Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“AKAD TERHAP BENDA SAMA SEPERTI TERHADAP MANFAAT”

DOSEN PENGAMPU:

Drs.H.Ahmad Riadi Daulay,MAg

OLEH : KELOMPOK 9

Amaliah Nasution(0501193246)

Siti Holijah(0501193171)

Salman Alfaridzi(0501192091)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, anugerah, dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dan tak
lupa pula shalawat dan salam kita hadiahkan pada junjungan besar kita Baginda Nabi
Muhammad SAW..

Oleh sebab itu, kami mengambil tema "AKAD TERHADAP BENDA SAMA SEPERTI
TERHADAP MANFAAT” dalam penyusunan makalah yang kami susun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah QFFM , Makalah ini berisi pembahasan mengenai pengertian dan
tujuan akad, syarat akad.

Kami telah berusaha menyusun makalah ini sebaik-baiknya, tetapi sebagai manusia yang
dipenuhi berbagai kekurangan dan kelemahan, kami menyadari bahwa makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan dan kesalahan. Atas dasar kenyataan tersebut, saran, dan kritik
yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih baik sangat diharapkan dan diterima
dengan tangan terbuka. Semoga makalah ini bermanfaat dan juga dapat menambah pengetahuan
serta dapat memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa indonesia.

Medan,27 juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ........................................................................................


B. Rumusan Masalah...........................................................................
C. Tujuan.............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Apa yang di maksud dengan akad?


B. Sebutkan rukun akad?
C. Apa syarat akad?
D. sebutkan tujuan akad?

BAB III PENUTUP

Kesimpulan....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang
ini adalah bagaimana hukum Islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk trnasaksi
ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum didapat pengaturannya dalam kitab-
kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fuqaha klasik telah mengkaji fiqih
muamalah secara atomistik, di mana para fuqaha langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil
dan mendetail tanpa merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan
menyemangati perjanjian-perjanjian khusus tersebut. Dalam kitab-kitab fiqih, para fuqaha klasik
langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa menyewa, serikat atau persekutuan
usaha.Untuk menjawab kebutuhan di atas, maka ahli-ahli hukum Islam menyarankan agar
pengkajian hukum Islam di zaman moderen ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-
asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik
tersebut.1 Hal ini semakin beralasan, karena hukum Islam di bidang muamalat ini semakin
mempunyai arti yang penting, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis
syariah seperti perbankan, asuransi, pegadaian, obligasi dan lainlainnya. Hal ini tentunya
menuntut penjustifikasian dari aspek syariah.

Sementara itu, aspek yang paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan
ekonomi Islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak
dan ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas
umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk
akad. Tanpa merumuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan
sengketa yang dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang
telah menjadi yurisdiksinya Peradilan Agama tersebut.

1
Syamsul Anwar. 1996. “Hukum Perjanjian dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah
Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada
Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996,
hlm. 3
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah kami sampaikan di atas, dan juga dengan tujuan yang
mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini, maka kami merumuskan
permasalahan yang akan kami bahas lebih mendalam dalam makalah ini. Rumusan
masalah tersebut ialah sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan akad?
2. Sebutkan rukun akad?
3. Apa syarat akad?
4. sebutkan tujuan akad?

C. TUJUAN
1. Mengtahui Pengertian Akad
2. Mengetahui syarat akad
3. Mengetahui tujuan akad
4. Mengetahui rukun akad
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

Akad merupakan bidang kajian hukum ekonomi Islam atau muamalah. Term akad berasal
dari bahasa Arab, al-‘aqd, yang berarti “mengikat, menyambung atau menghubungkan.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami adanya keterkaitan atau hubungan hukum.
Pertama, akad merupakan pertemuan atau keterkaitan ijab dan kabul yang mendorong
munculnya akibat hukum. Karena ijab merupakan penawaran yang diajukan oleh satu pihak,
sedangkan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan
terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak
masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain. Sebab akad menghendaki keterkaitankehendak
kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.

Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak, karena di dalam akad pertemuan ijab
yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak sedangkan kabul yang menyatakan kehendak
pihak lain. Tindakan hukum satu pihak seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau
pelepasan tidak termasuk akad, karena tindakan-tindakan itu bukan merupakan tindakan dua
pihak, sehingga tidak membutuhkan kabul. Sebagian besar ulama fiqaha memang memisahkan
secara tegas kehendak sepihak dari akad, tetapi sebagian yang lainnya menjadikan akad
mencakup kehendak sepihak.

Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Jelasnya, tujuan akad adalah
maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui perbuatan
akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad.” Tercapainya akad
tercermin pada terciptanya akibat hukum. Misalnya, maksud para pihak dalam akad jual beli
adalah untuk melakukan pemindahan atas suatu benda dari penjual kepada pembeli dengan
imbalan yang diberikan oleh pembeli. Terjadinya pemindahan milik tersebut merupakan akibat
hukum akad jual beli.

B. Rukun dan Syarat Akad

Rukun Akad

Menurut hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu disebut rukun. Jadi, rukun
adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya
unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Unsur-unsur yang membentuk akad yang disebut
sebagai rukun akad yang disepakati ada empat macam, yaitu:

a. Para pihak yang membentuk akad

b. Pernyataan kehendak para pihak

c. Objek akad, dan

d. Tujuan akad.

Padangan tersebut menunjukkan, bahwa unsur pokok yang membentuk akad itu hanyalah
pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan
objek akad adalah suatu unsur luar, tidak merupakan esensi akad, dan karena itu bukan rukun
akad. Namun mazhab Hanafi mengakui, bahwa unsur para pihak dan objek itu harus ada
untuk terbentuknya akad. Tetapi unsur-unsur tersebut berada di luar akad sehingga
dinamakan akad. Rukun hanya substansi internal yang membentuk akad yakni ijab dan kabul.

Syarat Akad

Syarat-syarat dalam rukun akad, adalah

Rukun pertama, para pihak memerlukan syarat hukum yaitu (1) tamyiz, dan (2) berbilang pihak.

Rukun kedua, pernyataan kehendak para pihak membutuhkan syarat: (1) adanya persesuaian ijab
dan kabul, atau kata sepakat, dan (2) kesatuan majelis akad.
Rukun ketiga, objek akad harus memenuhi tiga syarat:

1 objek itu dapat diserahkan,

2 tertentu atau dapat ditentukan, dan

3 objek itu dapat ditransaksikan. Rukun keempat, tujuan akad memerlukan satu syarat yakni
tidak bertentangan dengan syara.

Perbedaan Pemaknaan Istilah Rukun dan Syarat

Untuk terbentuknya akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad. Hanya saja, di
kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk tersebut
(rukun dan syarat akad). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:2

1. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad

2. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan

3. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan
ijab dan qabul Fuqaha Hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Jumhur
fuqaha di atas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan
unsur tersebut hanya ada satu yakni sighat akad (ijab dan qabul). Al-aqidain dan
mahallul akad bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepat dimasukkan sebagai
syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang
menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari
sesuatu yang ditegakkannya.3 Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan
dengan pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan
dua kehendak, yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai
rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari
perbuatannya. Dengan demikian para pihak dan objek akad adalah unsur yang berada di
luar akad, tidak merupakan esensi akad, karenanya ia bukan merupakan rukun akad. Hal
ini dapat dikiyaskan kepada perbuatan sholat, di mana pelaku solat tidak dapat

2
Wahbah Az-Zuhaili. 1989. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr. IV:

3
Mustafa Ahmad az-Zarqa. t.t, al-Madkhal al-Fiqh al’Am. Beirut: Dar al-Fikr. I: 300.
dipandang sebagai rukun dari perbuatan sholat. Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini
maka alaqid (orang/pihak yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun
akad.4 Adapun syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala
sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang
lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijiy). Maksudnya adalah, tiadanya syarat
mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedang adanya syarat tidak
mengharuskan adanya masyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan
syaratyang berlaku pada setiap akad sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak
berlangsungnya akad.

Berdasarkan perbedaan pendangan dua kelompok di atas tentang rukun akad, maka
Mustafa Ahmad az-Zarqa menawarkan istilah lain untuk menyatukan pandangan kedua
kelompok tersebut tentang apa yang dimaksudkan oleh mereka dengan rukun. Beliau
menyebutnya dengan istilah muqawwimat akad (unsur penegak akad), di mana salah
satunya adalah rukun akad, ijab dan qabul. Sedangkan unsur lainnya adalah para pihak,
objek akad dan tujuan akad

C. Tujuan Akad

Tujuan akad ditandai dengan beberapa karakteristik:

a. Bersifat objektif, dalam arti dalam akad sendiri, tidak berubah dari satu akad kepada
akad yang lain sejenis dan karenanya terlepas dari kehendak para pihak sebab tujuan
akad ditetapkan oleh para pembuat hukum.

