Anda di halaman 1dari 14

Penyelesaian Perselisihan (Perkara)dan Berakhir Akad

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Hukum Perikatan Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam
Institut Agama Islam Negeri Bone

Oleh
Kelompok 9

DEWI SYARTIKA
NIM. 742342021079

AWAL JUSEPTIAN
NIM. 742342021067

Dosen Pengajar :
Dr. FIRDAUS, S.Sy.,M.H.

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan menyebut nama Allah Yang MahaPengasih lagi MahaPenyayang,


segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula
shalawat dan salam kami junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang dan diridhoi
Allah SWT.

Alhamdulillah atas izin Allah yang Maha dari segala Maha, kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
dosen kami Dr. FIRDAUS, S.Sy.,M.H. yang telah membimbing kami dalam
pembuatan makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Penggolongan Akad pada mata kuliah Hukum Perikatan islam.

Tak ada gading yang tak retak, dalam pembuatan makalah ini kami
sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi
pembahasan maupun dari segi penulisan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran maupun kritiknya sehingga dapat lebih baik lagi dalam pembuatan makalah
berikutnya.

Akhir kata, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami


khususnya dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan pada umumnya. Sebelum dan
sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

Watampone, 20 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Akad
B. Jenis Akad Berdasarkan Penggolongan 16
C. Penggolongan Akad 17
BAB III PENUTUP 18
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kajian muamalat, masalah akad menempati posisi sentral
karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk
memperoleh suatu maksud atau tujuan, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Salah satu bagian dari ilmu fiqh yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia serta urusan keduniawian adalah fiqh muamalah. Sebagai
makhluk social, manusia pasti memerlukan manusia lain, oleh karena itu
islam memperhatikan haltersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu
yang urgen dan vital.
Dalam prakteknya sering terjadi kesalahan dalam memilih akad
atau kurang terpenuhinya syarat dan rukun akad, sehingga transaksi yang
dilakukannya dinilai tidak sah oleh karena itu pada kesempatan ini kami
mencoba untuk membahas mengenai teori akad dan ruang lingkupnya.
Salah satu contoh yaitu tidak semua orang memiliki barang yang ia
butuhkan, sedangkan orang lainmemiliki barang tersebut, dengan adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak, makaakan terjadi suatu transaksi.
Kesepakatan tersebut timbul apabila kedua belah pihak telahterikat satu
sama lain dalam suatu ijab dan qabul. Inilah yang disebut dengan akad
dalam islam. Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu transaksi
maupun kerjasamadengan orang lain. Dari paparan di atas, penulis tertarik
untuk menyusun sebuah yangmembicarakan tentang konsep akad dalam
akad dari segi fungsinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu akad ?
2. Apa saja jenis akad berdasarkan golongannya ?
3. Mengapa akad perlu di kategorikan ?
C. Tujuan
1. Apa itu akad ?
2. Apa saja jenis akad berdasarkan golongannya ?
3. Mengapa akad perlu di kategorikan ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Lafaz akad, berasal dari lafaz arab al `Aqd ( ‫ ) العقد‬yang secara etimologi
berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan.
Secara terminologi, akad mempunyai dua arti, yakni : pertama arti umum
adalah “segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan baik yang
muncul dari kehendaknya sendiri”. Seperti, kehendak untuk wakaf membebaskan
hutang, dan talak. Juga termasuk dua pihak yang berkehendak untuk
melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, dan gadai atau
jaminan. Kedua arti khusus adalah “pertalian atau keterikatan antara ijab dan
Kabul sesuai dengan kehendak syari`ah yang menimbulkan akibat hukum pada
objek akad”.
B. Rukun dan syarat akad.
Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat, rukun akad
merupakan unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika
salah satu rukun tidak ada, menurut hukum islam akan di pandang tidak pernah
ada.
Sedangkan syarat merupakan suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tapi
bukan merupakan esensi
Menurut ahli hukum islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada
empat, beserta dengan syarat masing- masing rukun tersebut yaitu:
1. Para pihak yang membuat akad ( al -`aqidan ).
Syaratnya :
a) Berakal dan dewasa
b) Memiliki kewenangan terhadap objek kontrak
2. Pernyataan kehendak para pihak ( shigatul `aqd )
Syaratnya :
a) Harus jelas maksudnya
b) Harus selaras
c) Harus dalam satu majelis.
3. Objek akad ( mahallul `aqd )
Syaratnya :
a) Ada ketika kontrak berlangsung
b) Sah menurut hukum islam
c) Dapat diserahkan ketika aqad
d) Tertentu dan dikenal para pihak.
4. Tujuan akad ( maudhu` al `aqd )
Syaratnya :
a) Tidak bertentangan dengan syara’.
C. Penggolongan Akad

Akad secara garis besar berbeda antara satu dengan yang


lainya. Hal ini berdasarkan asas (dasar), tujuan, ketentuan, sifat, dan hukum-
hukum yang ada di dalam akad itu sendiri. Para ulama fiqih mengemukakan,
bahwa akad dapat di klasifikasikan dari berbagai segi. Antara lain dilihat dari
penjelasan berikut ini :

1. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’ maka akad terbagi
menjadi dua, akad sahih dan akad tidak sahih.
a) Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-
syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlaku seluruh akibat
hukum yang ditimbulkan akad itu dan meningkat bagi pihak-pihak yang
berakad. Akad yang sahih dalam menurut ulama hanafi dan maliki
terbagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:
a. Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak
ada penghalang untuk melaksanakannya.
b. Akad Mawquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidka memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad itu, seperti akad yang
dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayiz. Dalam kasus
seperti ini akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki
akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil
itu.
b) Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama hanafi
mebagi akad yang tidak sahih itu menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut:
a. Akad bathil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu
rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya,
objek jual beli itu tidak jelas atau terdapat unsure tipuan, seperti
menjual ikan dalam lautan atau salah satu pihak yang berakad
tidak cakap bertindak hukum.
b. Akad fasid, adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi
sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah
atau kendaraan yang tidak jelas tipe, jenis, dan bentuk rumah
yang dijual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual
dan pembeli. Jual beli ini bisa dianggap sah jika unsure-unsur
yang menyebabkan kefasidannya itu dihilangkan, misalnya
menjelaskan tipe, jenis, bentuk rumah yang dijual.
2. Dilihat dari segi penamaannya , para ulama fiqih berbagi akad menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh
syara’ serta di jelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa
menyewa, perikatan, hibah, wakalah, wakaf, hiwalah, ji’alah, wasiat,
dan perkawinan.
b) Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan
tempat, seperti istishna’, bai’al-wafa’, dan lain-lain.
3. Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak terbagi dua yaitu sebagai
berikut :
a) Akad musyara’ah, yaitu akad akad yang di benarkan syara’,
umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganyadan termasuk juga
hibah, dan rahn (gadai)
b) Akad mamnu’ah yaitu akad akad yang dilarang syara’, seperti menjual
anak binatang yang masih dalam kandungan.
4. Dilihat dari sifat bendanya akad dibagi dua, yaitu sebagai berikut
a) Akad ainiyah, yakni akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan
melaksanakan apa yang di akadkan itu. Misalnya benda yang di jual
diserahkan kepada yang membeli.
b) Akad ghairu ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata mata
berdasarkan akad itu sendiri. Misalnya, benda yang sudah di wakafkan
otomatis menjadi benda wakaf.
5. Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad. dari sudut ini, dibagi dua
pula :
a) Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu.
Misalnya, pernikahan yang harus di lakukan di hadapan para saksi, akad
yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah, yang oleh undang
undang mengharuskan hak itu di catat di kantor agraria.
b) Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara tertentu, misalnya jual beli
yang tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan
pejabat.
6. Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad di bagi
empat macam :
a) Akad yang tidak dapat di batalkan, yaitu aqduazziwaj. Akad nikah yang
tidak dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua
belah pihak. Akad nikah hanya dapat diakhiri dengan jalan jalan yang di
tetapkan oleh syariat, seperti talak, khulu’, atau karena keputusan akhir.
b) Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti
jual beli, shulh, dan akad akad lainnya.
c) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak
pertama. Missal, rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin
dan si kafil, tidak merupakan keharusan oleh si murtahin (orang yang
memegang gadai) atau si makful lahu (orang yang memegang
tanggungan). Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja dia
kehendaki.
d) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak yang
