Anda di halaman 1dari 15

HUKUM KEWARISAN ISLAM

(Sumber hukum kewarisan islam dan hubungannya dengan hukum kewarisan


Nasional)

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Hukum Kewarisan Islam
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES 3)
Fakultas Syariahdan Hukum Islam Iain Bone
Oleh:
KELOMPOK 2
ANUGRAH SEPTIANI
NIM.742342021076

SALMAN
NIM. 742342021094

DOSEN PENGAJAR : NADYA FAIZAL, S,Sy.,M.H

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Sumber hukum kewarisan islam dan hubungannya dengan hukum kewarisan
Nasional ” serta tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam
yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang seperti sekarang ini.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kelompok pada
mata kuliah Fiqh Ibadah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Ibu NADYA FAIZAL, S,Sy.,M.H selaku dosen pengajar mata kuliah
Hukum Kewarisan Islam
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah
Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari bahwa baik dalam
penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penunjang dalam
pembuatan makalah penulis berikutnya.

Bone, 02 OKTOBER 022

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN

A. Sumber dan dasar hukum kewarisan Islam......................................................2-


4
B. Hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum waris Nasional ..........5
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................13
B. Saran ............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sebagai hukum positif
belum tersusun dalam suatu peraturan yang terunifikasi. Hal ini di karenakan
belum adanya keseragaman terhadap kemajemukan bentuk dan sistem hukum
waris yang ada di indonesia. Hukum waris yang ada di indonesia saat ini
diantaranya adalah yang diatur oleh sistem hukum adat, sistem hukum Islam
dan sistem hukum Barat (KUHPerdata).
Hukum adat mengandung unsur agama, terutama Hindu dan Islam.
Kedua agama tersebut banyak mempengaruhi hukum adat karena terdapat satu
kesamaan yang signifikan dan keduanya memiliki sifat yang sangat sakral.
Badan pembinaan hukum tidak tertulis yang mengandung unsur agama.
Persentuhan nilai keagamaan dengan hukum adat ini terlihat dalam tiga bidang
yaitu hukum keluarga, hukum perkawinan dan harta benda, serta hukum
waris. Dari ketiga bidang hukum adat ini, hukum waris merupakan bidang
yang paling bermasalah karena saat ini terdapat tiga sistem hukum waris yang
berlaku di masyarakat
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa sumber dan dasar hukum kewarisan Islam
2. Bagaimana Hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum waris
Nasional

C. Tujuan Penulisan
1. Dapat Mengetahui sumber dan dasar hukum kewarisan Islam
2. Agar memahami Hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum waris
Nasional

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Kewarisan Islam


Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau
dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber
hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut:1
a. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur'an.
b. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah,
c. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma' dan ijtihad para ulama'.
Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada
didalam al Qur'an dan as-Sunnah. Ayat-ayat al-Qur'an yang mengatur
secara langsung tentang waris diantaranya adalah:
a. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur'an Surat al-Nisa: 7

‫للرجال نصيب مما ترك الوالدان واألقربون وللنساء نصيب مماترك‬


‫الوالدان واألقربونمما في منه أو كثر ما مفروض‬

Artinya: "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan


ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak dan bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.2

Guris hukum kewarisan pada ayat diatas (QS al-Nisa: 7) adalah sebagai
berikut:
1) Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu
bapaknya.
2) Bagi aqrabun (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta
1
*Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung: Aditama, 2006), 6
2
Yayasan Penyelenggara Penterjemal/Pentafsir Al-Qur’an al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag
RI, 1986), 78.
3

peninggalan aqrabun (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya).


3) Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu
bapaknya.
4) Bagi agrabun (keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari harta
peninggalan aqrabun (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)
5) Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang
banyak. Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh Allah SWT.
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 surat al-Nisa' ini
masih bersifat Universal, walaupun ini ayat pertama yang menyebut-
nychut adanya harta peninggalan, Harta peninggalan disebut dalam ayat
ini dengan sebutan ma taraka. Sesuai dengan sistem ilmu hukum pada
umumnya, dimana ditemui perincian nantinya maka perincian yang khusus
itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam
kasus-kasus yang akan diselesaikan.3
Kemudian dalam ayat selanjutnya surat al-Nisa ayat 8
‫وإذا حضر القسمة أولوا القرى والنشمي والمسكين فارقوهم منه وقولوا‬
‫لهم قوال معروفا‬
Artinya: “dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,
anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari
harta itu (sekedarya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.”

Q.S. an-nisa ayat 11:

َ ‫س ۤا ًء فَ ْو‬
‫ق ا ْثنَتَ ْي ِن فَلَ ُهنَّ ثُلُثَا َما‬ َ ِ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ فَاِنْ ُكنَّ ن‬ َّ ِ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَ ْواَل ِد ُك ْم ل‬
ِ ‫يُ ْو‬
َ‫ُس ِم َّما ت ََركَ اِنْ َكان‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫اح ٍد ِّم ْن ُه َما ال‬
ِ ‫صفُ ۗ وَاِل َبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َو‬ ْ ِّ‫تَ َر َك ۚ َواِنْ َكانَتْ َوا ِح َدةً فَلَ َها الن‬
ْ‫ُس ِم ۢن‬ُ ‫سد‬ ُّ ‫ث ۚ َفاِنْ َكانَ لَ ٗ ٓه اِ ْخ َوةٌ َفاِل ُ ِّم ِه ال‬ُ ُ‫لَ ٗه َولَ ٌد ۚ فَاِنْ لَّ ْم يَ ُكنْ لَّ ٗه َولَ ٌد َّو َو ِرثَ ٗ ٓه اَبَ ٰوهُ فَاِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
ً‫ضة‬ ُ ‫ص ْي بِ َهٓا اَ ْو َد ْي ٍن ۗ ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم َواَ ْبنَ ۤاُؤ ُك ۚ ْم اَل تَ ْد ُر ْونَ اَيُّ ُه ْم اَ ْق َر‬
َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًعا ۗ فَ ِر ْي‬ ِ ‫صيَّ ٍة يُّ ْو‬
ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
‫ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ اِنَّ هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬
3
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Bina Aksara, 1981), 7.
4

Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang


(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak
itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan
dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana.

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam al-Hadist


Dasar hukum kewarisan yang kedua yaitu dasar hukum yang
terdapat dalam hadits. Dari sekian banyak hadist Nabi Muhammad SAW
yang menjadi landasan hukum kewarisan Islam, penulis hanya
mencantumkan beberapa dari hadist Nabi, diantaranya sebagai berikut:

Hadist Nabi yang diriwayatkan dari Imron bin Hussein menurut


riwayat

Imam Abu Daud:


5

‫من المرين حسين ان رحله معاه في النبي صلى هللا عليه وسلم فقال ان‬
‫يسي إلى مات بها بس‬

Artinya: “Dari Umar bin Husain bahwa seorang laki-laki datang kepada
NabiLalu berkata bahwasanya anak dari anak meninggalkan harta, Nabi
menjawab:Untukmu seperenam.”

‫عن أسامة بن قرية عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال ال ترت المستلم‬
‫الكثير وال تريت الكابر‬

Artinya: “Dari Usamah bin Zaid dari Nabi SAW: Orang Islam itu
tidak

Mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam.”
‫فانه لما يرثه وإن لم يكن له وارث غيره وإن كان قال رسول هللا صلى هللا عليه‬
‫وسلم من من قبلقاله الة والده أو واله على المال مرات‬

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membunuh seorang


korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai
ahli waris lain selain dirinya sendiri, begitu juga walaupun korban itu adalah
orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak
menerima warisan”.4

C. Hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum waris Nasional


(Indonesia)

Pluralisme dan Unifikasi Hukum Kewarisan di Indonesia

4
Al-imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Mugirah ibn Bardzibahal-Bukhari Sahih al
Bukhari, Juz 4, (Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 1410/1990 M), 194, Sayid al-Imam Muhammad ibn
Ismail ash-San’ani, Subal as-Salam Sarh Bulugh-al-Maram Min Jani Adillat al-Ahkan, Juz 3,
(Meur Musthafa al-Babi al-Halabi Wa Auladuh, 1379 H/1960M), 98.
6

Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem


hukum waris berlaku secara bersamasama meski titik mula munculnya tidak
bersamaan namun telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh
sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah
perkembangannya, dapat diketahui bahwa sistem hukum waris adat lebih
dahulu ada dibandingkan dengan sistem hukum waris yang lain. Hal ini
dikarenakan hukum adat, termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli
bangsa Indonesia, berasal dari nenek moyangnya dan telah melembaga serta
terinternalisasi secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya.5
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi 'kontak yang
akrab' antara ajaran mau pun hukum Islam (yang bersumber pada Al-Qur'an
dan As-Sunnah) dengan hukum adat. Hal itu tercermin dalam berbagai
pepatah di beberapa daerah. Di Aceh terdapat pepatah: bukum ngon adat
bantom cre, lagee at ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat
dicerai-pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan
sifat suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara' sanda
menyanda, syara' mengati adat memakai artinya, adat dan hukum Islam
(syara') saling topang menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara' itu
sendiri.6Di Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat bula-bulaa to syaraa,
syaraa bula-bulaa to adat (adat bersendi syara' dan syara' bersendi adat).
Hubungan antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini
mungkin disebabkan oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan.14
Pengaruh hukum waris Islam pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya
pada sistem pembagian warisan yang disebut dengan sapikul sagendong Titik
singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan
adanya "keistimewaan" antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum

5
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan oleh A.Sochardi, (Vorkink van
Hoeve Bandung), h. 78.
6
Hamka, Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkaban,
(Pann Masyarakat. Nomor 61/IV/1970), h. 10
7

adat dengan sistem matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan,


sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki,
Syafi'i, dan Hambali) cenderung bersifat patrilineal.
Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan
KUHPerdataadalah anak laki-laki berbanding sama dengan anak perempuan.
Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu:
Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari
pewaris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato
berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
1) Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi
anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang
ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang
ditinggalkan/hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada
tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/isteri tidak saling mewarisi;
2) Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua
dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan
mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa
bagian mereka tidak akan kurang dari 4 (seperempat) bagian dari harta
peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama sama saudara
pewaris;
3) Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke
atas dari pewaris;
4) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping
dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Di samping kedua
hukum waris yang sudah akrab tersebut, masyarakat Indonesia juga
telah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber pada BW.
Pada masa penjajahan Belanda, dengan asas konkordansi BW
dinyatakan berlaku untuk golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini juga
dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Sementara bagi
golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hanya bagian-bagian
mengenai hukum kekayaan harta benda dari BW. Selebihnya, yakni bagian
8

kekeluargaan dan kewarisan berlaku hukum mereka sendiri dari negeri


asalnya.7
Pembedaan pemakaian hukum tersebut tidak lepas dari strategi hukum,
pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah penduduk yang ada di
tanah jajahannya. 16 Strategi dengan menggunakan hukum untuk memecah
belah penduduk di Indonesia dibingkai melalui pasal 131 Indische
Staatsregeling. Strategi tersebut cukup jitu sehingga penduduk di Indonesia
terbelah-belah secara yuridis dalam apa yang disebut dengan (1) golongan
Eropa, (2) golongan Timur Asing (Tionghoa dan non-Tionghoa), dan (3)
golongan pribumi.
Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik dari hukum waris di
Indonesia tersebut masih terus berlangsung. Berdasarkan pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: "Segala badan negara dan peraturan yang
ada masing langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang Dasar ini", maka ketiga sistem hukum waris tersebut
kemudian menjadi bagian hukum nasional. Keberadaan pasal II Aturan
Peralihan tersebut merupakan keharusan konstitusional, mengingat (1) ahli
hukum pada saat itu masih sangat sedikit, dan (2) kebutuhan yang sangat
mendesak untuk mengisi kevakuman hukum (rechtsvacuum) dari bangsa yang
baru merdeka dan sedang berjuang untuk meneguhkan eksistensi
kemerdekaannya.
Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak selamanya
berjalan beriringan. Para ahli hukum seringkali memandangnya sebagai
sebuah konflik baik sebagai hasil penelitian murni maupun untuk kepentingan
tertentu. Cristian van den Berg pernah mengeluarkan teorinya dengan
reception in complex yang menyatakan bahwa hukum agama adalah hukum
adat di mana hukum adat telah meresepsi hukum Islam. Teori ini kemudian
dibantah dengan teoridari Christian Snouck Hurgronye dengan teori receptie.
Teoriini menganggap bahwa hukum Islam baru diterima setelah diterima oleh
hukum Adat.20 Dalam memahami keyakinan tersebut menurut Sayuti Thalib

7
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h.10-14
9

bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan
keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku bagi
orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.8
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami
perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris
Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan
karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Bagi orang Islam,
masalah penggunaan hukum waris tersebut lebih kompleks lagi, karena hukum
yang ditujukan kepada mereka yang diciptakan melalui legislasi nasional
ternyata tidak memberi kejelasan aturan hukum yang scharusnya untuk
menyelesaikan masalah kewarisan. Hukum waris Islam bukan merupakan
ketentuan hukum yang bersifat imperatif bagi orang Islam. Ini berbeda dengan
ketentuan perkawinan yang bersifat imperatif bagi orang Islam yang akan
melangsungkan perkawinan. Dengan demikian hukum waris Islam bagi orang
Islam di Indonesia adalah bersifat fakultatif (choice of law) yang barang tentu
di ranah faktual tidak sedikit yang berpaling darinya.
Kerumitan yang berawal dari konflik hukum demikian itu sudah
saatnya untuk dicarikan jalan keluar. Ada dua kemungkinan cara penyelesaian
masalah konflik hukum waris tersebut, yakni: (1) tetap membiarkan hukum
waris dalam keberagaman dan manakala timbul konflik hukum kemudian
diserahkan kepada pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi dengan membuat
suatu undang-undang baru di bidang kewarisan yang bersifat nasional.
Upaya ke arah unifikasi dan kondifikasi hukum waris yang berlaku
secara nasional seharusnya segera dimulai, di samping untuk menghindari
konflik keluarga, memberikan kepastian hukum, juga sekaligus merupakan
pembaruan terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem hukum
waris yang ada.

8
Sayuti Thalib, Receptie a Contraris, Hubungan hukum adat dengan Hukum
Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1980), h. 15.
10

Pola penyusunan hukum waris nasional yang akan datang dapat


menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound.
Menurut Pound, hukum (tertulis) yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.9 Rumusan yang demikian ini
menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis (dari proses
legislasi nasional) sebagai kebutuhan hukum masyarakat hukum demi adanya
kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap
pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi
hukum. Selaras dengan pandangan Pound, Eugen Ehrlich menekankan prinsip
tentang pentingnya keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang
hidup dalam mayarakat (the living law). Keseimbangan antara kepentingan
negara dengan kepentingan masyarakat."
Sejalan dengan pemaparan Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich di atas,
dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan acuan dalam pembagian
waris di Indonesia, terdapat pembaruan yang cukup menonjol, terutama jika
dibandingkan dengan sistem kewarisan yang dikembangkan oleh
Ahlussunnah. Cerminan asas bilateral dalam kompilasi hukum Islam adalah
pasal 174 ayat 2 yang berbunyi: Apabila semua ahli waris ada maka yang
berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Kalimat
pendek dalam pasal ini mengakhiri polemik panjang tentang apakah anak
perempuan dapat menghijab (menghalangi) saudara pewaris atau tidak.
Sistem kewarisan yang dikembangkan Ahlussunnah menegaskan
bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat menghijab saudara pewaris.
Konsekuensi berikutnya dari diterimanya asas bilateral adalah dikenalnya
pranata. pembagian tempat (plaatsvervulling) dalam Kompilasi Hukum Islam.
Sistem ini cenderung diadopsi dari sistem bilateral dalam hukum waris
adat di Indonesia, yaitu dengan melihat pertalian darah dari kedua sisi, bapak
dan ibu serta nenek moyang. Kedua sisi keturunan sama-sama dianggap
penting. Sistim ini juga yang meletakkan dasar-dasar persamaan kedudukan
antar suami dan isteri di dalam keluarga masing masing. Misalnya penguasaan

9
Lih Rasudi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Alumni, 1985), h.
11

harta dalam perkawinan, seperti harta benda yang diperoleh selama


perkawinan menjadi harta bersama sedangkan harta bawaan dari masing-
masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun
1974).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta
dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Sedangkan
hukum waris adat adalah serangkaian peraturan yang mengatur penerusan
dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari suatu generasi
ke generasi lain.
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam tentang waris, adalah
nash yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Diantaranya: Ayat
al-Qur’an, surat al-Nisa (4) 7 dan Hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut
riwayat al-Bukhari dan Muslim.
Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak
selamanya berjalan beriringan. Para ahli hukum seringkali memandangnya
12

sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil penelitian murni maupun untuk
kepentingan tertentu.
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut
mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan.
Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber
pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu.
Bagi orang Islam, masalah penggunaan hukum waris tersebut lebih
kompleks lagi, karena hukum yang ditujukan kepada mereka yang
diciptakan melalui legislasi nasional ternyata tidak memberi kejelasan
aturan hukum yang scharusnya untuk menyelesaikan masalah kewarisan.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat saya selesaikan. Namun, dalam
penyusunan makalah ini, saya sadari terdapat banyak kekurangan, Karena
saya pun masih dalam tahap belajar. Maka dari itu kritik dan saran yang
konstruktif saya butuhkan dari para pembaca dan pembimbing agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani, (1994). Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press,
Wicaksono, F. Satrio (2011). Hukum Waris (Cara Mudah Dan Tepat
Membagi Harta Waris). Jakarta: Tranmedia Pustaka Fuad, Mansun
(2004), Hukum Islam Indonesia Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
A Karim, Muchith (2010), Pelaksanaan Hukum Waris Di Kalangan Umat
Islam Indonesia. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press,
Burhan al-Islam al-Zarnuji, Ta·lim al-Muta·allim, tt. Dar Ihya·al-Kutub al-
·$UDEL\DK WW
Dawam Raharjo, Perkembangan Masyarak dalam Perspektif Pesantren,
pengantar dalam pergulatan dunia pesantren dari bawah, Jakarta: P3M,
1985

Anda mungkin juga menyukai