2. Menentukan jenis tindakan hukum, dalam arti tujuan akad ini membedakan satu jenis akad
dari jenis lainnya.

b. Tujuan akad merupakan fungsi hukum dari tindakan hukum dalam pengertian bahwa ia
membentuk sasaran hukum, baik dilihat dari sudut pandang ekonomi maupun sudut
pandang sosial, yang hendak diwujudkan oleh tindakan hukum yang

4
Ibid. Lihat juga Ghufron A. Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontemporer. Jakarta:
Rajawali Pers.
bersangkutan.Wahid Sawwar sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Anwar
menyatakan bahwa tujuan akad ini adalah dasar perikatan kedua belah pihak. Dalam jual
beli, misalnya, tujuan pokok akad itu adalah pemindahan hak milik atas barang dari
penjual kepada pembeli dengan imbalan, dan ini merupakan manifestasi syar‟i (yuridis)
dari tujuan akad itu, kemudian di dalamnya terdapat menifestasi riil.

Akad dalam Ekonomi Syariah

Ekonomi dalam kajian umum diartikan sebagai perilaku manusia dalam hubungannya
dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-
barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi.Dengan demikian,
bidang garapan ekonomi adalah salah satu sektor dalam perilaku manusia yang
berhubungan dengan produksi distribusi, dan konsumsi. Dalam Islam, bidang muamalah
yang membahas perilaku manusia berkaitan dengan seluruh kebutuhan hidup
materialnya. Konsep Islam tentang ekonomi bersumber dari al-Qur’an dan hadis Nabi
Muhammad saw. Melalui al-Qur’an, Allah memberikan beberapa contoh mengenai
ajaran-ajaran para Rasul di masa lalu sebelum Nabi Muhammad saw dalam kaitannya
dengan masalah ekonomi yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah
satu bidang perhatian agama Islam.

Kaidah - kaidah Fiqh dalam Transaksi (‘Aqad)

‫ضى ْال ُمتَ َعا قِ َد ْي ِن َونَتِ ْي َجتُهُ َماإِ ْلتِزَ َماهُ بِالتَّ َعاقُ ِد‬
َ ‫َ اْل َصْ ُل فِى ْال َع ْق ِد ِر‬

“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan akad dan
hasilnya apa yang salingditentukan dalam akad tersebut.

Maksud kaidah diatas adalah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas kebebasan dan
kerelaan, tidak ada unsur paksaan atau kekecewaan salah satu pihak, bila itu terjadi maka
transaksinya tidak sah. Contohnya pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual
karena barangnya terdapat cacat yang disembunyikan.

‫ال َع ْق ُد َعلَى األَ ْعيَا ِن َكال َع ْق ِد َعلَى َمنَافِ ِعهَا‬


“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut”

Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa
manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang objeknya, objeknya bisa berupa
jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dan akad yang objeknya barang atau manfaat
dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.

Fungsi Akad dalam Ekonomi Syariah

Inti dari kegiatan manusia dalam ekonomi adalah pemanfaatan sumber-sumber kebutuhan
yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa serta didistribusikan untuk dikonsumsi.
Karena itu objek dari perilaku manusia dalam ekonomi adalah barang-barang dan jasa-jasa untuk
tujuan pemenuhan kebutuhan. Berfungsinya akad dalam ekonomi syariah adalah berlakunya
akad sebagai sarana transaksi barang-barang dan jasa-jasa untuk pemenuhan kebutuhan para
pihak dalam akad. Secara umum barang-barang ekonomi dapat dikelompokkan dalam dua
bagian:

(1) barang modal (capital goods) adalah barang yang digunakan untuk memproduksi
barang lain, misalnya mesin cetak, bahan baku industri, bahan bangunan dan sebagainya;

(2) barang konsumsi adalah barang-barang yang dibeli oleh konsumen akhir untuk
langsung dikonsumsi.Sedangkan jasa-jasa dalam ekonomi juga dibedakan menjadi:

(1) jasa prfesi yaitu keahlian atau ketrampilan tertentu yang dapat berfungsi sebagai
sumber pendapatan;

(2) jasa sosial yaitu keahlian atau kemampuan yang bermanfaat untuk pihak lain, baik
dengan imbalan tidak terikat maupun tanpa imbalan (secara sukarela). Untuk memahami fungsi
akad dalam transaksi ekonomi, terutama terhadap semua jenis barang dan jasa dapat diketahui
melalui fungsi akad terhadap objek akad berupa benda dan objek akad berupa perbuatan atau
keahlian.

D. Objek akad berupa benda


Dalam hal objek akad berupa benda, kejelasan akad terkait pada apakah objek harus ada di
majelis (tempat tertutupnya transaksi) atau tidak. Dalam transaksi, objek akad dimaksud ada
pada majelis akad. Kejelasan objek akad itu, menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah cukup
dengan menunjukkannya kepada mitra janji sekalipun objek itu berada di dalam tempat tertutup,
seperti beras, atau gulang di dalam karung. Berbeda halnya dengan ulama Maliki,bahwa
penunjukkan tidak cukup melainkan harus dilihat secara langsung jika hal itu
memungkinkan.Objek akad yang tidak berada di majelis akad (tempat dilakukannya akad) dapat
dideskripsikan dengan suatu keterangan yang dapat memberi gambaran yang jelas dan
menghilangkan ketidakjelasan mencolok mengenai objek. Jika objek tersebut berupa benda
individu, maka dideskripsikan sedemikian rupa sehingga menjadi jelas. Begitu juga terhadap
benda yang memiliki satuan yang banyak dan serupa seperti barang produk pabrik yang sama
jenis, maka dijelaskan dengan menyebut jenis, kualitas dan jumlahnya.

Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini banda akad terbagi dua:

a. Akad ‘Ainiyah, yaitu akad yang diisyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual
beli.

b. Akad Ghair‘Ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena
tanpa penyerahan barang-barangpun akad sudah berhasil, seperti akad amanah.

Objek akad dalam islam dikenal dengan istilah Mahallul ‘Aqd adalah sesuatu yang dijadikan
objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat
berupa bendaberwujud dan benda tidak berwujud.Objek hukum segala sesuatu yang bisa berguna
bagi subjek hukum dan dapat menjadi pokok suatuhubungan hukum, yang dilakukan oleh
subjek hukum, biasanya diamakan benda atau hak yang dapatdimiliki dan dikuasai oleh subjek
hukum.Menurut pasal 503 KUHP Perdata benda dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Benda berwujud

2. Benda tidak berwujud.

Sedangkan menurut pasal 504 KUHP Perdata benda dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Benda bergerak
2. Benda tidak bergerak

Apabila objek akad berupa benda, maka kejelasan objek tersebut terkait pada
apakah objek tersebuthadir (ada) dimajelis akad (tempat ditutupnya perjanjian) atau
tidak. Bilamana objek dimaksud (hadir)pada majelis akad, maka kejelesan objek tersebut
menurut ahli-ahli hukum Hanafi dan Hambali, cukupdengan menujukkan kepada mitra
janji sekalipun objek tersebut berada dalam tempat tertutup, sepertigandum atau gula
dalam karung. Menurut ahli-ahli hukum Maliki, menunjukkan tidak
cukup melaikanharus dilihat secarta langsung jika hal itu memang dimungkinkan. Jika
tidak mungkin dilihat cukupdideskripsikan. Ahli-ahli hukm Syafi’I mengharuskan
melihat secara langsung terhadap objek, baik objek itu hadir atau tidak ditempat
dilakukannya akad.Apabila objek akad berupa perbuatan, maka seperti halnya objek
yang berupa benda, objek tersebutharus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian
jelas dan diketahui opleh para pihak. Dalamakad melakukan suatu pekerjaan, pekerjaan
itu harus sedemikian rupa sehingga meniadakan ketidak jelasan yang mencolok.

Sesuatu yang dijadikan objek akad dikenakan padanya akibat hukum yang
ditimbulkannya. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan
atau suatu hal lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Tidak semua benda dapat
dijadikan objek akad. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan
beberapa syarat, yaitu:5

1) Objek akad harus sudah ada ketika berlangsung akad. Barang yang belum ada tidak dapat
menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas fuqaha, sebab hukum dan akibat akad
tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum terwujud. Di kalangan para fuqaha,
syarat ini masih terjadi selang sengketa tentang keabsahannya. Imam Malik misalnya
memandang sah akad yang sifatnya melepaskan hak atau harta tanpa imbalan (tabarru’)
terhadap benda-benda yang mungkin eksis di masa mendatang, meskipun pada waktu
akad masih belum eksis, seperti wakaf, wasiat, hibah dan sebagainya. 6 Ibn Taimiyyah,
pengikut mazhab Hanbali, juga memandang sah akad yang objeknya belum ada dalam
berbagai bentuknya, selagi dapat dipastikan tidak akan menimbulkan persengketaan di
5
Wahbah az-Zuhaili. al-Fiqh al-Islami…, IV: 172-182.