kedua, yaitu seperti : wadi’ah, ‘ariyah, dan wakalah.
7. Dari segi tukar-menukar hak, dibagi menjadi tiga macam diantaranya :
a) Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik.
Seperti jual beli, sewa menyewa, shulh terhadap harta dengan harta.
b) Akad Tabarru’at, yaitu akad-akad yang berdasarkanpemberian dan
pertolongan, seperti hibah dan ‘ariyah.
c) Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi
mu’awadlah pada akhirnya, seperti qardl dan kafalah. qardl dan
kafalah ini permulaan adalah tabarru’, tetapi pada akhirnya menjadi
ketika si kafil meminta kembali uangnya pada si madin.
8. Dilihat dari keharusan membayar ganti dan tidak, dibagi menjadi 3
a) Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-
barang itu diterimanya. Seperti jual beli,qardhmenjadi dlaman pihak
kedua sesudah barang itu diterimanya. Kalau rusak sebelum
diserahkannya, maka tanggung jawab dipikul oleh pihak yang pertama.
Pihak pertama harus mengganti kerugian pihak yang kedua atau
mengembalikan harga.
b) Akad amanah, yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan
oleh yang memegang barang. Misal, syirkah dan wakalah
c) Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang
mengharuskan dhamanah, dan dari segi yang lain merupakan amanah,
yaitu: ijarah, rahn, shulh.
9. Dilihat dari segi tujuan akad, dibagi menjadi 4
a) Yang tujuannya tamlik (utuk memperoleh sesuatu), seperti jual beli,
mudharabah.
b) Yang tujuannya mengukuhkan kepercayaan saja, seperti rahn dan
kafalah. Akad itu dilakukan untuk menambah kepercayaan si dain atau
si murtadin.
c) Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah, wasiyat.
d) Yang tujuannya memelihara, yaitu wadi’ah
10. Dilihat dari segi waktu berlakunya, dibagi menjadi 2
a) ‘Akad Fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak
memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual beli walaupun dengan
harga yang ditangguhkan. Demikian pun shulh, qardh dan hibah.
b) ‘Akad Mustamirrah, dinamakan juga ‘akad zamaniyah. Yaitu akad yang
pelaksanaannya diperlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam
pelaksanaannya. Misalnya, ijarah, ‘ariyah, wakalah dan syirkah
11. Dilihat dari ketergantungan dengan yang lain, dibagi menjadi 2
a) ‘Akad Asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri. Tidak memerlukan
adanya sesuatu yang lain. Misalnya, jual beli, ijarah, wadi’ah, ‘ariyah.
b) ‘Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena
memerlukan seusatu yang lain. Misalnya Rahn dan Kafalah. Rahn tidak
dapat dilakukan jika tidak ada utang.
12. Dilihat dari maksud dan tujuannya, dibagi menjadi 2
a) Akad Tabarru’ yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan
murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah.
Sama sekali tidak ada unsur mencari “return”. Diantaranya Hibah,
Wakaf, Wasiat, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn dan Qirad.
b) Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan syarat yang harus
dipenuhi semuanya. Diantaranya Murabahah, Salam, Istishna’ dan
Ijarah Muntahiya Bittamlik serta Murabahah dan Musyarakah.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum perjanjian syari’ah dalam kata lain disebut dengan al-aqd atau
akad. Merupakan suatu ikatan oleh dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu
akibat hukum pada obyeknya. Dari akibat hukum itulah sebagai tujuannya.
Karena ini merupakan syariah maka perjanjian atau akad harus didasarkan pada
yang tidak menyimpang dari ajaran islam yakni pedoman alquran dan assunah.
Akad dikatakan telah sah dan dapat dilaksanakannya akibat hukumnya apabila
telah memenuhi syarat dan rukunnya sesuai dengan ketentuan hukumnya. Karena
akad akan mengikat kepada para pihak yang membuat hukum setelah sepakat dan
ridho.
Terminasi akad merupakan pemutusan akibat hukum yang terjadi pada
akad. Adapun terminasi dapat terjadi karena dari pihak yang berakad, atau karena
mustahil dilaksanakan dan karena akad tidak dilaksanakan. Adapun perjanjian
syariah itu sendiri ada bermacam-macam bentuk dan sifatnya dilihat dalam
berbagai segi menurut pandangan para ulama’. Akan tetapi pada intinya dari
pembagian itu dapat kami simpulkan, hanya terdiri dari akad musamma (akad
yang telah diberi nama dan ketentuan hukumnya oleh para pembuat hukum) dan
ghoiru musamma (akad yang belum ditentukan namanya ktentuannya).

DAFTAR PUSTAKA

http://ysn-perjanjian.blogspot.com/2012/04/hukum-perjanjian-syariah-akad.html

http://www.academia.edu/3644929/Konsep_akad_dalam_islam

http://cakraarbas.blogspot.com/2012/07/teori-akad.html

Dewi, Gemala, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai