب ْيَ َع َو َح َّر َم ال ِربَا‬
َ ‫َو‬

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…

b. Surah al-Baqarah:198

ۚ ‫س عَليَْ ُك ْم ُجنَا ٌح أنَْ تبَْت َغ ُوا فَضْ ال ِم ْن َر ب ُِك ْم‬


َ َْ‫لي‬

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.

c. Surah An-Nisa: 29

ٍ ‫إ ََِّّل أنَْ ت َُكونَ تِ َجا َرةا ع َْن ت َر‬


ۚ ‫اض ِم ْن ُك ْم‬

Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
siantara kamu.

d. Surah Al-Baqarah: 282

ۚ ‫َوأ َْش ِهد ُوا ِإذاَ تبََاي َْعت ُْم‬

22 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Amzah, 2015), hlm177


“Dan persaksikanlah apabila kamu jual beli”

Sunnah

“Rasulullah Saw, ditanya salah salah seorang sahabat menegenai

pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasullullah Saw. menjawab : Usaha

tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (mabrur)” (HR.

AlBazzar dan Al-Haim No. 800 Bab Buyu’) 23. Maksud mabrur dalam Hadist di

atas adalah jual beli yang dilakukan haruslah terhindar dari usaha penipuan dan

orang lain, dan jual beli diharuskan untuk saling meridhai.

Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa

manusia tidak akan mempu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang

lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan itu,

harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat

AlQur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi

tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan

makruh. 24

E. Rukun, Syarat dan Etika Jual beli

a. Rukun- rukun Jual Beli

1. Adanya ‘aqid (‫ )عاقد‬yaitu penjual dan pembeli.


2. Adanya ma’qud ‘alaih yaitu adanya harta (uang) dan barang yang dijual.
3. Adanya sighat (‫ )صيغة‬yaitu adanya ijab dan qobul. Sigat atau Ucapan
Ijab dan Kabul.

23 A.Hasan, Terjemahan Bulughul Maram, (Bagil:Pustaka Tamam, 1985), Hal 398


24 Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm75
4. Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini
berupa uang).25

b. Syarat-syarat Jual beli

1. Syarat orang yang berakad penjual dan pembeli. Syarat-syarat yang harus

dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:26

a. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak
sah.

b. Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah.

Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan

baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual beli terhadap barang-

barang yang harganya murah seperti: permen, kue, kerupuk, dll.

c. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak

menggunakan harta milik orang yang bodoh (idiot), maka tidak sah

jual belinya.

2. Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat yang

diharuskan, antara lain:27

a. Barang yang diperjual belikan itu halal.

b. Barang itu ada manfaatnya.

c. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada di tempat lain.

25 Sulaiman Rajid, Fiqh Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm 279
26 Sulaiman Rajid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Alglasindo, 2013), hlm 29
27 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012)
hlm 156
d. Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaannya.

e. Barang itu hendak dikuasai oleh pihak penjual dan pembeli dengan

jelas, baik zatnya, bentuk dan kadarnya mauun sifatnya.

3. Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan

antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka

harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari

pihak pembeli). Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah:28

a. Orang yang mengucapkan ijab dan kabul telah baligh

b. Kabul yang di ucapkan harus sesuai dengan ijab

c. Ijab dan Kabul dilakukan dalam suatu majelis

4. Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah:

a. Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.

b. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli,

walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu

kredit.

c. Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai

tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa barang).29

28 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ,Cetakan ke-8 (Jakarta: RajaGrafindo Perersada,


2013), hlm 79
29 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ,Cetakan ke-9 (Jakarta: RajaGrafindo Perersada,
2014), hlm 79
c. Etika dalam Jual Beli

Dalam perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa etika di

antaranya:30

a. Menjauhkan hal-hal yang haram dalam jual beli, seperti halnya


mengurangi timbangan

b. Menjelasakan dengan sejelas-jelasanya kebaikan dan kekurangan


barang yang di jual.

c. Dilarang untuk bersumpah, hanya untuk melariskan dagangannya.

d. Dilarang curang dalam jual beli, seperti menutupi kerusakan barang


dagangan dari para pembeli

F. Macam-macam Jual beli

Dalam jual beli dapat ditinjau beberapa macam bentuk, diantaranya:31

a. ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi beberapa macam,

yaitu:

1. Jual beli yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad,
barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.

30 Muhimatul Husnah, http://Majelis Penulis.Blogspot.co.id/2013/10/Etika-jual-beli dalam

Islam.hmt. (Download: 22 Januari 2016, 20:00 WIB)


31 Muhammad Sharif Chaudhary, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta; Kencana, 2012), hlm
126
2. Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli
ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang di
tempat akad berlangsung.

3. Jual beli benda yang tiak ada, jual beli seperti ini, tidak ddiperbolehkan
dalam agama islam.

b. Ditinjau dari bentuk pelaku atau subjek jual beli:

1. Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan, bagi
sebagian orang bisa diganti dengan isyara, misalnya bisu.

2. Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang


tanpa ijab Kabul, misalnya seseorang membeli barang yang sudah
mepunyai lebel harga.

c. Ditinjau dari bentuk hukumnya

Jual beli dapat dikatakan sah atau tidak dapat dilihat dari syarat dan rukun

jual beli yang telah dijelasakan dalam Islam, diantaranya:

1. Jual beli Shahih, jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya

2. Jual beli, Bhatil, adalah jual beli yang tidak memenuhi syarat dan
rukun dalam jual beli, misalnya:

a. Jual beli atas barang yang tidak ada (Bai’ al-ma’dum), seperti jual
beli janin dalam perut

b. Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti bangkai, babi,
khamar.
c. Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab dan kabulnya dikaitkan
dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual
beli

d. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung.

e. Jual beli muhaqallah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih


berada di sawah, kebun, dan lading.

f. Jual beli dengan mukhadharah, yaitu jual beli buah-buahan yang


belum pantas untuk dipanen. Hal ini dilarang karena barang tersebut
masih samar.

g. Jual beli mulamassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh,


misalnya, seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di
waktu malam atau siang hari, maka orang yang meyentuh berarti
telah telah membeli kain tersebut.

h. Jual beli munabahzah, yaitu jual beli secar lempar melempar, seperti
kata orang, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti
kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku.”32

i. Jual beli dengan muzabanah, yaitu jual beli buah yang basah dengan
buah kering, seprti jual beli padi kering dengan bayaran padi basah,
sedangkan ukurangnya dengan dikilo tidak sama.33

j. Jual beli yang menentukan harga untuk satu barang yang diperjual
belikan.

k. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada
kemungkinan terjadi penipuan, seperti jual ikan yang masih dalam
kolam.

32 Muhammad Sharif Chaudhary, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta; Kencana, 2012), hlm
126
33 Ibid, 126
3. Jual beli Fasid, yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan
dengan syara’ namun secara sifatnya tertentu yang menghalangi sahnya
jual beli, misalnya:
a. Jual beli yang barangnya ada namun tidak dihadirkan ketika akad
jual beli berlangsung

b. Membeli barang yang banyak untuk di timbun

c. Jual beli barang rampasan dan barang yang sedang ditawar orang
lain.
51

G. Khiyar dalam Jual Beli

Kata al-Khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan. Secara terminologi,

para ulama fiqh, menurut Sayyid Sabiq: “Khiyar ialah mencari kebaikan dari

dua perkara, melangsungkan atau membatalkan (jual beli)”. Sedangkan, menurut

Wahbah al-Zuhaily: “Hak pilih bagi salah satu pihak yang melaksanakan

transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati

sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi”.52

Dalam jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih, apakah akan

meneruskan jual beli atau akan membatlakannya. Karena terjadinya sesuatu hal,

khiyar, kemudian dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya:

a. Khiyar Majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan
dilanjutkan jual beli atau dibatakannya. Selama keduanya masih berada
dalam satu tempat (majelis). Apabila keduanya telah berpisah dari
tempat akad tersebut, maka khiyar tidak berlaku lagi.
b. Khiyar Syarat, yaitu penjual yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik
oleh penjual maupun pembeli, seperti akan mempertimbangkan setelah
sekian lama.

c. Khiyar’aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli


bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada
objek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui.

d. Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku

51
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamlah, ( Jakarta: Kencana, 2012), hlm 97
52
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm 100
atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia
lihat ketika akad berlangsung.

e. Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menenukan barang yang

berbeda kualitas dalam jual beli.34 H. Manfaat dan Hikmah Jual Beli

a. Manfaat Jual beli

1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang


menghargai hak milik orang lain.
2. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan
atau suka sama suka.
3. Penjual dan pembeli merasa puas, dengan melepasakan barang secara
ikhlas dan menerima uang. Sedangkan, pembeli memberikan uang dan
menerima barang dengan ikhlas.

4. Dapat menjaukan diri dari memakan memiliki barang yang haram.

5. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagian dalam hidup.

b. Hikmah Jual Beli

Hikmah jual beli dalam hal ini memberikan keluasan dan kemudahan bagi

setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena, demi memenuhi

kebutuhan tersebut harus adanya bantuan dari pihak lain.

34 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamlah, ( Jakarta: Kencana, 2012), hlm, 87


Oleh karena itu, manusia dituntut untuk harus memiliki komunikasi yang

baik dengan sesama. Dengan demikian, hal ini mampu memenuhi kebutuhan

hidup yang di perlukan oleh setiap manusia dengan memenuhi kebutuhannya

masing-

BAB III

PENUTUP

Transaksi (akad) berasal dari bahasa arab Al-aqad yang secara etimologi

berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-itifaq) sebagai suatu istilah

hukum Islam. Ada beberapa defnisi yang berkaitan dengan akad diantaranya:

Pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang

berakibatkan timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh

salah satu pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad

sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak pertama.


Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah

pertemuan ijab yang menyatakan kehendak dari satu pihak dan kabul yang

menyatakan kehendak dari lain.

Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar

menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan

kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh

syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan

jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan

kedua belah pihak

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, Nazaruddin, Sukuk Memahami & Membedah Obligasi pada


Perbankan Syariah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Ab. Ghani, Ab. Mumin, Sistem Keuangan
Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia,
Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 1999.
Alimin, Aplikasi Pasar Sukuk dalam Perspektif Syariah (Studi Analisis
Kesesuaian Syariah Terhadap Aplikasi Pasar Sukuk Domestik dan Global),
Disertasi Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayahtullah,
Jakarta, 2010.
Ash-Shieddieqy, T. M Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang,
1984.
Askar, S., (Peny), Kamus Arab-Indonesia al-Azhar, Jakarta: Senayan Publishing,
2010.
Ayob, Syeikh Hasan, Fiqh Muamalah, Abdurrahman Saleh S, (Pent.), Selangor:
Berlian Publications, 2008.
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, Aditya Wisnu Pribadi,
(Pent.),
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007
Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeva, 2001.

Anda mungkin juga menyukai