6
Ibn Rusyd. 1981. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
kemudian hari. Masalahnya dalam akad yang seperti ini bukan ada atau belum adanya
objek akad, akan tetapi apakah akan mudah menimbulkan persengketaan di kemudian
hari. Dengan kata lain,unsur gharar-nya dipastikan tidak ada.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang syarat ini,


secara umum adanya persyaratan bahwa objek harus telah eksis pada waktu akad terjadi,
memang diperlukan bagi akad-akad yang memerlukan kepastian. Misalnya, jual beli
binatang dalam kandungan tidak boleh dilakukan sebab ada kemungkinan bahwa objek
akad yang belum ada tersebut, ada kemungkinannya dalam keadaan mati Dalam hal akad
tidak memerlukan kepastian seketika, dan berdasarkan atas pengalaman yang telah
menjadi adat kebiasaan yang diterima umum, bahwa kepastian di masa mendatang akan
diperoleh, maka syarat adanya objek akad pada waktu akad diadakan, bisa diperlunak.
Objek akad cukup diperkirakan akan ada di masa mendatang, seperti dalam hal akad bagi
hasil, pesan membuat barang dan lain sebagainya.Lebih tegas lagi, Ibn al-Qayyim al-
Jauziyyah menyatakan pendapatnya tentang maksud gharar tersebut dengan membedakan
antara ‘barang yang tidak eksis’ dengan ‘ketidakpastian’ yang menimbulkan keraguan
eksisnya benda tersebut di masa akan datang. Ia menekankan bahwa yang dilarang syariat
bukanlah karena tidak atau belum eksis akan tetapi unsur ketidakpastiannya. 7 Dengan
demikian, objek akad yang tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di
kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, objek yang tidak ada pada waktu
akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah. Dalam
konteks legislasi moderen, pembahasan tentang unsur gharar atau spekulasi lebih banyak
mengartikan gharar tersebut dengan unsur ketidakpastiannya, bukan eksistensi
barangnya, dan ini sangat berbeda dengan pembahasan fuqaha klasik yang pada
umumnya tidak membolehkan transaksi atas barang yang tidak ada pada waktu
penutupan akad, meskipun sebagian mereka mengecualikan akad salam, istisna dan sewa
menyewa. Hal ini dapat dilihat dalam sejumlah Kode Sipil sejumlah Negara di wilayah
Timur tengah, seperti Mesir, Irak, Qatar, Jordania dan Kuwait.

2) Objek akad dapat menerima hukum akad. Para fuqaha sepakat, bahwa akad yang tidak
dapat menerima hukum akad, tidak bisa menjadi objek akad. Dalam akad jual beli
7
bn al-Qayyim al-Jauziyyah. 1970. I’lam al-Muwaqqi’in. Beirut: Dar al-Jil. I: hlm. 357-
351.
misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak
yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi
kaum muslimin. Oleh karenanya keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek
akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama
Islam.Akad jual beli, tidak dapat dilakukan terhadap benda mubah yang belum menjadi
milik seorangpun, sebab benda mubah masih menjadi milik semua orang untuk
menikmatinya. Begitu juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik
perseorangan, juga tidak memneuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan,
jembatan dan sungai.8

3) Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui.

Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan
akad. Ketidakjelasan objek akad akan mudah menimbulkan sengketa di kemudian hari,
sehingga tidak memenuhi syarat objek akad. Syarat ini diperlukan agar para pihak dalam
melakukan akad benar-benar atas dasar kerelaan bersama. Ketidakjelasan tidak mesti
berkaitan dengan semua satuan barang yang akan menajdi objek akad, tetapi cukup
sebagian saja, apabila barang tersebut merupakan suatu jenis yang dapat diketahui
conntohnya atau keterangan yang jelas tentang sifat-sifatnya. Untuk menentukan apakah
syarat kejelasan suatu objek akad itu sudah terpenuhi atau belum, adat kebiasaan (‘urf)
mempunyai peranan penting. Apabila ‘urf memandang jelas, misalnya jual beli kacang
tanah yang sudah waktunya dipanen, tetapi masih berada dalam tanah, maka kacang yang
ada dalam tanah tersebut dipandang sudah memenuhi syarat kejelasan. Yang penting
jangan sampai mengenyampingkan prinsip keadilan dalam muamalat; penjual jangan
menerima harga yang jauh di bawah harga yang wajar dan dapat dijamin tidak akan
terjadi sengketa di belakang hari.Objek akad itu harus tertentu maksudnya adalah
diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
sengketa. Apabila objek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbulkan
persengketaan, maka akadnya tidak sah. Ketidakjelasan yang bersifat sedikit yang tidak
membawa pada persengketaan tidak membatalkan akad. Ahli hukum Hanfi menjadikan
adat kebiasaan dalam masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok atau tidaknya
8
Wahbah az-Zuhaili. al-Fiqh al-Islami…, IV: 177-178, Ahmad Azhar Bayir. Asas-asas…,
hlm. 52.
suatu ketidakjelasan.9 Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya syarat ini harus dipenuhi
dalam akad mu’awadah maliyah. Adapun dalam akad lainnya, mereka berbeda
pandangan. fuqaha Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat ini harus
terpenuhi pada akad mu’awadah ghairu maliyah seperti akad nikah misalnya. Demikian
juga halnya Hanafiyah, hanya saja mereka tidak mensyaratkan pada akad tabarru’.
Sedangkan Imam Malik tidak mensyaratkan pada selain akad mu’awadah al-maliyah. 10
Apabila objek akad berupa perbuatan, maka objek tersebut juga harus tertentu atau dapat
ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para pihak. Dalam akad melakukan
sutu pekerjaan, pekerjaan tersebut harus dijelaskan sedemkian rupa sehingga meniadakan
ketidakjelasan yang mencolok.

4) Objek akad dapat ditransaksikan.

Hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada waktu
akad yang telah ditentukan, objek akad dapat diserahkan, karena memang benar-benar
berada di bawah kekuasan yang sah pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, ikan di
laut, burung di udara, binatang yang masih berkeliaran di hutan tidak memnuhi syarat
untuk menjadi objek akad. Untuk dapat diserahkan, maka objek akad tersebut harus
memenuhi criteria sebagai berikut:

a. Tujuan objek akad tidak bertentangan dengan transaksi. Dengan kata lain, sesuatu
tidak dapat ditransaksikan bila transaksi bertentangan dengan tujuan yang
ditentukan untuk sesuatu tersebut. Misalnya wakaf, karena barangnya ini sudah
dilembagakan untuk dimanfaatkan untuk kepentingan agama atau umum, maka
milik individu atas benda tersebut sudah berubah menjadi milik umum (milik
Allah). Aturannya benda wakaf dilarang untuk dijual. Akan tetapi aturan umum
ini dapat disimpangkan dengan adanya alasan syar’i. misalnya, gedung sekolah
yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi pendidikan seperti yang disebutkan
dalam ikrar wakaf, maka benda tersebut boleh dijual dan diganti di tempat lain.

9
Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah…, hlm. 202-203.

10
Wahbah az-Zuhaili. al-Fiqh al-Islami…, IV: hlm.180.
Begitu juga dengan objek akad perbuatan. Pengerjaan sholat dan menjalani
hukuman tidak bisa digantikan oleh orang lain.11

b. Sifat objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu
tidak dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan
untuk diadakan transaksi. Bendanya yang tidak berharga atau bertentangan
dengan aturan syariat, maka objek akad yang seperti ini tidak bisa ditransaksikan.
Objek akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.Tidak sah akad
terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban umum. Termasuk ke
dalam perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum ini adalah riba dan
klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan syara .

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Akad merupakan bidang kajian hukum ekonomi Islam atau muamalah. Ter akad berasal
dari bahasa Arab, al-‘aqd, yang berarti “mengikat, menyambung atau
menghubungkan.Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami adanya keterkaitan atau
hubungan hukum. Pertama, akad merupakan pertemuan atau keterkaitan ijab dan kabul
yang mendorong munculnya akibat hukum. Karena ijab merupakan penawaran yang
diajukan oleh satu pihak, sedangkan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan
mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi
apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain. Sebab
11
Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah…, hlm. 207.
akad menghendaki keterkaitankehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan
kabul.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Fath, Ahmad. al-Mu’amalat fi al-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-Misriyyah,


Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1947.

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh, t.tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.

Ali, Zainuddin. Hukum Ekonomi Syariah, Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syari’ah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002 Basya,
Muhammad Qadri.

Mursyid al-Hairan ila Ma’rifat Ahwal al-Insan, Cet. 2; Kairo: Dar al-Furjani, 1403H/1983M.

Al-Khafif, Ali. 1952. Mukhtasar Ahkam al-Mu’amalat asy-Syar’iyyah. Kairo: tp.

Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press.

Dewi, Gemala, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti. 2006. Hukum Perikatan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai